Rifki Adha
237054004
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
1
Al-Farabi, Kitab Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Beirut:Dar Al-Mashriq, 1996), Hlm. 118
kebahagiaan, yang pada akhirnya ia menamakannya dengan istilah Al-Madinah
Al-Fadhilah.
Bila kita melihat masa kini, hampir tidak ada di belahan dunia ini yang
belum secara utuh membentuk suatu negara atau dalam arti pada masa dewasa
ini konsep mengenai negara sudah teraplikasikan dalam kehidupan manusia.
Hanya saja, secara parktikal bernegara belum sepenuhnya bisa menjamin hak-
hak warga negara dan mampu memenuhi kepentingan hidup orang banyak,
baik itu emnyangkut ke dalam maupun keluar. Oleh karena itu, diskursus
tentang konsep negara akan selalu muncul di tengah kehidupan dalam
keberlangsungan suatu negara.
Pemikiran Al-farabi ini juga dilandasi pada dua alasan dalam realitas
yang ada pada diri manusia, yaitu manusia yang memiliki kecenderungan
untuk selalu mencari kebahagiaan hidup dan realitas bahwa manusia adalah
makhluk sosial, sejalan dengan konsep dari pemikiran Aristoteles bahwa
manusia itu ialah zoon politikon.bila ditilik secara alamiah, manusia tidak akan
2
Moh. Mufid, “Politik Dalam Perspektif Islam (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2004), hlm. 24
3
Atang Abdul Hakim, dkk., Filsafat Umum, dari metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia,
2008), Hlm. 447-449
4
Al-Farabi, “Al-Siyasah Al-Madaniyyah” (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1993), Hlm. 86
lepas dari kehidupan sosial dan karena itulah manusia akan terus berpolitik
untuk bertahan hidup atau dalam konteks lain, manusia kerap kali bersaing
untuk menjadi yang lebih dari yang lain.
5
Masykuri Abdillah, “Demokrasi di Persimpangan Makna” (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1999), Hlm.134
b. Filsafat Politik Al-Farabi Dalam Pemikiran Politik Islam
Al-Farabi juga membahas relasi antara teologi dan politik yang pada waktu
itu sangat jarang dibicarakan oleh orang. Pemikiran Al-Farabi tersebut adalah
refleksi dari penyataan dan uraian oelh Plato mengenai republik yang
6
Al-Farabi, Kitab Ara’ Ahli Al-madinah Al-Fadhilah (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1996), Hal.130
7
Ibid, Hal.87
dideskripsikan dalam bentuk kota utama. Dalam pemikiran Al-farabi ini, peran
teologi ini lebih dominan dari peran politik, bahkan menggesernya. Ia juga
mengemukakan tingkat-tingkat penghidupan manusia dari tingkat yang paling
rendah hingga ke tempat yang paling tinggi. Alfarabi membagi masyarakat
dalam 8 kelompok berdasarkan pertumbuhan ekonominya, diantaranya adalah
Al-Madinah Al-Nawabit, Al-Madinah Al-Bahimiyyah, Al-Madinah Al-
Dharurah, Al-Madinah Al-Hissah, Al-Madinah Al-Tabadul, Al-Madinah Al-
Naddzalah, Al-Madinah Al-Jama’iyah, dan Al-Madinah Al-Fadhilah.8
1. Inklusif
Tidak ada pihak yang dieksklusifkan dari partisipasi dalam
perbincangan mengenai topik-topik yang masih relevan baginya bahkan
tidak ada informasi relevan yang dilarang.
2. Bebas Paksaan
Setiap orang bisa terlibat dalam berargumen secara bebas, tanpa
didominasi atau merasa tertindas dan terintimidasi.
3. Terbuka dan Simetris
Masing-masing partisipan dapat memberi ide, melanjutkan, dan
mempertanyakan perbincangan mengenai topik yang relevan, termasuk
prosedur-prosedur dari deliberatif.
8
Al-Farabi, “Al-Siyasah Al-Madaniyyah” (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1993), Hlm. 87-92
9
Jurgen Habermas, Between Naturalism and Religion:Philosophical Essays(Cambridge:UK: Polity Press,
2008), Hlm. 120
syarat kepada semua pihak untuk saling memperlakukan sesama sebagai
teman setara (Equal) yang artinya setiap individu diberi ruang waktu untuk
bicara, saling mendengarkan, dan salingbertanggung jawab pada posisi masing-
masing.
Disisi lain, ada juga yang menamakan paradigma ini dengan sebutan
Quasi Sekuler (Mutualis Simbotik) atau negara sekuler-sekuler malu-malu.
Dalam quasi sekuler, negara menjamin keberlangsungan kehidupan beragama,
walaupun negara itu bukan negara berbasis agama. Dalam konteks ini, negara
berkepentingan secara kultural dan politik terhadap rakyat yang beragama,
terlebih lagi kepada agama yang diyakini secara mayoritas oleh rakyatnya.
c. Konsep Masyarakat
1. Al-Madinah Al-Daruriyah
2. Al-Madinah Al-Baddalah
12
M. Asy’ari Muthhar, The Ideal State: Perspektif Al-Farabi Tentang Konsep Negara Ideal (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2018), Hal. 175
Adalah suatu negara yang tujuan hidup para masyarakatnya hanya
berburu kesenangan dan kenikmatan. Kenikmatan dalam arti dan bentuk
kenikmatan indrawi dan khayali itu mereka jadikan sebagai senda gurau
dan main-main.
4. Al-Madinah Al-Karamah
5. Al-Madinah Al-Jama’iyyah
6. Al-Madinah Al-Fasiqah
7. Al-Madinah Al-Mubaddilah
8. Al-Madinah Al-Dallah
9. Nawaib Al-Mudun
Selain itu menurut Al-Farabi adalah orang yang patut mejadi pimpinan
utama pada negara utama itu haruslah orang yang paling baik dan istimewa
diantara orang lain. Karena ia adalah panutan bagi seluruh orang. Selain itu,
menurut Al-Farabi, pemimpin yang tersebut yaitu haruslah seorang agamawan,
sufi, filsuf, dan tokoh masyarakat yang baik dan patut di contoh karena ialah
yang dijadikan kiblat yang akan ditiru masyarakatnya. Baginya ada tiga
golongan yaitu manusia yang memiliki kapasitas untuk memandu dan
menasehati, manusia yang dapat berperan sebagai penguasa subordinat yang
memimpin sekaligus dipimpin, dan yang terakhir adalah manusia yang dikuasai
sepenuhnya atau tanpa kualifikasi.
KESIMPULAN
Atang Abdul Hakim, dkk., Filsafat Umum, dari metologi Sampai Teofilosofi (Bandung:
Pustaka Setia, 2008)
M. Asy’ari Muthhar, The Ideal State: Perspektif Al-Farabi Tentang Konsep Negara
Ideal (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018)
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI
Press, 1990)
Moh. Mufid, “Politik Dalam Perspektif Islam (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2004)