Anda di halaman 1dari 14

“Konsep Negara Dalam Pemikiran Politik Al-Farabi”

Rifki Adha
237054004

PENDAHULUAN

Diantara wacana yang menarik dan sering menjadi perbincangan dalam


kehidupan bersosial politik adalah adanya keinginan mewujudkan suatu tatanan
atau susunan masyarakat yang beradab. Tatanan masyarakat yang mandiri
dalam membangun cita-cita kenegaraan yang didalamnya tergambarkan
suasana yang egaliter dan keadilan sosial dalam berbagai aspek dan dimensi
kehidupan berbangsa maupun bernegara.

Cita-cita membangung tatanan masyarakat yang ideal itu muncul sejak


manusia mempunyai kesadaran untuk hidup berkelompok yang pada akhirnya
terciptalah sebuah negara. Awal berdirinya sebuah negara berawal dari
kebutuhan manusia untuk hidup saling bersama dalam menciptakan susunan
yang lebih teratur. Hal inilah yang menjadi landasan hilangnya sebuah hak
perseorangan atau individu dikarenakan adanya penyerahan hak individu
kepada kewenangan negara untuk mengatur kehidupan secara bersama.

Bagi Al-Farabi, kehidupan bernegara di Madinah adalah contoh yang


ideal. Hal ini lah yang mengilhami dan mempengaruhi Al-Farabi dalam
pemikiran politiknya yang akhirnya memunculkan istilah Al-Madinah Al-
Fadhilah yang tercantuk dalam beberapa karya politiknya. Hal yang dinginkan
oleh Al-Farabi adalah terciptanya masyarakat yang egaliter dengan seorang
pemimpin yang adil dan bijaksana, yaitu mendahulukan kepentingan bersama
serta mampu memnuntun masyarakatnya menuju kehidupan yang damai di
dunia dan akhirat.
Al-Madinah Al-Fadhilah yang dimaksudkan disana adalah terciptanya
masyarakat yang dapat mengetahui kebenaran dan berusaha menegakkannya
dalam bentuk kolaborasi dengan negara untuk membangun kesejahteran
bersama-sama. Oleh karena itu, dalam pandangan AL-Farabi, negara yang baik
yaitu negara yang dipimpin oleh para penginisiasai kebajikan yang tidak hanya
berfikir tentang materi saja, seperti nabi dan filsuf. Pemikiran Al-Farabi
memiliki relevansi dengan keadaan dan konteks Indonesia, walaupun ada juga
sisi yang membedakannya.

Pendapat Al-Farabi ini sejalan dengan pemikiran Jurgen Habermas


dalam karya tulisannya Between Facts and Norm yang dialamnya membahas
mengenai demokrasi deliberatif dan hal ini juga sejalan dengan pemikiran
Mohammad Natsir dalam Fiqhud Da’wah dan Islam Sebagai Dasar Negara
yang didalamnya membahas mengenai Teistik Demokrasi. Bila kita menilik
pendapat Habermas, ia menginginkan adanya komunikasi antara sesama di
ruang publik dengan setiap individu di ruang bicara, bisa saling mendengarkan,
dapat saling mengkritik, saling mengontrol, serta saling bertanggung jawab
atas tugas masing-masing termasuk juga didalamnya persoalan mengenai
Negara. Sedangkan jika melihat pendapat Natsir, ia menginginkan adanya
negara yang berdasarkan Islam, bukan negara Islam yang legal formal, sebab
Natsir pun tidak sepakat dengan eksistensi negara teokrasi.

PEMBAHASAN

Manusia dalam pandangan Al-Farabi, merupakan makhluk sosial yang


tidak akan hidup sendiri. Manusia akan hidup bermasyarakat dan saling
membantu untuk kepentingan bersmaa dalam mencapai tujuan kehidupan yaitu
kebahagiaan dan kesejahteraan.1 Sifat dasar ini yang menjadikan manusia
hidup berkelompok, bermasyarakat serta bernegara. Masyarakat terbaik adalah
masyarakat yang saling bekerja sama, saling membantu untuk mencapai

1
Al-Farabi, Kitab Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Beirut:Dar Al-Mashriq, 1996), Hlm. 118
kebahagiaan, yang pada akhirnya ia menamakannya dengan istilah Al-Madinah
Al-Fadhilah.

Membahas tentang hubungan masyarakat dan negara dalam perspektig


politik modern dan kontemporer, paling tidak akan memunculkan asumsi dasar
antara kuatnya posisi masyarakat berhadapan dengan negara atau malah negara
lebih kuat sebagai penindas rakyat. Pada dua asumsi inilah yang menjadi titik
penelitian tentang Al-Madinah Al-Fadhilah.

Diskursus yang membahas mengenai polemik konsep negara dan


masyarakat ini tidak hanya terjadi di lingkaran intelektual Barat. Bahkan di
lingkaran cendekiawan muslim pun telah terjadi perdebatan yang
berkepanjangan, sebab persoalan sistem politik dalam peradaban Islam akan
selalu menjadi hal yang menarik sepanjang sejarah kenegaraan di kalangan
kaum muslimin. Isu tentang antara Islam sebagai suatu sistem ritaul dan sistem
kehidupan yang integratif antara aspek ukhrawi dan aspek duniawi yang saling
terintegrasi, selalu menjadi pembahasan dalam pencarian konsep tentang
negara.

Bila kita melihat masa kini, hampir tidak ada di belahan dunia ini yang
belum secara utuh membentuk suatu negara atau dalam arti pada masa dewasa
ini konsep mengenai negara sudah teraplikasikan dalam kehidupan manusia.
Hanya saja, secara parktikal bernegara belum sepenuhnya bisa menjamin hak-
hak warga negara dan mampu memenuhi kepentingan hidup orang banyak,
baik itu emnyangkut ke dalam maupun keluar. Oleh karena itu, diskursus
tentang konsep negara akan selalu muncul di tengah kehidupan dalam
keberlangsungan suatu negara.

Idealnya, ada empat fungsi yang seharusnya diwujudkan sesuai dengan


tujuan terciptanya eksistensi sebuah negara, yaitu melaksanakan ketertiban,
mengusahakan kesejahteran dan kemakmuran rakyat, pertahanan, dan
menegakkan keadilan.2 Ketika fungsi-fungsi ini berjalan dan tecapai, maka
disitulah eksistensi AL-Madinah Al-Fadhilah dalam konsep negara Al-Farabi.
Beliau mendabakan sebuah kota yang penuh dengan egaliter, damai makmur
serta kehidupan bermasyarakatnya tenang.

a. Konsep Al-Madinah Al-Fadhilah

Bila mengulik pemikiran Al-Farabi mengenai Al-Madinah Al-Fadhilah,


banyak kalangan yang melihat gagasan ini sangat kental dipengaruhi oleh
pemikiran Plato dan Aristoteles. Oleh karena itu, Beliau kemudian dijuluki
sebagai guru kedua (al-mu’allim al-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles
yang dijuluki sebagai guru pertama (al-mu’allim al-awal)3. Kemudian konsep
pemikiran mengenai Al-Madinah Al-Fadhilah ini mulai banyak diterjemahkan
dengan beberapa istilah yang mirip oleh beberapa kalangan seperti Civil
Society dan masyarakat madani.

Berkenaan dengan gagasan mengenai Al-Madinah Al-fadhilah itu, Al-


Farabi sesungguhnya bertumpu pada dua hal utama yaitu:

1. Konsep tentang kepemimpinan, yaitu konsep yang menerangkan


mengenai tentang pemimpin dan yang dipimpin.
2. Konsep Kebahagiaan, Al-Farabi menegaskan bahwa manusia itu
membutuhkan seorang pemimpin (mu’allim) untuk menemukan
kebahagiaan.4

Pemikiran Al-farabi ini juga dilandasi pada dua alasan dalam realitas
yang ada pada diri manusia, yaitu manusia yang memiliki kecenderungan
untuk selalu mencari kebahagiaan hidup dan realitas bahwa manusia adalah
makhluk sosial, sejalan dengan konsep dari pemikiran Aristoteles bahwa
manusia itu ialah zoon politikon.bila ditilik secara alamiah, manusia tidak akan

2
Moh. Mufid, “Politik Dalam Perspektif Islam (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2004), hlm. 24
3
Atang Abdul Hakim, dkk., Filsafat Umum, dari metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia,
2008), Hlm. 447-449
4
Al-Farabi, “Al-Siyasah Al-Madaniyyah” (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1993), Hlm. 86
lepas dari kehidupan sosial dan karena itulah manusia akan terus berpolitik
untuk bertahan hidup atau dalam konteks lain, manusia kerap kali bersaing
untuk menjadi yang lebih dari yang lain.

Konsep Al-Madinah Al-Fadhilah ini ditawarkan oleh Al-Farabi dan


dinilai sangat dekat kaitannya dengan konsep Civil Society. Tatanan seperti
Civil Society maupun masyarakat madani merupakan bagian inheren dalam
kehidupan demokrasi, tetapi disisi lain Al-Farabi juga menolak adanya
kebebasan bagi warga negara, padahal dianatara syarat terbangunnya
demokrasi adalah pemberian kebebasan kepada masyarakat.5

Pandangan Al-Farabi yang lain, Beliau menjelaskan bahwa dalam


proses terjadinya pengkristalan tujuan rakyat kepada suatu bentuk dantujuan
yang sempurna dari rakyat yang sempurna, muncul beragam kota dengan
beragam corak kepemimpinan yang ada di dalamnya dan mempunyai tujuan
yang saling berlawanan dengan negara utama (Al-Madinah Al-Fadhilah). Oleh
karena itu, Al-farabi membagi negara menjadi empat macam selain istilah Al-
Madinah Al-Fadhilah, diantaranya adalah Al-Madinah Al-Jahiliyyah, Al-
Madinah Al-Fasiqah, Al-Madinah Al-Mubaddilah, dan Al-Madinah Al-Dallah.
Negara-negara ini menurut Al-Farabi merupakan negara yang sedang mencari
bentuk menuju negara utama dengan bermacam-macam tantangan yang di akan
dihadapi.

Keilmuan Al-Farabi yang menjadi komentator filsafat Yunani dari


Aristoteles dan Plato membuat ia memadukan dua pemikiran kedua tokoh ini
yang mempunyai pengaruh dalam sepanjang sejarah, karena bagi Al-Farabi
sendiri, pemikiran Plato dan Aristoteles tidak ada pertentangan apapun pada
sisi substansi, namun perbedaan itu hanya terlihat di bagian atau sisi luarnya
saja. Penguasaan Al-Farabi ini menyebabkan keilmuannya sangat dipengaruhi
dengan warna pemikiran dua filsuf Yunani itu, oleh sebab itu kemudian ia juga
disebut sebagai Neoplatonis Islam Pertama.

5
Masykuri Abdillah, “Demokrasi di Persimpangan Makna” (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1999), Hlm.134
b. Filsafat Politik Al-Farabi Dalam Pemikiran Politik Islam

Ada beberapa respon terkait dengan karya-karya Al-Farabi, baik itu di


bidang politik ataupun biang filsafat, hal ini menimbulkan perdebatan panjang.
Ada pihak yang menganggap Al-Farabi menjiblak pemikiran para filsuf
Yunani yaitu Aristoteles dan Plato. Ada juga pihak lain yang menganggap ia
mempunyai pemikiran sendiri. Tetapi memang corak pemikiran Al-farabi
banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani.

Namun walaupun begitu, sebagai seorang Muslim, Al-Farabi memberikan


analisis yang cukup tajam mengenai negara dan kepemimpinan negara
terhadap berbagai pemikiran filosofis Yunani dan mengarahkannya kepada
nilai-nilai keislaman. Salah satunya adalah ketika ia menggunakan istilah
Ijtima’ yang mengarah kepada sifat manusia pertama kali yang menghendaki
untuk berkumpul (Homo Socius).

Al-Farabi sendiri meletakkan agama dalam negara sebagai penjaga etika


dan moralitas. Dia memberi syarat yaitu bahwa pemimpin ideal Al-Madinah
Al-Fadhilah ialah seorang nabi atau filsuf, sekalipun kriteria ini dibuat cukup
baku oleh Al-Farabi. Bagi Al-Farabi, ketika syarat-syarat untuk menjadi
seorang pemimpin tidak terdapat hanya pada satu orang saja, maka negara bisa
dipimpin oleh beberapa orang secara bersama-sama.6 Selain itu, Al-Farabi juga
menyatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang rakyatnya dapat
bekerja sama dalam pembagian kerja secara proporsional. Dalam konteks ini,
ia mengibaratkan kehidupan bernegara dengan struktur anatomi anggota tubuh.
Tiap-tiap anggota tubuh memiliki tugas dan fungsi yang berbeda diantara satu
dengan yang lain.7

Al-Farabi juga membahas relasi antara teologi dan politik yang pada waktu
itu sangat jarang dibicarakan oleh orang. Pemikiran Al-Farabi tersebut adalah
refleksi dari penyataan dan uraian oelh Plato mengenai republik yang

6
Al-Farabi, Kitab Ara’ Ahli Al-madinah Al-Fadhilah (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1996), Hal.130
7
Ibid, Hal.87
dideskripsikan dalam bentuk kota utama. Dalam pemikiran Al-farabi ini, peran
teologi ini lebih dominan dari peran politik, bahkan menggesernya. Ia juga
mengemukakan tingkat-tingkat penghidupan manusia dari tingkat yang paling
rendah hingga ke tempat yang paling tinggi. Alfarabi membagi masyarakat
dalam 8 kelompok berdasarkan pertumbuhan ekonominya, diantaranya adalah
Al-Madinah Al-Nawabit, Al-Madinah Al-Bahimiyyah, Al-Madinah Al-
Dharurah, Al-Madinah Al-Hissah, Al-Madinah Al-Tabadul, Al-Madinah Al-
Naddzalah, Al-Madinah Al-Jama’iyah, dan Al-Madinah Al-Fadhilah.8

Pemikiran Al-Farabi mengenai negara ideal hampir sama dengan yang


dikatakan oleh Jurgen Habermas dengan konsep yang ia namakan sebagai
Demokrasi Deliberatif. Syarat lahirnya Demokrasi Deliberatif ini adakah
terpenuhinya kondisi-kondisi seperti:

1. Inklusif
Tidak ada pihak yang dieksklusifkan dari partisipasi dalam
perbincangan mengenai topik-topik yang masih relevan baginya bahkan
tidak ada informasi relevan yang dilarang.
2. Bebas Paksaan
Setiap orang bisa terlibat dalam berargumen secara bebas, tanpa
didominasi atau merasa tertindas dan terintimidasi.
3. Terbuka dan Simetris
Masing-masing partisipan dapat memberi ide, melanjutkan, dan
mempertanyakan perbincangan mengenai topik yang relevan, termasuk
prosedur-prosedur dari deliberatif.

Selain itu, para partisipan diperbolehkan untuk mengusulkan skop atau


agenda deliberasi-deliberasi publik. Pembahasan topik selalu terbuka,
diputuskan oleh mereka yang ikut berpartisipasi dalam diskusidan tetap tunduk
pada revisi jika itu diperlukan.9 Singkatnya, demokrasi deliberatif memberi

8
Al-Farabi, “Al-Siyasah Al-Madaniyyah” (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1993), Hlm. 87-92
9
Jurgen Habermas, Between Naturalism and Religion:Philosophical Essays(Cambridge:UK: Polity Press,
2008), Hlm. 120
syarat kepada semua pihak untuk saling memperlakukan sesama sebagai
teman setara (Equal) yang artinya setiap individu diberi ruang waktu untuk
bicara, saling mendengarkan, dan salingbertanggung jawab pada posisi masing-
masing.

Disisi lain, ada juga yang menamakan paradigma ini dengan sebutan
Quasi Sekuler (Mutualis Simbotik) atau negara sekuler-sekuler malu-malu.
Dalam quasi sekuler, negara menjamin keberlangsungan kehidupan beragama,
walaupun negara itu bukan negara berbasis agama. Dalam konteks ini, negara
berkepentingan secara kultural dan politik terhadap rakyat yang beragama,
terlebih lagi kepada agama yang diyakini secara mayoritas oleh rakyatnya.

Bentuk negara Quasi tersebut, secara substansial identik dengan teori


islam kultural seperti yang dipaparkan oleh Donal K. Emerson yang juga
memelihara agama.10 Umat beragama dilindungi dan difasilitasi untuk
melaksanakan ajaran agamanya. Hal yang diinisiasi oleh Al-Farabi sebenarnya
tidak berbeda jauh dengan konsep Demokrasi Deliberatif, Quasi dekuler dan
sejenisnya. Setelah melihat beberapa pandangan dari kacamata Al-Farabi
tentang posisi dan relasi agama dengan negara, dapat pula kita membayangkan
apa yang diinginkan oleh Al-Farabi tentang bentuk negara. Mengutip
pernyataan Sjadzali, sesungguhnya Al-Farabi menginginkan “Islam tidak perlu
demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%”.11

c. Konsep Masyarakat

Negara terbentuk karena dipengaruhi kebutuhan manusia untuk bisa


hidup bersama. Bisa dikatakan bahwa adanya sebuah negara adalah sebuah
keniscayaan dalam kehidupan dari seorang manusia. Dalam konteks ini,
kebutuhan yang diperlukan manusia adalah bersifat umum, yang dimana
maksudnya adalah mencakup semua kebutuhan, termasuk juga didalamnya
kebutuhan untuk tenang dalam melaksanakan ibadah. Al-Farabi sendiri yang
10
Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto (Jakarta:Gramedia, 2001)
11
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI Press, 1990),
Hlm.193
membahasakan atau memaknai kebahagiaan jasmani dan ruhani (sa’adah
maddiyyah wa ma’nawiyyah)

Teori politik Al-Farabi tentang negara utama bersumber pada


pengakuan tentang adanya eksistensi Tuhan dan pengabdian terhadap-Nya
atau teosentris. Hal ini sangat berbeda dengan teori-teori politik dan
kenegaraan Yunani. Polis, seperti yang dikatakan oleh Paul Cartledge,
bukanlah teokrasi. Penyembahan terhadap para dewa bagi bangsa Yunani itu
didasarkan pada pemikiran, konvensi dan kebiasaan yang pada akhirnya
dojadikan praktik dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semua penyembahan
tergantung pada individu manusia dan manusoa memiliki kebebasan untuk
memilih dewa, tempat, dan cara untuk memuja sesuai agama yang dipilih dan
ditawarkan di bawah naungan sebuah sistem politeisme yang jumlahnya
hampir tidak terbatas.

Bangsa Yunani melakukan penyembahan tanpa bantuan kelompok


agamawan, dogma ataupun kitab suci. Dalam pengertian yang lain, hal ini
menguatkan karakter keyakinan keagamaan dan praktik pemujaan yang
dilakukan bangsa Yunani itu sendiri yang sering disebut dengan Nomos, yang
memiliki arti yaitu hukum, seperti yang dicontohkan oleh hukum positif bangsa
Athena terhadap Socrates yang dihukum lantaran menyatakan bahwa tidak
sepantasnya ia mengakui dewa yang disembah di kota tersebut. Dengan
memakai landasan pada konsen ketuhanan tersebut, Al-Farabi kemudian
menytakan bahwa tujuan bernegara ialah untuk mendapatkan kebahagiaan serta
keadilan.

d. Konsep dan Bentuk Negara

Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi menyebut bentuk dan tujuan


dalam proses terbentuknya masyarakat ke suatu bentuk dan tujuan yang
komplit/sempurna dari masyarakat yang juga sempurna, muncul beragam
dengan berbagai corak kepemimpinan yang memiliki tujuan yang berlawanan
dengan negara utama. Negara-negara tersebut merupakan negara yang sedang
mencari bentuk menuju negara utama. Neagara-negara tersebut ialah Al-
Madinah Al-Jahiliyyah, Al-Madinah Al-Fasiqah, Al-Madinah Al-Mubaddilah,
dan Al-Madinah Al-Dallah.

Konsep besar yang dibawa oleh Al-Farabi dalam pemikiran politiknya


seperti yang tertulis dalam karya monumentalnya seperti, Ara’ Ahli Al-
Madinah Al-Fadhilah, yang dimaksud dengan Al-Madinah Al-Fadhilah adalah
terciptanya negara utama, yaitu negara yang semua warganya memiliki
pengertian-pengertian tentang sebab pertama dan segala sifatnya, segala bentuk
materi yang menjadi halangan terjalinnya hubungan dengan akal aktif, benda-
benda langit dan segala sifatnya. Dalam konsep negara selain Al-Madinah Al-
Fadhilah, Al-Farabi juga membuat konsep negara Al-Madinah Al-Jahiliyyah,
yaitu negara yang para warganya tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan
dan hal ini memang tidak pernah tidak pernah terlintas di dalam benak dan
pikiran mereka. 12

Kemudian Al-Farabi membagi beberapa bentuk negara dari Al-


Madinah Al-Jahiliyyah ke dalam sembilan kategori yaitu:

1. Al-Madinah Al-Daruriyah

Adalah sebuah negara yang para masyarakatnya memprioritaskan


persoalan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan mereka,
contohnya adalah makan, minum, berpakaian, tempat tinggal dan
menikah.

2. Al-Madinah Al-Baddalah

Adalah suatu negara yang para masyarakatnya menjadikan kekayaan


dan kemakmuran secara berlebihan sebagai tujuan hidup.

3. Al-Madinah Al-Khassah wa Al-Suqut

12
M. Asy’ari Muthhar, The Ideal State: Perspektif Al-Farabi Tentang Konsep Negara Ideal (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2018), Hal. 175
Adalah suatu negara yang tujuan hidup para masyarakatnya hanya
berburu kesenangan dan kenikmatan. Kenikmatan dalam arti dan bentuk
kenikmatan indrawi dan khayali itu mereka jadikan sebagai senda gurau
dan main-main.

4. Al-Madinah Al-Karamah

Adalah suatu negara yang tujuan para masyarakatnya adalah untuk


meraih kehormatan dan pujian dari bangsa lain.

5. Al-Madinah Al-Jama’iyyah

Adalah suatu negara yang tujuan inti para masyarakatnya ialah


memperoleh kebebasan yang tanpa batas sehingga mereka dapat
melampiaskan hawa nafsu.

6. Al-Madinah Al-Fasiqah

Adalah suatu negara yang pandangan-pandangan para warganya


sebagaimana pandangan negara utama. Mereka mengetahui konsep
kebahagiaan dengan cara meyakini akan adanya tuhan, benda-benda
langit dan akal aktif. Tetapi yang mereka lakukan sangatlah bertolak
belakang dengan pandangan mereka.

7. Al-Madinah Al-Mubaddilah

Yaitu sebuah negara yang pandangan dan perbuatan penduduknya


pada mulanya sama dengan pandangan dan perbuatan masyarakat
utama, kemudian beralihh dari pandangan itu karna kemasukan
pandangan dari yang lain sehingga menyeleweng dan menyebabkan
negara menyimpang sangat jauh dari garis nilai negara utama.

8. Al-Madinah Al-Dallah

Merupakan negara yang para warganya memprediksi adanya


kebahagiaan sejati setelah mati, tetapi mereka berubah pikiran.
Penduduk ini mempercayai eksistensi Tuhan, para malaikat dan akal
aktif tetapi dengan keyakinan yang rusak dan diekspresikan dalam
bentuk patung-patung dan khayalan.

9. Nawaib Al-Mudun

Dalam bentuk negara ini, ada banyak kelompok atau komunitas


mandiri yang hidup bebas dala sebuah negara. Hal ini dapat dikatakan
sebagai cikal bakal civil society. Ada beberapa kelompok didalamnya
yang berpegang pada sesuatu yang mereka anggap akan mengantarkan
mereka pada kebahagiaan, tetapi dengan perbuatan yang mereka lakukan
itu mereka tidak memperoleh kebahagiaan sebagaimana yang mereka
impikan.

Selain itu menurut Al-Farabi adalah orang yang patut mejadi pimpinan
utama pada negara utama itu haruslah orang yang paling baik dan istimewa
diantara orang lain. Karena ia adalah panutan bagi seluruh orang. Selain itu,
menurut Al-Farabi, pemimpin yang tersebut yaitu haruslah seorang agamawan,
sufi, filsuf, dan tokoh masyarakat yang baik dan patut di contoh karena ialah
yang dijadikan kiblat yang akan ditiru masyarakatnya. Baginya ada tiga
golongan yaitu manusia yang memiliki kapasitas untuk memandu dan
menasehati, manusia yang dapat berperan sebagai penguasa subordinat yang
memimpin sekaligus dipimpin, dan yang terakhir adalah manusia yang dikuasai
sepenuhnya atau tanpa kualifikasi.

KESIMPULAN

Pemikiran politik Al-Farabi, menempatkan masyarakat sebagai elemen


penting dalam rangka terbentuknya negara. Dalam melaksanakan kehidupan
bernegara, masyarakat harus ikut memberikan andil dan kontribusi sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing. Peran dari masyarakat itu
digambarkan Al-Farabi seperi anggota tubuh manusia, yang mempunyai
elemen tugas dan fungsinya masing-masing dan sesuai kapasitasnya tanpa
overlapping.
Pemimpin memiliki peran sentral dan penting dalam menjalankan roda
kehidupan sebuah negara, tetapi tetap membutuhkan bantuan dan bekerja sama
yang baik dengan elemen yang lain. Oleh sebab itu, Al-Farabi menginginkan
adanya kebebasan (Al-Hurriyah) seluruh masyarakat agar bisa melakukan
kegiatan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tugas pemimpin itu
memberikan arahan agar tetap sesuai dengan ajaran dan tuntunan agama dan
tidak menyeleweng dari tujuan terbentuknya sebuah negara, yaitu tercapai
kebahagiaan dan keadilan di dunia dan akhirat.

Pemikiran Al-Farabi banyak tertuang dalam karya-karyanya terutama


dalam buku Al-Siyasah Al-Madaniyah dan buku Ara’ Ahl Al-Madinah Al-
Fadhilah. Dengan 2 buku nya tersebut, ia telah memberikan kontribusi besar
terhadap pekembangan diskursus demokrasi selanjutnya. Pada dua buku
tersebut dia membahas mengenai kehidupan bernegara, mulai kerjasama
pemimpin dengan masyarakat, peran masyarakat dalam bernegara sampai
kehidupan bersama antar masyarakat.

Al-Farabi menawarkan pemikiran politik yang dianggap sebagai


fondasi dalam demokrasi di abad modern, walaupun pemikirannya banyak
diwarnai oleh corak pemikiran dari beberapa filsuf Yunani separti Plato dan
Aristoteles namun pemikiran Al-Farabi masih berada dalam pengaruh
religiusitasnya sebagai penganut agama Islam. Hal ini terlihat dalam
pemikirannya mengenai kebebasan.

Menurut Al-Farabi, kebebasan (Al-Hurriyyah) sebagai bagian dari Al-


Madinah Al-Jahiliyyah, bukan untuk Al-Madinah AL-Fadhilah yang telah ideal
di pandangannya. Hal ini kemudian ditafsirkan kembali oleh beberapa
cendekiawan setelahnya, bahwa yang dimaksud kebebasan oleh Al-Farabi itu
sendiri adalah kebebasan yang tanpa batas, yang berarti selama masih dalam
kontrol pemimpin, kebebasan tersebut malah menjadi salah satu modal untuk
terciptanya konsep Al-Madinah Al-Fadhilah yang dianggapnya sebagai konsep
negara yang ideal.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi, “Al-Siyasah Al-Madaniyyah” (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1993)

Al-Farabi, Kitab Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Beirut:Dar Al-Mashriq, 1996)

Atang Abdul Hakim, dkk., Filsafat Umum, dari metologi Sampai Teofilosofi (Bandung:
Pustaka Setia, 2008)

Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto (Jakarta:Gramedia, 2001)

Jurgen Habermas, Between Naturalism and Religion:Philosophical Essays


(Cambridge:UK: Polity Press, 2008)

M. Asy’ari Muthhar, The Ideal State: Perspektif Al-Farabi Tentang Konsep Negara
Ideal (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018)

Masykuri Abdillah, “Demokrasi di Persimpangan Makna” (Yogyakarta:Tiara Wacana,


1999)

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI
Press, 1990)

Moh. Mufid, “Politik Dalam Perspektif Islam (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2004)

Anda mungkin juga menyukai