• Dalam Pancasila.
• Ketika menjelaskan sila ketuhanan di hadapan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945,
Sukarno menyatakan:
• Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w.,
orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-
tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat
hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama.” Dan
hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan. (Sukarno, Pancasila sebagai
Dasar Negara, cet.1 (Jakarta: Inti Idayu Press & Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, h. 47).
Bagi Sukarno, pengakuan akan ketuhanan ini mempunyai makna bahwa dasar ketuhanan
ini harus menjadi penunjuk jalan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang
mengejar kebajikan dan kebaikan (Sukarno, Pancasila sebagai Dasar Negara, cet.1 (Jakarta: Inti
Idayu Press & Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, h. 47)
LANJUTAN…
• Hatta menulis:
• Akibat dari pada meletakkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa di atas,
sekalipun Pancasila dalam keadaannya tidak berubah, ialah bahwa
politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha
Esa tidak lagi hanya hormat menghormati agama masing-masing,
melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Dengan dasar ini sebagai
pimpinan dan pegangan dalam kesatuan Pancasila, pemerintahan negara
pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk
mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian
dunia yang abadi serta persaudaraan bangsa-bangsa. (Mohammad Hatta,
Bung Hatta Berpidato Bung Hatta Menulis (Jakarta: Mutiara, 1979, h. 98).
LANJUTAN…