Anda di halaman 1dari 8

PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI DAN

PANCASILA: IKHTIAR MENCARI TITIK TEMU


1
TITIK TEMU, BUKAN PERBANDINGAN

• Misalnya titik temu agama-agama. Dalam keragaman agama yang


berbeda syari’at dan jalannya, terdapat titik temunya. Titik temu ini
ada pada tingkat esoterik, sifatnya adikodrati dan tak seorang pun
mampu menjelaskannya dalam nada yang sama. Karena tidak
termasuk pengetahuan umum, sedikit sekali orang yang dapat
memahaminya. (Huston Smith, “Pengantar,” dalam Frithjof Schuon, Mencari Titik
Temu Agama-Agama, penerjemah: Saafroedin Bahar, cet. 3 (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1996, h. xi-xxv).
• Contoh lain mengenai titik temu dapat ditemukan dalam al-Qur’an sendiri ketika
menyeru Ahli Kitab untuk menerima titik temu (kalimah sawa>’) antara kaum
Muslimin dan mereka bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. (QS. A<li ‘Imra>n [3]: 64).
PROBLEM METODOLOGI

• (1) Bagaimana mempertemukan pemikiran politik al-Farabi yang mengidealkan


sistem pemerintahan aristokrasi dengan Pancasila yang menganut sistem
pemerintahan demokrasi.
• Penulis mencari substansi pemikiran politik al-Farabi untuk dipertemukan dengan
Pancasila. Melalui penelusuran seksama pada Kita>b A<ra>’ Ahl al-Madi>nah
al-Fa>d}ilah, penulis mendapati bahwa substansi pemikiran politik al-Farabi
terletak pada penekanan persoalan metafisika sebagai basis keidealan negara.
Inilah yg hendak dipertemukan dengan Pancasila karena terdapat kesejalanan.
• (2) Bagaimana mempertemukan pemikiran politik al-Farabi yang tertulis dalam
beberapa kitabnya dengan Pancasila yang terumuskan dalam lima kalimat saja.
• Penulis berpendapat bahwa Pancasila hanya dapat dipahami secara utuh jika
dilengkapi dengan pemikiran yang melatari kelahirannya dan juga tafsir yang
menjelaskan kandungan maknanya
DUA TITIK TEMU

• (1) Metafisika sebagai Titik Berangkat


• Kita>b A<ra>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah adalah kitab politik yang
unik karena pembahasan metafisikanya lebih banyak daripada
pembahasan politik itu sendiri. Hampir dua pertiga awal dari pembahasan
kitab tersebut berisi pembahasan mengenai persoalan metafisika.
• Menariknya, pembahasan metafisika ini bukanlah pembahasan yang tidak
ada kaitannya dengan kehidupan politik. Persoalan metafisika atau
filsatat menyatu dengan persoalan politik. Politik harus punya
sandaran filsafat/metafisika, dan filsafat/metafisika harus
berorientasi politik. Dalam bahasa Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n
Marh}aba>, pemikiran politik al-Farabi adalah pemikiran politik yang
bercorak filsafat (siya>sah falsafi>yah), dan pemikiran filsafatnya adalah
pemikiran filsafat yang bercorak politik (falsafah siya>si>yah)
LANJUTAN…

• Penulis akan menyebutkan tiga contoh bagaimana pemikiran politik al-Farabi


tidak dapat dipahami tanpa pemikiran filsafatnya :
• (a) Pemimpin politiknya al-Farabi adalah orang yang mampu berhubungan
dengan akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘a>l)
• (b) Kebahagiaan warga negara berkaitan erat dengan filsafat jiwa. Di antara
potensi jiwa manusia adalah potensi bicara (al-quwwah al-na>t}iqah) yang
dengannya manusia dapat menangkap objek-objek akal yang pertama. Objek-
objek akal inilah yang memunculkan perenungan dan pemikiran, dan inilah
kebahagiaan.
• (c) Kebahagiaan warga negara berhubungan erat dengan ilmu mantik. Al-Farabi
membagi kelezatan menjadi dua macam, yakni kelezatan jasadiah-inderawi, dan
kelezatan akliah-intelektual. Al-Farabi menyarankan agar menjauhi kelezatan
yang pertama dan mengejar kelezatan yang kedua. Ilmu yang dapat membantu
mengetahui dan membedakan keduanya adalah ilmu mantik
LANJUTAN…

• Dalam Pancasila.
• Ketika menjelaskan sila ketuhanan di hadapan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945,
Sukarno menyatakan:
• Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w.,
orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-
tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat
hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama.” Dan
hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan. (Sukarno, Pancasila sebagai
Dasar Negara, cet.1 (Jakarta: Inti Idayu Press & Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, h. 47).
Bagi Sukarno, pengakuan akan ketuhanan ini mempunyai makna bahwa dasar ketuhanan
ini harus menjadi penunjuk jalan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang
mengejar kebajikan dan kebaikan (Sukarno, Pancasila sebagai Dasar Negara, cet.1 (Jakarta: Inti
Idayu Press & Yayasan Pendidikan Soekarno, 1984, h. 47)
LANJUTAN…

• Hatta menulis:
• Akibat dari pada meletakkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa di atas,
sekalipun Pancasila dalam keadaannya tidak berubah, ialah bahwa
politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha
Esa tidak lagi hanya hormat menghormati agama masing-masing,
melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Dengan dasar ini sebagai
pimpinan dan pegangan dalam kesatuan Pancasila, pemerintahan negara
pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk
mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian
dunia yang abadi serta persaudaraan bangsa-bangsa. (Mohammad Hatta,
Bung Hatta Berpidato Bung Hatta Menulis (Jakarta: Mutiara, 1979, h. 98).
LANJUTAN…

• (2) Moralitas Lahir dari Pengetahuan Metafisika


• Dalam tradisi ilmiah para filosof Muslim, kajian etika tidak terlepas dari kajian
metafisika. Kajian etika tidak dapat dipahami tanpa sebelumnya memahami kajian
metafisika. Hubungan keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindi terhadap karya-
karya etika Aristoteles. Meskipun karya-karya etika sangat terkait dengan persoalan
jiwa, kesempurnaan karya-karya etika Aristoteles tersebut hanya menjadi jelas setelah
seseorang memahami ajaran metafisika Aristoteles. Karya-karya etika adalah buah
dari ajaran metafisika (Charles E. Butterworth, “Al-Kindi and the beginnings of Islamic Political
Philosophy,” dalam Charles E. Butterworth, The Political Aspects of Islamic Philosophy, Essays in
Honor of Muhsin S. Mahdi (Massachusetts: Harvard University Press, 1992, h. 23.
• Dalam ilmu politik, para filosof Muslim memandang bahwa fokus ilmu ini adalah
martabat manusia, yakni mendorong manusia melewati batas dirinya dan mencoba
menaikkan dirinya ke tingkat malaikat. Tujuan tertinggi manusia, dalam pandangan
para filosof, adalah kesempurnaan intelektual dan moral. Tujuan tertinggi manusia ini
tidak lain merupakan implikasi moral dari metafisika.

Anda mungkin juga menyukai