Anda di halaman 1dari 3

Nama : IMANUDDIN

Nim : 105611105620

Kelas : IAN 6 B

RESUME AIK kelompok 6 “PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KLASIK”

Pemikiran politik Islam sesungguhnya merupakan suatu usaha (ijtihad) ulama yang
merefleksikan adanya penjelajahan pemikira spekulatif rasional dalam rangka mencari
landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara serta pemerintahan sebagai
sebuah factor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesajahteraan rakyat,baik
yang lahir maupun batin.Disamping itu, barangkali bisa ditambahkan pula bahwa
lahirnya ijtihad politik yang spekulatif itu juga didorong oleh suatu keinginan untuk
mendapatkan legitimasi dalam rangka mempertahankan sebuah tatanan politik yang
ada.

Latar Belakang dan Situasi. politik Masa Ibnu Abi Rabi’. Sarjana muslim yang dianggap
pertama yang menuangkan gagasan teori politiknya adalah Ibnu Abi Rabi` dalam
karyanya;Sulukal-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik (Kebijakan Raja Dalam Mengelola
Pemerintahan).

Ibnu Abi Rabi` hidup di Baghdad pada masa pemerintahan Mu`tasim Billah, Khalifah
Dinasti Abbasiyah ke delapan dan putra Khalifah Harun al-Rasyid dan yang
menggantikan abangnya, alMakmun. Tentang sosok seorang pemikir politik muslim ini
Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa tidak banyak yang dapat diketahui tentang Ibnu
Abi Rabi`, selain Dia sebagai penulis buku yang berjudul Suluk al- Malik Fiy Tadbir al-
Mamalik. Oleh karena tidak banyak yang diketahui tentang ilmuan politik Islam ini, wajar
jika kemudian para peneliti di kemudian hari berbeda pendapat tentang waktu ( al-fatrah
) yang tepat, kapan buku tersebut ditulis oleh Ibnu Abi Rabi. Perbedaan pendapat juga
terjadi pada nama Khalifah di mana buku tersebut dipersembahkan ?apakah Khalifah al-
Mu`tashim Billah ataukah Khalifah al-Musta`shim, yaitu Khalifah terakhir dari Dinasti
Abbasiyah yang terbunuh akibat serangan Tentara Mongol di Baghdad pada tahun 1258
M. Ibnu Abi Rabi` berpendapat bahwa manusia secara fitrahmemerlukan yang lainnya
untuk memenuhi semua keperluan hidup, dan tidak mungkin mereka dapat menutupi
semua kebutuhan hidupnya tanpa ada kerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu
manusia memerlukan yang lainnya, maka antara manusia yang satu dengan yang
lainnya saling memerlukan sehingga terjadi interaksi antara sesama mereka. Hal ini
menjadikan mereka saling bantu membantu dan bermasyarakat, serta menetap di suatu
tempat. Dari proses inilah terbentuknya kota-kota. Dalam kaitannya dengan bentuk atau
model pemerintahan, Ibnu Abi Rabi` lebih memilih bentuk pemerintahan yang
berdasarkan monarki atau kerajaan. Monarchi adalah sistem pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang raja berdasarkan warisan alur keturunan. Oleh karena itu, Ibnu
Abi Rabi` tidak memilih model-model pemerintahan lain, seperti
aristokrasi,oligarchi,demokrasi, ataupun demagogik. Dalam konteks ini Ibnu Abi Rabi`
memberikan argumentasi terkait pemikirannya tentang model pemerintahan dalam
bentuk monarchi, yaitu bahwa jika sebuah negara dipimpin oleh banyak pemimpin,
maka perpolitikan akan kacau, banyak konflik yang menyebabkan negara selalu gonjang
ganjing (tidak stabil). Atas dasar argumentasi ini, warga masyarakat merasa perlu
seorang pemimpin tunggal dalam pemerintahan kerajaannya.

Latar Belakang dan Situasi Politik Masa al-Farabi

Al-Farabi adalah Nashar Muhammad bin Muhammad bin Thurkhan bin Unzalagh. Al-
Farabi dilahirkan di Turkey dari seorang ayah berketurunan Turkey dan ibu berketurunan
Persia (Iran).Latar belakang situasi dan kondisi politik pada masa hidupnya al-Farabi di
era kekuasaan Dinasti Abbasiyah sangat kacau dan tidak kondusif. Hal ini karena
banyaknya goncangan sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan
pemberontakan; suatu periode pemerintahan yang paling buruk dalam sepanjang
sejarah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Situasi ini berdampak pada tidak adanya
stabilitas politik dalam kehidupan masyarakat dan penduduk wilayah kekuasaan
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya antara era pemerintahan Khalifah
alMu`tamid sampai Khalifah al-Mu`thi`.Kondisi ini diperparah dengan adanya tindakan
konspirasi dari anak-anak para penguasa dan pemerintah di masa lalu yang berupaya
mempertahankanstatus quo, kembali untuk berkuasa sebagaimana kakek-kakek
mereka dahulu. Hal ini terjadi, terutama di Persia dan Turkey. Al-Farabi menjadikan
politik sebagai ilmu yang sangat penting, di mana ilmu-ilmu lainnya melayaniilmu politik.
Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa kecenderungan pada politik menguasai
pemikiran al-Farabi, dan bahkan politik mengarahkannya pada suatu pendirian bahwa
masalah-masalah filsafat semuanya tunduk (dalam arti melayani) pada politik.

Dengan demikian, al-Farabi telah menghubungkan hal-hal yang ideal (al-fadhail) dengan
mazhab politiknya (bi mazahibihi alsiyasiy), di mana al-Farabi berpendirian bahwa untuk
mencapai halhal ideal (al-fadhail) yang bermacam-macam itu, baik aspek pemikiran,
akhlak (moral, etika yang baik), wawasan, pemberdayaan kinerja (al-shanaatu al-
`amaliyah) pada umat, semuanya dapat dicapai secara efektif melalui dua pola utama,
yaitu; melalui pengajaran dan praktek ( al-ta`lim wa al-ta`dib ). Pengajaran (alta`lim)
adalah pola untuk melahirkan pandangan-pandangan ideal tentang umat dan peradaban
mereka. Sementara praktek (al-ta`dib) adalah pola untuk menciptakan atau melahirkan
perilaku atau tindakan- tindakan ideal, pemberdayaan kinerja yang ideal bagi umat.
Pengajaran (al-ta`lim) dapat dilakukan melalui ucapan, sementara praktek bisa melalui
ucapan, dan bisa juga melalui tindakan atau perbuatan. Atas dasar inilah gagasan-
gagasan al-Farabi terkait dengan akhlak (perilaku yang baik) ada hubungan yang sangat
erat dengan mazhab filsafat al-Farabi, terutama mazhab politiknya, Hal ini karena
pengajaran dan praktek tidak dapat sempurna atau efektif, melainkan harus ditangani
oleh seorang pengajar dan pendidik (mu`allim dan mu`addib). Seorang pengajar dan
pendidik ini menurut al-Farabi adalah sebenarnya kepala negara (Rais alMadinah)atau
orang yang mewakili kepala negara. Dengan demikian, al-Farabi telah menghubungkan
politik dengan akhlak dan filsafat. Namun demikian, sebenarnya hal yang sama sudah
dilakukan oleh para Failosof Yunani dahulu. Neo Platonisme sudah menghubungkan
pandangan politik mereka dengan akhlak dan filsafat.

Negara Dalam Konsepsi Al-Mawardi,

Al-Mawardi sangat memahami kondisi dan situasi politik yang berjalan saat itu, maka
dapat ditegaskan bahwa negara yang dikonsepsikannya adalah negara monarchi
meskipun kepala negara menggunakan gelar khalifah, karena dalam hal ini alMawardi
tidak menawarkan bentuk lain selain sistem pemerintahan yang sudah berjalan secara
tradisi sejak masa Dinasti Umayah dan dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah. Kritikan-
kritikan yang disampaikannya terfokus pada perbaikan atau reformasi dalam berbagai
aspeknya. Terkait dengan pemikiran dan gagasan politik yang tertuang di dalam
berbagai karya para pemikir dan ulama Islam adalah berdasarkan hasil pengamatan dan
analisis terhadap apa yang terjadi di dalam masyarakatnya yang selalu berubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan dinamika kehidupan manusia pada setiap
kondisi.Dinamika kehidupan masyarakat, meskipun di sana sini terjadi perubahan dan
perbedaan sebagai realitas yang tidak dapat dihindari, para pemikir dan penggagas
muslim tetap berpijak pada ajaran agama yang bersumberkan al-Qur`an dan Sunnah
Nabi sebagai kerangka rujukan utama dalam melihat perubahan-perubahan kehidupan
masyarakat tersebut. Oleh karena itu, pemikiran- pemikiran politik Ibnu Abi Rabi`, al-
Farabi, al-Mawardidan al-Ghazali tidak terlepas dari batasan- batasan al-Qur`an dan
Sunnah Nabi. Maka hasil pemikiran-pemikiran politik yang mereka tuangkan dalam
berbagai karyanya adalah integratif, yaitu pemikiran politik yang terintegrasi dengan
ajaran agama.

Anda mungkin juga menyukai