Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Muhammad Nabil kalla

Kelas : 1 TE 3
Nim : 932022067

Kontrak sosial
Sejarah. Menurut perjalanan sejarahnya, tiap kali seorang kepala Negara (Khalifah)—
terutama empat orang khalifah pertama—yang dipilih melalui proses pemilihan antara lain
pada tahun 11 H (632M.), 13 H. (634M.), 23H. (644M.) dan 35H. (656M), kerap kali setelah
itu diadakan persetujuan umum yang isinya berupa pemberian kekuasaan (mandat) dan
dukungan formal kepada Khalifah terpilih yang kemudian sering disebut dengan istilah
Bay’ah. Eksperimen historis yang merupakan wujud dari usaha pengejawantahan prinsip-
prinsip Al Qur’an tentang ajaran syura itu kemudian mengilhami karya-karya fiqih di masa
sesudahnya yang berusaha mendefinisikan dan memberi persyaratan bagi syah tidaknya
pengangkatan kepala negara dan hubungan legal dirinya dengan rakyatnya. Di antara karya-
karya tersebut adalah karya al-Mawardi yang berjudul alAhkam al-Shulthaniyyah wa al-
Wilayah al-Diniyah yang di dalamnya antara lain membahas tentang teori kontrak sosial. Al-
Mawardi adalah seorang tokoh pemikir politik Islam yang memiliki nama lengkap Abu Hasan
Ali Ibn Muhammad Ibn Habib alMawardi al-Bashri. Ia lahir di Bashrah tahun 974M/364H.
dan wafat tahun 1058M./450H. Kota Bashrah pada waktu itu merupakan salah satu pusat
studi dan pusat pendidikan dunia Islam. Di sanalah ia pertama kali mendapatkan pendidikan
Al Qur’an , Hadits, dan ilmu Fiqh. Khusus untuk ilmu Hadits ia berguru pada Hasan Ibn Ali Ibn
Muhamad al-Jili dan Muhammad Ibn al-Mu’allah al-Azdi. Sedangkan ilmu Fiqh ia peroleh
dari Abu al-Qashim al-Shaimari dan Abu Hamid al-Isfirani di Baghdad. Al-Mawardi terkenal
sebagai tokoh terkemuka mazhab Syafi’I dan bahkan salah seorang pejabat tinggi
berpengaruh pada masa pemerintahan Abbasiyah. Setelah berpindah-pindah dari satu kota
ke kota lain sebagai hakim/Qadli, ia akhirnya kembali menetap di Baghdad dan mendapat
kedudukan sebagai orang terhormat pada masa Khalifah al-Qadir. Al-Mawardi hidup di saat
kekhalifahan tengah mengalami degradasi dan disintegrasi politik sampai pada titik yang
belum pernah terjadi sebelumnya tepatnya antara tahun 350H. sampai 450H. Suasana dan
kondisi yang dimaksud adalah di mana khalifah walaupun secara formal memeiliki
kedaulatan konstitusional, namun secara factual otoritas politiknya terpaksa telah ditransfer
pada para amir di berbagai wilayah baik pada keluarga Persia maupun Turki. Hal ini
memuncak hingga dikuasainya Baghdad oleh Bani Buwaihi (945M-1055M/334H-447H) dan
selanjutnya dikuasai Bani Saljuk (1055M-1258M/447H-656H). Al-Biruni (w. 1048M/440H)
yang menyaksikan langsung kondisi politik seperti itu antara lain menyatakan bahwa yang
tinggal di tangan khalifah Bani Abbas hanyalah masalah agama dan kepercayaan saja, bukan
urusan duniawi. Para pemimpin yang ada dari anak cucu al-Abbas sekarang hanyalah
sebagai kepala agama Islam, bukan raja. Selain sebagai hakim yang tegas dan pemberani, ia
juga dikenal sebagai tokoh diplomat yang ulung dan dihormati di kalangan raja-raja Bani
Buwaihi. Ia juga pernah menjadi utusan khalifah al-Qa’im untuk menemui Tughrul Bek pada
tahun 433H. Sebagai ilmuan. Al-Mawardi termasuk seorang penulis yang produktif. Karya-
karyanya tidak terbatas pada stu cabang ilmu saja tapi juga berbagai cabang ilmu baik
bahasa, sastra, tafsir, fiqh dan politik ketatanegaraan. Diantaranya ; al-Nuhat wa al-Uyun,
Kitab al-Hawi alKabir, Kitab Adab al-Qadhi, Kitab A’lam al-Nubuwwah, Kitab al-Amtsal wa al-
Hikam, Kitab Nasihat al-Mulki, Tashil al-Nazhar wa Ta’jil al-Zhafa, Adab al-Dunya wa al-Diin,
lalu Qawaniin al-Wizarah dan al-Ahkan alShulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah. Di antara
sekian banyak karya yang paling terkenal adalah kitab Adab al-Dunya wa al-Diin (tatakrama
kehidupan duniawi dan agamawi) dalam bidang sosiologi dan buku alAhkam al-
Shulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah dalam bidang politik ketatanegaraan. Buku tersebut
selain sebagai buku konstitusi umum untuk Negara, juga berisi pokok-pokok kenegaraan
seperti tentang jabatan khalifah dan syarat-sayarat bagi mereka yang dapat diangkat
menjadi pemimpin (kepala Negara) dan para pembantunya baik yang ousat maupun daerah,
dan tentang perangkat-perangkat pemerintahannya. Selain itu, dalam buku tersebut, al-
Mawardi juga mengemukakan pemikirannya tentang Teori Kontrak Sosial, di mana
hubungan antara Ahl al-Halli wa al-Aqdi (Ahl alIkhtiyar)4 dan Imam (kepala Negara) adalah
merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian adas dasar
sukarela, yaitu suatu kontrak atau persetujuan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Penelitian tentang gagasan teori ini menjadi
menarik saat ini karena ide atau gagasan yang dilontarkan oleh al-Mawardi itu dikemukakan
pada sekitar abad ke-11 sedangkan di Eropa pemikiran tentang teori ini baru muncul pada
sekitar abad ke-16 yang antara lain dikemukakan oleh Hubert Languet (1519-1581), Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632- 1704) dan Jean Jaques Reausseu (1712-1778).

Tokoh Thomas Hobbes adalah salah satu filsuf politik yang terkemuka. Dia hidup bersamaan
dengan keadaan korup Inggris abad ke-17. Tidak seperti Locke, dia adalah seorang filsuf
yang sulit untuk diklasifika-sikan pada kelompok tertentu Dia. Thomas Hobbes adalah salah
satu filsuf politik yang terkemuka. Dia hidup bersamaan dengan keadaan korup Inggris abad
ke-17. Tidak seperti Locke, dia adalah seorang filsuf yang sulit untuk diklasifikasikan pada
kelompok tertentu. Dia merupakan seorang empiris tetapi dia sangat berbeda dengan para
empiris lainnya. Dia begitu mengagumi metode matematis baik matematika murni maupun
aplikasinya (Russel, 2007:717). Kecenderungan inilah yang membuat Hobbes dipandang
pula sebagai seorang rasionalis (Suhelmi, 2001:169; Syam, 2007:117). Pada mulanya,
Hobbes menganalogikan manusia seperti jam tangan. Manusia dapat bergerak dan bekerja
karena manusia adalah perangkat mekanis. Kemudian, Hobbes mulai berpikir bahwa apa
yang menggerakkan manusia adalah nafsunya. Nafsu yang paling kuat dalam diri manusia
adalah nafsu untuk mempertahankan diri (Fibriamayusi, 2013:97). Senada dengan diatas,
MagnisSuseno (1992:72) berpendapat bahwa “ia (Hobbes) memandang manusia sebagai
mesin tanpa kebebasan dan akal budi, tanpa suara hati dan rasa tanggung jawab...ia
membangun suatu tatanan sosial memandang semua warga negara adalah suatu
mekanisme yang perlu ditertibkan”. Akan tetapi, Hobbes terlihat begitu dipengaruhi oleh
Galileo Galilei. Jika Galileo berpendapat bahwa alam semesta ibarat mesin raksasa dan
manusia tidak lebih dari mesin-mesin kecil, maka Hobbes menambahkan manusia sebagai
mesinmesin yang berpikir (Suhelmi, 2001:170). Asumsi seperti ini yang kemudian dia
kembangkan dalam teori kontrak sosial. Dengan mengakui kekuatan akal dan nafsu dia
berupaya untuk mencari jalan keluar permasalahan masyarakat. Kehidupan manusia
sebelum terbentuknya negara digambarkannya sebagai keadaan alamiah.manusia hanyalah
suatu usaha terus menerus dalam memuaskan hawa nafsu dan mencari kebahagiaan dan
menghindari apa yang tidak disukainya. Hakikat alamiah tersebut akan membawa manusia
untuk saling bersaing dan berebut kuasa. Manusia akan saling memerangi manusia lainnya.
Ketiga faktor yang membuat mereka bertarung adalah (1) kecenderungan untuk meraih
kebesaran diri; (2) faktor kesetaraan manusia; dan (3) faktor agama (Suhelmi, 2001:171).
Oleh karena itu, mereka akan melakukan apapun yang menurut mereka akan menjamin
keberlangsungan hidupnya sendiri, tanpa memandang apakah hal itu akan menyakiti yang
lain ataupun bertentangan dengan hukum ilahi (Fink, 2010:49). Naluri mempertahankan
nyawa inilah yang membawa Hobbes untuk berasumsi bahwa manusia dapat ditertibkan
apabila nafsunya dibatasi. Manusia sangat membutuhkan kekuasaan bersama untuk
menghindari pertumpahan darah. Kebersamaan tersebut (kontrak atau perjanjian sosial)
mendorong manusia untuk membentuk sebuah negara atau kedaulatan.Mereka
menyepakati agar negara memaksa mereka menjadi makhluk sosial. Penguasa diberikan
otoritas untuk menciptakan pembedaan dalam masyarakat (Fink, 2010:59). Selain itu, ketika
mereka telah bersepakat maka Segala hak mereka berakhir dan harus menaati semua
aturan penguasa (Hadiwijono, 1980:34-35). Dengan kata lain, masyarakat melalui negara
memiliki peran yang fundamental dalam mengatur interaksi antar manusia. K inerja
penguasa sistem dan pemerintahan negara Indonesia dalam lima tahun terakhir yang jauh
dari harapan rakyat dan pemilih dalam pemilu pertama di era reformasi pada 1999,
tampaknya melatari w acana politik tentang kontrak sosial menjelang Pemilu 2004.
Diperbincangkan argumen penggunaannya untuk memperbaiki proses Pem ilu dan terutam
a kinerja pemimpin yang terpilih dan berkuasa atas negara. D iperdebatkan kem ungkinan
formatnya yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia dewasa ini. Dibahas pula strategi untuk
menerapkannya dalam rangka pemilu. Sejauh ini berbagai gagasan sudah dikemukakan.
Akan tetapi belum diperoleh kem ajuan yang berarti, baik secara konsepsional maupun
aplikatif. Karena itu, ada baiknya ditelusuri konsepsi tentang aspek-aspeknya sejauh
berkaitan dengan Pemilu, dengan harapan berguna sebagai pemancing inspirasi. Kontrak
sosial sebagai perjanjian di antara masyarakat dengan kaum elite yang diwakili oleh
penguasa, berakar kepada pemikiran politik dari abad ke-16 sampai k e -18 di Eropa Barat,
terutama karya Thom as Hobbes, Jhon Locke, dan Jean Jacques Rousseau. M ereka adalah
bagian dari golongan pem ikir besar Eropa yang merespons peralihan era revolusi pertanian
pertama di pertengahan abad ke-16 menuju Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum (Arbi
Sanit) revolusi keagungan dan revolusi ilmu pengetahuan di akhir abad ke-18. Pemikiran m
ereka m enapaki perjalanan panjang pergeseran kekuasaan dari raja dan kaum bangsaw an
kepada kaum feodal yang semakin mendominasi parlemen, sebagai imbalan bagi kontribusi
pajak mereka yang semakin m enentukan sumber keuangan kerajaan. Kontrak sosial
merupakan konsepsi tentang hubungan kekuasaan baru di antara penguasa dengan rakyat,
yang dirumuskan untuk menjawab tuntutan pembaharuan politik yang memerlukan
keberlanjutan, bukan kemandekan apalagi kemunduran. Itulah sebabnya maka para pemikir
tersebut, m engetengahkan kontrak sosial guna menegaskan bahwa bukan raja, akan tetapi
rakyat yang merupakan pemilik kedaulatan. Bahw a penguasa harus m em peroleh
kepercayaan rakyat supaya bisa memerintah secara sah. Bahwa untuk itu, baik penguasa
maupun rakyat harus mempunyai tanggung jaw ab m asing-m asing, atas keterkaitan
mereka satu sama lain di dalam negara.
Perkembangan teori kontrak sosial dalam sejarah politik Islam pertama kali di
perkenalkan oleh Imam al-Mawardi, sebagaimana yang terdapat dalam karya
monumentalnya yakni al-ahkam al-sulthaniyah. Sedangkan para Ulama’ maupun
pemikir muslim sebelum imam al-Mawardi memahami politik Islam hanya
didasarkan kepada pemilihan seorang pemimpin memiliki kriteria sesuai
yang dijelaskan dalam al-Qur’an maupun Hadis. Dalam pandangan penulis
Imam al-Mawardi merupakan salah satu tokoh pemikir muslim dalam bidang politik
yang memiliki orisinalitas yang kuat, dibandingkan para tokoh pemikir muslim
sebelum Imam al-Mawardi yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
atau kerangka berfikir budaya Yunani saat itu. Hal ini tentunya terlihat jelas
ketika ia merumuskan beberapa pemikirannya terkait sistem pemerintahan yang
didasarkan kepada norma - norma ajaran Islam, kemudian apa yang
dirumuskan oleh Imam al-Mawardi ini selanjutnya disebut juga sebagai teori
kontrak sosial, teori yang baru lima abad setelahnya dikenal oleh pemikir -
pemikir Barat.(Farid Abdul, 2005) Secara garis besar teori kontrak sosial Imam al-
Mawardi ini dimaksudkan untuk memahami hubungan antara ahl al-ikhtiyar
(masyarakat yang dipimpin) dan kepala Negara, yaitu sebuah hubungan antara
dua pihak peserta kontrak sosial atas dasar sukarela dan melahirkan kewajiban
dan hak bagi kedua belah pihak. Oleh karenanya, disamping kepala Negara
berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka,
kepala Negara ini juga memiliki kewajiban - kewajiban yang harus dipenuhi
terhadap rakyatnya. Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik
antara kepala Negara sebagai penerima amanah dan rakyat sebagai pemberi
amanah. Namun dalam hal ini terdapat beberapa kekurangan terhadap sistem
pemerinatahan yang telah dibentuk oleh Imam al-Mawardi salah satunya
adalah tidak dibuatnya sistem politik atau garis besar aturan pemerintahan
yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi
para penguasa dan kekuasaannya.(Azyumardi Azra, 2016)Dalam sejarah
perkembangan politik di dunia Barat pun juga berkembang teori mengenai kontrak
sosialyang mulai dikenalkan oleh beberapa filosof seperti, Hubert Languet ia
merupakanilmuwan Prancis yang hidup antara tahun 1519 -1581. Thommas
Hobbes ia merupakan ilmuwan Inggris yang hidup antara tahun 1588 -1679.John
Locke ia merupakan ilmuwan Inggris yang hidup antara tahun 1632 -1704 M.Dan
yang terakhiradalah Jean Jaques Rousseu ia adalah ilmuwan asal Prancis
yang hidup pada tahun 1712-1778 M.Namun diantara filosof diatas hanya
nama Thomas Hobbes dan John Locke yang populer dikenal sebagai pencetus
teori kontrak sosial di dunia Barat, hal ini tentunya didasarkan kepada
pengaruh mereka yang signifikan terhadap perkembangan politik di dunia
Barat. Dan di samping itu juga pengaruh mereka setidaknya telah
menjembatani bagi filosof sesudahnya seperti Rousseauyang menggagas teori
kontrak sosial juga.
Perkembangan di Indonesia Sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai berbagai
macam penganut agama dan memang itu dilindungi oleh konstitusi negara
Indonesia yang dilahirkan atas hasil kesepakatan para “pendiri bangsa” ini, maka
sudah selayaknya dan seharusnya sikap saling menghargai dan menghormati antar
penganut agama di tanah air tercinta ini ditegakkan. Berbarengan dengan itu, klaim
kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) tidak di posisikan
pada wilayah publik melainkan pada wilayah privat dalam arti kelompok, golongan
dan jama‟ahnya sendiri. Klaim kebenran (truth claim) menurut Komaruddin Hidayat
adalah dimana pelaku agama dari agama apapun, ia selalu menyatakan dan
meyakini bahwa satu-satunya agama yang benar, yang mampu menjamin
keselamatan (salvation claim) hanyalah agama yang ia anut, sementara ajaran
agama yang lainnya membawa kesesatan.28 Padahal hal tersebut tidaklah mesti
terjadi, apalagi terkadang klaim ini dilakukan oleh kalangan inteleqtual dan
terpelajar. Pada bagian lain, Budhy Munawar-Rachman menguraikan bahwa dari
sudut sosiologi, memang kedua klaim tersebut, telah membuat berbagai konflik
sosial-politik, yang membawa berbagai macam perang antar agama, yang sampai
sekarang masih menjadi kenyataan di zaman modern ini. Ini pula yang membawa
seseorang kepada prasangka-prasangka epistimologis yang membenarkan dirinya
sendiri – self fulfilling prophecy – karena mengasumsikan agamanya dengan
kebenaran.29 Sebagai akibatnya klaim ini dapat menjadikan seseorang bersikaf
fundamentalis.30 Jika kedua domain keselamatan tersebut masih dianggap sebagai
sesuatu yang harus bahkan menjadi kewajiban untuk disebarkan kepada setiap
orang yang ada dimuka bumi ini, karena berasal dari teks agama, tanpa
memperhatikan aspek-aspek eksternal yang sesungguhnya juga berasal dari
agama, maka tentu saja akan terjadi benturan sebagaimana yang dapat dilihat
diberbagai belahan dunia ini akan sulit untuk di minimalisir bahkan dihilangkan. Oleh
karena itu, yang perlu untuk dikembangkan dalam wilayah Negara Indonesia adalah
sikap keterbukaan (inklusif) dalam beragama. Dimana umat beragama mencoba
untuk saling terbuka dan memahami akan adanya kebenaran lain yang diyakini oleh
penganut agama di luar Islam.31 Agar berbagai macam benturan dan kesalah
pahaman di antara penganut agama tidak terulang lagi, sebaiknya dilakukan kontrak
sosial. Walaupun sesungguhnya, jika ditelisik kebelakang terutama pada masa
menjelang dan awal kemerdekaan, kontrak sosial tersebut telah dirintis secara
brilian oleh founding fathers kita, yaitu dengan merumuskan Pancasila . Secara moral
dan politik – kata Komaruddin Hidayat – kita pantas sekali menghargai dan
meneruskan visi para pendiri bangsa yang sejak awal telah meletakkan dasar
negara (Pancasila) berdasarkan semangat humanis religious. Komitmen mereka
untuk mejunjung tinggi nilai-nilai kegamaan dan kemanusiaan untuk dikembangkan
dalam lokus keIndonesiaan adalah bukti nyata bahwa sejak awal sesungguhnya
bangsa ini sudah melangkah dan membuat antisipasi, akan hadirnya masyarakat
global yang pluralistik diikat oleh prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan. Dalam
lanskap Negara Indonesia yang memiliki berbagai macam agama, common value
untuk dijadikan kontrak sosial yang menjadi acuan bersama adalah Pancasila,
karena nilai-nilai Pancasila sejatinya adalah universal karena menyangkut
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Sangat jelas bahwa nilai-nilai
tersebut penuh dengan semangat persamaan dan tanpa diskriminasi. Dengan
pemahaman ini, masa depan umat beragama akan menjadi “terang dan bersinar”
karena selalu dihiasi dengan perdamaian dan kesetaraan.

Daftar Pustaka

Muhammad Shoheh (2004), Al-Mawardi dan Teorinya Kontrak Sosial . Jurnal


Realita, Volume .1
Daya Negri Wijaya (2016), KONTRAK SOSIALMENURUT THOMAS HOBBES DAN
JOHN LOCKE . Jurnal Ssosiologi Pendidikan Humanis volume .1
Arbi Sanit (2004), Kontrak Sosial dan Pemilihan Umum , Jurnal Penelitian Politik,
Vol. 1
Mohamad Nur Wahyudi (2022), TEORI KONTRAK SOSIAL (STUDI KOMPARASI
TEORI POLITIK MENURUT IMAM Al-MAWARDI, THOMAS HOBBES DAN JOHN
LOCK) , Jurnal Studi Islam Vol. 04
Idrus Ruslan (2013), Pemikiran Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau dan masa
depan Umat Beragama , Jurnal Al-AdYaN Vol.VIII

Anda mungkin juga menyukai