Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN


IDENTITAS NASIONAL

Disusun oleh:

KELOMPOK 3

Muhammad Ariq Junda Taqiya (932022066)

Muhammad Misbakhul Munir (932022068)

Satya Nugraha (932022070)

Syavid Kharomah Pamungkas (932022084)

Bintang Kharisma Parayu (932022086)

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


JURUSAN TEKNIK ELEKTRONIKA
POLITEKNIK NEGERI BALIKPAPAN
2022
A. KONSEP INTEGRASI DAN DISINTEGRASI NASIONAL

1. KONSEP INTEGRASI

Secara etimologis integrasi nasional terdiri dari istilah “integrasi” dan


“nasional”. Istilah “integrasi” secara harfiah dapat diartikan sebagai penyatuan
menjadi satu bagian yang utuh, sedangkan istilah “nasional” dapat diartikan sebagai
kebangsaan. Dengan demikian, integrasi nasional merupakan penyatuan segala aspek
kebangsaan menjadi satu bagian yang utuh. Majeed (2014) mendefinisikan integrasi
nasional sebagai proses dimana berbagai segmen masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk menikmati fasilitas yang berbeda tanpa diskriminasi apapun. Artinya
tidak ada halangan bagi setiap warga Negara untuk mengembangkan identitas budaya
masing-masing.

Drake dalam Sulistiyono (2018) mendefinisikan konsep integrasi nasional


mengacu kepada: the way people in different areas of a country and of different
ethnic, socio-cultural and economic backgrounds feel themselves to be united and
function as one nation and one identity.

“cara orang-orang di berbagai daerah di suatu negara dan dari latar belakang etnis,
sosial budaya dan ekonomi yang berbeda merasa sendiribersatu dan berfungsi sebagai
satu bangsa dan satu identitas.”

Hardstone dalam Sulistiyono (2008) bahwa integrasi nasional mengacu


kepada: “the process of bringing together culturally and socialy discrete groups into a
single territorial unit and the establishment of a national identity”.

Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa integrasi nasional
adalah proses penggabungan atau penyatuan masyarakat yang berbeda secara
historis,kelompok, sosial-budaya, dan sebagainya menjadi satu kesatuan utuh menjadi
suatu bangsa.

2. DISINTEGRASI NASIONAL

Disintegrasi secara harfiah dipahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi


bagian-bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1996).
Disintegrasi Bangsa juga dapat artikan sebagai keadaan tidak bersatu padu yang
menghilangnya keutuhan dan persatuan serta menyebabkan perpecahan.

Bila dicermati, adanya gerakan pemisahan diri sebenarnya sering berangkat


dari idealisme untuk berdiri sendiri akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari
perlakuan pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah
otonomi daerah, keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan dan hal-hal
yang sejenis.

Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini


yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi
yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala
hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat
dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan
menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan
daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka
yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya
konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.

B. FAKTOR - FAKTOR INTEGRASI

1. INTERNASIONAL

Internal Factors that Limit Technology Integration Low self-efficacy Self-


efficacy is the belief that a person can perform a task to achieve the desired outcome.
It is an essential concept of Bandura's social cognitive theory (1977) that affects how
you choose to interact with society and your surroundings. Researchers in education
focus on the principles of self-efficacy involving performance accomplishment,
vicarious experiences, verbal persuasion, and physiological stress (Howardson &
Behrend, 2015; Pan & Franklin, 2011). It is predicted that digital classrooms, which
involve many technological devices, will improve students’ success level. However,
without effective technological integration, it is unreasonable to claim it is possible to
reach these goals without the necessary online technologies self-efficacy (Ozerbas &
Erdogan, 2016). The theory of self-efficacy is “that people process, weigh, and
integrate diverse sources of information concerning their capability, and they regulate
their choice behavior and effort expenditure according to that information” (Bandura,
1977). We have control over our behavior not control of the outcome. There is also a
significant correlation to teacher’s use of technology in the classroom with their self-
efficacy (Li, Worch, Zhou, & Aguiton, 2015). Due to high demands of student
achievement and accountability, if teachers felt the use of technology had a positive
outcome on their students’ learning it was more likely they would integrate it into
their practice. However, if they felt it would not increase their student’s performance
they would not use it. Another point worth noting, 62% of elementary students feel
they know more about technology than their teachers (Pearson, 2015) which may add
to some teachers perceived low self-efficacy.

Teacher Perceptions
Despite increasing access to technology in schools, teachers are usually portrayed as
hesitant users. They are accustomed to the old standard which can create frustration
when trying to shift to a new paradigm leading them to stray away from the use of
21st-century technological
devices. Teachers who are not digitally literate, able to understand and use
information from a variety of digital sources, will be the ones who integrate
technology. They perceive the effort needed to learn the new technology and
practicality or value of it as a significant consideration in
whether they use it or not (Mac Callum, Jeffrey, & Kinshuk, 2014). This is consistent
with other research that found teacher’s readiness, or lack thereof, had the highest
total effect on whether teachers integrated technology in their classrooms (Inan &
Lowther, 2009). Teachers also perceive technology integration negatively due to the
amount of time it takesto integrate into the curriculum through additional training and
planning. Technology integration requires preparation, classroom management
practices, and demands attention that is not normally spent in those areas. It is easier
to just remain with the “status quo.”

Summary
The integration of technology in the classroom is a multifarious process. One of the
greatest
challenges for teachers is the link between educational technology innovations,
promising
practices for teaching and learning and integrating technology with increases.

Translate :

Faktor Internal yang Membatasi Integrasi Teknologi


Self-efficacy rendah Self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang dapat
melakukan suatu tugas untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Ini adalah konsep penting dari teori kognitif sosial Bandura (1977) yang
mempengaruhi bagaimana Anda memilih untuk berinteraksi dengan masyarakat dan
lingkungan Anda. Para peneliti di bidang pendidikan fokus pada prinsip-prinsip
self-efficacy yang melibatkan pencapaian kinerja, pengalaman perwakilan, persuasi
verbal, dan stres fisiologis (Howardson & Behrend, 2015; Pan & Franklin, 2011).
Kelas digital yang melibatkan banyak perangkat teknologi diprediksi akan
meningkatkan tingkat keberhasilan siswa. Namun, tanpa integrasi teknologi yang
efektif, tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa mungkin untuk mencapai tujuan ini
tanpa efikasi diri teknologi online yang diperlukan (Ozerbas & Erdogan, 2016). Teori
self-efficacy adalah "bahwa orang memproses, menimbang, dan mengintegrasikan
beragam sumber informasi mengenai kemampuan mereka, dan mereka mengatur
perilaku pilihan mereka dan pengeluaran usaha sesuai dengan informasi itu"
(Bandura, 1977). Kita memiliki kendali atas perilaku kita, bukan kendali atas
hasilnya. Ada juga korelasi yang signifikan antara penggunaan teknologi oleh guru di
kelas dengan efikasi diri mereka (Li, Worch, Zhou, & Aguton, 2015). Karena tuntutan
prestasi dan akuntabilitas siswa yang tinggi, jika guru merasa penggunaan teknologi
memiliki hasil positif pada pembelajaran siswa mereka, kemungkinan besar mereka
akan mengintegrasikannya ke dalam praktik mereka. Namun, jika mereka merasa itu
tidak akan meningkatkan kinerja siswa mereka, mereka tidak akan menggunakannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, 62% siswa sekolah dasar merasa mereka lebih tahu
tentang teknologi daripada guru mereka (Pearson, 2015) yang dapat menambah
beberapa guru menganggap efikasi diri rendah.

Persepsi Guru
Meskipun akses teknologi di sekolah meningkat, guru biasanya digambarkan sebagai
pengguna yang ragu-ragu. Mereka terbiasa dengan standar lama yang dapat membuat
frustrasi ketika mencoba untuk beralih ke paradigma baru yang membuat mereka
menyimpang dari penggunaan teknologi abad ke-21. perangkat. Guru yang tidak
melek digital, mampu memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber
digital, akan menjadi orang yang mengintegrasikan teknologi. Mereka menganggap
upaya yang diperlukan untuk mempelajari teknologi baru dan kepraktisan atau
nilainya sebagai pertimbangan yang signifikan dalam apakah mereka
menggunakannya atau tidak (Mac Callum, Jeffrey, & Kinshuk, 2014). Hal ini
konsisten dengan penelitian lain yang menemukan kesiapan guru, atau
kekurangannya, memiliki efek total tertinggi pada apakah guru mengintegrasikan
teknologi di kelas mereka (Inan & Lowther, 2009). Guru juga memandang integrasi
teknologi secara negatif karena jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
mengintegrasikan ke dalam kurikulum melalui pelatihan dan perencanaan tambahan.
Integrasi teknologi membutuhkan persiapan, praktik manajemen kelas, dan menuntut
perhatian yang biasanya tidak dihabiskan di area tersebut. Lebih mudah untuk tetap
dengan "status quo."

Ringkasan
Integrasi teknologi di dalam kelas adalah proses yang beraneka ragam. Salah satu dari
yang terbaik
tantangan bagi guru adalah keterkaitan antara inovasi teknologi pendidikan,
menjanjikan
praktik untuk mengajar dan belajar dan mengintegrasikan teknologi dengan
peningkatan.

2. NASIONAL

Di dalam Integrasi Nasional terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya,


faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Faktor Pendorong Integrasi Nasional

faktor pendorong merupakan faktor yang mempengaruhi kemajuan suatu proses atau
tindakan tertentu yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok. Dalam
mewujudkan integrasi nasional, terdapat beberapa faktor yang mendorong
terwujudnya integrasi nasional di Indonesia. Adapun faktor pendorong tersebut
diantaranya:

A. Adanya rasa yang senasib dan seperjuangan yang diakibatkan oleh faktor-faktor
sejarah Indonesia telah mengalami sejarah yang kelam di masa lalu, terutama zaman
dimana Indonesia dijajah oleh bangsa lain selama bertahun-tahun. Dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, perjuangan yang dilakukan oleh setiap
elemen masyarakat untuk memperoleh kemerdekaan bukanlah sesuatu yang sifatnya
main-main. Rasa senasib seperjuangan di masa lalu yang terbawa sampai dengan
masa sekarang menjadi salah satu faktor pendorong untuk mewujudkan integrasi
nasional. Jika di masa lalu rasa senasib seperjuangan digunakan untuk memujudkan
kemerdekaan Indonesia, di era sekarang ini rasa senasib seperjuangan digunakan
untuk memperkuat stabilitas nasional demi terwujudnya persatuan Indonesia dalam
integrasi nasional.
b. Adanya ideologi nasional
deologi nasional negara kita Indonesia adalah Pancasila. Sebagai ideologi nasional,
Pancasila tidak dapat digantikan oleh ideologi manapun. Walalupun Indonesia terdiri
dari banyak kepercayaan, arti penting dan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pemaknaan
ideologi nasional yaitu Pancasila dilakukan melalui implementasi nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan integrasi nasional di Indonesia.
Melalui
pemaknaan ideologi nasional yaitu Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, integrasi
nasional akan lebih mudah untuk diwujudkan.
C. Adanya sikap tekad dan keinginan untuk kembali bersatu
Perbedaan dan kemajemukan di Indonesia bukanlah salah satu alasan untuk dijadikan
faktor penyebab konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Justru perbedaan
inilah yang membuat masyarakat Indonesia mempunyai keinginan untuk
mempersatukan perbedaan di dalam satu kesatuan bangsa yang utuh. Baik di dalam
masyarakat tradisonal dan modern, keinginan untuk mempersatukan perbedaan di
dalam kehidupan sehari-hari tentunya ada. Dalam kehidupan berbangsa negara dan
berbangsa

D. Adanya ancaman dari luar


Walupun Indonesia sudah merdeka selama 71 tahun, bukan tidak mungkin ancaman
dari luar itu masuk ke Indonesia. Ancaman-ancaman dari luar di era globalisasi
sekarang ini tidak dapat diartikan sebagai ancaman yang menjajah seperti pada masa
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi ancaman dari luar
dalam kaitannya dengan bahaya globalisasi dan modernisasi, integrasi nasional perlu
diwujudkan di setiap lapisan masyarakat yang ada tinggal di wilayah Indonesia

2. Faktor Pendukung Integrasi Nasional

A. Penggunaan bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Jika melihat sejarah, hal ini telah
dikumandangkan sejak di gelorakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang
berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuaan
Bahasa Indonesia”. Dengan semangat para pemuda tersebut maka, disepakati Bahasa
Indonesia adalah bahasa pemersatu tanpa memandang perbedaan di dalamnya.

B. Semangat persatuan serta kesatuan di dalam Bangsa


Kesadaran akan persatuan perlu dimunculkan dalam semangat persatuan dan
kesatuan,
hal ini diperlukan untuk menjalin rasa kekeluargaan, persahabatan, dan sikap saling
tolong-menolong antar sesama dan bersikap nasionalisme, serta menjalin rasa
kemanusiaan yang memiliki sikap dan toleransi serta keharmonisan untuk hidup
secara berdampingan.

C. Adanya Kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama yakni Pancasila
Pancasila adalah landasan idiil bangsa yang kedudukannya sangat berpengaruh bagi
jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi seseorang yang di dalam jiwanya
terdapat sifat patriotisme yang tinggi, maka Ia akan selalu menerapkan butir-butir
Pancasila di setiap aspek kehidupannya.

D. Adanya jiwa dan rasa semangat dalam bergotong royong


Gotong royong berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang
didambakan. Sikap gotong royong adalah bekerja bersama-sama dalam
menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan
tersebut secara adil. Serta suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih
dan secara sukarela oleh semua komponen masyarakat menurut batas kemampuannya
masing-masing.
3. Faktor Penghambat Integrasi Nasional

Faktor penghambat sendiri merupakan suatu penghalang untuk melakukan tindakan


secara individu maupun kelompok. Beberapa faktor penghambat terwujudnya
integrasi nasional diantaranya:

A. Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan


Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah suku dan kebudayaan terbanyak di
dunia. Namun sayangnya, ada beberapa pandangan masyarakat terhadap pemerintah
tentang keberagaman ini. Ada beberapa kemajemukan yang terdapat di dalam
masyarakat yang kurang diperhatikan oleh pemerintah terutama yang berkaitan
dengan kebudayaan setempat. Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri membuat
kemajemukan itu terkikis secara perlahan-lahan.

B. Kurangnya toleransi antar sesama golongan.


Kurangnya toleransi terhadap keberagaman dan kemajemukan yang ada di masyakat
menjadi salah satu penyebab konflik sosial. Dampak akibat konflik sosial yang terjadi
di dalam masyarakat terutama dalam hal yang berkaitan dengan toleransi akan
mengurangi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, kurangnya toleransi
terhadap perbedaan yang terjadi secara terus-menerus akan membuat sebuah bangsa
hancur akan sendirinya sehingga integrasi nasional tidak akan pernah terwujud.

C. Kurangnya kesadaran di dalam diri masing-masing rakyat Indonesia


Kurangnya kesadaran diri dalam diri masyarakat untuk menjaga persatuan dan
kesatuan juga menjadi salah satu faktor yang mengambat terwujudnya integrasi
nasional. Di era globalisasi, masyarakat menjadi lebih individualistis dan cenderung
tidak memperdulikan kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya. Jika tidak dicegah,
rasa kesadaran diri yang berkurang sebagai dampak globalisasi akan makin
mempersulit terwujudnya integrasi nasional. Oleh karena itu, diperlukan kiat-kiat
untuk membangun karakter bangsa di era globalisasi untuk meningkatkan kesadaran
diri masyarakat untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan demi terwujudnya
integrasi nasional bangsa.

D. Adanya sikap ketidakpuasan terhadap ketimpangan dan ketidakmerataan


pembangunan Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian wewenang
dan tanggungjawab pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah.
Dengan begitu akan semakin nampak ketimpangan baik sosial maupun ekonomi antar
daerah. Untuk menyeimbangkan ketimpangan tersebut diperlukan kesadaran diri akan
rasa keadilan sosial yang merata di berbagai daerah di Indonesia.
C. DISINTEGRASI DI INDONESIA

Disebabkan oleh faktor luar seperti aksi dari suatu kelompok yang
menyebabkan ketidakpuasan seperti akses terhadap ekonomi yang derajat
kesenjangannya terlalu jauh dapat menyebabkan kecemburuan sosial, memicu konflik
dan disintegrasi.

Tetapi faktor eksternal seperti intervensi asing pun perlu diwaspadai sebagai
penyebab disintegrasi. Intervensi asing terjadi ketika perselisihan domestik mengacam
kepentingan ekonomi negara-negara asing tertentu.

Sebagai contoh, motif intervensi Amerika di Vietnam dianggap tidak hanya


bersifat ideologis dan geopolitis, melainkan juga ekonomis dan neo-imperialis. Tesis
ini menyatakan bahwa pada tahun 1960, Amerika Serikat bertekad membendung
pengaruh Soviet dan Cina di berbagai wilayah Dunia Ketiga yang kaya mineral dan
bahan-bahan mentah yang sangat dibutuhkan oleh perekonomian Amerika yang
tengah mengalami pergeseran sejarah dari zaman industri ke zaman teknologi6.

Tesis bahwa perang eksternal merupakan upaya memupuk kekompakan


domestik (dalam negeri negara dalam konteks nation-state) masih sulit dibuktikan,
sedangkan ide bahwa perang saudara sering merembet menjadi perang internasional
ditunjang oleh bukti yang demikian banyak.

Dalam kasus konflik di Indonesia, Gembong RMS Alex Manuputty yang


dijatuhi hukuman penjara 4 tahun oleh Mahkamah Agung akhir tahun 2003 masih
berkeliaran di Amerika Serikat. Indonesia sudah berusaha untuk memulangkannya
tetapi tidak berhasil. Sementara itu, beberapa pemimpin RMS mengendalikan gerakan
mereka dari negeri Belanda dengan leluasa, sehingga konflik Maluku tak pernah usai
kendati perjanjian perdamaian sudah ditandatangani.

Meskipun pihak-pihak yang berseteru telah bertemu dan diikat perjanjian,


konflik masih belum selamanya padam. Beberapa pengamat menduga ada permainan
asing di wilayah ini mengingat kondisi geografis Poso yang sangat strategis dalam
jalur pelayaran dunia. Sedangkan di Papua, Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus
melancarkan berbagai serangan secara sporadis. Upaya menumpas pemberontakan
tersebut terus diawasi oleh dunia Barat dan dianggap
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/
337683986_MEWUJUDKAN_INTEGRASI_NASIONAL_MELALUI_KEARIFAN
_LOKAL_PERJANJIAN_PERSAHABATAN_RAJA-RAJA_MASSENREMPULU/

Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change.


Psychological Review, 84(2), 191-215. doi.org/10.1037/0033-295X.84.2.191.

Build the 21st century classroom infrastructure. (2018). T H E Journal, 45(2), 11-12.

Cakir, R. (2012). Technology integration and technology leadership in schools as


learning organizations.

Turkish Online Journal of Educational Technology (TOJET), 11, 273-282.

https://www.studocu.com/id/document/universitas-mataram/perdagangan-
internasional/makalah-disintegrasi-bangsa/7573292

Betts, Richard K. (ed.). 1994. Conflict After The Cold War. New York:
Macmillan

Jones, Walter S., 1993. Logika Hubungan Internasional 2: Kekuasaan, Ekonomi-


Politik Internasional dan Tatanan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syifaul Arifin, et. al. 2000. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai