Anda di halaman 1dari 47

“MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN

MODEL CHARMING (MENAWAN)”

PROPOSAL

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH


PENELITIAN TINDAKAN KELAS
DOSEN PENGAMPU:
Prof. Drs. AHMAD SURIANSYAH, M.Pd., Ph.D

AKHMAD RIANDY AGUSTA, M.Pd

DISUSUN OLEH
6E PGSD
SHELLA WATI
(24)
1910125220055

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2022
BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 untuk menggambarkan berbagai cara
mengintegritaskan teknologi cyber baik secara fisik maupun non fisik dalam
pembelajaran. Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 adalah fenomena yang merespon
kebutuhan revolusi industry dengan peyuasaian kurikulum baru sesuai situasi saat ini.
Kurikulum tersebut mampu membuka jendala dunia melalui. (Kahar, 2021). Revolusi
ini ditandai dengan perpaduan teknologi dan mengaburkan garis ruang fisik, digital,
serta biologis. Era revolusi industry 4.0 ini semain sedikit aktivitas terikat secara fisik
pada kokasi geografis. Sebab semua kegiatan manusia berkonvensi dari manual meuju
digital (Rahayu, 2021)
Sistem pembelajaran di era revolusi 4.0 yang menerapkan kreatiftas, berfikir
kritis, Kerjasama, keterampilam komunikasi, kemasyarakatan dan keterampilan
karakter, dengan beberapa aspek dan komponen pembelajaran Pendidikan 4.0 sedingga
untuk menghadapi pembelajaran di revolusi indsustri 4.0, setiap orang harus memiliki
keterampilan berfikir kritis, pengetahuan dan kemampuan literasi digita, literasi
informasi, literasi media dan menguasi teknologi informasi dan komunikasi. (Kahar,
2021). Dalam UU No. 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, bangsa dan negara” (Rahayu,
2021)
Era sudah semakin cepat dalam berkembang sehingga sekarang sudah mulai
memasuka era society 5.0 yang dimana masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai
tantangan dan permasalahan society dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir
di era revolusi industru 4.0 seperti internet on thing (internet untuk segala sesuatu),
artificial intelligene (kecerdasan buatan), big data (data dalm jumlah besar), dan robot
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Society 5.0 juga dapat diartikan sebagai
sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. (Kahar,
2021). Dalam menghadapi era society 5.0, dunia pendidikan berperan penting dalam
meningkatkan kualitas SDM. Selain pendidikan beberapa elemen dan pemangku
kepentingan seperti pemerintah, Organisasi Masyarakat (Ormas) dan seluruh
masyarakat juga turut andil dalam menyambut era society 5.0 mendatang. (Rahayu,
2021)
Seiring dengan perkembangan zaman, dalam kurikulum dinyatakan bahwa
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki
kecerdasan, berakhlak mulia serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai
anggota masyarakat dan warga negara. Terkait dengan tujuan tersebut, maka dilakukan
reformasi dalam sistem pendidikan hingga ke proses pembelajarannya, misalnya
perubahan paradigma pendidikan dari yang teacher centre ke student centre dan
perubahan-perubahan lainnya. (Indah , 2021). Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) nomor 81 A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
menyebutkan bahwa secara prinsip kegiatan pembelajaran merupakan proses
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan
bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia
(Nurdin A, 2018)
Berdasarkan tujuan Pendidikan di atas maka lahirlah kurikulum baru yaitu
kurikulum 2013. Kurikulu 2013 merupakan proyek yang anggarannya mencapai angka
hampir 2,5 trilyun, ini merupakan proyek nasional, bahkan bisa dibilang proyek
raksasa, karena melibatkan banyak orang dan lembaga. Sehingga dengan hadir nya
Kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan
masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam
haluan negara. (Wahyudin, 2018). Perkembangan kurikulum yang baik diharapkan
akan menghasilkan masa depan anak bangsa yang cerah yang berimplikasi pada
kemajuan bangsa dan negara. Dalam kurikulum 2013 guru dituntut untuk lebih aktif
dan benar – benar dapat menunjukkan kompetensi yang dimilikinya lebih nyata secara
aplikatif. Karena kurikulum 2013 menekankan pada kemampuan guru
mengimplementasikan proses pembelajaran secara optimal (otentik, menantang dan
bermakna) daripada urusan-urusan yang bersifat administrasi (Rouf, 2018)
Dalam proses pembelajaran kurikulum 2013, guru harus mempersiapkan proses
belajar mengajar dengan baik sesuai dengan materi pelajaran yang akan diberikan
melalui proses mengamati, menanya, mencoba, menganalisis, dan
mengkomunikasikan. Guru bukan lagi sebagai pusat dalam kegiatan belajar. Kini siswa
harus menemukan sendiri suatu konsep yang sedang dipelajari, sehingga pemahaman
siswa dalam konsep tersebut akan lebih mendalam. Peran guru sebagai pembimbing
sangat berpengaruh dalam proses kegiatan belajar, karena guru harus mendapatkan
perhatian dan Madrasah Ibtidaiyah Negeriat siswa terlebih dahulu sebelum memulai
pembelajaran (Rouf, 2018)
Matematika salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar
mempunyai posisi yang sangat penting, sebab disamping dapat memberi bekal
kemampuan berhitung, juga dapat memberi bekal kemampuan menalar. (Dores & dkk,
2019). Matematika berdasarkan pendapat Susanto (2013: 185) adalah salah satu disiplin
ilmu pasti yang mengungkapkan ide-ide abstrak yang berisi bilangan-bilangan serta
simbol-simbol operasi hitung yang terdapat aktivitas berhitung dan mampu
mengkatkan kemampuan berpikir dan berpendapat dalam memecahkan masalah dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Hampir seluruh aktivitas yang dilakukan
manusia berhubungan dengan Matematika. (Oktaviani, 2018)
Sejalan dengan pernyataan di atas, dalam Permendikbud no 58 Tahun 2014
tentang kurikulum 2013, dinyatakan tujuan pendidikan matematika salah satunya yaitu
mampu mengkomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti
matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Berdasarkan tujuan pembelajaran
matematika diharapkan proses pembelajaran matematika mampu mengembangkan
kemampuan komunikasi peserta didik. (Indah , 2021)
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kemampuan matematika yang
masih rendah diban- dingkan dengan negara-negara lain. Hal ini terlihat dari hasil
survey internasional yang dilakukan Program- me for International Student Assesm-
ent (PISA) pada tahun 2015. Kema- mpuan matematika siswa di Indone- sia menduduki
peringkat ke-63 dari 71 negara dengan skor maksimum diperoleh Singapura yaitu 564
dan skor minimum diperoleh Republik Dominika yaitu 328, sedangkan In- donesia
memperoleh skor 386 (Puspita, 2017)
Pelajaran matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan kurang
disenangi oleh peserta didik. Matematika identik sebagai pelajaran yang sarat hafalan
dan rumus-rumus rumit sehingga peserta didik kurang serius dalam mengikuti
pembelajaran yang berakibat hasil belajar rendah. Untuk memperbaiki kondisi ini
diperlukan suasana pembelajaran yang menarik dan menyenangkan sehingga peserta
didik termotivasi untuk mempelajari Matematika. (Sumaryanto, 2018)
Salah satu mata pelajaran kelas V adalah bangun ruang kubus. Materi ini berisi
kan tentang komponen dan benda – benda yang menyerupai bangun ruang kubus di
lingkungan sekitar peserta didik. Dalam proses belajar mangejar materi ini tentunya
harus di sajikan dengan menarik dan mudah dimengerti. Tentunya dengan
menggunakan berbagai metode, model dan pendekatan yang dapat membantu minat
peserta didik dalam proses pembelajaran dan dapat meningkatkan kemampuan berfikir
kritis peserta didik. Dalam pengajaran materi ini juga perlu menggunakan media
pembelajaran yang nyata sehingga dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif
peserta didik. Oleh karena itu pada pembelajaran ini siswa dituntut untuk aktif, kreatif,
dan mampu berfikir kritis dalam proses pembelajaran.
Tentunya untuk membuat hal di atas dapat tercapai pertama perlunya membuat
peserta didik menjadi termotivasi untuk mengikuti pembelajaran matematika materi
bangun ruang kubus karena motivasi belajar sangat mempengaruhi hasil belajar yang
akan dicapai hal ini sejalan dengan Tinggi rendahnya motivasi siswa dalam belajar akan
mempengaruhi hasil belajar mereka. Menurut Donald (dalam Hamalik, 2014)
mengungkapkan bahwa “motivation is an energy change within the person
characterized by affective arousal and anticipatory goal reaction” (motivasi adalah
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan
reaksi untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa motivasi
merupakan sebuah keinginan seseorang untuk mencapai tujuan yang berasal dari diri
seseorang. (Ari, 2019)
Selain motivasi belajar terdapat beberapa hal yang bisa meningkatkan hasil
belajar matematika peserta didik yaitu Didalam proses mengajar terdapat lima
komponen yang penting dalam proses mengajar yaitu adalah tujuan, materi, metode,
media, dan evaluasi pembelajaran.dalam kegiatan proses mengajar, kelima komponen
ini sangat mempengaruhi satu sama. Seperti misalnya dalam pemilihan metode dalam
proses menyampaikan materi pembelajaran akan berpengaruh dengan media
pembelajaran apa yang akan kita gunakan untuk menyampaikan materi kepada siswa
sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang bersangkutan. (Audie,
2019)
Kondisi nyata di lapangan menunjukan bahwa proses pembelajaran masih
dilakukan satu arah dan tentunya masih berpusat pada guru saja. Sedangkan yang
diharapkan yaitu proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, disini peserta
didik diminta menalar, memcahkan masalah, memahami konsep, dan menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika dengan mandiri tetapi masih dengan bimbingan
guru, bukan sepenuhnya oleh guru.
Proses pembelajaran di kelas juga tidak memunculkan dan memberkan anak
untuk bertindak secara kreatif dan berfikir kritis karena cara mengajar guru yang masih
monoton dan terfokus pada penyampaian materi secara sepihak saja tanpa
menggunakan berbagai metode, model dan pendekatan sehingga hal itu juga dapat
menyebabkan motivasi belajar peserta didik menjadi rendah karena minat belajar
mereka yang rendah hal ini diakibatkan peserta didik sudah memberi lebel bahwa
pembelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang membosankan dan
cenderung menakutkan. Hal ini ditandai dengan peserta didik yang tidak tertarik dalam
pembelajaran, malas dalam mengerjakan tugas dan tidak mampu memecahkan masalah
pada soal yang diberikan. Sedangkan pembelajaran yang diharapkan dapat membuat
peserta didik berfikir kritis dan mengembangkan sifat kreatifitasnya dalam
memecahkan masalah pembelajaran matematika materi bangun ruang kubus. Tetapi
dengan adanya kondisi nyata di lapangan membuat hasil belajar peserta didik menjadi
rendah.
Selain hal di atas kurangnya komunikasi antara guru dan peserta didik juga
sangat mempengaruhi proses belajar mengajar, dalam kegiatan pembelajaran dalam
materi bangun ruang kubus komunikasi antara guru dan peserta didik harus jelas
sehingga siswa dapat memahami dengan jelas konsep dari materi yang diajarkan dan
dengan mudah mengaplikasikan nya dalam kegiatan pemecahan masalah.
Peserta didik yang sudah terlanjur memberi label bahwa pembelajaran
matemtika adalah pembelajaran yang sulit, membosankan dan cenderung menakutkan
sehingga mengakibatkan motivasi peserta didik dan minat nya menjadi sangat kurang.
Selain itu pembelajaran yang masih saja berlangsung satu arah dan bersifat monoton
tanpa menggunakan metode, model dan pendekatan yang beragam menciptakan proses
belajar anak menjadi itu – itu saja tidak beragam sehingga kurang mengasah
kemampuan berfikir kritis dan kemampuan berfikir kreatif peserta didik. Dalam
pembelajaran guru juga tidak menggunakan media apapun sebaagi alat untuk
menjelaskan materi. Guru harus menciptakan suasana yang menyenangkan pada proses
pembelajaran mata pelajaran matematika. Banyak cara yang bisa dilakukan seorang
guru sehingga siswa memiliki perasaan bahagia/gembira. Guru berperan sebagai
pelaksana proses pembelajaran dalam meningkatkan kualitas cara mengajarnya,
sehingga siswa lebih mudah memahami materi pelajaran. Adapun metode yang
dilakukan yaitu dengan menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi dan tidak
membosankan kepada siswa yang tentunya disesuaikan dengan materi pembelajaran.
(Ma'ruf, 2020)
Apabila hal ini terus dibiarkan dan tidak di atasi dengan tepat maka bukan hanya
aktifitas peserta didik yang rendah tetapi juga berdampak pada minat belajar siswa dan
tentunya hal tersebut sangat berdampak pada hasil belajar peserta didik yang
mengalami penurunan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan
media pembelajaran yang tepat, hal ini didukung dengan pendapat peneliti terdahulu
yaitu Penggunaan media pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting untuk
meningkatkan hasil belajar siswa dan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar,
karena media pembelajaran sangat mendukung dalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang dimiliki seseorang, terutama terhadap peserta didik dalam proses
pembelajaran (Audie, 2019)
Untuk hal itu peneliti menggunakan model charming yang merupakan hasil
kombinasi dari tiga model pembelajaran yang interaktif yaitu Discovery Learning (DL),
Make A Match (MM), Dan Talking Stick (TS) yaitu pembelajaran yang menekankan
kepada kegiatan pemecahan masalah yang dilakukan dengan berkelompok dan proses
pengumpulan data yang dilakukan oleh peserta didik. Dan juga menekankan peserta
didik dalam berfikir kritis menggunakan kegiatan yang menggabungkan antara gerkan
fisik dan aktifitas intelektual. Selain itu pembelajaran ini juga dirancang dengan cara
yang menyenangkan menggunakan permaianan yang berbasis pembelajaran. Dengan
menggunakan model pembelajaran ini dapat melatih kemampuan berfikir kritis peserta
didik dan kemampuan berfikir kreatif, selain itu juga dapat menimbulkan rasa
menyenangkan dalam pembelajaran matematika karena dipadukan dengan permainan.
Sehingga dapat menimbulkan rasa konsentrasi yang tinggi, dan dapat membuat peserta
didik menjadi termotivasi dan dapat meingkatkan hasil belajar.
Discovery learning (DL) dipilih sebagai main model karena mampu
meningkatkan kemampuan berfikir kritis peserta didik yang masih sangat rendah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Tatang Herman (2016), terkait dengan model
discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan self confidence.
Hasill penelitian menunjukkan kemampuan berpikir kritis matematis dengan model
discovery learning lebih baik dari pada pembelajaran langsung. Siswa dapat membuat
generalisasi secara umum dan menyelesaikan masalah (Winoto, 2020). Discovery
Learning juga digunakan Muhammad Husaini Maula Hadi (2016) dalam penelitiannya
menunjukan bahwa Discovery Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis dan hasil belajar siswa. (Oktaviani, 2018). Selain dapat meningkatkan
kemampuan berfikir kritis model pembelajaran discovery learnng juga dapat
meningkatkan kemam[uan komunikasi peserta didik, zarkasyi (2015:63) discovery
lear- ning adalah suatu model pembelajar- an yang dirancang sedemikian sehi- ngga
siswa dapat menemukan kon- sep-konsep melalui proses mental- nya sendiri. Pada
tahap-tahap pem- belajaran model pembelajaran disco- very terdapat ruang bagi siswa
untuk melatih kemampuan komunikasi matematisnya. (Puspita, 2017). Kemudian
model ini juga dapat meningkatkan kemampuan kreatif peserta didik, Model Discovery
Learning bertujuan agar peserta didik menjadi lebih aktif dan kreatif dalam belajar
untuk menemukan informasi atau pengetahuan. (Relitasari, 2018 )
Agar pembeajaran menjadi lebih menyenangkan digunakan kombinasi model
Discovery Learning dengan model lainnya. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
maka kombinasi yang dilakukan dengan model make a macth karena model
pembelajaran ini dapat mengatasi pembelajaran yang masih berlangsung satu arah, ini
sejalan dengan penilitian terdahulu mengatakan Make a Match berbasis Kooperatif.
Make a Match atau mencari pasangan adalah jenis pembelajaran kooperatif yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi peserta didik dan sebagai alternatif
terhadap struktur tradisional. Aktivitas belajar berpusat pada peserta didik dalam
bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung
dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif, peserta didik lebih
termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta
mampu membangun hubungan interpersonal. (Rachmawaty, 2020)
Kemudian talking stick sebagai model pelengkap agar pembelajaran menjadi
lebih menyenangkan dengan menambahkan unsur permaianan dalam proses
pembelajaran dalam penelitian terdahulu dikatakan bahwa Salah satu model
pembelajaran yang menyenangkan adalah model pembelajaran Talking Stick. Model
pembelajaran ini memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan, meningkatkan
motivasi, kepercayaan diri, dan life skill yang memunculkan emosi dan sikap positif
belajar yang berdampak pada peningkatan kecerdasan otak (Sumaryanto, 2018). Jadi
peneliti mengambil model talking stick ini guna menciptakan pembelajaran yang tidak
membosankan dan sekaligus meningkatkan minat dan motivasi peserta didik saat
belajar.
Model Charming berdararkan hasil kombinasi tiga model pembelajaran di atas,
yakni model Discovery Learning (DL), Make a Macth (MM), dan Talking Stick (TS)
menjadi satu saat penerapan di kelas yang tentunya memiliki tujuan untuk saling
melengkapi setiap modelnya agar terciptanya pembelajaran yang diharapkan sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Penerapan model Charming akan di laksanakan di kelas
V SDN Tanipah 2 yang akan mengoptimalkan proses belajar peserta didik, membantu
meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi peserta didik agar dapat menigkatkan
hasil belajar. Selain itu menciptkan sauna pembelajaran yang menyenangkan dan
menumbuhkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif peserta diidk.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul: “Meningkatkan Hasil Belajar
Peserta Didik Menggunakan Model Charming”

B. RUMUASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:

1. Bagaimana aktivitas guru melaksanakan pembelajaran dengan model charming di


kelas 5 SDN Alalak Selatan 2?
2. Bagaimana aktivitas siswa mengikuti pembelajaran dengan model charming di
kelas 5 SDN Alalak Selatan 2?
3. Apakah terdapat peningkatan keterampilan berfikir kritis dan kempuan berfikir
kreatif siswa serta motivasi siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan model
charming di kelas 5 SDN ALALAK SELATAN 2?
4. Apakah terdapat peningkatan hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran
dengan model charming di kelas 5 SDN Alalak Selatan 2?

C. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


Untuk mengatasi permasalah yang terjadi di atas adalah dengan menggunakan
kombinasi tiga model yaitu model Discovery Learning (DL), Make A Match (MM) dan
model Talking Stick (TS). Kombinasi tiga model ini mampu meningkatkan
kemampuan berfikir kritis dan kemampuan berfikir kreatif dan motivasi belajar siswa
pada pembelajaran matematika. Dalam penggunaan model tersebut dapat membuat
pembelajaran menjadi berpusat kepada siswa, meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah siswa dalam berfikir kritis, dan juga dengan menggunakan model ini dapat
menjadikan pembelajaran matematika menjadi lebih menyenagkan, sehingga hal
tersebut bisa membantu menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar matematika. Siswa
juga dapat saling bekerjasama dengan anggota kelompok.

Adapun sintak kombinasi dari model pembelajaran Discovery Learning (DL),


Make A Match (MM) dan model Talking Stick (TS) yaitu sebagai berikut:

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan stimulus kepada peserta


didik (DL & MM)
2. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dan mempelajari materi. (TS &
MM)
3. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 3 – 4 siswa
perkelompok secara heterogen. (TS)
4. Guru meminta siswa mengumpulkan data sebanyak – banyaknya Bersama
kelompok. (DL)
5. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review. satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
(MM)
6. Setiap kelompok mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya dengan
waktu yang di tentukan kepada kelompok lain. (MM)
7. Guru menyururh siswa memverifikasi data yang sudah mereka kumpulkan (DL)
8. Guru menyiapkan sebuah tongkat, guru mengambil tongkat dan memberikan
kepada peserta didik, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan peserta didik
memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, (TS)
9. Guru dengan siswa membuat kesimpula terhadap materi pelajaran (DL & MM)

Berdasarkan langkah – langkah model pembelajaran charming di atas berikut


bentuk pengimplementasian dalam proses belajar mengajar:

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan stimulus kepada peserta


didik (DL & MM)
“Guru menyampaikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik sebelum memulai
ke tahap penyampaian materi dengan menampilkannya melalui power point, hal ini
dilakukan untuk memberikan gambaran kepada siswa tentang pembelajaran yang
akan dilakukan. Penyampaian tujuan pembelajaran disampaikan dengan menarik
dan mudah dipahami oleh peserta didik. Guru memberikan beberapa pertanyaan
mengenai materi sebelumnya dan mengaitkannya dengan materi yang akan
dipelajari hari ini dengan menunjuk secara acak peserta didik”
2. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dan mempelajari materi. (TS &
MM).
“Guru menyampaikan materi menggunakan power point yang ditayangkan di depan
kelas dengan menggunakan beberapa media pembelajaran lain seperti hal yang ada
di lingkungan sekitar siswa, pada mata pelajaran matematika materi bangun ruang
guru menampilkan media berupa sebuah kotak kardus sebagai contoh nyata dari
bangun balok dan topi ulang tahun sebagai contoh nyata dari bangun kerucut, guru
menjelaskan materi dengan cara yang menarik dan menampilkan video dari youtube
mengenai materi yang dipelajari.
3. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 3 – 4 siswa
perkelompok secara heterogen. (TS)
“setelah selesai dalam pemberian materi gurupun membagi siswa menjadi beberapa
kelompok yang masing – masing kelompoknya terdiri dari 3 – 4 orang yang dipilih
secara heterogen. Kelompok dibagi berdasarkan prestasi yang di dapat semester
lalu, peringkat 1 -6 dipilih menjadi ketua kelompok untuk sisa anggotanya di pilih
dengan cara berhitung dari 1 – 6 dilakukan berulang sampai semua siswa habis.
Berhitung dilakukan terpisan antara siswa laki – laki dan siswa perempuan agar
semua dapat kelompok secara merata”
4. Guru meminta siswa mengumpulkan data sebanyak – banyaknya Bersama
kelompok. (DL)
“setealah semua siswa mendapatkan kelompok guru memberikan setiap
kelompoknya materi yang akan dicari. Kemudian kelompok diminta mencari data
sebanyak – banyaknya dari materi yang diberikan dengan pergi keperpustakaan,
guru memberikan waktu 15 menit untuk mengumpulkan data/informasi. Siswa
diminta mencatat di buku catatan hal yang mereka dapatkan. Misal kelompok 1
materi bangun ruang kubus lalu yang dicari seperti rumus luas nya, berapa
rusuknya, rumus volume nya dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan
bangun ruang kubus.”
5. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review. satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
(MM)
“Saat proses pencarian data/ informasi sudah selesai kelompok Kembali ke kelas
dan guru sudah menyiapkan kartu yang berisi kartu jawaban dan kartu pertanyaan.
Guru membagikan 2 kartu kepada setiap kelompoknya dan setiap kelompok bisa
mendapatkan 1 kartu jawaban dan kartu pertanyaan atau 2 kartu pertanyaan atau 2
kartu jawaban, system pembagian dilakukan secara acak. Jadi setiap kelompok
mendaptkan 2 kartu dan setiap kelompok akan mencari pasangan dari kartunya
dengan pergi ke kelompok lainnya.”
6. Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. (MM)
“Semua kelompok sudah mendapatkan masing – masing 2 kartu kemudian
diberikan waktu 3 menit untuk setiap kelompok mencari pasangan dari kartunya
masing – masing. Setiap kelompoknya mencari pasangan dari masing – masing
kartu kepadakelompok lainnya. Disini suasana akan menjadi gaduh maka guru
harus benar – benar mengkondisikan keadaan kelas dengan sesekali melakukan ice
breaking agar siswa tetap focus dan tidak terlalu gaduh. Kelompok terakhir yang
mendapatkan pasangan maka akan mendapatkan hukuman yaitu membacakan hasil
data yang diperoleh Bersama dengan kelompoknya di depan kelas”
7. Guru menyururh siswa memverifikasi data yang sudah mereka kumpulkan (DL)
“setelah selesai presentasi dari beberapa kelompok siswa diminta mengecek
Kembali, memperbaiki atau menambahkan data yang mereka dapatkan di
perpustakaan atau dari teman – teman kelompok lain yang presentasi dan tambahan
dari guru yang menanggapi hasil dari presentasi kelompok”
8. Guru menyiapkan sebuah tongkat, guru mengambil tongkat dan memberikan
kepada peserta didik, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan peserta didik
memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, (TS)
“kemudian setelas proses pengolahan data siswa sudah mendapatkan banyak
informasi dan data mengenai materi lalu untuk mengecek seberapa paham dan
memperhatikannya siswa guru melakukan permaianan talking stick. Guru sudah
menyiapkan tongkat dan beberapa lagu dareah, guru menjelaskan peraturan
mainnya dan memulai permaianan. Jadi guru akan menyalakan music dan
menjalankan tongkat music bisa berhenti kapan pun jadi setiap peserta didik bisa
mendapatkan tongkat, guru akan mengajukan pertanyaan kepada siswa yang
mendapatkan tongkat. Guru melakukan beberpa kali permainan sampai dirasa
bahwa siswa sudah memahami materi dengan dapat menjawab pertanyaan dari
guru”
9. Guru dengan siswa membuat kesimpula terhadap materi pelajaran (DL & MM)
“Guru mengakhiri permainan dan siswa diminta duduk seperti semula, guru
melakukan penguatan dengan memberikan kesimpulan mengeani materi yang
sudah di sampaikan. Sebelum menutup pelajaran tidak lupa guru menanyakan
apakah ada siswa yang kurang paham terhadap materi apabila ada yang tidak
mengerti dapat dilempar dulu kepada peserta didik yang lain apakah ada yang dapat
membantu menjawab pertanyaan dari peserta didik tersebut selanjutnya guru akan
menambahkan jawabannya.”

Berdasarkan sintak kombinasi model pembelajaran charming di atas terdapat


beberapa permasalahan yang dapat diatasi dari setiap langkahnya. Adapun pembahasan
dari setiap masalah yang dapat di atasi oleh Langkah – Langkah model charming
sebagai berikut:

1. Langkah pertama “Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan


stimulus kepada peserta didik (DL & MM)”. Langkah ini memberikan gambaran
awal proses pembeajaran yang akan di laksanakan, dan membantu merangsang
peserta didik agar menjadi tertarik dalam proses pembelajaran. Langkah awal ini
dapat mempengaruhi tahap – tahap selanjutnya oleh karena itu proses awal harus
dilaksanakan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh peserta didik
agar mereka menjadi terpancing untuk belajar materi selanjutnya. Jadi pada proses
ini guru diharapkan mampu menyampaikan dengan cara yang menarik dan mampu
membuat siswa tertarik akan tahap selanjutnya oleh karena itu penggunaan media
pembelajaran sangat penting sejalan dengan pendapat Arsyad (2017) menyatakan
pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan
keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan
belajar, bahkan dapat membawa pengaruh kejiwaan terhadap diri siswa.”
2. Langkah kedua “Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dan mempelajari
materi. (TS & MM)”. Langkah ini dapat mengatasi permasalahan siswa yaitu
kurang memahami materi yang diberikan. Karena dengan pemberian penjelasan
yang lebih rinci dan mendalam dari guru siswa akan lebih mudah memahami materi.
Pada saat penyampaian materi hendaklah guru menggunakan media pembelajaran
agar siswa menjadi tertarik dan mudah mengerti dalam memahami materi hal ini
sejalan dengan pendapat Hamalik (2017) media pembelajaran dapat membantu
siswa menigkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,
memudahkan penafsiran data dan memadatkan informasi. Penggunaan media
pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar dapat meningkatkan motivasi dan
keinginan belajar siswa serta siswa dapat tertarik dan lebih mudah memahami
materi yang disampaikan”
3. Langkah ke tiga “Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri
dari 3 – 4 siswa perkelompok secara heterogen. (TS)”. Langakah ini penting karena
dengan adanya kegiatan berkelompok dapat membantu meningkatkan sosial peserta
didik dan dengan pembagian kelompok yang heterogen dapat mengajarkan siswa
untuk bekerja sama dengan siapapun tanpa harus memandang latar belakang
maupun hal lainnya. Dalam kegiatan berkelompok siswa akan lebih mudah paham
karena memiliki tempat untuk saling bertukarpikiran hal ini Sejalan dengan hasil
penelitian Gibbs (Juniar, 2019) yaitu untuk menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan meningkatkan pemahaman maka harus memberikan kepercayaan,
komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu
ketat.dengan menggunakan diskusi kelompok.
4. Langkah ke empat “Guru meminta siswa mengumpulkan data sebanyak –
banyaknya Bersama kelompok. (DL)” Langkah ini dapat mengatasi permasalah
berdikir kritis siswa. Karena dengan diberikannya suatu masalah dapat
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa agar dapat memecahkan permasalahan.
Semakin banyak pemecahan masalahan yang di dapat siswa maka akan
meningkatkan kemampuan berfikir kritis. Hal ini sejalan dengan pendapat Glaser
(Alita, 2019) Berpikir kritis merupakan suatu sikap dan keterampilan berpikir
secara mendalam tentang masalah dan hal-hal yang berada dalam pengalaman
seseorang dan pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran
yang logis.
5. Langkah ke lima “Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep
atau topik yang cocok untuk sesi review. satu bagian kartu soal dan bagian lainnya
kartu jawaban. (MM)” Langkah ini dapat mengatasi masalah kreatifitas guru, dalam
penggunaan model pembelajaran yang menantang kreatifitas guru dalam proses
pembelajaran dapat membuat proses belajar mengajar menjadi lebih menyenagkan
sehingga dapat meningkatkan minat belajar siswa dan motivasi siswa hal ini sejalan
dengan penelitian terdahulu yaitu Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif Tipe Make A Match dapat menjadi
variasi pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik sehingga terbukti
meningkatkan prestasi belajar peserta didik di Kelas IV A SD Negeri Polisi 4
Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Penggunakan model pembelajaran
kooperatif Tipe Make A Match prestasi belajar peserta didik hanya mencapai nilai
rata-rata 62,25 kemudian terjadi peningkatan setelah menggunakan model
pembelajaran kooperatif Tipe Make A Match menjadi 71,50 pada siklus 1 dan 79,13
pada siklus 2. (Julaeha, 2020)
6. Langkah ke enam “Setiap kelompok mencari pasangan kartu yang cocok dengan
kartunya dengan waktu yang di tentukan kepada kelompok lain. (MM)” Langkah
ini dilakukan agar setiap kelompok dapat bertukar pikiran dan mengkomunikasikan
jawaban dari pemasalahan yang diberikan, saling bekerja sama sesama kelompok.
Langkah ini juga ditujukan untuk meningkatkan kerja sama siswa yang kurang
berkembang atau lebih individualistis. Hal ini sejalan dengan pendapat Wulandari,
Suarni, & Renda (2018) berpendapat bahwa “Model pembelajaran make a match
menekankan siswa untuk bekerja sama antar siswa lain dan dapat mengembangkan
pengetahuan siswa melalui belajar sambil bermain, model ini dapat memotivasi
siswa, kegiatan pembelajaran lebih menyenangkan, serta saling berinteraksi dalam
bekerjasama, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dan dapat
meningkatkanhasil belajarsiswa. (Fauhah, 2021)”
7. Langkah ketujuh “Guru menyururuh siswa memverifikasi data yang sudah mereka
kumpulkan (DL)” dengan adanya Langkah ini maka siswa dapat mengumpulkan
Kembali data – data yang telah mereka dapatkan. Langkah ini membantu siswa
terlihat aktif dan pembelajaran menjadi terfokus kepada siswa karena siswa diminta
mengolah sendiri data yang meraka dapatkan tetapi masih dengan pengawasan dari
guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Glaser (Alita, 2019) Berpikir kritis
merupakan suatu sikap dan keterampilan berpikir secara mendalam tentang masalah
dan hal-hal yang berada dalam pengalaman seseorang dan pengetahuan tentang
metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis.
8. Langkah ke delapan “Guru menyiapkan sebuah tongkat, guru mengambil tongkat
dan memberikan kepada peserta didik, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan
peserta didik memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, (TS)” guru
memberikan sebuah permainan dalam pembelajaran disertasi dengan beberapa
pertanyaan hal ini membantu siswa mengingat kembali materi yang telah di pelajari,
Langkah ini dapat membuat antusiasme siswa dalam belajar. Belajar sambil
bermain dapat meningkatkan motivasi siswa dan menigkatkan hasil belajar siswa
dikarenakan pembelajaran yang menyenangkan dan mebuat siswa menjadi lebih
mudah memahami materi hal ini sejalan dengan penilitan terdahulu bahwa
Pembelajaran Talking Stick sangat cocok diterapkan bagi peserta didik SD, SMP,
SMA/SMK. Selain itu melatih berbicara, pembelajaran ini akan menciptakan
suasana yang menyenangkan dan membuat peserta didik aktif. (Pantas, 2020)
9. Langkah ke Sembilan “Guru dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi
pelajaran (DL & MM)” langkah ini dapat mengatasi kreatifitas siswa dengan
diminta untuk menarik kesimpulan, dengan adanya proses membuat kesimpulan
dengan guru dapat meningkatkan dan mengembangkn kreatifitas dan berfikir kritis
siswa hal ini sependapat dengan teori Johnson (2007) dalam (Ekawati, 2017)
berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan peserta
didik mengevaluasi bukti, asumsi, logika dan bahasa yang mendasari
pemikiran orang lain.

D. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui aktivitas guru melaksanakan pembelajaran dengan model
charming di kelas 5 SDN Alalak Selatan.
2. Untuk mengetahui aktivitas siswa mengikuti pembelajaran dengan model charming
di kelas 5 SDN Alalak Selatan 2.
3. Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berfikir kritis dan kempuan berfikir
kreatif siswa serta motivasi siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan model
charming di kelas 5 SDN Alalak Selatan 2.
4. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran
dengan model charming di kelas 5 SDN Alalak Selatan 2.

E. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Kepala Sekolah
Penelitian ini dapat menjadi alternatif salah satu masukan dan acuan
bagi perbaikan kualitas pembelajaran di sekolah, serta membina para guru
dalam melakukan inovasi untuk meningkatkan profesionalisme guru.
2. Bagi Guru
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan pandangan tentang
kebaikan melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student
centered) dan menjadi bahan referensi guru untuk menggunakan model
pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.
3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan,
pengetahuan, dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan dalam
melaksanakan penelitian selanjutnya.
4. Bagi Siswa
Semoga dengan penelitian ini dapat meningkatkan aktivitas, motivasi
dan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
1. Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar
Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka punya perbedaan tiap
pribadi dalam banyak segi bidang diantaranya, perbedaan dalam intelejensi,
kognitif, bahasa, perkembangan pribadi dan perkembangan fisik. (Maulidina,
2018)

Usia Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang merupakan


lanjutan dari pendidikan kanak-kanak. Pendidikan yang didapatkan pada jenjang
pendidikan kanak-kanak secara langsung berpengaruh pada pendidikan di Sekolah
Dasar. Aspek perkembangan yang menjadi sorotan pada masa usia Sekolah Dasar
lebih difokuskan pada kemampuan kognitif dan psikomotorik anak. Hal ini
dikarenakan pada usia perkembangan tersebut anak lebih banyak melakukan
aktivitas yang berkaitan dengan proses berfikir dan pergerakan aktif yang mereka
lakuka setiap hari. Pada fase masa perkembangan usia Sekolah Dasar, anak mulai
memasuki usia sekolah formal. Terdapat beberapa perbedaan kondisi yang dialami
anak pada saat masa usia sekolah formal dan masa sebelumnya. Pada masa
memasuki usia sekolah formal, anak akan menemui dan berada pada lingkungan
baru. (Aini, 2018)

Sheldon (dalam Hurlock, 1980) mengemukakan ada tiga kemungkinan


bentuk primer tubuh siswa sekolah dasar adalah; (a) endomorph, yakni yang
tampak dari luar dan berbadan besar; (b) mesomorph yang kelihatan kokoh, kuat
dan kekal; (c) ectomorph yang tampak jangkung, dada pipih, lemah dan seperti tak
berotot. karakteristik perkembangan fisik anak usia sekolah dasarakan lebih
difokuskan pada: (1) Tinggi dan berat badan, (2) Proporsi tubuh, dan (3) Otak. Di
Indonesia tinggi dan berat badan diperkirakan penambahanya berkisar 2,5 – 3,5 kg
dan 5-7Cm pertahun (F.A Hodis dalam Wahab 1998/1999: 43. Demikian juga
pendapat (Desmita 2009: 74) mengemukakan bahwa selama masa akhir anak-anak,
tinggi bertambah sekitar 5 hingga 6% dan berat bertambah sekitar 10% pertahun.
Pada usia-usia 6 tahun tinggi rata-rata anak adalah 46 Inci dengan berat 22,5 kg,
sedangkan usia 12 tahun tinggi anak mencapai 60 inci, berat badan mencapai 40kg
hingga 42,5kg (Mussen,Conger dan Kagan, 1969) . Berdasarkan uraian di atas
peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badanya. Kaki dan
tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul lebih besar. Peningkatan berat
badan anak selama ini terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem
rangkadan otot serta ukuran beberapa organ tubuh. Pada saat yang sama secara
berangsur-angsur terus bertambah. Pertambahan ini disebabkan karena faktor
keturunan dan latihan. (Murti, 2018)

2. Konsep Dasar Dan Pembelajaran


a. Hakikat belajar
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang berasal dari
hasil pengalaman dan latihan, belajar akan timbul apabila seseorang menemui
situasi yang baru kemudian situasi yang baru itu akan dihadapi dengan
menggunakan pengalaman yang dimiliki. Keberhasilan belajar dipengaruhi
dengan minat, keinginan, motivasi, tujuan, dan situasi saat itu.
Hilgard dan Bower ( Theories of Learning. 1975 ) dalam Ngalim
Purwanto (1990 : 84) belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
terhadap situasi tertentu yang disebabkan pengalaman yang berulang-ulang
dalam situasi itu. Perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau atas dasar
kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan sesaat.
Menurut Slameto (1995:2) belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan. Sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungan.
Menurut Gagne dalam Dimyati dan Mudjiono (1994 : 9) belajar adalah
seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan
melewati pengolahan informasi menjadi kapabilitas baru. Pengertian belajar
juga dirumuskan oleh Kimble Singgih D Gunarso (1990 : 119). Belajar adalah
perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai
akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan
karena kematangan, kelelahan, dan kerusakan sistem saraf.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa belajar adalah suatu proses diri siswa secara aktif dan kontinyu baik
jasmani dan rohani dalam menanggapi suatu informasi yang baru untuk
menghasilkan perubahan-perubahan baik efektif, konitif, motorik, dan sikap.
Perubahan itu bersifat konstan dan menetap sehingga perlu adanya minat dan
motivasi.
Menurut Slameto (1995:54–72) berpendapat ada dua hal yang
mempengaruhi belajar yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
1) Faktor intern adalah faktor yang terdapat dalam diri individu yang sedang
belajar, diantaranya faktor jasmani, faktor psikologis, dan faktor kelelahan.
Faktor jasmani misalnya intelegensi, minat, bakat, motivasi, kematangan,
dan lain-lain. Sedang faktor kelelahan ada dua macam yaitu kelelahan
jasmani dan kelelahan rohani.
2) Faktor ekstern adalah faktor belajar yang berada di luar individu yang
sedang belajar. Faktor ini biasa disebut faktor lingkungan, yang terdiri dari
faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.

Faktor keluarga yang dapat mempengaruhi belajar misalnya cara orang


tua mendidik. Hubungan antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan
ekonomi keluarga. Latar belakang kebudayaan keluarga, dan lepedulian orang
tua terhadap pendidikan, latar belakang pendidikan orang tua, serta lingkungan
tempat anak tinggal.

Faktor sekolah yang dapat mempengaruhi belajar misalnya metode


mengajar, kurikulum, hubungan antara guru dengan murid dan murid dengan
murid, kedisiplinan sekolah, sarana prasarana belajar, kondisi fisik sekolah,
standar pelajaran dan lain-lain.

Faktor masyarakat yang dapat mempengaruhi belajar diantaranya


Kegiatan siswa dalam masyarakat, media masa, teman bergaul, dan bentuk
kehidupan masyarakat.

b. Hakikat pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-
unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan (Oemar Hamalik,
1995 : 57). Dalam hal ini kondisi pembelajaran pendidikan formal harus
mampu memaksimalkan peluang bagi siswa untuk berlangsungnya interaksi
yang hakiki bukan sekedar menyampaikan pengetahuan dan membentuk
keterampilan saja. Bila pembelajaran hanya proses menyampaikan
pengetahuan dan keterampilan saja maka kualitas pembelajaran akan menurun.
Menurut Gagne dalam Purwanto (1989 ) pembelajaran adalah suatu
usaha untuk membuat siswa belajar sehingga situasi tersebut merupakan
peristiwa belajar (event of learning), yaitu cara atau kegiatan untuk terjadinya
peruhahan tingkah laku siswa. Peruhahan tingkah laku itu dapat terjadi apabila
adanya interaksi antara siswa dan lingkungan.
Sekolah artinya belajar menggunakan pikiran dengan baik. berpikir
kreatif menghadapi persoalan-persoalan penting serta menanamkan kebiasan
untuk berpikir. (Sixer, 1992).
Lebih lanjut Sixer mengatakan bahwa sistem pembelajaran dan
pengajaran yang baik adalah pencapaian intelektual yang berasal dan
partisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna,
pengalaman yang memperkuat hubungan antara sel-sel otak yang sudah ada
dan membentuk hubungan saraf baru. Menurut aliran Behavioristik
pembelajaran adalah pemberian stimulus kepada siswa sehingga menimbulkan
respon seperti yang kita inginkan dengan tepat sesuai tujuan. Sedang menurut
aliran psikologi kognitif pembelajaran adalah pengaktifan indera siswa agar
siswa memperoleh suatu pemahaman (insight). Pemahaman yang diperoleh ini
sangat dipengaruhi oleh intelegnsi siswa, pengalaman siswa, taraf
kompleksitas, dan trial and error (memecahkan masalah baru dengan
percobaan).
Menurut Grouper dalam Suwalni dan Sholleh (1984: 5 - 7) mengatakan
ruang lingkup pembelajaran tidak terbatas pada prosedur kegiatan melainkan
juga materi atau paket untuk kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya Grouper
mengatakan bahwa setiap tingkah laku perlu dipraktekkan karena pengalaman
murid menunjukkan perlunya adanya hubungan antara strategi pembelajaran
dengan tujuan belajar agar diperoleh langkah-langkah yang efesien dan efektif.
Dan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
suatu kegiatan belajar mengajar yang di dalamnya terdapat siswa sebagai obyek
dan guru sebagai fasilitator yang memungkinkan terjadi perubahan yang baik
pada diri siswa baik perubahan afektif, kognitif, dan psikomotoriknya.
3. Konsep Aktifitas Guru, Aktivitas Siswa, Motivasi Siswa Dan Hasil Belajar
a. Aktivitas guru
Guru berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya
kondisi yang lebih baik bagi peserta didik untuk belajar. Guru harus bisa
menciptakan situasi yang menyenangkan sehingga bisa mendukung
terlaksananya kegiatan pembelajaran dengan baik serta mampu membimbing
dan memotivasi siswa untuk aktif. Selain itu guru juga bertanggungjawab atas
tercapainya hasil belajar peserta didik. Oleh karena itu, keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran bergantung pada kemampuan guru dalam
memahami dan memilih suatu model serta metode pembelajaran yang sesuai
dengan materi yang akan diajarkan dalam proses pembelajaran (Yupita, 2020)
b. Aktivitas siswa
Aktivitas belajar siswa merupakan hal yang sangat penting yang harus
dikembangkan (Darmuki dan Hariyadi, 2019). Arikunto, (2005) menyatakan
bahwa aktivitas siswa merupakan keterlibatan peserta didik dalam bentuk
sikap, pikiran, perhatian, dan aktivitas dalam kegiatan proses pembelajaran
guna menunjang keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Mulyana
(2009:23), Melalui kegiatan pembelajaran semua siswa diharapkan
memperoleh pengalaman langsung melalui pengalaman indrawi yang
memungkinkan mereka memperolah informasi dari melihat, mendengar,
meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium. Dari pendapat Mulyana tersebut,
dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang
diterapkan oleh guru, siswa dituntut untuk memperoleh pengalaman dan
memiliki perubahan-perubahan tingkah laku dalam melakukan pembelajaran.
Namun pada kenyataannya, kegiatan pembelajaran disekolah masih banyak
kendalakendala yang dihadapi dalam melaksanakan proses belajar mengajar
yang aktif melibatkan guru dan siswa. (Astuti, 2021)
c. Motivasi belajar siswa
Menurut W.S Winkel motivasi belajar adalah keseluruhan daya
penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan belajar. Pendapat yang sama
pun diungkapkan oleh Muhibbin Syah (2003:158) yang menegaskan bahwa
motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak yang ada di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar dan menjamin kelangsungan
kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat
tercapai. Berdasarkan pengertian motivasi belajar diatas dapat disimpulkan
bahwa pengertian motivasi belajar adalah serangkaian dorongan atau daya
penggerak yang berasal dari dalam diri sendiri maupun dari luar untuk
melakukan aktivitas belajar sehingga menimbulkan perubahan sehingga apa
yang menjadi tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai.
d. Hasil belajar
Hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana Nana, 1991:22). Horward
Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni a) keterampilan dan
kebiasaan; b) pengetahuan dan pengertian; c) sikap dan cita-cita. Masing-
masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam
kurikulum.
Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2009:3), menyatakan bahwa hasil
belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian,
sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan (Suprijono dalam Thobroni
Muhammad dan Mustofa Arief, 2011:22). Merujuk pemikiran Gagne, hasil
belajar berupa hal-hal berikut: a) Informasi verbal, yaitu kapabilitas
mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik.
Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan
masalah, maupun merespon aturan; b) Keterampilan intelektual, yaitu
kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang; c) Strategi kognitif, yaitu
kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya. Kemampuan
ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah; d)
Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak
jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani; e) Sikap adalah kemampaun menerima atau menolak objek
berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.
Menurut Bloom hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif,
psikomotor. Domain 1) kognitif mencakup, pengetahuan, pemahaman,
menerapkan, menguraikan, merencanakan, menilai, 2) afektif mencakup, sikap
menerima, memberikan respon, nilai, organisasi, karakterisasi, 3) psikomotor,
initiority, pre-reoutine, rountinized, keterampilan produktif, teknik, fisik,
sosial, manajerial dan intelektual. Pendapat lain mengatakan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan
belajar (Abdurahman dalam Jihad, 2010:14). Belajar itu sendiri merupakan
suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk
perilaku yang relative menetap.
Dari beberapa pendapat di atas jadi dapat disimpulkan bahwa, hasil
belajar adalah kemampuankemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui
kegiatan belajar yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor dari
proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu. (Yupita, 2020)

4. Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar


1. Hakikat matematika di sekolah dasar
Lampiran I Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (2009: 9), menyatakan
bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan
bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi
untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan
kompetitif. Lebih lanjut dijelaskan pula pemberian pendidikan matematika
dapat digunakan untuk sarana dalam pemecahan masalah dan
mengomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel,
diagram, dan media lain.
Ebbutt dan Straker (Marsigit, 1995: 10-63), memberikan pedoman bagi
guru agar siswa menyenangi matematika di sekolah berdasarkan kepada
anggapan tentang hakikat matematika dan hakikat subyek didik beserta
implikasinya terhadap pembelajaran matematika sebagai berikut.
a. Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan
Dalam pembelajaran matematika, guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola - pola
dan hubungan dalam matematika. Kegiatan dapat dilakukan melalui
percobaan untuk menemukan urutan, perbedaan, perbandingan,
pengelompokan, dan sebagainya serta memberi kesempatan siswa untuk
menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya sampai
kepada menarik kesimpulan.
b. Matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan
penemuan
Dalam mengembangkan kreativitas siswa, guru harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berpikir berbeda menggunakan pola pikir
mereka sendiri sehingga menghasilkan penemuan mereka sendiri. Guru juga
meyakinkan siswa bahwa penemuan mereka bermanfaat walaupun
terkadang kurang tepat dan siswa diberi pengertian untuk selalu menghargai
penemuan dan hasil kerja orang lain.
c. Matematika adalah kegiatan problem solving
Guru berupaya mengembangkan pembelajaran sehingga menimbulkan
masalah matematika yang harus dipecahkan oleh siswa dengan
menggunakan cara mereka sendiri. Guru juga harus mendampingi siswa
dalam memecahkan masalah sebagai fasilitator.
d. Matematika merupakan alat berkomunikasi
Guru harus berusaha menjadikan kegiatan pembelajaran matematika
yang memfasilitasi siswa mengenal dan dapat menjelaskan sifat-sifat
matematika. Guru juga diharapkan dapat menstimulasi siswa untuk dapat
menjadikan matematika sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-
hari.

Mencermati penjabaran tentang pembelajaran matematika di atas, penulis


mengacu pada pendapat Ebbutt dan Straker yang menyatakan bahwa guru harus
mempunyai pedoman dalam melakukan kegiatan pembelajaran matematika
sehingga diharapkan pembelajaran matematika menyenangkan bagi siswa,
bermanfaat, dan sesuai dengan tingkat perkembangannya.

2. Tujuan pembelajaran matematika


Lampiran I Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (2009: 10), menyebutkan
tujuan pembelajaran matematika bagi siswa di sekolah dasar adalah sebagai
berikut.
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Menurut Mathematical Sciences Education Board-National Research


Council (Ariyadi Wijaya, 2011: 7), merumuskan empat tujuan pendidikan
matematika ditinjau dalam lingkungan sosial, meliputi.

a) Tujuan praktis
Tujuan praktis dari matematika ialah berkaitan pengembangan
kemampuan siswa dalam mengaplikasikan matematika untuk
menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
b) Tujuan kemasyarakatan
Tujuan pendidikan matematika ini yaitu mengupayakan pengembangan
kemampuan siswa untuk berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam hidup
bermasyarakat. Sudah saatnya pendidikan matematika tidak hanya
mengembangkan kemampuan kognitif siswa namun pendidikan
matematika juga harus dapat mengembangkan kemampunan sosial siswa.
c) Tujuan profesional Tujuan profesional dari pendidikan matematika
berorientasi pada mempersiapkan siswa untuk terjun di dunia kerja. Seperti
kita ketahui seluruh jenis pekerjaan yang ada sekarang baik langsung
maupun tidak langsung menuntut kemampuan matematika.
d) Tujuan budaya
Pendidikan merupakan suatu bentuk budaya dan diharapkan pendidikan
matematika dapat dijadikan bagian dari suatu budaya manusia sehingga
berperan dalam mengembangkan kebudayaan.
1. Solusi
Berdasarkan permasalahan yang disebutkan di latar belakang, peneliti menawarkan
alternatif pemecahan masalah dengan menerapkan kombinasi model charming.
Model pembelajaran charming merupakan kombinasi dari tiga model pembelajaran
di atas, yakni model discovery learnig, make a match dan talking stick.

1. Model Discovery Learning


Model discovery learning merupakan model pembelajaran yang
membuat peserta didik aktif menemukan konsep matematika. Menurut Cicik
(2018) model discovery learning ini memberikan kesempatan yang luas kepada
peserta didik dalam menemukan konsep matematika yang akan dipelajari
secara mandiri. Hosnan, 2014) menjelaskan hal yang sama tentang discovery
learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar peserta didik
aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang
diperoleh akan setia aktif dan tahan lama dalam ingatan, tidak mudah dilupakan
peserta didik. (Sahrul, 2020)
Model pembelajaran discovery merupakan suatu cara untuk
mengembangkan belajar aktif dengan menemukan dan menyelidiki sendiri
sehingga hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan (Vahlia, 2014).
Model pembelajaran discovery learning memiliki kelebihan dan kekurangan.
Menurut Maulia dan Ramadhan (2020) mengemukakan bahwa discovery
learning memiliki banyak kelebihan, sehingga cocok digunakan dalam proses
pembelajaran. Model ini membantu peserta didik lebih aktif dalam
pembelajaran. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan
pemikirannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Peserta didik dipacu
untuk melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bahan yang diperlukan
dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran menggunakan model
discovery learning, guru hanya sebagai teman belajar dan membantu apabila
diperlukan. Selain itu, model discovery learning juga memiliki banyak
kelemahan. Kelemahan dalam pembelajaran discovery learning adalah peserta
didik belum terbiasa dengan model pembelajaran baru sehingga siswa kurang
terampil dalam melaksanakan pembelajaran (Purwanto, Sunyoto & Wiyanto,
2012). Hal ini menyebabkan siswa yang lamban dalam proses berpikir akan
cenderung bingung, sedangkan siswa yang lebih pandai akan cenderung
memonopoli proses pembelajaran di kelas. Untuk meminimalisir kendala
tersebut, diperlukan sebuah teknik pembelajaran yang dapat merangsang
kreatifitas siswa. Berdasarkan kelemahan tersebut, diperlukan media yang
dapat mengkonkretkan materi agar mudah dipahami dan mampu diingat lebih
lama oleh peserta didik. (Khoerunisa, 2020)
Tahap-tahap pembelajaran discovery yaitu: 1) data collection, yaitu
kegiatan mengumpulkan data, 2) data processing, yaitu kegiatan pengolahan
data, 3) verification, veriikasi data 4) generalization, yaitu membuat
kesimpulan berdasar- kan hasil dari kegiatan yang telah dilakukan. Pada tahap-
tahap pem- belajaran model pembelajaran disco- very terdapat ruang bagi siswa
untuk melatih kemampuan komunikasi matematisnya. (Puspita, 2017)
2. Model Make A Match

Model pembelajaran make a match (mencari pasangan) merupakan


salah satu jenis dari model dalam pembelajaran kooperatif. Model ini
dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan model ini
adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik
dalam suasana yang menyenangkan (Rusman, 2011) dalam (Sirait, 2013).

Model pembelajaran Make a Match berbantuan kartu bergambar. Model


ini mengaktifkan siswa dengan cara siswa menemukan sendiri jawaban dari soal
yang di bawa teman lain. Selain itu siswa juga dituntut untuk aktif dalam
pembelajaran dan menentukan jawaban yang tepat. Pada model pembelajaran
kooperatif tipe Make A Match terlebih dahulu diadakan latihan kerjasama
kelompok. Hal ini bertujuan untuk mengenal dan memahami karakteristik
masing-masing individu dan kelompok. Suyatno mengungkapkan bahwa model
make and match adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu
yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian
siswa mencari pasangan kartunya (Aliputri, 2018).

Langkah-langkah penerapan metode Make a Match sebagai beikut:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review. satu bagian kartu soal dan bagian lainnya
kartu jawaban.
2. Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawahan.
3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
4. Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya.
Misalnya: pemegang kartu yang bertuliskan nama tumbuhan dalam Bahasa
Indonesia akan berpasangan dengan nama tumbuhan dalam Bahasa Latin
(ilmiah).
5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin.
6. Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak
dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan
hukuman, yang telah disepakati bersama.
7. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelurmnya, demikian seterusnya.
8. Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang
kartu yang dikocok.
9. Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi
pelajaran
Kelebihan dan kelemahan model Cooperative Learning tipe Make A Match
menurut Miftahul Huda adalah sebagai berikut.
a) Kelebihan model pembelajaran tipe Make A Match antara lain:
1. dapat meningkatkan akti-vitas belajar siswa, baik secara kognitif
maupun fisik;
2. karena ada unsur permainan, metode ini menyengkan;
3. meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa;
4. efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi;
dan
5. efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
b) Kelemahan model pembelajaran Make A Match antara lain:
1. jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang
terbuang;
2. pada awal-awal penerapan metode, banyak siswa yang akan malu
berpasangan dengan lawan jenisnya;
3. jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa
yang kurang mem-perhatikan pada saat presentasi pasangan;
4. guru harus hati-hati dan bijaksana saat member hukuman pada siswa
yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu; dan
5. menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan
kebosanan.
3. Model Talking Stick

Model pembelajaran talking stick merupakan salah satu dari model


pembelajaran kooperatif, guru memberikan siswa kesempatan untuk bekerja
sendiri serta bekerja sama dengan orang lain dengan cara mengoptimalisasikan
partisipasi siswa (Lie, 2002:56) dalam (Huda, 2017).

Kemudian menurut Widodo (2009) mengemukakan bahwa talking stick


merupakan suatu model pembelajaran yang menggunakan sebuah tongkat
sebagai alat penunjuk giliran. Siswa yang mendapat tongkat akan diberi
pertanyaan dan harus menjawabnya. Kemudian secara estafet tongkat tersebut
berpindah ke tangan siswa lainnya secara bergiliran. Demikian seterusnya
sampai seluruh siswa mendapat tongkat dan pertanyaan. (Huda, 2017)

Menurut Sugihharto (2009) mengemukakan bahwa model pembelajaran


talking stick termasuk dalam pembelajaran kooperatif karena memiliki ciri-ciri
yang sesuai dengan pembelajaran kooperatif yaitu: (1) Siswa bekerja dalam
kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya, (2)
Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan
rendah, (3) Anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin
yang berbeda, serta (4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang
individu. (Huda, 2017)

Langkah-langkah model pembelajaran (Istarani) talking stick menurut


Istarani (Istarani, 2012)sebagai berikut:

1) Guru menyiapkan sebuah tongkat.


2) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4 - 6
siswa perkelompok.
3) Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dan
mempelajari materi.
4) Setelah selesai membaca materi/buku pelajaran dan mempelaarinya, peserta
didik menutup bukunya
5) Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada peserta didik, setelah itu
guru memberikan pertanyaan dan peserta didik memegang tongkat tersebut
harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar peserta
didik mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru.
6) Guru memberikan kesimpulan.
7) Evaluasi.
8) Penutup.
Kiranawati (Eki Dian Permana Sari : 2012) menyatakan terdapat kelebihan
dan kekurangan dari pembelajaran kooperatif tipe talking stick yaitu, kelebihan:

1) Menguji kesiapan siswa.


2) Melatih membaca dan memahami materi dengan cepat.
3) Agar lebih giat dalam belajar (belajar dahulu).

Sedangkan kekurangannya yaitu membuat siswa senam jantung.

2. Penelitian Yang Relavan


Penelitian yang di ambil oleh peneliti bukan merupakan penelitian yang baru
pertama kali dilakukan, sebelumnya sudah ada referensi dari penelitian yang
terdahulu yang membahas penelitian menggunakan model Discovery learning,
make a match dan talking stick.

Resa Yulia Puspita (2017) dalam penelitian berjudul “Efektivitas Model


Discovery Learning Berbasis Ethnomathematic Terhadap Kemampuan
Komunikasi Matematis Siswa” Berdasarkan hasil analisis data posttest
kemampuan komunikasi matematis siswa yang telah mengi- kuti pembelajaran
discovery berbasis ethnomathematic, diketahui bahwa dari 29 siswa yang
mengikuti posttest hanya 9 siswa atau 31,03% siswa yang tuntas mencapai KKM
≥ 76 atau memiliki kemampuan komu- nikasi matematis terkategori baik.
Selanjutnya, dilakukan uji proporsi untuk mengetahui persentase siswa yang tuntas
belajar.

Ayu Anggita Anggraini ( (2019) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh


Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match terhadap Motivasi dan Hasil
Belajar Matematika”. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat memperoleh data
penelitian dan pembahasan tentang pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe
make a match terhadap motivasi dan hasil belajar matematika siswa kelas V SD
Negeri Balun Banjarnegara . Pada model pembelajaran kooperatif tipe make a
match dilakukan di dua kelas yaitu kelas VA sebagai kelas eksperimen dan kelas
VB sebagai kelas kontrol. Kondisi awal siswa sebelum pelaksanaan penelitian
yaitu sebagian besar nilai siswa berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM), hal ini karena cara belajar siswa di sekolah kurang aktif dan efektif di
kelas. Banyak siswa yang gaduh dengan teman sebangkunya saat pelajaran,
sehingga membuat siswa kurang fokus dengan materi yang disampaikan guru. Oleh
karena itu, peneliti mengadakan penelitian dengan judul pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe make a match terhadap motivasi dan hasil belajar
matematika siswa ke las V SD Negeri 1 Balun Banjarnegara.

Seftiana Arnista (2019) dalam penelitian yang berjudul “Keefektifan Model


Pembelajaran Make A Match terhadap Hasil Belajar dan Motivasi Belajar
Matematika”. Berdasarkan hasil penelitian di SDN Wedarijaksa 02 Pati bahwa
penerapan model pembelajaran make a match efektif terhadap hasil belajar dan
motivasi belajar matematika siswa kelas II SDN Wedarijaksa 02 Pati, dengan
rincian sebagai berikut: 1) Terdapat peningkatan nilai pretest dan posttest, dengan
rata-rata pretest mencapai 59,1 sedangkan nilai rata-rata posttest mencapai 78,6.
Hal ini berarti bahwa nilai posttest pada kelas IIB SDN Wedarijaksa 02 Pati setelah
menggunakan model make a match lebih baik dari nilai pretest sebelum
menggunakan model make a match. 2) Terdapat peningkatan nilai motivasi belajar
(pretest) dan nilai motivasi (posttest), dengan rata-rata hasil nilai angket motivasi
belajar (pretest) mencapai 66 sedangkan nilai rata-rata hasil nilai angket motivasi
(posttest) mencapai 80,6. Hal ini berarti bahwa motivasi belajar pada kelas IIB
SDN Wedarijaksa 02 Pati setelah menggunakan model make a match lebih baik
dari sebelum menggunakan model make a match.

Heri Cahyono (2020) dalm penelitian yang berjudul “Efektivitas Model


Pembelajaran Problem Open Ended dan Talking Stick Terhadap Prestasi Belajar
Matematika Pada Materi Himpunan Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa”. Uji
coba instrumen dilakukan pada siswa kelas VII A MTs Darul Hikmah Ngompak.
Hasil dari uji coba angket dan soal menunjukkan bahwa instrumen penelitian baik
dan bisa digunakan untuk penelitian pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Data kemampuan awal yaitu data hasil ujian tengah semester pada semester
ganjil, data tersebut nantinya digunakan untuk uji keseimbangan. Uji t digunakan
untuk uji keseimbangan dengan prasyarat normal dan homogen.

Hasil uji normalitas pada kelas eksperimen dengan α = 0,05 menunjukkan


bahwa Lobs = 0,1332 dengan DK = {L | L > 0,1798}, sedangkan hasil uji
normalitas pada kelas kontrol dengan α = 0,05 menunjukkan bahwa Lobs = 0,1232
dengan DK = {L | L > 0,1764}, sehingga kedua kelas berdistribusi normal. Hasil
uji homogenitas kelas eksperimen dan kontrol dengan α = 0,05 menunjukkan
bahwa 0,1351 2  obs = dengan { | 3,8415} 2 2 DK =    , sehingga kedua kelas
tersebut homogen.

Hasil analisi data (uji keseimbangan) dengan menggunakan uji t pada tingkat
signifikan α = 0,05 menunjukkan bahwa tobs = 0,057. Daerah kritik untuk uji ini
adalah DK = {t | t < -t0,025;45 = -1,960} atau {t | t > t0,025;45 = 1,960}. Ini berarti
H0 diterima sehingga kedua kelas mempunyai kemampuan yang sama (dalam
keadaan seimbang) dan dapat dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas
control.

3. Kerangka Berfikir
Berdasarkan kajian Pustaka tersebut, maka kerangka penelitian ini dinyatakan
bahwa Banyak siswa sekolah dasar yang mengalami kesulitan dalam mempelajari
matematika sehingga mengakibatkan hasil belajar matematika mereka rendah.
Salah satu faktor yang membuat siswa sulit dalam mempelajari matematika
dikarenakan pembelajaran matematika yang bersifat ekspositori, yaitu guru
menyampaikan pesan, konsep, dan contoh soal matematika kepada siswa setelah
dirasa cukup dilanjutkan dengan mengerjakan latihan soal yang serupa dengan
contoh tadi. Pembelajaran seperti ini mengakibatkan siswa hanya dapat melakukan
prosedur pengerjaan soal-soal matematika tanpa mengetahui konsep-konsep
matematika secara mendalam. Pembelajaran matematika yang tidak didasarkan
oleh konsep yang kuat cenderung lebih cepat terlupakan oleh siswa.

Selain karena hal di atas pengemasan pembelajaran matematika yang kurang


menyenangkan dan terkesan menakutkan sangat berpengaruh terhadap motivasi
siswa dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang hanya berpusat pada
guru juga mengakibatkan siswa yang cenderung pasif dalam proses pembelajaran
banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru, mereka hanya asik
mengobrol dengan temannya dan hanya menunggu arahan dari guru, dalam hal ini
maka terjadilah siswa yang kurang mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan
berfikir kreatif dalam memahami konsep materi bangun ruang kubus dengan baik.

Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap masalah yang


terjadi tersebut, sekaligus untuk memecahkan masalah yang ada. Menurut penulis
salah satu cara yang dapat digunakan agar pembelajaran matematika di kelas
menjadi enarik dan menenyenangka sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa bahkan dapat membantu menghilangkan pendapat bahwa matematika adalah
pembelajaran yang membosankan dan menakutkan dengan menggunakan
kombinasi model Discovery Learning, Make A match, dan Talking Stick yang
berguna untuk meningkatkan hasil belajar siswa mengenai bangun ruang kubus.

Dengan menggunakan model charming yang merupakan hasil kombinasi dari


tiga model pembelajaran yang interaktif yaitu Discovery Learning (DL), Make A
Match (MM), Dan Talking Stick (TS) yaitu pembelajaran yang menekankan kepada
kegiatan pemecahan masalah yang dilakukan dengan berkelompok dan proses
pengumpulan data yang dilakukan oleh peserta didik. Dan juga menekankan
peserta didik dalam berfikir kritis menggunakan kegiatan yang menggabungkan
antara gerkan fisik dan aktifitas intelektual. Selain itu pembelajaran ini juga
dirancang dengan cara yang menyenangkan menggunakan permaianan yang
berbasis pembelajaran. Dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat
melatih kemampuan berfikir kritis peserta didik dan kemampuan berfikir kreatif,
selain itu juga dapat menimbulkan rasa menyenangkan dalam pembelajaran
matematika karena dipadukan dengan permainan. Sehingga dapat menimbulkan
rasa konsentrasi yang tinggi, dan dapat membuat peserta didik menjadi termotivasi
dan dapat meingkatkan hasil belajar.

Dengan penerapan model CHARMING ini diharapkan dapat menjadi alternatif


yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar siswa muatan matematika materi
bangun ruang kubus pada siswa kela V SDN Tanipah 2.
4. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori yang terdiri dari kerangka berfikir dan hasil penelitian
yang relavan yang diuraikan di atas, maka dirumuskan hipotesis tindakan yang
akan dilaksanakan dalan ini adalah sebagai berikut

a) “jika proses pembelajaran menggunakan model CHARMING pada kelas V


SDN Tanipah 2 maka motivasi belajar siswa akan meningkat”
b) “jika proses pembelajaran menggunakan model CHARMING pada kelas V
SDN Tanipah 2 maka hasil belajar siswa akan meningkat”
c) “jika proses pembelajaran menggunakan model CHARMING pada kelas V
SDN Tanipah 2 maka pembelajaran akan lebih menyenangkan”
BAB III

METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN DAN JENIS PENILITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan
kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas merupakan proses pengamatan reflektif
terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru itu sendiri untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar siswa.

1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)


Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Suharsimi
Arikunto, dkk (2008: 3), mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas
merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan
yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.
Lebih lanjut ia menjelaskan tindakan yang diberikan berasal dari guru dan
dilakukan oleh siswa. Dalam pelaksanaannya guru melaporkan berlangsungnya
proses belajar yang dialami oleh siswa, perilakunya, perhatian siswa pada proses
yang terjadi, mengamati hasil dari proses, mengadakan pencatatan hasil,
mendiskusikan dengan teman kelompoknya, melaporkan di depan kelas dan
sebagainya.
Menurut Pardjono, dkk (2007: 12), penelitian tindakan kelas adalah salah
satu jenis penelitian tindakan yang dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran di kelasnya. Guru diberdayakan untuk mengembangkan
profesionalitasnya, sedangkan siswa mendapatkan pelayanan kualitas
pembelajaran yang lebih baik. Berdasarkan uraian dari para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah tindakan yang sengaja
dilakukan oleh guru kepada siswa secara sistematis, objektif, dan reflektif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelasnya.
2. Prinsip dan Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Dalam penelitian tindakan kelas, terdapat sejumlah prinsip atau pedoman
yang harus dipenuhi. Menurut Kusumah dan Dwitagama (2012) prinsip-prinsip
penelitian tindakan kelas yaitu:
a) Tidak menganggu pekerjaan utama guru yaitu mengajar.
b) Metode pengumpulan data tidak menuntut metode yang berlebihan sehingga
mengganggu proses pembelajaran.
c) Metodologi yang digunakan harus cukup reliabel sehingga hipotesis yang
dirumuskan cukup meyakinkan.
d) Masalah yang diteliti adalah masalah pembelajaran di kelas yang cukup
merisaukan guru dan guru memiliki komitmen untuk mencari solusinya.
e) Guru harus konsisten terhadap etika pekerjaannya dan mengindahkan tata
krama organisasi. Masalah yang diteliti sebaiknya diketahui oleh pimpinan
sekolah dan guru sejawat sehingga hasilnya cepat tersosialisasi.
f) Masalah tidak hanya berfokus pada konteks kelas, melainkan dalam
perspektif misi sekolah secara keseluruhan.
Menurut Aqib (2017) PTK memiliki beberapa karakteristik diantaranya:
a) Didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam intruksional.
b) Adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya.
c) Penelitian sekaligus sebagai praktis yang melakukan refleksi.
d) Bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik instruksional.
e) Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
f) Pihak yang melakukan tindakan adalah guru sendiri, sedangkan yang
melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah
peneliti, bukan guru yang sedang melakukan tindakan.
g) PTK dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dan eksperimen.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Tujuan utama penelitian tindakan kelas adalah untuk pengembangan
keterampilan guru dalam memperbaiki dan meningkatkan mutu yang
berdasarkan pada persoalan-persoalan pembelajaran yang dihadapi guru baik di
dalam maupun di luar kelas. Tujuan khusus PTK adalah untuk mengatasi
berbagai persoalan nyata guna memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses
pembelajaran di kelas.
Kunandar (2012) menyebutkan manfaat PTK dapat dilihat dari dua aspek,
yakni aspek akademis dan aspek praktis.
a) Manfaat aspek akademis adalah untuk membantu guru menghasilkan
pengetahuan yang sahih dan relevan bagi kelas mereka untuk memperbaiki
mutu pembelajaran dalam jangka pendek.
b) Manfaat praktis dari pelaksanaan PTK antara lain: Merupakan pelaksanaan
inovasi pembelajaran dari bawah. Peningkatan mutu dan perbaikan proses
pembelajaran yang dilakukan guru secara rutin merupakan wahana
pelaksanaan inovasi pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu selalu untuk
mengubah, mengembangkan, dan meningkatkan pendekatan, metode
maupun gaya pembelajaran sehungga dapat melahirkan suatu model
pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik kelas.
4. Langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazin dilalui, yaitu
perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Kemmis & Mc Taggart,
mengemukakan adanya empat langkah yang disajikan dalam melaksanan PTK
yaitu berikut ini: Secara utuh, tindakan yang diterapkan dalam penelitian kelas
seperti digambarkan dalam bagan, melalui tahapan sebagai berikut:
Tahap 1: Menyusun rancangan (Planning /Perencanaan). Menyusun rancangan
tindakan dan dikenal dengan perencanaan, yang menjelaskan tentang apa,
mengapa, kapan, dimana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut
dilakukan.
Tahap 2: Pelaksanaan Tindakan (Acting). Implementasi atau penerapan isi
rancangan, yaitu mengenakan tindakan kelas. Hal yang perlu diingat adalah
bahwa dalam tahap ini pelaksana guru harus ingat dan taat pada apa yang sudah
dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar. Tentu saja
membuat tetap diperbolehkan, selama tidak merubah prinsip.
Tahap 3: Pengamatan (Observing). Pelaksanaan pengamatan yang dilakukan
oleh pengamat. Sebenarnya sedikit kurang tepat kalau pengamatan ini
dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan kerena seharusnya pengamatan
dilakukan pada waktu tindakan sedang dilakukan. Jadi, keduanya berlangsung
dalam waktu yang sama.
Tahap 4: Refleksi (Reflecting). Kegiatan untuk mengemukakan kembali apa
yang sudah dilakukan. Istilah refleksi sebetulnya lebih tepat dikenakan ketika
guru pelaksana sudah selesai melakukan tindakan, kemudian berhadapan
dengan peneliti dan subjek peneliti (dalam hal ini siswa-siswa yang diajar)
bersama-sama mendiskusikan implementasi rancangan tindakan. Dari ke empat
tahapan penelitian tersebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu
satu putaran kegiatan secara beruntun, yang kembali ke langkah semula. Jadi,
satu siklus adalah dari tahap penyusunan sampai dengan refleksi atau evaluasi.

Atas dasar inilah peneliti memilih penelitian tindakan kelas karena ingin
meningkatkan prestasi belajar IPA siswa dengan menggunakan kombinasi tiga
model pembelajaran. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara kolaboratif
dengan teman sejawat (guru kelas, kepala sekolah, dan guru lain) dengan tujuan
untuk meningkatkan prestasi belajar IPA pada materi membandingkan siklus
makhluk hidup dan upaya pelestariannya melalui kombinasi 3 model pada siswa
kelas IV semester 2. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai observer
(pengamat) dan guru kelas sebagai pengajar.

B. SETTING PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan study literatur berbagai jurnal dan penelitian
– penelitian terdahulu yang relavan. Waktu penelitian dilaksanakan tanggal 1 juni
sampai – 6 Juni. Pelaksanaan penilitan dilakukan setiap hari dari awal tanggal 1 Juni
dengan meneliti jurnal – jurnal dan penelitian – penelitian terdahulu

C. FAKTOR YANG DITELITI


Faktor-faktor penelitian yang dijadikan titik fokus untuk menjawab
permasalahan yaitu:

1. Faktor input : Siswa kelas V


2. Faktor proses : Model Discover Learning, Make A Match, dan Talking Stick.
3. Factor output : meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Matematika
bangun ruang kubus.

D. SKENARIO TINDAKAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) dengan model Kurt Lewin. Model tersebut dapat dilakukan dua siklus
atau seterusnya. Apabila siklus pertama tidak berhasil, maka penelitian bisa diulang
kembali untuk memperbaiki siklus selanjutnya. Siklus dilakukan sampai tujuan
penelitian dapat tercapai.

Setiap siklus model Kurt Lewin terdapat empat komponen, yaitu:


perencanaan, pelaksaan atau tindakan, pengamatan dan yang terakhir adalah
refleksi.
1. Pra Siklus
Pada tahap ini, penelitian masih meliputi identifikasi masalah dengan
melakukan observasi atau pengamatan sebagai berikut:
a. Melakukan pengamatan terhadap proses berlangsungnya kegiatan
pembelajaran di kelas.
b. Melakukan pengamatan terhadap karakteristik siswa kelas V
c. Melakukan wawancara terhadap wali kelas ataupun guru pengajar mata
pelajaran Matematika siswa kelas V.
2. Siklus I
a. Perencaan
Siklus I dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2022. Pada tahap perencaan
ini, peneliti haruslah membuat perencanaan sebelum melakukan penelitian,
seperti:
1) Membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
2) Mempersiapkan instrumen untuk menganalisis data
b. Tindakan
Pada tahap ini, peneliti mengimplementasikan RPP yang telah dibuat
pada pembelajaran Matematia materi bangun ruang kubus menggunakan
kombinasi 3 model pada siswa kelas V
c. Observasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan observasi terhadap penerapan Model
Discovery Learning Make A Match dan Talking Stick pada pembelajaran
Matematika materi bangun ruang kubus pada siswa kelas V yang telah
dilakukan. Observasi tersebut dilakukan untuk mengetahui perkembangan
yang terjadi pada peserta didik setelah pembelajaran dengan menerapkan
media papan napier dilakukan.
d. Refleksi
Pada tahap ini, peneliti akan melakukan refleksi sebagai berikut:
1) Mencatat hasil observasi yang telah dilakukan.
2) Mengevaluasi hasil observasi tersebut.
3) Menganalisis hasil pembelajaran yang telah dilakukan.
4) Mencatat kelemahan dan kekurangan pada siklus I untuk dijadikan
sebagai bahan penyusunan tahap rancangan pada siklus II, hingga tujuan
penelitian tercapai.
3. Siklus II
Siklus II dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 20201. Pada siklus II ini,
peneliti melakukan tahapan yang sama seperti pada siklus I, tapi dengan
perbaikan kekurangan yang telah dilakukan pada siklus I
a. Perencanaan
Pada tahap ini, peneliti merencakan kembali RPP dengan
mengembangkan solusi permasalahan atau kendala pada siklus I.
b. Tindakan
Pada tahap ini, peneliti mengimplementasikan RPP yang telah dibuat
kembali.
c. Observasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan observasi kembali seperti yang
dilakukan pada siklus I.
d. Refleksi
Pada tahap ini, peneliti melakukan refleksi pada kedua siklus yang telah
dilakukan. Serta melakukan evaluasi dan menyimpulkan bersama guru yang
bersangkutan mengenai pelaksanaan peneleitian. Apakah tujuan dari
penelitian ini sudah terpenuhi atau masih belum. Apabila tujuan masih
belum tercapai, maka dilakukan siklus II dan seterusnya sampai tujuan
penelitian tersebut tercapai.

E. SUMBER DATA DAN CARA PENELITIAN


1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Siswa
Untuk mendapatkan data tentang pemahaman siswa kelas IV pada mata
pelajaran Matematika materi bangun ruang kubus selama proses
pembelajaran.
b) Guru
Untuk melihat tingkat keberhasilan penelitian yang
mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe model Model
Discovery Learning, Make A Match, dan Talking Stick dan peningkatan
pemahaman siswa pada materi bangun ruang kubus selama proses
pembelajaran.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data merupakan usaha untuk memperoleh data
yang diperlukan dalam penelitian secara valid dan reliabel. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi dan tes.
a) Observasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 199), observasi adalah pengamatan
yang meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indra secara langsung. Dalam penelitian ini
obervasi dimaksudkan untuk mengamati aktivitas siswa dalam mengikuti
pembelajaran Matematika dan mengamati kegiatan guru dalam melakukan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik model Model Discovery
Learning, Make A Match, dan Talking Stick yang telah dirumuskan
sebelumnya.
b) Test Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 193), test adalah serentetan
pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok. Penelitian ini menggunakan test dalam mengukur
prestasi siswa. Test diberikan pada pra siklus dan setiap akhir siklus untuk
mengetahui peningkatan prestasi belajar setelah mendapat tindakan

F. INDIKATOR KEBERHASILAN
Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil apabila:

1. Proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila persentase aktivitas siswa


minimal 80%.
2. Nilai test rata-rata siswa minimal 65.
3. 80% siswa dari jumlah seluruh siswa mendapat nilai evaluasi di atas KKM yaitu
65.
4. Indikator aktivitas guru sangat baik 5. Indikator aktivitas siswa sangat aktif
DAFTAR PUSTAKA
(n.d.).

Aini, D. F. (2018). SELF ESTEEM PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR UNTUK
PENCEGAHAN KASUS BULLYING. Jurnal Pemikiran dan Pengembangan SD, 6,
36 - 46.

Aliputri, D. H. (2018, April). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Berbantuan Kartu Bergambar Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Jurnal
Bidang Pendidikan Dasar (JBPD), 2, 71 - 73. Retrieved Februari 28, 2021

Alita, K. U. (2019). PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS V SDN
LEDOK 5 TAHUN PELAJARAN 2018/2019. JURNAL BASICEDU, 3, 169 - 173.

Anggreani, A. A. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match


terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Matematika. International Journal of Elementary
Education., 218 - 225.

Ari, N. P. (2019). Tinggi rendahnya motivasi siswa dalam Belajar Ilmu Pengetahuan Alam.
Mimbar PGSD Undiksha, 7, 189 - 198.

Arnista, S. (2019). Keefektifan Model Pembelajaran Make A Match terhadap Hasil Belajar
dan Motivasi Belajar Matematika . Mimbar PGSD Undiksha, 214 - 220.

Astuti, S. S. (2021). PENERAPAN MODEL PEMEBELAJARAN GRUP IVESTIGATION


UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS SISWA
KELAS VII SMPN 1 SENORI TAHU PELAJARA 2019/2020. Jurnal Ilmu
Pendidikan Nonforma, 37 - 42.

Audie, N. (2019). PERAN MEDIA PEMBELAJARAN MENINGKATKAN HASIL


BELAJAR PESERTA DIDIK. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP, 2, 586
- 595.

Cahyono, H. (2020). Efektivitas Model Pembelajaran Problem Open Ended dan Talking Stick
Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Materi Himpunan Ditinjau Dari Motivasi
Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Modern Volum, 78-86.
Dores, O. J., & dkk. (2019). ANALISIS MINAT BELAJAR MATEMATIKA SISWA
KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI 4 SIRANG SETAMBANG TAHUN
PELAJARAN 2018/2019. J - PIMat, 1, 36 - 47.

Ekawati, R. (2017). PENINGKATAN HASIL BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR


KRITIS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE INTEGRATED
READING AND COMPOSITION (CIRC). JURNAL PENDIDIKAN BIOLOGI
INDONESIA, 298 - 306.

Fauhah, H. d. (2021). Analisis Model Pembelajaran Make A Match terhadap Hasil Belajar
Siswa. Jurnal Pendidikan Administrasi Perkantoran (JPAP), 9, 321 - 334.

Huda, F. (2017, Desember). PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK


UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR POKOK BAHASAN PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA KELAS VI TAHUN
PELAJARAN 2017/2018. Jurnal PTK dan Pendidikan, 3, 45 - 54.

Indah , &. d. (2021). Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Menggunakan Model


Discovery Learning dalam Rangka Memfasilitasi Kemampuan Komunikasi
Matematis Pada Materi Bangun Datar Kelas VII SMP. Jurnal Cendekia: Jurnal
Pendidikan Matematika, 05, 851 - 866.

Istarani. (2012). 58 Model Pembalajaran Inovatif. Medan: Media Persada.

Julaeha, E. (2020). MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR


PESERTA DIDIK MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE MAKE A MATCH. Jurnal Edukha, 1, 129 - 140.

Juniar, D. T. (2019). PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN DISKUSI


KELOMPOK DALAMMENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN AKTIVITAS
BELAJAR MAHASISWA. JUARA : Jurnal Olahraga, 15 - 26.

Kahar, M. d. (2021). PENDIDIKAN ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 MENUJU ERA


SOCIETY 5.0 DIMASA PANDEMI COVID 19. JURNAL ILMU STUDI ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL, 2, 58 - 78.

Khoerunisa, S. (2020). IMPLEMENTASI MODEL DISCOVERY LEARNING


BERBANTUAN TTS BERBASIS BLENDED LEARNING TERHADAP
PENINGKATAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI. Jurnal Pendidikan MIPA
Pancasakti, .76 – 85.

Ma'ruf, d. (2020). Pembelajaran Matematika dengan Penerapan Model Kooperatif Tipe


Talking Stick Terhadap Siswa Kelas VII SMP. JEMS (Jurnal Edukasi Matematika
dan Sains), 79 - 88.

Maulidina, M. d. (2018). PENGEMBANGAN GAME BASED LEARNING BERBASIS


PENDEKATAN SAINTIFIK PADA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR.
JINOTEP, 4, 2405 - 8780.

Murti, T. (2018). PERKEMBANGAN FISIK MOTORIK DAN PERSEPTUAL SERTA


IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR. wahana
sekolah dasar, 21 - 28.

Nurdin A, A. M. (2018). Jurnal Cendekia: Jurnal Pendidikan Matematika DISCOVERY


LEARNING BERORIENTASIKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN
KOMUNIKASI MATEMATIS. urnal Pendas Mahakam, 3, 125 - 138.

Oktaviani, W. d. (2018). PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY


LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS 5 SD. JURNAL
BASICEDU, 2, 5 - 10.

Pantas, H. (2020). MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN


MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK. Curere, 33 - 42
.

Puspita, R. d. (2017). Efektivitas Model Discovery Learning Berbasis Ethnomathematic


Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika
Unila, 1, 27.

Rachmawaty, L. (2020, Mei 1). PENINGKATAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK


PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA TENTANG FAKTOR DAN
KELIPATAN BILANGAN MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH DI KELAS IV SDN POLISI 5 KOTA
BOGOR. Jurnal Edukha, 1, 13 - 26.
Rahayu, K. N. (2021). SINERGI PENDIDIKAN MENYONGSONG MASA DEPAN
INDONESIA DI ERA SOCIETY 5.0. EDUKASI: JURNAL PENDIDIKAN DASAR, 2,
87 - 100.

Relitasari, p. d. (2018 ). Efektivitas Model Discovery Learning Berbantuan Ice Breaking


untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Materi Geometri.
PRISMA 1, 269 - 178.

Rezeki, S., & dkk. (2017). Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif untuk Sekolah
Menengah Atas Kelas XI pada Pokok Bahasan Momentum. Jurnal Penelitian &
Pengembangan Pendidikan Fisika, 29 - 42.

Rouf, A. (2018). Peranan Guru dalam Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah Ibtidaiyah
Negeri 1 Jombang. Sumbula, 3, 900 - 921.

Sahrul. (2020). PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA


BERBASIS MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MEMFASILITASI
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS PESERTA DIDIK SMP KELAS
VIII . Jurnal Cendekia: Jurnal Pendidikan Matematika, 626-636.

Sirait, M. (2013). PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE


A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA. Jurnal INPAFI, 1, 253 - 255.
Retrieved Februari 28, 2021

Sumaryanto, P. (2018). UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA


MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK POKOK BAHASAN
LINGKARAN. Jurnal Pendidikan, 1, 94 - 102.

Suminar, D. (2019). PENERAPAN TEKNOLOGI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN


PADA MATA PELAJARAN SOSIOLOGI. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
FKIP, 2, 774 - 783.

Wahyudin. (2018). Optimasi Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Kurikulum 2013.
Jurnal Kependidikan, 6, 249 - 265.

Winoto, Y. d. (2020). EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING DAN


DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
SISWA SEKOLAH DASAR. JURNAL BASICEDU, 4, 229 - 238.
Yupita, I. A. (2020). PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS DI SEKOLAH DASAR. JPGSD, 1 - 9 .

Anda mungkin juga menyukai