Anda di halaman 1dari 7

Etika Profesional sebagai Penyeimbang Perkembangan Pendidikan

Berbasis Teknologi

Prasetio Utomo
flash.prasetio@gmail.com
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Setiap penemuan besar teknologi selalu berdampak pada masyarakat. Fenomena ini juga
mendorong perubahan dan kemajuan teknologi pendidikan. Dalam prosesnya, perkembangan
teknologi pendidikan juga disertai dengan isu yang beragam. Isu tersebut mencakup alat dan
media belajar, cara pembelajar mengajar dan belajar pebelajar. Oleh karenanya, etika
profesional dihadirkan untuk menyeimbangkan permasalahan tersebut. Adapun etika yang
dimaksud mencakup komitmen terhadap individu, sosial dan profesi. Keberadaan komitmen-
komitmen tersebut perlu didukung aturan yang tegas seperti hukum nasional. Fungsinya yaitu
sebagai rambu-rambu dalam melaksanakan penyelenggaraan pendidikan Tidak hanya itu,
aturan-aturan tersebut juga berisikan sanksi untuk menindak pelaku kejahatan pendidikan.
Jika diterapkan dengan baik, pendidikan berbasis teknologi dapat dikembangkan sesuai
kebutuhan dengan aman, akuntabel dan kredibel.
Kata Kunci : Pendidikan, Teknologi, Etika Profesional

Abstract
Every major technological invention always has an impact on society. This phenomenon also
encourages changes and advances in educational technology. In the process, the development
of educational technology is also accompanied by various issues. These issues include
learning tools and media, ways of teaching and learning of students. Therefore, professional
ethics is presented to balance these problems. The ethics in question include commitment to
the individual, social and professional. The existence of these commitments needs to be
supported by strict regulations such as national law. Its function is to serve as signs in
implementing education. Not only that, these rules also contain sanctions for taking action
against perpetrators of educational crimes. If implemented properly, technology-based
education can be developed as needed in a safe, accountable and credible manner.
Keywords: Education, Technology, Professional Ethics

Pendahuluan
Sebagaimana sejarah teknologi pendidikan telah terjadi, perkembangan teknologi tidak
dapat dilepaskan pengaruhnya dari kehidupan. Dampaknya, ketertarikan masyarakat selalu
cenderung bergeser mengikuti karakteristik teknologi sesuai masanya. Sebagai contoh,
konsentrasi terbesar pendidikan saat ini identik dengan pengembangan teknologi
pembelajaran berupa alat dan perangkat lunak (Викторовна & Александровна, 2021).
Preferensi ini semakin kuat ketika era pandemi. Selama 2020—2022, pembelajar maupun
pebelajar secara dramatis mengeksplorasi layanan telekonferensi dan situs online learning.
Namun, setelah pandemi berlalu, layanan-layanan tersebut masih dipertahankan karena
memiliki kustomisasi dan fleksibilitas yang tinggi.

1
Pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal tahun 2020—2022 telah menunjukkan
berbagai pembuktian dalam pendidikan. Persepsi tentang online dan hybrid learning adalah
visi yang utopis, faktanya dapat dijalankan secara masal pada era Covid-19. Sebanyak 1,6
milyar pelajar di 190 negara telah ikut andil mencicipinya (Moghaddam & Moradi, 2022).
Pembelajaran dengan memanfaatkan dukungan online based technology pada dasarnya
memiliki exposure yang sama dengan cara tradisional yaitu; kualitas sistem pendidikan,
kualitas pemahaman pebelajar terhadap materi, dan kualitas mengajar pembelajar
(Lalduhawma dkk, 2022). Selanjutnya, efektivitas penerapannya tergantung pada kualitas
komunikasi antara pembelajar dan pebelajar (Moghaddam & Moradi, 2022). Artinya,
komunikasi merupakan kunci untuk mempertahankan komitmen dan konsistensi pebelajar
dalam melakukan sesuatu.
Optimisme terhadap pengembangan pendidikan yang berorientasi kemajuan teknologi
bukan berarti tanpa resiko. Berbagai tantangan dapat muncul di berbagai sektor seperti
manajemen sistem pendidikan, proses mengajar dan juga belajar. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Ayyub (2018) dengan melibatkan 250 mahasiswa di Malaysia,
pemanfaatan instrumen belajar seperti MOOC dapat mereka terima apabila;
1. Pebelajar dapat menentukan bagaimana mereka belajar (memiliki ragam konten dan
asesmen).
2. Kursus MOOC memiliki desain yang sederhana dan mudah dioperasikan.
3. Sajian materi ajar dikemas dengan interaktif (pebelajar dapat berkolaborasi dan diskusi
bersama meskipun terpisah jarak dan ruang).
4. Terdapat panduan aktivitas yang jelas dan mudah dipahami.

Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lalduhawma dkk (2022)


dengan melibatkan 356 pebelajar dan 60 pembelajar dari berbagai instansi dan tingkatan
sekolah yang berbeda di Mizoram, India, dengan metode kuesioner, studi literatur, dan
diskusi, ditemukan beberapa aspek yang tidak dikehendaki pelajar sebagai berikut;
1. Sebagian besar pebelajar menganggap bahwa ujian yang dilakukan secara daring tidaklah
adil dan transparan.
2. Sebagian besar pebelajar menganggap matematika menjadi mata pelajaran tersulit untuk
dipahami selama daring.
3. Kualitas jaringan dan ketersediaan paket data menjadi masalah terbesar dalam kategori
penunjang alat belajar.
4. Kondisi lingkungan yang buruk dan tidak kondusif mengganggu konsentrasi belajar
pebelajar.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa pembangunan ekosistem


pendidikan kaya teknologi membutuhkan konstruksi dan regulasi kurikulum yang
komprehensif. Artinya, visi pendidikan yang berorientasi pada kemajuan teknologi tidak
dapat diselesaikan hanya dengan menyediakan komputer canggih dan aplikasi kekinian.
Lebih dari itu, penyelenggara pendidikan juga perlu membekali diri dengan wawasan
teknologi dengan luas. Mereka juga harus belajar memanfaatkannya secara bijaksana. Jika
tidak, maka pendidikan akan tenggelam dalam hegemoni futurisme namun kosong secara
substansi.

2
Etika Profesional dalam Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Teknologi
Teknologi seringkali berhasil memutus kesenjangan belajar. Secara radikal
keberadaannya dapat menyederhanakan skema belajar yang panjang dan rumit. Sebagai
contoh, seorang pebelajar tidak perlu melakukan banyak trial and error dalam merancang
penelitiannya. Mereka dapat melihat berbagai referensi di Youtube atau sumber sejenis.
Alhasil, mereka dengan mudah dapat membuat hipotesis dan mememinimalisasi resiko.
Namun, praktik-praktik sedemikian rupa tidak dapat dibiarkan begitu saja. Seorang
pembelajar harus menyusun kerangka belajar yang seimbang untuk mengarahkan pebelajar
berpikir, bukan sekedar menyalin dan menempel materi. Jika dapat diterapkan, hasilnya
adalah etos belajar yang beretika dan profesional.
Ranah etika profesional dalam pendidikan dapat diwujudkan melalui trilogi komitmen
yaitu; komitmen kepada individu, sosial, dan profesi (Smaldino dkk dalam Reiser &
Dempsey, 2017). Selanjutnya, internalisasi etika profesional dapat dilakukan di tataran
penyelenggara pendidikan dengan rincian sebagai berikut;
a. Komitmen kepada Individu
Proses penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan isu-isu yang dialami oleh
individu. Dengan kata lain, pemilihan kurikulum, media, alat, etos, dan budaya belajar
harus berdasarkan karakteristik dan kebutuhan pembelajar maupun pebelajar. Selain itu,
pendidikan yang dikonstruksi dengan pendekatan digital asseting tetap harus menjaga
batasan privasi, hak milik, dan menghargai perbedaan (Smaldino dkk dalam Reiser &
Dempsey, 2017). Nilai-nilai ini sejalan dengan kebutuhan pembelajar dan pebelajar dalam
penelitian yang dilakukan Lalduhawma dkk (2022) dengan melibatkan 356 pebelajar dan
60 pembelajar dari instansi dan tingkatan sekolah yang berbeda di Mizoram, India sebagai
berikut;
1. Pembelajar dan pebelajar menjadikan kuis dan file submission sebagai opsi favorit
penugasan.
2. Aplikasi Whatsapp menjadi opsi favorit untuk melakukan komunikasi di luar sesi
konferensi.
3. Pebelajar dan pembelajar mengkehendaki adanya batasan dan privasi dalam
pembelajaran daring.
4. Kondisi lingkungan yang buruk dan tidak kondusif mengganggu konsentrasi belajar
pebelajar.

b. Komitmen kepada sosial


Tujuan besar ilmu adalah untuk panduan hidup manusia. Oleh sebab itu, pendidikan juga
dikembangkan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Seorang pembelajar atau pebelajar
memiliki tanggungjawab moral untuk bersikap jujur, tidak mengambil keuntungan pribadi,
dan melaksanakan tanggungjawab dengan sungguh-sungguh (Smaldino dalam Reiser &
Dempsey, 2017). Selain itu, pendidikan juga tidak seharusnya berjalan sendiri-sendiri dan
menciptakan eksklusivitas masing-masing. Keberadaan co-education dapat dilakukan
untuk mengurangi eksklusivitas tersebut (Alphar, Vera Naomi, 2021). Tujuannya adalah
memeratakan kualitas dan kesempatan belajar. Hal ini juga telah dilakukan pemerintah
Indonesia melalui program zonasi sekolah dan kampus merdeka.

3
c. Komitmen kepada profesi
Selain menjaga kualitas pada kompetensi personal, penyelenggara pendidikan juga
memiliki tanggungjawab terhadap perkembangan profesi dan kelimuannya. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Rumtini dkk (2018) ditemukan hasil bahwa 90,40%
perkembangan mutu sekolah dipengaruhi oleh komptensi profesionalisme guru di
dalamnya. Smaldino (dalam Reiser & Dempsey, 2017) mengurai komitmen kepada profesi
ke dalam tiga nilai sebagai berikut;
1. Interaksi profesional
Komunikasi dan kepemimpinan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Iklim
dan suasana suatu lingkungan kerja ditentukan oleh pola komunikasi yang ada di
dalamnya. Pola komunikasi dapat mempengaruhi motivasi kerja, rasa saling percaya,
efektivitas koordinasi, dan produktivitas kerja (Luthra, 2015). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Aribuabo (2022) dengan melibatkan 210 kepala sekolah dan 2476
guru di Ilocos, Norte diperoleh kesimpulan bahwa pola komunikasi menjadi kunci
keberhasilan menentukan dan menggapai visi-visi yang dimiliki oleh sekolah.
2. Mengembangkan kompetensi etika
Setiap keputusan dan kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan perlu dilakukan
evaluasi. Kegiatan ini dilakukan oleh pembelajar, supervisor dan manajemen. Setiap
pihak dapat membuat penilaian pada setiap keputusan dan kebijakan yang
dilaksanakan. Dengan demikian, etika dan norma dapat secara berkala diterjemahkan
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Rangkaian pemantauan, pengawasan dan
evaluasi program ini dilakukan untuk memastikan tercapainya tujuan dan kompetensi
(Aribuabo, 2022).

Hukum sebagai Instrumen Penjamin Eksistensi Etika Profesional Pendidikan


Lingkungan profesional selalu identik dengan penerapan standard operational
procedure (SOP). Keberadaannya penting sebagai petunjuk pelaksanaan kerja bagi karyawan
di perusahaan. Hal semacam ini juga perlu diterapkan di instansi pendidikan. Fungsinya
untuk memberikan rambu-rambu.
Lebih lanjut, di lingkup yang lebih besar, pemerintah telah menerapkan berbagai
regulasi melalui hukum nasional. Berikut beberapa peraturan hukum yang relevan dengan
peristiwa pelanggaran etika profesional pendidikan;
1. Kesempatan memperoleh pendidikan
Pasal 28C UUD NRI tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa semua orang memiliki hak
mendapatkan pendidikan, mengakses manfaat iptek dan seni budaya demi kesejahteraan
hidup (MPR RI). Amanat tersebut kemudian diejawantahkan lebih detail di dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adapun
amanatnya adalah setiap warga Indonesia memiliki hak untuk mengikuti program wajib
belajar 12 tahun. Pemerintah pusat dan daerah kemudian bertanggungjawab secara penuh
terhadap pelaksanaannya.
2. Kesenjangan kualitas pendidikan
Sekolah swasta dan negeri yang dikelola sumber daya manusia profesional lazimnya
mampu berkembang secara signifikan. Fasilitas pembelajaran cenderung lengkap dan

4
memadai. Mereka memiliki lulusan dengan kompetensi yang unggul. Sementara itu,
sekolah swasta dan negeri yang dikelola sumber daya manusia non profesional seringkali
sulit mengembangkan diri. Hasilnya, mereka kurang diminati. Namun demikian, aturan
tentang zonasi sekolah setidaknya telah menyelamatkan ketimpangan distribusi siswa di
berbagai daerah. Undang-undang No. 20 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik
Baru (DRI RI) membantu arus distribusi siswa yang ideal antara sekolah favorit dan non
favorit.
3. Kejahatan akademik (pemalsuan dokumen dan plagiarisme)
Palagiarisme merupakan isu yang serius di dalam pendidikan, khususnya perguruan tinggi.
Hukum nasional Indonesia tidak memasukkan plagiarisme sebagai bagian tindak pidana.
Oleh karenanya, tidak berlaku hukuman penjara dan denda bagi pelaku plagiarisme.
Namun demikian, isu ini telah diakomodasi di dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulan Plagiat di Perguruan
Tinggi. Sanksi terberat dari plagiarisme adalah pembatalan ijazah dan pencabutan gelar
tertentu.

Keberadaan berbagai produk hukum tersebut tentu menjadi pijakan penyelenggaraan


pendidikan di wilayah hukum yang lebih rendah seperti kota dan kabupaten. Hukum nasional
tidak hanya memberikan panduan namun juga mengandung aturan-aturan preventif dan
kuratif.

Simpulan
Perkembangan teknologi pendidikan telah terjadi dari masa ke masa. Perkembangan
tersebut juga diiringi dengan permasalahan-permasalahan tertentu. Oleh karenanya,
penyelenggara pendidikan harus mampu memahami kebutuhan pendidikan secara holistik.
Selain pemahaman yang baik, penyelenggara pendidikan juga membutuhkan kompetensi di
dalam etika profesional. Nilai-nilai etika profesional tersebut mencakup komitmen kepada
diri sendiri, sosial, dan profesi. Guna memperkuat implementasinya, maka terdapat hukum
nasional. Produk-produk hukum tersebut berguna untuk memberikan arahan sekaligus
tindakan kuratif pada setiap kesalahan dan penyelewengan yang terjadi.

Saran
Berdasarkan berbagai ulasan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai
berikut;
1. Subtansi tentang etika profesional perlu disampaikan di jalankan di instansi pendidikan.
Kepala sekolah sebagai pemimpin memiliki kewajiban untuk memahami isu ini.
2. Pembaca dapat melakukan penelitian lebih lanjut sejauh mana isu etika profesional ada
dan diaktualisasi di instansi/lembaga pendidikan.
3. Pembaca juga dapat melakukan penelitian lanjutan sejauh mana kualitas profesionalisme
penyelenggara pendidikan di Kota Malang.

5
REFERENSI

Aribuabo, Jocelyn L. 2022. Upskilling Program on Leadership Communication ffor


School Heads. Dissertation. Divine Word College of Laoag.

Ayyub, Enna dkk. 2018. Exploring Factors Affecting Learners’ Acceptance of MOOC
Based on Kirkpatrick’s Model. Conference Paper, 2—4.

Викторовна, Нотова Светлана & Подосенова Ирина Александровна. 2021.


Система ДПО как основа непрерывного профессионального образования. Высшее
образование в России. 2021. Т. 30. No 8—9.

DPR RI. 2003. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta.

DPR RI. Undang-undang No. 20 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.
Jakarta.

Lalduhawma, L.P dkk. 2022. Effectiveness of Online Learning during the COVID -19
Pandemic in Mizoram. Journal of Education and e-Learning Research, 9 (3), 175—183.

Luthra, A. (2015). Effective Leadership is all about Communicating Effectively.


Research Scholar, Faculty of Management Studies, SRM University, 3—5.

Menteri Pendidikan Nasional RI. 2010. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.
17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Jakarta.

Moghaddam, Malihe Safari & Mehrdad Moradi. 2022. Benefits and Challenges of
Online Learning during and After COVID-19. Conference Paper, 4—8.

MPR RI. 2022. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Jakarta

Rumtini dkk. 2018. Pengaruh Profesionalisme Guru dan Iklim Kerja terhadap Mutu
Sekolah Dasar Dabin 2 Batealit Jepara. Jurnal JMP Universitas PGRI Semarang, 7 (3), 10
—14.

Smaldino, Sharon E dkk. 2017. Professional Ethics: Rules Applied to Practice. Ed :


Robert A. Reyser & John V. Dempsey. New York : Pearson.

6
7

Anda mungkin juga menyukai