1
Bahtiar Effendy, Islam, hlm. 100
2
John L. Esposito, Islam, hlm. 32
ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).
Musyawarah juga dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-
hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama
dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah
bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti
berunding dan berembuk.3
Secara historis, konsep syura dalam sejarah Islam telah ada jika
menunjuk pertemuan di Bani Sa’idah segera setelah Nabi Muhammad
wafat.
3
Sohrah, “Musywarah vs Demokrasi”, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011, hlm. 34-35.
menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.4
4
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran, hlm. 224.
5
Ibid.,, hlm. 223
6
John L. Esposito, Islam, hlm. 33
menempatkan semua masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di
Indonesia, demokrasi yang dibangun berdasarkan konsep syura dimana
setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah sistem pemilihan
tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di
dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama
rakyat atau wakilnya mempunyai keinginan yang sama hal tersebut
bukanlah masalah. Namun akan berbeda ketika wakil rakyat yang telah
dipilih tersebut tidak menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat
yang diwakilinya. Oleh karena itu, seorang wakil rakyat harus benar-
benar mewakili setiap kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan. Jika
wakil rakyat hanya mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari
konsep demokrasi itu sendiri.
7
Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 73.
suatu kasus.8
Ijma’ atau konsensus telah lama diterima sebagai konsep
pengesahan resmi dalam hukum Islam, terutama di kalangan kaum
Muslim Sunni. Namun, hampir sepanjang sejarah Islam pada konsensus
sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada
konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan
mempunyai makna kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam.
Namun dalam pemikiran modern, potensi fleksibilitas yang terkandung
dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar.
Dalam pengertian lebih luas, konsensus dan musyawarah sering
dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang
mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer
menyatakan bahwa dalam sejarah Islam karena tiedak ada rumusan yang
pasti mengenai struktur negara dalam al-Quran, legitimasi negara
bergantung pada sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara
mencerminkan kehendak umat. Sebab seperti yang pernah ditekankan
oleh para ahli hukum klasik, legitimasi pranata-pranata negara tidak
berasal dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan pada prinsip Ijma’.
Atas dasar inilah konsensus dapat menjadi legitimasi sekaligus prosedur
dalam suatu demokrasi Islam.9
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997)
9
John L. Esposito, Islam, hlm. 34.
kerusakan. Secara terminologis, Maslahah telah diberi muatan makna
oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w.505 H), misalnya,
mengatakan bahwa makna genuine dari Maslahah adalah
menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari
kemudaratan (jalb al-manfa‘ah atau daf‘ al-madarrah). Menurut al-
Gazâli, yang dimaksud Maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i, adalah
memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa
memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan.
Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan
melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi
sebagai Maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu
dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-
mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi
sebagai Maslahah.10
10
Asmawi, “Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, Makalah, dipresentasikan
pada Workshop Tafsir Asnaf Zakat Kontemporer, diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat,
Ciputat, 9 Agustus 2012, hlm. 1-2.
hajiyyah dan tahsiniyah.11
11
Ridzwan Ahmad, “Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum Islam Semasa” Sharia
Journal, Vol. 16, No. 1 2008, hlm. 108.
12
Asmawi, Memahami, hlm. 8-9.
Konsep operasional yang terakhir adalah ijtihad, atau pelaksanaan
penilaian yang ilmiah dan mandiri. Bagi banyak pemikir muslim, upaya
ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu
tempat atau waktu.13
Ijtihad diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tercakup
oleh Al-Qur'an dan Sunnah, tidak dengan taqlid, atau dengan analogi
langsung (qiyas). Ijtihad dianggap, oleh banyak pemikir Muslim, sebagai
kunci untuk pelaksanaan kehendak Allah dalam waktu dan tempat
tertentu.14 Hampir semua reformis dan intelektual Muslim abad 20
menunjukkan antusiasme dalam konsep Ijtihad kontemporer, Muhmmad
Iqbal, Khurshid Ahmad, Taha Jabir al 'Alwani dan Altaf Gauhar menjadi
beberapa dari mereka.15
Bentuk demokrasi menurut Fazlur Rahman dapat berbeda-beda
menurut kondisi yang ada dalam suatu masyarakat. Untuk dapat memilih
suatu bentuk demokrasi yang sesuai dengan keadaan suatu masyarakat
Islam tertentu, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan.16
Pemimpin Islam Pakistan, Khurshid Ahmad, memparkan hal ini
dengan jelas. “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan
memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut
dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya.
Melalui ijtihad itulah masyarakat dari setiap zaman berusaha menerapkan
dan menjalankan petunjuk Ilahi guna mengatasi masalah-masalah
zamannya.
Ijtihad selalu menjadi konsep yang kontroversial mengingat bahaya
penyalahgunaannya. Adalah mungkin bahwa tindakan kaum muslim itu
akan didukung oleh kaum sekular dan Muslim abangan, yang akan
13
John L. Esposito, Islam, hlm. 34-35.
14
Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 74.
15
Ib.id
16
M. Syafi’ Anwari, Pemikiran, hlm. 224.
membuka lebar-labar pintu ijtihad dan menafsirkan ijtihad sedemikian
rupa sehingga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan akibat-akibatnya
tanpa peduli apakah aturan itu didasarkan atas kriteria fiqh atau tidak.
Namun makna penting ijtihad ditekankan oleh Iqba yang berharap bahwa
ijtihad yang benar akan memungkinkan “para ilmuwan sosial muslim
untuk menelaah fenomena sosial dengan kerangka dan paradigma
epistemologi Islam dan selanjutnya memulai proses pembangungn
kembali peradaban Islam atas dasar pemahaman terhadap ilmu-ilmu
sosial itu. Dekonstruksi yang disambung dengan rekonstruksi inilah yang
dibutuhkan umat Islam jika ingin menjadi penengah bagi bangsa-bangsa
lain sebagaimana tersurat dalam al- Quran”.17
Ijtihad saat ini menjadi tren pemikiran dari cendekiawan-
cendekiawan muslim kontemporer. Mati surinya ijtihad selama beberapa
abad silam memang membuat dunia Islam menjadi jalan ditempat. Ijtihad
memberikan jalan alternatif dari perbagai permasalahan dalam dunia
modern saat ini.
17
John L. Esposito, Islam, hlm. 36.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian
Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina.
Effendy, Bahtiar. 1996. “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed)
Agama dan Dialog Antar Peradaban, Cet. 1, Jakarta: Paramadina.
Esposito, John L. dan John O. Voll. 1999. Islam and Democracy, alih bahasa
Rahmani Astuti, Cet 1, Bandung: Penerbit Mizan.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu