Anda di halaman 1dari 9

Masih ingat kisah Misran?

Dialah mantri
desa yang menolong warga Kuala
Samboja, Kalimantan Timur. Tidak hanya
mengobati, tapi juga mengubah pola
kesehatan warga menjadi lebih baik.
Namun bukannya air susu yang di dapat,
tapi air tuba yang dia peroleh.

Nancy Gabrela Noviani


KASUS MANTRI DESA MISRAN NIM : 201710115011

Clara Ignatia Tobing,SH., MH


RINCIAN KASUS.

Peristiwa tersebut bermula terjadi sekitar maret 2009, dia memberikan obat penyembuh
rasa sakit kepada pasiennya. Tapi tanpa pemberitahuan, tiba-tiba polisi dari direktorat reserse dan
narkoba (direskoba) menggelandangnya ke malpoda Kaltim dengan tuduhan memberikan resep
tanpa keahlian. “saya di tahan selama 8 hari. Setelah itu diberikan status tahanan luar.” Ujar
misran.

Tetapi, aparat penegak hukum yakni polisi dan jaksa terus memproses misran dan
berakhir di meja hijau. Dalam putusannya tertanggal 19 November 2009, hakim PN tenggarong
yang diketahui oleh bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah
memutuskan hukuman 3 bulan penjara, denda Rp.2.000.000; subsider 1 bulan penjara. Hakim
menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/2009 tentang kesehatan pasal 82(1) huruf D juncto
pasal 63(1) UU No 32/1992 tentang kesehatan. Yaitu misran tak punya kewenangan memberikan
pertolongan layaknya dokter.

Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan kepada MK karena merasa
dikriminalisasikan oleh UU kesehatan. Mereka meminta pasal yang menjadikan mereka
dipenjara di cabut karena pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Misran juga
meminta keadilan hakim MK karena merasa di zalimi oleh UU. “saya meminta keadilan bukan
sebagai misran. Tapi sebagai perawat, karena ribuan perawsat di Indonesia mempunyai nasib
yang sama dengan kami.” Ujar misran.

Namun, meski nantinya permohonan Misran dikabulkan, ayah dari 4 anak itu tetap harus
meringkuk di penjara. Meski demikian, jika MK memenangkan, maka putusan MK akan
menguntungkan mantri atau bidan desa diseluruh Indonesia. Dikarenakan MK telah
menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas medis di pelosok Nusantara.

"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya berlaku
kedepan, tidak berlaku ke belakang," kata pengacara publik LBH Jakarta, Edy Halomoan
Gurning,saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (7/5/2010).
Hukum Posisi. (5w+1h)
Misran adalah seorang Mantri Desa yang menolong warga kuala samboja, Kalimantan
timur. Tidak hanya mengobati, tapi juga mengubah pola kesehatan masyarakat kuala samboja
menjadi lebih baik. Tetapi, dia di penjara karena dinilai hakim PN Tenggarong melanggar UU
36V 2009 tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D juncto pasal 63(1) UU No 32/1992 tentang
kesehatan.
Dia di pidana 3 bulan penjara dengan alasan memberikan resep obat kepada masyarakat.
Akibat putusan hakim PN tenggarong ini, misran meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi
(MK) karena merasa UU yang menjeratnya bertentangan dengan UUD1945.
“saya meminta keadilan kepada hakim MK karena saya memberikan resep adalah tugas saya
sebagai tenaga medis.” Ujar misran, selasa (6/4).
Pembahasan Teori-teori dari KASUS MANTRI DI DESA MISRAN.
1. Das Solen dan Das Sein
 Das Solen
Adalah sesuatu yang di cita-citakan, diinginkan, diharapkan, dan yang
seyogianya terjadi.
 Das Sein
Adalah peristiwa yang senyatanya terjadi secara konkrit.

Das Solen dan Das Sein menunjukan kondisi sebab dan akibat, dimana kondisi
ideal tercapai ketika Das Solen dan Das Sein berjalan beriringan. Ketika Das Sollen dan
Das Sein tidak sejalan, maka disitulah hukum bertindak.

Dari kasus diatas, saya dapat melihat adanya unsur Das Sollen dan Das Sein.
Das Sollen : terdapat pada UU 36V 2009 tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D juncto
pasal 63(1) UU No 32/1992 tentang kesehatan. Yaitu, Misran tidak punya kewenangan
memberikan pertolongan layaknya dokter. Karena menurut UU tersebut, hanya seorang dokter
yang mempunyai sertifikat atau pendidikan khusus yang berhak melakukan pengobatan atau
pemberian resep beserta pemberian obat.

Das Sein : Misran mengobati dan memberikan resep beserta obat penyembuh rasa sakit
kepada pasiennya.

2. Asas-Asas Hukum Umum


Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang bersumber pada
Nilai yang dianggap baik dan benar, dan merupakan fondasi suatu perundang-undangan
yang telah ada sebelum perbuatan yang dilakukan.
 Ne Bis In Idem
Perkara yang sama tidak dapat diadili dua kali
Dalam kasus Misran. Misran tidak dapat diadili lagi, walaupun UU yang
menjeratnya telah di hapuskan dan ditiadakan oleh hakim MK. Misran tetaplah di
penjara, "Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya
berlaku kedepan, tidak berlaku ke belakang," kata pengacara publik LBH Jakarta, Edy
Halomoan Gurning,saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (7/5/2010).

 Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali


Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa adanya paraturan
Yang mengaturnya terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan.
Terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Nulla Poean Sine Lege
“tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang.”
2. Nulla Poena Sine Crimine
“tidak ada pidana tanpa kejahatan.”
3. Nullum Crimen Sine Poena Legali
“tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut UU.”

Menurut kasus diatas, tersangka Misran masuk kedalam asas hukum umum yaitu
Nulla Poena Sine Lege dan Nullum Crimen Sine Poena Legali. Dalam kasus ini,
tersangka Misran dianggap melakukan tindak pidana karena mengobati dan memberikan
resep beserta obat kepada pasiennya dimana tindakan Misran sudah ada hukum atau
undang-undang yang mengaturnya dan melarangnya sebelum tindakan tersebut
dilakukan. Yaitu, Misran terjerat UU 36V 2009 tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D
juncto pasal 63(1) UU No 32/1992 tentang kesehatan. Dan terkena hukuman 3 bulan
penjara, denda Rp.2.000.000; subsider 1 bulan penjara.

3. Quiquid Est In Territorio (Asas Teritorial)


Apa yang terdapat didalam batas-batas wilayah Negara tunduk kepada hukum di
Negara tersebut.
Dalam kasus Misran diatas, Misran berada di wilayah negara Indonesia, maka
Misran wajib dan harus Tunduk dan mengikuti aturan hukum yang erlaku dan ada di
Negara Indonesia.

4. Aliran Legisme
Aliran Legisme adalah aliran yang menganggap bahwa semua hukum terdapat
pada UU. Yang berarti Hukum identik dengan Undang-undang.
Undang-undang atau perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan yang
Dibuat oleh badan berwenang melalui prosedur yang ditentukan untuk pembuatan
Peraturan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu dan dirumuskan dalam bentuk yang
ditentukan untuk itu. dengan kata lain, di luar undang-undang tidak ada hukum dan
hukum yang berlaku adalah undang-undang.

Indonesia adalah negara yang menganut hukum civil law yang berasaskan aliran
Legisme. Dimana didalam kasus Misran tersebut bahwa Misran terjerat UU 36V 2009
tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D juncto pasal 63(1) UU No 32/1992 tentang
kesehatan. UU ini sudah sah dan resmi tercatat dalam buku perundang-undangan dan
dianggap sebagai hukum jika dilihat dari sudut pandang Aliran Legisme. Dimana karena
adanya UU ini, maka tersangka Misran dapat dikenakan hukuman 3 bulan penjara, denda
Rp.2.000.000; subsider 1 bulan penjara karena adanya hukum dalam Undang-undang
yang sudah tertulis.
5. Kaidah Hukum
Kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama (ketertiban
dan keamanan dalam proses interaksi antar individu dalam kelompok, serta ketentraman
dalam diri batiniah masing-masing individu).
Kaidah hukum terdiri dari 3, yaitu :
1. Kaidah hukum Gebod (suruhan)
Yang berisi suruhan untuk berbuat sesuatu.
2. Kaidah hukum Verbod (larangan)
Yang berisi larangan untuk melakukan sesuatu.
3. Kaidah hukum Mogen (kebolehan)
Yang berisi kebolehan, dilakukan boleh, tidak dilakukan pun juga tidak
akan mendapatkan sanksi atau tidak apa-apa.

Pada kasus Misran, masuk kedalam kaidah hukum Verbod atau kaidah hukum
larangan. Ciri-ciri dari kaidah hukum Verbod adalah terdapatnya kata dilarang, tidak
dibenarkan, tidak diperkenankan, dsb.
Di dalam UU 36V 2009 tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D juncto pasal 63(1)
UU No 32/1992 tentang kesehatan. Bahwa seseorang selain dokter Dilarang melakukan
pengobatan dan Dilarang memberikan obat ataupun memberikan resep obat kepada
pasien atau masyarakat yang membutuhkan pengobatan.

6. Hukum Positif
Hukum positif adalah hukum yang berlaku di suatu tempat tertentu dan pada saat
tertentu pula. Hukum positif terdiri dari 3, yaitu :
1. Ius Contitutum
“Hukum yang nyata berlaku.”
2. Ius Constituendum
“Hukum masa depan yang di idam-idamkan.”
3. Ius Naturale / Natural Law
“Hukum kodrati dan alami yang bersifat natural.”
Didalam kasus Misran diatas, bisa di kategorikan ke dalam hukum positif, yaitu
Ius Contitutum. Karena tindakan yang di lakukan Misran merupakan tindakan yang dapat
dikenai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku disaat itu. karena tindakan
tersangka dapat dikenai UU 36V 2009 tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D juncto pasal
63(1) UU No 32/1992 tentang kesehatan.

7. Peristiwa Hukum (rechtsfert / rechtsfeit)


Van Apeldoorn : Peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau
Menghapus hak-hak.
Suatu peristiwa hukum dapat merupakan peristiwa hukum apabila
peristiwa itu oleh pearturan hukum dijadikan peristiwa hukum. Karena terdapat
norma hukum yang memberikan akibat hukum yang terdapat di dalam peristiwa
tersebut.

Dan tindakan yang dilakukan oleh Misran di anggap suatu peristiwa


hukum dikarenakan sudah berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia yang
terdapat di dalam UU 36V 2009 tentang kesehatan pasal 28(1) huruf D juncto
pasal 63(1) UU No 32/1992 tentang kesehatan yang menimbulkan atau
menghapuskan hak-hak tersangka Misran.

8. Sanksi
Akibat tertentu yang dapat timbul akibat peristiwa hukum yang terjadi.

Dalam kasus di atas, perbuatan atau tindakan Misran dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan UU atau perturan hukum yang mengikatnya. Yaitu hukuman 3 bulan
penjara, denda Rp.2.000.000; subsider 1 bulan penjara.
Ada 3 jenis kewenangan :
1. Kewenangan yang didapat karena keahlian (authority by expertise)
2. Kewenangan yang didapat karena posisi (authority by position)
3. Kewenangan yang didapat karena situasi (authority by situation)
Pada kasus ini, pastilah jenis kewenangan pertama tidak berlaku bagi dirinya. Karena pak Misran
bukanlah seorang Dokter. Tetapi ada 2 jenis kewenangan yang lain yang menurut saya dapat
diberlakukan didalam kasus ini yaitu kewenangan yang didapat karena posisi. dalam konteks ini
Misran sebagai kepala puskesmas pembantu yang memang harus mengambil alih tanggung
jawab apabila dokter tidak ada di area/ditempat. dan jenis kewenangan ketiga yaitu kewenangan
yang didapat karena situasi (authority by situation), dalam kasus ini yang bersangkutan bekerja
dipedalaman kalimantan yang menurut sekretaris dinas kesehatan setempat memang ditempatkan
disana sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan karena ketiadaan dokter.

Dalam kasus ini jenis kewenangan ketiga harus diberlakukan,apalagi pemda dan dinas
kesehatan setempat menyatakan bahwa ini adalah kondisi yang dihadapi di daerah pedalaman.
Satu hal yang seharusnya dilakukan oleh sekretaris dinas kesehatan setempat, atau mungkin juga
ditempat lain, dalam hal perawat diberi tugas diluar konteks bidang keahliannya mereka harus
diberikan perlindungan untuk dapat menjalankan peran dengan kewenangan karena posisi yang
disandang atau kewenangan situasional melalui SPO sebagai bekal. Karena kasus ini, maka
seharusnya PPNI dengan kapasitasnya,untuk memberi informasi kepada para pengambil
keputusan tentang ketiga jenis kewenangan ini untuk menjadi pertimbangan.

Anda mungkin juga menyukai