Anda di halaman 1dari 22

AGAMA ISLAM DAN EKONOMI (Tugas

Makalah)
Diposkan oleh Indah Luqna di 03.43

I. Pengertian Ekonomi Dalam Islam

Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia dan alams emesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan
prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya
titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang
pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah SWT untuk dipertanggungjawabkan.

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang
perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakansuatukewajibankarena Allah
SWTmemerintahkannya, sebagaimanafirman-Nya dalamsurat At Taubahayat 105:

“Dan katakanlah, bekerjalahkamu, karena Allah danRasul-Nyaserta orang-orang yang


berimanakanmelihat pekerjaanitu”.

Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabadaRasulullah Muhammad saw:


“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia
mendapat ampunan”.(HR.ThabranidanBaihaqi)

Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menawarkan /menjual
barang) dan pembeli (sebagaipihak yang membayar/ membelibarang yang dijual).

II. Perdagangan Atau Jual Beli Menurut Ajaran Islam.

A. Pengertian dan Kedudukan Jual Beli


Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Muhammad pada masa mudanya adalah seorang
pedagang yang menjualkan barang-barang milik seorang pemilik barang yang kaya, yaitu Khadijah.
Keberhasilan dan kejujuran Nabi dibuktikan dengan ketertarikan sang pemilik modal hingga
kemudian menjadi istri Nabi.

Berdagang atau berniaga diungkapkan dalam Al-Qur'an sebagai suatu pekerjaan atau mata
pencaharian yang baik, firman Allah :

"Dan Allah telah mcnghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."(Q.§. Baqarah,2:275)
Bahkan Nabi menyebutkan secara jelas bahwa jual beli adalah usaha yang paling baik,
seperti disabdakannya :
Bahwa Nabi Saw,ditanya : Mata pencaharian apakah yang paling baik?, beliau menjawab:
”Seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih, (HR.AI-Bazzar).

B. Aturan Islam Tentang Jual Beli


Berdagang dalam pandangan Islam merupakan bagian dari muamalah antar manusia yang
dapat menjadi amal saleh bagi kedua pihak, baik pedagang maupun pembeli, jika dilakukan dengan
ikhlas karena Allah dan apa yang dilakukannya bukan hal yang terlarang. Berdagang dalam Islam
diarahkan agar para pihak yang melakukan merasa senang dan saling menguntungkan, karena itu
faktor-faktor yang dapat menimbulkan perselisihan dan kerugian masing-masing pihak, harus
dihindarkan. Untuk itu Islam mengajarkan agar perdagangan itu diatur dalam administrasi dan
pembukuan yang tertib, Allah berfirman :
" Dan persaksikanlah jika kamu ber jual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling
menyulitkan, "(0-S. AI-Baqarah, 2:282)

Persaksian ini ditujukan untuk menghindari perselisihan dan memberi kejelasan tentang
adanya peristiwa jual beli, sehingga ada bukti bahwa jual beli telah berlangsung. Dalam konteks jual
beli sekarang ini persaksian dan tulisan dilakukan dalam bentuk administrasi, seperti adanya faktur
pembelian sebagai bukti bahwa barang telah diterima pembeli, ada kuitansi sebagai bukti bahwa
uang telah diterima penjual. Saksi dan penulis yang menyulitkan dalam ayat di atas maksudnya
adalah sistem yang tidak beres atau petugas administrasi yang dapat merugikan pembeli maupun
penjual.

Jual beli dalam konsep Islam didasarkan atas kesukaan kedua pihak untuk membeli dan
menjual, sehingga tidak ada perasaan menyesal setelah peristiwa jual beli berlangsung, Allah
berfirman :

".....kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. "
(QS. An-Nisa, 4:29)

Jual beli dalam keadaan terpaksa atau dipaksakan oleh salah satu pihak, baik pembeli
maupun penjual, bukanlah cara yang sesuai dengan ajaran Islam, karena itu tidak sah jual beli di
bawah ancaman, ketakutan dan keterpaksaan.

Aspek saling menguntungkan dan saling meridlai merupakan ciri utama dalam konsep
perdagangan Islam, karena itu hal-hal yang dapat mengganggu kedua aspek di atas sekali
diperhatikan agar jual beli dapat terhindar dari kekecewaan dan kerugian. Untuk itu dalam
masalah jual beli terdapat aturan tentang khiyar.
Khiyar adalah pilihan, yaitu kesempatan dimana pembeli atau penjual menimbang nimbang
atau memikirkan secara matang sebelum transaksi jual beli dilakukan. Nabi bersabda :

Jika dua orang melakukan jual beli, maka keduanya boleh melakukan khiyar sebelum mereka
berpisah dan sebelum mereka bersama-sama atau salah seorang mereka khiyar, maka
mereka berdua melakukau jual beli dengan cara itu dengan demikian jual beli menjadi wajib. "
(HR. Ats-Tsalatsah).

Dua pihak melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum berpisah. Jika
keduanya melakukan transaksi dengan benar dan jelas, keduanya diberkahi dalam jual beli mereka.
Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, Allah akan memusnahkan keberkahan jual beli
mereka. Karena itu dalam dunia perdagangan, Islam mengajarkan agar para pihak bertindak jujur.
Kejujuran dalam jual beli ini menempalkan mereka yang melakukan, transaksi pada tempat baik dan
mulia dalam pandangan Allah, sebagaimana disabdakan Nabi :

"Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para Nabi, orang-orang yang
benar dan para syuhada. " (HR. Tirmidzi dan Hakim)

Tempat yang terhormat bagi pedagang yang jujur disejajarkan dengan para Nabi. Karena
bedagang dengan jujur berarti menegakkan kebenaran dan keadilan yang merupakan para Nabi.
Disejajarkan dengan orang-orang saleh, karena pedagang yang jujur merupakan bagian dari amal
salehnya, sedangkan persamaan dengan para syuhada, karena berdagang adalah berjuang
membela kepentingan dan kehormatan diri dan Keluarganya dengan cara yang benar dam adil.

Untuk menghindari kekecewaan dalam transaksi jual beli, Islam mengajarkan agar pembeli
melihat dan memeriksa barang yang hendak dibelinya, si penjual tidak mempunyai hak untuk
menerima pembayarannya, dan jual beli itu belum bisa dilangsungkan, artinya pembeli memiliki hak
khiyar (untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya), Nabi bersabda :

”Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum dilihatnya maka ada hak khiyar baginya
apabila dia lelah melihatnya. " (HR. Daruqutni dan Bailiaqi.)

Apabila barang itu telah dilihat dan diperiksa calon pembeli, maka tidak berarti pada saat itu
terjadi jual beli, pembeli masih memiliki hak untuk memiliki (khiyar), baik barang maupun harga
selama keduanya belum mengambil keputusan, Nabi bersabda :
"Sesungguhnya kedua belah pihak yang berjual beli, boleh khiyar dalam jual beli selama keduanya
belum berpisah. " (HR. Bukhari).

Dalam jual beli barang tertentu yang memiliki spesifikasi yang khusus, sebaiknya dituliskan
spesifikasi barang yang akan dipesan atau dibeli, misalnya ukuran, type, bahan dasar, warna dan
sebagainya yang menunjukkan kualitas dan kwantitas barang yang dimaksud. Apabila tidak sesuai
dengan pesanan, pembeli dalam kondisi khiyar, ia boleh menolaknya. Melihat dan memeriksa
barang tidak selalu.

Hak khiyar yang dimiliki oleh penjual maupun pembeli adalah untuk mempertimbangkan
secara matang suatu peristiwa jual beli, apabila seseorang telah memutuskan membeli atau menjual
suatu barang, maka orang lain tidak boleh menjual atau membelinya, pembeli atau penjual terdahulu
telah dinyatakan sah berjual beli dan barang itu bukan lah menjadi milik penjual. Nabi bersabda :

"Janganlah salah seorang kaum menjual barang yang telah dijual saudaranya. " (HR. Ahmad dan
Nassai)

Barang yang diperdagangkan adalah barang yang sudah jelas adanya, sehingga pembeli
dapat melihat dan memeriksanya sebelum menetapkan penawaran dan membelinya. Ajaran Islam
melarang menyembunyikan kecacatan barang yang dijualnya dengan sengaja untuk memperoleh
keuntungun sendiri, sabda Nabi :

"Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lainnya, tidak halal bagi seorang
muslim menjual kepada suadaranya barang cacat kecuali ia jelaskan. " (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah, Daruqutni, Al-Hakim dan Athabrani).

Barang yang diperdagangkan adalah barang yang sudah jelas adanya, sehingga pembeli
dapat melihat dan memeriksanya sebelum menetapkan penawaran dan membelinya. Ajaran Islam
melarang menyembunyikan kecacatan barang-barang yang dijualnya dengan sengaja untuk
memperoleh keuntungan sendiri, sabda Nabi :

Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lainnya, tidak halal bagi seorang
muslim menjual kepada saudaranya barang cacat kecuali ia jelaskan. (HR Ahmad dan Ibnu
Majah, Daruqutni, Al- Hakim dan Athabrani).

B. Hukum dan Dalil Jual Beli

Di dalam Islam terdapatdasarhukumdari Al – Qur’an danHadis. Al-Qur’an yang


menerangkantentangjualbeliantara lain:

a. Al Baqarah : 198
Artinya : “Tidakadadosabagimuuntukmencarikarunia (rezkihasilperniagaan) dariTuhanmu.
Makaapabilakamutelahbertolakdari ‘Arafat, berdzikirlahkepada Allah di Masy’arilharam.Dan
berdzikirlah (denganmenyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nyakepadamu;
dansesungguhnyakamusebelumitubenar-benartermasuk orang-orang yang sesat.”

b. Al Baqarah : 275
Artinya :“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakitgila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamka nriba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghun ineraka; mereka
kekal di dalamnya.”

c. An Nisa : 29
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antarakamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.

Maka, bila mengacu pada ayat- ayat Al-Qur’an dan Hadis.Hukum jual beli adalah mubāh (boleh).
Namun pada situasi tertentu, hUkum jula beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan
makruh.

C. Rukun dan Syarat Jual Beli


a. Orang yang melaksanakanakan djualbeli (penjual dan pembeli) :
- Berakal
- Balig
- Berhak menggunakan hartanya

b. Siga tata ucapan ijab dan kabul.


Kerelaan hati antara penjual dan pembeli yang diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual)
dan kabul (dari pihak pembeli)

c. Barang yang diperjualbelikan.


- Barang yang halal.
- Barang tersebut ada manfaatnya.
- Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain.
- Barangitumerupakanmiliksipenjualataudibawahkekuasaannya.
- Barangtersebutdiketahuiolehpihakpenjualdanpembelidenganjelas.

d. Nilai tukar barang yang dijual


- Harga jual disepakati penjual dan pembeli
- Nilai tukar barang dapat diserahkan pada waktu transaksi.
- Apabila jual beli dengan cara barter, nilai tuka rbarang jangan sama dengan barang haram
misalnya, Babi.
D. Macam- macam bentuk jual beli
a. Bai’ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai
alat tukar. semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas
prinsip jual-beli.

b. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang
(barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor
yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang
dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.

c. Bai’ al sharf; yaitu jual-beli atau pertukaran antara saw mata uang asing dengan mata uang asing
lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang
diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral
(telegrafic transfer atau mail transfer).

d. Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil.

e. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok
dan keuntungan yang didapatnya.

f. Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih
rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya
hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.

g. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang
yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan
kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-
produk pertanian jangka pendek.
h. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas
barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang
disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

II. Syirkah (Perseroan Terbatas)

A. Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
dan mashdar (kata dasar)nya ada tiga wazn (timbangan), boleh dibaca dengan salah satunya,
yaitu: syirkatan / syarikatan /syarakatan; artinya persekutuan atau perserikatan. Dan dapat
diartikan pula dengan percampuran, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24.
(Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Akan tetapi, menurut Abdurrahman Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-
Arba’ah, III/58)
Adapun menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang
atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253).

B. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits
danijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:

a. Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)

Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam
kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis
karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

b. Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak
ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau
salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim
no.2322).

c. Ijma’
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkahsecara
global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).

C. RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH


a. Syarat Syirkah
1. orang yang bersyirkah sudah baligh, berakal sehat dan merdeka.
2. pokok maupun modal yang jelas.
3. orang yang bersyirkah harus mencampur kedua harta (sahamnya) sehingga tidakdapat dibedakan sat
u dengan yang lainnya.
4. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga jelas agar terhindar dari penyimpangan– penyimpangan
.
5. untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal masing – masing.

b. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:


Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
1. akad (ijab-kabul), disebut juga shighat
2. dua pihak yang berakad (al-‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan
melakukan tasharruf(pengelolaan harta)
3. obyek akad, disebut juga al-ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (al-amal) dan atau modal (al-
mâl). (Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas
pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat
diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra
usaha).

D. MACAM-MACAM SYIRKAH
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-
dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) syirkah mudhârabah;
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam,
sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah
dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan,
mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya
syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

1) Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah
dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).

Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi
modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu
dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-


masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya
50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq
dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas
besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang
bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

2) Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat
berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan
tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150).
Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan
B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula,
jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar
60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun,
disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150);
tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan
(celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan
boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu
Mas’ud ra. pernah berkata,
“Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai
harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara
aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].

Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan
taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

3) Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak
memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)
(An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz
menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib
al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai
pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A
dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi
modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi
modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-
Nabhani, 1990: 152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi
Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak
berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal,
sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum
wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian
dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut
menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-
Islâmiyyah, 2/66).

4) Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah
al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak
(misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga
(misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh
masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga
berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya,
tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah
tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari
seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50%
dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua,
sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan
berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-
Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya
termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah
mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani,
1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam
syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang
menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan
keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh
para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya
dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

5) Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156;
Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah
boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan
dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian


ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal
(jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa
syirkah wujûh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil,
yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat
masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan
modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A
sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-
masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di
antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah
seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

E. MENGAKHIRI SYIRKAH
Latar belakang yang menyebabkan berakhirnya syirkah sebagaimana berikut:
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
3. Salah satu pihak meninggal dunia.
4. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.

F. PRAKTIK SYIRKAH
A datang ke B dan menyera kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk dijadikan modal
kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang tersebut memperoleh
keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua
belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal dan 60% untuk pengelola atau dibagi secara
sama, yang penting ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tidak saling merugikan,
melainkan saling menguntungkan.

IV. Bank
A. Pengertian dan Fungsi Bank
Bank adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa-jasa dalam bidang
keuangan. Bankberfungsi menerima deposito, menerima tabungan, memberikan pinjaman,
mengedarkan uang dan menjual jasa-jasa perbankan lainnya, misalnya jual beli kertas berharga,
transaksi devisa, penukaran mata uang dan sebagainya. Karena fungsi bank yang demikian itu,
maka bank tidak bisa dipisahkan dari dunia usaha, atau perekonomian suatu
negara. Bank memperoleh penerimaan dari jasa-jasa yang dilakukannya, antara lain
1. Provisi dan komisi
2. Jual beli surat berharga dan uang, karena selisih kurs, perbedaan rente dan premi.
3. Memberikan kredit kepada pihak lain yang menghasilkan bunga provisi

Sedangkan pengeluaran bank pada umumnya adalah rekening biaya, pemeliharaan perponding,
asuransi gedung kantor, penyusutan atas gedung, perabot, pembayaran pajak, biaya umum
pegawai dan lain-lain. Selisih antara penerimaan berupa bunga, provit atau komisi dan deviden
karena penyertaan, dan pengeluaran merupakan laba yang akan dibagi-bagikan antara lain kepada
pemegang saham dan penambahan dana cadangan. Penghasilan terbesar bank datang dari
pemberian kredit berbunga, kemudian provisi, lalu selisih kurs dan serba-serbi.

B. Masalah Bunga Bank


Seperti yang telah dikemukakan pada bagian lalu bahwa penghasilan bank yang terbanyak adalah
dari jasa kredit berupa bunga. Bunga diterima bank sebagai jasa pemberian kredit kepada pihak
tertentu (debitur) dan bank pun memberikan jasa bunga kepada pemilik uang (deposan) dengan
tingkat bunga tertentu. Yang menjadi masalah sekarang apakah bunga bank termasuk riba? Dalam
menjawab masalah ini para ulama tidak memiliki satu kesepakatan Mereka berselisih paham dalam
menghukumi bunga bank yaitu :
1. Kelompok pertama, menyatakan bahwa bunga bank itu dihukumi riba, karena terjadi penambahan
jumlah pinjaman dengan jumlah pembayaran dan penambahan tersebut adalah riba, karena
hukumnya haram.

2. Kelompok kedua menyatakan bahwa bunga bank dihukumi riba apabila :


a. Bunganya berlipat ganda
b. Bersifa memaksa
c. Memberatkan
Jika sifat bunga itu tidak memiliki sifat seperti itu, maka bunga bank tidak termasuk riba.

3. Kelompok ketiga menyatakan bahwa bunga bank dihukum riba, tetapi karena bank yang tanpa
bunga belum ada dan bank sangat diperlukan bagi pengambang ekonomi umat, maka
memanfaatkan bank dengan bunganya termasuk perbuatan darurat, karena itu tidak berdosa.
DALIL

Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:

 Surat Al-Baqarah, ayat 275:


Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA’ tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan RIBA’, padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA’.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil RIBA’), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA’), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
 Surat Ali ‘Imran, ayat 130:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
 Surat Ar-Rum, ayat 39: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.

PENDAPAT

 Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh
karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi
Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati
secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua
merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama
internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
 Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan
bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat
Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali
dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal
istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat
ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh
seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun
banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank
itu dengan bunga.
 Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan
Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain
seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap
Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan
Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan
perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia
juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan
amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah
muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang
terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
 Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa
bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat
ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
 Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU
tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang
mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-
alasan lain.
 Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga
perbankan termasuk riba sehingga diharamkan.
ANALISA
Larangan al-Qur’an terhadap pengambilan riba adalah jelas dan pasti. Sepanjang pengetahuan
tidak seorang pun mempermasalahkannya. Tetapi pertentangan yang ditimbulkan adalah mengenai
perbedaan antara riba dan bunga. Salah satu mazhab pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang
Islam adalah riba bukan bunga. Sementara suatu mazhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya
tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga. Karena itu pertayaan pertama yang harus dijawab
adalah apakah ada perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dan bunga dalam dunia kapitalis.

Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 (empat) macam:

1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama
timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh:
tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan
sebagainya.
2. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan
bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp.
25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan hutangnya kepada Budi
sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
3. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya: orang yang
membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari
sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab
jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
4. Riba Nasi’ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang
pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang meminjam.
Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan
membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan jika terlambat
satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya.

V. Prinsip Dan Konsep Bank Islam


Sehubungan dengan masalah yang dihadapi umat Islam dalam hal yang berkaitan dengan bunga
bank maka didirikanlah bank Islam yang cara kerjanya disesuaikan dengan syariat Islam yang
menghindarkan bunga, yaitu dengan sistem bagi hasil dari perputaran uang yang dilakukan oleh
pihak bank maupun oleh pihak peminjam, tentu dengan pembagian yang telah disepakati baik oleh
kreditur maupun oleh debitur. Bank Islam menyediakan pelayanan perbankan berupa :
1. Giro Wadiah
2. Tabungan Mudharabah
3. Tabungan Haji
4. Tabungan Kurban
Bank juga melayani kebutuhan pendanaan berupa :
a. Pembiayaan Mudharabah
b. Pembiayaan Murabaliah
c. Pembiayaan bai bithaman ajil
d. Pembiayaan qardul hasan
e. Pembiayaan masyarakah (partnership)
f. Jasa perbankan lainnya.

VI. Koperasi
Pengertian koperasi menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1967 adalah organisasi
ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang
merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Koperasi sebagai lembaga ekonomi merupakan aplikasi dari konsep taawun (kerjasama dan
tolong menolong) yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam. Keberpihakan kepada kesejahteraan
anggota sebagai suatu keluarga adalah sifat koperasi yang mulia. Jika koperasi ditata sedemikian
rupa dapat menjadi lembaga ekonomi yang kuat, saling memajukan antar anggota, sehingga
pemerataan kesejahteraan ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Islam sangat peduli
terhadap kesejahteraan umatnya secara keseluruhan, bahkan mengorganisasikan kekuatan
ekonomi umat merupakan amanat yang harus diupayakan oleh umat Islam.

Tujuan koperasi adalah:


a. Menyelenggarakan suatu masyarakat swasembada yang mampu menopang dirinya sendiri oleh
kemampuan tenaga kerja di atas tanahnya sendiri.
b. Menuju suatu kemakmuran dan kesejahteraan bersama
c. Menyelenggarakan kesejahteraan dan kemajuan umat manusia.

Melihat pengertian dan tujuan koperasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Koperasi merupakan
penyelenggaraan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam, karena ekonomi Islam adalah
ekonomi yang berpihak kepada pengembangan, nasib masyarakat banyak dengan memupuk
kebersamaan dan kekeluargaan.
Koperasi diselenggarakan berdasarkan azas dan sendi koperasi, yaitu:
1. Saling tolong menolong
Azas ini merupakan sesuatu yang membedakan koperasi sebagai pelaku ekonomi dalam
masyarakat dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam tolong menolong merupakan
perilaku yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh umatnya, firman Allah :
"….Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. " (QS. Al-Maidah, 5 : 2)

2. Tanggungjawab
Atas ini mengandung arti bahwa dalam koperasi terdapat tuntutan bahwa anggota maupun
pengurus dituntut untuk-bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban sebagai anggota maupun
resiko-resiko dan tanggungan-tanggungan yang diakibatkan oleh usaha koperasi. Segi tanggung
jawab dalam ajaran Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan setiap orang.
Keadilan dalam bidang ekonomi merupakan azas dalam koperasi di mana kesempatan untuk
meningkatkan bagi seluruh anggota yang diatur berdasarkan aturan yang berdasarkan rasa
keadilan. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang terhadap koperasi
serta memiliki kesempatan yang sama pula dalam memanfaatkan koperasi.

3. Ekonomis.
Dalam koperasi persoalan efisiensi dan efektifitas diukur dalam hubungannya dengan kesejahteraan
anggota.

4. Demokrasi.
Dalam koperasi rapat anggota merupakan forum tertinggi dalam mengambil kepulusan. Di sini
seluruh anggota bergabung secara bersama-sama berdasarkan kesamaan sebagai anggota
koperasi membentuk pengaturan koperasi secara demokrasi.

5. Kemerdekaan.
Koperasi adalah kumpulan anggota yang bersifat sukarela dan mencakup penerimaan tanggung
jawab keunggotaan dan kebebasan perkumpulan koperasi untuk membuat keputusannya sendiri
dan mengolah masalahnya sendiri Pendidikan. Koperasi dapat diperankan sebagai cara untuk
menyampaikan pengertian dari suatu gagasan yang melandasi tindakan koperasi untuk
meningkatkan kapasitas keanggotaan dan mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi dengan
suatu cara yang efisien.

A. Dalil Koperasi

Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan,
kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang
seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan
ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Lihat
juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24.
Bahkan, Nabi saw tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam
hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan
memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya.
Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari
kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa
bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari)
Penekanan manajemen usaha dilakukan secara musyawarah (Syuro) sesama anggota dalam Rapat
Anggota Tahunan (RAT) dengan melibatkan seluruhnya potensi anggota yang dimilikinya.
Sebagaimana firman Allah SW

“…..Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Allah amat
berat siksaannya “. (Q.S Al Maidah ayat 2).

Berdasarkan pada ayat Al-quran diatas kiranya dapat dipahami bahwa tolong-menolong
dalam kebajikan dan dalam ketakwaan dianjurkan oleh Allah. Koperasi merupakan tolong menolong,
kerja sama, dan saling menutupi kebutuhan. Menutupi kebutuhan dan tolong menolong kebajikan
adalah salah satu wasilahuntuk mencapai ketakwaan yang sempurna (haqa tuqatih)

Di dalam Kitabullah, Allah berfirman


“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga.”(Q.S an- Nisa: 12).
“Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka itu.” (Q. S. 38: 24)

Di dalam As-Sunnah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Allah SWT berfirman: “Aku ini Ketiga
dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya.
Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya Aku keluar dari antara mereka.”
(HR. Abu Daud dari Abu Hurairah)

B. Pendapat Ulama Mengenai Koperasi

Sebagian ulama menganggap koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah, yakni
suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, di satu pihak menyediakan modal usaha,
sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut
perjanjian, dan di antara syarat sah mudharabah itu ialah menetapkan keuntungan setiap tahun
dengan persentasi tetap, misalnya 1% setahun kepada salah satu pihak dari mudharabah tersebut.
itu termasuk mudharabah atau qiradh, dengan ketentuan tersebut di atas (menetapkan persentase
keuntungan tertentu kepada salah satu pihak dari mudharabah), maka akad mudharabah itu tidak
sah (batal), dan seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal, sedangkan pelaksana
usaha mendapat upah yang sepadan atau pantas.

Sedangkan Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab Syirkah Ta’awuniyah
tidak mengandung unsur mudharabah yang dinimuskan oleh fuqaha. Sebab Syirkah Ta’awuniyah,
modal usahanya adalah dari sejumlah anggota pemegang saham, dan usaha koperasi itu dikelola
oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-
masmg. Kalau pemegang saham turut mengelola usaha koperasi itu, maka ia berhak mendapat gaji
sesuai dengan sistem penggajian yang balaku. Menurut Muhammad Syaltut, koperasi merupakan
syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang dimungkinkan banyak sekali manfaatnya,
yaitu membari keuntungan kepada para anggota pemilik saham, membori lapangan kerja kepada
para karyawannya, memberi bantuan keuangan dan sebagian hasil koperasi untuk mendirikan
tempat ibadah, sekolah dan sebagainya.
Dengan demikian jelas, bahwa dalam koperasi ini tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan
(eksploitasi oleh manusia yang kuat/kaya atas manusia yang lemah/miskin). Pengelolaannya
demokratis dan terbuka (open management) serta membagi keuntungan dan kerugian kepada para
anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang
saham. Oleh sebab itu koperasi itu dapat dibenarkan oleh Islam.

Penulis Timur Tengah ini berpendapat, haram bagi ummat Islam berkoperasi. Sebagai
konsekuensinya, penulis ini juga mengharamkan harta yang diperoleh dari koperasi.
Argumentasinya dalam mengharamkan koperasi, ialah pertama disebabkan karena prinsip-prinsip
keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syariah. Di antara yang
dipersoalkan adalah persyaratan anggota yang harus terdiri dari satu jenis golongan saja yang
dianggap akan membentuk kelompok-kelompok yang eksklusif. Argumen kedua adalah mengenai
ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan. Koperasi mengenal pembagian keuntungan yang
dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang
dari ajaran Islam, karena menurut bentuk kerja sama dalam Islam hanya mengenal pembagian
keuntungan atas dasar modal, atas dasar jerih payah atau atas dasar keduanya. Argumen
selanjutnya adalah didasarkan pada penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi
dengan persyaratan anggota dan golongan ekonomi lemah yang dianggapnya hanya bermaksud
untuk menenteramkan mereka dan membatasi keinginannya serta untuk mempermainkan mereka
dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopis (angan-angan/khayalan).

Pendapat tersebut belum menjadi kesepakatan/ijma para ulama. Sebagai bagian bahasan yang
bermaksud membuka spektrum hukum berkoporasi, maka selain melihat segi-segi etis hukum
berkoperasi dapat dipertimbangkan dari kaidah penetapan hukum, ushul al-fiqh yang lain.

Menurut Masjfuk Zuhdi, koperasi yang memberikan persentase keuntungan tetap setiap tahun
kepada para anggota pemegang saham bertentangan dengan prinsip ekonomi yang melakukan
usahanya atas perjanjian keuntungan dan kerugian dibagi antara para anggota (profit and loss
sharing) dan besar kecilnya persentase keuntungan dan kerugian bergantung pada kemajuan dan
kemunduran koperasi.
Telah diketahui bahwa hukum Islam mengizinkan kepentingan masyarakat atau kesejahleraan
bersama melalui prinsip ishtishlah atau al-maslahah. Ini berarti bahwa ekonomi Islam harus
memberi prioritas pada kesejahleraan rakyat bersama yang merupakan kepentingan masyarakat.

Menurut Fuad Mohd. Fachruddin, perjanjian perseroan koperasi yang dibentuk atas dasar kerelaan
adalah sah. Mendirikan koperasi dibolehkan menurut agama Islam tanpa ada keragua-raguan
apapun mengenai halnya, selama koperasi tidak melakukan riba atau penghasilan haram.

Tolong menolong merupakan perbuatan terpuji menurut agama Islam. Salah satu bentuk tolong-
menolong adalah mendirikan kopersai, maka mendirikan dan menjadi anggota koperasi merupakan
salah satu perbuatan terpuji menurut agama Islam.

Share this article :

Anda mungkin juga menyukai