Anda di halaman 1dari 31

EPISTEMOLOGI SEBAGAI FUNDAMENTAL EKONOMI ISLAM

(Istihsan, Maslahah Mursalah, Sadd Adz-Zari’ah, Al-Urf dan Al-Istihsab)


“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ekonomi Islam”
(Dosen Pengampu Bapak Pani Akhiruddin.,S.Si, MA)

Disusun Oleh:
Ayu Permata Sari (0502192064)
Izzatul Jannah (0502193204)

Akuntansi Syari’ah VIIF

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena memberi Penulis
kenyamanan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Makalah ini tepat waktu. Tanpa
bantuan-Nya, tentu saja, Penulis tidak akan dapat menyelesaikan Makalah ini dengan
baik. Shalawat dan salam Penulis limpahkan kepada raja kita tercinta, Nabi Muhammad
SAW, yang kita nanti akan beralih ke syariahnya di akhirat.
Penulis bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kelimpahan nikmat
sehat-Nya, baik dalam bentuk kesehatan fisik dan Rohani, sehingga Penulis dapat
menyelesaikan pembuatan Makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih
ada banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk alasan ini, Penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk Makalah ini, sehingga Makalah ini
nantinya bisa menjadi Makalah yang lebih baik. Dan jika ada banyak kesalahan dalam
Makalah ini Penulis meminta maaf sebesar-besarnya.
Demikian, semoga Makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Medan, 10 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Epitemologi Ekonomi Islam ...........................................................................3
B. Istihsan ........................................................................................................4
C. Maslahah Mursalah ........................................................................................6
D. Sadd Adz-Dzari’ah ..........................................................................................14
E. Al -‘Urf ...........................................................................................................18
F. Al - Istihsab ...................................................................................................23

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .....................................................................................................27
B. Saran ...............................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekonomi yang dalam kamus bahasa ilmiah diartikan sebagai segala usaha manusia
dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidup atau pengaturan
rumah tangga. Dalam tataran praktiknya ekonomi ada sejak manusia memulai hidup
bersama, akan tetapi masyarakat memiliki ciri khas sendiri sesuai dengan kerangka
filosofinya yakni nilai etika yang dipegang secara konvensional, hal ini menimbulkan
paham-paham dalam ilmu ekonomi yang dikenal dengan paham ekonomi kapitalisme,
sosialisme dan Islam. Ekonomi Islam secara filosofis pernah dipraktekkan pada masa
pertama Islam, dimana didalam kegiatan ekonomi (muamalat) mereka menyandarkan
kepada sumber nash al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara normatif banyak diatur
didalamnya.
Dewasa ini praktek prinsip-prinsip ekonomi Islam khususnya dinegara Islam mulai
memudar, hal ini disebabkan oleh masuknya kebudayaan luar terutama bangsa barat
yang secara tidak langsung mendorong negara-negara Islam semakin cenderung sekuler,
terlebih setelah banyaknya negara Islam yang menjadi koloni bangsa barat pada abad
modern ini yang harus menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini menjadi problematika
yang dihadapi ilmu ekonomi Islam dimana terjadi kesenjangan antara prilaku ideal
dengan prilakub riil.
Kondisi demikian menimbulkan kegelisahan ideologis umat Islam, dan berusaha
mengembangkan wacana bahkan praktek ekonomi yang berdasarkan prinsip syariah.
Dalam sejarah Islam modern, perinsip-perinsip syariah telah diimplementasikan seperti
perintisan perbankan Islam oleh Nawar Iqbal Qureshi (1946), Neiem Siddiq (1948) dan
Mahmud Ahmad (1952). Gagasan tersebut diteruskan oleh generasi sesudahnya dalam
bentuk karya-karya ilmiah, seperti al-Maududi (1950) dan Mahmud Uzair seorang
perintis teori perbankan Islam dalam karyanya A Groundwork for Interest Free Banking
(1955). Perintisan ekonomi Islam yang dimulai dari pertengahan abad XX ini terus
berlanjut hingga saat ini. Pada decade terakhir, pengkajian tentang ekonomi Islam
semakin marak, baik dalam bentuk penerbitan buku-buku dan jurnaljurnal ilmiah,

1
seminar, pelatihan perbankan Islam dan dibukanya konsentrasi muamalat (ekonomi
Islam) di beberapa perguruan tinggi Islam.
Dalam abad modern ini sistem ekonomi Islam dianggap sebagai pendatang baru,
mengingat dua sistem ekonomi yang terlebih dahulu lahir dan mendominasi dunia,
yakni sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Secara moral-ethic
ekonomi Islam dianggap sebagai counter sistem ekonomi kapitalis yang mengusai dunia
dan banyak menuai kritik. Oleh karena itu Ekonomi Islam harus dihadirkan sebagai
solusi atas permasalahan ekonomi pada era modern sekarang ini dan dengan latar
belakang diatas maka Makalah ini akan membahas mengenai Epistemologi sebagai
Fundamental Ekonomi Islam.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka Rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi Ekonomi Islam ?
2. Bagaimana Epistemologi sebagai Fundamental Ekonomi Islam berdasarkan
Istihsan, Maslahah Mursalah, Saddu az-Zaraa’i, Al-Urf dan Al-Istihsab?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi Epistemologi Ekonomi Islam.
2. Memahami bagaimana Epistemologi sebagai Fundamental Ekonomi Islam
berdasarkan Istihsan, Maslahah Mursalah, Saddu az-Zaraa’i, Al-Urf dan Al-
Istihsab.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistimologi Ekonomi Islam


Secara etimologis kata epistimologis berasal dari bahasa Yunani “episteme” yang
berarti pengetahuan (knowledge) dan “logos” berarti teori tentang atau studi tentang.
Jadi secara terminologis epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal
mula dan sumber, struktur, metode dan validitas (keabsahan) suatu pengetahuan.
Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam epistimologi adalah: Hakekat
(essensi), eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan, Sumber-sumber pengetahuan,
Metodologi Ilmu tentang cara mengetahui suatu pengetahuan, Sarana yang digunakan
dalam rangka kerja metologis tersebut dan Uji validasi pengetahuan.
Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin Ilmu jelas memiliki landasan-landasan
epistemologis. Membahas epistemologi ekonomi Islam berarti mengkaji asal-usul
ekonomi Islam, metodologinya dan validasinya secara ilmiah. Apabila berbicara
masalah epistemologi ekonomi Islam, berarti akan berbicara tentang hakikat ekonomi
Islam dan dasar-dasarnya. Ekonomi Islam berbasis epistemologi Islam karena hal ini
berhubungan dengan worldview Islam itu sendiri. Hal ini sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Aslan Haneef bahwa ekonomi Islam perlu dikembangkan,
dilaksanakan dan di evaluasi melalui konsep, ukuran dan standar sebagai produk
framework Islam yang melibatkan worldview dan filsafat Islam yang berdasarkan
worldview Islam. Untuk itu pemahaman tentang epistimologi Islam sangat penting
dalam pengembangan ekonomi Islam. 1
Berdasarkan kajian epistemologi di atas, jelas bahwa ekonomi Islam bukanlah hanya
suatu system atau norma saja. Ekonomi Islam adalah sebuah disiplin Ilmu yang
ditemukan melalui metodologi keilmuan ilmiah, akan tetapi sumber Ilmu pengetahuan
dalam Islam bukan semata rasio dan empiris sebagaimana yang diajarkan aliran
positivism. Ekonomi Islam memiliki sumber utama yakni al-Qur’an dan Sunnah,

1
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana,2016),h.126

3
sedangkan Ijtihad merupakan sumber Ilmu berikutnya yang menghasilkan Ijtihad
dimana ekonomi Islam dapat menerima metode ilmiah ekonomi konvensional yang
berdasarkan pada rasio dan pengalaman empiris baik melalui edukatif maupun induktif.

B. Istihsan
Istihsan adalah berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesutu
masalah yang di perintahkan untuk dilaksanakan. Dalam pengembangan ekonomi
syariah istihsan ini sangat strategis perannya 2. Hal ini karena metode ini memiliki daya
kepekaan yang tinggi terhadap perubahan sosial masyarakat dalam kehidupan yang
serba cepat dan canggih.
1. Pengertian Istihsan
Menurut Al-sarakhi (w. 483 H), secara Bahasa istihsan berarti: “Berusaha
mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang di perhitungkan
untuk dilaksanakan” sementara itu, menurut Muhammad al-Said Ali Ab-Dur Rabuh,
Istihsan dalam pengertian bahasa berarti “Memperhitungkan bahwa sesutau itu adalah
baik”. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abu Hasan Al-Karkhi,
Seorang ulama ushul dari mazhab Hanafi sebagai berikut: “Istihsan ialah Berpindahnya
seorang mujtahid dan hal penetapan hukum pada suatu masalah yang secara
substansial serupa dengan apa yang telah ditetapkan karena terdapatnya alasan yang
lebih kuat yang mengkehendaki perpindahan tersebut”.
Kemudian Al-Sarakhsi menyebutkan pula sebagai berikut: “Istihsan ialah
meninggalkan qiyas dan menggunakan yang lebih kuat daripadanya,karena adanya dalil
yang mengkehendaki dan, lebih sesuai untuk merealisasi kemashlahatan manusia. Abdul
Wahab Khalaf juga menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan Istihsan ialah:
“Istihsan ialaha berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar (Tersembunyi),atau dari
ketentuan yang kully (umum) kepada ketentuan hukum yang sifatnya khusus, karena

2
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Depok: Kencana, 2017), h.189

4
menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut”.
Atas dasar ini, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar
dan kaidahnya seacara umum baik dari nash, ijma, maupun qiyas,tetapi ketentuan
hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus diubah karena
berhadapan dengan persoalan yang khusus atau spesifik.
Dengan kata lain, Istihsan pada dasarnya mengenyampingkan ketentuan umum
yang sudah jelas dan pindah pada ketentuan yang khusus,karena adanya alasan yang
kuat yang mengkehendakinya. Artinya persoalan khusu yang seharusnya tercakup pada
ketentuan yang sudah jelas,tetapi karena tidak mungkin dan malah tidak tepat
diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan
umum atau yang sudah jelas tadi.
2. Aplikasi Istihsan dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah
Dalam transaksi jual beli harus memenuhi syarat dan rukunnya. Diantara salah
satu rukun jual beli adalah ijab dan kabul. Ijab adalah bentuk kerelaan seorang penjual
kepada pembeli dalam melakukan transaksi jual beli, Misalnya “Saya jual barang ini
dengan harga satu juta”. Sementara Kabul adalah bentuk penerimaan seorang pembeli
atas barang yang dibelinya dalam suatu transaksi, Misalnya “Saya terima barang ini
dengan harga satu juta”.
Seiring dengan berjalannya waktu, era globalisasi memberikan dampak pada
segala aspek, termasuk dalam bidang ekonomi. Kehadiran mini market (Swalayan) di
derah-daerah ini melahirkan suatu tradisi baru ,yang jual belinya tidak secara lafzi
(pengucapan), tetapi secara amali (perbuatan). Misalnya seorang yang hendak
berbelanja ke Indomaret, mereka tinggal mengambil semua barang yang di inginkannya
tanpa harus meminta izin kepada penjualnya. Setelah selesai berbelanja ,pembeli datang
kekasir dengan menyodorkan barang-barang yang hendak di belinya. Dan setelah
membayar sesuai nominal sesuai dengan harga yang di tetapkan oleh pihak indomaret,
barang-barang tersebut sudah dapat dibawa pulang. Disini tidak ada ijab dan kabul
transaksinya secara ucapan,tetapi hanya secara perbuatan. Transaksi semacam itu sudah
menunjukkan antara pembeli dan penjual ,keduanya bersepakat untuk melakukan

5
transaksi yaitu jual beli. Jual beli tanpa ijab kabul itu dalam fiqh disebut dengan jual beli
Mu’athah. Hukum jual beli seperti ini di bolehkan,karena sudah menjadi kebiasaan dan
dapat dimaklumi bersama.
Seperti yang diketahui Supermarket, Departemen Store banyak dilengkapi
fasilitas vending machine sebagai alat atau mesin untuk menjual barang secara otomatis.
Seperti minuman soft drink, fanta, coca-cola, buah-buahan bahkan Koran. Vending
Machine sebagai alat menjual barang secara otomatis sangat praktis. Karena mesin
tersebut tidak membutuhkan tenaga operator untuk menjual barang tersebut. Sementara
pembeli dapat membelinya sesuai dengan keinginannya dengan memasukkan sejumlah
uang harga barang yang ditetapkan, lalu menekan tombol pada barang yang
diinginkannya, maka secara otomatis barang itu akan keluar dengan sendirinya. Bahkan
jika membutuhkan uang kembalian, mesin secara otomatis juga akan memberikan
kembalian secara otomatis pula. Jual beli semacam ini tidak membutuhkan ijab kabul
karena akad jual beli seperti biasanya. Akan tetapi transaksi ini sudah menunjukkan
kerelaan kedua belah pikhak (Pembeli-Penjual) untuk melakukan transaksi tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan Istihsan transaksi semacam ini dibolehkan berdasarkan
dengan kebiasaan (‘urf) yang berkembang di masyarakat.

C. Maslahah Mursalah
Mashlahah Mursalah merupakan suatau metode ijtihad yang serasi dengan
kebutuhan hidup masa kini, serta sesuai dengan maksud tujuan syariat. Pada dasarnya
kemashlahatan hidup manusia merupakan tujuan diturunkannya syariat dan semua
hukum yang di dalamnya sehingga memberikan kebaikan dan kebahagiaan, serta
menolak sesuatu yang merusaknya.
1. Pengertian Mashlahah Mursalah dan Istishlah
Secara bahasa kata “Mashlahah” jamak dari “Mashlahih” memiliki arti sesuatu
yang baik, yang bermanfaat, dan merupakan lawan dari keburukan dan kerusakan dan
dalam bahasa arab sering disebut “Al-Khairi wal shiwab” yaitu yang baik dan yang
benar. berikut beberapa pengertian mashlahah menurut para ulama:
1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan Mudharat (kerusakan),

6
namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Al-Khwarizmi memberikan penjelasan tentang arti mashlahah adalah
memelihara tujuan syara’ dalam meneapkan hukum dengan cara menghindarkan
kerusakan dari manusia.
3. Al-Syatibi mengartikan mashlahah dari dua pandangan yaitu dari segi terjadinya
mashlahah dalam kenyataan: “sesuatu yang kembali tegaknya kehidupan
manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwat
dan akilnya secara mutlak” dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada
mashlahah: “kemashlahatan merupakan tujuan dari penetapan hukum
syara’,untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia berbuat.
Dengan beberapa pengertian dapat dirumuskan bahwa mashlahah adalah sesuatu
yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangklan kebaikan dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’
dalam mentapkan hukum.
Secara terminologi Mashlahah mursalah adalah kemashlahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’ dan tidak ditolak juga oleh syara’ melalui dalil-dalil yang
terperinci. Mashlahah terkadang disebut juga dengan istilah yang berarti mencari
sesuatu yang baik. Al-Ghazali menjelaskan bahwa Mashlahah mursalah adalah
mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang
membatalkannya atau tidak ada yang memerhatikannya 3.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya mashlahah mursalah
merupakan:
1. Sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan
kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia
2. Sesuatu yang baik menurut akal,juga selaras dan aejalan dengan tujuan sayra’
dalam menetapkan hukum

3
Satria Efendi M Zein, Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana,2017),h.121

7
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’secara khusu syara’
tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya dan tidak ada
pula petunjuk syara’ yang mengakuinya.
2. Macam-macam Mashlahah
Dari segi kakuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum mashlahah
dapat dibagi menjadi tiga macam:
a. Mashlahah dharuriyah adalah kemashlahatan yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak berarti
apa-apa jika salah satu saja dari prinsip yang lima tidak ada. Segala usaha yang
menjamin atau menuju pada keberadaan lima prisip tersebut baik atau
mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia
melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Contoh: Allah
melarang murtad untuk memelihatra agama, Allah melarang membunuh untuk
memelihara jiwa, melarang minum-minuman keras untuk memlihara akal,
melarang berzina untuk memelihara keturunan dan melarang mencuri untuk
memelihara harta.
b. Mashlahah hajiyah adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan manusia tidak
berada pada tingkat dharuri. Artinya bentuk kemashlahatannya tidak secara
langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, namun secara tidak
langsung memberi kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan pokok tersebut bagi
manusia. Contohnya: menuntut Ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk
kelangsungan hidup, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta.
c. Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai pada tingkat dharuri juga tidak sampai pada tingkat
hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
Dari segi keserasian dan keselarasan anggapan baik oleh akal dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan
hukum mashalahah disebut juga dengan munasib atau keserasian mashlahah dengan
tujuan hukum, maka Mashlahah dapat dibagi menjadi:

8
a. Mashlahah Mu’tabarah yaitu mashlahah yang diperhitungkan oleh syar’i.
artinya ada petunjuk syar’i baik langsung maupun tidak langsung, yang
memberikan petunjuk bagi adanya mashlahah dalam menetapkan hukum. Dari
langsung dan tidak langsungnya petunjuk terhadap mashlahah dibagi menjadi
dua:
1. Manasib mu’atstsir yaitu adanya petunjuk langsung dari pembuat hukum
syar’i yang memperhatikan mashlahah tersebut. Contohnya: Tidak baik
mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah
penyakit. Hal ini disebut mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan
atau penyakit. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 222:
‫ْض َو ََل ت َ ْق َرب ُْوه َُّن َحتّٰى‬ۙ ِ ‫س ۤا َء فِى ْال َم ِحي‬ َ ِ‫ْض ۗ قُ ْل ه َُو اَذً ۙى فَا ْعت َِزلُوا الن‬ ِ ‫ع ِن ْال َم ِحي‬ َ َ‫َويَسْـَٔلُ ْونَك‬
َ َ ‫ّٰللا ي ُِحبُّ الت َّ َّوابِيْنَ َوي ُِحبُّ ْال ُمت‬
َ‫ط ِه ِريْن‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْوه َُّن ِم ْن َحي‬
ّٰ ‫ْث ا َ َم َركُ ُم‬
َ ّٰ ‫ّٰللاُ ۗ ا َِّن‬ ْ َ‫ي‬
َ َ ‫ط ُه ْرنَ ۚ فَ ِاذَا ت‬
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katkanlah:
“Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,maka campurilah
mereka itu ditempat yang diprintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.
2. Munasib Mulaim yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam
bentuk nash atau pun ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap mashlahah
tersebut namun secara tidak langsung ada. Namun ada petunjuk syara’
keadaan itulah yang ditetapkan hukum syara’ sebagai alasan untuk hukum
sejenis.
a. Mashlahah al-Mulghah adalah mashlahah yang dianggap baik oleh akal
tetapi tidak diperhatikan oleh syara’dan nada petunjuk syar’a yang
menolaknya, hal ini maksudnya akal menganggapnya baik dan kelak
sejalan dengan tujuan syara’ namun ternyata syara’ menetapkan hukum
yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh mashlahah itu. Contohnya:
masyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan
derajat laki-laki dan perempuan.

9
b. Mashlahah Mursalah atau sering disebut istilah adalah apa yang
dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang
memperhatikannya dan tidak ada pula hukum syara’ yang menolaknya.
3. Relevansi Mashlahah Musrsalah Di Masa Kini Dan Akan Datang
Dapat diketahui bahwa dewasa ini dan lebih lagi pada masa yang akan datang
permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin
komplek. Sehingga setiap permasalahan harus dihadapi umat Islam dan menuntut
adanya jawaban penyelesaian dari segi hukum. Semua persoalan tersebut tidak dapat
dihadapi jika hanya mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama yang
digunakan ulama terdahulu. Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash
atau menunjukkan syara’ untuk mendudukkan hukum dari kasus atau permaslahan yang
muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan
metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan padanannya
dalam Al-qur’an maupun Sunnah atau ijma’ ulama, sebab jarak waktu yang sudah
begitu jauh. Selain itu kemungkinan ada beberapa syarat qiyas yang sulit terpenuhi.
Dalam kondisi demikian, Kita akan berhadapan dengan beberapa kasus atau
masalah yang secara rasional dapat di nilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya,
tetapi tidak sulit menemukan dukungan hukumnya dari Nash. Dalam upaya mencari
solusi agar seluruh tindak tanduk umat Islam dapat di tempatkan dalam tatanan hukum
agama, mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam ijtihad.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kekhawatiran akan
tergelincirnya pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka berijtihad dengan
menggunkana mashlahah mursalah sebaikya dilakukan secara bersama-sama.
4. Penerapan Mashlahah Mursalah Pada Transaksi Ekonomi
Mashlahah Mursalah merupakan metode istinbat hukum yang dapat diterima oleh
mayoritas fuqaha. Hanya saja, porsi penggunaan mashlahah setiap Mazhab berbeda-
beda atau bahkan ada yang memberikan syarat-syarat tertentu dalam memberlakukan

10
mashlahah mursalah dalam menetapkan hukum. Berikut aplikasi mashlahha Mursalah
dalam transaksi keuangan dan kontemporer:4
a. Interpensi Pemerintah terhadap harga pasar
Dalam politik Islam, negara memiliki hak untuk melakukan interpensi
dalam kegiatan ekonomi baik dalam bentuk pengawasan, pengaturan, maupun
pelaksanaan kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh swasta
ataupun masyarakat. Interpensi harga oleh pemerintah bisa dikarekan oleh faktor
alamiah maupun non alamiah. Pada umumnya, interpensi pemerintah berupa
interpensi kebijakan dalam regulasi yang behubungan dengan permintaan dan
penawaran dan interpensi dalam pembentukan harga.
Interpensi dengan cara membuat kebijakan yang dapat mempengaruhi
dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran atau (market intervention)
biasanya dikarenakan distorsi pasar karena faktor alamiah. Bila distorsi pasar
terjadi karna faktor non alamiah, maka kebijakan yang ditempuh salah satunya
dengan interpensi harga dipasar. Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil
adalah harga yang terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan
permintaan (mekanisme pasar). Mereka juga sepakat menolak interpensi harga
oleh pemerintah kecuali pada kondisi tertentu interpensi pemerintah dalam
bentuk pengendalian harga dibenarkan. Interpensi harga dalam islam bertujuan
untuk mengembalikan harga yang terbentuk akibat terjadinya distori pada harga
pasar atau (price equiblirium) atau harga yang adil (qimah-Al’adl).
Menurut Ibnu Taimiah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan interpensi dalam terjadinya situasi dan kondisi sebagai berikut:
1. Produsen tidak mau menjual produknya kecuali pada harga lebih tinggi,
daripada harga umum pasar, padahal konsumen mebutuhkan produk
tersebut.

4
Muhammad Arif, Filsafat Ekonomi Islam. (Medan: Merdeka Kreasi Group,2021),h.100-101

11
2. Terjadi monopoli (penimbunan), pada fukhaha untuk memperlakukan
khajar (ketetapan yang mebatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan
barang) oleh pemerintah.
3. Terjadinya keadaan al-hasr (Pemboikotan), dimana distribusi barang
hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan
harga disini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga
yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
4. Terjadinya koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dmana sejumlah
pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan
harga diatas ataupun dibawah harga normal.
5. Produsen menwarkan produknya pada harga yang terlalu tinggi menurut
konsumen, sedangkan konsumen memintan dengan harga yyang terlalu
rendah menurut produsen.
6. Pemilik jasa, misalnya tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada
harga yang lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku, padahal
masyarakat membutuhkan jasa tertentu.
Regulasi harga yang dipekenalkan pada kondisi-kondisi tertentu dengan
tetap berpegangan pada nilai keadilan. Regulasi harga harus menunjukkan tiag
fungsi dasar, yaitu: Pertama, Fungsi ekonomi yang berhubungan dengan
peningkatan produktifitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin
melalui alokosi dan relokasi sumber daya ekonomi. Kedua,Fungsi sosial dalam
memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin. Ketiga,
Fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariat islam,khususnya yang
berkaitan dalam transaksi ekonomi (misalnya, kejujuran, keadilan,
kemanfaatan). Dengan demikian, interpensi harga pasar oleh pemerintah dalam
kondisi-kondisi yang diperbolehkan merupakan implementasi dari mursalah-
mursalah. Karena kebijakan pemerintah dalam menetapkan atau menjaga harga
pasar merupakan kemashlahatan publik yang harus dipelihara. Oleh karena itu,
kebijakan interpensi harga saat ini terjadi distorsi harga pasar merupakan
kebijakan dalam rangka mencapai kemashlahatan dan keadilan sosial, baik bagi
produsen maupun konsumen.

12
b. Larangan Dumping Dalam Penjualan Produk
Dumping merupakan praktik penjualan produk dinegara tujuan ekspor
dengan harga dibawah harga normal atau harga produsennya yang bertujuan
untuk menguasai pasar luar negeri. Praktik dumping dianggap sebagai praktik
yang tidak jujur dan dapat merugikan produsen produk saingan serta
mengacaukan sistem pasar internasional. Dumpingmerupakan praktik dagang
yang dapat merusak mekanisme pasar. Ada berbagai macam akibat yang di
timbulkan dari praktik ini antara lain produk barang sejenis dalam negeri kalah
bersaing karena harga produk infor tersebut jauh lebih murah dengan harga
domestik, terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK besar-besaran karena
perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya operasioalnya afgar dapat
bersaing dengan barang-barang infor yang harganya murah, dan yang lebih
parahnya lagi adanay kemungkinan tutupnya perusahaan dalam negeri akibat
poduksinya terus menurun karena barang-barangnya tidak laku dipasaran.
Perilaku dumping ini secara tegas dilarang dalam islam karena dapat
menimbulkn Mudharat bagi masyarakat luas.karena praktik dumping ini akan
menimbulkan mudharat dan hilangnya mashlahah bagi masyarakat luas yang
berdampak pada ketidak pastian harga yang merugikan pedagang lain dan
terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam dunia bisnis.
c. Larangan Spekulasi Pada Transaksi Valuta Asing
Dalam perdagangan internasional antar negara setiap negara
membutuhkan paluta asing sebagai alat bayar luar negeri yang dalam dunia
perdagangan disebut devisa. Sehingga akan timbul permintaan dan penawaran
devisa bursa valuta asing. Dalam praktik perdagangan ini adanya kemungkinan
usaha spekulatif yaitu bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala
untuk membeli suatu komuditas dengan harga murah pada suatu waktu dan
menjualnya dengan harag yang lebih tinggi pada waktu yang lain. Seseorang
yang melakukan kegiatan spekulatif dalam perdagangan biasanya berharap
kepada terjadinya fluktuasi harga yang tinggidi pasar. Jika harga dimasa yang
akan datang diharapkan lebih tinggi dari sekarang maka para pelaku spekulatif
akan membeli komoditas dengan maksud menjual pada harga yang tinggi

13
dimasa yang akan datang, begitu juga jika diperkirakan harga menurun dimasa
yang akan datang maka pelaku spekulatif akan menjual komuditasnya sekarang
untuk menghindari penjualan yang rendah nantinya.
Dalam ekonomi islam jual beli mata uang disebut dengan istilah as-sharf.
Pertukaran mata uang atau jual beli paluta asing hanya diperbolehkan pada
sektor riil baik itu transaksi barang maupun jasa. Namun apabila motifnya untuk
spekulasi mka hukumnya haram.
Dampak negatif dalam perdagangan valuta asing spekulatif adalah
sebagai berikut:
1. Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu
negara, antara lain: menimbulkan ketidak stabilan nilai tukar mata uang,
goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada bahan infor yang
pada gilirannya mengakibatkan dampak negatif bagi perekonomian suatu
negara, antara lain menimbulkan ketidak stabilan nilai tukar mata uang, suku
bunga perbankan menjadi lebih tinggi, devisit APBN menjadi membengkak
secara tajam.
2. Terjadinya ketidak seimbangan arus moneter dengan arus finansial.
Spekulasi valas inilah yang dapat menggoncangkan ekonomi suatu negara,
khusunya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulai itu,
jumlah uang yang beredah ssangat tidak seimbang dengan jumlah barang
disektor riil.
3. Perdagangan maa uang (valas) secara signifikan menimbulkan kerawanan
krisi bagi suatu negara karena nilai mata uang dapat ber fluktuasi secara lair.
Hal ini tidak lainkarena alat tukar dan penyimpanan kekayaan telah menjadi
komunitas yang diperjual belikan dan menguntungkan para pemilik modal
yang berspekulan.

D. Sadd Adz-Dzari’ah
1. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian Sadd Adz-Dzariah Secara etimologi, al-Sadd berarti menutup sesuatu
yang cacat atau rusak, dzari’ah berarti “jalan yang menuju pada sesuatu”. Ulama Ushul

14
Fiqh mengistilahkan sebagai “segala sesuatu yang mengarah dan menuju pada sesuatu
yang dilarang oleh syara’. Sedangkan secara terminologi, Ibn Rusyd mengartikan al-
Dzari’ah sebagai sesuatu yang pada dasarnya halal namun wasilah pada sesuatu yang
haram, seperti halnya pada jual beli yang membawa kepada perbuatan riba. Al-Qarafi
mengartikan sebagai perantara (wasilah) untuk dapat mencapai suatu tujuan tertentu,,
sebagaimana perantara kepada haram itu haram dan perantara kepada wajib itu wajib.
Sadd Adz-Dzariah merupakan sesuatu yang kelihatannya mubah, teapi terdapat
kemungkinan dapat membawa kepada perkara yang tidak diperbolehkan. Sadd Adz-
Dzari’ah juga dapat diartikan sebagai suatu perkara atau perbuatan yang berusaha untuk
dihindari keburukannya. Imam asy-Syaitibi berpendapat bahwa terdapat beberapa
kriteria yang menyebabkan sesuatu perbuatan dilarang, diataranya: 5
a. Perbuatan yang sebelumnya diperbolehkan namun dalam selangwaktu
perbuatan tersebut dapat membawa kepada kemudharatan
b. Unsur kemaslahatan yang ditimbulkan lebih kecil daripada kemufsadahannya.
c. Beberapa perbutan yang diperbolehkan syara’ terdapat banyak kerugian.
2. Kedudukan Sadd Adz-Dzariah dalam Ekonomi Islam
Dalam konteks skenario ekonomi dewasa ini persaingan dalam pengembangan
ekonomi Islam sangat diperlukan, dimana pertumbuhan ekonomi Islam dapat dijadikan
sebagai alternatif dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut harus dilandaskan
berdasarkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai sesuai syari’at Islam. Ekonomi Islam erat
kaitannya dengan ajaran Islam yang telah diatur dalam fiqh yang dalam proses
penerapannya bersifat Islami (syariah), agar dapat mencapai tujuan (maqashid syariah).
Sehingga harus lebih berhati-hati dalam menggunakan hukum tersebut. Seperti yang
disampaikan pada ayat dibawah ini:
‫ّٰللا ِن ِع َّما‬ ِ َّ‫ت ا ِٰلٰٓى ا َ ْه ِل َه ۙا َواِذَا َح َك ْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬
َ ّٰ ‫اس ا َ ْن تَحْ كُ ُم ْوا ِب ْال َعدْ ِل ۗ ا َِّن‬ َ ْ ‫ّٰللا َيأ ْ ُم ُركُ ْم ا َ ْن ت ُ َؤدُّوا‬
ِ ‫اَلمٰ ٰن‬ َ ّٰ ‫ا َِّن‬
‫صي ًْرا‬ ِ ‫س ِم ْي ًع ۢا َب‬ َ ّٰ ‫ظكُ ْم ِب ٖه ۗ ا َِّن‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ ُ ‫َي ِع‬
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya

5
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam. (Jakarta: Rajawali Pres, 2012),h.143

15
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” . (QS. An-
nisa:58)
Sadd adz-dzari’ah memiliki beberapa keterkaitan pada proses perkembangan
ekonomi Islam, yang mana hal tersebut dapat dengan mudah ditemukan pada lembaga
keuangan. Penerapan sadd adz-dzariah dapat ditemukan dalam Fatwa Majelis Ulama
Indonnesia (MUI), salah satunya terkait haramnya bunga bank. Pada konteks tersebut
penerapan metode sadd adz-dzari’ah dalam keharaman bunga bank ini dilakukan
dengan pertimbangan agar umat muslim tidak masuk kedalam perkara-perkara yang
dapat mendatangkan mafsadah dengan jelas dan kedalam prilaku muamalahnya.
Terkhusus pada saat sedang bertransaksi di lembaga keuangan. Seperti yang telah
ditegaskan pada Surah An-Nisa:58 yang Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya”. (Q.S An-nisa : 58)
Ayat diatas menerangkan bahwa setiap perbuatan ataupun perkara yang didalamya
terdapat sebuah keharusan dalam menjaga kepercayaan maka hendaklah suatu perkara
tersebut dijaga dan disampaikan kepada yg semestinya, terutama pada lembaga-lembaga
keuangan yang mana didalamnya terdapat banyak hal yang dapat mendatangkan
kemaslahatan maupun mafsadah bagi banyak orang.
3. Aplikasi Sadd Adz-dzariah Dalam Perkembangan Ekonomi Islam
a. Sadd Adz-Dzariah dalam Muamalah
Secara garis besar muamalah merupakan sebuah aturan (hukum) Allah yang
mengatur setiap kegiatan atau aktivitas manusia yang memiliki kaitan dengan ativitas
pergaulan sosial. Pada hakikatnya pengaplikasian Sadd adz-dzariah yang apabila dilihat
dalam sudut bermuamalah banyak ditemukan dimasa sekarang ini. Pada kaidah
bermuamalah salah satunnya terdapat banyak unsur yang dapat menghubungkan kepada
perkara riba seperti halnya pada transaksi secara kredit (ba’i al-ajal). Pada dasarnya
jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syari’ah.
Dalam jual beli kredit (ba’i al-ajal) perlu untuk memperhatikan tujuan ataupun
akibatnya yang dapat membawa pada perbuatan yang mengandung unsur riba,
walaupun hal tersebut sifatnya hanya sebatas praduga yang berat (galadah azh-zhann).

16
Pada kajian muamalah di masa kontemporer saat ini, manusia tidak terlalu
memperhatikan transaksi yang dapat menghantarkan kepada riba, dan dalam
pengggunaan metode saad adz-dzari’ah sendiri banyak dari kalangan ulama yang masih
memperselisihkan terkait hukum penggunaannya. Hal demikianlah yang menyebabkan
dilarangnya sadd adzdzari’ah karena dikhawatirkan akan mengantarkan atau membuka
jalan kepada perkara-perkara yang dilarang (tidak diperbolehkan). Oleh sebab itu suatu
perbuatan/perkara yang dapat menghatarkan kepada perbuatan yang mendatangkan
banyak kemufsdatan dapat dijadikan sebagai dasar utuk melarang perbuatan seperti bai’
al-ajal.
b. Sadd Adz-Dzari’ah dalam Lembaga Keuangan
Sebagian besar lembaga keuangan menyaratkan adanya jaminan benda tertentu pada
produk pembiayaan yang dikelolahnya, dan hal demikian dianggap sebagai hal yang
sah. Dengan adanya jaminan maka nasabah akan lebih berhati-hati dalam
memanfaatkan dananya dan akan lebih bersungguh-sungguh dalam mengembalikannya.
Pada lembaga keuangan penggunaan aplikasi sadd adzdzari’ah ditemukan pada
tawarruq bil wadiah yang dipergunakan untuk memperoleh dana cash, transaksi
tawaruq berupa transaksi pembelian barang atau produk dengan cara pembayaran secara
cicilan (kredit) seperti ini yang kemudian dijual kembali kepada pihak ketiga yang tidak
memiliki sangkut paut atau bukan pemilik terhadap barang tersebut dengan cara tunai
(cash) dengan harga yang lebih murah. Menurut Umar bin Abdul Aziz berpendapat
bahwa tawarruq masuk kedalam kategori riba, karena tawarruq memberikan indikasi
tujuan yaitu untuk memperoleh dana baru dari hutang yang dibayar secara mengangsur
(kredit) dan mengandung unsur hilah (rekayasa) untuk melakukan sesuatu yang
dilarang. Selain itu Sadd adz-dzariah dalam larangan kombinasi akad qard dan ijarah,
dimana hybrid contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan), yang mana
bentuk seperti ini dilarang dalam syariah karena sudah pasti dapat menghantarkan
kepada keburukan (mafsadah). Sebagaimana hadist Nabi SAW:
“dari fadlah Ibn ubaid, bahwasanya Nabi berkata: setiap utang piutang yang
mendatangkan keuntungan adalah riba”
Sebagaimana dalam praktiknya, dalam pembiayaan talangan haji di perbankan
syariah menggunakan akad Qardh Wal Ujrah, yang mana akad tersebut adalah

17
gabungan dari pada dua bentuk akad, yaitu akad qard (pinjaman) dengan akad ijarah
(sewa). Disinilah letak kemungkinan adanyan syubhat pada pelaksanaannya, di mana
terdapat dua pelanggaran pelaksanaan akadnya, yaitu:
1. Terdapat penggabungan dua akad, dan penggabungan dua akad ini jelas
bertentangan pada hadist nabi di atas.
2. Pelangggaran Fatwa No:29/DSNMUI/VI/2002, yang didalamnya telah disebutkan
bahwa jumlah ujrah tidak boleh dikaitkan dengan jumlah talangan yang telah
diberikan.
c. Sadd Adz-Dzari’ah dalam Investasi Saham Syariah
Investasi pada umumnya merupakan penanaman modal, dengan tujuan mendapatkan
keuntungan. Dalam Islam sendiri investasi dikenal dengan nama investasi syariah. pada
umumnya investasi syariah sama dengan investasi pada umumnya, namun dalam
memperoleh keuntungan menggunakan prinsip-prinsip syariah yang telah di atur dalam
hukum Islam. Dalam investasi syariah apabila terjadi permasalahan maka dapat
diselesaikan dengan metode istinbath hukum atau metode ijtihad Islam. Hal ini
dikarenakan permasalahan investasi ini nash nya tidak diatur secara terperinci di dalam
Al-Qur’an maupun Hadist, maka dapat diselesaikan dengan metode Ijtidah maupun
metode sadd adz-dzariah.
Dalam investasi saham syariah penerapan metode sadd adz-dzari’ah dalam alasan
peningkatan persentase rasio hutang dan persentase pendapatan non-halal jika dikaji
menggunakan sadd adz-dzariah maka investasi saham seperti ini diperbolehkan dan
status hukumnya netral dan investasi seperti ini boleh untuk dilakukan. Karena menurut
metode sadd adz-dzari’ah tindakan tersebut merupakan upaya untuk menghilangkan
kemafsadatan yang apabila investor menjual sahamnya maka akan mengalami kerugian,
karena dalam metode adz-dzariah perbuatan yang pada mulanya dilarang menjadi boleh
untuk menghindari suatu kerusakan (kamafsadahtan) yang besar (sebuah kemudharatan
itu membolehkan larangan-larangan).

E. Al ’Urf
‘Urf dan ‘Adat termasuk dua kata yang sering dibicarakan dalam literatur Ushul
Fiqh. keduanya berasal dari bahasa arab. Kata ‘Adat sudah diserap kedalam bahas

18
indonesia yang baku. ‘Urf dan ‘Adat adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima
dan dianggap baik oleh masyarakat.
1. Pengertian Al-‘Urf dan Al-‘Adah
Dalam kajian ushul fiqh, adat dan ‘urf digunakan untuk menjelaskan tentang
kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu
sering diartikan dengan “alma’ruf” yang artinya “ sesuatu yang dikenal “. Kata ‘Urf
secara epistemologi berarti “ sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”.
Menurut istilah ahli ushul, Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan bahwa ‘Urf ialah sesuatu
yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan
atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. ‘Urf mengandung tiga unsur yaitu :
Pertama, adanya perlakuan atau perbuatan yang berlaku berdasarkan kemantapan jiwa,
Kedua, sejalan dengan pertimbangan akal sehat dan Ketiga, dapat diterima oleh watak
pembawaan manusia.
Kata ‘adat berasal dari bahasa Arab ‘adah, akar katanya : ‘ada, ya’udu yang
mengandung arti perulangan. Sedangkan adat didefinisikan sebagai sesuatu yang
dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sesuatu yang baru dikatakan
satu kali belum bisa dikatakan adat . tentang berapa kali suatu perbuatan harus
dilakukan untuk sampai disebut adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada
bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Pengertian ‘Urf dan Adat adalah perkara
yang memiliki arti sama. Oleh sebab itu, hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah
laku positif yang disatu pihak mempunyai sangsi (karena itulah ia sebagai hukum) dan
di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena itulah ia sebagai adat
kebiasaan). Para Ahli hukum Islam menyatakan bahwa ‘Adat dan ‘Urf dilihat dari sisi
terminologinya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya pengulangan istilah ‘Urf dan
‘Adat tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang
berbeda. 6

6
Sucipto, ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam. Jurnal: ASAS, Vol. 7, No.1,
Januari 2015,h.28

19
2. Macam-macam Al-‘Urf dan Al-‘Adah
Secara umum, Para Ulama ushul fiqh membagi ragam ‘Urf dari tiga Perspektif,
yakni :
a. Dari sisi bentuknya atau sifatnya, Urf terbagi menjadi dua yaitu :
1. Urf Lafzhi atau Urf Qauli yakni kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu sehingga ada makna khusus
yang terlintas dalam pikiran mereka, meskipun sebenarnya dalam kaidah
bahasa ungkapan itu bisa mempunyai arti lain. Beberapa contoh klasik yang
akan Kita temui dalam banyak literature Ushul Fikih untuk Urf dalam bentuk
ini adalah kata walad, yang arti sebenarnya bisa berupa putra atau putri.
2. Urf Amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
atau mua’malah yang berlaku dimasyarakat secara terus-menerus. seperti
jual beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat
luas.
b. Dari segi cakupannya ataupun keberlakuannya di kalangan masyarakat maka Urf
dibagi menjadi dua bagian juga yaitu :
1. adat atau Urf yang umum (Urf amm) adalah tradisi atau kebiasaan yang
berlaku secara luas di dalam masyarakat dan diseluruh daerah. Akan tetapi
tidak terdapat batasan yang jelas tentang batasan dan cakupan Urf yang
umum ini. Apakah hanya dengan berlakunya sebuah kebiasaan dikalangan
mayoritas masyarakat Urf itu bisa disebut dengan Urf Amm atau tidak,
misalnya seseorang menganggukkan kepala tanda menyetujui dan
menggeleng kepala tanda tidak menyetujui.
2. Urf Khusus adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di
daerah tertentu atau diklangan tertentu. Misalnya adat menarik garis
keturunan melalui garis Ibu atau Perempuan (matrilineal) di Minangkabau
dan melalui Bapak (Patrineal) dikalangan Suku Batak.
c. Sedangkan ditinjau dari Keabsahannya menurut Syari’at, Urf dibagi menjadi dua
yaitu Urf yang baik dan Urf yang jelek, konsepnya adalah apakah ia sesuai dan
sejalan dengan Syari’ah atau tidak.

20
1. Urf Shahih adalah segala sesuatu yang dikenal umat manusia yang tidak
bertentangan dengan dalil Syara’, tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya bercadar
bagi wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab sebelum
datangnya Islam.
2. Urf Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil Syara’,
Undang-undang Negara dan sopan santun. Seperti Praktek riba yang sudah
mewabah dalam kalangan bangsa Aran sebelum datangnya Islam atau juga
meminum minuman keras. Setelah datangnya Islam maka Urf-urf yang
seperti ini ditentang dan dikikis baik secara perlahan-lahan maupun
langsung.
3. Kedudukan Al-‘Urf dan Al-‘Adah dalam Pembentukkan Hukum
Dalam literatur yang membahas kehujjahan ‘Urf atau adat dalam Istinbath hukum,
hampir selalu yang dibicarakan adalah tentang ‘Urf atau adat secara umum. Namun
diatas telah dijelaskan bahwa ‘Urf atau adat yang sudah diterima dan diambil alih oleh
Syara’ atau yang secara tegas tidak diterima oleh Syara’, tidak perlu dibincangkan lagi
tentang kehujjahannya. Dengan demikian, pembicaraan tentang kehujjahan ‘Urf sedapat
mungkin dibatasi pada ‘Urf bentuk keempat, baik yang termasuk adat atau ‘urf yang
umum dan yang tetap (yang tidak mungkin mengalami perubahan), maupun alat khusus
dan yang dapat mengalami perubahan bila waktu atau tempat terjadinya sudah berubah.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari Hadist Ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan
batasan dalam Syara’ maupun dalam penggunaan kaidah yang artinya : “Setiap yang
datangg dengannya Syara’ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dlam Syara’
maupun dalam bahsa maka dikembalikan pada ‘Urf”.
Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘Urf dalam Fiqh, Al-Suyuti mengulasnya
dengan mengembalikannya kepada kaidah yang artinya : “ Adat (‘Urf) itu menjadi
pertimbangan hukum”. Alasaan para Ulama mengenai pengggunaan (Penerimaan)
mereka terhadap ‘Urf tersebut adalah Hadist yang berasal dari Abdullah bin Mas’ud
yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, yang Artinya : “Apa-apa yang

21
dilihat oleh Umat Islam sebagai sesuai yang baik, maka yang demikian di sisi Allah
adalah baik”.
Disamping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak) dalam
arti : orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘Urf tersebut.
Bahkan Ulama menempatkannya sebagai “Syarat yang disyaratkan”. “ Sesuatu yang
berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah disyaratkan”. Bila hukum telah
ditetapkan berdasarkan kepada ‘Urf, maka kekuatannya menyamai Hukum yang telah
ditetapkan berdasarkan Nash. Para Ulama mengamalkan ‘Urf itu dalam memahami dan
mengistinbathkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘Urf
tersebut, yaitu :
a. Adat atau ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat dieterima akal sehat
b. Adat atau ‘Urf berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada
dalam lingkungan adat itu, atau dikalangan sebagian besar warganya
c. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam peletakan hukum itu telah ada (berlaku)
pada saat itu, buka ‘Urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘Urf itu harus
telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau ‘Urf datang kemudian, maka tidak
diperhitungkan.
d. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil Syara’ yang ada atau bertentangan
dengan prinsip yang pasti.
4. ‘Urf dan Al-‘Adah dan Penerapannya dalam Ekonomi Syari’ah
Dalam transaksi Ekonomi Syari’ah, ‘urf atau kebiasaan dapat dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan Hukum dalam transaksi Ekonomi
dan Keuangan yang berbasis Syari’ah. Contoh aplikasi penerapan ‘Urf dalam transaksi
Ekonomi kontemporer adalah sebagai berikut :
a. Pemberian Garansi atas Pembelian Barang Elektronik
Garansi secara bahasa adalah jaminan, penjaminan, tanggungan,
pertanggungan. Adapun dalam perspektif Islam bentuk transaksi bergaransi bisa
dikategorikan bagian dari ba’i bisy Syarthi. Kata garansi berasal dari bahasa
Inggris Guarantee yang berarti jaminan atau tanggungan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, garansi mempunyai arti tanggungan, sedang dalam
ensiklopedi Indonesia, garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual

22
beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang untuk
jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan
atau cacat, maka segala biaya perbaikan ditanggung oleh penjual, sedang
peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis pada suatu surat garansi.
b. Taqabuth (Serah Terima) dalam transaksi Valas
Jual beli mata uang atau dalam fikih kontemporer disebut dengan istilah
tijarah an-naqd atau al-ittijaar bi al-umlat. Dalam kitab-kitab fikih disebut al-
sharf menurut Abdurrahman al-maliki adalah pertukaran harta dengan harta
yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenisnya dengan kuantitas
yang sama atau tidak sama. Karena mata uang sekarang dianggap sama dengan
emas atau perak, maka Rawwas Qaaahjie mendefinisikan secara umum, yaitu
pertukaran uang dengan uang.

F. Al-Istihab
1. Pengertian Al-Istihab
Istishab secara lughawy (etimologi) berasal dari kata is-tash-ha-ba (‫)استصحب‬
dalam sighat istif’al (‫ )استفعال‬yang artinya ‫( طلب الصحابة‬mencari persahabatan), ‫اعتبار‬
‫( الصحابة‬menganggap bersahabat), dan ‫( طلب الصحبة‬mencari teman). Suhbah dimaknai
dengan membandingkan sesuatu kemudian mendekatkannya. Dengan demikian,
secara lughowy (etimologi), dipahami bahwa Istishab yaitu mendekatkan suatu
peristiwa dengan hukum tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai
sama status hukumnya.
Sedangkan secara Istilahy (terminologi), para ulama ushul berbeda-beda dalam
memberikan makna istishab. Meskipun dengan redaksi yang berbeda namun secara
substansi mengarah pada makna yang sama, diantaranya: 7
a. Al-Syawkani, istishab adalah tetapnya (hukum) sesuatu selama belum ada dalil
lain yang merubahnya.

7
Satria Efendi M Zein, Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana,2017),h.121

23
b. Imam Ibnu al-Subki mendefinisikan istishab sebagai menetapkan hukum atas
masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak
ditemukan dalil yang merubahnya.
c. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengartikan istishab sebagai melanggengkan
hukum dengan cara menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada,
atau meniadakan hukum atas dasar tidak adanya hukum sebelumnya.
Dari definisi-definisi tersebut diatas, kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa
konsep istishab sebagai penggalian hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
a. Segi waktu. Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu
waktu lampau, (al-madhi), waktu sekarang (al-hadir) dan waktu yang akan
datang (al-mustaqbal).
b. Segi ketetapan hukum. Istishab mengandung dua bentuk ketetapan hukum yaitu
ketetapan hukum boleh (itsbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehkan
(nafy).
c. Segi dalil hukum. Istishab mendasarkan ketetapan hukum berdasarkan hukum
yang sudah ada, selama tidak ada dalil lain yang menyatakan sebaliknya.
2. Macam-Macam Istishab
Ulama Ushul lainnya, Abi Sahl al-Sarahsi dan Muhammad Abi Zahrah
membagi Istishab menjadi empat macam, yaitu:
a. Istishab al-Ibahah al-Asliyyah ( ‫ )استصحاب اَلباحة اَلصلية‬yaitu istishab yang
didasarkan pada hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Ketentuan hukum mubah
sebagai hukum asal setiap sesuatu didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 29:
‫هو الذي خلق لكم ما في اَلرض جميعا‬
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang adaa di bumi untuk kamu”
Dari ayat ini, para ahli usul al-fiqh merumuskan kaidah dasar ilmu fiqh
bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh ( ‫) اَلصل في اَلشياء اَلباحة‬. Dalam
pandangan ‘Abd al-Wahhab Khallaf, pernyataan bahwa bumi dan isinya
diperuntukkan bagi manusia, memberikan makna implisit bahwa semua yang
ada di atas bumi adalah boleh untuk dimanfaatkan.
Di bidang muamalah, prinsip istishab melahirkan satu asas hukum
bahwa setiap transaksi muamalah dihukumi boleh atau mubah sampai ada dalil

24
yang menyatakan tidak boleh (keharamannya). Dengan demikian, di bidang
muamalah pengembangan pemikiran hukum Islam sangat terbuka bagi umat
Islam untuk melakukan inovasi-inovasi dalam bertransaksi, misalnya di dunia
perbankan Syariah.
b. Istishab al-bara’ah al-asliyyah (‫)استصحاب البراءة اَلصلية‬, yaitu menetapkan hukum
yang berpegang pada prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang itu bebas dari
tuntutan beban sehingga ditemukan dalil yang menyatakan sebaliknya. Atas
dasar ini lahirlah kaidah fiqh bahwa pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari
tanggungan ( ‫) اَلصل براءة الذمة‬. Di bidang muamalah,seseorang pada dasarnya
terbebas dari semua jenis tanggungan sampai ada bukti baru bahwa orang itu
mempunyai hutang.
c. Istishab al-hukm (‫)استصحاب الحكم‬, yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan
berlaku pada masa lalu sampai ada dalil lain yang merubahnya. Karenanya,
lahirlah kaidah fiqh yang berbunyi:
‫اَلصل بقاء ما كان علي ما كان‬
Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai sebidang tanah, maka
tanahnya tersebut tetap dianggap sebagai harta miliknya selama tidak terbukti
ada perubahan status hak milik seperti jual beli, hibah dan sebagainya.
d. Istishab al-Wasf (‫)استصحاب الوصف‬, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan
masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang
mengubahnya. Air yang diketahui sebelumnya sebagai air bersih, tetap dianggap
bersih sampai tidak ada bukti yang mengubah statusnya.
3. Istishab Dan Problematika Hukum Islam
Problematika sosial dengan segala kompleksitasnya melahirkan dinamisasi
pemikiran hukum Islam, dan salah satu perangkat metodologi yang dapat digunakan
untuk menjawab problematikan sosial tersebut adalah dengan menggunakan
metode istishab. Berikut beberapa contoh penerapan konsep istishab dalam menjawab
problematika sosial, diantaranya:
a. Hukum tayammum seseorang yang mendapatkan air ketika sedang shalat
Ulama sepakat bahwa jika seseorang menemukan air sebelum melaksanakan
shalat maka tayammumnya batal, sebagaimana mereka sepakat bahwa jika ia

25
menemukan air setelah selesai melaksanakan shalat maka shalatnya dianggap sah.
Tetapi mereka berbeda pendapat jika orang tersebut menemukan air ketika sedang
shalat, apakah tayammumnya batal dan ia wajib menggunakan air lalu memulai
shalat lagi ataukah tayammumnya tidak batal, sehingga ia meneruskan shalatnya?
Imam Syafi’i dan imam Malik berpandangan, tayammum-nya tidak batal
sehingga ia bisa meneruskan shalatnya. Mereka beralasan bahwa tayammum dan
shalatnya dihukumi sah, sehingga hukum sah itu berlaku sampai shalatnya selesai.
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, tayammum dan shalatnya batal
sehingga ia harus bersuci dengan air lalu memulai shalat kembali. Penulis
berpandangan, pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik yang berpandangan bahwa
tayammum-nya tidak batal adalah pendapat yang lebih kuat. Sebab, pendapat ini
mengandung kemudahan, dan kemudahan merupakan prinsip penting dalam agama
Islam.
b. Kasus wanprestasi dalam hukum perdata
Konsep istishab juga dapat kita jumpai penerapannya dalam hukum perdata,
misalnya di bidang perikatan ekonomi. Pada prinsipnya, seseorang adalah bebas
dari segala bentuk tanggungan kewajiban perdata. Jika seseorang (Penggugat)
mengajukan gugatan ke pengadilan dengan mendalilkan seseorang (Tergugat) telah
melakukan wanprestasi, maka Tergugat berhak untuk menolaknya sehingga
Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya di pengadilan. Penulis berpendapat
bahwa berdasarkan konsep istishab, seorang Tergugat berada pada posisi yang kuat
dan benar sampai Penggugat tidak bisa membuktikan dalil gugatannya. Hal ini
disebabkan karena pada prinsipnya hukum asalnya bahwa setiap orang tidak
mempunyai tanggungan hutang.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu ekonomi bila dipandang dari sudut pandang epistemologi bahwa Ilmu
ekonomi diperoleh dari pengamatan (empirisme) terhadap gejalah sosial masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Membahas epistemologi ekonomi Islam berarti
mengkaji asal-usul ekonomi Islam, metodologinya dan validasinya secara ilmiah.
Apabila berbicara masalah epistemologi ekonomi Islam, berarti akan berbicara tentang
hakikat ekonomi Islam dan dasar-dasarnya. Ekonomi Islam berbasis epistemologi Islam
karena hal ini berhubungan dengan worldview Islam itu sendiri.
Ekonomi Islam mengkaji proses kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi,
distribusi dan konsumsi dalam masyarakat. Secara faktual pemberlakuan sistem
ekonomi Islam dalam dalam bidang perbankan dan asuransi hampir seluruhnya
menerapkan akad dalam fiqh mu’amalah.

B. Saran
Karena pentingnya Epistemologi Ekonomi Islam, seperti yang sudah dijelaskan
pada pembahasan sebelumnya, maka Epistemologi Ekonomi Islam sangat penting untuk
dijalankan dan dipelajari dengan baik sesuai dengan Sumber Hukum dalam Islam, sebab
Epistemologi Ekonomi Islam membahas mengenai hakikat Ekonomi Islam dan dasar-
dasarnya dimana hal ini sangat penting diterapkan agar Ekonomi Islam dapat menjadi
solusi dari permasalahan dalam perekonomian konvensional pada saat ini.

27
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Muhammad. Filsafat Ekonomi Islam. Medan:Merdeka Kreasi Group. 2021


Dahlan, Abd Ahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.t.th.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Pres. 2012
Mufid, Moh. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2016
M. Zein, Satria Efendi. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2017
Romli. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi Penetapan Hukum Islam. Depok:
Kencana. 2017
Sucipto. Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam. Jurnal: Studi Al-
Qur;an dan Hukum. 2018

28

Anda mungkin juga menyukai