Disusun Oleh:
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia ilmu-Nya
kami dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah yang berjudul “Mazhab, Nilai-nilai
Dasar dan Nilai Instrumental Ekonomi Islam” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang mazhab ekonomi Islam, klasifikasi mazhab ekonomi
Islam, nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam dan nilai-nilai instrumental dalam
perekonomiam Islam yang kami ambil dari berbagai sumber yang bertujuan untuk memenuhi
tugas kelompok dengan mata kuliah Sistem Ekonomi Islam.
Terima kasih kami ucapkan kepada Pak Drs. Hasanudin, MA. selaku Dosen Pengampu
mata kuliah Sistem Ekonomi Islam atas bimbingan yang telah diberikan dan kepada teman-
teman yang mendukung dalam penyelesaian makalah ini, karena atas bantuan dan
penyemangat teman-temanlah kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran
yang membangun sangat kami butuhkan guna perbaikan tugas selanjutnya. Kami berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Tim penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang
Ekonomi Islam adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari Al-
Qur’an dan Hadist yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi. Ekonomi Islam didasari
oleh prinsip-prinsip syari’at Islam yang berorientasi pada kehidupan dunia maupun akhirat.
Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan syari’ah dalam perilaku ekonomi dan
dalam pembentukan sistem ekonomi.
Ekonomi Islam secara mendasar berbeda dari sistem ekonomi yang lain dalam hal tujuan,
bentuk, dan coraknya. Sistem tersebut berusaha memecahkan masalah ekonomi manusia
dengan cara menempuh jalan tengah antara pola yang ekstrem yaitu kapitalis dan komunis.
Singkatnya, ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasar pada Al-Qur'an dan Hadits
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat.
Ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi syari’ah merupakan perwujudan dari paradigma
Islam. Pengembangan ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi syari’ah bukan untuk meyaingi
sistem ekonomi kapitalisme atau sistem sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu
sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-
kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu mazhab ekonomi Islam?
2. Apa saja klasifikasi mazhab ekonomi Islam?
3. Bagaimana nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam?
4. Apa saja nilai-nilai instrumental ekonomi Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui paradigma yang mendasari ekonomi konvensional dan ekonomi Islam
2. Memahami nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam
3. Mengetahui klasifikasi mazhab ekonomi Islam
4. Mengenal nilai-nilai instrumental ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mazhab Ekonomi Islam
Sejauh ini kita telah mengetahui perbedaan-perbedaan yang diametral (bertentangan)
antara paradigma yang mendasari ekonomi konvensional dengan paradigma yang mendasari
ekonomi Islami. Keduanya tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin untuk
dikompromikan, karena masing-masingnya didasarkan atas pandangan dunia yang berbeda.
Ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler (berorientasi hanya pada
kehidupan duniawi, kini dan disini), dan sama sekali tidak memasukkan Tuhan serta
tanggung jawab manusia kepada Tuhan di akhirat dalam bangun pemikirannya. Karena itu
ilmu ekonomi konvensional menjadi bebas nilai. Sementara itu, ekonomi Islami justru
dibangun atas, atau paling tidak diwarnai oleh prinsip-prinsip religius (berorientasi pada
kehidupan dunia kini-disini sekaligus kehidupan akhirat nanti-disana).
1
Muhammad Baqir As-Sadr, Iqtishaduna (Our Economics) Discovery Attempt on Economics Doctrine in Islam,
WOFIS, Teheran, Iran, 1983/1403 H.
menolak pernyataan ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya
yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an2 surah Al-Qomar Ayat 49, yaitu:
Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi
yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi
pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber
daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap
sumber daya, sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi muncul bukan
karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.3
Karena itu menurut mereka, istilah ekonomi Islami adalah istilah yang bukan hanya
tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan
istilah ekonomi Islami harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang
berasal dari filosofi Islam, yakni Iqtishad. Menurut mereka iqtishad bukan sekedar
terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal dari kata bahasa Arab qasd yang secara harfiah
berarti “ekuilibrium” atau “keadaan sama, seimbang atau pertengahan”.
Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi
konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya, mazhab ini berusaha untuk menyusun
teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan
Sunnah. Tokoh-tokoh mazhab ini selain Muhammad Baqir As-Sadr adalah Abbas Mirakhor,
Baqir Al-Hasani, Kadim As-Sadr, Iraj Toutounchian, Hedayati, dan lain-lain.
2. Mazhab Mainstream
2
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI, 2010)
3
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), hlm. 47.
Mazhab Mainstream berbeda pendapat dengan Mazhab Baqir. Mazhab kedua ini
justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang
dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa
total permintaan dan penawaran beras di dunia berada pada titik ekuilibrium.4 Namun jika
kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan
sumber daya. Bahkan ini yang seringkali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh,
misalnya tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya
memang adam bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an5 surah
Al-Baqarah ayat 155, yaitu:
ِ ُال َو ْاْلَوف
ِ س َوانثَّ َم َزا
خ ۗ َوتَ ِّش ِز انصَّا ِت ِزيه ِ ص ِّمهَ ْاْلَ ْم َى ِ ف َو ْانج
ٍ ُىع َووَ ْق ِ َْونَىَ ْثهُ َىوَّ ُكم تِ َش ْي ٍء ِّمهَ ْانخَ ى
Artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar”.
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah.
Dalilnya adalah Al-Qur’an6 surah At-Takasur ayat 1-3, yaitu:
َ َك ََّّل سَىْ فَ ذَ ْعهَ ُمىن- َحرَّ ٰى ُسرْ ذُ ُم ْان َمقَاتِز- أَ ْنهَا ُك ُم انرَّ َكاثُز
Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu7. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”
Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada
bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang
menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi. Bila demikian, dimanakah letak perbedaan
mazhab mainstream ini dengan ekonomi konvensional? Perbedannya terletak dalam cara
menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang
tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudian
manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai
yang paling tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala
prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh
mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Dalam bahasa al-
4
Ibid. Hlm. 48
5
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI, 2010)
6
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), hlm. 49.
7
Maksudnya: Bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya
telah melalaikan kamu dari ketaatan.
Qur’annya, pilihan dilakukan dengan “mempertuhankan hawa nafsunya”. Tetapi dalam
ekonomi Islami, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia
dalam setiap aspek kehidupannya termasuk ekonomi selalu dipandu oleh Allah melalui al-
Qur’an dan Sunnah.
3. Mazhab Alternatif-Kritis
Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of
Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dan lain-
lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai
mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya ditemukan
oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori baru.
Sementara mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan
menghilangkan variabel riba dan memasukkan zakat serta niat.8
Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis
kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap
ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi Islam
belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah tafsiran manusia atas al-Qur;an dan Sunnah,
sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi
Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi
konvensional.
Nilai-nilai yang menjadi dasar inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi Islam yakni :
8
Ibid. Hal. 52
1. Tauhid (Keessaan Tuhan)
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan
bahwa “tiada sesuatu pun yang layak disembah selain Allah” dan “tidak ada pemilik bumi
dan isinya, selain daripada Allah”. Karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya
dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada.
Oleh karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk
“memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala sesuatu
yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya
manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu segala aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia (mu'amalah) dibingkai dengan
kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan
segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.9
Nilai dasar ekonomi yang berfalsafah tauhid terlihat antara lain pada konsep
kepemilikan (ownership) dan keseimbangan (equilibrium).
يز َّ ُون
ِ َّللاِ ِم ْه َونِ ٍّي َو ََل و
ٍ َص ِ ْخ َو ْاْلَر
ِ ض َو َما نَ ُك ْم ِم ْه د ِ اوا ُ َّللاَ نًَُ ُم ْه
َّ ك ان
َ س َم َّ أَنَ ْم ذَ ْعهَ ْم أَ َّن
Artinya : “Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong”. (Q.S.
Al-Baqarah 2 : 10)10
Di dalam dijelaskan bahwa segala apa yang ada di alam ini dan apa yang ada di dalam
manusia itu sendiri adalah milik Allah Swt. Dan kepemilikan yang ada pada manusia adalah
hanya kepemilikan dalam pengelolaannya. Jadi dengan demikian dapat kita pahami bahwa
konsep kepemilikan Islam adalah tidaklah termasuk dalam zatnya saja, tetapi kepada
manfaatnya. Kepemilikan dalam manusia bersifat amanah dari Tuhan yang Maha Esa yang
harus di hormati. Sedangkan kepemilikan dalam Islam itu sendiri terbagi bermacam-macam.
Ada kepemilikan oleh pribadi, kepemilikan bersama dan kepemilikan oleh negara, tetapi
yang paling di garis bawahi adalah masing-masing dari kepemilikan tersebut tidak bersifat
mutlak, tetapi terkait dengan penciptaan kemaslahatan umum dan usaha untuk menghalangi
9
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam edisi ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 35.
10
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI,
2010).
terjadinya kemudharatan. Dalam hak yang membuat/membentuk kepemilikan tersebut terbagi
tiga, yaitu: 1) Hak Allah Swt, 2) Hak jamaah, dan 3) Hak pribadi atau individu.11
b) Konsep Keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah
laku ekonomi seorang Muslim. Keseimbangan adalah tidak berat sebelah, baik itu usaha-
usaha kita sebagai individu yang terkait dengan keduniaan dan keakhiratan, maupun yang
terkait dengan kepentingan diri dan orang lain, tentang hak dan kewajiban. Sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an12 surah Al-Baqarah ayat 201, yaitu
َ َو ِم ْىهُ ْم َم ْه يَقُى ُل َرتَّىَا آذِىَا فِي ان ُّذ ْويَا َح َسىَحً َوفِي ْاْل ِخ َز ِج َح َسىَحً َوقِىَا َع َذ
ِ َّاب انى
ار
Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dan bila Allah memang berkehendak pada makhluk ciptaannya berbeda satu sama
lainnya, disanalah letak keseimbangannya. Bahwa perbedaan ada bukan untuk dijadikan
kesenjangan, tapi justru untuk mencapai keseimbangan atau keselarasan.13 Keseimbangan
juga berarti tidak berlebihan dalam urusan ekonomi, baik dalam hal produksi, konsumsi,
maupun distribusi.
2. Nubuwwah (Kenabian)
Allah telah mengirimkan Nabi terakhir, manusia yang sempurna untuk diteladani
sampai akhir zaman, ialah Nabi Muhamad SAW. Nilai-nilai dasar ekonomi dalam konsep ini
terlihat pada sifat-sifat :
a. Siddiq
Dari sifat ini muncullah konsep ekonomi dan bisnis, yakni efektivitas (mencapai
tujuan yang tepat, benar) dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, dengan
menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran).14 Sifat ini juga
berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang berupa integritas kepribadian, keseimbangan
11
Siti Arfina, Skripsi : “Nilai-Nilai Dasar Sistem Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional (Analisis
Perbandingan)", (diakses dari http://repository.stainparepare.ac.id/295/1/12.2200.049.pdf), hlm. 12-13.
12
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI,
2010).
13
Siti Arfina, op. cit.hlm. 15.
14
Adiwarman A. Karim, op. cit. hlm. 38-39.
emosional, nilai-nilai etis berupa jujur, ikhlas, kemampuan mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah bisnis secara tepat, dan sebagainya.15
b. Amanah
Sifat amanah akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung
jawab pada setiap individu muslim. Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung
jawab yang tinggu akan melahirkan masyarakat yang kuat, karena dilandasi oleh saling
percaya antar anggotanya. Sifat ini memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi
dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan
hancur.16
c. Fathanah
Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus
dilakukan dengan ilmu, kecerdikan dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk
mencapaui tujuan. Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif dan efisien,
dan agar tidak menjadi korban penipuan.17
d. Tabligh
Sifat ini menurunkan prinsip-prinsip ilmu komunikasi baik personal maupun massal,
seperti pemasaran, penjualan, periklanan, pembentukan opini massa, open management, iklim
keterbukaan, dan lainnya.18 Dalam bidang ekonomi dan bisnis, sifat tabligh diharapkan akan
membentuk seseorang yang komunikatif, supel, mampu mendeskripsikan tugas, bekerja
dalam tim, dan melakukan kendali dan supervisi.
3. Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil tetapi sangat penting dalam
perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai
dengan syariat, dan untuk memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
manusia. Semua ini dalam rangka mencapai maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariah)
yang menurut imam Al-Ghazali adalah untuk memajukan kesejahteraan manusia.
Salah satu fungsi dari pemerintahan adalah agar menjaga keteraturan interaksi
(muamalah) antar kelompok -termasuk dalam bidang ekonomi- agar kekacauan dan keributan
dapat dikurangi atau dihilangkan. Implementasi dalam hal perekonomian dapat berupa
15
Ninik Jayanti, Nilai-Nilai Dasar Ekonomi Islam, (diakses dari http://ninikjayanti.blogspot.com/2017/10/nilai-
nilai-dasar-ekonomi-islam.html).
16
Adiwarman A. Karim, loc. cit.
17
Ibid
18
Ibid. hlm. 40.
mengelola dan memelihara sumber daya dengan baik supaya bermanfaat bagi manusia
generasi kini sampai ke generasi selanjutnya, menjamin kecukupan hidup (kebutuhan dasar)
bagi semua manusia, menginvestasikan sumber daya secara bijak supaya membawa manfaat
sebesar-besarnya, dan membuka kesempatan berkarya, menciptakan iklim bisnis yang sehat,
membuka akses manusia terhadap ilmu untuk meningkatkan kualitas manusia.19
4. Keadilan
Islam sangat menekankan arti pentingnya kita memperhatikan dan menegakkan
keadilan. Tidak saja keadilan untuk orang lain tetapi juga untuk diri kita sendiri. Islam juga
menuntut manusia untuk menegakkan keadilan dalam semua bidang kehidupan umat manusia
termasuk dalam bidang ekonomi, tetapi pengertian keadilan dalam Islam tidaklah bermakna
bahwa Islam menghendaki dijalankannya prinsip sama rata atau persamaan hasil akhir seperti
yang terdapat dalam paham komunisme, karena hal ini jelas bertentangan dengan fitrah
manusia itu sendiri yang memang telah di ciptakan oleh Allah, memiliki perbedaan, baik
dalam dataran kecerdasan, skill, atau kemampuan lainnya.20
Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk
mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa
keadilan, manusia akan terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan. Golongan yang
satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia.
Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang
dikeluarkannya karena kerusakannya.21
Adil dalam ekonomi bisa diterapkan dalam penentuan harga, kualitas produksi,
perlakuan terhadap para pekerja, dan dampak yang timbul dari berbagai kebijakan ekonomi
yang dikeluarkan. Keadilan akan terwujud jika pemerintah dan rakyatnya bekerja sama dalam
mendistribusikan secara merata pendapatannya. Pemerintah wajib memperlakukan rakatnya
dengan adil dan memenuhi hak secara proporsional.22
5. Ma’ad (Hasil)
Allah menandaskan bahwa manusia diciptakan di dunia untuk berjuang. Perjuangan
ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik dibalas
19
Adiwarman A. Karim, op. cit. hlm. 40-41.
20
Siti Arfina, op. cit. hlm. 14-15.
21
Adiwarman A. Karim, op. cit. 35.
22
Ninik Jayanti, loc. cit.
dengan kebaikan yang berlipat-lipat, perbuatan jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal.
Karena itu, ma'ad diartikan juga sebagai imbalan/ ganjaran. Implikasi nilai ini dalam
kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, difor-mulasikan oleh Imam Al-Ghazali yang
menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia
dan laba akhirat. Karena itu konsep profit mendapatkan legitimasi dalam Islam.23
1. Zakat
Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an-namaa`) atau “pensucian” (at
tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang
wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu. (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin
mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).
Selanjutnya kalau dikaitkan dengan ekonomi islam zakat adalah sumber utama
pendapatan dalam pemerintahan Islam, yang notabene merupakan salah satu dari rukun Islam
dan juga menjadi sebuah kewajiban. Namun zakat bukanlah pajak untuk menjamin
23
Adiwarman A. Karim, op. cit. 41.
penerimaan Negara. Sebab, distribusi pengumpulan zakat harta ditunjukkan kepada delapan
kelompok sasaran (Asnaf) sebagaimana firman Allah24 QS. At-Taubah (9) ayat 60.
24
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI,
2010)
25
Yusuf Qardhawi, loc, cit 1997, hal 416.
produktivitas yang disertai dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan kerja
bagi masyarakat.
2. Shadaqah
Shadaqah atau sedekhah adalah pemberian sukarela yang dilakuakan oleh seseorang
kepada orang lain, terutama kepada oran miskin, setiap kesempatan terbuka yang tidak
ditentukan baik jenis, jumplah maupun waktu nya. Lembaga sedekhah sangat digelakan oleh
ajaran islamuntuk menawarkan jiwa social dan mengurangi penderitaan orang lain. Sedekah
tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja, tetapi dapat brupa jasa yang
bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan iklas untuk
menyenangkan orang lain termasuk dalam katagori sedekhah. Tentang sedekhah disebutkan
dalam Al-Quran26 QS. Al-Baqhorah 195.
َّ ىا ِتأ َ ْي ِذي ُك ْم ِإنَى ٱنرَّ ْههُ َك ِح ۛ َوأَحْ ِسىُ ٓى ۟ا ۛ ِإ َّن
َٱَّللَ ي ُِحةُّ ٱ ْن ُمحْ ِس ِىيه ۟ ُٱَّللِ َو ََل ذُ ْهق
َّ يم ۟ َُوأَو ِفق
ِ ِىا فِى َسث
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
3. Jaminan Sosial
Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ajaran yang mengatur kehidupan sosial masyarakat,
termasuk ajaran yang bertujuan untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi
seluruh masyarakat. Ajaran tersebut, antara lain:
a. Manfaat sumber daya alam harus dapat dinikmati oleh semua makhluk Allah QS. al-
An’am: 38 dan Ar-Rahman: 10.
b. Kehidupan fakir miskin (dhuafa’) harus mendapat perhatian dari masyarakat yang
mempunyai kekayaan lebih dari cukup (aghniya’) QS. Az-Dzariyat: 19 dan Am-
Ma’arij: 24.
c. Kekayaan tidak boleh hanya berputar di antara orang-orang kaya QS. Al-Humazah: 2.
d. Orang Islam diperintahkan agar selalu berbuat kebaikan kepada masyarakat,
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada semua manusia QS. Al-Qashash: 77.
e. Orang Muslim yang tidak mempunyai kekayaan diperintahkan agar bersedia
menyumbangkan tenaganya untuk tujuan sosial QS. At-Taubah: 79.
26
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI,
2010)
f. Dalam menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan sosial dan kepentingan pribadi
serta keluarganya sebagai unit terkecil dalam masyarakat, seorang Muslim dilarang
mencari pujian dari sesama manusia QS. At-Taubah: 262.
g. Jaminan sosial harus diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebutkan
dalam al-Qur’an sebagai pihak yang berhak atas jaminan sosial QS. Al-Baqarah: 77
dan At-Taubah: 60.
Tujuan dari jaminan sosial adalah untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup yang
minimum bagi seluruh lapisan masyarakat. Jaminan sosial secara tradisional berkonotasi
dengan pengeluaran sosial baik untuk kepentingan Negara ataupun untuk kebajikan humanis
dan tujuan bermanfaat lainnya menurut syariat Islam. Nilai jaminan sosial akan mendekatkan
manusia kepada Allah dan karunia-Nya, membuat manusia bersih dan berkembang,
menghilangkan sifat tamak, sifat mementingkan diri sendiri, dan hambatan-hambatan
terhadap stabilitas dan pertumbuhan sosio-ekonomi. Jaminan sosial akan membuat manusia
lebih siap memasuki hari perhitungan karena telah mnejual dirinya untuk mencari
kenikmatan Illahi. Pengeluaran sosial manusia dalam Islam akan memperoleh imbalan nyata
dalam kehidupan didunia dan akhirat.
Harry Calvert mendevinisikan rumusan jaminan social dengan pernyataan ,” mekanisme
utama yang sah berkaitan pemberian jamianan untuk mencukupi penghasilan individu jika
pelaksanaan nya dilakuakn dengan memanfaatkan pelayanan social lain, untuk menjamin
seseorang untuk memenuhi standar hidup minimal secara kulturan yang layak jika sarana
yang biasa dilaksanakan mengalami kegagalan”.
Ajaran Islam tidak terbatas oleh waktu maupun tempat islam memberikan ajaran
kehidupan kepada kita yang tidak ada batas akhir nya yang akan melewati batas waktu dan
ruang dan dapat diterapkan kepada seluruh manusia dengan segala persoalan nya hingga
waktu yang akan datang. Sistem jaminan social islam berdasarkan pada prinsi-prinsip.
Pertama bahwa kesejahteraan dan harta itu adalah milik Allah dan Negara wakil Allah,
menjalankan semua itu atas keimanan kepada Allah dan kedua negara memberikan jaminan
social kepada seluruh warganya dalam kondisi bahwa masyarakat mematuhi peraturan
Negara.
4. Larangan Riba’
Di dalam Al-Qur’an maupun Hadits, banyak sekali disebut tentang larangan riba, di
antaranya dalam QS. Al-Baqarah: 275, 276, 278. Riba berarti bertambah atau mengembang.
Menurut istilah, riba adalah tambahan dalam pembayaran utangg sebagai imbalan jangka
waktu selama utang tersebut belum terbayar. Ada beberapa jenis riba, yaitu riba fadhal,
qardhi, yadh dan nasi’ah. Namun yang relevan dengan pembicaraan ini adalah riba nasi’ah
dan fadhal.
Riba nasi’ah adalah tambahan yang terjadi dalam utang-piutang berjangka waktu sebagai
imbalan waktu tersebut. Riba nasi’ah juga disebut riba jahiliyah karena biasa dilakukan di
zaman jahiliyah. Riba tersebut dilarang karena ada unsur eksploitasi manusia atas manusia,
pemerasan oleh orang kaya terhadap orang miskin. Sedang riba fadhal adalah tambahan yang
diperoleh seseorang sebagai hasil pertukaran dua barang yang sejenis. Misalnya, pertukaran
antara 1 gram emas dengan 2 gram emas. Kelebihan yang dipertukarkan tersebut dinamakan
riba fadhal.
5. Kerjasama Ekonomi
Kerjasama ekonomi merupakan watak masyarakat ekonomi menurut Islam. Kerjasama
ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi
barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam
adalah qiradh.
Qiradhadalah kerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha yang memiliki keahlian
dalam melaksanakan unit-unit ekonomi. Dalam dunia ekonomi, qiradhdikenal dengan
penyertaan modal (participatory loan) tanpa bunga yang didasarkan pada bagi hasil (profit
loss sharing) atas usaha yang disepakati.
Dalam operasional perbankan Islam, qiradh mempunyai dua bentuk, yaitu mudarabahdan
murabahah.Di dalam mudarabah, bank Islam membiayai seluruh operasi unit ekonomi,
sedang pengusaha yang memiliki keahlian dan tenaga kerja sebagai pelaksana operasional
kegiatan unit ekonomi. Di dalam murabahah, pembiayaan kegiatan unit ekonomi oleh bank
Islam untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri atas dasar keuntungan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sampai saat ini, pemikiran-pemikiran muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan
setidaknya menjadi tiga mazhab. Nilai-nilai dasar dan nilai instrumental masing-masing
terdapat 5 poin, yaitu:
Zakat
Shadaqah
Jaminan Sosial
Larangan Riba’
Kerjasama Ekonomi
B. Saran
Untuk penyenpurnaan pembuatan makalah kedepannya, kami mengharapkan adanya
saran dari semua pihak baik dosen maupun seluruh mahasiswa yang membaca makalah
Sistem Ekonomi Islam ini terhadap kekurangan yang terdapat pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bogor: Lembaga Percetakan Kementrian Agama RI, 2010.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami Edisi Kedua. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Makro Islam Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Muhammad Baqir As-Sadr, Iqtishaduna (Our Economics) Discovery Attempt on Economics
Doctrine in Islam, WOFIS, Teheran, Iran, 1983/1403 H.
Siti Arfina, Skripsi : “Nilai-Nilai Dasar Sistem Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional
(Analisis Perbandingan)", (diakses dari
http://repository.stainparepare.ac.id/295/1/12.2200.049.pdf