Disusun oleh:
Laili Shofiya Kurniawati
NIM: 1420310079
0
BAB I
PENDAHULUAN
Pengembangan hukum Islam, dalam hal ini melalui ijtihad berkaitan erat
dengan perubahan-perubahan sosial. Hukum dalam perspektif sosiologi berperan
ganda, satu sisi hukum dijadikan sebagai kontrol sosial terhadap perubahan yang
berlangsung dalam kehidupan manusia, di sisi yang lain hukum dapat dijadikan
sebagai alat rekayasa sosial.1 Begitu juga hukum Islam, hanya saja sumber nilai
yang dijadikan acuan adalah wahyu yang bersifat Ilahiyah.
Berbicara metode ijtihad hukum Islam tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan ushul fikih sebagai piranti untuk mengeluarkan hukum dari
sumbernya. Adapun ulama yang telah memberikan kontribusi besar
perkembangan ushul fikih di antaranya adalah Imam Syafi’i dan imam asy-
Syathibi. Jika Imam al-Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar-dasar ilmu ushul
fikih, maka imam asy-Syathibi adalah pengembangnya. Di tangan Imam asy-
Syathibi konsep ushul fikih tidak hanya mengacu pada teks nash yang acap kali
mengabaikan realitas sosial, namun konsep yang ditawarkannya berusaha
mengakomodasi nilai-nilai sosial yang ada.
1
Kata pengantar oleh Nasaruddin Umar dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syari’ah Menurut Al-Syatibi,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), V
1
BAB II
PEMBAHASAN
Latar belakang keluarganya juga belum diketahui dengan pasti, sejauh dapat
dilacak dia berasal dari keluarga Arab, suku Luhkmi, sedangkan nama sebutannya
yang dikenal dengan As-Syathibi diambil dari negeri asal keluarganya yaitu
Syathibah (Xativa atau Jativa di Spanyol Timur). Meskipun namanya dinisbahkan
di negeri itu, di duga ia tidak dilahirkan disana karena menurut cacatan sejarah,
kota Jativa telah berada di bawah kekuasaan Kristen, dan segenap umat Islam
telah keluar dari sana sejak tahun 645 H/1247 M. Diperkirakan hampir satu abad
sebelum masa kehidupan Asy-Syathibi, ada dugaan bahwa keluarga Asy-Syathibi
meninggalkan negeri itu ketika terjadi eksodus yang dimaksud dan kemudian
menetap di Granada. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Asy-Syathibi
lahir dan hidup di Granada pada masa kekuasaan Yusuf Abu al-Hajjaj (1333-1354
M) dan Sultan Muhammad V (1354-1391 M). Dugaan ini berdasar pada
2
Imran Rosyadi, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013, hlm. 79.
3
‘Abdullah Mustafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin, juz 2, (Beirut: Muhammad Amin
Dimaj, 1974), hlm. 204.
4
Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa Ibn Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi Asy-Syathibi,
penerjemah; Shalahuddin Sabki, Bangun Sarwo Aji Wibowo, Al-I’tisham (Buku Induk
Pembahasan Bid’ah dan Sunnah), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. xxi (21).
2
perbandingan antara tahun kewafatan Asy-Syatibi dengan periode kekuasaan du
sultan Granada tersebut.5
5
Hamka Haq, Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-
Muwafaqat, (Penerbit Erlangga: 2007), hlm. 17-18.
6
Ibid, hlm. 18.
7
Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa, I’tisham…… hlm. xvii (17).
8
Imran Rosyadi, PROFETIKA,……hlm. 80.
3
‘Abbas al-Qabab, dan Abu ‘Abdillah al-Hifar. Untuk menimba ilmu Asy-Syathibi
selalu menyertai gurunya hingga hari wafatnya.9
Sebagaimana umumnya ulama Islam, Asy-Syathibi pertama-tama belajar
bahasa Arab sebelum mempelajari kajian ilmu lainnya. Dari Ibnu al-Fakhar al-
Albiri (w. 754 H/1353 M) dan Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabthi ia belajar
pelajaran bahasa Arab, dari Abu Abdullah al-Maqarri yang pernah berkunjung ke
Granada tahun 757 H/356 M menimba ilmu di bidang Ushul Fiqh, dari Abu ‘Ali
al-Manshur (w. 770 H/1369 M) yang juga berkunjung ke Granada di tahun 753
H/1352 M ia belajar Filasafat dan ilmu kalam. Dan mendapat penghargaan dari
Ibn al-Khatib, wazir Granada saatb itu, meski akhirnya diusir dari negeri itu pada
tahun 765 H/1336 M. Asy-Syathibi juga belajar dari al-Syarif al-Tilimsani (w.771
H/1369 M). 10
Tidak hanya belajar dari para mentornya Asy-Syathibi juga melakukan
banyak diskusi dengan para ulama pada saat itu serta ketekunan dan kerajinan
asy-Syathibi yang didukung lingkungan dan suasana ilmiah yang cukup kondusif
dengan Universitas Granada sebagai pusat kajian intelektual waktu itu telah turut
mengantarkan Asy-Syathibi untuk menjadi seorang tokoh intelektual islam yang
di segani. Ketokohan Asy-Syathibi sebagai ilmuwan terus diperkukuh dengan
berjibun karya monumental yang lahir dari tangannya, posisinya yang mantap
sebagai seorang ilmuan brilian terus menarik simpati, sehinnga banyak orang yang
bersedia menjadi muridnya.
Pengembangan dan pendalaman ilmu dilakukan Asy-Syathibi tidak hanya
dalam bentuk pertemuan langsung dengan guru-gurunya, akan tetapi juga melalui
korespodensi dengan para ulama tersohor. Setelah menyerap ilmu-ilmu dari para
gurunya, Asy-Syathibi berusaha mengembangkannya dengan cara mengajarkan
kepada generasi-generasi muda. Tercatat ulama-ulama yang pernah menjadi murid
adalah Abu Yahya Ibn Asim dan Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani.
Abu bakar Ibn Asim pernah menjabat hakim, ia mengarang kitab kompilasi
hukum Tuhfatul Ahkam yang menjadi rujukan para hakim di Granada. Selain tiga
9
Ibid, hlm. xviii (18).
10
Ibid, hlm. 18-19
4
murid terkenal di atas, masih banyak murid asy-Syathibi di antaranya Abu
Abdillah al-Mijari dan Abu Ja’far Ahmad al-Qisar al-Gharnati adalah murid asy-
Syathibi yang cerdas. Di Depan Abu Ja’far ini asy-Syathibi membacakan sebagian
masalah-masalah ketika menyusun kitab al-Muwafaqat.11
Karir Asy-Syathibi tidak ditemukan isyarat apapun tentangnya. Tetapi,
muncul tiga dugaan yang bisa dikemukakan;
1) Dalam penuturan Asy-Syathibi tentang tuduhan-tuduhan yang dilontarkan
oaring banyak terhadap dirinya dalam suatu kesempatan, dapat
disimpulkan bahwa dia adalah seorang imam dan juga khatib di sebuah
masjid. Selama masa pengadilannya, dapat diasumsikan bahwa dia dipecat
dari kedua jabatan ini.
2) Atas dasar fatwa-fatwa yang diminta darinya, bahwa dia adalah seoarang
mufti. Karena dia tak pernah di panggil al-Musyawwir, adalah sulit
menyatakan apakah dia secara resmi di angkat dalam jabatan ini.
3) Asy-Syathibi mempunyai sejumlah murid, bahwa dia mengajar di sebuah
madrasah di Granada.12
Pemikiran Asy-Syathibi dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiyahnya
sebagai berikut :
1. Karya yang diterbitkan;
a) Syarh jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw
b) Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari shahih Al-Bukhari)
c) Syarh Rajz Ibn Malik fi An-Nahw
d) Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq
e) Ushul An-Nahw.
2. Karya yang diterbitkan
a) Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah
b) Al-Itisham
c) Al-Ifadat wa Al-Irsyadat.13
11
Abu al-Ajfan, Min Atsar Fuqaha al-Andalus : Fatawa al-Imam al-Syatibi, hlm. 41.
12
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: penerbit PUSTAKA,
1996),, hlm.112-113.
13
Ibid, hlm.119-121
5
C. Kondisi Sosio Historis
Nama Asy-Syathibi sendiri adalah nisbat kepada sebuah daerah di sebelah
timur Andalus bernama Syatibah (Sativa) yang menjadi daerah asal orang tua
Imam Asy-Syathibi. Daerah ini termasuk daerah yang cukup ramai pada masa
Islam, banyak ulama-ulama lain ternama lahir dari daerah ini, diantaranya adalah
Abu Muhammad Asy-Syathibi.
Pada tahun 1247 M keluarga Imam Syatibi hijrah dari Sativa ke Granada
karena kota Sativa berhasil ditaklukkan oleh raja Spanyol Uraqun setelah
peperangan yang berkecamuk semenjak tahun 1239 H. Granada adalah sebuah
kota kecil yang terletak di sebelah tenggara kota Biirah dan masuk dalam
wilayahnya. Biirah sendiri adalah pusat propinsi yang waktu itu menjadi
pangkalan militer bagi pasukan dinasti Umayyah di Andalus. Setelah dinasti
Umayyah jatuh dan terjadi kerusuhan di kota tersebut, penduduknya kemudian
hijrah ke Granada yang pada akhirnya menjadi pusat kota di wilayah tersebut. Di
kota Granada inilah Imam asy-Syathibi akhirnya tumbuh dan berkembang.
Pada masa Imam Asy-Syathibi hidup, Granada di bawah pemerintahan dinasti
Bani Ahmar (635-897 H). Bani Ahmar adalah keturunan Sa’d bin Ubadah, salah
seorang sahabat Anshar. Mereka disebut Bani Ahmar karena warna kulit mereka
yang agak kemerah-merahan. Bahkan orang-orang Spanyol menyebut salah satu
raja mereka dengan sebutan Barmecho, yaitu bahasa Spanyol yang berarti warna
orange yang agak kemerah-merahan.
Pada masa dinasti Bani Ahmar kondisi politik di wilayah tersebut tidak begitu
stabil. Konspirasi, intrik politik, perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah
menjadi warna yang dominan dalam perjalanan pemerintahan Bani Ahmar setelah
ditinggalkan oleh pendiri dinasti, al Ghalib Biamrillah. Hal itu seperti yang
dituturkan oleh Lisanuddin bin al Khotib, salah seorang menteri pada masa Bani
Ahmar. Kondisi politik yang buruk di tingkat atas ini membawa dampak yang
negative pada kondisi sosial di masyarakat. Pembunuhan, perampokan dan
perampasan sering terjadi di mana-mana. Dekadensi moral merambat dalam tubuh
masyarakat. Perilaku penguasa dan masyarakat sudah banyak yang menyimpang
dari jalur agama, minuman keras dan khasis (ganja) dikonsumsi oleh masyarakat
6
secara terang-terangan, bahkan mereka tidak menganggap ganja sebagai sesuatu
yang diharamkan dalam agama, seperti yang terekam dalam sebuah syair yang
populer pada masa itu.
Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini cukup wajar terjadi
apabila kita melihat perilaku para penguasanya yang disibukkan dengan urusan
mencari sekutu dan dukungan untuk kelompoknya masing-masing guna merebut
maupun melanggengkan kekuasaan mereka, sehingga kewajiban dan tanggung
jawab yang harusnya mereka emban terhadap rakyat menjadi terbengkalai,
perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat hilang dari sorotan dan perhatian
mereka, dan hukum serta aturan pun pada akhirnya tidak berjalan dengan
semestinya. Kekacauan kondisi yang terjadi dalam masyarakat waktu itu tidak
berhenti di sini saja, justru makin diperparah dengan hadirnya sebagian “ulama”
yang menyebarkan kesesatan dengan mengeluarkan fatwa sesuai keinginan nafsu
mereka, padahal mereka seharusnya menjadi kelompok yang paling kompeten
dalam menjaga kemurnian agama dan mengemban tugas amar ma’ruf dan nahi
munkar di tengah-tengah masyarakat yang telah menguap unsur-unsur baik dari
dalam diri mereka. Imam Syatibi menyontohkan adanya “ulama” yang memberi
fatwa; hadza hasan (ini baik/boleh dikerjakan) dengan menggunakan dalil
alqur’an alladzina yastami’uunal qaula fayattabi’uuna ahsanah , atau hadza birrun
(ini baik) dengan berdasar pada ayat wa ta’aawanu ‘alalbirri wattaqwa , sementara
jika mereka ditanya lebih jauh dan detil mengenai dasar yang tepat untuk apa yang
mereka sebut dengan baik ataupun buruk, mereka bungkam dan tidak bisa berkata
apa-apa.
Hal lain yang cukup memprihatinkan waktu itu adalah berkibarnya fanatisme
kelompok dan madzhab di mana-mana. Madzhab Maliki menjadi madzhab yang
dipeluk oleh sebagian besar masyarakat sejak zaman Hisyam al Awwal bin
Abdurrahman al Dakhil yang berkuasa di Andalus pada tahun 173-180 H. Mereka
fanatik sekali terhadap madzhab Maliki ini, bahkan tingkat fanatisme mereka
digambarkan seperti; “mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-
Muwatha’ Imam Malik” . Madzhab-madzhab lain tidak diterima, orang-orang
yang berbeda aliran madzhab dianggap sesat dan mendapat perlakuan yang kasar
7
bahkan penyiksaan sehingga mengalami penderitaan yang cukup berat, seperti
yang pernah dialami syaikh Baqiy bin Mukhlad. Tentu saja hal ini bukan sesuatu
yang diajarkan oleh imam Malik sendiri, karena beliau mengajarkan untuk
menghargai ilmu yang dimiliki orang lain, seperti beliau menghargai imam Abu
Hanifah.
Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi oleh perhatian mereka yang kuat
terhadap persoalan-persoalan furu’ (cabang) dan melupakan hal-hal yang ushul
(pokok) dalam agama. Karya-karya ulama salaf mereka curigai, sementara
pendapat-pendapat ulama yang semasa mereka agungkan dan mereka bersihkan
dari kemungkinan salah, bahkan keluar dari pendapat mereka sama dengan keluar
dari agama.
Faktor terakhir inilah yang pada akhirnya menggerakkan Imam Syatibi untuk
mengarang kitabnya yang monumental “al-Muwafaqat”, guna mempertemukan
antara pandangan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki , atau mencoba
menjembatani dua aliran yang terkenal dengan sebutan aliran ra’yu (akal) dan
nash (teks), juga ingin mengembalikan kesadaran masyarakat yang telah terbius
dengan persoalan-persoalan cabang ke persoalan lebih fundamental dan pokok,
serta mengungkap tujuan-tujuan dan hikmah yang ada dibalik syariah.
Sementara kitab “al-I’tisham” adalah jawaban beliau terhadap kegelisahan hatinya
melihat penyimpangan-penyimpangan dan kemungkaran yang ada
disekelilingnya.
Di samping kekacauan yang terjadi seperti di atas, tentu saja ada masa dan
waktu dimana kedamaian serta perkembangan juga mendapat tempatnya.
Misalnya pada tahun 750 H salah satu penguasa Bani Ahmar mendirikan
madrasah pertama kali di Andalus yang dinamai dengan madrasah al Nashriyyah .
Kemudian beragam ilmu pengetahuan seperti filsafat, manthiq, matematika,
astronomi, kedokteran, dan lain-lain juga bisa ditemukan dalam masyarakat
tersebut . Hal ini memperlihatkan adanya geliat ilmu pengetahuan pada
8
masyarakat tersebut yang pada gilirannya juga menunjuk adanya suasana kodusif
dalam masyarakat.14
14
https://alimprospect.wordpress.com/2013/02/27/muwafaqat-ringkasan-biograi-imam-
syatibi/ , akses pada tanggal 20 Oktober 2014, jam 20.15
15
Nina m. Armando, dkk, ensiklopedi islam, (Jakarta: Ichtiar baru van hoeve, 2005), hlm.
303
9
pembahasan dan analisisnya senantiasa terkait dengan persoalan maqasid al-
Shari’ah. Menurutnya, setiap agama yang diturunkan Allah swt senantiasa
bertujuan untuk kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan
dunia itu sendiri bertujuan untuk kemaslahatan akhirat. Oleh sebab itu setiap
mukalaf dalam setiap perbuatannya harus mempertimbangkan maslahat dan
madharat, serta senantiasa mengambil yang maslahat.
Asy-Syathibi melihat ada yang kurang dalam metodologi yang dipakai ulama-
ulama terdahulu. Atau lebih tepatnya formulasi ushul fiqh yang ada saat itu
kurang memberikan jawaban pada problematika yang dihadapi umat, karenanya
dianggap perlu memformat ulang kerangka ushul fiqh.
Proyek besar asy-Syathibi ini perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi bukan
hanya karena ia telah menjembatani dan mencari titik temu dari dua teori yang
berbeda; Malikiyah dan Hanafiyah, tetapi lebih dari itu ia telah memberikan ‘roh’
terhadap ushul fiqh yang selama ini tampak kering dan gersang. Roh dari syariat
yang selama ini tidak mendapatkan concern yang tinggi dari pendahulunya, yaitu
masalah maqasid shari’ah.
16
Abu Ishaq al-Shatibi Ibrahim Ibn Musa al-Lakhmi al-Gharnati al-Maliki, Al-Muwafaqat
Fi Ushuli al-Shariah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hlm.18
10
dilakukan asy-Syathibi adalah dalam rangka Ta’sil al-Usul Shari’at -menetapkan
pokok-pokok syariat- membuat ushul fiqh baru.17
Karena Syar’i tidak menjelaskan segi rasionalitas dan hikmah pada sejumlah
besar hukum misalnya Tuhan tidak menjelaskan sebab pengharaman minum arak,
sebab musabab haramnya zina dan bahwa hukum-hukum yang termaktub dalam
Qur’an dan Hadits sangat terbatas untuk menampung semua permasalahan yang
terus berkembang, maka seorang mujtahid dituntut untuk membuat standar
rasionalisasi agar kasus-kasus baru bisa terakomodir. Disinilah perbedaan dua
teori diatas.
Teori yang bersandarkan pada qiyas, ta’lil dan teks. Teori ini mencari ‘illat
dari hukum yang ada dengan asumsi bahwa Tuhan menetapkan illat tersebut
dalam mengeluarkan sebuah hukum, kemudian menetapkan hukum yang sama
pada setiap kasus yang mempunyai illat yang sejenis. Contoh seperti pengharaman
arak. Terdapat nash yang menyebutkan secara sorih bahwa arak itu haram, tetapi
tidak disebutkan illat pengharamannya. Maka ditetapkanlah illat yang dijadikan
standar munculnya hukum diatas, yaitu “memabukkan” (memabukkan bisa
merusak fungsi otak dan menggugurkan taklif). Kemudian hukum yang sama
17
Moh Abid Jabiri , Binyat al-’Aql al-‘Araby, (Dar Baydo’: Dar Nashr al-Magribiyah,
2000), hlm.519.
11
(haram) diterapkan pada perasan anggur/nabidz dan minuman sejenis yang
mengandung alkohol karena illat yang sama, yaitu: iskar (memabukkan).
Inilah yang biasa disebut dengan teori qiyas. Teori ini sederhana dan mudah
untuk diterapkan, tetapi itu hanya bisa diterapkan pada hal-hal yang sejenis, arak
dan nabidz misalnya. Tetapi ketika dihadapkan pada persoalan yang tidak sejenis
dengan yang ada, maka akan sulit menerapkan teori qiyas, dan pencarian illat
terkesan dipaksakan. Disamping kadang teori ini sering terbelenggu oleh teks.
ketika ada teks yang mengharamkan khamr, teori qiyas akan membawa seorang
mujtahid untuk menentukan makna teks itu sendiri pada saat kemunculannya, lalu
bentuk larangan dengan menggunakan “ijtanibu”, apakah mengikat (mulzim) atau
tidak. Belum lagi persoalan bagaimana membedakan apakah satu lafadz
dimaksudkan untuk satu kasus tertentu dan tidak melebar ke kasus yang lainnya
ataukah lafadz tersebut dimaksudkan keumumannya. Dan tentu untuk
membedakannya kembali kepada zann. Karenanya semua produk fiqh yang
dihasilkan dengan menggunakan teori ini sifatnya zann.18 Teori yang
menjadikan maqasid sebagai titik tolak. Teori ini tentu saja lebih luwes dan
fleksibel, lintas ruang dan waktu. Mengingat tujuan awal dari syariat adalah untuk
kemaslahatan manusia, maka mempertimbangkan maslahat dijadikan dasar dalam
rasionalisasi hukum, dan sekaligus sebagai dasar bagi point-point berikutnya.
Terkait dengan tema pokok dari pemikiran besar asy-Syathibi yang terkandung
dalam dua bukunya, yaitu persoalan maslahat, ia membagi kategori ijtihad
menjadi dua bentuk, yakni ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi.
18
Jabiri, al-Din wa al-Daulah wa tat}biq al-Shari’ah (Beirut: Markaz Dirasah al-
Wah}dah al-Arabiyah, 1996) cet ke I, 170-173.
12
ijtihad yang pertama ini, mujtahid belum dihadapkan kepada obyek hukum.
Setelah mujtahid berhasil menangkap ide yang dikandung teks wahyu atau hadith,
ia akan berhadapan dengan persoalan bagaimana menerapkan ide/hukum itu
kepada obyek hukum. Jika hukum yang dihasilkan seorang mujathid itu dengan
mudah diterapkan pada obyek hukum, tidak muncul persoalan. Persoalan akan
muncul jika ide hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tersebut, ketika diterapkan
ternyata menimbulkan persoalan hukum lainnya, yang kadang dapat lebih berat
dari sekedar menerapkan ide hukum hasil ijtihad tersebut. Tidak selamanya hasil
ijtihad yang diperoleh seorang mujtahid dalam penerapannya harus diberlakukan
sebagaimana adanya, karena dalam relitasnya akan ditemui kendala lain yang
mesti dipertimbangkan dalam menerapkan hukum. Dalam kaitan inilah al-Shatibi
secara panjang lebar membahas ijtihad tatbiqi. Ijtihad tatbiqi mengandung
pengertian bahwa dalam penerapan ide hukum, seorang mujathid harus
melakukan ijtihad lain yang juga tidak kalah pentingnya dengan ijtihad istinbati.
Dalam ijtihad tatbiqi persoalan maqasid al-Shari’ah menjadi acuan utama dalam
menerapkan hukum. Dalam ijtihad tatbiqi ini, mujtahid dituntut memperhatikan
kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Di sinilah
kelebihan al-Shatibi dibanding ulama ushul fiqh lainnya, sehingga ada ungkapan
bahwa jika imam Syafi’i telah meletakkan dasar yang kokoh bagi ushul fiqh,
maka Imam al-Shatibi adalah pengembangnya.19
19
Nina m. Armando, dkk, Ensiklopedi Islam, 304
13
Kasus hak kewarisan anak yang murtad; seorang Muslim telah murtad,
segera setelah itu ayahnya meninggal. Karena dalam fikih madzhab Maliki
seorang yang murtad tidak berhak mewarisi ayahnya yang Muslim, maka orang
itu dengan segera masuk Islam kembali. Asy-Syathibi menolak hak si anak atas
warisan ayahnya atas dasar berikut: Pertama; sebab pengalihan harta benda orang
yang meninggal dunia kepada pewarisnya adalah “matinya si pemilik”, bukan
“penyisihan harta”, dan karenanya hak waris adalah menjadi milik siapa saja yang
merupakan pewaris sah pada saat terjadinya kematian. Jika dikehendaki oleh para
pewaris lainnya, mereka bisa memberi si anak yang murtad sebagian dari harta
warisan itu sebagai hadiah; atau alternative lainnya, dia bisa diberi bantuan dari
Baitul Mal.
Dalam konteks hukum hak waris kafir (non muslim) para ulama’ klasik dan
kontemporer berbeda-beda pendapat. Para ulama’ imamiyah berpendapat bahwa
seorang muslim berhak mewarisi non muslim. Kalau salah seorang di antara anak-
anak pewaris ada yang non muslim kemudian masuk Islam sesudah orang yang
20
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: penerbit PUSTAKA,
1996),, hlm. 134-135
14
diwarisi itu meninggal dan harta peninggalannya sudah dibagikan kepada
pemiliknya maka menurut kesepakatan para Ulama’ madzhab, orang tersebut
tidak berhak atas waris.
Imam Asy-Syathibi sendiri menolak hak anak yang murtad tersebut atas
warisan ayahnya atas dasar berikut: sebab pengalihan harta benda orang yang
meninggal dunia kepada pewarisnya adalah “matinya si pemilik”, bukan
“penyisihan harta”, dan karenanya hak waris adalah menjadi milik siapa saja yang
merupakan pewaris sah pada saat terjadinya kematian. Hal tersebut seperti halnya
dalam fikih madzhab Maliki anak yang murtad tidak mewarisi harta kekayaan
yang di miliki oleh ayahnya yang Muslimyang nota bene Asy-Syathibi merupakan
penganut madzhad Maliki. Ketentuan tersebut telah dijelaskan dalam hadits:
21
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Penerjemah Masykur A.B),
Lentera, Jakarta, 1996, hlm 542
15
Dalam konteks penghalang kewarisan karena perbedaan agama juga
termasuk yang dalam ajaran Islam dikatagorikan sebagai orang murtad. Murtad
secara umum didefinisikan oleh para ulama’ klasik sebagai keluarnya seseorang
yang semula memeluk agama Islam kemudian mengingkarinya.22 Keluarnya
seseorang baik karena berpindah agama ataupun tidak memeluk agama yang
secara umum oleh ajaran Islam orang tersebut dianggap telah ingkar (kufr).
Terkait dengan kewarisan, status orang murtad disamakan dengan orang
kafir yang berarti mempunyai kedudukan yang sama dengan orang kafir asli.
Karena orang murtad tidak dapat menjadi muwarris bagi ahli warisnya yang
muslim ataupun sebaliknya. Dasar hukum dalam hal ini ialah mengambil pada
rujukan keumuman hadist yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid.23 Rabi’ah
Ibnu Abdul Aziz dan Ibnu Abi Al-Lail mengatakan bahwa “jika seseorang muslim
telah murtad maka hartanya tidak bisa diwariskan oleh ahli warisnya orang
muslim, oleh karena itu hartanya menjadi hak umat Islam yang ditempatkan di
baitul maal.24Bahkan Al-Zarqani mengatakan bahwa hadist Usamah bin Zaid telah
menjadi kesepakatan Ulama’ terdahulu dan diikuti oleh Ulama’-Ulama’ yang
datang kemudian. Tidak ada perselisihan di antara mereka.25
Sebagaimana pendapat Asy-Syathibi tentang kewarisan seorang yang murtad
bahwa Apabila ditinjau dari maslahah mursalah seorang anak yang murtad dari
agama Islam memperoleh harta peninggalan orang tuanya yang Muslim bukan
dengan jalan mewarisi namun dengan cara hadiah atau hibah dan hal tersebut atas
dasar persetujuan semua anggota keluarga. dan alternatif lainnya untuk anak yang
telah murtad tersebut diambilkan harta dari baitul mal, hal ini dilakukan untuk
kemaslahatan seorang anak yang murtad tersebut, jika dalam keadaan tertentu
misalnya berpenghidupan tidak layak, miskin, belum mempunyai pekerjaan yang
22
Abdul Kadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islam, 1 : 534, Muhammad Abu Zahrah,
Al-Jarimah Wa Al-Uqubah Fi Al-Alfiqh Al-Islami, Darul Fikr, Bairut, Tanpa Tahun, hlm 188
23
Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqhi ‘Ala Mazhab Al-Arba’ah, Dar Al-Kutub, Bairut, 1996, hlm
436-437
24
Al-Jassas, Ahkam Al-Qur’an, Dar Fikr, Bairut, 1993, III : 134
25
Al-Zarqani, Syarh az-Zarqani ‘Ala Syarh Muwatta Al-Imam Malik, Darul Fikr, Bairut,
Tanpa Tahun, III : 155
16
belum mapan. Hal itu dilakukan untuk kemaslahatan manusia dengan membantu
kerabat yang sedang kesusahan.
Namun demikian, apabila di antara orang yang berlainan agama tersebut telah
mewasiatkan kepada yang lainnya untuk menerima hartanya setelah kematiannya,
maka wasiat tersebut apabila tidak lebih dari sepertiga dapat dilaksanakan tanpa
memerlukan izin dari para ahli waris. Sebab, perbedaan agama hanya
menghalangi pewarisan tidak menghalangi wasiat.26
26
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H & Drs. Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum
Kewarisan Islam), (Jakarta: Gaya Media Utama, 1997), hlm.37-38
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqhi ‘Ala Mazhab Al-Arba’ah, Dar Al-Kutub, Bairut, 1996
Al-Zarqani, Syarh az-Zarqani ‘Ala Syarh Muwatta Al-Imam Malik, Darul Fikr,
Bairut,III
Al-Lakhmi al-Gharnati al-Maliki , Ibrahim Ibn Musa , Abu Ishaq al-Shatibi, Al-
Muwafaqat Fi Ushuli al-Shariah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2004)
Jabiri, Moh Abid , Binyat al-’Aql al-‘Araby, (Dar Baydo’: Dar Nashr al-
Magribiyah, 2000)
Haq, Hamka, Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-
Muwafaqat, (Penerbit Erlangga: 2007)
19
Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi,(Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996), V
Imran Rosyadi, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013
Nina m. Armando, dkk, ensiklopedi islam, (Jakarta: Ichtiar baru van hoeve, 2005)
https://alimprospect.wordpress.com/2013/02/27/muwafaqat-ringkasan-biograi-
imam-syatibi/
20