Anda di halaman 1dari 19

MENJELASKAN KAIDAH USHUL DALAM IBADAH

DAN MENYIKAPI PERBEDAAN MAZHAB


DAN SYARAT DI TERIMANYA IBADAH

Oleh Kelompok 3
 Nur Sakiyah
 Dendi Kurniawan A

Program Studi Kewirausahaan


Fakultas Ekonomi
INTENS Muhammadiyah Kolaka Utara
Tahun 2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah, penyusun memuji-Nya, memohon


pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya, dan bertaubat kepada-Nya. Sholawat
beserta salam-Nya. Semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Atas berkat dan rahmatnya saya bisa memenuhi tugas mata kuliah AIK (Al-Islam
Kemuhammadiyaan). Yang diampu oleh Bapak Muh Yasin S.Pd.I, M.Pd.I.

Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, mengingat
waktu dan kemampuan yang penyusun milki. Karena itu kepada para pembaca,
penyusun harapkan kritik dan sarannya demi sempurnanya makalah ini dimasa
yang akan datang. Untuk itu penyusun ucapakan terimakasih.

Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penyusun, mendapat


imbalan dari Allah SWT. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan umumnya bagi para pembaca. Jika ternyata ada yang benar
dalam makalah ini maka itu semata-mata karunia dari Allah SWT. Dan jika ada
kesalahan maka itu tidak lain dari penyusun sendiri. Penyusun berharap kepada para
pembaca agar bersedia memberikan masukan atas apa yang dibacanya.

Kolaka Utara, 18 Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisam...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Kaidah Ushul Dalam Ibadah ................................................................... 3
2.2 Pengertian Menyikapi Perbedaan Mazhab ............................................................... 5
2.3 Pengertian Syarat di Terimanya Ibadah ................................................................... 7
2.4 Macam-Macam Ibadah ............................................................................................. 8
2.5 Ibadah yang Paling Utama dalam Islam ................................................................... 9
2.6 Syarat Diterimanya Ibadah dalam Islam ................................................................ 10
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 15
3.2 Saran ....................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menjelaskan Kaidah Ushul dalam Ibada berkaitan erat dengan upaya


memahami dan merinci prinsip-prinsip dasar yang mendasari praktik keagamaan
dalam islam. Hal ini melibatkan upaya memahami sumber-sumber hukum islam,
seperti Al-Qur’an dan Hadist, serta mengembangkan suatu metologi untuk
menjelaskan ibadah dengan benar. Kaidah Ushul membantu umat islam memahami
sumber-sumber hukum islam, terutama Al-Qur’an dan Sunnah sebagai paduan
utama. Hal ini penting untuk memastikan bahwa ibadah dilaksanakan sesuai dengan
petunjuk Allah dan ajaran Rasulullah.

Adapun menyikapi perbedaan Mazhab harus dengan penghormatan terhadap


keberagaman karean meskipun terdapat perbedaan antar mazhab dalam hal-hal
tertentu, kaidah ushul memdorong sikap saling menghormati dan memahami
perbedaan pendapat.

Ibadah merupakan sebuah kata yang amat sering terdengar di kalangan kaum
muslimin, bahkan mungkin bisa kita pastikan tidaklah seorang muslim kecuali
pernah mendengarnya. Lebih jauh lagi, ibadah merupakan tujuan diciptakannya
seluruh jin dan seluruh manusia, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla, Juga
seluruh Umat Islam perlu untuk mengetahui bahwa dalamberibadah pun harus
mengikuti syarat-syarat agar ibadah tersebut dapat di terima oleh Allah SWT.
Syarat di terimanya ibadah dalam islam melibatkan beberapa prinsip penting yang
harus di penuhi oleh individu yang menjalankan ibadah. Seperti, niat, mengikuti
tuntunan Rasulullah, memahami fiqih ibadah, bersih dari syirik, konsintensi dengan
ajaran islam, kebersihan dan kesehatan, memperhatikan waktu ibadah, dan
memperhatikan hukum-hukum ibadah.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Kaidah Ushul Dalam Ibadah?


2. Apa Pengertian Menyikapi Perbedaan Mazhab?
3. Apa Pengertian Syarat di Terimanya Ibadah?
4. Apa Macam-Macam Ibadah?
5. Apa Ibadah yang Paling Utama dalam Islam?
6. Apa Syarat Diterimanya Ibadah dalam Islam?

1.3 Tujuan Penulisam

1. Untuk Mengetahui Pengertian Kaidah Ushul Dalam Ibadah


2. Untuk Mengetahui Pengertian Menyikapi Perbedaan Mazhab
3. Untuk Mengetahui Pengertian Syarat di Terimanya Ibadah
4. Untuk Mengetahui Macam-Macam Ibadah
5. Untuk Mengetahui Ibadah yang Paling Utama dalam Islam
6. Untuk Mengetahui Syarat Diterimanya Ibadah dalam Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kaidah Ushul Dalam Ibadah

Kaidah ushul fikih adalah prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh para
ulama untuk menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an
dan Hadis. Kaidah-kaidah ini berfungsi sebagai pedoman bagi setiap muslim dalam
menjalankan ibadahnya sehari-hari. Dalam Ushul Fikih terdapat lima kaidah dasar
yang harus dipahami oleh setiap muslim, yaitu:

a. Kaidah Al-‘Adah
Kaidah Al-‘Adah atau kaidah kebiasaan merupakan kaidah yang digunakan
dalam menentukan hukum-hukum berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat. Contohnya, dalam adat istiadat Indonesia,
ketika seorang anak menikah maka orang tua dari pihak laki-laki wajib
memberikan maskawin kepada pihak perempuan. Kaidah Al-‘Adah ini
dapat digunakan untuk menetapkan hukum tentang maskawin dalam Islam.
b. Kaidah Al-Mashalih Al-Mursalah
Kaidah Al-Mashalih Al-Mursalah atau kaidah kepentingan umum adalah
kaidah yang digunakan dalam menentukan hukum berdasarkan kepentingan
umum yang tidak secara khusus disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Contohnya, hukum tentang larangan merokok dalam Islam. Meskipun
dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak secara khusus menyebutkan larangan
merokok, namun jika dilihat dari segi kesehatan dan kepentingan umum,
maka merokok dilarang dalam Islam.
c. Kaidah Al-Qiyas
Kaidah Al-Qiyas atau kaidah analogi adalah kaidah yang digunakan dalam
menentukan hukum berdasarkan kesamaan atau persamaan antara dua hal.
Contohnya, hukum tentang riba dalam Islam. Meskipun dalam Al-Qur’an
hanya disebutkan tentang larangan riba, namun berdasarkan kaidah Al-

3
Qiyas, riba juga meliputi bunga bank karena memiliki sifat yang sama
dengan riba.
d. Kaidah Al-‘Urf
Kaidah Al-‘Urf atau kaidah kebiasaan adalah kaidah yang digunakan dalam
menentukan hukum berdasarkan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Contohnya, dalam masyarakat Indonesia, ketika seorang jenazah meninggal
maka akan dilakukan prosesi pemakaman. Kaidah Al-‘Urf ini dapat
digunakan untuk menetapkan hukum tentang pemakaman dalam Islam.
e. Kaidah Al-Istishab
Kaidah Al-Istishab atau kaidah keberlangsungan adalah kaidah yang
digunakan dalam menetapkan hukum berdasarkan keadaan yang telah
berlangsung secara kontinu. Contohnya, ketika seseorang telah melakukan
shalat lima waktu selama bertahun-tahun, maka dapat diasumsikan bahwa
orang tersebut masih melaksanakan shalat lima waktu hingga saat ini.
Kaidah Al-Istishab ini dapat digunakan untuk menetapkan hukum tentang
kewajiban shalat lima waktu dalam Islam.

2.1.1 Cara Memahami Kaidah Ushul Fikih


a. Membaca Kitab Ushul Fikih

Kitab Ushul Fikih merupakan kitab yang membahas tentang kaidah-


kaidah dasar dalam beragama Islam. Dengan membaca kitab ini, kita
dapat memahami kaidah-kaidah ushul fikih dengan lebih baik.

b. Mengikuti Kajian Ushul Fikih

Kajian Ushul Fikih biasanya diselenggarakan oleh para ulama atau


lembaga-lembaga keagamaan. Dengan mengikuti kajian ini, kita dapat
memperdalam pemahaman mengenai kaidah-kaidah ushul fikih.

4
c. Berdiskusi dengan Ulama

Berdiskusi dengan ulama juga dapat membantu kita dalam memahami


kaidah-kaidah ushul fikih. Kita dapat bertanya langsung mengenai
kaidah-kaidah yang belum dipahami atau meminta penjelasan lebih
lanjut mengenai kaidah-kaidah tersebut.

2.2 Pengertian Menyikapi Perbedaan Mazhab

Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab
adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari
dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik. Dari perbedaan metode penggalian hukum
inilah, kemudian lahir mazhab fikih.

Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam


konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah,
dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id
wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi. Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab
tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan
klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij; bisa juga
ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti
Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan
Wahabiyah. Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah,
Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.

Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut
banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan
politik. Sekali lagi, tidak demikian. Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak
mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping
itu, perbedaan tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i.

Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada


masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual
tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika
berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb)
Al-Qur’an dan Hadis Nabi—yang nota bene berbahasa Arab—mempunyai potensi

5
multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-
nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah
tersebut ada yang qath‘i, seperti Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir, dan ada yang
zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan
terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, tidak
demikian dengan sumber yang zhanni. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks
dilâlah nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek
sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada
yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat
tentang maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak
demikian.

Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang


melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti,
bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian
halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas
dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa
kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam
juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual
dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa
langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual
dan kelompok secara simultan.

Islam, misalnya, menetapkan sejumlah kaidah dan ketentuan:

1. Dalam konteks nas-nas syariah yang qath‘i tsubut dan qath‘i dilâlah, seperti
Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir yang maknanya qath‘i, baik dalam masalah
akidah maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh ada
perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini
hukumnya haram.
2. Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah
yang zhanni, baik dengan qath‘i tsubût dengan zhanni dilâlah, seperti Al-

6
Qur’an dan Hadis Mutawatir yang maknanya zhanni, maupun zhanni tsubût
dengan qath‘i dilâlah, seperti Hadis Ahad yang bermakna qath‘i.
3. Pemultitafsiran (ta’wîl) nas-nas syariah tetap dibolehkan, tetapi harus dalam
koridor dilâlah yang ditunjukkan oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan
metode memahami dan istinbâth yang dibenarkan oleh syariah.
4. Pandangan yang dihasilkan oleh semua mazhab dianggap benar, dengan
catatan tetap mempunyai potensi salah.
5. Mengikuti pandangan mazhab tersebut tidak dalam kerangka untuk
memastikan seratus persen pandangan tersebut benar dan salah, melainkan
dalam kerangka tarjîh dan ghalabat zhann. Dengan kata lain, kita
mempunyai dugaan kuat, bahwa hukum yang kita ambil dan ikuti dalam
masalah tertentu adalah hukum Allah bagi kita, dan juga orang yang
menyatakannya, terlepas dari siapa yang menyatakannya. Namun, jika
kemudian terbukti salah, hukum itu pun dianggap marjûh dan lemah
sehingga ketika itu harus ditinggalkan.

2.3 Pengertian Syarat di Terimanya Ibadah

Pengertian ibadah adalah tunduk kepada segala perintah dan larangan-Nya.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian ibadah adalah perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Allah SWT, yang didasari ketaatan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Makna dari pengertian ibadah adalah lekat dengan ajaran agama Islam.
Dalam Islam, pengertian ibadah adalah terbagi menjadi tiga bagian. Apa saja?
Mulai dari ibadah dengan anggota badan, hati, dan diucapkan secara lisan.
Pengertian ibadah tersebut sesuai dengan bentuk syahadat yang menyatakan tidak
ada Tuhan selain Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW adalah utusan Allah
SWT.

Syarat dalam istilah fiqih berarti sesuatu yang tidak akan sempurna (sah pent.)
suatu yang disyaratkan kecuali dengannya. Agar lebih memudahkan pemahaman
kita ambil contoh ibadah sholat, ibadah ini tidaklah akan dinilai sebagai sholat yang

7
sah apabila syaratnya tidak terpenuhi yaitu wudhu. Sehingga apabila seseorang
melakukan ibadah sholat tanpa berwudhu maka sholatnya tidaklah sah bahkan ia
berdosa apabila nekat sholat tanpa wudhu dalam keadaan ia tahu bahwa wudhu
merupakan syarat sah sholat.

2.4 Macam-Macam Ibadah

Dalam syariah Islam, pengertian ibadah yang merupakan ketundukan atau


ketaatan seorang hamba secara khusus kepada Allah diklasifikasikan menjadi
beberapa macam ibadah yaitu :

1. Berdasarkan Pelaksanaannya

 Macam ibadah jasmaniah dan rohaniah (jasmani dan rohani). Contohnya:


salat dan puasa.
 Macam ibadah rohaniah dan maliyah (rohani dan harta). Contonya: zakat.
 Macam ibadah jasmaniah, rohaniah, dan maliyah (jasmani, rohani, dan
harta). Contohnya: ibadah haji.

2. Berdasarkan Bentuk dan Sifatnya

 Macam ibadah dalam bentuk perkataan/ lisan. Contohnya: zikir, doa, dan
baca Al Quran.
 Macam ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya.
Contohnya: membantu atau menolong orang lain.
 Macam ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya.
Contohnya: sholat, puasa, zakat, ibadah haji.
 Macam ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri.
Contohnya: puasa, iktikaf, dan ihram.
 Macam ibadah yang berbentuk menggugurkan hak. Contohnya: memaafkan
kesalahan orang lain dan membebaskan hutang seseorang.

8
3. Secara Umum

Konsep ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah atau
sering disebut muamalah.

 Ibadah mahdhah adalah macam ibadah yang telah ditentukan dan menjadi
syariat bagi umat Islam. Dalam kata lain, ibadah mahdhah adalah hubungan
manusia dengan Tuhan atau hubungan secara vertikal. Ibadah sholat, zakat,
puasa, dan haji dinamakan ibadah mahdhah.
 Ibadah ghairu mahdhah atau umum atau muamalah, merupakan segala
perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilakukan dengan niat ikhlas
karena Allah SWT. Ibadah ini dilakukan antar sesama manusia atau
hubungan horizontal.

2.5 Ibadah yang Paling Utama dalam Islam

Dalam ajaran Islam, ada jenis ibadah yang paling utama di mata Allah SWT.
Rasulullah SAW menjelaskan ibadah ini dalam hadits yang diceritakan sahabatnya
Abdullah Ibnu Mas'ud RA. Ini hadisnya:

Artinya: "Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , 'Amalan apakah
yang paling dicintai Allah?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Shalat
pada waktunya." Aku (Abdullah bin Mas'ud) mengatakan, 'Kemudian apa lagi?'
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Berbakti kepada dua orang tua."
Aku bertanya lagi, 'Lalu apa lagi?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Jihad di jalan Allâh." (HR Bukhari).

Pentingnya sholat tepat waktu kembali ditegaskan Rasulullah SAW dalam


haditsnya, yang diceritakan Anas bin Malik RA. Hadits ini dikutip dari buku Yang
Disenangi Nabi SAW dan yang Tak Disukai karya Adnan Tharsyah. Berikut
hadisnya:

9
Artinya: "Telah dijadikan bumi untukku sebagai tempat bersujud dan bersuci. Maka
barangsiapa dari umatku yang mengetahui datangnya waktu sholat, hendaklah dia
segera sholat." (HR Bukhari).

2.6 Syarat Diterimanya Ibadah dalam Islam

1. Ikhlas
Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat bahwa tiada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu
murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah berfirman : “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al
Bayyinah : 5].
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu)
untuk Nya.” [QS. Az Zumar : 2] Kemudian Rasulullah r bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang
murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]
2. Tidak Syirik
Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah
tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi
juga kepada selain Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan amalan pada
orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang lain),
ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah
syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima
oleh Allah . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian
adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu
syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad] Kemudian
firman Allah tentang larangan syirik ialah, “Janganlah kamu mengadakan
sekutu sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al Baqoroh
:22]

10
3. Taubat Dari Dosa-Dosa
Orang yang rajin beribadah kepada Allah namun dalam waktu yang
bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai
bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah dikerjakannya menjadi
terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari
mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al An’aam: 88] “Dan
Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi nabi) yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang orang yang merugi”. [QS. Az
Zumar: 65]
4. Sesuai Tuntunan Syariat
Al Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad ) merupakan salah satu
dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yaitu agar di
dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah
diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak,
walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas
karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan
Nabi Muhammad dalam segala hal, dengan firman Nya :
“Dan apa apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7] Dan
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala
perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau,
sebagaimana sabda beliau: “Barang siapa mengamalkan suatu amalan
yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

11
5. Niat Karena Allah
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah landasan amal
yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah
dan benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah .”
Jadi syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan
tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini
berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh : “Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu
dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan
itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak
ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan
benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan
tuntunan Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena
Allah semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan
diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu
dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak
diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang
banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak
memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka
mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya
akan baik”.
6. Tidak Bid’ah
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang
tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak.
Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27
Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi
Muhammad . Sholat Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena

12
dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi
bid’ah.
7. Sesuai Dengan Aturan
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila
seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban,
maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban
adalah unta, sapi dan kambing.
8. Dalam Jumlah Yang Tepat
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu
diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh
Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat
Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah
karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
9. Mengikuti Tata Cara Yang Benar
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru
kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata
cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul Nya di dalam Al Qur’an
Al Karim dan Al Hadits Asy Syarif.
10. Sesuai Waktu Yang Di Anjurkan
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul
Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau
melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya,
maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya. Serta shalatnya
tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh
syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat
hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13
Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum
dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
11. Di Tempat Yang Telah Di Tetapkan
Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah
Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid

13
(seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab
tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan
ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kaidah ushul dalam ibadah adalah prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam
ushul fiqih, seperti niat, khilaf (perbedaan), masalah (kemaslahatan), dan ‘adalah
(kebiasaan), menjadi pedoman dalam melaksanakan ibadah. Ushul fiqih
memberikan landasan hukum dan panduan etika untuk memahami dan
mengamalkan ajaran agama dalam konteks ibadah.
2. Menyikapi perbedaan mazhab adalah pentingnya menghormati keragaman
pandangan fiqih dalam islam. Meskipun terdapat perbedaan interpretasi hukum
agama, dan kerja sama antar umat beragama. Memahami bahwa perbedaan
interpretasi tidak selalu menjadi sumber konflik, melainkan kekayaan dalam ragam
pemahaman keagamaan.
3. Ibadah diterima ketika dilakukan dengan ikhlas, sesuai dengan tuntunan agama,
dan diiringi oleh niat yang tulus. Ketaatan pada syariat, pemenuhan rukun dan
syarat ibadah, serta menjauhi hal-hal yang membatalkannya menjadi faktor penting
dalam diterimanya ibadah.

3.2 Saran

1. Dalam konteks kaidah ushul dalam ibadah di sarankan untuk memahami hikamh
hukum, penerapan kontekstual, pentingnya keadilan, dan pentingnya niat dan
ikhlas.
2. Di sarankan untuk membangyun sikap toleransi terhadap perbedaan mazhab,
menghormati pilihan keagamaan orang lain sebagai hak individu.
3. Untuk syarat di terimanya ibadah, disarankan untuk niat dan iklhas. Tekankan
pentingnya niat yang tulus dan ikhlas dalam menjalankan ibadah, karena niat
merupakan landasan utama diterimanya ibadah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Raika, 2023, Kaidah Ushul Fikih: Panduan Mendasar Dalam Beragama Islam.
Diakses : https:/iqipedia.com/2023/05/14/kaidah-ushul-fikih-panduan-
mendasar-dalam-beragama-islam/#:twxt=kaidah? Tanggal 14 Mi 2023
Fqhiah Masail, 2023, Mnyikapi Perbedaan Mazha. Diakses :
https://suaraislam.id/menyikapi-perbedaan-mazhab/2/ Tanggal, Senin 18
Desember 2023
Budiman Aditya, 2023, Syarat Diterimanya Ibadah. Diakses :
https://alhijroh.com/aqidah/syarat-diterimanya-ibadah/ Tanggal, 19
Februari 2023
Tysara Laudia, 2021, Pengertian Ibadah Dalam Islam, Macam, Dan Syarat
Diterimanya. Diakses :
https://www.liputan6.com/hot/read/4721230/pengertian-ibadah-dalam-
islam-macam-dan-syarat-diterimanya?page=3 Tanggal, 26 November
2021, 11:10 WIB
Islam Dalam, 2023, Syarat Diterimanya Ibadah Dalam Islam. Diakses :
https://dalamislam.com/info-islam/syarat-diterimanya-ibadah-dalam-islam.

16

Anda mungkin juga menyukai