Anda di halaman 1dari 17

“DOKTRIN ASWAJA DALAM KEHIDUPAN”

Disusun Oleh Kelompok 6:

SITI HAJAR (2102060275)

SUHERJAN TONI (2102060126)

SASIH RISMAYA OKTAFIANA (2102060099)

SARI MULIANA (2102060068)

SAJAAN SOFYAN (2102060095)

FAKULTAS PENDIDIKAN

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA NTB

MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panja panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah materi mata kuliah ASWAJA yang berjudul “Doktrin ASWAJA Dalam Kehidupan”.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, kami sebagai penyusun sangat


mengharapkan adanya kritik serta saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini kedepannya.

Mataram, 30 Oktober 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. i

Daftar Isi............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

Latar Belakang.................................................................................................................. 1

Rumusan Masalah............................................................................................................. 1

Tujuan Penulisan............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2

Pengertian Doktrin............................................................................................................ 2

Doktrin ASWAJA.............................................................................................................. 3

Doktrim iman.....................................................................................................................4

Doktrin islam......................................................................................................................10

Doktrin ikhsan...................................................................................................................12

BAB III PENUTUP...........................................................................................................13

Kesimpulan.........................................................................................................................13

Kritik Dan Saran-Saran....................................................................................................13

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sunni atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah atau terkadang juga dikenal dengan
sebutan ASWAJA merupkan paham yang mendasarkan pada tradisi Nabi Muhammad
SAW, di samping berdasarkan pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang
pertama. Sunni lenih dikenal dengan ASWAJA. Ahl al-Sunnah memiliki makna
orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi, dan mayoritas sahabat, baik dalam Syariat
(Hukum Agama Islam) maupun Aqidah (Kepercayaan).

Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah merupakan aliran yang holystic (Menyeluruh),


mencakup pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai
(Aksiologi). Paham yang holystic ini mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas
manusia di segala bidang.

Selain itu pandangan ASWAJA oleh kalangan NU dirumuskan sebagai landasan


berpikir, bersikap, dan bertindak. Sementara Islam Reformasi merumuskan ASWAJA
sebagai teori dan praktik yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan
tersebut dirinci dalam berbagai disiplin ilmuan dan agenda kegiatan sosial, sehingga
pengertian ASWAJA kemudian tidak hanya mengikuti doktrin, teologi (Aqidah)
tetapi juga berkembang pada wilayah ideologi pembaharuan sosial.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari doktrin?


2. Apa sajakah yang termasuk doktrin ASWAJA?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari doktrin


2. Untuk Mengetahui apa saja yang termasuk doktrin ASWAJA

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Doktrin

Doktrin merupakan pendapat atau pendiri ilmiah yang disusun dan dikemukakan
secara rasional dan dapat meyakinkan orang lain. Doktrin ini memiliki peranan penting
karena doktrin ini dikemukakan oleh seorang ilmuan hukum yang bisa mempengaruhi
jurisprundensi dan bisa menjadi hukum, karena itu doktrin dapat menjadi bagian sumber
hukum positif.

Menurut B.Arif Sidarta istilah lain dari doktrin adalah ajaran. Ajaran itu juga dapat
disamakan dengan doktrin, doktrin ini merupakan tampungan dari norma sehingga doktrin
menjadi sumber hukum. Mengutip pendapat Apeldorn, doktrin hanya membantu dalam
pembentukan norma, doktrin itu harus dipindahkan peraturan perundang-undangan sehingga
doktrin itu tidak langsung dalam penerapan hukum. Menurutnya ajaran berbeda dengan teori.
Suatu ajaran membahas pada satu hal tertentu atau satu pasal tertentu yang lebih kecil dan
belum berlaku secara umum. Ketika ajaran tersebut diobjektifkan dan berlaku secara umum
maka akan berubah menjadi teori.

B.Arif Sidarta tentang pemaknaan doktrin, hampir sama seperti yang dikemukakan
oleh Angel (2002). Dia mengatakan bahwa doktrin dalam ilmuan hukum dikatakan sebagai
“Analytical study of law” atau “Doctrinal study of law” yang bersifat sience. “Legal
doctrine” ada kalanya disenut juga dengan “Legal dogmatics”. Kedua istilah ini lazim
ditemukan dalam civil law sementara itu di dalam anglo-american istilah legal doctrin
maupun legal dogmatic tidak begitu dikenal. Jufrina Rizal (2013) memberikan pemaknaan
atas kedua terminologi tersebut sebagai: “Istilah ajaran di Indonesia macam-macam, ada
ajaran hukum alam, ajaaran positivisme, ajaran hukum murni, ajaran hukum progresif
padahal itu semua adalah teori juga. “Ajaran” digunakan untuk menjelaskan isi dari teori
tersebut karena itu, Kelson juga menyebutkan “reine rechlehre” yang diajarkan ajaran hukum
murni. Lehre (Jerman), leer (Belanda) diterjemahkan sebagai ajaran.

Teori menurut Fred N. Kerlienger sebagaimana dikutip oleh John W. Creswell


(2010) merupakan seperangkat konstruk (variabel-variabel), definisi-definisi dan proposisi-
proposisi yang saling berhubungan yang mencerminkan pandangan sistematik atas suatu

2
fenomena dengan cara memerinci hubungan antar variabel yang ditujukan untuk menjelaskan
fenomena alamiah. Suatu teori dalam penelitian bisa saja berfungsi sebagai argumentasi,
pembahasan atau alasan. Teori biasanya membantu menjelaskan (atau memprediksi)
fenomena yang muncul di dunia.

2.2 Doktrin Aswaja

Selanjutnya secara garis besar, doktrin aswaja terbentuk dalam Islam, iman dan ihsan.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (ad diin) yang membentuk tiga dimensi
keagamaan meliputi syari’ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju
haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan
dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin).

Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling melengkapi
satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan
dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan
keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah
(lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam
kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada
Allah”.

Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi


keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fikih. Kecenderungan ulama dalam
menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama
dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham Aswaja
mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan
kemunafikan. Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-
mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia.

3
Imam Malik mengatakan, “Barang siapa menjalani tasawuf tanpa fikih, maka dia
telah zindiq, barang siapa memegang fikih tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang
siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran”.

1. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang beliau
bawa dari Allah. Dimensi tauhid atau yang lebih dikenal dengan sebutan aqidah Ahlussunnah
wal Jama’ah terbagi atas beberapa bagian yang terkandung dalam arkan, al-iman, yaitu iman
kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul- rasulnya, Hari akhir, qada’ dan
qadar -Nya.
a. Iman kepada Allah
Keimanan kepadaAllah berarti percaya dengan seutuhnya kepadanya. Dengan
mempercayai 20sifat yang menjadi sifat dalam dzatnya, yaitu:
1. Wujud. Allah itu ada, Mustahil ia tidak ada.
2. Allah tidak berpermulaan adaNya. Mustahil bila ada yang mendahuluinya.
3. Baqa’. Allah kekal selama-lamanya. Mustahil bila Ia sirna.
4. Mukhalafatu lil hawadisi. Tuhan berbeda dengan makhlukNya. Mustahil Allah
menyerupai makhlukNya.
5. Qiyamuhu bi nafsihi. Allah berdiri sendiri. Mustahil bila Allah membutuhkan perkara
lain.
6. Allah Maha Esa. Mustahil Allah berbilangan.
7. Allah Mahakuasa. Mustahil Ia Lemah.
8. Allah Berkehendak. Mustahil bagi Allah‘Ilmu.
9. Allah bersifat dengan ilmu(berpengetahuan). Mustahil bagiNya tidak memiliki ilmu.
10. Allah hidup, Mustahil Ia mati.
11. Sama’. Allah mempunyai sifat mendengar. Mustahil Ia tuli.
12. Allah memiliki sifat melihat. Mustahil Allah buta.
13. Allah memiliki sifat berkata. Mustahil Ia bisu.
14. Kaunuhu Qadiran. Allah tetap dalam keadaan berkuasa. Mustahil ia dalam keadaan
lemah.
15. Kaunuhu Muridan. Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki. Mustahil Ia dalam
keadaan tidak menghendaki.
16. Kaunuhu ‘Aaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan mengetahui. Mustahil Ia dalam
keadaan tidak mengetahui.

4
17. Kaunuhu Hayyan. Allah tetap selalu keadaan hidup. Mustahil Ia dalam keadaan mati.
18. Kaunuhu Sami’an. Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar. Mustahil ia dalam
keadaan tuli.
19. Kaunuhu Bashiran. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil Ia dalam
keadaan buta.
20. Kaunuhu Mutakaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil Ia bisu

Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai sifat yang wajib
dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah keseluruhan sifat diatas berjumlah
empat puluh, dan ditambah satu sifat lagi, yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan
sesuatu dan tidak menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas semua
ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran Mu’tazilah menafikan (tidak meyakini)
bahwa Allah memiliki sifat-sifat Azali , mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat
Qudrah, ilmu, iradah, dan hayat.

b. Iman kepada Malaikat


Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk yang tidak bisa
dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk tersebut bernama malaikat. Malaikat
merupakan ciptaan Allah yang ditugaskan mengatur seluruh jagat raya dengan tugas
masing-masing yang diberikan tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah. Jumlah
malaikat tidak terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui berjumlah sepuluh,
dengan tugas masing-masng.
1. Jibril, bertugas mengantarkan wahyu kepada Nabi.
2. Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia, seperti mengatur hujan, angin,
tanah, dan kesuburanya.
3. Isrofil, Bertugas dalam persoalan akhirat, seperti meniup terompet tanda kiyamat,
dibangkitkan dari kubur, berkumpul di padang masyar dan lain sebagainya.
4. Izra’il, bertugas mencabut nyawa.
5. Munkar
6. Nakir,
bertugas menanyai orang yang telah mati didalam kubur.
7. Rakib, bertugas mencatat amal baik.
8. ‘Atid, Bertugas mencatat amal buruk.
9. Malik, Bertugas menjaga neraka.

5
10. Ridwan, bertugas menjaga surga

Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap umat islam.
Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya wajib mempercayai bahwa ada malaikat
lain yang ditugaskan oleh Allah dengan tugas masing-masing, seperti malaikat Rahmat yang
bertugas membagikan belas kasih Allah kepada hambaNya

c. Iman kepada Kitaab Allah


Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat kepada sebagian NabiNya
yang berupa kitab, sebagai tuntunan hidup manusia. Kitab yang diturunkan Allah berjumlah
banyak, karena Rasul berjumlah banyak. Tetapi Kitab suci yang wajib diketahui oleh umat
islam berjumalah empat:
1. Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa As.
2. Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud As.
3. Injil, diturunkan kepada Nabi Isa As.
4. Al-Quran, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[11]

Itulah keempat kitab yang wajib diketahui oleh umat islam. Sedangkan kitab yang lain,
seperti shuhuf Nabi Ibrahim As. Umat islam tidak wajib mengetahui secara terperinci.

d. Iman kepada Nabi Dan Rasul


Dalam menyampaikan syari’at kepada hambanya, Allah memilih sebagian manusia untuk
mengabarkan dan mengajak manusia agar melaksanakan syari’at yang dibawanya, orang
tersebutlah yang dinamakan Rasul(Utusan Allah). Sedangkan yang hanya mendapatkan
wahyu tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan syariat tersebut kepada manusia
disebut nabi. Jumlah Nabi banyak, dan yang termasuk rasul berjumlah tiga ratus tida belas.
Akan tetapi yang wajib diketahui oleh orang mukallaf[13] berjumlah dua puluh lima, yakni:
1) Adam. 2) Idris 3) Nuh 4) Hud 5) Sholih 6) Ibrahim 7) Luth 8) Ismail 9) Ishaq 10) Ya’qub
11) Yusuf 12) Ayub 13) Syu’aib 14) Musa 15) Harun 16) Zulkifli 17) Daid 18) Sulaiman 19)
Ilyas 20) Ilyasa’ 21) Yunus 22) Zakariya 23) Yahya 24) Isa 25) Muhammad ‘alaihim al-
salam. [14]
Rasul juga memiliki beberapa sifat yang wajib diyakini kebenaranya. Rasul memiliki
empat sifat wajib dan empat sifat mustahil(tidak mungkin dimiliki), yaitu :
1. Sidq (Benar), mustahil ia pendusta.
2. Amanah (Dipercaya), mustahil ia khianat.

6
3. Tabligh (Menyampaikan), mustahil ia menyembunyikan.
4. Fathanah (pintar), mustahil ia dungu.

Rasul juga memiliki sifat jaiz , yaitu Rasul juga memiliki sifat-sifat manusia yang tidak
merendahkan drajat Rasul, seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya.

Keseluruhan Dari sifat wajib yang dimiliki Allah, yang mustahil dimiliki Allah, jaiz, sifat
wajib Rasul, sifat mustahil Rasul dan sifat jaiz Rasul berjumlah lima puluh sifat, yang biasa
disebut dengan ‘aqoid seket (lima puluh aqidah).

e. Iman kepada Hari Kiamat


Umat Islam wajib meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ada kehidupan lain, yaitu
kehidupan akhirat. Dimana semua manusia dihidupkan kembali dan dimintai pertanggung
jawaban atas semua perbuatanya di dunia, kemudian menerima balasanya, berupa surga dan
neraka. Aswaja juga meyakini bahwa kenikmatan surga bersifat kekal, begitu juga siksa
neraka bagi orang yang menyekutukan Allah. Berbeda dengan pendapat Aliran ‘Amraiyah
yang termasuk pecahan dari golongan mu’tazilah yang berpendapat bahwa semua ciptaan
Allah akan sirna, termasuk kenikmatan surga dan neraka. Namun sebelum berlangsungnya
kehidupan akhirat aliran Aswaja meyakini bahwa akan terjadi yaum al-akhir (hari akhir), atau
yang biasa disebut dengan hari kiamat.
Jadi pada akhir kehidupan ini akan terjadi kiamat, yakni hari dimana semua manusia akan
mati, kemudian dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka
didunia dan menerima balasanya.

f. Iman kepada Qadha’ Dan Qadar


Qodha menurut faham Aswaja adalah ketetapan Tuhan pada zaman azali tentang sesuatu.
Sedangkan realisasi dari qadha’ tersebut dinamakan qadar. Jadi bisa diambil kesimpulan
bahwa yang dinamakan Qadha ialah rencana Allah yang telah ditetapkan terhadap sesuatu
sebelum menciptakanya, sedangkan Qadar ialah pelaksanaan dari ketetapan tersebut. Contoh:
Allah menetapkan Fulan dilahirkan di Indonesia sebelum Allah menciptakanya, inilah yang
dinamakan Qadha. Kemudian Fulan dilahirkan di Indonesia, inilah yang dinamakan Qadar.
Aliran Aswaja meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk, baik berupa keadaan
maupun perbuatan tidak lepas dari Qadha Dan Qadar Allah. Berbeda halnya dengan pendapat
mayoritas Aliran Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan
manusia, semua yang dilakukan manusia adalah kehendak mereka sendiri, bahkan Allah tidak

7
mampu merubahnya. Bahkan mereka berpendapat bahwa Allah tidak mampu menetapkan
sesuatu yang telah menjadi hak manusia
Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid
(teologi/kalam) ini, Aswaja berpedoman pada aqidah islamiyah (ushûluddîn) yang
dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu
Manshur al Maturidi (w. 333 H.) Kedua tokoh Aswaja ini nyaris sepakat dalam masalah
aqidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan
malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini
hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah istitsnâ’,
takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insyaallah, seperti “Saya beriman,
insyaallah”. Menurut Maturidiyah hal itu tidak diperbolehkan, karena istitsnâ demikian
mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut
Asyâ’irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas
keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak,
na’ûdzu billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi
terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua, sifat takwîn (mewujudkan). Menurut Asyâ’irah sifat takwîn (‫ )تكوین‬tidak berbeda
dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang
berkaitan dengan sifat Qudrah.
Ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya).
Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan
Menurut Abu Hasan al ‘Asy’ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asyâ’irah
(pengikut Abu Hasan al Asy’ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian
menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil;
sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan
sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman
biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan melalui
ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini
keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan
terhadap aqâ’id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih
terhalang (‫ )محجوب‬dalam mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah
keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun,

8
Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu
keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts (baru) dan tenggelam dalam fanâ’ billah.
Mempelajari ilmu tauhid, fikih dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul
yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah,
maka naik ke strata iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil
haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah dalam af’âl
(perbuatan), shifah (sifat) dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga, tauhid
fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhid
dzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’
washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn.
Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah,
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu,” (QS.
Ashshafat: 96). Sebagian ulama ‘arif billah menyatakan, “Barang siapa dapat menyaksikan
makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya
tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia
telah wushul”.
Konsep tauhid Aswaja mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham
Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu’tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah
menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan
perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk
memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya. Maka lahirlah
Aswaja sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim tersebut. Aswaja meyakini bahwa
makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah)
perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan Aswaja, secara lahir manusia adalah
‘kuasa’ (memiliki qudrah), tetapi secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah
apapun).
Dalam doktrin keimanan Aswaja, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi
kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid’ah,
sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka Aswaja tidak akan
menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka. Aswaja
sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis
kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah
saw. Bersabda, “Ketika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai seorang yang kafir’,

9
maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari) Keimanan seseorang akan hilang
dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang
tidak dapat ditakwil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui
dalam agama (ma’lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih
yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa
meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika
telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa ditakwil.

2. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman bisa di kategorikan menjadi dua yaitu doktrin keislaman yang di
wujudkan dalam bidang syariat islam dan keislaman yang di wujudkan kedalam bidang fikih.
a. Doktrin Aswaja Dalam Bidang syariat
Syari’ah adalah ketetapan, undang-undang/peraturan (regulasi), hukum dan atau
kewajiban yang diberlakukan kepada seluruh manusia yang berada dalam ruang lingkup
lingkarannya (red: Islam). Sementara orang yang abai dan mengingkari peraturan yang ada
(ditetapkan), maka ada resiko dan konsekuensi yang akan didera (kausalitas). Sebaliknya,
bagi orang-orang yang menaati hukum tersebut, akan mendapat reward (pahala)
Secara terminologi ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah nabi
SAW. Dan mentauladani para sahabat nabi dalam bidang akidah (tauhid) amaliah badaniah
(syariah) dan akhlaq Qalbiyah (tasawuf). Dengan pengertian termologi demikian, dalam
bidang syariah ASWAJA di tengah – tengah masyarakat menempatkan diri sebegai
kelompok Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Al-qur’an
dan hadits,Assunah Ijma dan Qiyas.
a) Al-Qur’an dan Hadist
Tak ada seorangpun (muslim/muslimah) di dunia ini yang dengan sengaja menafikan
eksistensi al-Qur’an dan Hadist sebagai hukum Islam. Keduanya (al-Qur’an dan Hadist) telah
menjadi prioritas dan sarana umat dalam menjembatani hidup. Dengan keduanya pulalah
umat muslim dapat berinteraksi serta berinterelasi tanpa ada yang merasa rugi, sebab mereka
menyakini sepenuh hati dan telah mendapat hasil implementasi dari ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam kedua sumber tersebut.
“ Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Alah, dan patuhlah kamu
kepada Rasul serta Ulil-Amri diantara kamu sekalian. Kemudian jika berselisih paham
tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar
beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik

10
akibatnya. (QS. Al-Nisa’[4]: 59)”. Inilah satu dari sekian dalil yang membesarkan hati orang-
orang muslim, tak ada keraguan di dalamnya.
b) Ijma’ dan Qiyas
Setelah al-Qur’an dan Hadist, ada juga Ijma’ dan Qiyas. Keduanya adalah petunjuk yang
dimudahkan bagi manusia dalam menetapkan persoalan ketika tidak ada dalil yang secara
spesifik (dalam al-Qur’an maupun Hadist) bersesuaian dengan beragam problem yang ada.
Dari sini, dapat diketahui bahwa sumber hukum Aswaja tidak hanya sebatas pada al-Qur’an
dan al-Hadits, tetapi juga konsensus ulama (ijma’) dan analogi hukum (qiyas) yang
digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam
al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukum ulama.
b. Doktrin keislaaman dalam bidang fikih
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fikih yang meliputi
hukumhukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-
lain), Aswaja berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fikih, yaitu Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Ada alasan mendasar mengenai pembatasan Aswaja
hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya
melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi
pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara
dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang dinilai
paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan
Madzhab Mu’tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Aswaja di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara
rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling
selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang
ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya. Dengan
prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Al Quran,
Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di
jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan
diyakini oleh Aswaja hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti,
mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat, ”Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS.
Annisa’: 59) Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa

11
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Al Quran dan
Hadis, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma’ (konsensus) umat
(mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti
perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma’. Sebab, Qiyas hakikatnya
mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, Aswaja juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang
tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad.
Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad
sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fikih. Dengan demikian, Aswaja tidak pernah
menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam
yang agaknya dewasa ini ‘enggan’ memasukinya.
Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja
memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid
dipahami sebagai kewajiban oleh Aswaja berdasarkan firman Allah, “Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. Annahl: 43).

3. Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori
ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan
melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah
keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan
perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW, “Ihsan
adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak
melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlak
ini, Aswaja berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh
Imam al Junaid al Baghdadi dan al Ghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh
ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok Aswaja, seperti Ibn al
Arabi, al Hallaj dan tokoh-tokoh sufi ‘kontroversial’ lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori Aswaja
meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fikih (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadis
(muhadditsîn).

12
BAB III

PENUTUP

1.3 Kesimpulan

Doktrin merupakan pendapat atau pendiri ilmiah yang disusun dan dikemukakan
secara rasional dan dapat meyakinkan orang lain. Doktrin ini memiliki peranan penting
karena doktrin ini dikemukakan oleh seorang ilmuan hukum yang bisa mempengaruhi
jurisprundensi dan bisa menjadi hukum, karena itu doktrin dapat menjadi bagian sumber
hukum positif.

Selanjutnya secara garis besar, doktrin aswaja terbentuk dalam Islam, iman dan ihsan.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (ad-diin) yang membentuk tiga dimensi
keagamaan meliputi syari’ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju
haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan
dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan
ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fikih.
Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid.
Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau
akhlak. Paham Aswaja mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut
sebagai doktrin dan ajaran esensialnya

3.2 Saran
Sebagai umat islam khususnya Sunni, kita harus waspada dengan terhadap segala
sesuatu yang dapat memecah belah umat islam sendiri, yaitu dengan memahami konsep
doktrin dari Ahlissunah waljamaah dan meneladani apa yang telah di ajarkan oleh para ulama
terdahulu. Sudah semestinya kita sebagai umat islam terus memperbaiki diri agar menjadi
pribadi yang lebih baik serta melestarikan dan atau menjaga apa yang telah di wariskan oleh
ulama – ulama kita terdahulu baik itu dalam segi ajaran maupun budaya dari Ahlussunah
waljamaah.

13

Anda mungkin juga menyukai