Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

METODOLOGI PENELITIAN AGAMA DAN


PERMASALAHANNYA

OLEH :
Nama : Mellinda Lestari
NPM : 2012020002

UNIVERSITAS SERAMBI MEKAH


2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat serta karunia nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Metode
Penelitian Agama dan Permasalahannya”

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dosen yang telah membimbing dan
mengarahkan saya dalam menyusun tugas makalah ini.

Saya juga menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dan
masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam pengerjaannya. Disini saya berharap kepada
pembaca untuk memaklumi bila ada kesalahan ataupun kekurangan di dalam makalah yang
saya tulis, karena juga saya masih dalam tahap pembelajaran.

Semoga makalah yang saya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan tentunya
juga penulis sendiri. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Aceh, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................................2

BAB II KAJIAN PUSTAKA......................................................................................................3

A. Pengertian Metode Penelitian Agama Islam................................................................3

B. Objek Penelitian Agama...............................................................................................4

C. Kerangka Teori (Konseptual) Penelitian Agama..........................................................8

D. Pendekatan-Pendekatan Dalam Penelitian Agama.......................................................11

E. Problem Penelitian Agama...........................................................................................15

F. Desain Penelitian Agama..............................................................................................16

G. Ilmu Sosial dan Ilmu Agama........................................................................................17

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................13

A. Kesimpulan..................................................................................................................24

B. Saran.............................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam perspektif teologis, al-Qur‟an merupakan firman Allah SWT yang di


dalamnya terkandung nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah yang dikodifikasikan dalam
sebuah kitab dan karena itu sekaligus bersifat transenden. Ajaran al-Qur‟an yang telah
mengejawantah secara empirissosiologis merupakan fenomena peradaban, kultural dan
realitas sosioreligius dalam kehidupan manusia. Namun demikian ajaran empirissosiologis
tersebut ada yang bergeser menjadi entitas sejumlah doktrin teologis dan diberlakukan secara
universal tidak terikat oleh situasi dinamika ruang dan waktu (Azra, 1996: 1).

Pada mulanya, aspek teologis dari agama itu direspon oleh manusia, dan melahirkan
konsep-konsep dasar (grand concept) dengan berbagai dimensi ajarannya. Diantaranya adalah
apa yang disebut Azyumardi Azra dengan “pola-pola pandangan yang mendunia
(weltanschauung) atau “konsep-konsep al-Qur‟an”, atau “moral values”, pada dataran meta-
konsept. Aspek ini mempunyai wujud ekstra-historis yang transendental dan datarannya
dalam satu waktu dalam sejarah tidaklah membatasi dampak praktisnya atau bahkan mungkin
dikatakan, maknanya. Sementara itu untuk kategori norma historis praktis yang ditampilkan
oleh suatu masyarakat tertentu, pada masa tertentu, terbatas cakupannya dalam konteks sosio-
historis dalam ruang waktu tertentu (Fazlurrahman, 1983: 6).

Proses metodologis tersebut oleh sebagian fuqaha seringkali dinegasikan dan


memposisikan sumber ajaran berada pada entitas historis-praktis dan atau mendudukkan
entitas historis-praktis sebagai doktrin teologis. Memang terdapat ayat-ayat yang bersifat
tafṣili (rinci) yang memungkinkan untuk diimplementasikan dalam kehidupan praktis, akan
tetapi ketika berhadapan dengan dinamika sosio-religius masyarakat alih-alih mencoba
memahami esensi pesan transendental ayat-ayat tersebut, yang terjadi kemudian
meninggalkan sama sekali. Seperti ayatayat al-Qur'an yang mengatur waris dan hukuman
potong tangan bagi pencuri, telah dipahami sebagai norma hukum dan terlepas dari
munasabah dimensi keberagamaan yang lain (aqidah dan akhlak) serta terlepas dari konteks
sosio-religius masyarakat ketika ayat-ayat tersebut dipahami.

Dalam konteks yang lebih utuh, konseptualisasi ajaran hukum Islam yang dipelajari
dari sumbernya tersebut tidak dilepaskan secara parsial dari bagian beragama yang dibangun
dari tiga pilar yaitu akidah, akhlak dan sharī‟ah (Khalaf, 1972: 8). Dapat dikatakan bahwa
perumusan, pembentukan dan pengembangan norma hukum Islam di Indonesia telah
tereduksi dari yang seharusnya menjadi bagian beragama yang dibangun dari tiga
pilartersebut.Agama Islam itu sendiri diturunkan oleh Allāh agar terwujud rahmat bagi
kehidupan di dunia ini, tetapi tujuan itu lebih dipahami dalam perspektif normatif dan rigit
yang kemudian menjadi acuan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pemahaman
reduksionis norma hukum Islam tersebut selaras dengan peradaban dunia dan dominasi
perkembangan metodologi keilmuan dengan paradigma positivisme dan rasionalisme yang
berdampak wujudnya pluralisasi ilmuilmu sosial dan kemanusiaan (Muhadjir, 2007: 1).
1
Dampak dari reduksi tersebut terlihat pada bangunan ontologi (the body of
knowledge) hukum Islam yang terkikis dari aspek teologis dan humanis (aqidah dan akhlak)
yang sedari awal menjadi pondasi beragama. Dimensi teologis dan humanis sebagai kekuatan
internal (internal power) hukum Islam nyaris tidak tampak dalam menyelesaikan masalah
sosial keagamaan. Sebagaimana dikatakan Jassir Auda bahwa perumusan hukum Islam yang
terlepas dari maqasid al-syariah maka produk hukumnya tidak menghadirkan maslahah
ammah dalam pluralisme kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (Auda, 2008: 29).

B. Rumusan Masalah

Ada beberapa rumusan masalah dari makalah ini diantaranya ialah :

a. Apa yang dimaksud dengan Metodologi Penelitian Agama Islam?


b. Apa saja objek Penelitian Agama?
c. Apa saja Kerangka Teori (Konseptual) Penelitian Agama?
d. Apa saja Pendekatan-Pendekatan Dalam Penelitian Agama?
e. Apa saja Problem Penelitian Agama?
f. Apa saja Desain Penelitian Agama?
g. Apa hubungan Ilmu Sosial dan Ilmu Agama?

C. Tujuan

Ada beberapa tujuan dari makalah ini diantaranya ialah :

a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Metodologi Penelitian Agama Islam.
b. Untuk mengetahui apa saja Objek Penelitian Agama
c. Untuk mengetahui apa saja kerangka teori (konseptual) penelitian agama
d. Untuk mengetahui apa saja pendekatan-pendekatan dalam penelitian agama.
e. Untuk mengetahui apa saja problem penelitian agama.
f. Untuk mengetahui apa saja desain penelitian agama.
g. Untuk mengetahui apa hubungan ilmu sosial dan ilmu agama.

BAB II

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Penelitian Agama Islam

Penelitian ialah penerapan pendekatan ilmiah pada pengkajian suatu masalah


(Margono, 2014: 18). Pada hakikatnya penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis
untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah (Emzir,
2009: 3). Adapun metode penelitian pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu usaha
pencarian kebenaran terhadap fenomena, fakta, atau gejala dengan cara ilmiah untuk
memecahkan masalah atau mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
pendidikan Islam yang bersumberkan Alquran, Sunnah dan Ijtihad (Darwis, 2014: 2). Oleh
karena itu, dalam melakukan penelitian bidang pendidikan Islam, maka seorang peneliti
muslim harus melakukan pemecahan masalah dan mengembangkan ilmu pengetahuannya
harus bersumber kepada ajaran Islam.

Metode - metode penelitian dalam kajian-kajian Islam ada empat macam. Pertama,
metode bayāni yaitu suatu metode penelitian untuk menemukan ilmu dengan usaha maksimal
dengan cara membaca, mempelajari, memahami dan mengkaji penjelasan-penjelasan dari
naṣ-naṣ Alquran dan Ḥadiṡ. Kedua, metode burhāni yakni suatu metode penelitian yang
mengandalkan kemampuan berfikir logis dengan kaidah-kaidah tertentu secara runut dan
sistematis. Ketiga, metode tajribi yakni suatu metode penelitian selain memerankan
kemampuan berfikir logis juga dilanjutkan dengan tindakan eksperimen, observasi dan
bentuk-bentuk metode yang dikenal dengan metodologi ilmiah. Keempat, metode ‘irfāni
yaitu suatu metode penelitian yang mengandalkan al-Taqarub ila Allah atau al-Ittiṣal bi al-
Ilāhi dengan melakukan langkah-langkah tertentu mulai dari isti’dad, tazkiyaħ al-Nafs.
Tekniknya dengan melakukan riyaḍoħ yaitu latihan-latihan dalam arti melakukan amalan-
amalan terus menerus baik secara individu maupun kelompok dengan mengikuti mursyid
(Ibrahim, 2014).

Asyafah (2018) melaporkan sebenarnya metodologi penelitian Islam itu cukup luas,
ada metode bayāni yang berkaitan dengan Alquran, Ḥadiṡ, Fiqh, Tafsir, dan beberapa ilmu
lainnya. Ada metode burhāni yang berkaitan dengan ilmu logika, ada metode ‘irfāni yang
berkaitan dengan ilmu tasawwuf dan metode tajribi yang berkaitan dengan eksperimen.
Adapun metodologi ilmiah itu bagian dari metode tajribi, dan inilah yang diagungkan oleh
Barat, sedangkan barat tidak mengenal metode bayāni, burhāni dan ‘irfāni, sehingga hemat

3
kami metodologi penelitian Islam itu lebih luas daripada metodologi penelitian yang
dikembangkan dunia Barat yang hanya mengagungkan metodologi ilmiah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode penelitian agama Islam
merupakan suatu kegiatan atau usaha sistematis pencarian terhadap fenomena, realita, fakta
atau gejala dengan cara ilmiah untuk memecahkan masalah atau mengembangkan ilmu
pengetahuan berdasarkan ajaran Islam. Metodologi penelitian agama Islam itu cukup luas,
ada yang mengenal metode bayāni, metode burhāni, metode tajribi dan metode ‘irfāni.

B. Objek Penelitian Agama

Agama sebagai obyek penelitian sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution


menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama karena merupakan wahyu, maka
tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalau pun dapat dilakukan maka harus
menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Pendapat ini dapat
dipandang ekstrem, apabila menyadari bahwa perilaku keagamaan sesungguhnya adalah
perilaku yang terdapat pada kenyataan, baik pada individu dan masyarakat, maupun dalam
kebudayaan. Kalau ia adalah kenyataan, maka niscaya ia dapat didekati melalui masing-
masing ilmu, seperti psikologi, sosiologi atau antropologi. Kalau pendekatan disipliner itu
kurang memadai, maka pendekatan antar disiplin dapat digunakan, yaitu pendekatan studi
integral atas manusia sebagai makhluk sosial dalam kebudayaannya.

Kalau memang tujuan dari sebuah penelitian adalah untuk mencari sebuah kebenaran,
maka yang menjadi persoalan adalah jika yang menjadi obyek penelitian itu adalah agama,
bukankah agama sendiri adalah kebenaran. Pernyataan tersebut sah-sah saja, tetapi
masalahnya tidak semudah itu. Ketika Imam Bukhari mengumpulkan dan menentukan
tingkat keabsahan hadis, ia sebenarnya telah memulai tradisi penelitian, yaitu dengan
menentukan mata rantai isnad, melacak sejarah tentang situasi sosial yang dialami oleh
pembawa hadis, menemukan kesesuaian hadis tersebut dengan al-Qur’an. Begitu pun yang
dilakukan oleh Imam Syafi’i, ia tidak sekedar menentukan hukum sesuatu, tetapi terlebih
dahulu memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum itu. Jadi,
sebenarnya penelitian dan pencarian metode penelitian telah menjadi bagian dari tradisi
Islam. Maka dari itu, pada tahap yang paling awal memang harus disadari benar bahwa
penelitian agama sebagai suatu usaha akademis yang berarti menjadikan agama sebagai
sasaran penelitian. Secara metodologis agama haruslah dijadikan sebagai suatu fenomena
yang riil, betapa pun mungkin terasa agama itu sangat abstrak.

4
Dari sudut pandang di atas, maka barangkali dapat dirumuskan 5 (lima) kategori
agama sebagai fenomena yang menjadi subject matter penelitian, yaitu:

1. Teks (Scripture) Sebagai Sumber Ajaran Agama

Penelitian terhadap al-Qur’an bukan bermaksud mempertanyakan kebenaran al-Quran


sebagai wahyu ilahiyah, tetapi dengan mengkaji al-Qur’an diharapkan akan melahirkan
sejumlah bidang keilmuan. Kajian itu meliputi proses turunnya al- Qur’an, termasuk
faktor sosiologis dan kultural masyarakat pada saat al-Qur’an diturunkan. Kajian ini
melibatkan ilmu antropologi, sosiologi, sejarah, dan lainnya.

Menurut Syafii Maarif, al-Qur'an memegang posisi utama dalam studi keislaman.
Fungsinya secara garis besar terbagi dua, yaitu sebagai sumber inspirasi dan dorongan
berpikir kreatif, dan sebagai furqan (permisah antara sesuatu yang haq dan yang bathil).
Al-Qur'an menurutnya mengandung dua macam realitas, yakni realitas yang dapat
didekati secara empiris (lewat eksperimen dan observasi), dan realitas yang berada di luar
jangkauan indra manusia, karena bersifat metafisik. Maka, untuk realitas yang kedua ini,
pendekatan yang digunakan adalah keimanan. Berangkat dari dua realitas dan
dihubungkan dengan kehidupan modern, maka ilmuilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi dan sejarah mempunyai peran yang sangat signifikan untuk memahami
doktrin-doktrin al-Qur'an.
Demikian halnya dengan penelitian terhadap hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis yang
tersebar dalam berbagai kitab hadis| memerlukan penelitian yang sangat serius terhadap
sanad dan matannya untuk membuktikan bahwa riwayat itu betul- betul berasal dari Nabi.
Kajian terhadap riwayat-riwayat tersebut membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin
ilmu, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu yang lain. Dengan demikian,
al-Quran dan hadis tidak lagi hanya dipahami sebagai dogma ilahiyah-nabawiyah semata,
tapi dapat dijadikan sebagai sumber teori yang dapat menginspirasi dan mendorong
umatnya untuk berpikir kreatif.

2. Agama Sebagai Sebuah Produk Pemikiran (Thought)

Pada kategori kedua ini, agama tampak sebagai sebuah konsep pemikiran yang lahir
dari kultur yang diakibatkan oleh dinamika pemikiran umatnya. Agama tampak sebagai

5
sebuah hasil pemikiran atau pemahaman seseorang atau kelompok terhadap teks-teks
keagamaan, teks-teks yang menjadi sumber utama ajaran-ajaran agama.
Agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan
Tuhan melelalui para rasul-Nya kepada umat manusia. Ajaran dasar yang demikian
terdapat dalam kitab-kitab suci agama. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci
itu memerlukan penjelasan tentang arti (makna) dan cara pelaksanaannya. Ajaran dasar
agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak
berubah dan tidak dapat diubah. Kedua, Penjelasan-penjelasan pemuka atau pakar agama
membentuk ajaran agama. Penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena
hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran manusia, tidak bersifat absolut, tidak
mutlak benar dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi,
berubah dan dapat diubah sesuai dengan tuntutan perkembangan ruang dan waktu.

3. Agama Sebagai Produk Interaksi Sosial (Social Interaction)

Menurut Mattulada, perilaku keagamaan sesungguhnya adalah perilaku yang terdapat


pada kenyataan, baik pada individu dan masyarakat, maupun dalam kebudayaan, dan
kalau ia adalah kenyataan, maka niscaya ia dapat didekati melalui masing-masing ilmu,
seperti psikologi, sosiologi atau antropologi. Kalau pendekatan disipliner itu kurang
memadai, maka pendekatan antar disiplin dapat digunakan, yaitu pendekatan studi
integral atas manusia sebagai makhluk sosial dalam kebudayaannya.

Hal yang mendorong adanya penelitian agama khususnya di Indonesia ialah adanya
kesadaran umum yang kuat, bahwa kenyataan sosial dan kultural bangsa Indonesia adalah
kenyataan yang bersifat religius. Agama dan masyarakat itu ada dan saling pengaruh-
mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan
selanjutnya pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama.
Pengaruh timbal-balik antara keduanya merupakan kenyataan sosial-budaya yang menjadi
tantangan untuk dipahami seluas dan sedalam mungkin.

4. Agama Dalam Bentuk Institusi-institusi Keagamaan

Kata seorang ahli, agama adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif.
Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup

6
yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan
berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Jadi meskipun bermula sebagai
suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda
dengan komunitas kognitif lainnya. Sebagai suatu masyarakat, komunitas ini pun
mempunyai tatanan struktural dan tidak pula terlepas dari dinamika sejarah.
Bagaimanakah corak dan bentuk tatanan itu?, apakah sistem pelapisan sosial?, ataujika
penilaian doktrin akan diberikan, sejauh manakah tatanan tersebut merupakan pantulan
dari keharusan doktrin agama?. Tidaklah terlalu sukar untuk membayangkan bahwa corak
penelitian atau kajian dalam kategori ini didiami oleh disiplin-disiplin ilmu.

5. Agama Dalam Bentuknya Sebagai Simbol-Simbol keagamaan (Tools/Merchandise)

Penelitian terhadap peralatan agama tergantung pada alat apa yang diteliti. Misalnya
saja, orang akan meneliti tentang sejarah ka’bah, kapan didirikan, siapa yang
membangun, bagaimana bentuknya dan seterusnya. Demikian pula alat-alat agama lain
yang dapat dijadikan sasaran penelitian, maka yang perlu dilakukan adalah apakah alat-
alat tersebut betul-betul alat agama atau tidak, karena ada yang hanya dianggap sebagai
alat agama, tetapi sebenarnya bukan alat agama, seperti peci. Misalnya, di daerah tertentu
menganggap peci sebagai ”tanda” atau ”simbol” orang Islam dan bahkan ada yang
menganggap sebagai pelengkap sahnya shalat. Tetapi pada waktu tertentu peci digunakan
untuk pengambilan sumpah pejabat dan bahkan di daerah lain peci sebagai ”simbol”
kebangsaan daripada simbol keagamaan. Atho’ Mudzhar mengatakan, kenapa begitu?
Ada pendapat dalam ilmu sosiologi, suatu benda dianggap suci (sakral) karena orang
menganggapnya demikian, tetapi benda yang sama mungkin saja tidak menjadi suci
(profane) apabila orang tidak menganggapnya suci.

Dalam komunitas Islam juga terjadi hal yang sama. Tetapi, dalam konsep Islam,
sebenarnya tidak ada hal-hal, sesuatu, atau benda yang dianggap sakral atau suci,
misalnya Hajar Aswad, Umar bin Khattab pernah berkata di depan hajar aswad”Kalau
saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah
batu, sama dengan batu-batu yang lain”. Maka, nilai Hajar Aswad bagi seorang muslim,
terletak pada kepercayaan orang tersebut mengenai nilai-nilai yang ada di dalamnya dan
bukan sakral.

7
C. Kerangka Teori (Konseptual) Penelitian Agama

Sebagai usaha akademis, penelitian agama mensyaratkan obyek, metode dan sistematika yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena itu konsep penelitian agama tidak
bermaksud untuk menemukan agama baru atau agama yang benar, karena itu bukan tugas
metodologi penelitian agama, melainkan filsafat agama. Jadi, penelitian agama adalah
pengkajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial
maupun perilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata
lain, penelitian agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keberagamaan12,
yang menurut Jalaluddin Rakhmat, ajaran tersebut adalah teks (lisan atau tulisan) sakral yang
menjadi rujukan, sedangkan keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau
tidak langsung kepada nash.

1. Penelitian Agama (Research on Religion) dan Penelitian Keagamaan (Religious


Research)

Mengenai perbedaan penggunaan istilah penelitian agama dan penelitian keagamaan,


menurut Atho’ Mudzhar sampai sekarang masih belum diberi batas yang tegas.
Penggunaan istilah penelitian agama sering juga dimaksudkan mencakup pengertian
istilah penelitian keagamaan dan juga sebaliknya. Salah satu contoh yang dikatakan Atho’
Mudzhar bahwa pernyataan Mukti Ali (Menteri Agama) ketika membuka Program
Latihan Penelitian Agama (PLPA), menggunakan kedua istilah tersebut dengan
pengertian yang sama.
Sebagian peneliti berpendapat bahwa penelitian agama dan penelitian keagamaan
adalah dua hal yang berbeda. Penelitian agama (research on religion) adalah penelitian
yang obyeknya adalah sumber agama sebagai doktrin, yang dalam hal ini yaitu al-Qur'an
dan hadist. Dalam hal ini, obyek penelitianlah yang menjadi penentu metode suatu
penelitian, bukan sebaliknya. Sedangkan penelitian keagamaan (religious research) adalah
penelitian yang obyeknya tidak langsung mengenai doktrin agama, tapi menitik beratkan
pada agama sebagai sistem keagamaan dan nilai-nilai yang dilingkupinya dan gejala-
gejala yang terjadi seperti nilai kemanusiaan, kerukunan, interaksi sosial dan seterusnya.

2. Scientific Cum Doctriner

8
Dengan makin berkembangnya ilmu eksakta, maka perhatian terhadap kenyataan
yang serba kongkrit makin berkembang. Ilmu sosial pun mengarahkkan perhatiannnya
kepada kenyataan social, bahkan ilmu agama pun terkena pengaruh perkembangannya.
Orang beragama semakin menaruh perhatian terhadap pengalaman langsung umatnya.
Lalu timbul pertanyaan apakah agama pada umumnya tidak memerlukan suatu dasar
empirik?.

Penelitian agama menyangkut umat beragama yang hidup di tengah-tengah dunia.


Mereka sebagai hamba Allah yang berusaha mengembangkan hubungannya dengan
Tuhan di tengah-tengah pergaulan dengan sesama manusia di dunia. Penelitian agama
berhubungan dengan ungkapan umat manusia sebagai hamba Allah yang menjalankan
pesan-pesan agamanya sebagai anggota masyarakat di tengah-tengah dunia ini. Dengan
ini maka penelitian agama berpijak pada situasi kongkrit dan empirik dan pada
pengalaman umat yang nyata. Di pihak lain, situasi kongkrit itu juga menjadi obyek
penelitian ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian timbul pertanyaan: apakah penelitian
agama akan meminjam hasil pengamatan dan penelitian ilmu-ilmu sosial?, atau penelitian
agama seharusnya mempunyai alat- alatnya sendiri untuk menghadapi dan meneliti situasi
kongkrit itu?.

Di kalangan para ahli tampaknya ada dua kecenderungan pola berpikir yang
berkembang. Pertama, mereka yang menganggap perlu dibangun suatu metode penelitian
agama yang khas, yang berbeda dengan metode dalam penelitian- penelitian ilmiah,
metode ini disebut metode sui generic. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa dalam
penelitian agama tidak perlu membangun metode baru, para ahli bisa melakukan
penelitian dengan cara memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan serta metode dari
berbagai disiplin (interdisipliner atau multidisipliner), khususnya dari dua disiplin
terdekat, yakni ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya. Metode yang kedua ini disebut
metode saintifik.

Satu metode saja tidak bisa dipilih untuk mempelajari Islam, karena islam bukan
agama yang mono-dimensi. Islam bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi
mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan manusia dan Tuhan. Untuk mempelejari
ini metode filosofis harus dipergunakan, karena hubungan manusia dengan Tuhan di
dalam filsafat. Dimensi yang lain dari agama adalah masalah kehidupan manusia di bumi
ini. Untuk mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini

9
dipergunakan dalam ilmu manusia. Lalu islam juga merupakan agama yang membentuk
suatu masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari dimensi ini maka metode sejarah
dan sosiologi harus dipergunakan.

Jelasnya, mengkaji Islam dengan segala aspek tidaklah cukup dengan metode ilmiah
saja, yaitu metode filosofis, ilmu-ilmu manusia, historis, sosiologis saja. Demikian juga
memahami Islam dengan segala aspeknya itu tidak bisa hanya secara doktriner saja.
Pendekatan ilmiah dan doktriner harus digunakan secara bersama-sama, pendekatan
ilmiah-cum-doktriner harus dipergunakan, pendekatan scientific-cum-suigeneris harus
diterapkan. Inilah yang oleh Mukti Ali disebut dengan metode scientific cum doctriner.

3. Normativitas dan Historisitas Islam

Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan manusia dapat


dilihat dari berbegai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan
semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu, tetapi ia juga dapat dilihat dari
sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang atau
kelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model
amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-
hari.

Pendekatan normatif dan historis tidak selamanya seirama, hubungan keduanya


seringkali diwarnai ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan
normatif lantaran berangkat dari teks (kitab suci) yang bercorak literalis, tekstualis dan
skriptualis tidak sepenuhnya menyetujui alternasi pemahaman yang dikemukakan oleh
pendekatan historis. Yang menurutnya bersifat reduksionis, yakni pemahaman keagamaan
yang hanya terbatas pada aspek eksternal-lahiriah dari keberagamaan manusia dan kurang
begitu memahami, menyelami dan menyentuh aspek batiniah-eksoteris serta makna
terdalam dan moralitas yang dikandung oleh ajaran agama itu sendiri. Sedang pendekatan
historis yang lebih bersifat historis menuduh corak pendekatan normatif sebagai jenis
pendekatan dan pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat absolutis, lantaran
cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis, tanpa berusaha memahami lebih
dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagaamaan yang ada.
Pendekatan historis ingin menggarisbawahi pentingnya telaah yang mendalam tentang
asbab al-nuzul, baik yang bersifat cultural, psikologis maupun sosiologis.

10
D. Pendekatan-Pendekatan Dalam Penelitian Agama

Berikut adalah pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam sebuah penelitian


agama atau keagamaan:

1. Pendekatan Sejarah

Penggunaan sejarah sebagai sebuah pendekatan atau pisau analisis dalam studi Islam
adalah mencoba sekuat tenaga memahami sejumlah peristiwa yang terkait dengan Islam
(baik yang menyangkut ajaran maupun realitas empiris sehari- hari) pada masa lalu, apa
yang terjadi pada masa sekarang, hubungan antara keduanya, yang kemudian semua itu
digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh umat
Islam saat ini maupun yang akan datang.

Karakteristik sejarah sebagai pendekatan adalah sebagai sebuah kerangka metodologi


di dalam pengkajian atas suatu masalah, sesungguhnya dimaksudkan untuk meneropong
segala sesuatu masalah itu dalam kelampauannya. Akan tetapi karena gejala historis itu
sangat komplek, maka setiap penggambaran atau deskripsinya hendaklah mencerminkan
sesuatu proses yang diungkapkan berdasarkan fakta-fakta tentang apa, siapa, kapan,
dimana dan mengapa peristiwa terjadi. Apabila penggambaran itu bermaksud menulis
sejarah naratif, maka pembuatan kisah sejarah memakai seleksi berdasarkan common
sense dan tidak membutuhkan teori atau konsep-konsep ilmu lain. Sebaliknya,
penggambaran yang bersifat analitis menuntut alat-alat analisis sejak awal penulisannya,
atau cara penyusunan ceritanya berpusat pada masalah (problem-oriented).

2. Pendekatan Sosiologi

Sosiologi adalah suatu ilmu atau cabang ilmu yang mempergunakan observasi,
eksperimentasi dan komparasi sebagai metode untuk memahami realitas. Pada mulanya
pemikiran orang bertitik tolak dari kepercayaan akan adanya Tuhan. Tetapi kemudian
orang akan menyelidiki realitas dari berbagai jenisnya dan mulai pula menyelidiki secara
rasional asal-usul kejadian. Tetapi akhirnya orang akan berkesimpulan bahwa yang nyata
hanyalah yang dapat diselidiki secara empiris, di luar itu adalah sesuatu hal yang
mustahil.

Penelitian Agama dengan pendekatan sosiologi dapat mengambil beberapa tema:

11
a. Penelitian tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau tepatnya pengaruh
agama terhadap perubahan masyarakat.
b. Penelitian tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap
pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan.
c. Penelitian tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat.
d. Penelitian tentang pola interaksi sosial masyarakat.
e. Penelitian tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat
melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama.

3. Pendekatan Sejarah Sosial

Dalam perkembangannya berikutnya, sebagai kombinasi dari pendekatan sejarah dan


pendekatan sosiologi, muncul sebuah pendekatan baru yang disebut pendekatan sejarah
sosial, yaitu melihat sesuatu secara totalitas dengan mengupas tuntas struktur sosial,
mobilitas sosial, dan hubungan sosial di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks studi
Islam maka sejarah sosial adalah mengkaji Islam dengan memperhatikan social, budaya,
politik, dan ekonomi yang mempengaruhi lahir dan berkembangnya pemikiran Islam.

4. Pendekatan Antropologi

Antropologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan sosial, memusatkan kajiannya


pada manusia yang distigmakan sebagai makhluk berbudaya. Kebudayaan manusia
meliputi pelbagai aspek dari kehidupan manusia itu sendiri. Agama sebagai sasaran kajian
antropologi bukan mengarah kepada wahyu sebagai sumber agama, akan tetapi agama
dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain antropologi ingin
memperoleh penjelasan dari pertanyaan bagaimana agama dapat dianggap sebagai
pedoman dan pengarah bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku dalam menghadapi
hidup dan kehidupan.

5. Pendekatan Psikologi

Penelitian agama dengan pendekatan psikologi adalah penelitian terhadap peristiwa


atau pengalaman kejiwaan individu yang terkait dengan rasa agama atau keagamaannya
(religiousity). Rasa agama merupakan kristal nilai agama (religious conscience) dalam

12
diri yang terdalam dari seseorang yang merupakan produk dari internalisasi nilai-nilai
agama yang dirancang oleh lingkungannya. Sebagai sebuah kristal, nilai rasa agama
sangat berpengaruh terhadap bentuk persepsi, sikap, serta perilaku individu, baik dalam
bentuk yang dapat dikategorikan sebagai sikap dan perilaku religius maupun yang bukan
religius. Proses perkembangan rasa agama sangat kompleks. Seseorang tidak mudah
memahami bagaimana rasa agamanya hadir dalam dirinya. Demikian juga hubungan
pengaruh dari rasa agama terhadap perilaku seseorang. Seseorang mungkin tidak faham
mengapa ada orang yang religius tapi berperilaku tidak religius.
Agama adalah pengalaman batin daris seseorang ketika ia merasakan adanya Tuhan,
khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia
secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan. Dari sini, psikologi
kemudian berusaha menelaah tentang kondisi pengalaman batin tersebut dari berbagai
sudut dan aspek.

6. Pendekatan Filologi

Filologi secara harfiah berarti bercinta kepada pembicaraan atau kata-kata. Kata-kata
dipertimbangkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya, dicari variasinya
dan sebagainya sehingga jelas bentuk dan artinya. Pengertian filologi ini kemudian
berkembang, filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya,
tetapi juga ilmu yang menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah.
Obyeknya tetap sama yaitu naskah.
Pekerjaan utama filologi ialah mendapatkan kembali naskah dari kesalahan, yang
berarti memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa
dipertanggungjawabkan, sehingga dapat diketahui naskah yang dekat pada aslinya, karena
naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya, sehingga perlu
dibersihkan dari tambahan yang diterapkan dalam zaman kemudian yang dilakukan waktu
penyalinan. Hal ini penting, supaya isi naskah tidak diinterpretasikan secara salah.
Dari uraian beberapa pendekatan di atas, sudah jelas bahwa agama bisa diteliti dengan
berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran
sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah penelitian
agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistis atau penelitian filosofis. Penelitian
agama disebut penelitian agama bukan karena metodenya, tetapi karena bidang kajiannya.

13
Selain pendekatan-pendekatan di atas, masih banyak lagi model pendekatan yang bisa
dipergunakan dalam penelitian agama, seperti: pendekatan dari ilmu agama (seperti yang
ditawarkan oleh W.B. Sidjabat), pendekatan arkeologi (seperti ide Hasan Muarif Ambary)
dan sebagainya.

7. Pendekatan Fenomenologi

Fenomenologi pada dasarnya merupakan kritik terhadap ilmu-ilmu lama yang


dianggap kaku. Dalam pendekatan fenomenologi Islam tidak lagi dipahami hanya dalam
pengertian historis dan doktriner saja, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks.
Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal, melainkan telah menjadi sebuah
sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan
dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek,
karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Dengan demikian, studi
Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya studi Islam
telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut
dengan general pattern dan particular pattern. General pattern adalah sesuatu yang pasti
ada pada setiap agama, di luar kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks
suci, leadership, histori serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan
fundamental structure dari agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam
mengkaji hal tersebut.
Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular
pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya dalam hal
kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang konsep pada
trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen mempunyai
kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini lebih banyak peneliti yang bersifat
subyektif karena berhubungan langsung dengan keyakinan dirinya.
Jadi pendekatan fenomenologi dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan
untuk melahirkan satu disiplin tersendiri yang bersifat obyektif dalam kajian agama yang
disertai dengan metodologi tersendiri pula. Mudahnya, pendekatan fenomenologi adalah
pendekatan yang mencoba menggabungkan sifat obyektif dan subjektif yang ada dalam
diri setiap pengkaji agama.

14
Terdapat dua hal penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi,
karakteristik pertama, pentingnya netralitas. Artinya studi agama dengan pendekatan
fenomenologi lebih menekankan upaya pemahaman seorang pengkaji agama terhadap
agama yang dianut orang lain. Dengan demikian, seorang pengkaji diharapkan untuk
sementara mengesampingkan pemahaman dan komitmen terhadap agama yang dianut,
dan pada waktu yang sama mencoba mendekati agama orang lain berdasarkan
pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Karakteristik kedua adalah
kontruksi skema taxonomi dalam mengklasifikasi fenomena menembus batas-batas
komunitas agama, budaya, dan bahkan kategorisasi- kategorisasi peristiwa sejarah
(epoch).
Dalam kenyatannya, pedekataan fenomenologi ini tidak dapat berdiri sendiri, akan
tetapi membutuhkan bantuan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti: kalam,
antropologi, hermeneutic, sosiologi, histori, dan yang lain.

E. Problem Penelitian Agama

Problem Agama dan Budaya

Budaya menurut koenjaraningrat adalah keseluruhan system gagasan tindakan dan


hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia
dengan belajar. Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan
teks (kitab) yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan
oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang
objektif. Faktor kondisi objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda
walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Hal pokok bagi semua agama adalah
bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti
mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni
bangunan, struktur masyarakat dan adat istiadat.

Problem Insider dan Outsider

Problem outsider dan insider juga menjadi bahasa akademik dalam studi agama. Siapa
yang paling kompeten untuk bicara mengenai Islam, sarjana muslim sendiri (insider) atau
sarjana Barat dan para orientalis (outsider)? Menjawab persoalan ini, Muhammad Abdul Rauf
mencoba membangun jembatan penghubung antara pengkaji Islam dari Barat dan dari
kalangan Muslim sendiri. Rauf memberikan catatan bahwa banyak prasangka dan bahaya

15
dalam studi Islam yang dilakukan oleh Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang
didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada
supremasi budaya (cultural supremacy).

Berbeda dengan Rauf, Fazlur Rahman ingin menjelaskan maksud pendirian Abdul
Rauf secara lebih tepat. Rahman berpendapat bahwa laporan outsider tentang pernyataan
insider mengenai pengalaman agamanya sendiri bisa sebenar laporan insider sendiri. Yang
paling penting adalah kejujuran akademis dalam memahami Islam. Namun harus dicatat pula
bahwa kajian Islam dari para outsider menyumbangkan gagasan-gagasan besar ilmiah yang
memicu gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam lahir berkat
kajian-kajian para outsider. Dengan cara berfikir kritis, intelektual Muslim mengetahui
problem yang sedang diderita sembari mengusulkan pelbagai pemecahan yang harus
dilakukan.

F. Desain Penelitian Agama

Sebagaimana gambaran sebelumnya, bahwa agama dapat dipandang dari gejala


budaya dan gejala sosial, maka desain penelitian agama dapat dibedakan menjadi dua jenis
pengamatan tersebut.

a. Desain Penelitian Agama Sebagai Gejala Budaya


  Pada umumnya lebih sederhana, karena penelitian agama-budaya sifatnya unik dan
tidak memerlukan pembuktian keterulangan gejala di tempat lain. Sebuah penelitian
sejarah tentang Bani Umayyah misalnya, diperlukan desain mengenai kejelasan
pembahasan topik yang diteliti. Untuk membahas sebuah topik penelitian agama seperti
ini, sedikitnya ada empat hal yang harus diperhatikan dan diperjelas.

b. Desain Penelitian Agama Sebagai Gejala Sosial


Pokok persoalannya yang dihadapi pada hakikatnya sedikit lebih kompleks dan
diperlukan sistematika yang lebih tinggi dibanding pada saat penelitian agama sebagai
gejala budaya. Desain ini memang membutuhkan penjabaran yang lebih elaboratif dalam
menjelaskan sebuah keterulangan yang diamati sebelum sampai pada akhir kesimpulan.

Melalui uraian tersebut, ada empat hal yang perlu digaris bawahi dalam satu desain
penelitian. Pertama, rumusan masalahnya, termasuk di dalamnya operasionalisasi konsep dari

16
masalah yang disebut dalam judul. Kedua, signifikansi atau pentingnya penelitian. Ketiga,
bagaimana cara melakukan pengumpulan dan mengalisis data. Keempat, studi pustaka, yang
berguna untuk mengetahui studi apa saja yang pernah dilakukan yang berbicara mengenai
pandangan ulama mengenai KB. Begitu juga, studi-studi mengenai alat kontrasepsi yang lain
sudah dilakukan orang. Semua itu, untuk mengetes apakah masih terdapat pengulangan atau
tidak. Dengan demikian, peneliti membandingkan dengan penelitian terdahulu apa mungkin
akan terjadi terulang kembali.

G. Ilmu Sosial dan Ilmu Agama

Relasi Ilmu Sosial dengan Al-Qur’an dalam Persfektif Epistemologis

Pada ilmu-ilmu pengetahuan yang cara produksinya memerlukan interpretasi, lebih


terbuka lebar untuk berdialog misalnya tafsir alQur‟an dan hermeneutika. Tafsir al-Qur‟an
adalah upaya penafsir untuk menjelaskan pesan Ilahi yang terdapat dalam ayat-ayat al-
Qur‟an dengan target pencarian makna sedekat mungkin dengan maksud Allah dan sebatas
kemampuan manusia. Proses penafsirannya melibatkan pertimbangan-pertimbangan
kebahasaan, latar belakang turunnya ayat atau konteks turunnya ayat, hubungan makna ayat
yang ditafsirkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau dengan ayat-ayat lain yang
mempunyai akar atau makna yang mirip, hadis Nabi, penafsir atau pembaca, dan aspek-aspek
lain yang dipandang dapat memberi tambahan input yang dapat membantu menjelaskan ayat
yang ditafsirkan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut juga digunakan dalam analisa
hermeneutika. Dalam proses tafsir al-Qur‟an terdapat dua tahap penafsiran. Tahap pertama,
penafsiran objektif dan kedua penafsiran subjektif.

Penafsiran yang mencari signifikansi dan relevansi ayat yang dibahas dengan konteks
kekinian. Hermeneutika mengembangkan perangkat untuk mencari keduanya dan khususnya
proses tafsir tahap kedua. Kritik terhadap karya-karya tafsir sebagai karya yang bersifat
dokumentasi repetitif, dapat dijawab dengan memanfaatkan pertimbangan hermeneutika
sehingga proses penafsiran al-Qur‟an tidak hanya berhenti pada pencarian apa sebenarnya
pesan Ilahi yang terkandung dalam suatu ayat, tapi juga berlanjut pada upaya penyadaran dan
perubahan sosial. Dalam hal ini upaya membumikan al-Qur‟an dapat lahir dengan nuansa
dan ghirah yang lebih segar dan mencerahkan. Teori-teori sosiologi, antropologi, dan
psikologi dimanfaatkan untuk mengungkap isyarat-isyarat al-Qur‟an berkaitan dengan
disiplin-disiplin tersebut. Dengan demikian isyarat-isyarat alQur‟an mendapat masukan

17
empirik historis dari disiplin lain, sehingga memudahkan dalam proses penerimaan,
penyerapan, bahkan dapat mempengaruhi pembacanya.

Dalam hal ini pembaca dihadapkan pada penjelasan di mana perasaan, akal, dan
kepentingannya disentuh dan disediakan oleh produk tafsir dalam bentuk pesan realistik
tanpa meninggalkan pesan ideal normatifnya. Maka suatu teori dalam disiplin ilmu
keagamaan dapat diperbaiki dengan bantuan disiplin lain, begitu juga sebaliknya, satu teori
ilmu umum dapat diperbaiki oleh suatu teori ilmu agama. Nampaknya rumusan tersebut,
masih terbatas pada teori umumnya saja yang belum dijelaskan secara detail sistematika
metodologinya dan juga aplikasinya.

Menurut Kuntowijoyo, berbicara kontekstualisasi interpretasi teks al-Qur‟an terkait


ilmu sosial diperlukan beberapa langkah. Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran sosial
struktural daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan tertentu dalam al-
Qur‟an, agar dapat menemukan akar masalahnya yang paling esensial. Misal ketika ayat al-
Qur‟an melarang hidup berlebih-lebihan, maka dalam penafsiran individual muncullah
kutukan terhadap orang-orang yang suka hidup berpoya-poya dan banyak deposito di Bank.
Padahal yang paling esensial adalah mencari sebab struktural, kenapa gejala hidup mewah
muncul dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi. Dengan upaya ini, penafsiran
terhadap gejala hidup mewah harus lebih dikembangkan pada perspektif sosial, dan
perspektif struktural.

Kedua, mengubah cara berfikir subjektif ke cara berfikir objektif, agar Islam dapat
tersuguhkan dalam cita-cita objektif, misal tujuan zakat dalam ayat al-Qur‟an diarahkan
untuk pembersihan harta dan jiwa. Tapi sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat pada intinya
adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi
teoritis, sehingga disiplin ilmu dapat dikembangkan secara orisinil menurut konsep al-
Qur‟an. Keempat, mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis. Misal cerita
tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fira‟un sering hanya dipahami pada konteks
zaman itu, padahal kaum yang tertindas selalu ada pada setiap zaman. Kelima, merumuskan
formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Misal QS.
al-Hashr [59]: 28 yang mengemukakan bahwa Allah mengecam orang yang melakukan
sirkulasi harta pada kalangan tertentu saja. Hal ini dapat diterjemahkan ke dalam realitas
sekarang, bahwa Allah mengecam monopoli dan oligopoli. Dengan pemahaman seperti itu,

18
akan menjadikan Islam selalu menjadi kontekstual, sehingga ia dapat menumbuhkan
kesadaran mengenai realitas sosial.

Pendekatan Metodologis Sosial dalam Islam

1. Pendekatan Positifistik
Istilah pendekatan positifistik (positivist Approach) sudah jamak bagi banyak
kalangan, yaitu sebagai pendekatan yang semula digunakan dalam ilmu alam. Kemudian
oleh sebagian ilmuan sosial diterapkan dalam ilmu sosial. Tokohnya adalah ilmuan
Perancis Aguste Comic (1758-1857) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Aguste Comte seringkali dianggap sebagai bapak sosiologi. Ia mengusulkan
pemikiran bahwa masyarakat mengalami perkembangan dalam tiga tahap: Teologis
(didominasi oleh agama), metafisik (didominasi oleh spekulasi abstrak), dan positifistik
(didominasi oleh ilmu pengetahuan). Lebih lanjut Comte mengusulkan Hirarki ilmu
pengetahuan dengan menempatkan ilmu sosial pada tingkat tertinggi dengan tugas
perdana merumuskan hukum perubahan sosial dan mengatur masyarakat berdasarkan
hasil observasi dan eksperimen saintifik.1 Namun demikian, walaupun Comte memulai
karya akademiknya sebagai seorang penggagas positifisme yang menekankan ilmu
pengetahuan di atas agama, namun pada akhir hayatnya ia menoleh pada sebuah agama
Humanily untuk mendukung peran ilmuan sosial dalam mengarahkan masalah sosial dan
merumuskan tujuan yang tepat bagi masyarakat.
Setelah Comte hadirlah Emile Durkheim dengan mengajukan pemikiran bahwa
sosilogi seharusnya membangun modelnya sendiri sebagaimana ilmu alam. Karena pada
dasarnya pengetahuan manusia Yang dimaksud fakta sosial sebagaimana rumusan Carlo
adalah tindakan pikiran, dan perasaan, aspek eksternal dari individu (misalnya dari
masyarakat). Menurut Dukheim fakta sosial dapat dilihat dalam masyakarat sebagai pola
sosial atau keajegan; misalnya tingkat perkawinan atau tingkat bunuh diri. Ciri yang
menonjol dari pendekatan positifistik adalah ketergantungannya pada penyajian angka-
angka sehingga tak cukup untuk memahami realitas yang mereka refleksikan. Sebagian
pengkritik mengklaim bahwa peneliti positives terlalu mengedepankan jumlah dan alat
yang digunakan untuk memproses fakta sehingga bergeser dari tujuan untuk memahami
tingkah laku masyarakat. Namun demikian, tidaklah demikian berlebihan bila ada satu
pendapat bahwa pendekatan positifistik merupakan pendekatan penting dalam ilmu
pengetahuan. Dalam hubungan ini ilmu pengetahuan dirumuskan sebagai sebuah metode
analisis fenomena yang obyektif, logis, sistematik, alat membangun pengetahuan yang

19
dapat dipercaya, pengetahuan yang dipercaya adalah dapat dilakukan pembuktian secara
obyektif dan empirik. Pendekatan obyektif dirancang untuk meminimalkan bias,
impersonal, dan mencari otoritasnya dalam fakta, bukan pada opini. Pendekatan Logis
menggunakan runtut berfikir deduktif, dan pendekatan sistematis secara konsisten
mengorganisir dan menggunakan teknik analisis statistik. Akhirnya pengetahuan yang
dipercaya (reliable Knowledge) merujuk pada pengetahuan di mana orang dapat
menghitung dan memprediksi solusi yang akurat.
2. Pendekatan Interpretatif
Ilmuwan Jerman Max Weber (1864-1920), secara khusus memiliki andil dalam
perkembangan pendekatan metodologis yang memberikan penekanan pada pentingnya
interprestasi tentang individu dalam memahami masyarakat. Dia memberi penekanan
pada pemahaman tingkah laku yang empatik, yaitu berusaha memahami bagaimana
individu itu merasakan, apa motivasi individu, apa makna yang dimiliki individu dalam
kejadian tertentu?.
Pendekatan interpretatif memandang masyarakat selalu berada dalam proses menjadi;
mereka dipengaruhi apa yang mereka lihat, visi masyarakat dan penilaian masyarakat
lainnya. Ini mengandung arti bahwa pendekatan interpretatif menekankan sejauh mana
individu dibentuk oleh institusi dalam masyarakat. Dengan demikian, pendekatan
interpretatif menguji bagaimana memahami kehidupan masyarakat, dan bagaimana
pemahaman itu sendiri mengembangkan interaksinya dengan fenomena lainnya. Karena
itu, isu yang menarik dalam pendekatan ini adalah bagaimana memahami tingkah laku
individu, dan bagaimana perubahan sistem nilai yang dianut mempengaruhi pola
kehidupan masyarakat.
Menurut pandangan interpretatif, posisi sistem nilai masyarakat itu bersifat relatif,
berbeda dari masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dan fungsi nilai itu tergantung
pada sejauh mana nilai itu disosialisasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendekatan interpretatif pada prinsipnya bergantung pada studi lapangan, dengan
penekanan pada studi observasi partisipatif (paricipant observation studies) yaitu
melibatkan diri dalam satu kelompok masyarakat dan berpartisipasi dalam masyarakat itu,
dengan wawancara mendalam (in-dept interview) dengan orang, dan dengan
etnometodologi, yaitu sebuah pengujian secara detail pada setiap kasus. Setiap studi ini
secara tipikal melibatkan sejumlah kasus yang dijelaskan secara mendalam. Pertanyaan
kunci dari peneliti adalah: apakah kesimpulan yang dirumuskan dapat diterima oleh objek

20
yang diteliti?. Dan komunikasi dari hasil penelitiannya selalu menekankan pada deskripsi
verbal daripada analisis statistik.
Itulah ciri dan kelebihan dari pendekatan interpretatif, namun banyak pula kritik yang
disampaikan padanya. Di antaranya, kemungkinan subjektifitasnya sangat tinggi
dibandingkan pendekatan positifistik, sehingga validitas temuannya patut diragukan.
Kritik lainnya adalah dengan penekanannya pada studi lapangan, pendekatan interpretatif
tidak bisa membuat generalisasi yang jelas. Kita tidak bisa dengan mudah menentukan
apakah pencarian data pada sebuah kasus bersifat khusus untuk itu atau untuk yang lebih
umum penerapannya. Kesulitan itu menjadi lebih nampak ketika studi itu tidak dapat
diulang kembali pada objek lainnya. Akhirnya sampai pada pemikiran, bahwa penekanan
pada level analisis individual sulit untuk memahami pola sosial masyarakat. Kritik itu
perlu mendapat catatan walau ada satu ungkapan bahwa tidak ada teori sosial manapun
yang dapat diharapkan untuk menjelaskan semua tingkah laku masyarakat.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari pendekatan tersebut, bagaiman bila
pendekatan itu dilihat dari perspektif studi Islam? Pendekatan interpretatif dalam
menstudi Islam bisa dipahami sebagai suatu cara mendekati Islam dari sudut realitas
keberagamaannya yang dialami baik oleh individu maupun oleh kelompok penganut
agama Islam dalam rangka aplikasi ajaran dan pengembangannya dalam masyarakat,
khususnya bagaimana ajaran agama itu menjawab tantangan dan tuntutan zaman. Dengan
demikian inti pendekatan ini sifatnya partisipatif dengan logika grounded guna melihat
Islam apa adanya, bukan Islam yang seharusnya seperti yang terjadi dalam pendekatan
teologis normatif.
3. Pendekatan Kritik
Banyak madzhab yang dapat dirumuskan dalam topik-topik berikut ini, yaitu aliran
konflik (conflict school), dan sub aliran yang dikategorikan keadalam aliran tersebut,
misalnya, dialectical conflict theory dari Ralf Dahrendorf (1958), conflict fungstionalism
dari Lewis Coser (1956), exchange conflict theory dari Randall Collins (1975), dan
critical theory dari jurgen Habernas (1984). Dalam banyak hal teori feminis (feminist
theory) cocok betul dengan pendekatan kritik; walaupun secara metodologis, feminisme
mengambil inspirasinya dari pendekatan interpretatif. Pendukung pendekatan ini memberi
andil keinginan umum untuk memperbaiki kondisi humaniti. Teori klasik dalam
mengembangkan pendekatan ini adalah Karl Marx (1818-1858) dan George Simmel
(1958-1918).

21
Menurut pendekatan kritik, tingkah laku manusia terdiri dari berbagai kelompok dan
berbeda-beda yang cenderung melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang lemah,
misalnya apakah pemilik perusahaan mengeksploitasi buruh, atau laki-laki melakukan
dominasi kepada kaum perempuan. Pendekatan ini menekankan pada hubungan manusia
dicirikan oleh pertentangan kepentingan. Penganut pendekatan ini berpendapat bahwa
ilmu sosial memiliki kewajiban untuk bertindak sebagai pembela gerakan perubahan itu
dengan membuat kita peka terhadap masalah sosial. Pengetahuan ini pada gilirannya
memberdayakan penduduk, membantu mereka untuk menjadikan mereka sebagai agen
transformasi. Tujuan fundamental dari pendekatan ini adalah untuk membangun
masyarakat egaliter yang sebenarnya, yaitu masyarakat memiliki kesempatan yang sama
dalam memperoleh kesejahteraan.
Ilmu sosial kritik secara jelas mengatakan bahwa nilia-nilai tertentu adalah benar,
sedangkan yang lain adalah tidak benar. Ini mengandung pengertian, bahwa pendekatan
kritik mengambil sebuah pandangan absolut terhadap sebuah nilai. Penelitian bekerja
dalam tradisi kritik bahwa posisi pokok dari ilmu sosial memiliki kosekuensi untuk
membantu membangun orde dalam masyarakat, mengurangi ketidak adilan sosial
berdasarkan keabsolutan moral.
Desain riset yang sesuai dengan pendekatan kritik sangat banyak. Namun, sejalan
dengan kepentingan untuk memahami hubungan antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat dan untuk memahami bagaimana perubahan sosial terjadi adalah tidak
berlebihan bila ilmuan sosial kritik cenderung bekerja dengan materi sejarah dengan
memberikan perhatian khusus pada studi komparatif dan analisis data sekunder.
Kemudian, hasil riset dinilai valid mereka mengarah pada perbaikan sosial bagi kondisi
humaniti masyarakat. Karena analisis pendekatan kritik pada hakekatnya adalah alat
untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Seperti halnya pendekatan positifitik, pendekatan kritik banyak bergantung pada teori
general. Akan tetapi, peneliti positifistik memandang nilai sebagai suatu yang relatif,
sedangkan peneliti kritik mengalami kesulitan dalam memposisikan nilai dalam
masyarakat sehingga memberikan kemungkinan distorsi riset. Penganut pendekatan kritik
bersikap diskriminatif, yaitu hanya mendukung nilai-nilai yang dianut dan mengabaikan
fakta yang lainnya.
Lalu, bagaimana pendekatan kritik dilihat dari prespektif studi Islam, adakah
kesesuaian antara keduanya? Dalam hubungan ini menarik untuk melihat pertanyaan ini
dari konsep ilmu sosial prophetik yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo. Ada tiga cita-cita,

22
yaitu humanisasi, liberalisasi, dan transendensi. Yang pertama merupakan jawaban
terhadap realitas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang melahirkan
dehumanisasi dan penyembahan manusia terhadap temuannya sendiri.
Kedua, liberalisasi berarti ilmu dimaksudkan untuk membebaskan manusia, bukan
hanya sekedar ilmu untuk ilmu. Dalam pandangan Islam, fungsi pembebasan ini berkait
dengan cita ketiga, yaitu dimensi transendental dengan harapan temuan saintifik tidak
membawa serta kearah hodonisme dan materialisme seperti banyak kita saksikan dewasa
ini.
Dari ketiga cita tersebut, fungsi liberalisasilah yang searah dengan pendekatan kritik.
Namun ada perbedaan pada fungsi pembebasan yang dikehendaki dalam konsep
prophetik tersebut tidak berangkat dari konsep pertentangan kelas seperti yang
dikehendaki oleh pendekatan kritik. Islam membimbing perbedaan kelas secara
proposional dengan tuntutan moral dan norma hukum agar perbedaan ini menjadi rahmat
bagi masyarakat. Yang menjadi titik tekan fungsi pembebasan dalam Islam adalah
mengamalkan ilmu untuk kepentingan masyarakat, yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi
mungkar seperti diabadikan dalam surat Al-Imron ayat 11, bahwa umat Isla adalah
sebaik-baik umat yang ditugaskan untuk menyuruh berbuat baik, dan mencegah
perbuatan yang merugikan masyarakat.
Cita liberalisasi ini sangat populer di kalangan umat Islam. Namun, oleh karena
pendekatan kritik ini berasal dari dan banyak digunakan oleh penganut Marxis,
kepopuleran cita tersebut tidak bermakna. Menariknya kalanganan yang mengedepankan
cita ini sering dituduh sebagai penganut kiri islam, dan lebih jauh mengatakannya bahwa
Islam bukan penganut kiri. Nampaknya, pendekatan kritik bisa diterima dalam kerangka
metodologi studi Islam, bila epistemologi atau mode of thought dan mode of ingurity dari
pendekatan ini digali dari akar Islam. Seperti disebutkan di depan bahwa pada pendekata
kritik, posisi nilai yang diyakininya bersifat absolut. Maka sekarang timbul pertanyaan,
apakah sistem nilai yang dianut oleh umat Islam bersifat absolut? Jawabannya adalah ya.
Jika demikian halnya, maka bila epistimologi pendekatan kritik digali dari khazanah
Islam tentunya pendekatan kritik ini bisa diterapkan dalam studi Islam.

23
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Asyafah (2018) melaporkan sebenarnya metodologi penelitian Islam itu cukup luas, ada
metode bayāni yang berkaitan dengan Alquran, Ḥadiṡ, Fiqh, Tafsir, dan beberapa ilmu
lainnya. Ada metode burhāni yang berkaitan dengan ilmu logika, ada metode ‘irfāni yang
berkaitan dengan ilmu tasawwuf dan metode tajribi yang berkaitan dengan eksperimen.
Ada beberapa pandangan mengenai agama dalam subject matter penelitian diantarnya
ialah Teks (Scripture) sebagai sumber ajaran agama, Agama sebagai sebuah produk
pemikiran (Thought), Agama sebagai produk interaksi sosial (Social Interaction), Agama
dalam bentuk institusi-institusi keagamaan dan agama dalam bentuknya sebagai simbol-
simbol keagamaan.
Terdapat beberapa pendekatan dalam penelitian agama yaitu : pendekatan sejarah,
pendekatan sosiologi, pendekatan sejarah sosial, pendekatan antropologi, pendekatan
psikologi, pendekatan filologi, dan pendekatan fenomenologi.
Terdapat problematika dalam penelitian agama diantaranya berupa problem agam dan
budaya dan problem insider dan outsider. Terdapat dua desain penelitian agama yaitu sebagai
gejala budaya dan sebagai gejala sosial.

B. Saran

Diharapkan para pembaca dan penulis sendiri dapat mengambil banyak ilmu dari
makalah ini. Karena di dalam makalah dijelaskan dengan rinci bagaimana metodologi
penelitian agama, problematikanya serta hubungan agama dan ilmu sosial.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (ed.), (1989), Metode Penelitian Agama; Sebuah
Pengantar, cet. ke-1, Yogyakarta: Tiara Wacana. Abdullah, Amin (ed.), (2007), Re-

Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta, Yogyakarta: Suka Press.

Abdurrahman, Dudung (ed.), (2006), Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan


Multidisipliner, Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta.

Ali, Sayuti, (2002), Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Asyafah, Habas dan Hidayat, Tatang. 2018. Paradigma Islam Dalam Metodologi Penelitian
dan Implikasinya Terhadap Penelitian Pendidikan Agama Islam. Tadrib. Vol. 4 No.2.
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, h. 55

Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarak, (2009), Metodologi Studi Islam, cet. ke-11, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

Hasan Iqbal, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor : Ghalia Indonesia, 2002, Cet


Pertama, h. 31

Kahmad, Dadang, (2000), Metode Penelitian Agama Perspektif Perbandingan Agama,


Bandung: Pustaka Setia.

Machsun, Toha. 2016. Beberapa Pendekatan Metodologis Ilmu Sosial dalam Perspektif Studi
Islam. Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam. Volume 6 Nomor 1. Sekolah Tinggi Agama
Islam YPBWI : Surabaya.

Martin, Richard C., (2002), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, alih bahasa
Zakiyuddin Bhaidawy, cet. Ke-2, Surakarta, Muhammadiyah University Press.

Minhaji, Akh., (2010), Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan
Implementasi, cet. ke-1, Yogyakarta: Suka Press.

25
Mudzhar, Atho’, (1998). Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Nasution, Harun, (2001). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Edisi ke-2 cet. ke-1,
Jakarta: UI-Press.

Poerwadarminta, W.J.S., (1991). Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-13, Jakarta: Balai
Pustaka.

Razaki, Abdur, (2005), “Penelitian Dalam Perspektif Budaya”, makalah disampaikan pada
Studium General yang diselenggarakan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 14
Mei 2005.

Rosadisastra, Andi. 2014. Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama dalam Perspektif Tafsir
Al-Qur’an. Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Volume 4. No. 1. Institut Agama Islam Negeri
Sultan Maulana Hasanuddin : Banten.

Subagyo, P. Jojo, (2006). Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Sumardi, Mulyanto, (1982), Penelitian Agama; Masalah Dan Pemikiran, cet. ke-1, Jakarta:
Sinar Harapan.

Suprayogo, Imam dan Tobroni,(2003), Metodologi Penelitian Sosial Agama, cet. ke-2,
Bandung: Rosdakarya.

Tamam, Ahmad Badrut. 2016. Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Jurnal Studi Islam. Vol.
3 No. 1. Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah : Lamongan.

26

Anda mungkin juga menyukai