Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENDEKATAN-PENDEKATAN METODOLOGI STUDI ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam

Dosen pengampu : Yani Rohayani, S.PdI., M.Pd, dan Dr. H Hoerul Umam, M.Pd

Disusun Oleh :

Karina Ivanka

21030802231016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG


2023
KATA PENGANTAR

Tiada kalimat yang pantas penulis ucapkan kecuali rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas selesainya makalah yang berjudul "Beberapa Pendekatan Studi Islam". Tidak lupa pula
dukungan baik secara materil dan nonmateril yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, izinkan penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan
bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat beberapa
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.

Bandung, Oktober 2023

Penulis
i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................................................. 2
BAB II ........................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 3
A. Pendekatan Normatif ........................................................................................................................ 3
B. Pendekatan Antropologis................................................................................................................... 4
C. Pendekatan Sosiologis........................................................................................................................ 5
D. Pendekatan Teologis .......................................................................................................................... 7
E. Pendekatan Fenomologis ................................................................................................................. 11
F. Pendekatan Filosofis ......................................................................................................................... 13
G. Pendekatan Historis ...................................................................................................................... 14
H. Pendekatan Politis ......................................................................................................................... 16
I. Pendekatan Psikologis ...................................................................................................................... 17
J. Pendekatan Interdisipliner .............................................................................................................. 20
BAB III ....................................................................................................................................................... 21
PENUTUP .................................................................................................................................................. 21
A. Kesimpulan .................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi Islam merupakan bagian dari sebuah kajian keislaman dengan wilayah telaah materi
ajaran agama dan fenomena kehidupan beragama. Pendekatan yang dilakukan biasanya
melalui berbagai disiplin keilmuan, baik yang bersifat dokrtinal- normatif maupun historis-
empiris. Secara metodologis kedua pendekatan tersebut merupakan elemen yang sangat
penting dalam kajian keislaman, semisal pendekatan tentang Islam dalam konteks normatif
keagamaan yang harus dijangkau oleh kaum muslimin dengan pendekatan tentang Islam yang
merupakan lapangan kajian.
Studi Islam sudah terjadi sejak Islam itu sendiri datang di bumi di mana studi Islam itu
sendiri di lakukan. Sudah barang tentu awalnya dengan cara yang sangat sederhana, sesuai
dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti agama
Islam. Maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perembangan.
Penelitian agama tidak hanya cukup bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya
menggunakan model-model ilmu social, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang
sama sekali tidak mengerti tentang agama yang diteliti kan mengalami kesulitan karena realitas
harus dipahami berdasarkan konsep agama. Berangkat dari permasalahan tersebut,
pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama terus menerus
mendapat perhatian cukup besar dari pada intelektual agama.
Agama tidak boleh hanya sekadar menjadi lambang keshalehan atau berhenti sekadar
disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukan cara-cara yang
paling efektif dalam memecahkan masalah. Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan
rekonstruksi pemikiran kegamaan. Khususnya berkaitan dengan pendekatanpendekatan
normatif, antropologis, sosiologis, teologis, fenomenologis, filosofis, historis, politis,
psikologis dan interdispliner.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan normatif?
2. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan antropologis?
3. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis?
4. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan teologis?
5. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologis?
6. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan filosofis?
7. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan historis?

1
8. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan politis?
9. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan psikologis?
10. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan interdisipliner?

C. Tujuan
Untuk mengetahui serta memahami beberapa pendekatan studi islam, meliputi : 1.
Pendekatan normatif
2. Pendekatakan antropologis
3. Pendekatakan sosiologis
4. Pendekatakan teologis
5. Pendekatakan fenomenologis
6. Pendekatakan filosofis
7. Pendekatakan historis
8. Pendekatakan politis
9. Pendekatakan psikologis
10. Pendekatakan interdisipliner

2
BAB II
PEMBAHASAN
Kehadiran agama merupakan solusi dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
manusia. Agama tidak hanya sekedar lambang kesalehan atau berhenti sekedar konsepsional
menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama
yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak
menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang
menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban
terhadap masalah yang timbul. Agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Untuk melakukan Studi Islam ada beberapa istilah yang perlu dipahami dengan baik.
Pemahaman terhadap istilah-istilah ini akan memudahkan untuk memasuki bidang studi Islam.
Istilah-istilah tersebut adalah pendekatan, metode dan metodologi. Pendekatan adalah cara
memperlakukan sesuatu (a way of dealing with something). Sementara metode merupakan cara
mengerjakan sesuatu (a way of doing something). Secara etimologis kata metodologi diderivasi
dari kata method yang berarti “cara” dan logos yang berarti “teori” atau “ilmu”. Jadi kata
metodologi mempunyai arti suatu ilmu atau teori yang membicarakan cara.

Pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

A. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal
formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya dengan halal dan
haram, boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang
terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang
sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fikih (usuliyin), ahli
hukum Islam (fuqoha), ahli tafsir (mufassirin), dan ahli hadis (muhadditsin) yang berusaha
menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan
normatif.
Menurut Abuddin Nata, studi Islam dengan pendekatan normatif adalah suatu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan
yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Bila kita berbicara tentang
ajaran agama, tentunya tidak akan dapat dipisahkan dengan masalah teologi atau ilmu
ketuhanan, sebab suatu ajaran agama hanya dapat diyakini dan diimplementasikan dengan
penuh ketulusan/kepasrahan, jika seseorang telah benar-benar percaya terhadap Tuhan
yang mewahyukan ajaran itu sendiri.
Ajaran suatu agama tampil prima dengan segala kebenaran dan nilai-nilai luhurnya
yang mutlak pada dirinya. Oleh sebab itu, agama mempunyai sifat mengikat pada para
pemeluknya, maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam pengaruhnya dari
ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafah dan pemikiran manusia. Ajaran-ajaran yang
berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta mempunyai sifat kekudusan dan absolut yang
3
tidak dapat ditolak oleh manusia. Perintah manusia masih bisa dilawan, tetapi perintah
Tuhan tak dapat ditentang. Paham inilah yang membuat norma-norma akhlak yang
diajarkan agama mempunyai pengaruh besar dalam membina manusia yang berakhlak
mulia dan berbudi pekerti luhur. Oleh karena itulah kita dapati banyak dari para filosof
merangkap dan atau beralih menjadi fukaha dan bahkan menjadi sufi. Al Ghazali (450
H/1058 M – 505 H/1111 M) adalah seorang failosof, fakih dan sufi seperti terlihat pada
karyanya, antara lain Tahafut Al Falasifa dan Ihya ‘Ulum al-Din. Ibn Rusyd (520 H/1126
M – 595 H/1198 M) adalah seorang failosof, dokter, fakih dan qodhi, karyanya Tahaful Al
Tahafut, Bidayat al-Mujtahid, dan lain sebagainya.
Karakteristik ajaran agama Islam dapat dikenal melalui konsepsi dalam bidang
ibadah yang dibangkitkan oleh teologi Tawhidiyah. Sumber utama dari ajaran agama Islam
adalah alquran dan al-sunnah. Ibadah terbagi menjadi dua, yaitu umum dan khusus. Ibadah
yang menjadi pendekatan adalah ibadah dalam arti khusus. Dalam yurisprudensi Islam
telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah tidak boleh ada “kreativitas”, sebab yang
meng “create” atau yang membentuk suatu ibadah dalam Islam dinilai sebagai bid’ah yang
dikutuk nabi sebagai kesesatan.

B. Pendekatan Antropologis
Istilah antropologi sendiri berasal dari bahasa Yunani dari asal kata anthropos
berarti manusia, dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah antropologi berarti
ilmu tentang manusia, khususnya tentang asul-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat
dan kepercayaannya pada masa lampau. Para ahli antropologi (antropolog) sering
mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk
memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman
manusia.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Antropologi adalah suatu disiplin ilmu yang membawa
pengertian world view yang bergantung kepada perspektif saintifik, aliran falsafah atau
kepercayaan agama seseorang. Dengan world view inilah seseorang dapat memahami diri
dan dunianya. Dengan mempelajari antropologi, kita bisa menyadari keragaman budaya
umat manusia dan pengaruh dalam pendidikan. Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu
proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran,
karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin
dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal.
Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi
semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Pada akhirnya peserta didik dibina
menuju manusia mukmin bertanggung jawab memakmurkan dirinya dengan segenap ilmu
pengetahuan yang dipelajari untuk hidup di dan bersama dunia serta dengan potensinya

4
sumber rezeki kehidupan yang layak, menguasai dan mengendalikan alam untuk tujuan
suci yang diridai Allah SWT.
Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawaban. Dengan kata
lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu
masalah digunakan pula untuk memahami agama lain.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik. Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata
berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam
hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka yang
perlu diubah adalah pandangan agamanya.

C. Pendekatan Sosiologis
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata
“socius” yang berarti teman/kawan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Dalam
kata lain, sosiologi merupakan ilmu yang membahas tentang manusia yang berteman
atau bermasyarakat.
Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. Adapun objek
sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses
yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah
meningkatkan daya kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
hidupnya. Menurut Bouman mendefenisikan, sosiologi adalah ilmu tentang kehidupan
manusia dalam kelompok.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang kehidupan bersama yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur hubungan antara orang perorangan dalam kelompok dengan
kelompok dan sifat-sifat dan perubahan yang terdapat dalam dan ide-ide sosial yang
tumbuh. Sedangkan studi sosiologi agama menurut Joachim Wach merumuskan secara
luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta
bentukbentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Dorongan-dorongan, gagasan
dan kelembagaan agama mempengaruhi dan juga sebaliknya dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan stratifikasi sosial. Jadi dalam seorang
sosiolog agama bertugas meneliti tentang bagaimana tata cara masyarakat,
kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok
mempengaruhi terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi
dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata
dunia, serta langsung maupun tidak langsung antara sistem-sistem religius dan
masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba

5
mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat
tersendiri kepada cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Suatu ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan, serta berbagai gejala sosial yang berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial
dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadi hubungan, mobilitas sosial,
serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut. Pentingnya
pendekatan sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak sekali
ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap
masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial
sebagai alat untuk memahami agamanya.
Dalam pendekatan sosiologi, minimal ada tiga teori yang digunakan. Salah
satunya adalah teori fungsional yakni teori yang mengasumsikan masyarakat
sebagai organisme ekologi mengalami pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi
semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Adapun Langkah-
langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional antara lain:
a) Membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik,
b) Mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi obyek
penelitian.
c) Mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.

Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat dipahami


karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya
perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong kaum agama
memahami ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Jalaluddin Rahmat
telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah
Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
1. Dalam Al-Qur’an atau Hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam tersebut
berkenaan dengan urusan mua’amalah. Menurut Ayatullah Khomeini perbandingan
antara ayat-ayat ibadah dengan ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah
1:100. Untuk satu ayat ibadah ada seratus ayat muamalah (masalah sosial)
2. Bahwa ditekankannya masalah mu’amalah atau sosial dalam masalah Islam adalah
adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
mu’amalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, tentu
bukan ditinggalkan melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
daripada ibadah yang bersifat perseorangan, karena itu shalat yang dilakukan
berjama’ah adalah lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian.

6
4. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah tidak dilakukan dengan
sempurna atau batal, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan masalah sosial.
5. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat amalan lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Berdasarkan pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan
sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu
sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an misalnya dijumpai
ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,
sebabsebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-
sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat
dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama
itu diturukan.

D. Pendekatan Teologis
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang berarti Tuhan dan
“logos” yang berarti Ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara
terminologi, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang
terkait dengannya, juga membahas hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan
manusia dengan Tuhan.
Perkataan teologi sebenarnya tidak berasal dari khazanah dan tradisi Islam. Teologi
merupakan istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazanah dan tradisi gereja
Kristiani. Namun demikian, tidaklah dimaksudkan untuk menolak kata teologi itu. Sebab
pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain, tidaklah harus dipandang
sebagai sesuatu yang negatif, apalagi jika istilah tersebut dapat memperkaya khazanah dan
membantu mensistematisasikan pemahaman tentang Islam.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pendekatan
teologi adalah cara pandang atau analisis terhadap masalah ketuhanan dengan
menggunakan norma-norma agama atau simbol-simbol keagamaan yang ada. Dengan kata
lain, pendekatan teologi cenderung normatif karena keyakinan teologi (keagamaan)
menjadi norma dalam melihat suatu fenomena. Pendekatan Teologi merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kegiatan penelitian agama. Hal ini dilakukan untuk menjawab
persoalan apakah agama dapat diteliti. Sementara ahli dan ulama, menurut Noeng
Muhadjir, bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi dibidangnya masing-masing.
Ekstremitasnya menimbulkan filsafat di antara para ulama, dan menabukan non empirik
dan non sensual diantara para ilmuan.
Apapun alasan yang dikemukakan, adalah bahwa pendekatan teologi dalam
penelitian agama dimaksudkan untuk menjembatani para pakar ilmu agama (ulama) dengan
ilmuan lainnya, karena pendekatan teologi dalam penelitian agama berada di kawasan naqli
atau wahyu dan ada yang aqli atau produk budaya manusia. Teologi atau agama, menurut
Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarak, mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran

7
dasar yang diwahyukan Tuhan melalui Rasul-Rasul-Nya kepada masyarakat manusia.
Kedua, penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama yang membentuk ajaran
agama. Ajaran dasar agama bersifat absolut, mutlak benar, tidak berubah dan tak tidak bisa
diubah, sedangkan penjelasan ahli agama bersifat relatif, nisbi berubah dan dapat diubah
sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian, dalam teologi atau agama, masih terbuka kemungkinan adanya
dialog atas hal-hal yang normatif. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa teologi
adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan manusia serta hubungan manusia dengan
Tuhan, meskipun pembahasan ini bersifat normatif. Teologi merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang memenuhi kriteria saintifik, yaitu penggunaan akal dengan segala
kemampuan analisisnya, generasiasinya, serta hukum-hukum penarikan kesimpulan
induksi dan deduksi terhadap data-data pengalaman. Dengan cara ini bisa diperoleh hukum-
hukum dan prinsip-prinsip yang mendasari dan mengaitkan fakta dan fenomena yang
disajikan serta menyatukan seluruh isi pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren
secara keseluruhan.

Ada tiga pendekatan teologi dalam studi islam, diantaranya :


1. Pendekatan Teologi Normatif
Pendekatan teologi normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat
diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan ilmu ketuhanan yang
bertolak dari suatu keyakinan dalam wujud empirik dari suatu agama yang dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah
mengatakan, bahwa teologi sebagaimana kita ketahui tidak bisa pasti mengacu kepada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang
tinggi serta penggunakanaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologi. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita
dapat menemukan teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan dan lain-lain. Jika
diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dijumpai
berbagai paham atau sekte keagamaan.
Menurut informasi yang diberikan The Encyclopedia of American Religion, bahwa
di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Salah satu di antaranya adalah
sekte Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte tersebut bersama 80
pengikutnya fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan
kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam sendiri secara tradisional, dapat
dijumpai teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah dan teologi Maturidiyah. Dan sebelumnya
terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah. Dari pemikiran di atas,
dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang
masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, Muhtadin,

8
Reorientalisasi Teologi sedangkan yang lainnya sebagai yang salah. Aliran teologi yang
satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnya yang benar sedangkan paham lainnya
salah, sehingga memandang bahwa orang lain keliru, sesat, kafir, murtad dan lain-lain.
Demikian pula paham yang dituduh sesat dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya
sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling
mengkafirkan, saling menyalahkan, tidak terbuka dialog atau saling menghargai, yang
ada hanya ketertutupan sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotakkotakan
ummat, tidak ada kerja sama dan kepedulian sosial. Model pendekatan teologi ini
menjadikan agama buta terhadap masalaha-masalah sosial dan cenderung menjadi
lambang atau identitas yang tidak memiliki arti. Sikap eksklusif dalam memandang
perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas, tidak hanya merugikan
bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu
sesungguhnya mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa
membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan nuansa. Kita tidak bisa
menghindari bahwa perkembangannya, sebuah agama mengalami derivasi atau
penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya, tetapi arogansi teologi yang selalu
memandang agama lain sebagai agama yang sesat sehingga harus dilakukan pertobatan
dan jika tidak, berarti masuk neraka, hal ini merupakan sikap yang janganjangan malah
menjauhkan diri dari substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan santun dalam
mengajak kepada jalan kebenaran. Untuk itu, diperlukan paradigma baru yang lebih
memungkinkan hubungan dialogis dapat dilakukan.
2. Pendekatan Teologi Dialogis
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, dialogis berasal dari kata dialog, yang
berarti percakapan, cerita. Sedangkan dalam Kamus Inggris-Indonesia, kata dialogis
atau dialogue berarti perbincangan atau percakapan. Dari beberapa pengertian dialogis
ini maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pendekatan dialogis dalam
pembahasan ini adalah metode pendekatan terhadap agama melalui dialog nilai-nilai
normatif masing-masing aliran atau agama. Oleh karena itu, perlu adanya keterbukaan
antara satu agama dengan agama lainnya.
Dalam pembahasan ini, penulis menampilkan upaya yang dilakukan oleh para
islamolog Barat, seperti Hans Kung yang banyak mengkaji tentang Islam. Dalam
berbagai karyanya ia menggunakan pendekatan teologis, yang bertolak dari perspektif
teologi Kristen dalam melihat Islam, tetapi perspektif teologi tersebut tidak digunakan
untuk apologis melainkan untuk dialog antara Islam dan Kristen. Kung menyajikan
pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam mulai dari
pandangan teologis yang intoleran sampai pada pandangan yang toleran yang mengakui
eksistensi masing-masing. Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang
diajukan Kung adalah apakah Islam merupakan jalan keselamatan? Pertanyaan ini
menjadi titik tolak untuk melihat dari teologi Kristen. Kung mengemukakan beberapa
pandangan teologi Kristen, misalnya Origan Ciprian dan Agustinius yang mengatakan
bahwa “ekstra galensiam nulla sulus”, artinya ada keselamatan di luar gereja. Selain

9
Kung, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery Watt.
Hakekat dialog menurut Watt sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antara
penganut agama yang saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini, Watt
bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama
lain, serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologi dari agama masing-masing.
Upaya ini dapat dilakukan melalui kerjasama antar pemeluk agama. Langkah pertama
terciptanya kerjasama tersebut, menurut Alwi Shihab, kedua belah pihak dituntut
bersama-sama mengoreksi citra dan kesan keliru yang selama ini tergambar dalam
benak masing-masing pemeluk agama. Bahwa terdapat perbedaan fundamnetal antar
ajaran agama adalah hal yang tak dipungkiri. Oleh karena itu, perlu adanya dialog,
namun hendaknya dialog antar pemeluk agama tersebut tidak diarahkan kepada
perdebatan teologi doktrinal yang selalu berakhir dengan jalan buntu.
Pendekatan teologi dialogis ini akan memperkaya pemahaman antara pemeluk
agama. Islam misalnya dapat membantu agama lain untuk memberikan penjelasan
tentang keyakinan dan amalan yang Muhtadin, Reorientalisasi Teologi kadang-kadang
dianggap kurang berguna, demikian juga ummat Islam dapat megambil manfaat dan
mencontoh kegiatan Kristen dalam pekerjaan-pekerjaan sosial. Demikian pula antar
satu agama dengan agama lain dapat meneladani hal-hal yang positif selama tidak
mencampuradukkan prinsip-prinsip aqidah dari masing-masing agama tersebut.
3. Pendekatan Teologi Konvergensi
Kata “konvergensi” berasal dari kata “converge” yang berarti bertemu, berkumpul
atau berjumpa. Selanjutnya kata ini menjadi “convergence” yang berasrti tindakan
bertemu, bersatu di satu tempat, pemusatan pandangan mata ke suatu tempat yang amat
dekat atau menuju ke suatu titik pertemuan atau memusat. Dengan demikian yang
dimaksud pendekatan teologi konvergensi di sini adalah upaya untuk memahami agama
dengan melihat intisari persamaan atau titik temu dari masing-masing agama untuk
dapat diintegrasikan. Melalui pendekatan konvergensi, kita ingin menyatukan unsur
esensial dalam agama-agama sehingga tidak tampak lagi perbedaan yang prinsipil.
Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat dipersatukan dalam konsep
teologi universal dan umatnya dapat dipersatukan dalam satu umat beragama.
Berkenaan dengan pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith
menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam dunia
praktis tetapi juga dalam pandangan teologisnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana
letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi
agama. Oleh sebab itu, Smith membedakan antara “faith” (iman) dengan “belief”
(kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak
dapat disatukan. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat historik yang
mungkin secara konseptual berbada dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam
belief (kepercayaan) itulah penganut agama berbedabeda dan dari perbedaan itu akan
menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi

10
orang bisa berbeda dalam belief tetapi menyatu dalam faith (iman). Sebagai contoh
dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fikhi. Mereka
mungkin menganut paham Mu’tazilah, Asyariyah atau Maturidiyah dan mengikuti
imam Syafi’i atau Hanbal. Belief mereka berbeda yang memungkinkan sikap
keagamaan yang berbeda pula, tetapi mereka satu dalam faith, yaitu tetap mengakui
Allah sebagai Tuhan yang Satu dan Muhammad adalah Rasul Allah. Dalam belief dan
respon keagamaan yang berbeda tetapi hakekat menyatu dalam faith, yaitu mengakui
adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dari ketiga pendekatan teologi tersebut, yang
paling akurat dipergunakan menurut analisis penulis adalah pendekatan teologis
konvergensi. Penulis melihat bahwa dengan menggunakan pendekatan konvergensi
dalam melakukan penelitian terhadap agama-agama, maka dengan sendirinya akan
tercakup nilai-nilai normatif dan dialogis.

E. Pendekatan Fenomologis
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainomenon "sesuatu yang tampak
(that which appears)"; dan logos "ilmu". Kata ini ditemukan pada awal abad ke-20 oleh
Edmund Husserl kemudian diperluas oleh para penerusnya di Universitas Gottingen dan
Munich in Germany, dan menyebar sampai Perancis, Amerika, dan negara-negara di
berbagai belahan dunia. Dalam bahasa Inggris yang nampak berdekatan dengan kata ini
adalah Phenomenon (j. -mena) yang berarti perwujudan, kejadian, gejala. Menurut Husserl,
fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan
kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia
kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa
diarahkan kepada objek-objek yang non- eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak
menganggap bahwa sesuatu itu ada melainkan “pengurangan sebuah keberadaan”, yaitu
dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dipikirkan.
Fenomenologi dapat digolongkan menjadi dua pengertian. Dalam pengertian yang
lebih luas, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang fenomen-fenomen. Atau apa saja
yang tampak. Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Sedangkan
dalam arti yang lebih sempit lagi, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang gejala
yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Dalam kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologis tidak pernah
terbakukan dengan jelas. Oleh karena itu, seseorang harus memulainya dengan penuh
kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan
fenomenologis terhadap agama. Meski demikian, jika dibandingkan dengan pendekatan
yang lain, pendekatan fenomenologis ini berperan dengan ciri yang khas. Oleh karena itu,
barangkali cara yang terbaik untuk menjelaskan mengapa harus ada disiplin seperti
fenomenologi ini adalah dengan cara mempertenangkannya dengan pendekatan-
pendekatan yang lain dan menggali alasan-alasan historis dan epistemologis mengapa ia
mesti menetapkan kualifikasi-kualifikasinya sendiri. Hal akan membawa kita kepada

11
sebuah pemahaman mengapa agama sebagai subjek studi, perlu di identifikasi sebagai
suatu entitas tersendiri, dan mengapa disiplin-disiplin lain yang berbeda menyatakan dapat
menjelaskan agama menurut kriteria yang terdapat dalam pendekatan-pendekatan mereka
sendiri. Hal ini akan membawa kita pada karakteristik femomenologi itu sendiri.
Meskipun pendekatan ini cenderung muncul belakangan dibandingkan dengan
pendekatan-pendekatan yang lain, seperti sosiologi agama, antropologi agama, psikologi
agama, sejarah agama, dan lain-lain, akan tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting
dalam hal mengungkap makna perilaku keberagamaan manusia dan substansi dari agama-
agama itu sendiri.
Maksudnya sebuah fenomena keagamaan cuma bisa diketahui, bila Ia dikaji
sebagaimana Ia muncul menjelma. Dalam suatu ekspresi keagaman, hal inilah yang harus
dilakukan. Berupaya mengungkap esensi (wessen) di balik fenomena atau manifestasi
(erschinungen). Maka fenomenologi agama adalah metode yang tepat untuk bidang ini,
karena metode yang lain niscaya mengabaikan suatu element yang unik yang tidak bisa
direduksi di dalamnya.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan manusia lewat pintu
masuk antropologi adalah seperti halnya kita mendekati dan memahami “object” agama
dari sudut pengamatan yang berbeda. Dari situ akan muncul pemahaman sosiologis,
historis, psikologis terhadap fenomena keberagamaan manusia. Namun diakui bahwa
berbagai pendekatan tersebut tidak menyentuh esensi religiositas manusia itu sendiri.
Para teolog khususnya kurang tertarik ketika menerima uraian atau masukan-masukan yang
disumbangkan oleh pendekatan antropologis terhadap agama.
Dengan demikian, kerjasama antara pendekatan antropologis, sosiologis, psikologis
dan historis dengan pendekatan fenomenologis adalah saling melengkapi sehingga
diharapkan dapat diperoleh gambaran yang utuh tentang keberagamaan manusia pada
umumnya tanpa sedikitpun mengurangi apresiasi terhadap bentuk keimanan dan
penghayatan keberagaman manusia. Diakui bahwa keberagamaan manusia tidak akan
dapat dilepaskan dari sesuatu yang suci. Itulah diantaranya yang merupakan struktur
fundamental dan dianggap penting oleh pendekatan fenomenologi ketika menatap realitas
keberagaman manusia. Dalam arti bahwa dalam setiap struktur fundamental pengalaman
keberagamaan manusia terdapat hal-hal atau sifat- sifat dasar tersebut.
Dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut
dengan general pattern dan particular pattern. General pattern adalah sesuatu yang pasti
ada pada setiap agama, di luar kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks
suci, leadership, histori serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan
fundamental structure dari agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam
mengkaji hal tersebut.
Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan
particular pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya
dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang
konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen

12
mempunyai kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini lebih banyak peneliti yang
bersifat subyektif karena berhubungan langsung dengan keyakinan dirinya

F. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-
pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
sebab-sebab, asas- asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta
ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya
digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah
berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek
formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik
yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen dengan kualitas
dan harganya yang berlain-lainan namun inti semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis.
Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami
ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu
sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul
Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Jurjawi. Dalam buku
tersebut Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran
agama Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan shalat berjamaah.
Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan
dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan
lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba
kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu
yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang
dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa
bersaudara dengan sesama Muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan
mengandung makna bahwa hidup penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun
semuanya itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sa’i, yakni
lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba. Dimulai
dari bukit shafa yang artinya bersih dan berakhir pada bukit marwa yang artinya
berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan
pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu
wukuf di Arafah maksudnya adalah saling mengenal, yakni dapat mengenal siapa dirinya,

13
mengenal Tuhannya, dan mengenal sesama saudaranya berbagai belahan dunia. Demikian
pula melontar jamarat dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negatif
yang ada dalam dirinya untuk diganti dengan sifatsifat yang positif dan mengenakan
pakaian serba putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan,
kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu hubungannya dengan
Tuhan.
Karena demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, maka kita menjumpai bahwa
filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita
misalnya membaca adanya filsafat hukum Islam, sejarah, kebudayaan, ekonomi dan lain
sebagainya.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang seringkali terjebak pada pengamalan
agama yang bersifat substansi semata, hanya meyakini kebenaran agama dalam hati, tetapi
tidak diikuti dengan pelaksanaan ibadah formal. Pengamalan agama yang mereka terapkan
hanyalah bersifat hakikat. Misalnya sudah tidak lagi tertarik melaksanakan ibadah haji,
puasa zakat, dan ibadah-ibadah formal lainnnya.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau
menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi
batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang
bersifat eksoterik.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal
pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami
ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan di atas.
Namun, pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama oleh
kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketetapan
melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama.

G. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan
peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, historis memiliki makna;
“History is the study of the human past. Historians study records of past events and prepare
new records based on their research. These records, as well as the events themselves, are
also commonly called history.”
Sedangkan menurut Azyumardi Azra, sejarah dari kata Arab syajarah yang berarti
pohon. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah
setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut
tentang antara lain, syajarah al-nasâb, pohon genealogis yang dalam masa sekarang
agaknya bisa disebut sejarah keluarga (family history). Atau boleh jadi juga karena kata

14
kerja syajarah juga punya arti to happen, to occur, dan to develop. Namun selanjutnya,
sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan târikh (Arab), istoria (Yunani),
history atau geschichte (Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian
menyangkut manusia pada masa silam.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di
amal empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena
agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam
terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia
mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan
Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan
bagian kedua, berisi kisah- kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep kita mendapati banyak sekali
istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus,
doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya.
Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-
konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an diturunkan atau
bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-
konsep religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian
diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an dan dengan demikian lalu menjadi
konsep-konsep otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal sekali konsep, baik yang bersifat abstrak
maupun konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya
adalah konsep- konsep yang abstrak. Sementara itu, juga ditunjukkan konsep- konsep yang
lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep
tentang fuqara (orang- orang fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas),
zhalimun (para tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-
koruptor), dan sebagainya.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep Al- Qur’an bermaksud
membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian
kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya
perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah
tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali
ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah
historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah
laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Allah Swt atau
tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.

15
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak
akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu
akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an
secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an
atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya AlQur’an yang selanjutnya disebut
sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebabsebab turunnya ayat Al-Qur’an) yang
pada intinya berisi sejarah turunnya ayat AlQur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini
seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang
berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan
memahaminya.

H. Pendekatan Politis
Politik dalam bahasa Yunani: Πολιτικά, politiká; Arab: ‫سياس ة‬, siyasah, yang berarti
sesuatu yang berkaitan dengan warga negara atau segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.
Abdulkadir mengutip pendapat politik dari Deliar Noer yang menyatakan bahwa politik
adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan sangat
mempengaruhi masyarakat, yang dimaksudkan adalah jalan mengubah untuk
mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.
Dalam pemikiran filsafat politik Al-Farabi membahas tentang: pemerintahan,
negara, masyarakat dan politik kenegaraan, pendapatnya terkenal tentang negara dibagi
kepada negara yang sempurna dan tidak sempurna. Politik juga diartikan bahwa kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan pembagian kewenangan, pembentukan badan-badan,
pemilihan pejabat, identifikasi keinginan rakyat, serta perumusan kebijaksanaan (policy
making). Pembicaraan tentang "politik" seperti mata air yang tidak pernah kering. Al-
Qur'an juga mengajarkan manusia tentang cara berpolitik yang baik tanpa menjatuhkan
lawan.
Politik perlu difahami oleh setiap orang. Sebagaimana disebutkan dalam KBBI
bahwa politik berarti siyasah yang mengatur segala urusan dan tindakan manusia mengenai
pengaturan pemerintahan negara atau pemerintahan terhadap negara lain. Abdulkadir
menyampaikan pendapat Deliar Noer mengungkapkan politik adalah aktivitas yang
memiliki hubungan erat dengan kekuasaan untuk mempertahankan ketatanegaraan dan
bentuk susunan masyarakat. Al-Farabi seorang ilmuan mengungkapkan pendapatnya
bahwa politik memiliki kaitan yang erat dengan ketatanegaraan dan pemerintahan.
Pendapat Al-Farabi yang terkenal yaitu negara dibagi menjadi dua negara yang sempurna
dan tidak sempura.
Masyarakat yang sempurna adalah masyarakat yang mempunyai keseimbangan
diantara unsur-unsurnya. Dikuatkan bukti dalam buku lain, politik berupa kegiatan yang
berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintahan serta pembagian kewenangan tentang

16
pembentukan badan-badan pemerintahan. Pembicaraan tentang politik pun diibaratkan
dengan air mata yang tidak pernah kering karena politik erat kaitannya dengan kekuasaan
dan kekuasaan hal yang paling diminati oleh manusia.
Namun dengan begitu, Al-Qur’an telah mengajarkan manusia tata cara berpolitik
yang benar. Berdasarkan data di atas politik merupakan hal yang sangat penting untuk
dikaji karena politik merupakan kebijaksanaan yang mengurus tatanan negara yang sesuai
dengan dengan syariat Islam sebagaimana yang telah diatur dalam Al-Qur’an. Pengertian
diatas sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Namun, ada yang
menyebutkan bahwa politik dapat diartikan lebih luas dari itu, yaitu politik pada hakikatnya
adalah bagian dari upaya manusia dalam mempertahankan atau melangsungkan
kehidupannya. Politik tidak dapat dipisahkan dari keterpaduannya dengan berbagai aspek
kehidupan.
Pendekatan politik dalam studi Islam dapat dikaji dengan berbagai metode. Metode
yang sering digunakan dalam mengkaji politik yaitu metode induksi dan deduksi. Biasanya
metode induksi lebih banyak digunakan pada penelitian kualitatif dan yang termasuk dalam
metode induksi yaitu metode analisis, deskriptif, evaluatif, klasifikasi dan perbandingan.
Adapun teknik penelitian politik dari pendekatan kualitatif bersifat deskriptif, analitik, dan
menekankan terhadap proses. Sedangkan pendekatan kuantitatif dibentuk mapan melalui
tes, wawancara terbuka maupun tertutup dan secara statistik. Dan ketiga macam
pendekatan ilmu politik yang telah disebutkan sebelumnya yaitu pendekatan tradisional
(legal/istitutional), pendektatan tingkah laku (behavioral approach), dan pendekatan pasca
tingkah laku dapat dikaji dengan metode dan teknik yang telah disebutkan sebelumnya.
Namun, dalam menkaji ilmu politik harus menggunakan metode dan teknik yang tepat.
Semakin tepat metode dan teknik yang digunakan semakin cepat kenyataan politik
dikemukakan. Sebagai contoh, pendekatan tradisional (legal/istitutional) dikaji dengan
pendekatan kualitatif dan metode induktif karena pendekatan ini berhubungan dengan
struktur sosial.

I. Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche dan logos. Mengenai kata
logos, kiranya sudah banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar, logika, atau ilmu.
Karena itu psikologi berarti psyche. Menurut Oxford Dictionary, kita akan melihat bahwa
istilah psyche mempunyai banyak arti dalam bahasa Inggris yaitu soul, mind, dan spirit.
Dalam bahasa Indonesia, ketiga kata-kata bahasa Inggris itu dapat dicakup dalam satu kata
yaitu “jiwa”. Karena itulah dalam bahasa Indonesia kebanyakan orang cenderung
mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa. Tetapi kecenderungan ini tidak terdapat dalam
bahasa Indonesia saja. Kalau kita periksa dalam bahasa Belanda misalnya, maka psikologi
diartikan sebagai zielkunde, dalam bahasa Jerman seelenkunde, dalam bahasa Arab ilmun
nafsi, yang semuanya itu tak lain artinya ilmu jiwa.
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling

17
mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela
berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala- gejala keagamaan yang
dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan
Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut
seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut
terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap
batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
shalehh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah
gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang
dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan
ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.Kita
misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya
dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah
baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa
ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan
seseorang.

Para ilmuwan Muslim terdahulu sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar
dalam mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, peranan mereka dalam
memajukan dan mengembangkan ilmu kejiwaan (psikologi) tersebut tidak mendapatkan
perhatian yang selayaknya dari para pakar sejarah psikologi modern sepanjang sejarah.
Umumnya, mereka yang berasal dari Barat memulai kajian psikologi pada kaum pemikir
Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung membahas
pemikiran kejiwaan para pemikir Eropa Abad Pertengahan dan masa Kebangkitan
(Renaisans) Eropa Modern. Mereka benar-benar melupakan andil para ilmuwan Muslim
yang diantaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi
pendapat para pemikir Eropa Abad Pertengahan hingga awal masa Renaisans Eropa
Modern sendiri.
Sikap para sejarawan psikologi dari Barat tersebut justru diikuti oleh para pakar
psikologi Arab kontemporer. Mereka yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah
psikologi di banyak universitas sama sekali tidak melirik peranan para ilmuwan Muslim.
Penghargaan terhadap andil mereka justru datang para sejarawan filsafat Islam, baik yang
berasal dari bangsa Arab sendiri maupun non-Arab. Mereka menginformasikan kepada kita
sejumlah ikhtisar (re-sume) yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan Muslim
terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun ikhtisar tersebut
tidak cukup menarik para psikolog Islam kontemporer untuk mendalami pandangan
kejiwaan ilmuwan Muslim terdahulu, yang memungkinkan mereka memberikan penilaian

18
ilmiah terhadap andil mereka dalam memajukan dan mengembangkan psikologi sepanjang
sejarah.
Salah satu filosof Islam yang mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap
konsep-konsep jiwa dan bagaimana mengatasi problem kejiwaan adalah Ibn Sina. Dengan
ketajaman pikiran dan ketelitian pengamatannya, dapat mencapai pengetahuan tentang
hukum proses conditioning sebelum hal itu ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog
berkebangsaan Rusia. Ibnu Sina juga dapat memberikan interpretasi ilmiah tentang lupa,
dengan mengembalikannya kepada intervensi berbagai informasi yang belum pernah
dicapai para psikologi modern, kecuali pada perempat pertama abad ke-20. Selain itu, Ibnu
Sina juga mendahului para ahli fisiologi dan psikolog modern dalam mengukur emosi
berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologi dan psikolog modern dalam
mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologis yang terjadi
setelah terjadinya proses emosi.
Berikutnya, pada kasus penyembuhan orang sakit yang diakibatkan oleh rasa rindu,
Ibnu Sina berusaha mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien, sehingga dia dapat
memberikan metode counseling yang tepat. Ibnu Sina menemukan sebuah metode yang
unik, yaitu dengan menyebutkan kepada si klien sejumlah nama negeri, seseorang yang
hidup dan gadis-gadis. Pada saat itu, dia mengukur kecepatan detak jantung si klien untuk
mengetahui kadar emosi yang ditumbulkan oleh nama- nama itu. Dengan cara itu, Ibnu
Sina dapat mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien dan tempat hidupnya.
Metode yang digunakan Ibnu Sina ini dianggap sebagai dasar awal bagi penemuan
alat modern yang terkenal dengan sebutan alat respon kulit galvanisasi atau juga yang
disebut alat pendeteksi kebohongan, lantaran banyak digunakan untuk mengungkapkan
berbagai tindak kejahatan. Yaitu, suatu alat yang mengukur ketidakstabilan emosi
berdasarkan pengaruhnya terhadap perubahan fisiologis tubuh. Selain itu, sesungguhnya
Ibnu Sina- dengan metode sederhana yang dia gunakan untuk mengetahui sebab-sebab
ketidakstabilan emosi melalui penyebutan serangkaian kata-kata dan nama serta
mengamati pengaruhnya terhadap emosi individu- telah mengungguli sebagian ahli
psikoanalisis dan prikiater modern yang menggunakan cara yang sama, yaitu metode
asosiasi untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi pada klien mereka.
Tidak hanya itu, dalam mengkaji mimpi pun al-Farabi dan Ibnu Sina menemukan
fakta ilmiah yang membuat mereka unggul atas ilmuwan modern, terutama peran mimpi
dalam memuaskan dorongan dan hasrat sebagaimana pendapat Sigmund Freud pada masa
modern. Namun demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Ibnu
Sina berkaitan dengan konsep jiwa serta perbedaan mendasar konsep jiwa yang
dikemukakan Ibnu Sina dengan berbagai konsep jiwa yang pernah ada sebelumnya serta
letak keunggulan dan kelemahan konsep jiwa yang ditawarkan Ibnu Sina ini, selanjutnya
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

19
J. Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial
yang dapat didekati dari berbagai disiplin keilmuan sosial. Yang menjadi titik tolak
pembelajaran biasanya konsep atau generalisasi yang berdimensi jarak atau masalah sosial
yang menyangkut atau menuntut pemecahan masalah dari berbagai bidang keilmuan sosial.
Pendekatan interdisipliner disebut juga pendekatan terpadu atau integrated approach atau
istilah yang digunakan Wesley dan Wronsky adalah “corelation” untuk pendekatan antar
ilmu, dan “integration” untuk pendekatan terpadu.
Dalam pendekatan interdisipliner konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial atau
bidang studi telah terpadu sebagai suatu kesatuan sehingga bahannya diintegrasikan
menurut kepentingan dan tidak lagi menurut urutan konsep masing-masing ilmu atau
bidang studi.
Pendekatan interdisliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan
sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan
pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya penggunaan
pendekatan ini semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya
menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti Al-
Qur’an dan sunah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus
dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu
ditambah dengan pendekatanpendekatan lainnya.
Sarjana klasik Islam yang menggunakan pendekatan ini di antaranya adalah Ibn
Khaldun yang terekam dalam karyanya al- Mukaddimah, Ibn Khaldun tidak sekadar
menarasikan kejadian- kejadian masa lampau, apalagi membatasinya pada peristiwa-
peristiwa politik. Lebih jauh, untuk menjelaskan kejadian-kejadian pada masal silam, ia
tidak menggunakan ilmu sejarah per se, tetapi juga ilmu-ilmu lain, termasuk: geografi,
antropologi, etnologi, filologi, astronomi, dan meteorologi, ekonomi dan politik,
kebudayaan, logika, filsafat, agama, sosiologi, sastra, dan banyak lagi. Bahkan, dalam
analisisnya tentang tumbuh, bangkit, dan punahnya suatu kebudayaan, ia membangun
kerangka teori yang disebut sejarawan Annales sebagai “long-term structure” yang
membentuk, menentukan atau mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan peradaban
manusia.

20
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk melakukan Studi Islam ada beberapa istilah yang perlu dipahami dengan baik.
Pemahaman terhadap istilah-istilah ini akan memudahkan untuk memasuki bidang studi Islam.
Istilah-istilah tersebut adalah pendekatan, metode dan metodologi. Pendekatan adalah cara
memperlakuakan sesuatu (a way of dealing with something). Sementara metode merupakan
cara mengerjakan sesuatu (a way of doing something). Secara etimologis kata metodologi
diderivasi dari kata method yang berarti “cara” dan logos yang berarti “teori” atau “ilmu”. Jadi
kata metodologi mempunyai arti suatu ilmu atau teori yang membicarakan cara.
Pendekatanpendekatan tersebut diantaranya:

A. Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal
dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya dengan halal dan haram,
boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung
dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas.
Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fikih (usuliyin), ahli hukum
Islam (fuqoha), ahli tafsir (mufassirin), dan ahli hadis (muhadditsin) yang berusaha
menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan
normatif.
B. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
C. Pendekatan sosiologis adalah sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang kehidupan bersama
yang di dalamnya terkandung unsur-unsur hubungan antara orang perorangan dalam
kelompok dengan kelompok dan sifat-sifat dan perubahan yang terdapat dalam dan ide-ide
sosial yang tumbuh. Sedangkan studi sosiologi agama menurut Joachim Wach
merumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan
masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka.
D. Pendekatan teologi adalah cara pandang atau analisis terhadap masalah ketuhanan dengan
menggunakan norma-norma agama atau simbol-simbol keagamaan yang ada. Dengan kata
lain, pendekatan teologi cenderung normatif karena keyakinan teologi (keagamaan)
menjadi norma dalam melihat suatu fenomena. Pendekatan Teologi merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kegiatan penelitian agama.
E. Pendekatan fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang
memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar
dirinya.
F. Filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas- asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun

21
mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan
adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir
secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti,
hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
G. Pendekatan historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa
itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
H. Pendekatan Politis dapat diartikan bahwa kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pembagian kewenangan, pembentukan badan-badan, pemilihan pejabat, identifikasi
keinginan rakyat, serta perumusan kebijaksanaan (policy making). Pembicaraan tentang
"politik" seperti mata air yang tidak pernah kering. Al-Qur'an juga mengajarkan manusia
tentang cara berpolitik yang baik tanpa menjatuhkan lawan.
I. Pendekatan psikologis atau bisa disebut dengan pendekatan jiwa. Dengan ilmu jiwa ini
seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan
diamalkan seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke
dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya
J. Pendekatan interdisipliner memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat
didekati dari berbagai disiplin keilmuan sosial. Yang menjadi titik tolak pembelajaran
biasanya konsep atau generalisasi yang berdimensi jarak atau masalah sosial yang
menyangkut atau menuntut pemecahan masalah dari berbagai bidang keilmuan sosial.

22
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (eds.). Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar.
Cet. II. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta,1990.
Amaliyah, Efa Ida. “Islam dan Dakwah: Sebuah Kajian Antropologi Agama.” Attabsyir: Jurnal
Komunikasi Penyiaran Islam 3, no. 2 Desember 2015.

Anwar, Rosihan, dkk. Pengantar Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Azizi, A. Qodri, Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Untuk Kajian Islam: Sebuah Overview, dalam:
Kumpulan Karya Ilmiah,. Semarang: PPs IAIN Walisongo, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV. Jakarta:
Balai Pustaka.

Ensklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid I, Akar dan Awal. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 2002.

Hakim, Atang Abd. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Hidayat, Muhammad Taufik. “Antropologi Islam Indonesia.” Ibda : Jurnal Kebudayaan Islam 11,
no. 1 (Juni 2013): 31–45.

J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, h. 280.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi Jilid 1. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987.

Madjid, Nurcholish, (Ed), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998.

Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 25.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif,Bandung: Mizan, 1986

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, h. 15.

23

Anda mungkin juga menyukai