BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
skuama) dan gatal. Dermatitis kontak merupakan salah satu bentuk dari
Dermatitis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering terjadi dari
akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya
bentuk dari dermatosis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering
5 benua Tahun 2013, Dermatitis Kontak akibat kerja menempati urutan pertama
dari seluruh penyakit akibat kerja di banyak negara. Tingkat kejadiannya berkisar
antara 0-5-1,9 kasus per 1000 pekerja penuh waktu per Tahun. Prevalensi
1
2
1,5% dan 5,4%. Dermatitis Kontak adalah alasan yang paling umum ketiga bagi
pasien yang berkonsultasi dengan dokter kulit, tercatat ada 9,2 juta kunjungan
pada Tahun 2014. Hal ini juga menyumbang 95% dari semua penyakit kulit
akibat kerja, merupakan jenis penyakit kerja terbanyak kedua setelah penyakit
sektor infromal menjadi buruk. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
didapatkan 75,8% perajin batu bata mengalami gangguan otot rangka, 41%
perajin kulit dan petani kelapa sawit mengalami gangguan mata, 23,2% perajin
batu onix mengalami gangguan Dermatitis Kontak alergik. Tenaga kerja yang
2016).
jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Sedangkan
lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu
usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi).
Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2014), ada 4 faktor yang
yaitu, jenis pekerjaan, usia, lama bekerja, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan
sebelumnya. Sedangkan menurut Nuraga dkk (2012), ada faktor lain yang
oleh tiga faktor yaitu faktor kimiawi, faktor mekanis/fisik, faktor biologis
(UK), ditemukan bahwa agen dengan jumlah tertinggi untuk kasus dermatitis
4
kontak alergi adalah karet (23,4% kasus alergi dilaporkan oleh ahli kulit), nikel
(18,2%), epoxies dan resin lainnya (15,6%), amina aromatik (8.6%), krom dan
kromat (8.1%), pewangi dan kosmetik (8.0%), dan pengawet (7.3%). Sedangkan
sabun (22,0% kasus), pekerjaan basah (19,8%), produk minyak bumi (8,7%),
pelarut/solvent (8.0%), dan cutting oil dan pendingin (7.8%) adalah agen yang
paling sering ditemukan dalam kasus dermatitis iritan (Meyer et al, 2000).
lapisan luarnya, atau merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang
2015).
kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2014)
(2012) pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa pekerja yang
penelitian yang dilakukan oleh Nurzakky (2011) pada pekerja pabrik didapatkan
hasil bahwa sebesar 65,7% pekerja pabrik menderita dermatitis kontak akibat
5
kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci
tangan yang buruk. Pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk
memiliki risiko untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja 18,791 kali lebih
besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik.
Pekerja di pabrik merupakan salah satu pekerja yang memiliki risiko besar
untuk terpapar dengan bahan kimia. Bahaya dan risiko yang ada harus diantisipasi
oleh para pekerja pabrik yang bergerak pada sektor informal karena tidak adanya
perhatian khusus dalam menangani masalah kesehatan yang terjadi. Salah satu
penyakit yang bisa menjadi masalah untuk kesehatan pekerja pabrik adalah
masalah yang terjadi pada kulit yaitu dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis
kontak pada pekerja pabrik diakibatkan oleh paparan penggunaan air aki (asam
Bengkulu Tengah berdiri pada tahun 1997 ini merupakan perusahaan milik swasta
pratama kini telah mengelola bahan baku sebanyak 18.000 ton per tahun, dengan
tujuan ekspor ke Negara produsesn ban seperti Jepang dan Amerika Serikat.
6
Pabrik karet ini mengelolah karet yang di sadap oleh masyarakat yang
sampai dengan pengepakan dalam bentuk ballan sebelum di kirim keluar negeri.
Dalam proses pembuatan karet yang akan dikirim, ada proses penggilingan
dimana penggilingan ini memerlukan banyak sekali air untuk membersihkan karet
yang sudah ditimbang itu direndam terlebih dahulu dengan air, sambil karyawan
Setelah itu karet yang sudah direndam itu dimasukan dalam mesin penggilingan
menempel pada karet yang sudah di giling dengan menggunakan tangannya tanpa
pada karet yang belum digiling maupun sudah digiling. Dengan demikian
langsung dengan air karet. Penyakit ini di alami oleh karyawan akibat air karet ini
yaitu gatal-gatal dan pengelupasan pada kulit karyawan. Hal ini terjadi karna
7
banyaknya bakteri yang terkandung di dalam air karet. Alergi lateks (karet)
dikenal sebagai tipe (urtikaria), bersin, mata berari keluar ingus dan batuk.
B. Rumusan Masalah
Schnuch & Carlsen (2011), Djuanda dan Sularsito (2012), Lestari dan Utomo
(2014), dan Nuraga, dkk (2012) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, bahan
kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat
alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, masa kerja, jenis pekerjaan,
2. Bagaimana gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat
atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada
3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak
5. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak
6. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada
7. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak
9. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene
2017.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan
terdekat. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi keilmuan K3,
khususnya mengenai dermatitis kontak pada pekerja. Selain itu juga dapat
2. Praktis
kontak pada Pekerja Pabrik, selain itu dapat diketahui juga bagaimana
b. Bagi Peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dermatitis Kontak
1. Anatomi Kulit
sebagai cadangan kalori. Kulit mencerminkan emosi dan stress yang kita
alami, dan berdampak pada penghargaan orang lain merespon kita. Selama
hidup, kulit dapat teriris, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi.
Kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih. Kulit
terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing tersusun dari berbagai jenis sel
a. Epidermis
yang dihasilkan oleh sel keratinosit. Keratin mencegah hilangnya air tubuh
13
14
b. Dermis
jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan
saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar
kekuatan dan struktur pada kulit. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan
dibawah epidermis dan tersusun terutama dari sel-sel fibroblast yang dapat
c. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri atas
lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator
dan dapat dipecah menjadi sumber energy jika diperlukan (Corwin, 2016).
yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti
kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh (Smeltzer & Bare, 2012).
2. Fungsi Kulit
gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dapat dibagi ke
dalam dermatitis kontak iritan, yang terjadi pada 80% kasus, dan dermatitis
kontak alergi. Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis akan hadir sebagai lesi
16
2012).
biologi. Epidermis mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang
reaksi non-alergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe
alergi (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang
mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera diikuti oleh gejala edema,
papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase
subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah
pengelupasan kulit.
biasanya akan mengalami rasa gatal yang terus menerus hingga kadang bisa
pula muncul luka mirip luka lepuh, dapat pula luka menjadi kasar dan terlihat
proses inflamasi lokal pada kulit jika berkontak dengan zat yang bersifat
iritan. Secara umum terdapat dua macam DKI yang bergantung dari jenis
bahan iritannya, yaitu DKI akut dan kumulatif. Pada DKI akut, kerusakan
kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan. Zat yang
menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan
asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.
18
kali pajanan pada lokasi kulit yang sama, yaitu terhadap zat- zat iritan lemah
seperti: air, deterjen, zat pelarut lemah, minyak dan pelumas. Zat-zat ini tidak
cukup toksik untuk menimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan,
multifaktorial.
1) Patogenesis
pajanan langsung sel kulit yang masih hidup terhadap zat iritan tersebut.
Jika zat iritan telah dapat mencapai membrane lipid keratinosit, maka zat
19
2) Manifestasi Klinis
Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang terjadi melebihi ambang
ambang bukan angka yang tetap bagi individu, tetapi dapat menurun jika
Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering terlihat oleh
DKI kumulatif disebabkan oleh zat kimia lemah, maka kelainan kulit yang
skuama, hyperkeratosis, dan kulit pecah dengan batas yang tidak tegas.
Sedangkan keluhan yang timbul dapat berupa gatal, panas, dan nyeri
akibat pecahnya kulit yang hiperkeratotik. Lokasi kulit dimana saja dapat
Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa mempersoalkan
intak, tidak dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak alergi pada individu
1) Patogenesis
Di sini yang berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan Coombs). Reaksi
ini di bagi dalam dua fase yaitu, fase sensitisasi dan fase elisitasi. Bahan
molekul kecil, larut dalam lemak dan ini di sebut sebagai hapten. Hapten
kemudian hapten akan di ubah oleh enzim lisosom dan sitosolik yang
anti gen ini akan di perkenalkan kepada sel limfosit T melalui CD4
Sedangkan fase elisitasi di mulai ketika anti gen yang serupa, setelah
difagosit oleh sel Langerhans dengan cepat akan di kenal oleh sel memori
(lymphocyte associated-1).
2) Manifestasi Klinis
vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan
Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu
kerja (Siregar, 2016). Penyakit kulit dapat ditandai dengan ruam yang memiliki
Penggunaan sarung tangan dapat melindungi terhadap kontak dengan bahan kimia
penyebab, tetapi penggunaan sarung tangan yang tidak tepat dapat menyebabkan
bahan kimia dapat masuk diantara sarung tangan dan kulit tangan. Hal ini dapat
memperburuk dermatitis kontak. Beberapa orang juga alergi terhadap lateks dan
22
komponen lain dalam sarung tangan (Gardiner & Harrington, 2014). Di negara-
negara industri, sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas
pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian
Kebanyakan kasus didiagnosis sebagai eksim atau dermatitis kontak (Waldron &
Edling, 2014).
Jenis penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut (Waldron & Edling,
2014):
4. Infeksi
2016):
Pigmen didalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain
itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi
kelainan kulit.
tempat pekerjaan.
e. Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang
dipakai.
temperatur.
lain-lain.
24
2. Pemeriksaan Klinis
kontak bahan yang dicurigai, yang tersering ialah daerah yang terpajan,
misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan ruam
kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel,
pustulasi. Bila ada pertumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau
ulkus.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya
dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan
KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar. Pemeriksaan
kontak alergik (80%), maka uji tempel perlu dikerjakan untuk memastikan
dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes tempel yang sudah
standard an disebut unit uji tempel. Unit ini terdiri atas filter paper disc, yang
dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji diteteskan
25
frekuensi kontak dan bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat
penyakit kulit lain, tipe/jenis kulit, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, masa kerja,
jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.
1. Lama Kontak
kerja (Djuanda dan Sularsito 2012). Lama kontak dengan bahan kimia yang
lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat
dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan
(Nuraga, 2012).
kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan
dengan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Dari penelitian Ruhdiat
selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu faktor yang paling
dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka
akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan risiko
mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka
penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam
2. Frekuensi Kontak
dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito, 2012). Menururt Cohen
27
bahan kimia merupakan salah satu upaya yang baik dilakukan untuk
terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan bahan kimia
pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/ hari. Untuk dermatitis
kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak bahan kimia
diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, maka
itu disebutkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian
dermatitis kontak.
3. Bahan Kimia
(2016) mengatakan bahwa bahaya bahan kimia adalah korosif (iritan) dan
28
racun. Bahan kimia dapat menyebabkan langsung jaringan kulit iritasi sampai
cedera atau korosi pada permukaan logam, namun yang sering terjadi adalah
cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata, iritasi
kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Bahan kimia
korosif cairan basa merusak jaringan lunak lebih kuat dari pada asam
anorganik. Bahan ini merusak lebih dalam pada jaringan lunak kulit dengan
hebat dan melemahkan lapisan epidermis sehingga kulit menjadi lebih rentan
terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat permulaan terpapar justru tidak
Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang mana
asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses
pelindung. Pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan
4. Masa Kerja
dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Pekerja yang
dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun. Hasil analisis juga
3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang telah
yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap
kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja kurang
atau sama dengan 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang
dengan lama bekerja 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat
30
kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah
dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih
tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus- menerus.
5. Usia
lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini
lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 2016). Usia pekerja yang lebih tua
menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi
menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014), pekerja dengan usia yang lebih
muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak. Hasil penelitian
pekerja dengan usia 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan pada usia >
6. Jenis Kelamin
pasien dengan iritasi eksim pada tangan tingkatnya lebih tinggi pada wanita,
perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam hal akut atau reaktivitas
kumulatif iritan. Persepsi umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih sensitif
dibandingkan dengan pria. Dalam studi yang lebih baru, pria bereaksi
terhadap paparan iritan yang lebih besar tingkatnya daripada wanita (Schnuch
(2003), Dari 40 pasien yang diuji tempel bahwa ternyata jenis kelamin yang
7. Ras
Variasi antar etnis dalam reaksi iritan telah dinilai antara orang Asia
dan Kaukasia, kulit hitam dan kulit putih, serta Hispanik dan Kaukasia.
reaktivitas iritan antara kulit hitam dan kulit putih. Studi dasar penilaian
kulit putih. Lapisan korneum memainkan peran utama dalam perbedaan antar
etnis yang diamati. Mungkin ada perbedaan struktural dalam stratum korneum
antara kulit hitam dan kulit putih. Jumlah lapisan sel dan kohesi interseluler
dari stratum korneum dilaporkan lebih besar pada kulit Hitam, tetapi
besar pada kulit Hitam. Jadi dapat dikatakan, kulit putih lebih rentan untuk
8. Riwayat Atopi
atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2014). Ada pengaruh yang
Dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyani dkk (2010), didapatkan bahwa
orang dengan riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatistis kontak
dermatitis kontak iritan (DKI) dan 29 orang ( 41,4%) tidak menderita DKI.
latar belakang riwayat atopi dan sebanyak 12 orang (17,1%) tidak mempunyai
latar belakang riwayat atopi. Dari hasil penelitian tersebut juga dikatakan
bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang lebih besar
33
yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki
riwayat atopik.
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Schnuch &
atopi tetapi tidak ada lesi aktif tidak menunjukkan reaktivitas meningkat
yang diamati pada pasien dermatitis atopi mungkin juga berkorelasi positif
oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi
merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena
kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi
inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga
kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 2016). Dari hasil penelitian
dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2014). Riwayat alergi dapat
(57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang
persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja (Lestari dan Utomo 2014).
11. Musim
pekerja menghindari pemakaian APD dan memakai pakaian kerja yang minim
Pada cuaca yang dingin, pekerja biasanya lebih malas untuk membersihkan
perbedaan nilai ambang respon dalam iritan akut yang telah dicatat antara
individu sesuai dengan jenis kulit mereka, tetapi pengukuran dosis eritema
paparan iritan (Schnuch & Carlsen, 2011). Ketebalan kulit juga dapat
mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia. Selain itu, kulit yang
berminyak lebih tahan terhadap at-zat yang larut dalam air, dibandingkan
dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan yang bersifat
diencerkan dan dihanyutkan oleh keringat yang keluar dari kulit, dan akan
yang dilakukan pada suatu tempat pekerjaan yang sama. Jenis proses
kimia yang berbeda jumlah konsentrasi dan lama paparannya. Semakin besar
pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Priatna dalam Lestari dan Utomo,
2014).
ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil
bahwa pekerja pada proses realisasi memiliki peluang 3,358 (3,4) kali
kriteria untuk nyaman, suhu udara dalam ruang yang dapat diterima adalah
berkisar antara 20-240C untuk musim dingin dan 23-260C untuk musim
mengatakan semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat
dan asam kuat, sabun, dan detergen dan banyak bahan kimia organik
dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja didalam ruang
yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%.
dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2014). Menurut Lestari dan
Utomo (2014), salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya dermatitis
personal hygiene yang baik dengan pekerja yang mengalami dermatitis kontak
pada pekerja yang personal hygiene-nya kurang baik. Dermatitis kontak lebih
banyak terjadi pada pekerja yang memiliki personal hygiene kurang baik.
yang menempel setelah bekerja, tetapi nyatanya pekerja masih bisa berpotensi
38
tangan. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya kesalahan dalam mencuci
hygiene baik.
pabrik menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita
akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan
mengalamai dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar dari pekerja yang selalu
dermatitis kontak. Pekerja yang cenderung memakai APD secara lebih baik,
Jika pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia walaupun
telah mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang digunakan
tidak sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia (Lestari dan
Utomo, 2014).
40
D. Jamur
1. Definisi Jamur
mikologi kurang tepat. Istilah yang tepat adalah mycetology, karena mykes
berdasarkan tatabahasa Yunani adalah myceto. Fungi dalam bahasa Latin juga
terutama di alam seperti air dan tanah sebagai jamur saprofit. Kehidupan
sehingga jamur dapat hidup di gurun pasir yang kering dan panas (Kumala,
2006).
Menurut Brooks dkk (2005), jamur tumbuh dalam dua bentuk dasar,
sebagai yeast/ragi dan molds. Pertumbuhan dalam bentuk mold adalah dengan
silindris yang bercabang yang disebut hifa, diameternya bervariasi dari 2-10
aktif adalah miselium. Beberapa hifa terbagi menjadi sel-sel oleh dinding
pemisah atau septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang teratur
membawa struktur reproduktif dari mold. Ragi adalah sel tunggal, biasanya
menghasilkan tunas yang mempunyai ciri khas gagal melepaskan diri dan
menghasilkan suatu sel ragi panjang yang disebut pseudohifa (Brooks dkk,
2005).
pada sel inang. Beberapa ragi dan mold memberi melanin pada dinding sel,
fungi. Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel pada kapang atau
42
b. fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi
fase aktif;
banyak, aktivitas sel sangat meningkat, dan fase ini merupakan fase yang
penting dalam kehidupan fungi. Pada awal dari fase ini kita dapat
waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah, kita dapat memanen biomassa
e. fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang
mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang
stasioner;
f. fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif sama
1. Substrat
enzim yang proteolitik untuk dapat menyerap senyawa asam-asam amino hasil
uraian protein. Contoh yang lain lagi, misalnya substratnya berkadar lemak
tinggi, maka fungi tersebut harus mampu menghasilkan lipase agar senyawa
asam lemak hasil uraian dapat diserap ke dalam tubuhnya. Fungi yang tidak
2. Kelembapan
nisbi yang lebih rendah, yaitu 80%. Fungi yang tergolong xerofilik tahan
44
banyak strain Aspergillus tamarii dan A. Flavus (Santoso et al., 1998 dalam
3. Suhu
pada atau dibawah 00C dan suhu maksimum 200C. Hanya sebagian kecil
spesies fungi yang psikofril. Fungi mesofil adalah fungi yang tumbuh pada
suhu 10-350C, suhu optimal 20-350C. Fungi dapat tumbuh baik pada suhu
adalah fungi yang hidup pada suhu minimum 200C, suhu optimum 400C dan
enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya
khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4.5-5.5.
Mengetahui sifat tersebut adalah sangat penting untuk industri agar fungi yang
5. Bahan kimia
Senyawa formalin disemprotkan pada tekstil yang akan disimpan untuk waktu
2006).
46
E. Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, ada beberapa
(2012) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor
individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi.
Menurut Schnuch & Carlsen (2011), faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu
lainnya, serta tipe kulit. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti
masa kerja dan jenis proses pekerjaan (Cohen, 2016), pemakaian APD (Siregar,
2016), riwayat alergi, musim dan personal hygiene (Hipp dalam Utomo, 2014),
serta bahan kimia dan pengeluaran keringat (Gardiner Aw & Harrington, 2014).
Lama Kontak
Frekuensi Kontak
Masa Kerja
Riwayat Atopi
Riwayat Penyakit
Kulit
Riwayat Alergi
Personal hygiene
47
BAB III
A. Kerangka Konsep
kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia,
masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain,
riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, jenis proses pekerjaan,
1. Lama Kontak
dermatitis kontak akibat kerja. Kontak yang lama dengan bahan kimia dapat
41
48
2. Frekuensi Kontak
bahan kimia terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit dari
3. Masa Kerja
seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Selain itu, pekerja yang lebih lama
telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia, sehingga kulitnya lebih tahan.
Maka dari itu, pekerja yang belum lama bekerja memungkinkan untuk
4. Usia
yang lebih tua, karena kulitnya lebih rentan. Semakin bertambahnya usia
maka kulit manusia akan mengalami degenerasi. Kulit akan menipis dan
5. Riwayat Atopi
kerentanan pekerja terhadap rekasi iritasi. Pada orang yang memiliki riwayat
49
atopi akan dapat memperparah penyakit. Selain itu orang yang pernah
hal yang utama untuk dapat terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Hal
kimia. Bahan kimia akan lebih mudah mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih
7. Riwayat Alergi
menjadikan kulit lebih rentan, sehingga dermatitis kontak akan lebih mudah
1. Bahan Kimia
kimia disetiap bengkel motor jenisnya sama. Konsentrasi dari bahan kimia itu
sendiri sulit untuk diteliti, karena dalam satu bengkel tidak hanya
menggunakan satu bahan kimia. Jenis paparan bahan kimia yang ada di pabrik
yaitu air aki (asam sulfat), minyak, minyak pelumas, bensin, serta cairan
pendingin. Kemudian kejadian dermatitis kontak itu sendiri ada yang bersifat
kronik, sehingga tidak dapat dipastikan jenis dan konsentrasi paparan bahan
Selain itu, pekerja pabrik selalu kontak dengan bahan kimia selama
dermatitis kontak. Maka dari itu bahan kimia tidak dijadikan variabel
penelitian.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin tidak diteliti karena jenis kelamin pekerja pabrik adalah
seluruhnya laki-laki.
3. Ras
yang sama.
51
4. Musim
5. Tipe Kulit
Tipe kulit tidak diteliti karena penentuan tipe kulit sulit untuk
laboratorium.
6. Pengeluaran Keringat
tangannya selalu basah saat bekerja akibat paparan dengan minyak atau
bensin pada alat bengkel akan sulit untuk menentukan kulit yang berkeringat
Jenis proses pekerjaan tidak diteliti karena dibengkel motor tidak ada
9. Pemakaian APD
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
4 Masa Kerja Kurun waktu atau lamanya Kuesioner Pengisian Bulan Rasio
responden bekerja sebagai Kuesioner & Self
pekerja pabrik sejak awal Administered
bekerja sampai penelitian
berlangsung
53
C. Hipotesis
54
1. Ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada
3. Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada
4. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja
5. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada
7. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek
diobservasi atau diteliti sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2015).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2017 pada pekerja pabrik
Bengkulu Tengah.
1. Populasi
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan carater tentu
kebetulan ada atau tersedia pada saat penelitian dilakukan sampai jumlah
N
n
1 N (d 2 )
Keterangan :
N :Populasi
n :Sampel
N
n
1 N (d 2 )
196
n
1 196(0,12 )
196
n
1 196(0,01 )
196
n
1 1,96
57
196
n
2,96
n 66,21
n 66
D. Instrumen Penelitian
1. Uji Laboratorium
Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan KOH 10% dan
laboratorium adalah
a. Pengambilan sampel
- Skalpel
- Pinset
- Alkohol 70%
- Kapas
- Keroklah bagian yang aktif dengan skalpel dengan arah dari atas
45 derajat ke atas).
c. Pembuatan sediaan
- Kaca objek
- Kaca penutup
- Lampu spiritus
- Pinset
- Reagen yaitu Larutan KOH 10% untuk kulit dan kuku, Larutan KOH
Pemeriksaan
Cara Pemeriksaan :
hypha dan atau spora, akan tampak gambaran hifa dan spora tergantung
- Terlihat gambaran hifa sebagai dua garis sejajar terbagi oleh sekat dan
- Terlihat campuran hifa pendek dan spora spora bulat yang dapat
Versikolor (panu)
2. Kuesioner
mengenai lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi,
3. Lembar Observasi
E. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yaitu
data yang diperoleh langsung dari pekerja pabrik dengan menggunakan alat ukur
kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi.
hygiene.
F. Pengolahan Data
berikut :
1. Coding
yaitu:
3. Entry
4. Cleaning
data tersebut tidak ada yang salah, sehingga data siap untuk diolah dan
dianalisis.
G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square (x2), dengan derajad
independen dengan variabel dependen dengan melakukan uji Chi Square (x2),
dengan uji Chi Square (x2), yaitu riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan
DAFTAR PUSTAKA
Avivah. 2015. Hubungan Antara Pajanan Pestisida dengan Dermatitis Kontak Pada
Petani Padi di Kecamatan Cilamaya Kulon Kabupaten Karawang. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Cahyawati, Imma Nur dan Irwan Budiono. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Kesmas 6 (2) : 134-141.
Cohen DE. 2016. Occupational Dermatoses In: DiBerardinis LJ, editors. Handbook
of Occupational Safety and Health, 2nd edition. Canada: John Wiley & Sons
Inc: 697-737
Corwin, Elizabeth J. 2016. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Alih Bahasa: Nike Budhi
Subekti. Jakarta : EGC.
Craecker, Nele Roskams & Rik Op de Beeck. 2012. Occupational skin diseases and
dermal exposure in the European Union (EU-25): policy and practice
overview. Belgium : European Agency for Safety and Health at Work.
Djuanda, Suria & Sri Adi Sularsito. 2012. Dermatitis, dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Ketiga, editor: Adhi Djuanda. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Frosh, P.J & S.M. John. 2011. Clinical Aspects of Irritans Contact Dermatitis in:
Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L, editors. Contact Dermatitis
5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Gardiner Aw, T.C, K & J.M. Harrington. 2014. Pocket Consultant Occupational
Health 5th edition. UK: Blackwell Publishing.
Health & Safety Executive (HSE). 2000. The Prevalence of Occupational Dermatitis
Among Work in The Printing Industry and Your Skin. Hsebooks.co.uk.
Isselbacher, Kurt J. et al. 2016. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi
13 Volume 1. Alih Bahasa : Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC
Ket, Ng See & Goh Chee Leok. 2012. The Principles and Practice of Contact and
Occupational Dermatology in Asia Pacific Region. Singapore : Mainland Press.
Lestari, Fatma & Hari Suryo Utomo. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Dermatitis Kontak Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Makara
Kesehatan, volume 11 No. 2 : 61-68.
Lestari, Tara. 2016. Hubungan Accu Zuur dan Berbagai Faktor Resiko dengan
Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Pabrik Mobil. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Meyer, J.D, et al. 2000. Occupational contact dermatitis in the UK: a surveillance
report from EPIDERM and OPRA. Occupational Medicine Volume 50
No.4:265-273.
Nuraga, Fatma Lestari dan L. Meily Kurniawidjaja. 2012. Dermatitis Kontak Pada
Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif
Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan, volume 12 No. 2 :
63-69.
Partogi, Donna. 2012. Dermatitis Kontak Iritan. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin FK USU. Medan.
Prambudi, Shoim. 2010. Geliat Usaha Bengkel Motor.
http://shoimprambudi.wordpress.com/2010/12/27/geliat-usaha-bengkel-motor/
Diakses pada tanggal 19 Juni 2017..
Schnuch, Axel & B.C. Carlsen. 2011. Genetics and Individual Predispositions in
Contact Dermatitis in: Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L,
editors. Contact Dermatitis 5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Siregar, RS. 2016. Dermatitis Akibat Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No.
107. Jakarta. Hal: 44-47.
Smeltzer, Suzzane C & Brenda G. Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Alih Bahasa: Agung Waluyo.
Jakarta : EGC.
66
Sularsito, SA. 2014. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Sumantri, Hertanti Trias Febriani, dan Sriwahyuni T Musa. 2012. Dermatitis Kontak.
Yogyakarta. Fakultas Farmasi UGM.
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan Di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Waldron, H.A & C. Edling. 2014. Occupational Health Practice 4th Edition. New
York: Oxford Univercity Press.
PROPOSAL
DISUSUN OLEH
KIKI HERLINDA WULANDARI
NPM. 132426008 SM