Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dermatitis adalah peradangan kulit pada epidermis dan dermis sebagai

respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau endogen yang menimbulkan

gejala klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papula, vesikel,

skuama) dan gatal. Dermatitis kontak merupakan salah satu bentuk dari

Dermatitis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering terjadi dari

kelompok penyakit kulit (Hakim, 2014)

Dermatosis akibat kerja/penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis

kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh-pengaruh

yang terdapat dalam lingkungan kerja. Gangguan kesehatan berupa dermatosis

akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya

akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses

pembangunan secara keseluruhan. Dermatitis kontak merupakan salah satu

bentuk dari dermatosis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering

terjadi dari kelompok penyakit kulit (Ket & Leok, 2001).

Berdasarkan penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit akibat kerja di

5 benua Tahun 2013, Dermatitis Kontak akibat kerja menempati urutan pertama

dari seluruh penyakit akibat kerja di banyak negara. Tingkat kejadiannya berkisar

antara 0-5-1,9 kasus per 1000 pekerja penuh waktu per Tahun. Prevalensi

1
2

Dermatitis Kontak pada populasi umum di AS telah diperkirakan bervariasi antara

1,5% dan 5,4%. Dermatitis Kontak adalah alasan yang paling umum ketiga bagi

pasien yang berkonsultasi dengan dokter kulit, tercatat ada 9,2 juta kunjungan

pada Tahun 2014. Hal ini juga menyumbang 95% dari semua penyakit kulit

akibat kerja yang dilaporkan (Who, 2016).

Di Indonesia, dermatitis akibat kerja sebagai salah satu bentuk penyakit

akibat kerja, merupakan jenis penyakit kerja terbanyak kedua setelah penyakit

muskoloskeletal, berjumlah sekitar 22% dari seluruh penyakit akibat kerja.

Sebanyak 90% penyakit kulit akibat kerja berlokasi di tangan (Kemenkes

RI,2012). Pada Tahun 2016 perkembangan penyakit dermatosis semakin

meningkat dengan persentase 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja

(Sumamur, 2016). Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja

sektor infromal menjadi buruk. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian

Kementrian Kesehatan pada 2004 di 8 provinsi pada pekerja sektor informal

didapatkan 75,8% perajin batu bata mengalami gangguan otot rangka, 41%

perajin kulit dan petani kelapa sawit mengalami gangguan mata, 23,2% perajin

batu onix mengalami gangguan Dermatitis Kontak alergik. Tenaga kerja yang

sakit atau mengalami gangguan kesehatan akan menurun kemampuan bekerja

fisik, berfikir, atau melaksanakan pekerjaan sehingga hasil kerjanya berkurang

dan tidak efektif (Kemenkes, 2014)


3

Prevalensi dermatitis di Provinsi Bengkulu cukup tinggi (89,97%)

dibandingkan pravelensi penyakit turunan lainnya. Prevalensi tertinggi di lebong

(166%), diikuti Bengkulu selatan (140,04%), kepahiang (109,4%), dan prevelansi

terendah terdapat di muko-muko (51.9%) (Riset Kesehatan Provinsi Bengkulu,

2016).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut

Schnuch & Carlsen (2011), diantaranya yaitu dermatitis atopik/riwayat atopik,

jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Sedangkan

menurut Djuanda dan Sularsito (2012), faktor yang mempengaruhi yaitu

lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu

usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi).

Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2014), ada 4 faktor yang

memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya dermatitis kontak pada pekerja

yaitu, jenis pekerjaan, usia, lama bekerja, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan

sebelumnya. Sedangkan menurut Nuraga dkk (2012), ada faktor lain yang

memiliki hubungan paling berpengaruh yaitu pemakaian APD terhadap pekerja

yang mengalami dermatitis kontak.

Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada umumnya dapat disebabkan

oleh tiga faktor yaitu faktor kimiawi, faktor mekanis/fisik, faktor biologis

(Kurniawidjaya, 2013). Dari faktor-faktor tersebut, faktor yang paling banyak

disebabkan karena faktor kimiawi. Berdasarkan penelitian di United Kingdom

(UK), ditemukan bahwa agen dengan jumlah tertinggi untuk kasus dermatitis
4

kontak alergi adalah karet (23,4% kasus alergi dilaporkan oleh ahli kulit), nikel

(18,2%), epoxies dan resin lainnya (15,6%), amina aromatik (8.6%), krom dan

kromat (8.1%), pewangi dan kosmetik (8.0%), dan pengawet (7.3%). Sedangkan

sabun (22,0% kasus), pekerjaan basah (19,8%), produk minyak bumi (8,7%),

pelarut/solvent (8.0%), dan cutting oil dan pendingin (7.8%) adalah agen yang

paling sering ditemukan dalam kasus dermatitis iritan (Meyer et al, 2000).

Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara mengubah pH nya,

bereaksi dengan protein-proteinnya (denaturasi), mengekstraksi lemak dari

lapisan luarnya, atau merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang

menimbulkan alergi kulit umumnya adalah hipersensitivitas tipe lambat (Anies,

2015).

Berdasarkan laporan dari bagian Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dari tahun 1988-2012 insiden

dermatitis kontak di Indonesia tercatat sebesar 4,45% (Sumantri dkk, 2012). Di

Indonesia banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan dermatitis

kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2014)

dari 80 responden pada industri otomotif terdapat sebanyak 48,8% pekerja

mengalami dermatitis kontak. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Nuraga, dkk

(2012) pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa pekerja yang

mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 74% dari 54 responden. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Nurzakky (2011) pada pekerja pabrik didapatkan

hasil bahwa sebesar 65,7% pekerja pabrik menderita dermatitis kontak akibat
5

kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci

tangan yang buruk. Pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk

memiliki risiko untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja 18,791 kali lebih

besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik.

Pekerja di pabrik merupakan salah satu pekerja yang memiliki risiko besar

untuk terpapar dengan bahan kimia. Bahaya dan risiko yang ada harus diantisipasi

oleh para pekerja pabrik yang bergerak pada sektor informal karena tidak adanya

perhatian khusus dalam menangani masalah kesehatan yang terjadi. Salah satu

penyakit yang bisa menjadi masalah untuk kesehatan pekerja pabrik adalah

masalah yang terjadi pada kulit yaitu dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis

kontak pada pekerja pabrik diakibatkan oleh paparan penggunaan air aki (asam

sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas,

minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin.

PT Batanghari Bengkulu Pratama (BBP) kec. Karang tinggi kab.

Bengkulu Tengah berdiri pada tahun 1997 ini merupakan perusahaan milik swasta

PT Batanghari Group yang bergerak dibidang perkebunan karet. Perusahaan ini

membawahi beberapa anak usaha, diantaranya Batanghari Barisan yang berada di

Sumatera Batat, Batanghari Tebing Pratama di Sumatera Utara. Batanghari

Pratama di Bengkulu, dan batang hari Tembesi di Jambi, Bengkulu Batanghari

pratama kini telah mengelola bahan baku sebanyak 18.000 ton per tahun, dengan

tujuan ekspor ke Negara produsesn ban seperti Jepang dan Amerika Serikat.
6

Beberapa merek ban seperti Bridgestone, Good Year, dan Yokohama,

menggunakan karet hasil olahan Batanghari Group.

Pabrik karet ini mengelolah karet yang di sadap oleh masyarakat yang

dijual ke toko-toko karet, kemudian toko menjual ke pabrik untuk diproses

sampai dengan pengepakan dalam bentuk ballan sebelum di kirim keluar negeri.

Dalam proses pembuatan karet yang akan dikirim, ada proses penggilingan

dimana penggilingan ini memerlukan banyak sekali air untuk membersihkan karet

dari kotoran sebelum di giling. Sebelum proses penggilingan berlangsung karet

yang sudah ditimbang itu direndam terlebih dahulu dengan air, sambil karyawan

memberishkan kotoran-kotoran yang menempel pada karet sebelum digiling.

Setelah itu karet yang sudah direndam itu dimasukan dalam mesin penggilingan

untuk diproses. Karet yang sudah digiling kemudian di alirkan ke bak

penyaringan, selama proses pengaliran ke bak saringan karyawan kembali

membersihkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada karet yang sudah

digiling sebelum masuk ke bak saring untuk pengeringan.

Dalam proses penggilingan, karyawan yang membersihkan kotoran yang

menempel pada karet yang sudah di giling dengan menggunakan tangannya tanpa

menggunakan sarung tangan untuk membersihkan kotoran yang masih menempel

pada karet yang belum digiling maupun sudah digiling. Dengan demikian

kebanyakan karyawan PT BBP ini menderita penyakit kulit karna bersentuhan

langsung dengan air karet. Penyakit ini di alami oleh karyawan akibat air karet ini

yaitu gatal-gatal dan pengelupasan pada kulit karyawan. Hal ini terjadi karna
7

banyaknya bakteri yang terkandung di dalam air karet. Alergi lateks (karet)

dikenal sebagai tipe (urtikaria), bersin, mata berari keluar ingus dan batuk.

Survei awal peneliti menyatakan bahwa sebagian besar karyawan di PT

Batanghari Bengkulu Pratama sering mengalami gejala Ruam kemerahan,

Peradangan, Gatal yang kadang-kadang terasa parah, Kering, Pembengkakan,

kulit kering, Bersisik, Lecet melepuh.

Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

faktor lingkungan, PH dan kekeruhan yang berhubungan dnegan penyakit kulit

pada karyawan PT BBP dengan judul Analisis Faktor Yang Mempengaruhi

Kejadian Dermatis Kontak Di Pabrik Karet PT Batanghari Bengkulu

Pratama Kec. Karang Tinggi, Kab. Bengkulu Tengah Tahun 2017

B. Rumusan Masalah

Kejadian dermatitis kontak dapat disebabkan oleh beberapa faktor menurut

Schnuch & Carlsen (2011), Djuanda dan Sularsito (2012), Lestari dan Utomo

(2014), dan Nuraga, dkk (2012) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, bahan

kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat

alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, masa kerja, jenis pekerjaan,

personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian


8

1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pabrik karet PT

Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten

Bengkulu Tengah tahun 2017?

2. Bagaimana gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat

atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada

pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang

Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

5. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

6. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang

Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

7. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?


9

8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

9. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja pabrik

karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi

Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

b. Diketahuinya gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia,

riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.


10

c. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

d. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu

Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun

2017.

e. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

f. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

g. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

h. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja pabrik di wilayah Kecamatan Ciputat

Timur tahun 2017.

i. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.


11

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan

program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah

terdekat. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi keilmuan K3,

khususnya mengenai dermatitis kontak pada pekerja. Selain itu juga dapat

dijadikan sebagai informasi penelitian dan menambah referensi hasil

penelitian untuk mahasiswa keselamatan dan kesehatan kerja.

2. Praktis

a. Bagi Pekerja Pabrik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada para Pekerja Pabrik mengenai gambaran kejadian dermatitis

kontak pada Pekerja Pabrik, selain itu dapat diketahui juga bagaimana

upaya pencegahan dan pengendaliannya agar masalah kesehatan tersebut

dapat teratasi sehingga membuat Pekerja Pabrik dapat bekerja dengan

lebih baik dan produktif.

b. Bagi Peneliti

Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dan pengalaman

dalam melakukan penelitian bidang keselamatan dan kesehatan kerja,

khusunya terkait dengan dermatitis kontak. Selain itu dapat menambah


12

wawasan keilmuan mengenai dermatitis kontak dan faktor penyebab serta

faktor yang mempengaruhinya.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dermatitis Kontak

1. Anatomi Kulit

Kulit adalah massa jaringan terbesar di tubuh. Kulit bekerja

melindungi dan enginsulasi struktur-struktur dibawahnya dan berfungsi

sebagai cadangan kalori. Kulit mencerminkan emosi dan stress yang kita

alami, dan berdampak pada penghargaan orang lain merespon kita. Selama

hidup, kulit dapat teriris, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi.

Kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih. Kulit

terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing tersusun dari berbagai jenis sel

dan fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut afalah epidermis,

dermis, dan subkutis (Corwin, 2016).

a. Epidermis

Epidermis adalah lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus menerus

mengalami mitosis, dan diganti sel baru sekurang-kurangnya setiap 30

hari. Epidermis mengandung reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu,

getaran, dan nyeri. Komponen utama epidermis adalah protein keratin,

yang dihasilkan oleh sel keratinosit. Keratin mencegah hilangnya air tubuh

dan melindungi epidermis dari iritan dan mikroorganisme penyebab

infeksi. Melanosit (sel pigmen) terdapat dibagian dasar epidermis.

13
14

Melanosit mensintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respon terhadap

rangsangan hormon hipifisis anterior. Sel-sel imun, yang disebut sel

Langerhans, terdapat diseluruh epidermis. Sel langerhans mengenali

partikel asing atau mikroorganisme yang masuk ke kulit, dan member

sinyal pada limfosit T atas keberadaan partikel atau mikroorganisme

tersebut untuk memulai suatu serangan imun (Corwin, 2016).

b. Dermis

Dermis terletak tepat dibawah epidermis. Jaringan ini dianggap

jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan

protein kolagen dan elastin. Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah,

saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar

keringan dan palit (sebasea). Sel mast, yang mengeluarkan histamine

selama cedera atau peradangan, dan makrofag, yang memfagositosis

sel-sel mati dan mikroorganisme, juga terdapat di dermis. Pembuluh

darah di dermis menyuplai makanan dan oksigen dermis dan epidermis,

dan membuang produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan

tubuh mengontrol temperaturnya (Corwin, 2016).

Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan

kekuatan dan struktur pada kulit. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan

yaitu papilaris dan retikularis. Lapisan papilaris dermis berada langsung

dibawah epidermis dan tersusun terutama dari sel-sel fibroblast yang dapat

menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari


15

jaringan ikat. Lapisan retikularis terletak dibawah lapisan papilaris dan

juga memproduksi kolagen serta berkas-berkas serabut elastic. Dermis

sering disebut sebagai kulit sejati (Smeltzer & Bare, 2012).

c. Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri atas

lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator

panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori selain lemak,

dan dapat dipecah menjadi sumber energy jika diperlukan (Corwin, 2016).

Lapisan subkutis/jaringan subkutan ini terutama berupa jaringan adiposa

yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti

otot dan tulang. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan

kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh (Smeltzer & Bare, 2012).

2. Fungsi Kulit

Fungsi kulit menurut Smeltzer & Bare (2012) yaitu diantaranya

sebagai perlindungan, sensibilitas, keseimbangan air, pengaturan suhu,

produksi vitamin, dan fungsi respon imun.

3. Dermatitis Kontak Akibat Kerja

Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari semua kasus

gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dapat dibagi ke

dalam dermatitis kontak iritan, yang terjadi pada 80% kasus, dan dermatitis

kontak alergi. Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis akan hadir sebagai lesi
16

eczematous pada bagian tubuh yang terkena, terutama tangan (Sasseville,

2012).

Smeltzer & Bare (2012) juga mengatakan dermatitis kontak

merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau

biologi. Epidermis mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang

berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana

reaksi non-alergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe

alergi (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang

sensitive terhadap allergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis kontak

mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera diikuti oleh gejala edema,

papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase

subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah

menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta

pengelupasan kulit.

Dermatitis memiliki berbagai macam bentuk variasi, dan

menimbulkan gejala yang bervariasi. Mereka yang mengalami dermatitis

biasanya akan mengalami rasa gatal yang terus menerus hingga kadang bisa

menimbulkan bekas garukan, timbul kemerahan hingga kadang berdarah, bisa

pula muncul luka mirip luka lepuh, dapat pula luka menjadi kasar dan terlihat

bersisik. Pada beberapa orang, dermatitis bisa menjadi sangat menyakitkan,

menyebabkan timbulnya ulkus


17

Ada dua tipe dermatitis kontak akibat kerja yaitu:

a. Dermatitis kontak iritan

b. Dermatitis kontak alergik

Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi


Dematitis kontak iritan Dermatitis Kontak Alergik
Patogenesis Efek sitotoksik langsung Reaksi imun yang diperantai
sel T
Individu yang terkena Semua orang Hanya orang yang alergik
Onset Langsung atau setelah paparan 12-48 jam
berulang terhadap iritasi lemah
Tanda Subakut atau kronis ekzema Akut hingga subakut
dengan ekzema dengan
deskuamasi, fisura vesiculation
Gejala Nyeri atau rasa kulit terbakar gatal
Konsentrasi kontaktan tinggi rendah

Pemeriksaan Tidak ada Tes patch atau prick

a. Dermatitis Kontak Iritan

Dalam Partogi (2012) dermatitis kontak iritan (DKI) adalah suatu

proses inflamasi lokal pada kulit jika berkontak dengan zat yang bersifat

iritan. Secara umum terdapat dua macam DKI yang bergantung dari jenis

bahan iritannya, yaitu DKI akut dan kumulatif. Pada DKI akut, kerusakan

kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan. Zat yang

menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan

kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan. Mencakup didalamnya adalah

asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.
18

Sedangkan pada DKI kumulatif, kerusakan terjadi setelah beberapa

kali pajanan pada lokasi kulit yang sama, yaitu terhadap zat- zat iritan lemah

seperti: air, deterjen, zat pelarut lemah, minyak dan pelumas. Zat-zat ini tidak

cukup toksik untuk menimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan,

melainkan secara perlahan-lahan hingga pada suatu saat kerusakannya mampu

menimbulkan inflamasi. Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat

multifaktorial.

1) Patogenesis

Mekanisme patogenesis DKI kumulatif dapat terjadi melalui dua cara

yaitu melalui mekanisme kerusakan fungsi sawar kulit yang diperankan

oleh stratum korneum dan pelepasan mediator akibat kerusakan

keratinosit. Stratum korneum memiliki banyak fungsi, salah satunya

adalah sebagai lapisan sawar pelindung yang mencegah pelepasan cairan

berlebih dari kulit. Fungsi integritas kulit bergantung pada kadar

kelembaban stratum korneum.

Kerusakan akibat pajanan zat iritan dimulai dengan kerusakan lapisan

lipid dan Natural Moisturizing Factor (NMF) sehingga terjadi kekeringan

kulit, kemudian kelainan stratum korneum ini akan mengakibatkan kulit

kehilangan fungsi sawarnya. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya

pajanan langsung sel kulit yang masih hidup terhadap zat iritan tersebut.

Jika zat iritan telah dapat mencapai membrane lipid keratinosit, maka zat
19

tersebut dapat berdifusi melalui membrane untuk masuk lisosom,

mitokondria, atau komponen inti.

2) Manifestasi Klinis

Penyebab kerusakan stratum korneum pada DKI kumulatif adalah

penurunan ambang kulit terhadap kerusakan berulang yang terjadi lebih

cepat daripada waktu untuk penyembuhan sempurna fungsi sawar kulit.

Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang terjadi melebihi ambang

manifestasi tertentu, yang akan berbeda untuk setiap individu. Nilai

ambang bukan angka yang tetap bagi individu, tetapi dapat menurun jika

ada suatu penyakit.

Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering terlihat oleh

mata, secara histopatologik pada kulit sudah terjadi kerusakan. Karena

DKI kumulatif disebabkan oleh zat kimia lemah, maka kelainan kulit yang

diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi yang terjadi dapat merupakan

gejala yang dapat diobservasi oleh penglihatan dan berupa keluhan

subjektif. Lesi kulitnya berupa eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi,

skuama, hyperkeratosis, dan kulit pecah dengan batas yang tidak tegas.

Sedangkan keluhan yang timbul dapat berupa gatal, panas, dan nyeri

akibat pecahnya kulit yang hiperkeratotik. Lokasi kulit dimana saja dapat

terkena, akan tetapi yang terbanyak adalah tangan.


20

b. Dermatitis Kontak Alergik

Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergika

merupakan suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan Antigen

Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa mempersoalkan

keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga meskipun stratum korneum

intak, tidak dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak alergi pada individu

yang sensitif (Hakim, 2014).

1) Patogenesis

Di sini yang berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan Coombs). Reaksi

ini di bagi dalam dua fase yaitu, fase sensitisasi dan fase elisitasi. Bahan

kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya mempunyai berat

molekul kecil, larut dalam lemak dan ini di sebut sebagai hapten. Hapten

akan berpenetrasi menembus lapisan korneum sampai mencapai lapisan

bawah epidermis. Hapten ini akan difagosit oleh sel Langerhans,

kemudian hapten akan di ubah oleh enzim lisosom dan sitosolik yang

kemudian berikatan dengan HLA-DR membentuk anti gen. HLA-DR dan

anti gen ini akan di perkenalkan kepada sel limfosit T melalui CD4

(cluster of differentiation-4) yang akan mengenal HLA-DR dan CD3

(cluster of differentiation-3) yang akan mengenal anti gen tersebut.

Sedangkan fase elisitasi di mulai ketika anti gen yang serupa, setelah

difagosit oleh sel Langerhans dengan cepat akan di kenal oleh sel memori

sehingga sel memori akan mengeluarkan IFN-g (interferon gamma) yang


21

akan merangsang keratinosit yang akan menampakkan ICAM-1 dan HLA-

DR pada permukaan keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit

berikatan dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat LFA-1

(lymphocyte associated-1).

2) Manifestasi Klinis

Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut di mulai dengan

bercak eritea berbatas jelas, kemudian di ikuti edema, papulovesikel,

vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan

eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit kering berskuama, papul

likenifikasi dan mungkin juga fisura, batas tidak jelas.

B. Penyakit Kulit Akibat Kerja

Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada waktu

melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam lingkungan

kerja (Siregar, 2016). Penyakit kulit dapat ditandai dengan ruam yang memiliki

kesamaan letak yang terbatas ke daerah serangan eksternal. Menggaruk ruam

karena gatal dapat menyebabkan perluasan daerah yang terpapar. Penggunaan

berbagai salep dalam kombinasi dapat memperburuk daripada mengurangi gejala.

Penggunaan sarung tangan dapat melindungi terhadap kontak dengan bahan kimia

penyebab, tetapi penggunaan sarung tangan yang tidak tepat dapat menyebabkan

bahan kimia dapat masuk diantara sarung tangan dan kulit tangan. Hal ini dapat

memperburuk dermatitis kontak. Beberapa orang juga alergi terhadap lateks dan
22

komponen lain dalam sarung tangan (Gardiner & Harrington, 2014). Di negara-

negara industri, sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas

pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian

tubuh lainnya juga kadang-kadang dapat mengalami dermatitis kontak.

Kebanyakan kasus didiagnosis sebagai eksim atau dermatitis kontak (Waldron &

Edling, 2014).

Jenis penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut (Waldron & Edling,

2014):

1. Subtipe eksim / dermatitis kontak

2. Acne kontak dan folikulitis

3. Depigmentasi dan hyperpigmentasi

4. Infeksi

5. tumor jinak dan ganas - berbagai penyakit misalnya lichenoid reaksi.

1. Penyebab penyakit kulit akibat kerja

Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor (Siregar,

2016):

a. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, allergen atau karsinogen.

b. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas,

dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif.

c. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan

produknya, jamur, parasit dan virus.


23

d. Faktor psikologis (kejiwaan), ketidakcocokan pengelolaan perusahaan

sering menghambat konflik diantara pegawai dan dapat menimbulkan

gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.

Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari

serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat penguapan air

yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar.

Pigmen didalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain

itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi

sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mempermudah timbulnya

kelainan kulit.

a. Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama.

b. Riwayat alergi penderita atau keluarganya.

c. Proses produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang digunakan di

tempat pekerjaan.

d. Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan.

e. Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang

dipakai.

f. Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan dan

temperatur.

g. Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit, dan

lain-lain.
24

2. Pemeriksaan Klinis

Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan

kontak bahan yang dicurigai, yang tersering ialah daerah yang terpajan,

misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan ruam

kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem, vesikel,

edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis berupa

hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat

pustulasi. Bila ada pertumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau

ulkus.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara lengkap.

Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya

dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan

KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar. Pemeriksaan

biopsy kulit kadang-kadang perlu dilakukan.

4. Uji Tempel/ Patch Test

Karena penyakit kulit akibat kerja sebagian besar berbentuk dermatitis

kontak alergik (80%), maka uji tempel perlu dikerjakan untuk memastikan

penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu

dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes tempel yang sudah

standard an disebut unit uji tempel. Unit ini terdiri atas filter paper disc, yang

dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji. Bahan yang akan diuji diteteskan
25

diatas unit uji tempel, kemudian ditutup dengan bahan impermeabel,

selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang hipoalergis. Pembacaan

dilakukan setelah 48, 72 dan 96 jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu

dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek plester.

Hasil 0 : bila tidak ada reaksi

+ : bila hanya ada eritema

++ : bila ada eritema dan papul

+++ : bila ada eritema, papul, dan vesikel

++++ : bila ada edema, vesikel

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak

Faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak yaitu lama kontak,

frekuensi kontak dan bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat

penyakit kulit lain, tipe/jenis kulit, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, masa kerja,

jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.

1. Lama Kontak

Lama kontak dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat

kerja (Djuanda dan Sularsito 2012). Lama kontak dengan bahan kimia yang

terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin

lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat

terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu


26

dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan

(Nuraga, 2012).

Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2012), ada hubungan antara lama

kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan

bahan kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa

Barat. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa pekerja dengan lama

kontak 8 jam//hari lebih banyak menderita dermatitis kontak dibandingkan

dengan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Dari penelitian Ruhdiat

(2016) juga didapatkan bahwa perjalanan dermatitis kontak akut, subakut,

maupun kronis sering terjadi pada orang yang mempunyai kontak

selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu faktor yang paling

berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak.

Menurut Cohen (2016), lama kontak mempengaruhi kejadian

dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka

akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan risiko

terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2014) juga

mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka

penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam

hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat.

2. Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian

dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito, 2012). Menururt Cohen
27

(2016), dermatitis kontak alergi dapat disebabkan karena adanya frekuensi

yang terus-menerus dan berulang khususnya untuk bahan yang mempunyai

sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak alergi, dimana

dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional

biasanya disebabkan oleh bahan kimia dengan jumlah sedikit. Menurut

Nuraga dkk (2012), upaya menurunkan frekuensi kontak pekerja dengan

bahan kimia merupakan salah satu upaya yang baik dilakukan untuk

menurunkan kejadian dermatitis kontak.

Dalam penelitian Ruhdiat (2016), dermatitis kontak akut terbanyak

terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan bahan kimia

sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut banyak terjadi

pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/ hari. Untuk dermatitis

kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak bahan kimia

diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan

bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, maka

berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak hingga kronik. Pada penelitian

itu disebutkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian

dermatitis kontak.

3. Bahan Kimia

Bahan kimia dapat bergabung dengan protein kulit dan menyebabkan

kerusakan kulit (Gardiner Aw & Harrington, 2014). Linins dalam Ruhdiat

(2016) mengatakan bahwa bahaya bahan kimia adalah korosif (iritan) dan
28

racun. Bahan kimia dapat menyebabkan langsung jaringan kulit iritasi sampai

cedera atau korosi pada permukaan logam, namun yang sering terjadi adalah

cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata, iritasi

kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Bahan kimia

korosif cairan basa merusak jaringan lunak lebih kuat dari pada asam

anorganik. Bahan ini merusak lebih dalam pada jaringan lunak kulit dengan

menimbulkan proses perlemakan dalam hitungan minggu, rasa nyeri yang

hebat dan melemahkan lapisan epidermis sehingga kulit menjadi lebih rentan

terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat permulaan terpapar justru tidak

timbul rasa sakit.

Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang mana

asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses

perusakan jaringan lunak. Asam bereaksi sangat cepat dengan lapisan

pelindung. Pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan

membran mukosa dengan merusak jaringan lunak yang menyebabkan jalan

masuk untuk terjadinya infeksi sekunder (Linins dalam Ruhdiat, 2016).

4. Masa Kerja

Masa kerja merupakan lamanya pekerja bekerja pada suatu tempat.

Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis kontak

menunjukan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian

dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Pekerja yang

memiliki lama bekerja 2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis


29

dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun. Hasil analisis juga

menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja 2 tahun memiliki peluang

3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang telah

bekerja selama >2 tahun (Lestari dan Utomo, 2014).

Cohen (2016) mengatakan bahwa pekerja dengan lama bekerja 2

tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa

pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan

pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan

dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi

meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama

bekerja 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati

sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit.

Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang

dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja

yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap

bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada

kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja kurang

atau sama dengan 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang

mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang

cukup dalam melakukan pekerjaanya (Cahyawati dan Budiono, 2011).

Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2014) bahwa pekerja

dengan lama bekerja 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat
30

kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah

memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi ini

dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih

tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus- menerus.

5. Usia

Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia mengalami

degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan

lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini

memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi

lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 2016). Usia pekerja yang lebih tua

menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi

kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis

kronik (Cronin dalam Lestari dan Utomo, 2014).

Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah

menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014), pekerja dengan usia yang lebih

muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada

pekerja dengan usia 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan pada usia >

30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.


31

6. Jenis Kelamin

Dermatitis kontak sering terjadi pada perempuan (Wigger dalam

Avivah, 2015). Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan di antara

pasien dengan iritasi eksim pada tangan tingkatnya lebih tinggi pada wanita,

tetapi kebanyakan penelitian eksperimental tidak dapat memastikan adanya

perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam hal akut atau reaktivitas

kumulatif iritan. Persepsi umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih sensitif

dibandingkan dengan pria. Dalam studi yang lebih baru, pria bereaksi

terhadap paparan iritan yang lebih besar tingkatnya daripada wanita (Schnuch

& Carlsen, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trihapsoro

(2003), Dari 40 pasien yang diuji tempel bahwa ternyata jenis kelamin yang

terbanyak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan

laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).

7. Ras

Variasi antar etnis dalam reaksi iritan telah dinilai antara orang Asia

dan Kaukasia, kulit hitam dan kulit putih, serta Hispanik dan Kaukasia.

Beberapa studi telah dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki perbedaan

reaktivitas iritan antara kulit hitam dan kulit putih. Studi dasar penilaian

visual, telah dilaporkan penurunan reaktivitas pada kulit hitam, sedangkan

studi dasar pada parameter obyektif telah menghasilkan peningkatan

reaktivitas, kesamaan reaktivitas, ataupun penurunan reaktivitas, tetapi untuk

sebagian besar penurunan reaktivitas pada kulit hitam dibandingkan dengan


32

kulit putih. Lapisan korneum memainkan peran utama dalam perbedaan antar

etnis yang diamati. Mungkin ada perbedaan struktural dalam stratum korneum

antara kulit hitam dan kulit putih. Jumlah lapisan sel dan kohesi interseluler

dari stratum korneum dilaporkan lebih besar pada kulit Hitam, tetapi

ketebalan stratum korneum sama. Lipid interseluler juga tampaknya lebih

besar pada kulit Hitam. Jadi dapat dikatakan, kulit putih lebih rentan untuk

terjadinya dermatitis (Schnuch & Carlsen, 2011).

8. Riwayat Atopi

Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang

mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, missal dermatitis

atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2014). Ada pengaruh yang

signifikan antara riwayat atopik dengan timbulnya dermatitis kontak iritan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyani dkk (2010), didapatkan bahwa

orang dengan riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatistis kontak

iritan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi.

Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan 41 orang (58,6%) menderita

dermatitis kontak iritan (DKI) dan 29 orang ( 41,4%) tidak menderita DKI.

Dari 41 orang yang menderita DKI, sebanyak 29 orang (41,4%) mempunyai

latar belakang riwayat atopi dan sebanyak 12 orang (17,1%) tidak mempunyai

latar belakang riwayat atopi. Dari hasil penelitian tersebut juga dikatakan

bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang lebih besar
33

yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki

riwayat atopik.

Sularsito (2014) menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki

riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatitis kontak iritan

dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Schnuch &

Carlsen (2011) juga mengatakan bahwa pasien dengan riwayat dermatitis

atopi tetapi tidak ada lesi aktif tidak menunjukkan reaktivitas meningkat

dibandingkan dengan pasien dengan dermatitis atopi aktif. Hiperreaktivitas

yang diamati pada pasien dermatitis atopi mungkin juga berkorelasi positif

dengan keparahan penyakit. Kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada

orang yang memiliki riwayat/dermatitis atopi mungkin sebagian dikarenakan

oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi

yang lebih besar.

9. Riwayat Penyakit Kulit

Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis,

merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena

kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi

inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga

kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 2016). Dari hasil penelitian

Cahyawati dan Budiono (2011), menyatakan bahwa faktor riwayat penyakit

kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis.

Sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya


34

cenderung menderita dermatitis. Sumantri dkk (2012) memgatakan bahwa

beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya

penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah

akibat membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis.

10. Riwayat Alergi

Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2014). Riwayat alergi dapat

menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis

hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa

pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis sebanyak 15 orang

(57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang

tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis sebanyak 24 orang dengan

persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja (Lestari dan Utomo 2014).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyawati dan

Budiono (2011) sebagian besar responden yang tidak menderita dermatitis

tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Dari data sebanyak 17 responden

(85%) responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki alergi

sebelumnya, sebaliknya 10 responden (50%) yang menderita dermatitis

memiliki riwayat alergi sebelumnya.

11. Musim

Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2014), faktor musim dapat

mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Menururt Gilles L et al (2000)


35

dalam Situmeang (2012), musim panas dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan pengeluaran keringat oleh pekerja, selain itu dapat membuat

pekerja menghindari pemakaian APD dan memakai pakaian kerja yang minim

sehingga memungkinkan kontak langsung dengan bahan kimia secara mudah.

Pada cuaca yang dingin, pekerja biasanya lebih malas untuk membersihkan

diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia.

12. Tipe kulit

Kulit manusia dapat berbeda berdasarkan pada status pigmentasi dan

kemampuan dalam penyamakan respon terhadap sinar matahari. Tidak ada

perbedaan nilai ambang respon dalam iritan akut yang telah dicatat antara

individu sesuai dengan jenis kulit mereka, tetapi pengukuran dosis eritema

minimal tampaknya berkorelasi terbalik dengan tingkat reaksi terhadap

paparan iritan (Schnuch & Carlsen, 2011). Ketebalan kulit juga dapat

mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia. Selain itu, kulit yang

berminyak lebih tahan terhadap at-zat yang larut dalam air, dibandingkan

dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan yang bersifat

asam atau basa (Gilles L et al (2000) dalam Situmeang, 2012).

13. Pengeluaran Keringat

Tingkat efek dermatitis kontak tergantung dari beberapa faktor, salah

satunya adalah berkeringat (Gardiner Aw & Harrington, 2014). Gilles L et al

(2000) dalam Situmeang (2012) mengatakan bahwa bahan-bahan iritan dapat


36

diencerkan dan dihanyutkan oleh keringat yang keluar dari kulit, dan akan

memudahkan absorbs melalui pori-pori kulit.

14. Jenis Proses Pekerjaan

Jenis proses pekerjaan merupakan berbagai macam tahap pekerjaan

yang dilakukan pada suatu tempat pekerjaan yang sama. Jenis proses

pekerjaan dapat mempengaruhi dermatitis kontak karena diantara satu

pekerjaan dengan pekerjaan lainnya memungkinkan adanya paparan bahan

kimia yang berbeda jumlah konsentrasi dan lama paparannya. Semakin besar

jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan

pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Priatna dalam Lestari dan Utomo,

2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2014),

ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja pada proses realisasi

lebih banyak yang mengalami dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja

yang bekerja pada proses pendukung. Hasil analisis juga menunjukkan

bahwa pekerja pada proses realisasi memiliki peluang 3,358 (3,4) kali

terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di proses pendukung.

15. Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor fisik udara di

lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Djuanda &

Sularsito, 2012). NIOSH dalam Ruhdiat (2016) merekomendasikan tentang


37

kriteria untuk nyaman, suhu udara dalam ruang yang dapat diterima adalah

berkisar antara 20-240C untuk musim dingin dan 23-260C untuk musim

panas pada kelembaban 35-65%. Mc Beath dalam Ruhdiat (2016)

mengatakan semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat

dan asam kuat, sabun, dan detergen dan banyak bahan kimia organik

diperberat dengan faktor turunnya kelembaban dan naiknya suhu lingkungan

kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Ruhdiat (2016), menunjukkan bahwa

dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja didalam ruang

yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%.

16. Personal hygiene

Personal hygiene juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2014). Menurut Lestari dan

Utomo (2014), salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya dermatitis

kontak adalah personal hygiene. Dari hasil penelitiannya menunjukkan ada

perbedaan proporsi antara pekerja yang mengalami dermatitis dengan

personal hygiene yang baik dengan pekerja yang mengalami dermatitis kontak

pada pekerja yang personal hygiene-nya kurang baik. Dermatitis kontak lebih

banyak terjadi pada pekerja yang memiliki personal hygiene kurang baik.

Dalam hal ini, yang dimungkinkan menjadi penyebabnya personal hygiene

kurang baik adalah masalah mencuci tangan. Kebiasaan mencuci tangan

seharusnya dapat mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat bahan kimia

yang menempel setelah bekerja, tetapi nyatanya pekerja masih bisa berpotensi
38

untuk mengalami dermatitis meski sudah melakukan kebiasaan mencuci

tangan. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya kesalahan dalam mencuci

tangan (kurang bersih dalam mencuci tangan).

Dalam penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) juga menunjukkan

bahwa ada hubungan antara faktor personal hygiene dengan kejadian

dermatitis kontak. Ada kecenderungan bahwa responden yang menderita

dermatitis karena memiliki personal hygiene yang buruk, sebaliknya

responden yang tidak menderita dermatitis sebagian besar memiliki personal

hygiene baik.

Menurut hasil penelitian Nurzakky (2011) sebesar 65,7% pekerja

pabrik menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita

dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Hasil

analisisnya menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci

tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis kontak

akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan

mencuci tangan yang baik.

17. Pemakaian APD

Sebaiknya para pekerja diperlengkapi dengan alat penyelamat atau

pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya

dapat mengiritasi, merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang dapat

dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata

pelindung, sepatu, krim pelindung dan lain-lain (Siregar, 2016).


39

Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat akan

menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun

lama perjalanan dermatitis kontak. Besarnya risiko kelompok pekerja yang

kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan dengan kelompok pekerja

yang menggunakan APD terhadap kejadian dermatitis kontak (positif) adalah

8,556. Artinya pekerja yang kadang-kadang memakai APD mempunyai risiko

mengalamai dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar dari pekerja yang selalu

menggunakan APD (Nuraga dkk, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cahyawati dan Budiono (2011)

membuktikan bahwa ada hubungan antara pemakaian APD dengan kejadian

dermatitis kontak. Pekerja yang cenderung memakai APD secara lebih baik,

hasilnya rendah untuk berisiko mengalami dermatitis kontak. Pemakaian

alat pelindung diri, maka akan menghindarkan seseorang kontak langsung

dengan agen-agen fisik, kimia maupun biologi.

Kesesuaian APD juga perlu untuk diperhatikan. APD yang baik

seharusnya dapat mengurangi potensi pekerja untuk terkena dermatitis kontak.

Jika pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia walaupun

telah mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang digunakan

tidak sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia (Lestari dan

Utomo, 2014).
40

D. Jamur

1. Definisi Jamur

Mikologi berasal dari bahasa Yunani mykes=jamur dan logos=ilmu.

Menurut Alexopoulos et al. (1996) dalam Gandjar (2006), sebenarnya istilah

mikologi kurang tepat. Istilah yang tepat adalah mycetology, karena mykes

berdasarkan tatabahasa Yunani adalah myceto. Fungi dalam bahasa Latin juga

berarti jamur. Jamur merupakan mikroorganisme eukaryotik dengan tingkat

biologisnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri. Habitat hidupnya

terutama di alam seperti air dan tanah sebagai jamur saprofit. Kehidupan

jamur memerlukan suasana lingkungan dengan kelembapan yang tinggi.

Meskipun demikian jamur dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan,

sehingga jamur dapat hidup di gurun pasir yang kering dan panas (Kumala,

2006).

2. Morfologi dan Struktur Jamur

Menurut Brooks dkk (2005), jamur tumbuh dalam dua bentuk dasar,

sebagai yeast/ragi dan molds. Pertumbuhan dalam bentuk mold adalah dengan

produksi koloni filamentosa multiseluler. Koloni ini mengandung tubulus

silindris yang bercabang yang disebut hifa, diameternya bervariasi dari 2-10

m. Massa hifa yang jalin-menjalin dan berakumulasi selama pertumbuhan

aktif adalah miselium. Beberapa hifa terbagi menjadi sel-sel oleh dinding

pemisah atau septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang teratur

selama pertumbuhan hifa. Hifa yang menembus medium penyangga dan


41

mengabsorbsi bahan-bahan makanan adalah hifa vegetatif atau hifa substrat.

Sebaliknya, hifa aerial menyembul di atas permukaan miselium dan biasanya

membawa struktur reproduktif dari mold. Ragi adalah sel tunggal, biasanya

berbentuk bulat atau elips dan diameternya bervariasi dari 3-15 m.

Kebanyakan ragi bereproduksi melalui pertunasan. Beberapa spesies

menghasilkan tunas yang mempunyai ciri khas gagal melepaskan diri dan

menjadi memanjang; kesinambungan dari proses pertunasan kemudian

menghasilkan suatu sel ragi panjang yang disebut pseudohifa (Brooks dkk,

2005).

Semua jamur mempunyai dinding sel kaku yang penting untuk

menentukan bentuknya. Dinding-dinding sel sebagian besar terbentuk oleh

lapisan karbohidrat, rantai-rantai panjang polisakarida, juga glikoprotein dan

lipid. Selama infeksi, dinding sel jamur mempunyai sifat-sifat patobiologi

yang penting. Komponen permukaan dinding memperantai penempelan jamur

pada sel inang. Beberapa ragi dan mold memberi melanin pada dinding sel,

memberikan pigmen coklat atau hitam. Jamur yang demikian adalah

dematiaceous. Dalam beberapa penelitian, melanin berhubungan dengan

virulensi (Brooks dkk, 2005).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan, begitu pula

fungi. Kurva tersebut diperoleh dari menghitung massa sel pada kapang atau
42

kekeruhan media pada khamir dalam waktu tertentu. Kurva pertumbuhan

mempunyai beberapa fase (Gandjar, 2006) antara lain :

a. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan

enzim-enzim untuk mengurai substrat;

b. fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi

fase aktif;

c. fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat

banyak, aktivitas sel sangat meningkat, dan fase ini merupakan fase yang

penting dalam kehidupan fungi. Pada awal dari fase ini kita dapat

memanen enzim-enzim dan pada akhir dari fase ini atau;

d. fase deselerasi (Moore-Landecker, 1996 dalam Gandjar, 2006), yaitu

waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah, kita dapat memanen biomassa

sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi diperlukan oleh sel-sel;

e. fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang

mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang

horizontal. Banyak senyawa metabolit sekunder dapat dipanen pada fase

stasioner;

f. fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif sama

sekali lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.


43

Pada umumnya pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh (Gandjar, 2006):

1. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-nutrien

baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresi enzim-enzim

ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat

tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Misalnya, apabila

substratnya nasi, atau singkong, atau kentang, maka fungi tersebut

harus mampu mengekskresikan enzim -amilase untuk mengubah amilum

menjadi glukosa. Senyawa glukosa tersebut yang kemudian diserap oleh

fungi. Apabila substratnya daging, maka fungi tersebut harus mengeluarkan

enzim yang proteolitik untuk dapat menyerap senyawa asam-asam amino hasil

uraian protein. Contoh yang lain lagi, misalnya substratnya berkadar lemak

tinggi, maka fungi tersebut harus mampu menghasilkan lipase agar senyawa

asam lemak hasil uraian dapat diserap ke dalam tubuhnya. Fungi yang tidak

dapat menghasilkan enzim sesuai komposisi substrat dengan sendirinya tidak

dapat memanfaatkan nutrien-nutrien dalam substrat tersebut.

2. Kelembapan

Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Pada umumnya

fungi tingkat rendah seperti Rhizopus atau Mucor memerlukan lingkungan

dengan kelembapan nisbi 90%, sedangkan kapang Aspergillus, Penicillium,

Fusarium, dan banyak hyphomycetes lainnya dapat hidup pada kelembapan

nisbi yang lebih rendah, yaitu 80%. Fungi yang tergolong xerofilik tahan
44

hidup pada kelembapan 70%, misalnya Wallemia sebi, Aspergillus glaucus,

banyak strain Aspergillus tamarii dan A. Flavus (Santoso et al., 1998 dalam

Gandjar, 2006). Dengan mengetahui sifat-sifat fungi ini penyimpanan bahan

pangan dan materi lainnya dapat dicegah kerusakannya.

3. Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan,

fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil.

Fungi psikofril adalah fungi yang dengan kemampuan untuk tumbuh

pada atau dibawah 00C dan suhu maksimum 200C. Hanya sebagian kecil

spesies fungi yang psikofril. Fungi mesofil adalah fungi yang tumbuh pada

suhu 10-350C, suhu optimal 20-350C. Fungi dapat tumbuh baik pada suhu

ruangan (22-250C). Sebagian besar fungi adalah mesofilik. Fungi termofil

adalah fungi yang hidup pada suhu minimum 200C, suhu optimum 400C dan

suhu maksimum 50-600C. Contohnya Aspergillus fumigatus yang hidup

pada suhu 12-550C. Mengetahui kisaran suhu pertumbuhan suatu fungi

adalah sangat penting, terutama bila isolat-isolat tertentu akan digunakan di

industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran (Candida tropicalis,

Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang

optimal meskipun terjadi peningkatan suhu, karena metabolisme funginya,

sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin.


45

4. Derajat keasaman lingkungan

pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-

enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya

pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7.0. Jenis-jenis

khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4.5-5.5.

Mengetahui sifat tersebut adalah sangat penting untuk industri agar fungi yang

ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya pada produksi

asam sitrat, produksi kefir, produksi enzim protease-asam, produksi antibiotik,

dan juga untuk mencegah pembusukan bahan pangan.

5. Bahan kimia

Bahan kimia sering digunakan untuk mencegah pertumbuhan fungi.

Senyawa formalin disemprotkan pada tekstil yang akan disimpan untuk waktu

tertentu sebelum dijual. Hal ini terutama untuk mencegah pertumbuhan

kapang yang bersifat selulolitik, seperti Chaetomium globosum, Aspergillus

niger, dan Cladosporium cladosporoides yang dapat merapuhkan tekstil, atau

meninggalkan noda-noda hitam akibat sporulasi yang terjadi.

Selama pertumbuhannya fungi menghasilkan senyawa-senyawa yang

tidak diperlukannya lagi dan dikeluarkan ke lingkungan. Senyawa-senyawa

tersebut merupakan suatu pengaman pada dirinya terhadap serangan oleh

mikroorganisme lain termasuk terhadap sesama mikroorganisme (Gandjar,

2006).
46

E. Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, ada beberapa

faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Djuanda dan Sularsito

(2012) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor

individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi.

Menurut Schnuch & Carlsen (2011), faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu

dermatitis atopi/riwayat atopi, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit

lainnya, serta tipe kulit. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti

masa kerja dan jenis proses pekerjaan (Cohen, 2016), pemakaian APD (Siregar,

2016), riwayat alergi, musim dan personal hygiene (Hipp dalam Utomo, 2014),

serta bahan kimia dan pengeluaran keringat (Gardiner Aw & Harrington, 2014).

Hal tersebut dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini:

Lama Kontak

Frekuensi Kontak

Masa Kerja

Usia Dermatitis Kontak

Riwayat Atopi

Riwayat Penyakit
Kulit

Riwayat Alergi

Personal hygiene
47

BAB III

KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pabrik karet PT

Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu

Tengah tahun 2017. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia,

masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain,

riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, jenis proses pekerjaan,

personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.

Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu dermatitis kontak.

Sedangkan variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Lama Kontak

Lama kontak dengan bahan kimia dapat meningkatkan terjadinya

dermatitis kontak akibat kerja. Kontak yang lama dengan bahan kimia dapat

menyebabkan kulit lapisan luar mengalami peradangan, dan jika kontak

dengan bahan kimia semakin lama, akan semakin memungkinkan terjadinya

peradangan pada kulit lapisan dalam.

41
48

2. Frekuensi Kontak

Fekuensi kontak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian

dermatitis kontak akibat kerja. Semakin banyaknya frekuensi paparan

bahan kimia terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit dari

lapisan yang paling luar hingga dalam.

3. Masa Kerja

Masa kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis

kontak akibat kerja. Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman

seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Selain itu, pekerja yang lebih lama

telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia, sehingga kulitnya lebih tahan.

Maka dari itu, pekerja yang belum lama bekerja memungkinkan untuk

mengalami kejadian dermatitis kontak.

4. Usia

Kejadian dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada pekerja

yang lebih tua, karena kulitnya lebih rentan. Semakin bertambahnya usia

maka kulit manusia akan mengalami degenerasi. Kulit akan menipis dan

kehilangan lapisan lemak sehingga menjadi lebih kering. Hal tersebut

menyebabkan kulit lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak.

5. Riwayat Atopi

Riwayat atopi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Adanya riwayat atopi menjadikan

kerentanan pekerja terhadap rekasi iritasi. Pada orang yang memiliki riwayat
49

atopi akan dapat memperparah penyakit. Selain itu orang yang pernah

memiliki dermatitis atopi disebabkan karena permeabilitas barrier dan respon

kulit yang lebih besar, sehingga memudahkan terjadinya dermatitis.

6. Riwayat Penyakit Kulit

Pekerja yang sebelumnya pernah menderita penyakit kulit merupakan

hal yang utama untuk dapat terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Hal

tersebut dikarenakan kulit pekerja menjadi sensitif, khususnya terhadap bahan

kimia. Bahan kimia akan lebih mudah mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih

mudah mengalami dermatitis.

7. Riwayat Alergi

Riwayat alergi juga merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja. Riwayat alergi dapat

menjadikan kulit lebih rentan, sehingga dermatitis kontak akan lebih mudah

terjadi pada orang yang memiliki riwayat alergi.


50

Variabel independen yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Bahan Kimia

Bahan kimia tidak menjadi variabel penelitian karena paparan bahan

kimia disetiap bengkel motor jenisnya sama. Konsentrasi dari bahan kimia itu

sendiri sulit untuk diteliti, karena dalam satu bengkel tidak hanya

menggunakan satu bahan kimia. Jenis paparan bahan kimia yang ada di pabrik

yaitu air aki (asam sulfat), minyak, minyak pelumas, bensin, serta cairan

pendingin. Kemudian kejadian dermatitis kontak itu sendiri ada yang bersifat

kronik, sehingga tidak dapat dipastikan jenis dan konsentrasi paparan bahan

kimia yang menyebabkan kejadian dermatitis kontak pada Pekerja Pabrik.

Selain itu, pekerja pabrik selalu kontak dengan bahan kimia selama

menangani motor, yang mana bahan kimia tersebut dapat menyebabkan

dermatitis kontak. Maka dari itu bahan kimia tidak dijadikan variabel

penelitian.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin tidak diteliti karena jenis kelamin pekerja pabrik adalah

seluruhnya laki-laki.

3. Ras

Ras tidak diteliti karena Pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu

Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki ras

yang sama.
51

4. Musim

Faktor musim tidak diteliti karena homogen. Musim yang terjadi di

Kecamatan Ciputat Timur sama.

5. Tipe Kulit

Tipe kulit tidak diteliti karena penentuan tipe kulit sulit untuk

dilakukan. Penentuan tipe kulit tidak cukup hanya secara subyektif

berdasarkan pemeriksaan fisik oleh dokter, namun harus dilakukan uji

laboratorium.

6. Pengeluaran Keringat

Pengeluaran keringat tidak diteliti karena pada Pekerja Pabrik dimana

tangannya selalu basah saat bekerja akibat paparan dengan minyak atau

bensin pada alat bengkel akan sulit untuk menentukan kulit yang berkeringat

secara subyektif. Hal tersebut dikhawatirkan hasilnya terdapat bias/rancu.

7. Jenis Proses Pekerjaan

Jenis proses pekerjaan tidak diteliti karena dibengkel motor tidak ada

pembagian kerja atau spesifikasi kerja, artinya satu pekerja mengerjakan

semua pekerjaan. Jadi hasilnya akan homogen.

8. Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban tidak dijadikan variabel penelitian karena suhu

dan kelembaban lingkungan di pabrik homogen, karena semua bengkel motor

terletak di out door.


52

9. Pemakaian APD

Variabel pemakaian APD tidak diteliti karena semua Pekerja Pabrik

tidak menggunakan APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaan.

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1

Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Cara Hasil Skala


Ukur Ukur Ukur
1 Dermatitis Peradangan pada kulit akibat - Pemeriksaan Laboratorium 0. Dermatitis Ordinal
Kontak paparan bahan kimia selama kulit
melakukan pekerjaan, dengan - Mikroskop 1. Tidak
gejala berupa gatal, rasa Dermatitis
terbakar, kemerahan,
bengkak, pembentukan lepuh
kecil pada kulit, kulit kering,
mengelupas, kulit bersisik,
dan terjadi penebalan pada
kulit.

2 Lama Kontak Lama waktu responden Kuesioner Pengisian Jam/hari Rasio


kontak dengan bahan kimia Kuesioner & Self
di tempat kerja dalam satu Administered
hari kerja

3 Frekuensi Jumlah kontak pekerja Kuesioner Pengisian x/hari Rasio


Kontak dengan bahan kimia dalam Kuesioner & Self
satu hari kerja Administered

4 Masa Kerja Kurun waktu atau lamanya Kuesioner Pengisian Bulan Rasio
responden bekerja sebagai Kuesioner & Self
pekerja pabrik sejak awal Administered
bekerja sampai penelitian
berlangsung
53

No Variabel Definisi Operasional Alat Cara Hasil Skala


Ukur Ukur Ukur
5 Usia Lama hidup pekerja Kuesioner Pengisian Tahun Rasio
terhitung sejak lahir dan Kuesioner
sampai penelitian pengeceka
berlangsung. Dibulatkan n KTP
ke atas bila > 6 bulan, dan
dibulatkan ke bawah bila <
6 bulan
6 Riwayat Penyakit pada pekerja Kuesioner Pengisian 0. Berisiko Ordinal
Atopi yang mempunyai riwayat Kuesioner & jika ada
kepekaan dalam Self atopi
keluarganya atau Administered
diturunkan dari 1. Tidak
keluarganya, seperti asma, berisiko
rhinitis alergi, dermatitis jika tidak
atopi. ada atopi

7 Riwayat Peradangan pada kulit Kuesioner Pengisian 0. Berisiko Ordinal


Penyakit dengan gejala subyektif Kuesioner & jika ada
Kulit berupa gatal, rasa terbakar, Self riwayat
kemerahan, bengkak, Administered penyakit
pembentukan lepuh kecil kulit
pada kulit, kulit
mengelupas, kulit kering, 1. Tidak
kulit bersisik, dan berisiko
penebalan pada kulit atau jika tidak
kelainan kulit lainnya ada
yang sebelumnya pernah riwayat
atau sedang diderita oleh penyakit
pekerja. kulit
8 Riwayat Reaksi tubuh pekerja yang Kuesioner Pengisian 0. Berisiko Ordinal
Alergi berlebihan terhadap benda Kuesioner & jika ada
asing/zat tertentu dari luar Self alergi
tubuh misalnya seperti Administered
debu, obat, atau makanan, 1. Tidak
yang pernah dialami oleh berisiko
pekerja. jika tidak
ada tidak
alergi

C. Hipotesis
54

1. Ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang

Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

2. Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak

pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan

Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

3. Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang

Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

4. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja

pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi

Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

5. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang

Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

6. Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis

kontak pada pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama

Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.

7. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang

Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2017.


55

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan disain studi cross

sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu penelitian dimana variabel-

variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek

diobservasi atau diteliti sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2015).

Pada penelitian ini pengambilan variabel dependen dan variabel independen

dilakukan dalam waktu yang bersamaan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pabrik karet PT

Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu

Tengah tahun 2017.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2017 pada pekerja pabrik

karet PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten

Bengkulu Tengah.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah seluruh karyawan yang bekerja di

PT Batanghari Bengkulu Pratama Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten

Bengkulu Tengah sebanyak 196 orang.


56

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan carater tentu

sehingga dianggap.Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

teknik Consecutive Sampling yaitu dengan mengambil responden yang

kebetulan ada atau tersedia pada saat penelitian dilakukan sampai jumlah

responden yang dibutuhkan terpenuhi (Notoatmodjo, 2010). Besar sampel

dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus berikut ini :

N
n
1 N (d 2 )

Keterangan :

N :Populasi

n :Sampel

d :Derajat presisi/tingkat kepercayaan yang dinginkan (0,1)

Penghitungan sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

N
n
1 N (d 2 )

196
n
1 196(0,12 )

196
n
1 196(0,01 )

196
n
1 1,96
57

196
n
2,96

n 66,21

n 66

Jumlah sampel pada penelitian ini sejumlah 66 orang.

D. Instrumen Penelitian

1. Uji Laboratorium

Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit dengan KOH 10% dan

selanjutnya dibiak dalam media Sabouraud agar. Langkah-langkah dalam uji

laboratorium adalah

a. Pengambilan sampel

Alat alat yang dibutuhkan :

- Skalpel

- Pinset

- Alkohol 70%

- Kapas

- Kertas/wadah yang bersih

b. Cara pengambilan sampel :

- Bersihkan kulit yang akan dikerok dengan kapas alkohol 70%

untuk menghilangkan lemak, debu dan kotoran lainnya.


58

- Keroklah bagian yang aktif dengan skalpel dengan arah dari atas

kebawah (cara memegang skalpel harus miring membentuk sudut

45 derajat ke atas).

- Letakkan hasil kerokan kulit pada kertas atau wadah

c. Pembuatan sediaan

Alat alat yang dibutuhkan :

- Kaca objek

- Kaca penutup

- Lampu spiritus

- Pinset

- Reagen yaitu Larutan KOH 10% untuk kulit dan kuku, Larutan KOH

20% untuk rambut

Cara pembuatan sediaan :

- Teteskan 1-2 tetes larutan KOH 10% pada kaca objek.

- Letakkan bahan yang akan diperiksa pada tetesan tersebut dengan

menggunakan pinset yang sebelumnya dibasahi dahulu dengan larutan

KOH tersebut. Kemudian tutup dengan kaca penutup.

- Biarkan 15 menit atau dihangatkan diatas nyala api selama beberapa

detik untuk mempercepat proses lisis

Pemeriksaan

- Alat yang digunakan : Mikroskop


59

Cara Pemeriksaan :

- Periksa sediaan dibawah mikroskop. Mula-mula dengan perbesaran

objektif 10 x kemudian dengan pembesaran 40 x untuk mencari adanya

hypha dan atau spora, akan tampak gambaran hifa dan spora tergantung

jamur yang menyebabkan penyakitnya, contohnya :

- Terlihat gambaran hifa sebagai dua garis sejajar terbagi oleh sekat dan

bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada tinea (dermatofitosis)

- Terlihat campuran hifa pendek dan spora spora bulat yang dapat

berkelompok ( gambaran Meat ball and spagheti) pada Pitiriasis

Versikolor (panu)

2. Kuesioner

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik yang

digunakan sebagai alat pengumpulan data untuk memperoleh suatu informasi

yang sesuai dengan tujuan penelitian (Notoatmodjo, 2015). Kuesioner dalam

penelitian ini digunakan untuk memperoleh informasi dari responden

mengenai lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi,

riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi.

3. Lembar Observasi

Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk

mengetahui informasi mengenai personal hygiene. Lembar observasi

disiapkan dengan menggunakan daftar pertanyaan agar observasi dapat

terarah dan data yang diperlukan benar-benar diperoleh.


60

E. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yaitu

data yang diperoleh langsung dari pekerja pabrik dengan menggunakan alat ukur

berupa lembar pemeriksaan fisik, kuesioner, dan lembar observasi. Lembar

pemeriksaan fisik digunakan untuk mendiagnosa kejadian dermatitis kontak pada

pekerja pabrik. Kuesioner digunakan untuk mengetahui lama kontak, frekuensi

kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi.

Sedangkan untuk lembar observasi digunakan untuk mengetahui personal

hygiene.

F. Pengolahan Data

Seluruh data yang terkumpul kemudian dioleh melalui tahap-tahap sebagai

berikut :

1. Coding

Proses pemebrian kode kepada setiap variabel yang dikumpulkan agar

mempermudah pengolahan data selanjutnya. Pengkodean variabel tersebut

yaitu:

a. Dermatitis kontak : 0 = Dermatitis ; 1 = Tidak dermatitis

b. Riwayat atopi : 0 = Berisiko jika ada atopi ;

1 = Tidak berisiko jika tidak ada atopi

c. Riwayat penyakit kulit : 0 = Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit

1 = Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit


61

d. Riwayat alergi : 0 = Berisiko jika ada alergi ;

1 = Tidak berisiko jika tidak ada alergi

2. Editing (Penyuntingan Data)

Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti

kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap

jawaban. Penyuntingan data ini dilakukan sebelum proses pemasukan data.

3. Entry

Proses pemasukan data kedalam program atau fasilitas analisis data

didalam komputer berdasarkan klasifikasi.

4. Cleaning

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan

data tersebut tidak ada yang salah, sehingga data siap untuk diolah dan

dianalisis.

G. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan

persentase dari setiap variabel dependen dan variabel independen.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square (x2), dengan derajad

kemaknaan () 0,05 dan tingkat signifikan 95%. Analisis bivariat sendiri


62

nantinya dilakukan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing

variable bebas dengan variable terikat.

Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen dengan melakukan uji Chi Square (x2),

untuk variabel dengan bentuk kategorik kategorik. Variabel yang dianalisis

dengan uji Chi Square (x2), yaitu riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan

riwayat alergi. Dasar pengambilan hipotesis penelitian berdasarkan pada

tingkat signifikan (nilai p), yaitu:

a. Jikanilai p > 0,05 berarti Ho gagal di tolak.

b. Jikanilai p 0,05 berarti Ho di tolak.


63

DAFTAR PUSTAKA

Agius R. 2014. Practical Occupational Medicine. (online). http:// www.agius.com.

Anies. 2015. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Suara Merdeka.


http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/21/ragam01.htm diakses pada
tanggal 19 Juni 2017

Avivah. 2015. Hubungan Antara Pajanan Pestisida dengan Dermatitis Kontak Pada
Petani Padi di Kecamatan Cilamaya Kulon Kabupaten Karawang. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Budiyanto, Cakro. 2010. Penyakit Kulit di Industri


Percetakan. http://ackogtg.wordpress.com/2010/12/10/penyakit-kulit-di-
industri- percetakan/#more-475 Diakses pada tanggal 19 Juni 2017.

Cahyawati, Imma Nur dan Irwan Budiono. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Kesmas 6 (2) : 134-141.

Cohen DE. 2016. Occupational Dermatoses In: DiBerardinis LJ, editors. Handbook
of Occupational Safety and Health, 2nd edition. Canada: John Wiley & Sons
Inc: 697-737

Corwin, Elizabeth J. 2016. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Alih Bahasa: Nike Budhi
Subekti. Jakarta : EGC.

Craecker, Nele Roskams & Rik Op de Beeck. 2012. Occupational skin diseases and
dermal exposure in the European Union (EU-25): policy and practice
overview. Belgium : European Agency for Safety and Health at Work.

Djuanda, Suria & Sri Adi Sularsito. 2012. Dermatitis, dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Ketiga, editor: Adhi Djuanda. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Fathiya, Inda. 2011. Dermatitis Kontak Iritan dengan Sekunder Infeksi Ec


Sabun.http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=DERMATITIS+KON
64

TAK+I RITAN+DENGAN+SEKUNDER+INFEKSI+EC+SABUN Diakses


pada tanggal 19 Juni 2017.

Frosh, P.J & S.M. John. 2011. Clinical Aspects of Irritans Contact Dermatitis in:
Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L, editors. Contact Dermatitis
5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Gardiner Aw, T.C, K & J.M. Harrington. 2014. Pocket Consultant Occupational
Health 5th edition. UK: Blackwell Publishing.

Ghebreyohannes, T. 2015. Occupational Health and Safety in Garages. Afr Newslett


on Occup Health and Safety, 15: 43-45.

Hakim, Zainal. 2014. Penanganan Dermatitis Kontak Alergika. Majalah Kedokteran


Andalas, Volume 28 No.1: 1-7.

Health & Safety Executive (HSE). 2000. The Prevalence of Occupational Dermatitis
Among Work in The Printing Industry and Your Skin. Hsebooks.co.uk.

Isselbacher, Kurt J. et al. 2016. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi
13 Volume 1. Alih Bahasa : Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC

Ket, Ng See & Goh Chee Leok. 2012. The Principles and Practice of Contact and
Occupational Dermatology in Asia Pacific Region. Singapore : Mainland Press.

Lestari, Fatma & Hari Suryo Utomo. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Dermatitis Kontak Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Makara
Kesehatan, volume 11 No. 2 : 61-68.

Lestari, Ira Cinta. 2012. Penyakit Kulit Akibat Kerja.


https://somelus.wordpress.com/2012/11/26/penyakit-kulit-akibat-kerja/ Diakses
pada tanggal 26 Juni 2017.

Lestari, Tara. 2016. Hubungan Accu Zuur dan Berbagai Faktor Resiko dengan
Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Pabrik Mobil. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Meyer, J.D, et al. 2000. Occupational contact dermatitis in the UK: a surveillance
report from EPIDERM and OPRA. Occupational Medicine Volume 50
No.4:265-273.

Notoatmodjo, soekidjo. 2015. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta.
65

Nuraga, Fatma Lestari dan L. Meily Kurniawidjaja. 2012. Dermatitis Kontak Pada
Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif
Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan, volume 12 No. 2 :
63-69.

Nuraga, Wisnu. 2016. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis


Kontak Pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di PT Moric
Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Nurzakky, Muhammad. 2011. Pengaruh Kebiasaan Mencuci Tangan Terhadap


Kejadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Tangan Pekerja Pabrik di
Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=23621 Diakses pada
tanggal 19 Juni 2017.

Partogi, Donna. 2012. Dermatitis Kontak Iritan. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin FK USU. Medan.
Prambudi, Shoim. 2010. Geliat Usaha Bengkel Motor.
http://shoimprambudi.wordpress.com/2010/12/27/geliat-usaha-bengkel-motor/
Diakses pada tanggal 19 Juni 2017..

Ruhdiat, Rudi. 2016. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak


Akibat Kerja Pada Pekerja Laboratorium Kimia di PT Sucofindo Area Cibitung
Bekasi. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Sasseville, Denis. 2012. Occuational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and


Clinical Immunology, Vol 4, No 2: 5965

Schnuch, Axel & B.C. Carlsen. 2011. Genetics and Individual Predispositions in
Contact Dermatitis in: Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L,
editors. Contact Dermatitis 5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Siregar, RS. 2016. Dermatitis Akibat Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No.
107. Jakarta. Hal: 44-47.

Situmeang, Suryani M Florence. 2012. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja


Pencuci Botol di PT X Medan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara. Medan

Smeltzer, Suzzane C & Brenda G. Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Alih Bahasa: Agung Waluyo.
Jakarta : EGC.
66

Sularsito, SA. 2014. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.

Sulistyani, Fitria Indriani, dan Harijono Kariosentono. 2010. Pengaruh Riwayat


Atopik terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra
Laweyan Surakarta. Biomedika, Volume 2 No.2: 42-47.

Sumantri, Hertanti Trias Febriani, dan Sriwahyuni T Musa. 2012. Dermatitis Kontak.
Yogyakarta. Fakultas Farmasi UGM.

Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan Di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Utomo, Hari Suryo. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis


Kontak Pada Pekerja di Bagian Produksi dan Quality Control PT. Inti Pantja
Press Industri. Skripsi. Universitas Indonesia Depok.

Waldron, H.A & C. Edling. 2014. Occupational Health Practice 4th Edition. New
York: Oxford Univercity Press.

World Health Organization (WHO). 2016. WHO Guidelines on Hand Hygiene in


Health Care (Advance Draft): A Summary. Switzerland: WHO Press.
67

PROPOSAL

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


DERMATITIS KONTAK PADA KARYAWAN DI PABRIK
KARET PT BATANGHARI BENGKULU PRATAMA
KEC. KARANG TINGGI KAB. BENGKULU
TENGAH TAHUN 2017

DISUSUN OLEH
KIKI HERLINDA WULANDARI
NPM. 132426008 SM

PROGRAM STUDI STRATA -1 KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGIILMU KESEHATAN DEHASEN BENGKULU
2017

Anda mungkin juga menyukai