Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kulit akibat kerja (occupational dermatoses) adalah suatu

peradangan kulit diakibatkan oleh suatu pekerjaan seseorang. Dermatitis

kontak merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja terbanyak yang

bersifat nonalergi atau iritan. Penelitian survailance di Amerika

menyebutkan bahwa 80% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis

kontak (Kosasih, 2004 )

Dermatitis kontak adalah dermatitis disebabkan bahan atau

substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak,

yaitu dermatitis kontak iritan yang merupakan respon nonimunologi dan

dermatitis kontak alergik yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik

spesifik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2007).

Penyakit ini ditandai dengan peradangan kulit polimorfik yang mempunyai

ciri-ciri yang luas, meliputi: rasa gatal, eritema (kemerahan), endema

(bengkak), papul (tonjolan padat diameter kurang dari 55mm), vesikel

(tonjolan berisi cairan diameter lebih dari 55mm), crust dan skuama

(Freedberg, 2003).

Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) adalah peradangan kulit

yang diakibatkan oleh lingkungan kerja. Interaksi kulit yang berkontak

dengan bahan/substansi di lingkungan kerja dapat mencetuskan DKAK

berupa dermatitis kontak iritan ataupun alergi (Diepgen & Coenraads,

2003). Predileksi DKAK adalah pada kedua tangan, kaki dan daerah-
daerah yang terpajan kontak. Efloresensinya dapat berupa eritema, papula,

vesiko-papula, erosi, eksudatif, berkrusta, hiperpigmentasi,

hipopigmentasi, dan likenifikasi (Siregar, 2004 dalam Atika,2018)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Health and Safety Executive

dalam Lestari didapatkan hasil terdapat 80% pekerja di Inggris mengalami

dermatitis kontak pada tahun 2002.Berdasarkan studi epidemiologi yang

dilakukan tahun 2014 dari 389 kasus gangguan kulit di indonesia 97% nya

adalah dermatitis kontak. Data yang diperoleh dari balai Hiperkes

Depnaker RI pada tahun 2005 menunjukan 80% penyakit kulit akibat kerja

adalah dermatitis kontak.

Prevalensi DKAK pada proyek konstruksi di Indonesia menurut

Djuanda et al. (2010) sulit didapat karena pada umumnya penderita

DKAK dengan keluhan ringan tidak datang berobat atau bahkan tidak

mengeluh. Angka kejadian DKAK menurut Lestari & Utomo (2007)

adalah 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan.

Walaupun penyakit ini jarang membahayakan jiwa, menurut Brown

(2004) dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Menurut surveilans

tahunan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung

kejadian dermatitis kontak yang terjadi di Kota Bandar Lampung

mencapai sekitar 63% pada tahun 2012 dan menjadi peringkat pertama

penyakit kulit yang paling sering dialami (Saftarina, et al., 2015 dalam

Elizabeth, 2018)

Bila dihubungkan dengan jenis pekerjaan, dermatitis kontak dapat

terjadi pada hampir semua pekerjaan. Biasanya penyakit ini menyerang


pada orang-orang yang sering berkontak dengan bahan-bahan yang

bersifat toksik maupun alergik, misalnya ibu rumah tangga, petani dan

pekerja yang berhubungan dengan bahan- bahan kimia dan lain-lain

(Orton, 2004)

Pada pekerja perkebunan karet memungkinkan terjadinya

dermatitis kontak karena berpaparan langsung dengan bahan kimia yang

sering digunakan dalam penggumpalan lateks yaitu asam formiat dan asam

asetat (Muis, 2007). Asam formiat atau biasa disebut asam semut adalah

pereduksi kuat dan banyak digunakan sebagai dekalsifier, digunakan

dalam pencelupan warna kain wol, electroplating, menggumpalkan lateks

karet, regenerasi karet tua, penyamakan kulit dan sebagainya. Asam

formiat dapat mengiritasi kulit, 3 menyebabkan luka bakar, peradangan

kulit ditandai dengan rasa gatal, kulit bersisik, kemerahan, dan kadang-

kadang melepuh (ILO, 2013 dalam Latani, 2018).

Hasil penelitian Florence (2008) menunjukan bahwa pekerja yang

tidak lengkap menggunakan APD mengalami dermatitis sebanyak 46%,

sedangkan pekerja yang lengkap menggunakan APD hanya 8% mengalami

dermatitis kontak. Lestari dan Utomo (2007) melaporkan bahwa pekerja

dengan penggunaan APD yang baik sebanyak 10 orang (41,7%) dari 24

pekerja terkena dermatitis kontak. Sedangkan dengan penggunaan APD

yang kurang baik, pekerja yang terkena dermatitis sebanyak 29 orang

(51,8%) dari 56 pekerja. Kelompok pekerja yang kadang-kadang

menggunakan APD 4 mempunyai resiko 8,556 kali lebih tinggi terkena


dermatitis kontak dibandingkan dengan kelompok pekerja yang selalu

menggunakan APD (Nugraha dkk, 2008 dalam Diah 2010)

Penggunaan Alat Pelindung Diri pada pekerja pengolahan karet di

Provinsi Lampung masih tidak begitu diperhatikan karena kurangnya

pengetahuan pekerja dan fasilitas yang kurang memadai. Personal hygiene

pekerja yakni mencuci tangan sebelum dan setelah bekerja sudah cukup

baik karena fasilitasnya juga memadai dan kesadaran untuk menjaga

kebersihan diri juga sudah baik. Kebanyakan pekerja bekerja melebihi 4

jam karena setiap satu shift bekerja waktunya 5 jam. Sehingga

memungkinkan terjadinya dengan bahan kimia selama kurang atau lebih

dari 4 jam.(latani,2018)

Berdasarkan uraian diatas, pekerja pengolahan karet masih belum

memperhatikan mengenai pentingnya Penggunaan Alat Pelindung dan

personal hygine diri sehingga memungkinkan terkena penyakit dermatitis

kontak akibat kerja. Sehingga untuk mengetahui dan memahami lebih

dalam mengenai penyakit dermatitis kontak akibat kerja terhadap pekerja

pengolahan karet perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui factor

risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit dermatitis kontak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan data yang di peroleh di klinik perusahaan tersebut pada tahun

2017 terdapat 20 pekerja yang mengalami penyakit dermatitis kontak.

Diketahui sebelumnya bahwa pekerja kurang memperhatikan Penggunaan

Alat Pelindung Diri. Dimana bahwa pada pengolahan karet mengandung


Asam formiat yang dapat mengiritasi kulit, menyebabkan luka bakar,

peradangan kulit ditandai dengan rasa gatal, kulit bersisik, kemerahan, dan

kadang-kadang melepuh (ILO, 2013 dalam Latani, 2018) beradarkan data

tersebut sehingga yang mendasari penulis untuk mengetahui : “apa sajakah

factor – factor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit

dermatitis akibat kerja pada pekerja pengolahan karet ?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui factor – factor risiko yang berhubungan dengan

kejadian penyakit dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja

pengolahan karet

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penyakit dermatitis kontak

akibat kerja

b. Untuk mengetahui penggunaan air bersih dengan kejadian penyakit

dermatitis kontak

c. Untuk mengetahui sumber air bersih di Rumah Tangga dengan

kejadian penyakit dermatitis kontak akibat kerja

d. Untuk mengetahui sumber air di Tempat kerja dengan kejadian

penyakit dermatitis kontak akibat kerja

e. Untuk mengetahui Personal hygiene pekerja dengan kejadian

penyakit dermatitis kontak akibat kerja

f. Untuk mengetahui lama kerja dengan kejadian penyakit dermatitis

kontak akibat kerja


g. Untuk mengetahui riwayat penyakit kulit pekerja dengan kejadian

penyakit dermatitis kontak akibat kerja

h. Untuk mengetahui penggunaan APD dengan kejadian penyakit

dermatitis kontak akibat kerja

D. Manfaat

1. Bagi Mahasiswa Kesehatan Lingkungan

Sebagai referensi dan informasi dalam melakukan penelitian yang

berkaitan serta mengembangkannya dengan variabel-variabel lain serta

menambah wawasan ilmu pengetahuan khusunya di bidang kesehatan

lingkungan.

2. Untuk Institusi Puskesmas

Dapat menjadi tambahan informasi kajian khususnya dalam bidang

penyakit kulit dermatititis kontak akibat kerja di wilayah kerja puskesmas

Sido Mulyo

3. Bagi Masyarakat/ pekerja

Memberikan masukan dan informasi kepada masyarakat terutama

masyarakat yang bekerja di industry mebel kayu. Serta memberikan

pengetahuan untuk mencegah penyakit dermatitis kontak akibat kerja.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan desain cross sectional

untuk mengetahui factor – factor risiko yang berhubungan dengan

kejadian penyakit dermatitis kontak akibat kerja. Populasi pada penelitian

ini adalah semua pekerja pada pekerja di pengolahan karet. Pengumpulan

data dilakukan dengan menggunakan checklist. Analisa yang digunakan


adalah univariat dan bivariate dengan melakukan uji chi square dan

bentuk penyajian data menggunakan table.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kulit

1. Pengertian Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh , luasnya sekitar 2 m2.

Kulit merupakan bagian terluar dari tubuh manusia yang lentur dan

lembut. Kulit adalah lapisan – lapisan jaringan yang terdapat di

seluruh bagian permukaan tubuh. Pada permukaan kulit terdapat

kelenjar keringat yang mengekskresi zat zat sisa yang dikeluarkan

melalui pori – pori kulit berupa keringat. Kulit juga merupakan salah

satu alat indra yaitu indra peraba karena di seluruh permukaan kulit

tubuh banyak terdapat syaraf peraba. (maharani,Ayu (2015) dalam

buku Penyakit kulit)

2. Fungsi Kulit

Kulit merupakan bagian terluar dari tubuh sehingga berperan sebagai

pelindung tubuh dari kerusakan atau pengaruh lingkungan yang buruk.


Ada beberapa fungsi kulit sebagai berikut (maharani,Ayu (2015)

dalam buku Penyakit kulit)

1. kulit sebagai pelindung

2. fungsi absorpsi

3. kulit sebagai ekskresi

4. fungsi sebagai persepsi

5. kulit sebagai pengaturan suhu tubuh ( termoregulasi)

6. kulit sebagai pembentuk vitamin D

7. kulit sebagai tempat penyimpanan

8. kulit sebagai peraba

9. kulit untuk penunjang penampilan

B. Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan kulit pada lapisan epidermis dan dermis

sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen,

dengan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik seperti eritema,

edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi dan keluhan gatal. Tanda

polimorfik tidak slalu timbul bersamaan, mungkin hanya beberapa atau

oligomorfik. Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis (Djuanda,

2010). Dermatitis kontak sendiri adalah suatu inflamasi pada kulit yang

dapat disertai dengan adanya edema interseluler pada epidermis karena

kulit berintraksi dengan bahan−bahan kimia yang berkontak dengan kulit.

Berdasarkan penyebabnya, dermatitis kontak dibagi menjadi dermatitis

kontak iritan dan dermatitik kontak alergi (Beltrani, 2006).


C. Dermatitis Kontak

1. Definisi Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak adalah inflamasi pada kulit yang terjadi Karena kulit

telah terpapar oleh bahan yang mengiritasi atau menyebabkan reaksi

alergi. Dermatitis kontak akan menyebabkan ruam yang besar, gatal dan

rasa terabakar. ( maharani,Ayu (2015) dalam buku Penyakit kulit)

2. Klasifikasi Dermatitis Kontak

Berdasarkan penyebabnya, dermatitis kontak dibagi atas 2 ( marwali

Harap,2015)

a. Dermatitis kontak Alergik

Dermatitis kontak alergik dapat terjadi karena kulit

terpajan/berkontak dengan bahan – bahan yang bersifat

sensitizer(allergen). Dermatitis kontak alergik lebih kurang

merupakan 20% dari seluruh dermatitis kontak.

b. Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan adalah reaksi peradangan kulit non –

omunologis (tanpa sensitasi) dermatitis kontak iritan lebih sering

dihubungkn dengan pekerjaan (detergen,kimia dll)

3. Dermatitis Kontak Alergi

a. Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah reaksi inflamasi yang didapat

terhadap berbagai susbstansi yang dapat menyebabkan reaksi

inflamasi hanya pada orang yang sebelumnya pernah

tersensitisasi oleh alergen. Respon kulit tergantung pada jenis


bahan kimia yang berkontak dengan kulit, lama kontak, sifat

kontak dan kemampuan individu masing-masing. Bahan kimia

yang dapat menyebabkan dermatitis kontak banyak terdapat pada

perhiasan, produk perawatan tubuh, tumbuhan, dan pengobatan

topikal serta bahan kimia yang berkontak saat bekerja

(Chairunisa et al., 2014).

b. Epidemiologi

Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar

7% dari penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika

Serikat.1 Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, insiden dan

tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen

tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%)

ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%).

Namun, harus dipahami bahwa angka ini mengacu pada

prevalensi DKA dalam populasi (yaitu, jumlah individu yang

potensial menderita DKA bila terkena alergen), dan ini bukan

merupakan angka insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita

DKA setelah jangka waktu tertentu).3 Tidak ada data yang cukup

tentang epidemiologi dermatitis kontak alergi di Indonesia,

namun berdasarkan penelitian pada penata rias di Denpasar,

sekitar 27,6 persen memiliki efek samping kosmetik, dimana 25,

4 persen dari angka itu menderita DKA.

c. Etiologi

Sekitar 25 bahan kimia yang tampaknya memberi pengaruh


terhadap sebanyak setengah dari semua kasus DKA. Ini termasuk

nikel, pengawet, pewarna, dan parfum

d. Patofisiologi

1) Fase sensitisasi

Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh

sel Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan

terikat pada Human Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan

kompleks yang diekspresikan pada permukaan sel Langerhans.

Sel 5 Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik ke

kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik

terhadap sel T dengan CD4-positif. Kompleks antigen- HLA-

DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel tertentu (TCR) dan

kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan

Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan

sel T. Sel T mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2

pada permukaannya. Hal ini menyebabkan stimulasi autokrin

dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di seluruh tubuh dan

kembali ke kulit (Mosby Inc; 2002).

2) Tahap elisitasi

Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer

atau memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam

jumlah dan beredar melalui pembuluh darah kemudian masuk

ke kulit. Ketika antigen kontak pada kulit, antigen akan diproses

dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada permukaan sel


Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4

spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi

dimulai. Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan

kompleks CD3-TCR spesifik untuk mengaktifkan baik sel

Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi sekresi IL-1

oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R

oleh sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang

teraktivasi akan mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan

granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GMCSF).

Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel Langerhans dan

keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,

kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan

asam arakidonik untuk produksi prostaglandin (PG) dan

leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi aktivasi sel mast dan

pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan

histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan

chemoattractant, sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh

darah. Keratinosit yang 6 teraktivasi juga mengungkapkan

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR, yang

memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah.

(Mosby Inc; 2002).

e. Tanda dan Gejala

Pada umumnya pasien mengeluh gatal. Kelainan kulit yang

timbul bergantung pada tingkat keparahan dan lokasinya. Pada


keadaan akut gejala yang timbul berupa bercak eritematosa

berbatas tegas kemudian diikuti edema, populovesikel, vesikel

atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menyebabkan erosi

dan eksudasi (basah). Pada keadaan kronis terlihat kulit kering,

berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, berbatas

tidak tegas (Menaldi, 2015).

4. Dermatitis Kontak Iritan

a. Definisi

Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non

imunologik yang disebabkan karena bahan yang bersifat iritan,

sehingga menyebabkan kerusakan jaringan kulit tanpa didahului

proses sensitisasi. Dermatitis kontak iritan dapat diklasifikasikan

menjadi 3 jenis, yaitu (Djuanda et al., 2016) :

1) Dermatitis kontak iritan akut

Dermatitis kontak iritan akut adalah dermatitis yang terjadi

setelah kontak dengan bahan-bahan iritan kuat, misalnya

larutan asam sulfat.

2) Dermatitis kontak iritan akut lambat

Dermatitis kontak iritan akut lambat adalah dermatitis yang

baru muncul 8 sampai 24 jam atau lebih, setelah terjadi

kontak dengan dengan bahan iritan, seperti antalin,

podofilin.

3) Dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis)

Dermatitis kontak iritan kumulatif adalah dermatitis iritan


yang terjadi karena terlalu sering terjadi kontak dengan

bahan iritan lemah, seperti detergen.

b. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari

berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi

penderita dermatitis kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita

dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun sulit

untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh

banyak penderita yang tidak datang berobat dengan kelainan

ringan.

Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic

menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal

pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin, 15,6% (38.900 kasus)

adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar

untuk semua penyakit okupational. Juga berdasarkan survey

tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident rate untuk

penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika,

menunjukkan 90-95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis

kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah dermatitis

kontak iritan
c. Etiologi
Penyebab timbulnya dermatitis kontak iritan ini adalah bahan-bahan yang

bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam,

alkali, dan serbuk kayu. Apabila bahan tersebut menempel pada kulit dan

langsung menimbulkan kelainan disebut iritasi primer. Iritan primer ada

dua bentuk, yaitu iritan kuat seperti H2SO4 (asam kuat) dan KOH (basa

kuat) dan iritan lemah, seperti detergen, sabun dan lain-lain. Akibat dari

iritan lemah kelainan kulit timbul tidak begitu cepat dan akan terlihat

setelah kontak berulang kali dengan bahan iritan (Siregar, 2009).

Gangguan kulit yang terjadi dapat ditentukan oleh ukuran molekul, daya

larut, konsentrasi bahan dan vehikulum. Faktor lain yang dapat

mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak iritan ini adalah lama kontak

dengan bahan iritan, kekerapan atau frekuensi paparan, adanya oklusi

yang mengakibatkan kulit lebih permeabel dan adanya gesekan serta

trauma fisik. Faktor individu juga dapat berpengaruh terhadap timbulnya

dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketabalan kulit

menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia (anak di bawah 8 tahun dan

usia lanjut lebih mudah mengalami teritasi), jenis kelamin dan riwayat

penyakit kulit yang pernah diderita (Djuanda et al., 2016)

d. Tanda dan Gejala

Ketika terkena paparan oleh bahan iritan, kulit tampak meradang,

bengkak dan kemerahan dan berkembang menjadi vesikel kecil atau

papul yang mengeluarkan cairan apabila terkelupas. Pada papul tersebut

timbul rasa gatal, perih dan terbakar. Reaksi inflamasi yang terjadi

bermacam-macam, mulai dari gejala awal seperti bengkak dan timbul


papul, hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Setelah

beberapa hari, gejala dermatitis akan berkurang apabila kontak dengan

bahan iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronis,

area kulit tersebut akan mengalami radang dan mulai mengkerut,

membesar dan bahkan terjadi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dan

penebalan. Sebagian besar dermatitiskontak iritan dapat terjadi pada

bagian tubuh yang kurang terlindung seperti, wajah, punggung, tangan,

lengan dan kaki. Sebesar 80% dermatitis terjadi pada tangan dan 10%

pada daerah wajah. Secara klinis, tanda yang paling sering tampak adalah

batas yang jelas dari lesi (Siregar, 2009). Gejala dan tanda dermatitis

secara umum adalah sebagai berikut (Maharani, 2015)

a) Rasa panas dan dingin yang berlebihan pada kulit

b) Rasa gatal, terutama pada malam hari

c) Tampak lepuhan kecil dan kulit bersisik yang keras pada permukaan

kulit yang akan disertai dengan pembengkakan Penularan cepat pada

kulit di daerah lainnya

5. Diagnosis Dermatitis Kontak

Pada dermatitis kontak, tidak ada gambaran klinik yang tetap ( marwali

Harap,2015)

1. Anamnesis harus cermat : lamanya penyakit, penyebarannya,

riwayat pekerjaan, obat – obatan. Keluhan gatal, sakit, efek

matahari.

2. Klinis: lihat lokasinya pada kulit, mukosa, rambut dan kuku.

Dermatitis yang terlokalisasi dapat diperkira kemungkinan kontak.


Penyebab yang paling sering dari dermatitis kontak pada berbagai

tempat ditubuh.

3. Uji Kulit seperti

- Uji temple tertutup

- Uji temple terbuka

- Uji pemakaian (use test)

- Uji goresan (scratch test)

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak

a. Faktor Eksogen

1) Karakteristik bahan kimia :

a) Pestisida

Bahan kimia dengan pH terlalu tinggi >12 atau terlalu rendah <3

dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah terpapar,

sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi >7 atau sedikit lebih

rendah <7 memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan

gejala. Semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka semakin

banyak jumlah bahan kimia yang mampu berpenetrasi ke dalam

kulit, selain itu berat molekul <1000 dalton juga sering

menyebabkan dermatitis kontak alergi atau dermatitis kontak

iritan (Budiawan, 2013).

b) Pupuk

Pupuk adalah suatu bahan yang jika diberikan ke dalam tanah

dapat merubah keadaan sifat kimia (kesuburan) tanah, sifat tanah,

dan sifat
biologi tanah ke arah yang sesuai atau ke arah yang dikehendaki

tanaman. Pada pupuk terdapat senyawa kimia yang dapat

menimbulkan resiko kerugian baik keselaatan, kesehatan, maupun

lingkungan. Banyak petani yang tidak menggunakan masker dan

sarung tangan saat menggunakan pupuk yang mengandung

amoniak (NH3+) dan terdapat unsur kapur, belerang, nitrogen,

posfor serta kalium bisa menyebabkan gangguan pernafasan dan

gangguan kulit (Darwandi et al., 2017).

c) Asam formiat

Asam formiat merupakan salah satu bahan iritan yang paling

sering digunakan pada pengolahan karet. Asam formiat

merupakan suatu zat yang dapat menggumpalkan karet.

Berdasarkan data yang didapat dari National Institute for

Occupational Safety and Health (NIOSH) pada tahun 1978

bahaya utama terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan asam

formiat adalah iritasi jika kontak dengan kulit karena bersifat

iritan dan korosif jika terkena mata, mengiritasi jika tertelan.

Organ sasaran: Sistem pernafasan, paru-paru, kulit, ginjal, hati,

mata, dan sistem saraf pusat

2) Lama kontak

Lamanya waktu kontak pekerja dengan bahan kimia baik itu

dalam hitungan jam atau hari disebut lama kontak. Lama kontak

setiap pekerja berbeda-beda tergantung proses kerjanya.

Peningkatan dermatitis kontak bisa diakibatkan karena lamanya


kontak dengan bahan kimia. Semakin lama kontak dengan

bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi

sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pekerja yang berkontak

dengan bahan kimia menyebabkan kerusakan sel kulit lapisan

luar, semakin lama berkontak dengan bahan kimia maka akan

semakin merusak sel kulit lapisan yang lebih dalam dan

memudahkan untuk terjadinya dermatitis. Durasi yang lama

pada pekerja akan menyebabkan kerentanan kontak kulit dengan

bahan kimia yang bersifat iritan dan alergen secara terus

menerus mulai dari tahap ringan sampai tahap berat (Ferdian,

2012)

3) Frekuensi Kontak

Dermatitis kontak jenis iritan akan terjadi ketika frekuensi

kontak yang berulang dengan bahan yang mempunyai sifat

sensitiasi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan

menyebabkan dermatitis yang berlebihan baik luasnya maupun

beratnya tidak proporsional. Penurunan frekuensi kontak dengan

bahan kimia adalah salah satu upaya untuk menurunkan

dermatitis kontak akibat kerja (Afifah, 2012).

4) Masa Kerja

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya pekerja

bekerja disuatu tempat tertentu. Terjadinya penyakit dermatitis

karena masa kerja. Pekerjaan yang lebih lama dan frekuensi

yang lama dengan paparan bahan kimia dapat berisiko


terjadinya dermatitis kontak. Hal ini berhubungan dengan lama

kontak dan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia,

sehingga pekerja yang lebih lama bekerja lebih risiko terkena

dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masih

baru (Djuanda et al, 2016). Semakin sering pekerja menglami

kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan

untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan

keparahan penyakitnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa

pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung lebih

sering kontak dengan bahan kimia (Lestari & Utomo, 2007).

5) Pemakaian APD

Pekerja yang berada di area pekerjaan yang berbahaya harus

menggunakan peralatan keselamatan kerja yaitu alat pelindung

diri. Sarung tangan adalah pada umumnya digunakan APD

untuk

menghindari bahan kimia yang berbahaya. Diperkirakan hampir

20% kecelakaan yang menyebabkan cacat adalah tangan,

sehingga kemampuan kerja dapat berkurang. Kontak dengan

bahan kimia kaustik beracun, bahan-bahan biologis, sumber

listrik, benda yang suhunya sangat dingin atau sangat panas

dapat menyebabkan iritasi pada tangan. Nuraga et al., (2008)

mengungkapkan bahwa diperlukan melindungi pekerja dari

kontak dengan bahan kimia dengan membiasakan memakai alat

pelindung diri (APD). Pekerja yang selalu menggunakan sarung


tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya dermatitis

kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan

dermatitis kontak (Susanti, 2010).

6) Personal Hygiene

Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal

yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Cara

perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka

merupakan kebersihan perorangan. Kebersihan perorangan

sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan

perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan

dan kesehatan (Potter, 2005). Salah satu faktor yang merupakan

penyebab dermatitis adalah personal hygiene. Hal yang menjadi

perhatian adalah masalah mencuci tangan. Kebiasaan mencuci

tangan ini seharusnya dapat mengurangi potensi penyebab

dermatitisakibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja,

namun pada kenyataannya potensi untuk terkena dermatitisitu

tetap ada. Kesalahan dalam melakukan cuci tangan dapat

menjadi salah satu penyebabnya. Misalnya kurang bersih dalam

mencuci tangan, sehingga

masih terdapat sisa bahan kimia yang menempel pada

permukaan kulit pekerja (Hanum, 2012).

b. Faktor Endogen

1) Faktor genetik

Setiap individu memiliki kemampuan untuk mereduksi radikal


bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan

melindungi protein dari trauma panas tersendiri dan semuanya

diatur oleh genetik. Namun, predisposisi terjadinya suatu reaksi

pada tiap individu berbeda dan mungkin tergantung spesifik

dari bahan kimia tertentu (Marcherya, 2018).

2) Jenis Kelamin

Penyakit kulit akibat kerja lebih berisiko terhadap perempuan

dibandingkan dengan laki-laki, kulit perempuan memproduksi

lebih sedikit minyak untuk melindungi dan menjaga

kelembaban kulit, selain itu juga kulit perempuan lebih tipis

daripada kulit laki-laki sehingga lebih rentan untuk menderita

penyakit dermatitis. Pada usia muda insiden pada perempuan

lebih tinggi. Sedangkan pada laki-laki kejadian akan meningkat

sesuai usia (Heviana, 2018).

3) Usia

Ditinjau dari masa inkubasi penyakit, maka masa inkubasi

terpendek adalah 2 tahun untuk pekerjaan penata rambut, 3

tahun untuk pekerjaan industri makanan, dan empat tahun

untuk petugas pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang

berhubungan petani. Insiden tertinggi penyakit kulit akibat

kerja terjadi pada usia 15-24 tahun. Ini karena pada umur

sekian orang masih sedikit memiliki pengalaman dan kurang

pemahaman tentang kegunaan alat pelindung diri (Kriatanti,

2017).

4) Riwayat Atopi

Riwayat atopi dapat meningkatkan kerentanan untuk terjadinya


dermatitis karena adanya penurunan ambang batas terjadinya

dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier kulit dan perlambatan

proses penyembuhan (Taylor, 2008).

c. Faktor lingkungan

1) Air bersih

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia

setelah udara. Kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk

memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada

di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan industri,

pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi,dan

lain-lain. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi

tiga yaitu air angkasa (hujan), air permukaan, dan air tanah.

Menurut Kusnaedi, syarat- syarat kualitas air bersih, antara lain

airnya jernih tidak keruh, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak

berbau, suhunya normal (20-260C), tidak mengandung zat padat,

ph netral, tidak mengandung zat kimia beracun, tidakmengandung

garam-garam atau ion-ion logam, kesadahan rendah, tidak

mengandung bahan kimia anorganik, dan air tidak boleh

mengandung coliform (Andria, 2009).


D. Kerangka teori

Factor eksogen
ffafa
1.bahan kimia

2. lama kontak

3. frekuensi kontak

4. masa kerja

5. pemakaian APD

6. Personal Hygiene

Factor endogen

1. Genetika Dermatitis kontak


2. Jenis kelamin Pekerja
3. Usia
4. Riwayat Atopi

Factor lingkungan

1. Air bersih
- Sumber air
bersih
- Kualitas air
bersih
- Penggunaan
air bersih

Gambar 2.1 kerangka teori

Sumber : Djuanda 2012 ( dengan modifikasi)


E. Kerangka konsep

Variabel Independent variabel dependent

Factor – factor yang


mempengaruhui :

1. Sumber air di
Rumah Tangga
2. Sumber air di
tempat kerja Penyakit dermatitis
3. Penggunaan air kontak akibat kerja
bersih
4. Personal
hygiene
5. Lama kerja
6. Riwayat
penyakit
7. Penggunaan
APD

Gambar 2.2 kerangka teori


Faktor – faktor yang
mempengaruhi :
- Bahan Kimia
- Frekuensi kontak
- Lama Kontak
- sumber air bersih
- Kelembaban
- Masa Kerja Penyakit dermatitis
Pekerja
- Usia kontak akibat kerja
- Jenis Kelamin
-Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Alergi
- Personal Hygiene
- PAPD (Penggunaan Alat
Pelindung Diri)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai