Anda di halaman 1dari 57

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis kontak adalah peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit (Soebaryo dan Sularsito, 2018).
Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa 80% penyakit kulit
akibat kerja adalah dermatitis kontak (Taylor et al, 2008). Dermatitis kontak
secara umum merupakan suatu keadaan inflamasi non-infeksi pada kulit
yang disebabkan oleh kontak antara senyawa dengan kulit. Terdapat dua
jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak akibat iritan (DKI) yang
merupakan respon non imunologi dan dermatitis kontak alergi (DKA)
yang disebabkan oleh mekanisme imunologik spesifik (Soebaryo dan
Sularsito, 2018).
Penyakit kulit di Uni Eropa menduduki peringkat kedua penyakit akibat
kerja. Dermatitis kontak mencapai 70 - 90% dari semua penyakit kulit akibat
kerja, sedangkan urtikaria hanya sekitar 10%. Gangguan kulit lainnya
termasuk folikulitis, akne, neoplasia, hiperpigmentasi dan vitiligo (Adisesh
et al, 2013). Prevalensi dermatitis kontak di indonesia sangat bervariasi.
Menurut Trihapsoro (2002) sekitar 90% DAK merupakan dermatitis kontak,
baik iritan maupun alergi. Penyakit kulit akibat kerja yang merupakan
dermatitis kontak adalah sebesar 92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit
dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain. Pada studi epidemiologi, di
Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis
kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah DKI dan 33,7% adalah DKA
(Hudyono, 2002).
Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
dermatitis kontak yaitu faktor eksogen dan endogen. Faktor eksogen
meliputi tipe dan karakteristik agen, karakteristik paparan, serta faktor
lingkungan. Sedangkan faktor endogen meliputi faktor genetik, jenis
kelamin, usia, ras, lokasi kulit, dan riwayat atopi (Taylor et al, 2008).
Kontak kulit dengan bahan kimia yang bersifat iritan atau alergen secara

1
2

terus menerus dengan durasi yang lama akan menyebabkan kerentanan pada
pekerja mulai dari tahap ringan sampai tahap berat. Lama kontak dengan
bahan kimia akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak. Semakin lama
kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi
sehingga menimbulkan gangguan kulit (Hudyono, 2002).
Bahan kimia yang dapat menyebabkan gangguan kulit salah satunya
adalah pestisida yang sering digunakan di masyarakat. Pestisida adalah zat
untuk membunuh atau mengendalikan hama. Beberapa jenis hama yang
paling sering ditemukan adalah serangga dan beberapa di antaranya sebagai
vektor penyakit. Serangga juga dapat merusak berbagai tumbuhan dan hasil
panen. Selain itu gangguan yang amat merugikan bagi petani adalah
tanaman liar. Herbisida dapat dipergunakan untuk mengatasi gangguan ini
(Suma’mur, 2014). Herbisida merupakan salah satu jenis zat yang dapat
menyebabkan iritasi pada kulit dan mata. Beberapa herbisida bersifat korosif
terhadap kulit contohnya aquatol, asure, 2,4 d-d amine, parakuat dan lain-
lain. Toksisitas herbisida tersebut terhadap kulit dibagi menjadi empat
kategori, dimana kategori satu bersifat korosif, kategori dua menimbulkan
iritasi berat dalam 72 jam setelah paparan, kategori tiga menimbulkan iritasi
sedang dalam 72 jam setelah paparan dan kategori empat iritasi ringan
setelah 72 jam paparan (Bissionette, 2008). Pestisida lainnya dapat
mengendalikan hama lain misalnya jamur (fungisida) dan tikus
(rodentisida) (Suma’mur, 2014).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan penggunaan
pestisida antara lain tingkat pengetahuan, sikap/perilaku pengguna pestisida,
penggunaan alat pelindung diri, serta kurangnya informasi yang berkaitan
dengan risiko penggunaan pestisida (Raini, 2007). Faktor yang dapat
merubah perilaku salah satunya adalah faktor predisposisi yang mana,
faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap individu terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan, nilai yang dianut masyarakat,
tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya.
Faktor pengetahuan menjadi dasar keberhasilan bagi pekerja dalam
3

menggunakan APD. Pengetahuan tentang APD harus dimiliki seorang


pekerja guna memproteksi diri dari berbagai penyakit dan kecelakaan kerja.
Keberhasilan dalam menggunakan APD selain dilihat dari pengetahuan, juga
ditentukan dari tindakan. Tindakan akan mempengaruhi perilaku pekerja
untuk berperilaku dengan baik dan benar dalam melakukan penyemprotan
pestisida sawit. Dukungan pengetahuan dan tindakan ini akan berpengaruh
langsung terhadap perilaku yang nyata dalam mengurangi angka kecelakaan
kerja serta penyakit akibat kerja yang dapat ditimbulkan dari pestisida
(Fendari, 2014) Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
mendefinisikan Alat Pelindung Diri (APD) sebagai alat yang digunakan
untuk meminimalisir pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh
adanya kontak dengan bahaya (hazards) (OSHA, 2004). Pemakaian APD
dapat membantu mencegah Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Suma’mur,
2014).
PT. ADEI merupakan perusahaan perkebunan sawit milik swasta
asing yang beroperasi di 2 wilayah Provinsi Riau, salah satunya berada di
Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Perusahaan ini memiliki 9000
hektar perkebunan sawit di Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dan
memiliki karyawan berjumlah 1500 orang. PT. ADEI merupakan salah satu
perusahaan perkebunan sawit yang berada di Riau, salah satunya adalah
kebun Mandau (KM), kebun Mandau merupakan nama kebun yang berada
di kecamatan pinggir kabupaten bengkalis, kebun mandau sendiri memiliki
beberapa divisi berdasarkan lokasi salah satunya kebun Mandau 3 (KM 3),
jumlah karyawan di KM 3 adalah 193 orang, untuk pemberi pestisida sawit
sendiri berjumlah 37 orang (Afrizal dan Ependi, 2012). Pada survei awal
yang dilakukan peneliti pada pekerja sawit PT. ADEI baik itu pemanen,
pemupuk, maupun pemberi pestisida, 6 orang dari 10 pekerja pernah
mengalami dermatitis kontak sehingga mengganggu pekerja dalam
melakukan pekerjaan dan mengurangi produktifitas pekerja.
4

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah ada Hubungan Tingkat Pengetahuan dan
Perilaku Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dengan Dermatitis Kontak
Pada Pekerja Pemberi Pestisida Sawit di PT.ADEI KM 3 kecamatan Pinggir
kabupaten Bengkalis ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pemberi
Pestisida Sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetahuan pekerja pemberi pestisida sawit
tentang APD dan Dermatitis Kontak di PT.ADEI KM 3 Kecamatan
Pinggir Kabupaten Bengkalis.
b. Untuk mengetahui gambaran perilaku pekerja pemberi pestisida
sawit dalam menggunakan APD pada saat bekerja di PT.ADEI KM
3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis.
c. Untuk mengetahui gambaran dermatitis kontak pada pekerja
pemberi pestisida sawit di perusahaan PT.ADEI KM 3 Kecamatan
Pinggir Kabupaten Bengkali.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pekerja Pemberi Pestisida Sawit Di Perusahaan PT.ADEI
Para pekerja memperoleh perhatian dan minat tentang pemakaian
APD sesuai dengan aturan yang benar tanpa harus membahayakan
kesehatan.
1.4.2 Perusahaan sawit PT.ADEI
Menjadi bahan masukan dan dasar penerapan kebijakan dan
perencanaan program dan anggaran terkait APD sebagai pengelola
tenaga kerja perusahaan kelapa sawit.
5

1.4.3 Bagi Peneliti


Diharapkan mampu dan dapat menambah pengetahuan dalam
pelaksanaan penelitian khususnya dermatitis kontak, pengetahuan
tentang APD pekerja pemberi pestisida dan perilaku tentang pemakaian
Alat Pelindung Diri pada perusahaan sawit PT.ADEI KM 3 Kecamatan
Pinggir Kabupaten Bengkalis.
1.4.4 Bagi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Abdurrab
Sebagai bahan masukan yang dapat menjadi sumbangan pemikiran
dan informasi dalam penelitian yang relevan untuk masa yang akan
datang pada bidang kesehatan dan keselamatan kerja.
6

1.5 Orisinalitas Penelitian


Tabel 1. Tabel Orisinalitas Penelitian

Peneliti Judul Penelitian Metode Perbedaan Hasil Penelitian


Penelitian
Dina Noviana Hubungan Pengetahuan penelitian Waktu, Ada hubungan yang
(2016) Dan Tindakan kuantitatif tempat, dan bermakna antara
Penggunaan Alat dengan sampel pengetahuan dan tindakan
Pelindung Diri (APD) rancangan penelitian penggunaan alat pelindung
Dengan Dengan cross- diri (APD) dengan
Dermatosis Akibat sectional dermatosis akibat kerja
Kerja Pada Petugas pada petugas pengangkut
Pengangkut Sampah di sampah di kota Dumai
Kota Dumai dengan nilai p = 0,023 (P
value < 0,05) dan p =
0,036 (P value <0,05)
Muhamadiah, Several Factors Desain Variabel Ditemukan bahwa ada
(2016) Associating With penelitian independen, hubungan sebab akibat
Contact Dermatitis On Case desain antara Penggunaan APD
Oil Palm Plantations Control penelitian, dengan Kejadian
Workers In Belutu study waktu, tempat Dermatitis kontak dengan
Village, Kandis dan sampel nilai Kontak Kimia (p-
Subdistrict In 2016 penelitian value = 0,007) ,
Penggunaan APD (p-value
= 0,021), dan Personal
Hygiene (p-value = 0,028)
Aisyah et al Hubungan survei Variable Ada hubungan yang
(2012) Kebersihan analitik independen, bermakna antara umur
Perorangan dan dengan waktu, tempat pekerja, lama bekerja,
Pemakaian Alat desain dan sampel pendidikan pekerja,
Pelindung cross penelitian kebersihan kulit saat
Diri Dengan Keluhan sectional bekerja, pemakaian
Gangguan Kulit Pada pakaian kerja, pemakaian
Pekerja Pengupas sarung tangan kerja dan
Udang pemakaian sepatu kerja
dengan keluhan gangguan
kulit. dengan nilai semua
variable (p-value= <0,05)

Peneliti sendiri tertarik untuk mengambil judul Hubungan Pengetahuan


Dan Perilaku Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) Dengan Dermatitis Kontak
Pada Pekerja Pemberi Pestisida Sawit Di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir
Kabupaten Bengkalis karena penelitian ini belum ada dilakukan di Riau dan
kejadian penyakit kulit merupakan kondisi yang paling banyak terjadi di
Perkebunan sawit PT. ADEI. .
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah upaya
pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keselamatan
dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap
risiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah terjadinya
kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran,
peledakan atau pencemaran lingkunga kerja (Budiono, 2016)
Kesehatan dan kinerja seorang pekerja di tempat kerja sangat
dipengaruhi oleh 3 faktor (Budiono, 2016):
1. Kapasitas kerja, merupakan kemampuan fisik dan mental seseorang
untuk melaksanakan pekerjaan dengn beban tertentu secara optimal,
dimana kapasitas kerja seseorang dipengaruhi oleh kesehatan umum
dan status gizi pekerja, pendidikan dan pelatihan
2. Beban kerja, meliputi beban kerja fisik, mental dan sosial yang
dirasakan oleh pekerja dalam melakukan pekerjaannya
3. Lingkungan kerja, merupakan faktor-faktor di lingkungan tempat
kerja tersebut yang dapat menimbulkan kerugian.
Bahaya yang dapat muncul sebagai akibat dari gangguan ketiga
faktor tersebut diatas, ialah:
a. Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak
diinginkan, baik kecelakaan akibat langsung pekerjaan maupun
kecelakaan yang terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan
(Buntarto, 2015).
b. Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Penyakit yang timbul akibat pengaruh lingkungan kerja atau
yang berhubungan dengan pekerjaan. Timbul karena pekerja
terpapar berbagai bahan berbahaya ditempat kerja atau hasil buangan

7
8

industri (Djatmiko, 2016). Tiga puluh satu jenis PAK sebagaimana


terdapat dalam lampiran Kepres No.22 Th.1993, salah satunya
adalah Dermatosis Akibat Kerja (DAK) (Suma’mur, 2014)
c. Pencemaran Lingkungan (Suma’mur, 2014).
d. Kerusakan aset atau mesin (Suma’mur, 2014).
2.1.2 Dermatitis Kontak
2.1.2.1 Pengertian
Dermatitis kontak adalah peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit
(Soebaryo dan Sularsito, 2018).
Dermatitis kontak sering terjadi pada penyakit kulit akibat
kerja yaitu Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis
Kontak Alergi (DKA). Dermatitis kontak iritan merupakan
reaksi peradangan kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan/sensitisasi.
Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/allergen (Soebaryo dan Sularsito, 2018). Pada studi
epidemiologi di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389
kasus penyakit kulit adalah dermatitis kontak, dimana 66,3%
diantaranya adalah DKI dan 33,7% adalah DKA (Hudyono,
2002).
2.1.2.2 Etiologi Dermatitis Kontak
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar tubuh
(eksogen), misalnya bahan kimia, mikro-organisme, dan fisik.
Dapat pula dari dalam tubuh (endogen), misalnya dermatitis
atopik.
1. Dermatitis Kontak Iritan
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan
yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Terdapat juga factor
9

lain, yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau


berselang), oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeable,
gesekan, trauma fisik, suhu, dan kelembaban lingkungan.
Faktor individu juga turut berpengaruh pada DKI, misalnya
perbedaan ketebalan kulit diberbagai tempat menyebabkan
perbedaan permeabilitas; usia (usia dibawah 8 tahun dan usia
lanjut lebih mudah teriritasi; ras (kulit hitam lebih tahan
dibandingkan kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih
banyak pada perempuan); penyakit kulit yang pernah atau
sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan
menurun), misalnya dermatitis atopik (Soebaryo dan Sularsito,
2018).
2. Dermatitis Kontak Alergi
Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul rendah (< 1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup.
Berbagai faktor yang mempengaruhi DKA, misalnya potensi
sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, oklusi, suhu, kelembaban lingkungan,
vehikulum dan pH. Faktor individu yang mempengaruhi
,misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak, status imun
(misalnya sedang mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari
secara intens) (Soebaryo dan Sularsito, 2018).
Zat kimia yang dapat menyebabkan dermatitis kontak
salah satunya adalah pestisida. Pestisida adalah bahan kimia
yang dipergunakan untuk membasmi hama seperti serangga
(insektisida), tikus (rodentisida), jamur (fungisida), tanaman
(herbisida). Pada perkebunan sawit pestisida yang sering
digunakan adalah herbisida untuk membasmi tumbuhan
disekitar sawit agar sawit dapat asupan nutrisi yang baik, jenis
10

herbisida yang sering digunakan ialah ammonium sulfamat,


dalapon, fenoksi-asetat dan derivatnya, derivat karbamat, dan
lain-lain. Racun tanaman tersebut daya racunnya rendah, yang
memiliki daya racun berbahaya yang menyebabkan kerusakan
kepada saraf pusat adalah maleik hidrazi, racun yang dapat
menyebabkan methemoglobinemia dan depresi saraf pusat
adalah jenis natrium klorat, sedangkan yang dapat merangsang
metabolisme tubuh sehingga terjadi hipertermi (suhu meninggi)
dan kerusakan sel pada tempat terjadinya kontak ialah jenis
pentaklorfenol. Selain itu jenis racun tanaman yang berbahaya
tersebut mengakibatkan dermatosis yang sangat berat
(Suma’mur, 2014).
Menurut Djojosumarto (2008), ketidakbijaksanaan dalam
penggunaan pestisida bisa menimbulkan dampak negatif,
banyak masyarakat petani berperilaku tidak aman dalam
menggunakan pestisida. Berdasarkan hasil survei tentang
permasalahan dalam penggunaan pestisida di sektor pertanian
salah satunya adalah tidak menggunakan APD saat kontak
dengan pestisida (Kemenkes RI, 2016).
2.1.2.3 Patogenesis Dermatitis Kontak
1. Dermatitis kontak Iritan (DKI)
Dermatitis kontak Iritan merupakan reaksi peradangan
kulit non-imunolgik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung
tanpa didahului proses pengenalan/sensitasi. Penyebab
dermatitis ini ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan.
Patogenesis DKI dimulai dengan kontak iritan (toksin) merusak
membran lemak (lipid membrane) dan keratinosit, namun
sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,
mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG),
platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). Asam
11

Arakidonat diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien


(LT). Prostaglandin dan Leukotrien menginduksi vasodilatasi,
dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
mempermudah transudasi pengeluaran komplemen dan kinin.
Prostaglandin dan Leukotrien juga bertindak sebagai
kemoatrakan kuat untuk limfosit dan neutrophil, serta
mengaktifasi sel mast untuk pelepasan histamin, LT dan PG lain
dan PAF, sehingga terjadi perubahan vaskular. Diagliserida dan
second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte
macrophage colony stimulating factor (GMCSF). Interleukin-1
mengaktifkan sel T-Penolong/T-helpper cell mengeluarkan
Interleukin-2 (IL-2) dan mengekspersikan reseptor IL-2, yang
mengakibatkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan tumor
nekrosis factor (TNFa), suatu sitokin proinflamasi yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi
ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Soebaryo dan
Sularsito, 2018).
2. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune
response) atau reaksi imunologik tipe IV, atau reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang
telah mengalami sensitisasi dapat mengalami DKA (Soebaryo
dan Sularsito, 2018).
Pada fase sensitisasi, hapten yang masuk ke dalam
epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel
Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosim atau sitosol serta dikonjugasikan
12

pada molekul HLA-DR (Human Leukocyte Antigen - Antigen D


Related) untuk menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel
Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi
sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel
T. Akan tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang
juga mempunyai sifat iritan, keratinosit akan melepaskan sitokin
IL-1 yang akan mengaktifkan sel Langerhans dan mampu
menstimulasi sel T. Aktivitas tersebut akan mengubah fenotip
sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
(misalnya IL 1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas I dan II,
ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule 1), LFA 3
(Lymphocyte Function Associated 3) dan B7 (Soebaryo dan
Sularsito, 2018).
Sitokin proinflamasi lain yaitu TNFα (Tumor Necrosis
Factor α), yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan
pelepasan sitokin serta juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
Tumor Necrosis Factor α menekan produksi E-cadherin yang
mengikat sel Langerhans pada epidermis, juga menginduksi
aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans
melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfa. Di dalam kelenjar limfe, sel
Langerhans mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR
kepada sel T penolong spesifik, yaitu sel T yang
mengekspresikan molekul CD4 (Cluster of Differentiation 4)
yang dapat mengenali HLA-DR yang dipresentasikan sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 (Cluster of
Differentiation 3) yang mengenali antigen yang telah diproses
(Soebaryo dan Sularsito, 2018).
13

Keadaan sel T spesifik ditentukan secara genetik. Sel


Langerhans mensekresi IL 1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor- IL 2 (IL-2R).
Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T
spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan berubah menjadi
sel T memori (sel T teraktivasi) yang akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat
tersebut, individu telah tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu (Soebaryo dan Sularsito, 2018).
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi
pada pajanan ulang alergen (hapten) yang sama atau serupa.
Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat
oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan
kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T memori) baik dikulit
maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Sel
Langerhans mensekresikan IL-1 yang merangsang sel T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresikan IL-2R, yang akan
menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel T dikulit. Sel
T yag teraktivasi juga mengeluarkan IFNγ (Interferon γ) yang
akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresikan ICAM 1
dan HLA-DR. Adanya ICAM 1 memungkinkan keratinosit
untuk berinteraksi dengan sel T dan leukosit lain yang
mengekspresi molekul LFA 1. Sedangkan HLA-DR
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan
sel T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi antigen kepada
sel tersebut. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin
antara lain IL1, IL 6, TNFα (Tumor Necrosis Factor α), GMCSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulatin Factor),
semuanya dapat mengaktivasi sel T. IL 1 merangsang keratinosit
14

menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid akan


mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang berada di
dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 (Prostaglandin
E2) dan PGD2 (Prostaglandin D2), dan leukotrien B4 (LTB4).
Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin)
maupun dari keratinosit atau leukosit akan menyebabkan dilatasi
vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul
terlarut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam
dermis dan epidermis. Selain itu, faktor kemotaktik dan
eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain
dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan
kejadian tersebut akan menimbulkan respons klinis DKA. Fase
elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam (Soebaryo dan
Sularsito, 2018).
2.1.2.4 Gejala Klinis Dermatitis Kontak
Pasien umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit yang
terjadi bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi
dermatitisnya, berbagai lokasi kejadian dermatitis misalnya
tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan, genitalia, tungkai
atas dan bawah, serta dermatitis kontak sistemik (Soebaryo dan
Sularsito, 2018). Berikut ini gejala klinis berdasarkan fasenya
yaitu :
1. Fase akut
Pada dermatitis kontak iritan akut, reaksi ini bisa
beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang
tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan
kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan
individunya dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi
kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak
(Soebaryo dan Sularsito, 2018).
15

Pada dermatitis kontak alergi akut, derajat kelainan


kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan dan berat. Pada
yang ringan mungkin hanya berupa eritema (kemerahan) dan
edema (bengkak) yang lebih hebat disertai pula vesikel atau
bula (tonjolan berisi cairan) yang bila pecah akan terjadi erosi
dan eksudasi (cairan). Lesi cenderung menyebar dan batasnya
kurang jelas. Dalam fase ini keluhan subjektif berupa gatal
(Taylor et al, 2008).
2. Fase kronis
Pada dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh
kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan
mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam
faktor. Bisa jadi satu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis kontak iritan, tetapi bila bergabung
dengan faktor lain baru mampu untuk menyebabkan
dermatitis kontak iritan. Gejala klasik berupa kulit kering,
eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi
likenifikasi, batas tidak tegas. Pada dermatitis kontak alergi
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan
mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya campuran (Taylor et al, 2008).
2.1.2.5 Diagnosis Dermatitis Kontak
1. Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang teliti. DKI akut biasanya
lebih mudah untuk diketahui karena terjadi lebih cepat dan
biasanya pasien pada umumnya masih ingat apa penyebab
terjadinya. Sedangkan pada DKI kronis yaitu sebaliknya,
terjadi lebih lambat dan memiliki gambaran klinis lebih luas,
sehingga sulit untuk dibedakan dengan Dermatitis Kontak
16

Alergi. Untuk ini diperlukan Uji Tempel dengan bahan yang


dicurigai (Soebaryo dan Sularsito, 2018).
2. Dermatitis Kontak Alergi
Diagnosis didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai
kontaktan yang dicurigai berdasarkan kelainan kulit yang
ditemukan. Misalnya, pada kelainan kulit berukuran nummular
disekitar pergelangan tangan berupa hiperpigmentasi,
likenisasi, dengan papul dan erosi, perlu ditanyakan apakah
pasien memakai jam tangan atau gelang yang terbuat dari
logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi
data riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, dan berbagai bahan yang
diketahui dapat menimbulkan alergi, penyakit kulit yang
pernah dialami, riwayat atopi, baik dari pasien yang
bersangkutan maupun dari kelurganya (Soebaryo dan
Sularsito, 2018).
Pemeriksaan fisik sangat penting dilakukan, karena dengan
melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat
menentukan apa penyebabnya. Misalnya, diumbilikus oleh ikat
pinggang; diketiak oleh deodoran; dikedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan ditempat
yang terang, pada seluruh permukaan kulit untuk melihat
kelainan kulit lain karena berbagai penyebab endogen.
Berdasarkan Permenkes No.56 tahun 2016, Diagnosis
penyakit akiba kerja dengan pendekatan 7 (tujuh) langkah yang
meliputi:
a. Penegakan diagnosis klinis
b. Penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat
kerja
c. Penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit
17

d. Penentuan kecukupan pajanan


e. Penentuan faktor individu yang berperan
f. Penentuan faktor lain di luar tempat kerja
g. Penentuan diagnosis okupasi.
2.1.2.6 Pencegahan
Umumnya kelainan kulit akan mereda dalam beberapa hari
setelah upaya pencegahan pajanan ulang (Soebaryo dan
Sularsito, 2018). Adapun upaya pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya DAK, yakni (Djatmiko,
2016) :
1. Penilaian bahan-bahan yang akan digunakan di perusahaan
Uraian kerja untuk bahan-bahan berbahaya dan efek
kesehatan yang diakibatkannya, dapat dievaluasi dengan uji-
uji spesifik bagi uraian bersangkutan (Buntarto, 2015)
2. Mengganti bahan-bahan yang berbahaya menjadi yang tidak
berbahaya.
3. Penyuluhan mengenai APD sebagai upaya pencegahan
PAK dan KAK.
Instruksi secara lisan maupun tulisan tentang kapan dan
dalam keadaan apa alat pelindung diri harus digunakan oleh
pekerja. Demikian pula poster-poster tentang keselamatan
dan kesehatan kerja perlu dipasang ditempat-ditempat kerja
yang dapat dibaca dengan mudah oleh pekerja (Buntarto,
2015).
4. Hygiene personal dan perusahaan
Kebersihan seseorang misalnya cuci tangan, mandi
sebelum pulang kerja, pakaian bersih dan bergantian pakaian
tiap hari, alat pelindung diri yang bersih dan lain lain
(Suma’mur, 2014).
5. Pemeriksaan pra-kerja
18

Pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan dan


pemeriksaan kesehatan berkala
6. Pemakaian Alat Peindung Diri (APD)
Pemakaian APD adalah kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk
menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang
disekelilingnya.
2.1.3 Alat Pelindung Diri (APD)
2.1.3.1 Definisi
Menurut Occupational Safety and Health Association,
personal protective equipment atau Alat Pelindung Diri
(APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi pekerja
dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya
kontak dengan bahaya di tempat kerja, baik yang bersifat
kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya
(OSHA, 2004). Menurut Permenaketrans nomor PER.08/MEN/
VII/2010 tentang alat pelindung diri, APD adalah suatu alat
yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang
yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari
potensi bahaya di tempat kerja.
2.1.3.2 Jenis APD
Menurut Habsari (2016), secara umum jenis APD adalah:
A. Alat Pelindung Kepala
Topi pelindung (helm) berguna untuk melindungi kepala
dari benda-benda keras yang terjatuh, pukulan, benturan
kepala, dan terkena arus listrik. Tutup kepala,berguna untuk
melindungi kepala dari kebakaran, korosi, panas/dingin.
Dapat terbuat dari asbestoses, kain khusus tahan api dan
korosi, terbuat dari kulit atau kain tahan air. Hats/cap,
berguna untuk melindungi kepala (rambut) dari kotoran debu
mesin-mesin berputar, biasanya terbuat dari katun.
19

Gambar 1. Safety Helmet & Hair Cap

B. Alat Pelindung Mata dan Muka


1. Spectacles, berguna untuk melindungi mata dari partikel-
partikel kecil, debu dan radiasi gelombang
elektromagnetik, kilatan cahaya atau sinar yang
menyilaukan.
2. Goggles, digunakan untuk melindungi mata dari gas, uap,
debu, dan percikan larutan kimia.
3. Perisai muka, digunakan untuk melindungi mata atau
muka. Dapat dipasang pada helm atau pada kepala
langsung, dapat juga dipegang dengan tangan.

Gambar 2. Face Shield & Protective Googles


20

C. Alat Pelindung Telinga


Berguna untuk mengurangi intensitas suara yang masuk
ke dalam telinga.
1. Sumbatan telinga (ear plug) dapat mengurangi intensitas
suara 10 sampai dengan 15 dB.
2. Tutup telinga (ear muff ). Alat ini dapat melindungi bagian
luar telinga (daun telinga) dan alat ini lebih efektif dari
sumbatan telinga, karena dapat mengurangi intesitas suara
hingga 20 sampai dengan 30 dB. Kelebihan ear plug
mudah dibawa dan disimpan karena kepraktisannya.

Gambar 3. Ear Plug & Ear Muff


D. Alat Pelindung Pernapasan
Berguna untuk melindungi pernapasan terhadap gas, uap,
debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang
dapat bersifat racun, korosi ataupun rangsangan.
 Masker, untuk melindungi debu/partikel-partikel yang
lebih besar yang masuk kedalam pernafasan, dapat terbuat
dari kain dengan ukuran proporsi tertentu.
 Respirator, berguna untuk melindungi pernafasan dari
debu, kabut, uap, logam, asap dan gas.
21

Gambar 4. Respirator
E. Alat Pelindung Tangan
Berguna untuk melindungi tangan dan bagian-bagian
dari benda-benda tajam/goresan, bahan-bahan kimia
(padat/larutan), benda-benda panas/dingin atau kontak arus
listrik. Sarung tangan dapat terbuat dari karet (melindungi
tangan dari paparan bahan kimia dan arus listrik), kulit
(melindungi tangan dari benda tajam, goresan), kain/katun
(melindungi tangan dari benda panas/dingin atau goresan).
Sarung tangan untuk mengurangi dari paparan getar yang
tinggi adalah sarung tangan kulit yang dilengkapi dengan
bahan peredam getar.

Gambar 5. Safety Hand


F. Alat pelindung kaki
Berguna untuk melindungi kaki dan bagian-bagiannya
dari benda-benda terjatuh. Benda-benda tajam/potongan kaca,
larutan kimia, benda panas dan kontak listrik.
22

Gambar 6. Sepatu bot


G. Pakaian Pelindung
Berguna untuk menutupi seluruh atau sebagian dari
percikan api, panas, suhu, dingin, cairan kimia, dan minyak.
Bahan dapat terbuat dari kain dril, kulit, plastik, asbes atau
kain yang dilapisi aluminium. Bentuknya dapat berupa apron
(menutupi sebagian tubuh yaitu mulai dada sampai lutut),
celemek atau pakaian terusan dengan celana panjang dan
lengan panjang.

Gambar 7. Overalls & apron


23

Menurut Wilkinson (1990) pakaian dan APD digunakan


saat menangani, mencampur, menyemprot pestisida, dan
membersihkan peralatan, minimal menggunakan baju lengan
panjang (atau baju pelindung), sarung tangan tahan bahan
kimia, topi (paling sering topi keras), dan alas kaki. Kenakan
lengan baju diluar sarung tangan dan celana diluar alas kaki
untuk mencegah bahan kimia. Pakaian harus terbuat dari
bahan yang dijalin rapat untuk menahan terkena bahan
kimia.

Gambar 8. Pakaian pelindung untuk racun kimia


2.1.3.3 APD Untuk Pengguna Pestisida
Berdasarkan Pedoman Penggunaan Pestisida kementerian
kesehatan. Alat Pelindung Diri yang diperlukan dalam
penggunaan pestisida baik saat pencampuran (formulasi)
maupun saat penyemprotan yaitu (Kemenkes RI, 2016) :
1. Pakaian panjang
2. Celemak (Appron).
3. Pelindung kepala.
4. Pelindung mata
5. Sarung tangan
24

6. Sepatu boot.
7. Pelindung pernafasan (masker/ respirator).
2.1.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku pekerja
sehingga tidak menggunakan alat pelindung diri yang telah
disediakan oleh perusahaan. Bagi pekerja penggunaan APD
akan mengurangi produktivitas malah dan menyulitkan bagi
mereka dalam bekerja. Arahan pemakaian APD seperti yang
telah disediakan oleh pihak manajemen sering tidak dipatuhi
oleh pekerja dan beranggapan bahwa budaya kerja yang biasa
adalah selamat tanpa peduli bahaya kepada mereka. Peralatan
keselamatan yang biasa disediakan oleh pihak manajemen
seperti sepatu, helm, sering tidak dipakai. Pemakaian APD
sering dikaitkan dengan kesulitan dalam bekerja, mengurangi
produktivitas, dan juga dikaitkan dengan peralatan yang tidak
nyaman untuk dipakai dan pemakaiannya menyebabkan
penyakit dan sebagainya merupakan alasan yang biasa diberikan
oleh pekerja untuk tidak memakai APD (Wibowo, 2010).
2.1.3.5 Pekerja Pemberi Pestisida Sawit di PT.ADEI
Perusahaan PT. ADEI PLANTATION & INDUSTRY
Merupakan salah satu perusahaan perkebunan sawit yang berada
di Riau, salah satunya adalah kebun Mandau (KM), kebun
Mandau merupakan nama kebun yang berada di Kecamatan
Pinggir Kabupaten Bengkalis, kebun mandau sendiri memiliki
beberapa divisi berdasarkan lokasi salah satunya kebun Mandau
3 (KM 3), jumlah karyawan di KM 3 adalah 193 orang, untuk
pemberi pestisida sawit sendiri berjumlah 37 orang.
Perkerja pemberi pestisida sawit diberikan alat pelindung
diri secara lengkap, adapun pengawasan terhadap pemakaian
APD yang dilakukan oleh manager, asisten manager, staff, dan
ahli K3, dan sanksi bagi pekerja yang tidak memakai APD
25

berupa teguran dan peringatan berdasarkan KKB pasal 32:


tentang sanksi terhadap pelanggaran disiplin dan larangan. Lama
penggantian APD sendiri sudah diatur berdasarkan kelayakan
pakai oleh ahli K3 Setiap 6 bulan. Pekerja pemberi pestisida
sawit bekerja selama 5 jam per hari. Jenis pestisida yang
digunakan adalah herbisida golongan Ammonium Glufosinat,
Glifosat Isopropilamina, Metil Metsulfuron, dan Cypermetrin.
2.1.4 Perilaku
2.1.4.1 Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun
2016, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap
rangsangan atau lingkungan. Perilaku adalah tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan
yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka
perilaku dapat dibedakan menjadi dua menurut Notoatmodjo
(2012), yaitu:
a. Perilaku tertutup, yaitu respons seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.
Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan /
kesadaran, sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum diamati secara
jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka, yaitu respons seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
26

Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam


bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah
dapat diamati dan dilihat oleh orang lain.
2.1.4.2 Determinan Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2012), faktor penentu atau
determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan hasil dari berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal (lingkungan). Dari berbagai determinan
perilaku manusia, banyak ahli telah merumuskan teori-teori
atau model-model terbentuknya perilaku. Salah satunya yaitu
teori Bloom yang membedakan perilaku dalam 3 domain
perilaku yaitu : kognitif (cognitive), afektif (affective) dan
psikomotor (psychomotor).
2.1.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
Menurut teori Lawrance Green (1980) dalam
Notoadmodjo (2012) menyatakan bahwa perilaku manusia
dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku
(behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau
terbentuk dari 3 faktor yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang
mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya.
b. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja,
misalnya ketersedianya APD, pelatihan dan sebagainya.
c. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini
meliputi undang-undang, peraturan-peraturan,
pengawasan dan sebagainya.
27

2.1.5 Pengetahuan
2.1.5.1 Definisi
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah
orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terhadap objek terjadi melalui panca indra manusia
yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba
dengan tersendiri. Pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian presepsi terhadap obyek. Sebagian besar
pengetahuan manusia di peroleh melalui indera pengelihatan
(mata) dan indera pendengaran (telinga) (Notoatmodjo, 2014).
Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior). Berikut ini merupakan
proses seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru)
antara lain adalah:
a. Awareness (kesadaran) yaitu orang tersebut menyadari
dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus
(objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek
tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti
sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial yaitu subjek mulai mencoba melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption yaitu subjek telah berprilaku baru sesuai dengan
Pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan dan sikap
yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long
28

lasting). Begitu pula sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak


didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut
tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2014).
2.1.5.2 Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan seseorang
terhadap suatu objek mempunyai tingkatan yang berbeda-beda.
Secara garis besar, tingkatan pengetahuan tersebut dibagi dalam 6
tingkat, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk
mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat
menggunakan pertanyaan-pertanyaan misalnya apa tanda-tanda
anak kurang gizi, apa penyebab penyakit Tuberkulosis, dan
sebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap
objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang
tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahui tersebut. Misalnya orang yang
memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah
bukan hanya sekedar menyebutkan mengubur, menutup, dan
menguras (3M), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus
menutup dan menguras tempat-tempat penampungan air
tersebut.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami
objek yang dimaksud dapat menggunakan atau
mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi
yang lain. Misalnya seseorang yang telah paham tentang
29

proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan


program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau
objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang
itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang
tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan,
mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap
pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan
antara nyamuk Aedes Aegepty dengan nyamuk biasa, dapat
membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan
sebaginya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis
dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan
kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata
atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau
didengar dan dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang
telah dibaca.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek
tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang
berlaku dimasyarakaat. Misalnya seorang ibu dapat menilai
atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak,
30

seseorang dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana bagi


keluarga, dan sebagainya.
2.1.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Budiman dan Riyanto (2013) faktor yang
mempengaruhi pengetahuan meliputi:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan
perilaku seseorang atau kelompok dan merupakan usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Budiman dan Riyanto, 2013). Semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin capat menerima dan
memahami suatu informasi sehingga pengetahuan yang
dimiliki juga semakin tinggi (Sriningsih, 2011).
b. Informasi/ Media Massa
Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan,
menganalisis dan menyebarkan informasi dengan tujuan
tertentu. Informasi diperoleh dari pendidikan formal
maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka
pendek sehingga menghasilkan perubahan dan
peningkatan pengetahuan. Semakin berkembangnya
teknologi menyediakan bermacam-macam media massa
sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat.
Informasi mempengaruhi pengetahuan seseorang jika
sering mendapatkan informasi tentang suatu pembelajaran
maka akan menambah pengetahuan dan wawasannya,
sedangkan seseorang yang tidak sering menerima
informasi tidak akan menambah pengetahuan dan
wawasannya.
31

c. Sosial, Budaya dan Ekonomi


Tradisi atau budaya seseorang yang dilakukan tanpa
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk akan
menambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.
Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya fasilitas
yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu sehingga status
ekonomi akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
Seseorang yang mempunyai sosial budaya yang baik maka
pengetahuannya akan baik tapi jika sosial budayanya
kurang baik maka pengetahuannya akan kurang baik.
Status ekonomi seseorang mempengaruhi tingkat
pengetahuan karena seseorang yang memiliki status
ekonomi dibawah rata-rata maka seseorang tersebut akan
sulit untuk memenuhi fasilitas yang diperlukan untuk
meningkatkan pengetahuan.
d. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi proses masuknya
pengetahuan kedalam individu karena adanya interaksi
timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai
pengetahuan oleh individu. Lingkungan yang baik akan
pengetahuan yang didapatkan akan baik tapi jika
lingkungan kurang baik maka pengetahuan yang didapat
juga akan kurang baik.
e. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman orang
lain maupun diri sendiri sehingga pengalaman yang sudah
diperoleh dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
Pengalaman seseorang tentang suatu permasalahan akan
membuat orang tersebut mengetahui bagaimana cara
menyelesaikan permasalahan dari pengalaman sebelumnya
yang telah dialami sehingga pengalaman yang didapat bisa
32

dijadikan sebagai pengetahuan apabila medapatkan


masalah yang sama.
f. Usia
Semakin bertambahnya usia maka akan semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga
pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin membaik
dan bertambah.
2.1.6 Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Penggunaan APD dengan
Dermatitis Kontak pada Pekerja Pemberi Pestisida Sawit
Penyebab dermatitis kontak dapat berasal dari faktor endogen dan
eksogen, faktor eksogen salah satunya ialah faktor kimia (Soebaryo dan
sularsito, 2018). Bahan kimia yang dapat menyebabkan gangguan kulit
salah satunya adalah pestisida yang sering digunakan di masyarakat
(Suma’mur, 2014). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
ketidaktepatan penggunaan pestisida antara lain tingkat pengetahuan.
Sikap/perilaku pengguna pestisida, penggunaan alat pelindung, serta
kurangnya informasi yang berkaitan dengan risiko penggunaan
pestisida (Mariana, 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi pekerja
untuk tidak menggunakan APD, yang mana hal tersebut berhubungan
dengan perilaku (Kurniadjaja, 2011). Domain perilaku terdiri atas
pengetahuan (knowledge) dan tindakan (practice) (Triwibowo dan
Pusphandani, 2013).
Adapun faktor yang dapat merubah perilaku salah satunya adalah
faktor predisposisi yang mana, faktor-faktor ini mencakup
pengetahuan dan sikap individu terhadap kesehatan, tradisi dan
kepercayaan, nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat
sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya. Faktor pengetahuan menjadi
dasar keberhasilan bagi pekerja dalam menggunakan APD.
Pengetahuan tentang APD harus dimiliki seorang pekerja guna
memproteksi diri dari berbagai penyakit dan kecelakaan kerja.
Keberhasilan dalam menggunakan APD selain dilihat dari pengetahuan,
33

juga ditentukan dari tindakan. Tindakan akan mempengaruhi perilaku


pekerja untuk berperilaku dengan baik dan benar dalam melakukan
penyemprotan pestisida sawit. Dukungan pengetahuan dan tindakan ini
akan berpengaruh langsung terhadap perilaku yang nyata dalam
mengurangi angka kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja yang
dapat ditimbulkan dari pestisida (Fendari, 2014). Perusahaan PT. ADEI
merupakan salah satu perusahaan perkebunan sawit yang berada di
Riau, salah satunya adalah kebun Mandau (KM), kebun Mandau
merupakan nama kebun yang berada di Kecamatan Pinggir Kabupaten
Bengkalis, kebun mandau sendiri memiliki beberapa divisi berdasarkan
lokasi salah satunya kebun Mandau 3 (KM 3), jumlah karyawan di KM
3 adalah 193 orang, untuk pemberi pestisida sawit sendiri berjumlah 37
orang. Dalam penelitian Muhamadiah (2016) ditemukan bahwa ada
hubungan sebab akibat antara Penggunaan APD dengan Kejadian
Dermatitis kontak. Pekerja kebun sawit yang tidak menggunakan APD
saat bekerja lebih beresiko 1,94 kali untuk menderita Dermatitis Kontak
dibandingkan dengan Pekerja Kebun Sawit yang menggunakan APD
saat bekerja. Pada penelitian Noviana (2017) yang berjudul Hubungan
Pengetahuan Dan Tindakan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Dengan Dengan Dermatosis Akibat Kerja Pada Petugas Pengangkut
Sampah di Kota Dumai, terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan pemakaian APD dengan DAK.
34

2.2 Kerangka Teori

Faktor Kapasitas Pelatihan


Endogen kerja tentang APD

ketersediaan APD
Dermatitis Perilaku
Faktor fisika kontak penggunaan Pengetahuan
APD tentang APD
Faktor mikro-
Faktor
organisme
Eksogen Undang-undang
Peraturan
Faktor kimia Pengawasan

Gambar 9. Kerangka Teori

2.3 Kerangka Konsep


Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Pengetahuan Perilaku Pemakaian Dermatitis Kontak


tentang APD APD

Gambar 10. Kerangka Konsep


2.4 Hipotesis
1. Ho : Tidak terdapat hubungan pengetahuan pemakaian APD dengan
perilaku pemakaian APD pada pekerja pemberi pestisida sawit
Ha :Terdapat hubungan antara pengetahuan pemakaian APD dengan
perilaku pemakaian APD pada pekerja pemberi pestisida sawit.
2. Ho : Tidak terdapat hubungan antara perilaku pemakaian APD dengan
kejadian dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida sawit.
Ha :Terdapat hubungan perilaku pemakaian APD dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida sawit.
III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan
cross-sectional untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan dan
perilaku pemakaian APD dengan dermatitis kontak pada pekerja pemberi
pestisida sawit.
Penelitian dilakukan di Perusahaan PT.ADEI Plantation & Industry
yang beralamat Jl. Raya Pekanbaru-Duri Km 101, Simp. Intan Muara
Basung Kabupaten Bengkalis. Pada bulan Februari 2019.
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Independen
1. Pengetahuan Pemakaian APD
Semua informasi mengenai pemakaian APD yang diketahui
oleh pekerja.
2. Perilaku Pemakaian APD
Perilaku memakai APD lengkap atau memakai APD tidak
lengkap saat bekerja.
3.2.2 Variabel dependen
Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah peradangan pada kulit yang disebabkan
oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit.

35
36

3.3 Definisi Operasional


Tabel 2. Tabel Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Pengetahuan Semua informasi mengenai Kuesioner 1=Pengetahuan Kurang Nominal
Pemakaian APD yang diketahui oleh (Fendari, (Jika jawaban benar
APD responden 2014) dengan nilai <50%,
total score 0-6) *score
jawaban benar adalah 2
dan jawaban salah
adalah 0
2= Pengetahuan Baik
(Jika jawaban benar
dengan nilai 50-100% ,
total score 8-14)

Perilaku Responden menggunakan Observasi Observasi dilakukan Nominal


Pemakaian APD setiap melakukan secara random seba-
APD penyemprotan secara nyak 3 kali selama 3
lengkap yaitu: hari
 Pakaian panjang 1= Tidak Memakai
 Celemek (apron) APD lengkap
 Pelindung kepala
2= Memakai APD
 Pelindung mata
 Sarung tangan lengkap
 Sepatu boot
 Pelindung
pernafasan
Dermatitis Dermatitis kontak adalah Rekam 1= Dermatitis Kontak Nominal
kontak peradangan pada kulit medik (Jika ada diagnosis
yang disebabkan oleh dermatitis kontak
bahan/substansi yang dalam 3 bulan terakhir)
menempel pada kulit. 2= Tidak Dermatitis
Kontak
(jika tidak ada
diagnosis dermatitis
kontak dalam 3 bulan
terakhir)
37

3.4 Bahan dan Alat


Alat ukur
1. Lembar kuisoner
1= Pengetahuan Kurang (Jika jawaban benar dengan nilai <50%, total
score 0-6) *score jawaban benar adalah 2 dan jawaban salah
adalah 0
2= Pengetahuan Baik (Jika jawaban benar dengan nilai 50-100% ,
total score 8-14)
2. Lembar observasi
Melakukan observasi secara random sebanyak 3 kali selama 3 hari,
waktu observasi dilakukan secara random.
1= 1-3 hari Tidak Memakai APD lengkap
2= 3 hari Memakai APD lengkap
3. Data rekam medik
1= Dermatitis Kontak (Jika ada diagnosis dermatitis kontak)
2= Tidak Dermatitis Kontak (jika tidak ada diagnosis dermatitis
kontak)
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja pemberi
pestisida sawit di perusahaan sawit PT.ADEI di kebun Mandau 3
berjumlah 37 orang
3.5.2 Sampel
Adapun teknik pengambilan sampel, dengan menggunakan
teknik total sampling. Total Sampling adalah teknik pengambilan
sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi
(Notoadmodjo, 2011). Sampel yang akan digunakan adalah pekerja
pemberi pestisida sawit berjumlah 37 orang.
3.5.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria Inklusi :
1. Usia 18 sampai 55 tahun
38

2. Bersedia menjadi responden.


b. Kriteria Eksklusi :
1. Memiliki pekerjaan lain selain penyemprot pestisida sawit
2. Memiliki riwayat penyakit kulit sebelum bekerja sebagai
penyemprot pestisida sawit
3.6 Cara Penelitian
a. Membuat surat izin dan meminta izin pada pimpinan lapangan yang
ingin dilakukan penelitian
b. Mengumpulkan data seluruh pekerja pemberi pestisida sawit di
kebun Mandau 3 perusahaan PT.ADEI, dalam hal ini peneliti dibantu
oleh seorang asisten
c. Membagikan kuesioner penelitian pada seluruh pekerja pemberi
pestisida sawit
d. Data kuesioner dikumpulkan dan dihitung skornya
e. Melakukan observasi langsung secara random sebanyak 3 kali
selama 3 hari
f. Melihat rekam medik setiap pekerja pemberi pestisida sawit
disesuaikan dengan responden yang sedang diteliti
g. Melakukan analisis dan uji korelasi terhadap data kuesioner
39

Gambar 11. Skema Alur Penelitian

Penentuan subjek berdasarkan


rumus sampel yang sudah
ditentukan

Pengisian kuesioner oleh


responden tentang pengetahuan Pengambilan
pemakaian APD Dermatitis Kontak

Observasi Perilaku
Responden Pemakaian
APD

Analisis Data dan Hasil

Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi
variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi atau persentase.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan antar variabel penelitian untuk
mengetahui apakah ada hubungan antar variabel yang diteliti. Pada
penelitian ini analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui
hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku pemakaian alat
pelindung diri dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida
sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis.
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan uji chi-squere,
dimana pada penelitian ini menggunakan skala nominal.
40

3.7 Jadwal Penelitian


Tabel 3. Jadwal Penelitian

No Kegiatan Tahun 2018-2019


6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
1 Pembuatan surat pra
riset
2 Pengambilan data
3 Pembuatan proposal
4 Seminar proposal
5 Revisi proposal
6 Pengajuan surat
penelitian
7 Penelitian
8 Pembuatan skripsi
9 Sidang skripsi

3.8 Biaya Penelitian

Tabel 4. Biaya Penelitian

No. Kebutuhan Perincian Jumlah Harga Total


1. Foto kopi Kuisioner 37 x 5= 185 lembar @300 Rp. 55,000
2. Pena 1 kotak @15.000 Rp. 15,000
3. makanan 37 @5000 Rp. 185,000
Total Rp. 255,000
41

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan
perilaku pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dengan dermatitis kontak
pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir
Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini dilaksanakan 3 hari pada tanggal 27 Mei
2019, 10 Juni 2019 dan 12 Juni 2019, penelitian ini dilakukan pada seluruh
pekerja pemberi pestisida sawit yang berada di Kebun Mandau 3 di PT.ADEI
Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis berjumlah 37 pekerja dan sampel
penelitian ini adalah 37 pekerja yang diambil secara total sampling,dengan
pengumpulan data berdasarkan lembar kuisoner, obeservasi selama 3 hari,
dan dengan data rekam medis. Kemudian dilakukan pengolahan data
4.1.1. Analisa Univariat
Analisis ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi
variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi atau persentase yang menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. yaitu pengetahuan pemakaian
APD, perilaku pemakaian APD dan dermatitis kontak. Gambaran
karakteristik masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan pemakaian APD
Tabel 5. Distribusi pengetahuan pemakaian APD pekerja pemberi
pestisida sawit di PT.ADEI Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis
Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Kurang 15 40,5
Baik 22 59,5
Total 37 100
Dari 37 responden yang diteliti menunjukkan bahwa mayoritas
responden dengan pengetahuan baik mengenai penggunaan APD
berjumlah 22 responden (59,5%), dan pengetahuan kurang mengenai
penggunaan APD berjumlah 15 (40,5%).

41
42

b. Perilaku pemakaian APD


Tabel 6. Distribusi perilaku APD pada pekerja pemberi pestisida
sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis

Perilaku Frekuensi Persentase(%)


APD tidak lengkap 19 51,4
APD lengkap 18 48,6
Total 37 100
Dari 37 responden yang diteliti menunjukkan bahwa mayoritas
responden tidak lengkap memakai APD saat bekerja yaitu sebanyak
19 responden (51,4%) dan minoritas responden memakai APD yaitu
18 responden (48,6%).
b. Kejadian Dermatitis Kontak
Tabel 7. Distribusi dermatitis kontak pada pekerja pemberi
pestisida sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten
Bengkalis
Dermatitis kontak Frekuensi Persentase (%)
Dermatitis kontak 23 62,2
Tidak Dermatitis Kontak 14 37,8
Total 37 100
Dari 37 responden yang diteliti menunjukkan bahwa mayoritas
responden pernah mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 23
responden (62,2%) dan minoritas responden tidak Dermatitis
kontak yaitu sebanyak 14 responden (37,8%).
4.1.2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen (pengetahuan dan Perilaku pemakaian APD)
dengan variabel dependen. Analisis menggunakan uji chi-square
dengan bantuan SPSS (Statistical Product And Service Solutions)21
dan sudah memenuhi syarat chi-square yaitu tidak ada nilai sel yang
43

memiliki nilai harapan dibawah 5 (0 cells have expected count less


than 5).Adapun hasil uji analisis bivariat sebagai berikut :
a. Hasil Uji Chi-Square Hubungan Pengetahuan Pemakaian APD
dengan Perilaku Pemakaian APD pada pekerja pemberi
pestisida sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir
Kabupaten Bengkalis
Tabel 8. Hasil uji chi-Square hubungan pengetahuan pemakaian
APD dengan perilaku pemakaian pada pekerja pemberi pestisida
sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis
Value Approx. Sig.

Nominal by Contingency .341 .027


Nominal Coefficient

N of Valid Cases 37

Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 37 responden


diperoleh nilai p = 0,027 (P value < 0,05) yang berarti Ho ditolak
dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara
pengetahuan penggunaan APD dengan perilaku pemakaian APD
pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI. Selain itu, dari
hasil penghitungan Prevalence Ratio(PR), didapatkan hubungan
pengetahuan dengan perilaku pemakaian APD yaitu sebesar 2,01
jadi pengetahuan buruk responden 2,01 kali lebih besar untuk
mengalami perilaku tidak lengkap seseoarang dalam menggunakan
APD pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT. ADEI.
Tabel 9. Hasil Cross-Tabs pengetahuan pemakaian APD dengan
perilaku pemakaian APD pada pekerja pemberi pestisida sawit di
PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis
Pengetahuan Pemakaian Perilaku Pemakaian APD Total
APD Tidak lengkap Lengkap
Buruk 11 4 15
Baik 8 14 22
Total 19 18 37
44

Berdasarkan tabel 9 diatas, terdapat 22 responden


berpengetahuan baik mengenai pemakaian APD, dengan 8
responden tidak lengkap meemakai APD dan 14 responden memakai
APD lengkap. Sedangkan 15 responden berpengetahuan buruk
tentang memakai APD, didapatkan 11 berperilaku tidak lengkap
memakai APD dan 4 memakai APD lengkap.
b. Hasil Uji Chi-Square Hubungan perilaku penggunaan APD
dengan Dermatitis Kontak pada pekerja pemberi pestisida
sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten
Bengkalis
Tabel 10. Hasil Uji Chi-Square Hubungan Perilaku penggunaan
APD dengan Dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida
sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis

Value Approx. Sig.

Nominal by Contingency .501 .000


Nominal Coefficient

N of Valid Cases 37

tabel diatas menunjukkan dari 37 responden diperoleh nilai p


value = 0,001 (P value <0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha
diterima sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara perilaku
pemakaian APD dengan dermatitis kontak pada pekerja pemberi
pestisida sawit di PT.ADEI. Hasil penghitungan Prevalence Ratio
(PR) menunjukkan bahwa kejadian dermatitis kontak 2,68 yang
berarti perilaku tidak lengkap memiliki 2,68 lebih besar untuk
mengalami dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida sawit
di PT. ADEI.
45

Tabel 11. Hasil Cross-Tabs perilaku pemakaian APD dengan


dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI
KM 3 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis
Dermatitis Kontak Total
Alat Pelindung Diri
Dermatitis Tidak Dermatitis
Kontak Kontak
Tidak Lengkap 17 2 19
Lengkap 6 12 18
Total 23 14 37
Berdasarkan tabel 11 diatas, terdapat 19 responden yang tidak
memakai APD lengkap, 17 responden diantaranya dinyatakan
pernah mengalami Dermatitis Kontak dan 2 responden tidak pernah
mengalami Dermatitis Kontak. Dari 18 responden yang memakai
APD lengkap, ditemukan 6 responden diantaranya pernah
mengalami Dermatitis Kontak dan 12 responden diantaranya
dinyatakan tidak pernah mengalami Dermatitis Kontak.
4.2. Pembahasan
4.2.1 Analisis Univariat
A. Pengetahuan Pemakaian APD
Hasil dari uji univariat Pengetahuan Pemakaian APD
didapatkan dari 37 responden yang diteliti menunjukkan bahwa
mayoritas responden dengan pengetahuan baik mengenai
penggunaan APD berjumlah 22 responden (59,5%), dan pengetahuan
kurang mengenai penggunaan APD berjumlah 15 (40,5%).
Berdasarkan hasil pengetahuan didapatkan mayoritas pengetahuan
baik dan hasil di lapangan, pengetahuan pemakaian APD pekerja
didapatkan dari penyuluhan tentang APD oleh ahli K3. Adapun
Faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu, faktor pendidikan,
yang mana semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin
cepat menerima dan memahami suatu informasi sehingga
pengetahuan yang dimiliki juga semakin tinggi. Faktor
informasi/media massa, informasi berasal dari pendidikan formal
46

maupun non formal. Faktor sosial, budaya, ekonomi. Faktor


lingkungan, lingkungan mempengaruhi proses masuknya
pengetahuan kedalam individu. Faktor pengalaman, pengalaman
dapat diperoleh dari pengalaman orang lain maupun diri sendiri
sehingga pengalaman yang sudah diperoleh dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang (Budiman dan Riyanto, 2013).
B. Perilaku Pemakaian APD
Dari 37 responden yang diteliti menunjukkan bahwa mayoritas
responden tidak lengkap memakai APD saat bekerja yaitu sebanyak
19 responden (51,4%) dan minoritas responden memakai APD yaitu
18 responden (48,6%). Berdasarkan hasil dilapang perilaku
pemakaian APD didapatkan ketidak nyamanan dalam menggunakan
APD. Penelitian sebelumnya juga didapatkan sebanyak 34 (68,0%)
penggunaan APD tidak lengkap pekerja chemis (penyemprotan) di
PT. Ricki Kurniawan Kertapersada Desa Mekar Sari Kecamatan
Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Tidak lengkapnya penggunaan
APD yang dipakai oleh pekerja dikarenakan kurangnya APD yang
tersedia di perusahaan. Selain itu kemungkinan pekerja tidak
memakai APD dengan lengkap karena pekerja merasa risih jika
memakai semua kelengkapan APD dan mengganggu saat melakukan
penyemprotan (Entianopa dan Santoso,2016)
C. Dermatitis Kontak
Dari 37 responden yang diteliti menunjukkan bahwa mayoritas
responden pernah mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 23
responden (62,2%) dan minoritas responden tidak Dermatitis kontak
yaitu sebanyak 14 responden (37,8%). Mayoritas responden
mengalami dermatitis kontak disebabkan perilaku pemakaian APD
yang tidak lengkap dan APD yang tidak sesuai dengan standar
berdasarkan gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dari
44 responden yang diteliti menunjukkan bahwa mayoritas responden
pernah mengalami DAK yaitu sebanyak 33 responden (75%) dan
47

minoritas responden tidak mengalami DAK yaitu sebanyak 11


responden (25%) (Noviana, 2017). Zat kimia yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak salah satunya adalah pestisida.
Pestisida adalah bahan kimia yang dipergunakan untuk membasmi
hama seperti serangga (insektisida), tikus (rodentisida), jamur
(fungisida), tanaman (herbisida). Pada perkebunan sawit pestisida
yang sering digunakan adalah herbisida, yang sering digunakan ialah
ammonium sulfamat, dalapon, fenoksi-asetat dan derivatnya, derivat
karbamat, dan lain-lain. Racun tanaman tersebut daya racunnya
rendah, yang memiliki daya racun berbahaya yang menyebabkan
kerusakan kepada saraf pusat adalah maleik hidrazi, racun yang
dapat menyebabkan methemoglobinemia dan depresi saraf pusat
adalah jenis natrium klorat, sedangkan yang dapat merangsang
metabolisme tubuh sehingga terjadi hipertermi (suhu meninggi) dan
kerusakan sel pada tempat terjadinya kontak ialah jenis
pentaklorfenol. Selain itu jenis racun tanaman yang berbahaya
tersebut mengakibatkan dermatosis yang sangat berat (Suma’mur,
2014).
4.2.2 Analisis Bivariat

A. Hubungan pengetahuan pemakaian APD dengan perilaku


pemakaian APD pada pekerja pemberi pestisida sawit di
PT.ADEI KM 3
Hasil uji bivariat antara pengetahuan pemakaian APD dengan
perilaku pemakaian APD, terdapat 22 responden berpengetahuan
baik mengenai pemakaian APD, dengan 8 responden tidak lengkap
memakai APD dan 14 responden memakai APD lengkap. Dari 15
responden berpengetahuan buruk tentang memakai APD, didapatkan
11 berperilaku tidak lengkap memakai APD dan 4 memakai APD
lengkap. Hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p = 0,027 (P
value < 0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga
dapat disimpulkan ada hubungan antara pengetahuan penggunaan
48

APD dengan perilaku pemakaian APD pada pekerja pemberi


pestisida sawit di PT.ADEI. Sejalan dengan penelitian Yasari (2008),
dari analisis uji chi square terdapat hubungan antara pengetahuan K3
termasuk penggunaan APD dengan kejadian Dermatitis Akibat Kerja
(p<0,05). Hasil uji analisis data bahwa pengetahuan tentang K3
termasuk penggunaan APD yang rendah memberi peluang 2 kali
untuk terjadinya Dermatitis Akibat Kerja jika dibandingkan dengan
pengetahuan yang tinggi. Penelitian ini berbeda dengan Indrawan, et
al (2014) dengan pengujian statistik didapatkan nilai signifikansi p =
1,000 (p > 0,05), sehingga tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja
bagian premix di PT X Cirebon, dimungkinkan oleh beberapa hal
seperti pengetahuan tersebut hanya sebatas tahu saja, akan tetapi
untuk penerapan atau tindakan sehari-hari ketika bekerja pekerja
tidak menerapkan dengan baik pengetahuan tersebut, bisa juga
disebabkan oleh sikap pekerja yang merasa sudah kebal sehingga
acuh terhadap bahaya yang terjadi karena merasa masih dapat
ditoleransi. Adapun faktor yang dapat merubah perilaku salah
satunya adalah faktor predisposisi yang mana, faktor-faktor ini
mencakup pengetahuan dan sikap individu terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan, nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya.
Faktor pengetahuan menjadi dasar keberhasilan bagi pekerja dalam
menggunakan APD (Fendari, 2014). Menurut Notoatmodjo (2014),
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
B. Hubungan perilaku pemakaian APD dengan dermatitis kontak
pada pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI KM 3
Hasil analisa bivariat dari tabel 10 , terdapat 24 responden
yang tidak memakai APD lengkap, 22 responden diantaranya
dinyatakan pernah mengalami Dermatitis Kontak dan 2 responden
49

tidak pernah mengalami Dermatitis Kontak. Perilaku tidak lengkap


dalam penggunaan APD disebabkan karena ketidaknyamanan
pekerja dalam menggunakan APD. Dari 13 responden yang memakai
APD lengkap, ditemukan 1 responden diantaranya pernah
mengalami Dermatitis Kontak dan 12 responden diantaranya
dinyatakan tidak pernah mengalami Dermatitis Kontak. Hasil uji
statistik Chi-square diperoleh nilai p = 0,000 (P value <0,05) yang
berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan ada
hubungan antara perilaku pemakaian APD dengan dermatitis kontak
pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI KM 3.
Dukungan pengetahuan akan berpengaruh langsung terhadap
perilaku yang nyata dalam mengurangi angka kecelakaan kerja serta
penyakit akibat kerja yang dapat ditimbulkan dari pestisida (Fendari,
2014).Penelitian yang sesuai dengan hasil penelitian penulis adalah
penelitian yang dilakukan oleh Muhammadiah (2016) tentang
Several factors associating with contact dermatitis on oil palm
plantations workers in Belutu village, Kandis subdistrict in 2016
terdapat hubungan yang signifikan dengan (p-value 0,021)
ditemukan bahwa ada hubungan sebab akibat antara Penggunaan
APD dengan Kejadian Dermatitis kontak. Penelitian ini juga sesuai
Menurut Nuliyana dan Maywati (2015) tentang hubungan antara
penggunaan sarung tangan dengan kejadian penyakit kulit pada
petugas pengangkut sampah Tasikmalaya tahun 2015, dimana dari
24 responden (57,1%) tidak pakai APD sarung tangan, 18 responden
(42,9%) diantaranya mengalami penyakit kulit. Begitu pula dengan
penelitian Mustikawati et al ( 2012) yang berjudul hubungan
perilaku penggunaan APD dengan keluhan gangguan kulit di TPA
Kedaug Wetan Tangerang, berdasarkan uji Korelasi Spearman Rank
diperoleh nilai p sebesar 0,000 lebih kecil dari alpha (p<0,05),
sehingga dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara perilaku
penggunaan APD dengan keluhan gangguan kulit pada pemulung di
50

TPA Kedaug Wetan Tanggerang. Turut mendukung penelitian ini,


Hartanto (2004) juga menemukan adanya hubungan bermakna
antara pemakaian APD dengan dermatosis (p = 0,000) pada petugas
pengumpul sampah rumah tangga di Kota Magelang. Pada penelitian
ini herbisida yang digunakan di PT.ADEI herbisida golongan
Ammonium Glufosinat, Glifosat Isopropilamina, Metil Metsulfuron,
dan Cypermetrin. Herbisida yang sering digunakan ialah ammonium
sulfamat, dalapon, fenoksi-asetat dan derivatnya, derivat karbamat,
dan lain-lain. Racun tanaman tersebut daya racunnya rendah, yang
memiliki daya racun berbahaya yang menyebabkan kerusakan
kepada saraf pusat adalah maleik hidrazi, racun yang dapat
menyebabkan methemoglobinemia dan depresi saraf pusat adalah
jenis natrium klorat, sedangkan yang dapat merangsang metabolisme
tubuh sehingga terjadi hipotermi (suhu meninggi) dan kerusakan sel
pada tempat terjadinya kontak ialah jenis pentaklorfenol. Selain itu
jenis racun tanaman yang berbahaya tersebut mengakibatkan
dermatosis yang sangat berat (Suma’mur, 2014).
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti di PT.ADEI
Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dengan jumlah sampel 37
responden ada hubungan antara pengetahuan penggunaan APD dengan
perilaku pemakaian APD serta ada hubungan antara perilaku pemakaian APD
dengan dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI
KM 3, dan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penelitian ini menemukan bahwa pekerja pemberi pestisida sawit (40,9%)
memiliki pengetahuan kurang mengenai pemakaian APD dan terdapat
hubungan yang bermakna antara pengetahuan penggunaan APD dengan
dermatitis kontak pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI KM 3
Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis.
2. Penelitian ini menunjukkan mayoritas perilaku pekerja pemberi pestisida
sawit (51,4%) tidak memakai APD saat bekerja dan terdapat hubungan
yang bermakna antara perilaku penggunaan APD dengan dermatitis kontak
pada pekerja pemberi pestisida sawit di PT.ADEI KM 3 Kecamatan
Pinggir Kabupaten Bengkalis.
3. Penelitian ini menunjukkan gambaran kejadian dermatitis kontak pada
pekerja pemberi pestisida sawit di PT. ADEI KM 3 Kecamatan Pinggir
Kabupaten Bengkalis sebanyak 23 orang (62,2%).
5.2. Saran
1. Bagi institusi pendidikan (Universitas)
a. Diharapkan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
(FKIK) Universitas Abdurrab dapat memberikan penyuluhan mengenai
pentingnya pemakaian APD dan dermatitis kontak yang bisa
ditimbulkan bagi pekerja pemberi pestisida sawit
b. Diharapkan dapat memberi sumber bahan masukan yang dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan informasi dalam penelitian yang relevan
untuk masa yang akan datang

51
52

2. Memberikan informasi kepada PT.ADEI untuk memberikan edukasi


mengenai APD yang tepat (sesuai standar gambar 8) serta akibat yang
dapat muncul karena tidak memakai APD saat bekerja, diantaranya
seperti pemasangan beberapa poster dan banner di kantor dan di tempat
tertentu. Memberikan APD yang nyaman untuk digunakan pekerja
Selain itu diharapkan kepada perusahaan PT.ADEI menjalankan
kebijakan dengan pengawasan berkala mengenai kepatuhan pemakaian
APD serta memberi reward and punishment bagi pekerja pemberi
pestisida. Diharapkan pula bagi perusahaan untuk memberikan
pengobatan bagi pekerja yang sudah mengalami penyakit kulit akibat
kerja khusunya dermatitis kontak dan bagi pekerja yang terus menerus
mengalami dermatitis kontak (tidak sembuh) untuk ditempatkan pada
posisi lain yang tidak berhubungan langsung dengan bahan kimia
(pestisida).
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran
bagi peneliti berikutnya dan menjadi referensi untuk penelitian
selanjutnya atau dapat diteruskan oleh peneliti dengan menambah
jumlah variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini seperti sikap,
tingkat pengetahuan, lingkungan kerja, jumlah sampel penelitian, dsb.
4. Bagi responden diharapkan dapat memakai APD saat bekerja untuk
mengurangi risiko terjadinya penyakit akibat kerja, terutama pada kulit
seperti dermatitis kontak.

5.3 Keterbatasan penelitian


a. Keterbatasan Sampel
Pada penelitian ini hanya mengambil sampel berjumlah 37 responden
b. Ketebatasan diagnosis
Pada penelitian ini hanya mengambil rekam medis dermatitis kontak,
padahal dermatitis kontak memiliki dua klasifikasi yaitu dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergi.
53

c. Keterbatasan Kuesioner
Pada pengisian kuesioner responden harus dijelaskan terlebih dahulu
mengenai pentingnya menjawab kuesioner dengan sejujur-jujur nya,
walaupun demikian kejujuran dari responden tidak dapat dipercaya
sepenuhnya sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.
d. Keterbatasan desain penelitian
Pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang hanya
mampu menyajikan hasil suatu kejadian penyakit saja tanpa tahu benar
seberapa besar pengaruh paparan faktor risiko terhadap penyakit.
e. Keterbatasan variabel
Pada penelitian ini hanya meneliti dua faktor risiko yang digunakan
sebagai variabel independen, padahal masih terdapat faktor risiko lainya
yang kemungkinan bahwa dapat mempengaruhi variabel dependen yang
tidak diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini.

f. Keterbatasan pengambilan data


Pada penelitian ini hanya mengambil hasil akhir dari lembar kuisoner
pengetahuan dan lembar observasi perilaku saja, sedangkan dalam
kuisoner pengetahuan pemakaian APD tidak diambil pertanyaan mana saja
yang tidak diketahui responden dan alat pelndung diri mana yang sering
tidak dipakai oleh responden.
DAFTAR PUSTAKA

Adisesh, A. et al. 2013. U.K Standards of Care for Occupational Contact


Dermatitis and Occupational Contact Urticaria, British Journal of
Dermatology. doi: 10.1111/bjd.12256.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3734701/#__ffn_sectitle.
Afrizal and Ependi, R. 2012. Pengaruh Investasi PT.Adei Plantation dan industri
terhadap pertumbuhan Ekonomi Riau 2008-2011, Jurnal Transnasional, 4.
Aisyah, F., Santi, D. N. and Chahaya, I. 2012 Hubungan Kebersihan Perorangan
dan Pemakaian Alat Pelindung Diri Dengan Keluhan Gangguan Kulit Pada
Pekerja Pengupas Udang.
Bissonette, S. 2008 Illinois Agricultural Pest Management Handbook. Illinois:
Cooperative Extension Service College of Agriculture University of Illinois.
Budiman dan Riyanto 2013 Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap
dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Budiono, A. . S. 2016. Hiperkes & KK. VI. Edited by A. . S. Budiono, R. M. S.
Jusuf, and A. Pusparini. Universitas Diponegoro Semarang.
Buntarto. 2015. Panduan Praktis Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Untuk
Industri. Yogyakarta: PUSTAKABARUPRESS.
Entianopa dan Santoso, E. (2016) ‘FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PAPARAN PESTISIDA PADA PEKERJA CHEMIS (
PENYEMPROTAN )’, 1(June), pp. 88–93. doi:
Djatmiko, R. D. 2016. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Yogyakarta:
Deepublish.
Djojosumaro, P. 2008. Panduan Lengkap Pestisida & Aplikasinya. Agromedia.
Fath, M. 2015. Faktor Risiko Timbulnya Gejala Occupational Dermatosis Pada
Pekerja Rumah Potong (Studi Pada Bagian Proses Produksi Rumah Potong
Unggas PT.X Kabupaten Mojokerto). Skripsi tidak diterbitkan.
Fendari, Y.D. 2014. Hubungan Karakteristik Pekerja Pengangkut Sampah Dan
Dukungan Pimpinan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di
Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Di Kota Langsa Tahun 2014. Skripsi
tidak diterbitkan. Aceh : STIKes Langsa
Habsari, niken D. 2016. Penggunaan Alat Pelindung Diri Bagi Tenaga Kerja.
Edited by A. . S. Budiono, R. M. . Jusuf, and A. Pusparini. Bandung.
Hartanto. (2004). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dermatosis Pada Petugas Pengumpul Sampah Rumah Tangga Di Kota
Magelang. Diponegoro University Institutional Repository.

54
55

Hudyono, J. 2002. Dermatosis Akibat Kerja, Majalah Kedokteran Indonesia.


Indrawan IA, Suwondo A, Lestantyo D. 2014. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja bagian
premix di PT.X Cirebon. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2(2): 110–118
Kementerian kesehatan RI. 2016. Pedoman Penggunaan Pestisida Secara Aman
Dan Sehat di Tempat Kerja Sektor. Jakarta.
Khamdani, F. 2009. Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap dengan
Pemakaian Alat Pelindung Diri Pestisida Semprot pada Petani di Desa
Angkatan Kidul Pati Tahun 2009. Universitas Negeri Semarang.
Kuniadjaja, L. M. 2011. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta
Muhamadiah. 2016. Several Factors Associating With Contact Dermatitis On Oil
Palm Plantations Workers In Belutu Village, Kandis Subdistrict In 2016,
photon, 8.
Mustikawati, I. S., Budiman, F. Dan Rahmawati. (2012). Hubungan Perilaku
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Keluhan Gangguan Kulit
pada Pemulung di TPA Kedaung Wetan Tangerang. Jurnal Ilmiah; Vol.9
No.03.
Noviana, D. 2017. Hubungan pengetahuan dan tindakan pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) dengan Dermatosis Akibat Kerja (DAK) Dinas
Lingkungan Hidup Kota Dumai tahun 2017.Universitas Abdurrab
Notoadmodjo, S. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineke Cipta.
Notoatmodjo, S. 2014. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineke
Cipta.
Nuliyana, M., Maywati, Y.F.S. 2015. Relationship Between The Occurance of
Use of Gloves With Skin Disease In Trash City Official Carrier Tasikmalaya
2015. Unsil Journal.
Occupational Safety and Health Administration. 2004. Personal Protective
Equipment. Amerika Serikat: U.S Department of Labor.
Raini, M. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan
Pestisida, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, XVII.
Sularsito, S. A. and Soebaryo, R. W. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th
edn. Edited by S. L. S. Menaldi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suma’mur. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). edisi ke-
2. Jakarta: Sagung Seto.
56

Taylor, J. S., Sood, A. and Amado, A. 2008. Dermatology In General Medicine.


edisi ke 7. editor S. I. Katz. Amerika Serikat: The McGraw-Hill
Companies,
Trihapsoro, I. 2002. Dermatitis Kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara.
Triwibowo, C dan Puspahandani, M.E. 2013. Kesehatan Lingkungan dan K3.
Yogyakarta : Nuha Medika
Wibowo, A. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku
Penggunaan Alat Pelindung Diri Di Areal Pertambangan Pt. Antam Tbk
unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor.
Wilkinson, R. H. (1990) ‘Using Pesticides Safely: A Guide for the Applicator’,
Michigan State University
Yasari. T., (2008). Perilaku penggunaan alat pelindung diri dan kejadian
dermatitis akibat kerja pada pekerja pengangkut sampah di PT. USB Kota
Jambi. Electronic Theses and Desertation (ETD) Gadjah Mada University

Anda mungkin juga menyukai