Anda di halaman 1dari 11

Proposal

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN TINGKAT KEPATUHAN


PETUGAS DALAM PENGGUNAAN APD DI RUMAH SAKIT PUSRI PALEMBANG
TAHUN 2022

Naila Fadla Hasanah (D11.2020.03121)

PROGRAM STUDI S-1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada era industrialisasi yang terjadi sekarang ini, keselamatan dan kesehatan kerja
merupakan hal penting yang harus diterapkan di berbagai tempat kerja, baik pada sektor formal
maupun sektor informal. Terlebih bagi tempat kerja yang memiliki risiko atau bahaya yang
tinggi, serta dapat menimbulkan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja. Keselamatan
dan kesehatan kerja seharusnya diterapkan pada semua pihak yang terlibat dalam proses kerja,
mulai dari tingkat manager sampai dengan karyawan biasa. Hal tersebut didasarkan pada
Undang-Undang No.1 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki hak
untuk mendapatkan perlindungan bagi keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk
kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi seta produktivitas nasional.
Menurut data International Labour Organization (ILO), setiap tahun terjadi lebih dari
250 juta kasus kecelakaan yang terjadi di tempat kerja, lebih dari 160 juta pekerja menderita
sakit yang disebabkan karena bahaya yang ada di tempat kerja. Selain itu 1,2 juta pekerja
meninggal akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja juga menimbulkan dampak kerugian bagi pekerja dan perusahaan atau tempat kerja,
seperti kerugian uang karena harus mengeluarkan biaya untuk pengobatan medis, kehilangan
hari kerja, produksi menjadi berkurang, kerusakan peralatan, dan pekerja bisa kehilangan
pekerjaanya bahkan nyawanya (ILO, 2013).
Karyawan rumah sakit terdiri dari tenaga medis dan tenaga non medis. Salah satu
tenaga non medis yang ada di rumah sakit adalah petugas laundry, petugas laundry merupakan
salah satu karyawan yang bertugas mencuci linenlinen kotor yang ada di rumah sakit dan
dibawa ke ruang instalasi laundry. Menurut Depkes RI (2004), instalasi laundry merupakan
pelayanan penunjang non medis yang didalamnya memiliki risiko bahaya. Bahaya yang berasal
dari linen-linen dikumpulkan menjadi satu didalam laundry yang berasal dari pasien yang
menderita berbagai penyakit, baik itu pasien yang sudah didiagnosa menderita penyakit
infeksius ataupun pasien yang masih dalam penegakan diagnosa, sehingga perlu adanya
antisipasi pada pekerja laundry yang setiap hari selalu kontak dengan linen yang mengandung
bahaya tersebut dengan penggunaan alat pelindung diri untuk meminimalisir kecelakaan kerja
(Basleti, 2004).
Penelitian dari Bilad, et al (2014) menunjukkan hasil tingkat risiko yang ada di instalasi
laundry sebesar 24% termasuk dalam kategori risiko sangat tinggi yaitu tersengat listrik,
kebakaran, dan terinfeksi bakteri pada pegangan troli, 24% termasuk dalam risiko tinggi yaitu
nyeri akibat pengangkatan ember dengan manual, terinfeksi bakteri pada linen kotor dan
terhirup bahan kimia, 33% termasuk dalam kategori sedang yaitu kaki terinjak troli, terpeleset
dan terjatuh akibat lantai licin dan 19% termasuk dalam kategori rendah yaitu risiko tangan
terjepit pintu, tersandung lantai rusak dan kejatuhan ember saat menimbang linen.
Menurut Penelitian Ulandari, et al (2014) menyatakan bahwa ada hubungan antara
intensitas, masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja instalasi laundry Rumah
Sakit Kota Makassar tahun 2014.Menurut penelitian Ulfah, et al (2013) menemukan sebanyak
24 orang (80%), sikap kerja yang tidak ergonomi mayoritas (60%) pada bagian pencucian, masa
kerja mayoritas kurang dari enam tahun untuk semua bagian, beban kerja mayoritas pada
rentang ringan sampai sedang, lama kerja mayoritas enam sampai dengan sepuluh tahun.
Setiap tempat kerja memiliki risiko yang berbeda-beda tergantung pada karakteristik
tempat kerja masing-masing. Pada umumnya, risiko yang ada ditempat kerja berasal dari sistem
kerja atau proses kerja, penggunaan mesin dalam proses produksi, serta alat dan bahan yang
digunakan. Hal-hal tersebut tergantung pada pekerjaan itu sendiri, perilaku hidup pekerja yang
tidak sehat, perilaku pekerja yang tidak aman, kondisi lingkungan kerja yang kurang baik,
kondisi pekerjaan yang tidak ergonomi bagi pekerja, serta pengorganisasisan pekerjaan dan
budaya kerja yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerja (Kurniawidjaja, 2010).
Rumah Sakit Pusri Palembang didirikan pada tahun 1963, Rumah Sakit Pusri ini
merupakan salah satu rumah sakit milik BUMN Kota Palembang yang berbentuk RSU, rumah
sakit ini memiliki 133 tempat tidur dan merupakan rumah sakit tipe C. Berdasarkan studi
pendahuluan yaitu melalui observasi awal dan wawancara, diketahui bahwa petugas yang
bekerja di bagian laundry Rumah Sakit Pusri Palembang berjumlah lima orang. Pada saat
observasi petugas laundry yang bekerja terlihat hanya sebagian petugas saja yang menggunakan
alat pelindung diri, kondisi lantai ruang cuci terlihat licin, suara mesin cuci yang menimbulkan
kebisingan, serta bau dari desinfektan yang digunakan untuk pencucian sangat menyengat.
Hasil wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa linen kotor yang di cuci dalam
waktu satu bulannya kurang lebih sebanyak 10.000 linen dari ukuran besar seperti sprei, hingga
ukuran yang lebih kecil seperti topi operasi, lap-lap kecil sehingga petugas laundry mengalami
beban kerja yang berlebihan. Disamping itu rumah sakit ini tidak memiliki data tentang
pencatatan laporan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja serta penerapan K3 Rumah
Sakit Pusri Palembang belum terlaksana dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Instalasi laundry rumah sakit merupakan bagian penting dari rumah sakit yang
menjalankan fungsi di dalam pengelolaan linen (infeksius dan non infeksius). Linen adalah
sumber bahaya yang potensial khususnya linen dari ruang perawatan penyakit menular,
disamping itu bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan dalam setiap proses pengelolaan linen
juga menimbulkan risiko bahaya, dari beberapa petugas laundry yang melakukan pekerjaannya
hanya sebagian saja menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) (unsafe action), kondisi lantai
ruang cuci juga licin, serta bau desinfektan yang digunakan untuk pencucian sangat menyengat
merupakan kondisi yang tidak aman (unsafe condition) yang dapat menimbulkan kecelakaan
kerja maupun penyakit akibat kerja. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penilaian risiko
dengan tahapan mengidentifikasi risiko, menganalisis risiko, mengevaluasi risiko sehingga
risiko dapat dihindari atau diminimalisir dengan upaya pengendalian risiko yang tepat.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap dengan tingkat kepatuhan petugas
dalam penggunaan APD di Rumah Sakit Pusri Palembang tahun 2022.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis risiko terhadap bahaya pada petugas laundry di Rumah Sakit dengan
menggunakan tabel analisis risiko semi kuantitatif AS/NZS 4360:2004.
b. Mengetahui tingkat risiko kecelakaan kerja pada petugas laundry di Rumah Sakit Pusri
Palembang.
c. Menganalisis hubungan pengetahuan dan sikap dengan tingkat kepatuhan petugas
dalam penggunaan APD di Rumah Sakit Pusri Palembang tahun 2022.
3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain :
1. Dapat memberikan informasi bagi kepala Rumah Sakit Pusri Palembang tentang
penggunaan APD pada instalasi laundry di Rumah Sakit Pusri Palembang.
2. Dapat digunakan sebagai masukan dan saran kepada kepala Rumah Sakit Pusri
Palembang untuk meningkatkan keamanan pekerja pada instalasi laundry di Rumah
Sakit Pusri Palembang.
3. Sebagai sumber acuan dan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya.
4. Bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman yang berharga dalam meperluas wawasan
dan pengetahuan serta menumbuhkan kepeduliaan mengenai masalah-masalah
keamanan kerja.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga
komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat
merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai
suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat
ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan
akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
1. Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari
beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30– 40% masyarakat pekerja kurang kalori
protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi
kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan
produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja
yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering
mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.
2. Beban Kerja
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 – 24 jam
sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya
pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan
kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor
lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi
pekerja yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja
tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan
stress
3. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja
dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan
Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).
2.2 Penyakit Akibat Kerja
1. Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi berkembang biaknya strain
kuman yang resisten, terutama kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang
bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar
melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi
pekerja hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk
jarum yang terkontaminasi virus. Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan
Kesehatan cukup tinggi. Secara teoritis kemungkinan kontaminasi pekerja LAK sangat besar,
sebagai contoh dokter di RS mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari
pada dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah
yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar kuman patogen, debu beracun
mempunyai peluang terkena infeksi.
2. Faktor Kimia
Petugas di tempat kerja kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan obat-
obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan dalam
komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan
cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan
kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya
disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton).
Bahan toksik ( trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau terserap
melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif
(asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang
terpapar.
3. Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan
lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terwujudnya
kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai efisiensi yang setinggi-
tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara populer kedua
pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja dalam
posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan, hal ini disebabkan
peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor yang disainnya tidak sesuai dengan
ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah
lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan
gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri
pinggang kerja (low back pain).
4. Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja
meliputi:
a. Kebisingan, getaran akibat alat / media elektronik dapat menyebabkan stress dan ketulian
b. Pencahayaan yang kurang di ruang kerja, laboratorium, ruang perawatan dan kantor
administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.
c. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja
d. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.Terkena radiasi
e. Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan, penggunaannya
meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang
menangani.
2.3 Dasar Hukum K3 Rumah Sakit
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2918).
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279).
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063).
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072).
2.4 Tujuan K3 Rumah Sakit
1. Berdasarkan Permenkes nomor 66 tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Rumah Sakit, beberapa tujuan dalam pelaksanaan K3RS dapat dirangkum:
2. Keselamatan dan keamanan di Rumah Sakit bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan.

3. Manajemen risiko K3RS bertujuan untuk meminimalkan risiko keselamatan dan kesehatan di
Rumah Sakit sehingga tidak menimbulkan efek buruk terhadap keselamatan dan kesehatan
SDM Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, dan pengunjung.

4. Pengaturan K3RS bertujuan untuk terselenggaranya keselamatan dan Kesehatan Kerja di


Rumah Sakit secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan.

5. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja
Rumah Sakit bertujuan untuk melindungi sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien,
pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit dari pajanan dan limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
6. Pencegahan dan pengendalian kebakaran bertujuan untuk memastikan SDM Rumah Sakit,
pasien, pendamping pasien, pengunjung, dan aset Rumah Sakit aman dari bahaya api, asap, dan
bahaya lain.

7. Pengelolaan prasarana Rumah Sakit dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja bertujuan
untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dengan memastikan kehandalan sistem utilitas
dan meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi.

8. Pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit
bertujuan untuk melindungi SDM Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung,
maupun lingkungan Rumah Sakit dari potensi bahaya peralatan medis baik saat digunakan
maupun saat tidak digunakan.

9. Kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana bertujuan untuk meminimalkan


dampak terjadinya kejadian akibat kondisi darurat dan bencana yang dapat menimbulkan
kerugian fisik, material, dan jiwa, mengganggu operasional, serta menyebabkan kerusakan
lingkungan, atau mengancam finansial dan citra Rumah Sakit.

10. Unit Pelayanan Kesehatan Kerja Rumah Sakit bertujuan untuk menurunkan kejadian dan
prevalensi penyakit pada SDM Rumah Sakit dari penyakit menular, penyakit tidak menular,
penyakit akibat kerja, dan kecelakaan akibat kerja.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:
43). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tingkat Pengetahuan

Tingkat kepatuhan petugas instalasi


laundry di Rumah Sakit Pusri
Sikap
Palembang dalam penggunaan APD.

Ketersediaan APD

3.2 Hipotesis
H0 : Ada hubungan antara pengetahuan dan sikap petugas laundry dengan tingkat kepatuhan
penggunaan APD pada instalasi laundry di Rumah Sakit Pusri Palembang.
Ha : Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap petugas laundry dengan tingkat
kepatuhan penggunaan APD pada instalasi laundry di Rumah Sakit Pusri Palembang.
3.3 Variabel Penelitian
A. Variabel Terikat
Tingkat kepatuhan petugas instalasi laundry di Rumah Sakit Pusri Palembang dalam
penggunaan APD.
B. Variabel Bebas
1. Tingkat Pengetahuan
2. Sikap
3. Ketersediaan APD
3.4 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Skala


Pengukuran
1 Tingkat Tingkat pengetahuan Kuisioner Ordinal
Pengetahuan petugas mengenai berbentuk
penggunaan APD yang checklist.
dapat diukur melalui
pemahaman petugas
mengenai risiko apabila
tidak menggunakan APD,
penggunaan APD yang
sesuai dengan SOP, dan
jenis APD yang harus di
gunakan pada instalasi
laundry.
2 Sikap Sikap petugas mengenai Kuisioner Nominal
kepatuhan penggunaan berbentuk
APD guna meminimalisir checklist.
risiko kecelakaan kerja yang
dapat diukur dengan apakah
pada saat dalam instalasi
laundry petugas selalu
menggunakan APD.
3 Ketersediaan Ketersediaan fasilitas APD Kuisioner Nominal
APD untuk para petugas di berbentuk
instalasi laundry dapat checklis.
diukur dengan jumlah dan
kelengkapan ketersediaan
fasilitas APD pada instalasi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

AM, A. A., Naiem, M. F., & Wahyuni, A. (2014). Hubungan Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja Laundry Rumah Sakit Kota Makassar. 2- 9.

Anisa, I. B. (2013). Jurnal 1234 Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Instalasi Laundry
RSUD Kota Semarang Tahun 2013.

Retrieved Februari 09, 2019, from Course Hero: https://www.coursehero.com/file/12873241/jurnal-


12425/

Arif, L., Marthin, D. J., & Bonny, F. S. (2014). Manajemen Risiko Pada Perusahaan Jasa Pelaksanaan
Konstruksi Di Propinsi Papua (Study Kasus di Kabupaten Sarmi). Jurnal Ilmiah Media Engineer Vol. 4
No.2 ISSN: 2087-9334, 109-118.

Asmara, Mutiara Ayu. (2012). Analisis Risiko Pada Kegiatan Analitik Kuantitatif Di Laboraturium Kimia
Teknik Metalurgi dan Mineral. Jakarta : Universitas Indonesia.

AS/NZS. (2014). Risk Management (4360). Sidney: Australia/New Zealand Standart.

Basleti, Reni. (2004). Tinjauan Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penggunaan Alat Pelindung
Diri Di Laundry Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita. Jakarta Tahun 2004. Skripsi. FKM-UI.

Batan. (2012). Pedoman Penilaian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Standar Batan
Administrasi, Manajemen dan Organisasi. Jakarta: Batan.

BPS. (2011). Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial- Ekonomi Indonesia.


http://www.bps.go.id.

Depkes Republik Indonesia. (2004). Pedoman Manajemen Linen Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan.

Fatmawaty, M., & Ismi, A. S. (2014). Analisis Potensi Bahaya dan Pengendaliannya Dengan Metode
HIRAC. Al-Shiha : Public Health Science Journal Vol. VI No. 2 ISSN: 2086-2040, 350-362.

Anda mungkin juga menyukai