Anda di halaman 1dari 27

INDUSTRIAL HYGIENE DI RUMAH SAKIT

Oleh: Gurdani Yogisutanti


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat
gurdani@yahoo.com

PENDAHULUAN

Rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan


yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. (Kepmenkes RI No. 983/SK/MENKES/XI/1992). Bangunan
tempat rumah sakit memberikan pelayanan adalah berupa gedung yang dirancang
sedemikian rupa sehinggga memenuhi persyaratan-persyaratan atau standar yang
telah ditentukan. Tanpa persyaratan yang dimaksud, tidak akan mendapatkan izin
untuk mengelola rumah sakit dari departemen kesehatan.
Rumah Sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang potensial
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Seperti halnya sektor industri,
kegiatan rumah sakit berlangsung 24 jam sehari dan melibatkan berbagai aktifitas
orang banyak sehingga potensial dalam menghasilkan sejumlah besar limbah.
Limbah yang dihasilkan tersebut terdiri dari berbagai bentuk dan jenis yang berasal
dari aktivitas medis maupun nonmedis; padatan, cairan maupun gas.
Pelayanan rumah sakit sebagai industri jasa merupakan bentuk upaya
pelayanan kesehatan yang bersifat sosioekonomi, yaitu suatu usaha yang walau
bersifat sosial namun diusahakan agar bisa memperoleh surplus dengan cara
pengelolaan yang profesional. Rumah sakit merupakan institusi yang sifatnya
kompleks dan sifat organisasinya majemuk, maka perlu pola manajemen yang jelas
dan modern untuk setiap unit kerja atau bidang kerja. Sebagai contoh pada bidang
manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja (Darmanto, 1997).

0
Di era globalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu
mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan
serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan
kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor
kesehatan tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan
dengan resiko bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang
paling ringan sampai yang paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Limbah rumah sakit terutama yang berasal dari aktivitas medis berpotensi
besar menurunkan kualitas lingkungan, baik lingkungan rumah sakit maupun
lingkungan sekitarnya. Selain itu, rumah sakit juga merupakan tempat yang sangat
potensial bagi transmisi dari berbagai agen penyakit yang ada di rumah sakit yang
dapat menginfeksi ke pasien, para pegawai rumah sakit, maupun pengunjung rumah
sakit. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, berbagai kebijaksanaan pemerintah
pusat maupun daerah dalam bidang pengelolaan lingkungan yang tertuang dalam
peraturan dan perundang-undangan serta berbagai program lingkungan, selalu
melibatkan rumah sakit sebagai sumber pencemar yang harus dikelola dengan baik
dan benar (Koleksi Perpustakaan Pelangi)
Sanitasi rumah sakit adalah upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan
fisik, kimiawi, dan biologik di rumah sakit yang menimbulkan atau mungkin dapat
mengakibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan petugas, penderita, pengunjung
maupun bagi masyarakat di sekitar rumah sakit.
Bangunan rumah sakit harus direncanakan sesuai dengan persyaratan
ruang bangun yang bertujuan menciptakan pengaturan yang nyaman, bersih dan
sehat sehingga tidak memberikan dampak negatif kepada pasien, pengunjung dan
tenaga kerja rumah sakit.
Risiko bahaya dalam kegiatan rumah sakit dalam aspek kesehatan kerja,
antara lain berasal dari sarana kegiatan di poliklinik, bangsal, laboratorium, kamar
rontgent, dapur, laundry, ruang medical record, lift (eskalator), generator-set,
penyalur petir, alat-alat kedokteran, pesawat uap atau bejana dengan tekanan,

1
instalasi peralatan listrik, instalasi proteksi kebakaran, air limbah, sampah medis,
dan sebagainya (Komite K3, 1994).
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505
tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal
(16%) di mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung
dan pinggang. Dilaporkan juga pada 5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit
didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan kausal antara pemajanan gas
anaestesi dengan gejala neuropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan,
kesemutan, keram pada lengan dan tangan.

PRINSIP DASAR KESEHATAN KERJA

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23


mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib
diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai
resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat
tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh
produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.

RUANG LINGKUP KESEHATAN KERJA

Kesehatan Kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan


pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode
kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk :
1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di
semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun
kesejahteraan sosialnya.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya
dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
membahayakan kesehatan.

2
4. Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.

KAPASITAS KERJA, BEBAN KERJA DAN LINGKUNGAN KERJA

Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen
utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga
komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal.
Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang
baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik.
Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai (modal) awal seseorang untuk
melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi awal seseorang untuk
bekerja dapat depengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja dan lain-lain.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang
terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang
pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.
Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-
lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan
tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan
atau penyakit akibat kerja.
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang
berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan masyarakat
pekerja dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya kesehatan ditempat kerja dan
lingkungan kerja tetapi juga oleh faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku
kerja serta faktor lainnya.

LINGKUNGAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG DITIMBULKAN

3
Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat
disebabkan oleh pemajanan dilingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan
antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan
dan usaha-usaha untuk mencegahnya. Misalnya antara penyakit yang sudah jelas
penularannya dapat melaui darah dan pemakaian jarum suntik yang berulang-ulang,
atau perlindungan yang belum baik pada para pekerja rumah sakit dengan
kemungkinan terpajan melalui kontak langsung.
Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka langkah awal yang penting
adalah pengenalan / identifikasi bahaya yang bisa timbul dan dievaluasi, kemudian
dilakukan pengendalian.
Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkungan
kerja ditempuh tiga langkah utama, yakni:
1. Pengenalan lingkungan kerja.
Pengenalan linkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan
mengenal (walk through inspection?), dan ini merupakan langkah dasar yang
pertama-tama dilakukan dalam upaya kesehatan kerja.
2. Evaluasi lingkungan kerja.
Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya
yang mungkin timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam
mengatasi permasalahan.
3. Pengendalian lingkungan kerja.
Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap
zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya,
pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang
sehat. Jadi hanya dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat
untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.
a. Pengendalian lingkungan (Environmental Control Measures)
1) Disain dan tata letak yang adekuat
2) Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya.
b. Pengendalian perorangan (Personal Control Measures)

4
Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk
melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun alat pelindung
perorangan harus sesuai dan adekuat .
Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang
berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di
lingkungan kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting,
terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan
bahan kimia serta partikel lain.

RISIKO BAHAYA POTENSIAL DI RUMAH SAKIT

Penyakit akibat kerja di sarana kesehatan umumnya berhubungan


dengan berbagai faktor biologis (kuman patogen; pyogenic, colli, baccilli,
stapphylococci, yang umumnya berasal dari pasien). Begitu besar risiko yang
akan dihadapi apabila masalah sanitasi termasuk pengelolaan limbah,
kurang mendapat perhatian yang serius. Tahun 1977 dari seluruh rumah
sakit di AS menunjukkan bahwa penderita yang dirawat 5%-10% menderita
infeksi nosokomial (Hospital Acquired Infection). Di AS insiden infeksi
nosokomial ± 5% dan CFR 1 %, di U.K ± 9,2%, di Malaysia prevalens ±
12,7%, di Taiwan insiden ± 13,8%, di Jakarta ± 41,1%, di Surabaya ± 73,3%
dan di Yogyakarta ± 5,9%. Hari perawatan pasien yang menderita infeksi
nosokomial tersebut bertambah 5-10 hari, demikian pula angka kematian
pasien menjadi lebih tinggi yaitu sebesar 6% dibanding yang tidak terkena
infeksi nosokomial hanya sebesar 3%. Tenaga medis rumah sakit
mempunyai risiko terkena infeksi 2-3 kali lebih besar daripada medis yang
berpraktik pribadi. Kerugian akibat penambahan hari perawatan dan
pengobatan tersebut mencapai lebih dari 2 milyar US $ (Komite K3, 1994)
Dapat dibayangkan bagaimana besarnya kerugian itu seandainya
dihitung untuk rumah sakit di Indonesia, dimana kondisi sanitasi dan K3RS
yang pada umumnya masih lebih buruk. Faktor kimia (bahan kimia dan obat-
obatan antibiotika, cytostatika, narkotika dan lain-lain, pemaparan dengan

5
dosis kecil namun terus-menerus seperti anstiseptik pada kulit, gas anestesi
pada hati. Formaldehyde untuk mensterilkan sarung tangan karet medis atau
paramedis dikenal sebagai zat yag bersifat karsinogenik), faktor ergonomi
(cara duduk, mengangkat pasien yang salah), faktor fisik yaitu pajanan
dengan dosis kecil yang terus menerus (kebisingan dan getaran di ruang
generator, pencahayaan yang kurang di kamar operasi, laboratorium, ruang
perawatan, suhu dan kelembabam tinggi diruang boiler dan laundry, tekanan
barometrik pada decompression chamber, radiasi panas pada kulit, tegangan
tinggi pada sistem reproduksi) serta faktor psikososial (ketegangan di kamar
bedah, penerima pasien gawat darurat dan bangsal penyakit jiwa, shift kerja,
hubungan kerja yang kurang harmonis (Komite K3, 1994)
Bagian pemeliharaan terpajan dengan solvent, asbes, listrik, bising,
dan panas. Karyawan di bagian cleaning service terpajan deterjen,
desinfektan, tertusuk sisa jarum suntik dan lain-lain. Karyawan katering
sering mengalami tertusuk jari, luka bakar, terpeleset, keletihan, stres kerja,
dan lain-lain. Teknisi radiologi potensial terpajan radiasi dari sinar X dan
radioaktif isotop atau zat kimia lainnya. Perawat sering cedera punggung,
terpajan zat kimia beracun, radiasi, dan stres akibat shift kerja. Petugas di
ruang operasi mempunyai risiko masalah reproduksi atau gastroenterologi.
Pajanan limbah gas anaestesi, risiko luka potong–tusuk, dan radiasi.
Rumah sakit merupakan penghasil sampah medis atau klinis
terbesar, yang kemungkinan mengandung mikroorganisme patogen, parasit,
bahan kimia beracun dan radioaktif. Hal ini dapat membahayakan dan
menimbulkan gangguan kesehatan baik bagi petugas, pasien maupun
pengunjung rumah sakit. Di samping itu, jika pengelolaannya tidak baik dapat
menjadi sumber pencemaran terhadap lingkungan yang pada gilirannya akan
menjadi ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang lebih luas.
Pengelolaan sampah dan limbah rumah sakit merupakan bagian dari
upaya penyehatan lingkungan, bertujuan melindungi masyarakat akan
bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari sampah atau limbah
rumah sakit (Keputusan Dirjen P2M dan PLP, 1993).

6
Peraturan Pemerintah RI No 19/1994 menetapkan bahwa limbah
hasil kegiatan RS dan laboratoriumnya termasuk dalam daftar limbah B3 dari
sumber yang spesifik dengan kode limbah D227 (Darmanto, 1997). Sesuai
dengan Permenkes No. 986 Menkes/Per/XI/1992, tanggal 14 November
1992 tentang prasyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit meliputi;
penyehatan bangunan dan ruangan termasuk pengaturan pencahayaan,
penghawaan serta pengendalian kebisingan, penyehatan makanan dan
minuman, penyehatan air termasuk kualitasnya, pengelolaan limbah,
penyehatan tempat pencucian umum termasuk pencucian linen,
pengendalian serangga dan tikus, sterilisasi atau desinfeksi, perlindungan
radiasi serta penyuluhan kesehatan lingkungan (Permenkes RI No.
986/Menkes/Per/XI/1992).

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA DI


RUMAH SAKIT

Dalam pelayanan kesehatan kerja dikenal tahapan pencegahan


Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakan Akibat Kerja (KAK) yakni
pencegahan primer, meliputi pengenalan hazard (potensi bahaya),
pengendalian pajanan yag terdiri dari monitoring lingkungan kerja, monitoring
biologi, identifikasi pekerja yang rentan, pengendalian teknik, administrasi,
pengunaan Alat Pelindung Diri (APD). Pencegahan sekunder meliputi
screening penyakit, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan
bagi pekerja yang berpotensi terpajan hazard tertentu, berdasarkan
peraturan perundangan (statutory medical examination) (Jeyaratnam, 1996).
Dengan kata lain pengendalian PAK dan KAK di RS meliputi:
1. Legislative control seperti peraturanperundangan, persyaratan-
persyaratan tehnis dan lain-lain
2. Administrative control seperti seleksi karyawan, pengaturan jam kerja dan
lain-lain
3. Engineering control seperti substitusi/isolasi/ perbaikan sistem.
4. Medical control

7
8
DASAR HUKUM MANAJEMEN HYPERKES DAN KESELAMATAN KERJA DI
RUMAH SAKIT

Beberapa standar hukum yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan


manajemen hyperkes dan keselamatan kerja di rumah sakit antara lain:
1. Undang-Undang No 14/1969 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Kerja.
2. Undang-Undang No 1/1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. Undang-Undang No 23/1992 tentang Kesehatan.
4. Permenkes RI No 986/92 dan Kep Dirjen PPM dan PLP No HK.00.06.6.598
tentang Kesehatan Lingkungan RS.
5. Permenkes RI No 472/Menkes/Per/V/96 tentang pengamanan bahan berbahaya
bagi kesehatan.
6. Kepmenkes, No. 261/MENKES/SK/II/1998 dan Kep Dirjen PPM dan PLP No HK.
00.06.6.82 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja.
7. Kepmenkes No.1335/MENKES/SK/X/2002 tentang Standar Operasional
Pengambilan dan Pengukuran Sampel Kualitas Udara Ruang RS.

Pengorganisasian K3 di rumah sakit berdasarkan atas;


1. Surat edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.00.06.6.4.01497 tanggal 24
Februari 1995 tentang PK3-RS
2. Optimalisasi fungsi PK3-RS dalam pengelolaan K3 RS
3. Akreditasi RS
4. Audit manajemen K3 RS
5. SK MenKes No 351/MenKes/SK/III/2003 tanggal 17 Maret 2003 tentang Komite
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sektor Kesehatan
6. SKB No. 147 A/Yanmed/Insmed/II/1992 Kep. 44/BW/92 tentang Pelaksanaan
Pembinaan K3 Berbagai Peralatan Berat Nonmedik di Lingkungan RS

9
SISTEM VENTILASI DAN AIR CONDITIONING

Ventilasi di rumah sakit hendaknya mendapat perhatian yang adekuat. Bila


menggunakan sistem pendingin, hendaknya dipelihara dan dioperasikan sedemikian
rupa sehingga menghasilkan suhu, aliran udara dan kelembaban yang nyaman bagi
pasien dan petugas atau karyawan rumah sakit.
Angka kuman kebersihan lantai yang masih bisa diterima adalah 0 – 5
organisme per cm untuk lantai kamar operasi dan 5 – 10 organisme per cm untuk
lantai bangsal.
Untuk menjaga kualitas udara ruangan digunakan aerosol gliserin atau
penyinaran dengan sinar ultraviolet. Angka kuman di udara yang masih bisa diterima
di kamar operasi adalah 5 – 10 organisme per feet3 dan tidak boleh ada
staphilococcus haemolliticus, sedangkan untuk udara ruangan bangsal, angka
kuman yang masih bisa diterima adalah 10 – 20 organisme per feet3.
Jumlah tempat tidur jangan lebih dari bed per bangsal. Basinet bayi
memerlukan luas lantai 24 – 30 feet, sedangkan untuk isolasi diperlukan luas lantai
40 feet per basinet. Suhu dan kelembaban ruangan harus diusahakan sedemikian
rupa sehingga terasa nyaman.
Tabel 1
Suhu dan Kelembaban Ruang di Rumah Sakit
Ruang Suhu (00 C) Kelembaban (% RH)
Kamar operasi 22-25 50-60
Kamar pulih 24-25 50-60
Kamar bersalin 22-25 50-60
Kamar perawatan bayi 26-27 40-50
Kamar observasi bayi 26-27 40-50
Perawatan prematur 26-27 50-60
ICU 26-27 50-50
Ruang rawat 22-27 50-60

Pasokan (supply) udara untuk kamar exhauster diletakkan 8 feet dari


permukaan tanah. Dari atas harus 3 feet dari atap. Untuk ruang operasi pasokan
udara dari atas dan exhauster di dekat lantai 3 inchi dari lantai. Pasokan udara
menggunakan udara dari ruangan bebas jangan dari koridor kecuali untuk WC, toilet
dan gudang. Frekuensi pergantian udara 2 – 12 kali per jam.

10
PENCAHAYAAN

Semua ruangan harus diberi penerangan. Ruangan perawatan harus ada


penerangan umum dan penerangan khusus untuk individu. Sakelar untuk
penerangan umum diletakkan dekat pintu masuk, sedangkan sakelar untuk individu
diletakkan dekat tempat tidur pasien dan mudah dijangkau serta tidak menimbulkan
suara berisik.
Ruang tidur pasien/bangsal hendaknya dapat disediakan penerangan
umum dan penerangan khusus. 1 luminer untuk penerangan malam perlu
disediakan dekat pintu masuk.
Tabel 2
Pencahayaan di Ruangan Rumah Sakit
Ruang Pencahayaan (Lux)
Ruang rawat 100-200
Ruang rawat saat tidur 50
Ruang operasi 300-500
Ruang endoskopi 300-500
Ruang rontgent 75-100
Koridor Minimal 60
Tangga Minimal 100
Kantor Minimal 100
Gudang Minimal 100
Ruang farmasi Minimal 200
Dapur Minimal 200
Ruang cuci Minimal 200
Toilet Minimal 100
Kamar isolasi tetanus 0,1 – 0,5 warna biru

11
KEBISINGAN

Kebisingan di ruang perawatan, isolasi, radiologi dan operasi tidak boleh


melebihi 45 dBA, di ruang poliklinik, bengkel/mekanik maksimum 80 dBA,
laboratorium maksimum 68 dBA, ruang cuci dapur dan ruang penyediaan air panas
(ketel) dan air dingin maksimum 75 dBA.

PEMBUANGAN AIR LIMBAH

Air limbah rumah sakit mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun


dan kemungkinan juga bahan radioaktif. Air limbah rumah sakit ini harus diolah
dahulu sebelum dibuang ke saluran air kota.
Untuk bisa yakin bahwa limbah yang keluar tidak mengandung
mikroorganisme berbahaya dan agar efisien biaya, sebaiknya limbah yang bisa
disterilkan terlebih dahulu disterikan sebelum bercampur dengan air lilmbah lain.
Misalnya: bahan-bahan yang pemeriksaan yang mengandung kuman TB atau
kuman polio disterilkan dengan otoklaf, kemudian baru masuk ke dalam septic tank.
Di dalam septic tank limbah tadi secara alami mengalami pembusukan, air buangan
dengan pengenceran mengalir ke saluran pembuangan kota. Agar lebih cepat
pembusukannya bisa dilakukan di suatu kontainer yang diberi aerator. Air limbah
yang keluar dari tempat pengolahan limbah masih diperiksa lagi BOD, COD, TSS
dan juga indikator bakteri tertentu.
Tabel 3
Baku Mutu Limbah Cair untuk Rumah Sakit (Kep-52/Men-LH/10/1995)
Lampiran A Sama dg hotel Parameter Kadar,
32
Lampiran B P 7x102 Bq/L
35
Parameter Kadar S 2x103 Bq/L
Suhu <=30 oC 43
Ca 3x102 Bq/L
51
pH 6-9 Cr 7x104 Bq/L
67
BOD5 30 mg/L Ga 1x103 Bq/L
85
COD 80 mg/L Sr 4x103 Bq/L
99
TSS 30 mg/L Mo 7x103 Bq/L
113
NH3 Bebas 0,1 mg/L Sn 3x103 Bq/L
125
PO4 2 mg/L I 1x104 Bq/L
131
MPN/Koli/100mL I 7x104 Bq/L
201 192
TI 1x105 Bq/L Ir 1x104 Bq/L

12
Pada tahun 1999 WHO melaporkan bahwa di Perancis pernah terjadi 8
kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus diantaranya menimpa
petugas yang menangani limbah medis. Di Indonesia dalam satu laporan diketahui
bahwa setiap bulan pemakaian alat suntik untuk pengobatan mencapai 10 juta
pelayanan. Padahal selain untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan dalam
program imunisasi bagi bayi dan anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4,9
juta anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan. Dengan demikian jumlah limbah
medis tajam di Indonesia menjadi sangat tinggi.
Oleh karena itu, penanganan limbah medis tajam harus segera dibenahi,
karena limbah ini sangat berbahaya bukan hanya bagi pengunjung rumah sakit atau
pelayanan kesehatan lainnya, namun juga bagi petugas kesehatan serta masyarakat
umum. Hal itu penting karena limbah alat suntik dan limbah medis lainnya dapat
menjadi faktor risiko penularan berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, Hepatitis B dan
C serta penyaki. Menkes Dr. Achmad Sujudi menegaskan tentang hal tersebut ketika
membuka Lokakarya Penanganan Limbah Medis Tajam pada Pelayanan Kesehatan
Dasar (PKD) di Yogyakarta tanggal 1 Juli 2003.
Kendati Departemen Kesehatan telah menyusun Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan dasar yang salah
satunya adalah kewajiban rumah sakit dan puskesmas untuk mengolah limbahnya.
Namun Menkes mengakui bahwa penerapannya masih belum baik. Berdasarkan
hasil assesment tahun 2002, diketahui bahwa baru 49 % dari 1.176 rumah sakit
(526 rumah sakit pemerintah dan 652 rumah sakit milik swasta) di 30 provinsi, baru
648 RS yang memiliki incinerator dan 36% memiliki IPAL (Instalasi Pengolah Air
Limbah) dengan kondisi sebagian diantaranya tidak berfungsi.
Lebih lanjut ditegaskan, Depkes yang secara teknis memiliki
kewenangan dalam penatapan standar-standar pelayanan kesehatan telah
mengeluarkan berbagai ketentuan tentang penanganan limbah, terutama melalui
Kepmenkes No. 876/2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan
Lingkungan serta Permenkes No. 986/1992 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan.
Menkes menegaskan, di masa lalu penggunaan alat suntik baik untuk
pengobatan maupun imunisasi masih mengandalkan semprit atau syrenge yang

13
disterilkan melalui perebusan berulang-ulang sehingga hampir tidak ditemui limbah
alat suntik. Tetapi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para
dokter dan petugas kesehatan harus menggunakan alat suntik disposable (sekali
pakai) dan bahkan memakai autodisable syringe (alat suntik sekali pakai yang betul-
betul tidak dapat dipakai kembali), mengakibatkan adanya limbah alat suntik yang
dikategorikan limbah medis tajam dan berbahaya.

PEMBUANGAN SAMPAH PADAT

Rumah sakit menghasilkan sampah medis dan nonmedis. Untuk usaha


pengelolaannya terlebih dahulu ditentukan jumlah sampah yang dihasilkan setiap
harinya. Setelah diketahui, maka ditentukan kapasitas penampungan dan insinerator
yang diperlukan.
Sampah untuk sementara (beberapa jam) ditampung di tempat sampah.
Tempat sampah ini harus tidak mudah berkarat, kedap air, tertutup, mudah diangkut,
mudah dikosongkan, dan mudah dibersihkan.
Sampah diangkut dari tempat sampah sementara ke penampunagn atau ke
tempat pemusnahan sampah. Hal yang perlu diingat dalam pengangkutan sampah
adalah adanya kemungkinan tercecer. Harus diusahakan agar bahan-bahan yang
berbahaya tidak mencemari jalan yang ditempuh pembuangan.

SERANGGA DAN TIKUS

Serangga dan tikus merupakan masalah rutin di rumah sakit. Mereka dapat
membawa penyakit. Pihak rumah sakit harus mengusahakan agar di sekitar rumah
sakit tidak ada tempat perindukan untuk segala macam serangga, baik untuk
nyamuk, lalat maupun kecoa.
Untuk mengatasi lalat dari luar, pada pintu dapur bisa digunakan tabir angin
atau wind screen, bisa juga dengan mempergunakan pintu kawat kasa. Untuk
mengurangi datangnya kecoa, hindari adanya ceceran makanan, kalaupun masih
ada kecoa bisa disemprot dengan insektisida malathion, fenitrothion, lorsban,

14
dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0,5 - 1 %. Untuk membasmi nyamuk
dengan fogging malathion, fenithrotion, lorsban dengan konsentrasi 2,0 - 2,5%.
Penggunaan pestisida di rumah sakit harus dilakukan dengan hati-hati.
Pestisida hanya digunakan bila keadaan memaksa, yaitu misalnya untuk bangunan
tua dimana menghilangkan tempat tikus bersarang sangat sulit dilakukan atau
dimana populasi tikus sudah terbentuk.

RADIASI

Alat pengukur radiasi yang lazim digunakan adalah alat pencacah Geiger.
Alat ini harus digunakan dengan kalibrasi yang seksama dan harus dicek secara
berkala. Alat ini penting untuk menentukan tempat sumber radiasi yang tidak
diketahui.
Film bagde adalah alata untuk mengukur dosis atau laju dosis, memberikan
respon terhadap radiasi sebanding dengan jumlah pasangan ion yang dihasilkan
slama perjalanannya melalui elemen pendeteksian. Dosis akumulasi terhadap
petugas sebagai hasil dari semua prosedur yang dilakukan tidak boleh melebihi nilai
ambang batas yang diizinkan oleh instansi yang berwenang. Nilai batas yang
diizinkan pada pekerja radiasi adalah 5 R tiap tahun. Di beberapa negara, orang
berumur di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan menjadi pekerja radiasi dan wanita
hamil tidak diperkenankan menerima labih dari 1,0 Rem selama masa hamilnya.

PENYIAPAN MAKANAN

Refigerator tempat menyimpan makanan harus berukuran memadai


sehingga mudah dijangkau. Kegiatan penyiapan makanan melibatkan penjamah
makanan, bahan makanan dan peralatan makan yang digunakan.
Banyak infeksi dapat ditularkan melalui penjamah makanan, antara lain
melalui hidung, mulut, mata, tenggorokan, telinga dari kuman staphylococcus
aureus. Kulit merupakan halte bagi banyak kuman, dan saluran pencernaan
merupakan terminal bagi kuman, seperti: clostridium perfringens, fecal
streptococcus, salmonella dan kadang-kadang staphilococcus. Bila penjamah

15
makanan sakit, maka bila memungkinkan untuk sementara dikompensasikan untuk
mengerjakan kegiatan nonmakanan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menjaga kebersihan pribadi
berkaitan dengan profesi penjamah makanan:
a. Mencuci tangan, sebelum bekerja, sesudah menangani bahan makanan
mentah/kotor atau terkontaminasi, setelah ke kamar kecil, setelah tangan
digunakan untuk menggaruk, batuk/bersin dan setelah makan atau merokok.
b. Memakai pakaian khusus untuk bekerja. Pakaian bekerja harus bersih.
c. Kuku hendaknya dirawat dan dibersihkan serta dianjurkan untuk tidak
menggunakan perhiasan.
d. Semua penjamah makanan hendaknya menggunakan topi atau penutup rambut
untuk mencegah jatuhnya rambut ke dalam makanan dan mencegah kebiasaan
mengusap atau menggaruk rambut.
e. Penjamah makanan tidak diperbolehkan merokok pada waktu mengolah maupun
mencuci peralatan.
f. Kebiasaan lain yang tidak dianjurkan adalah: batuk-batuk di tangan, garuk-garuk
kepala dan memencet jerawat yang merupakan tindakan tidak higienis.

PENGELOLAAN LINEN

Linen kotor merupakan sumber kontaminasi penting di rumah sakit.


Penanganan linen rutin waktu membersihkan tempat tidur, pengangkutan linen
sepanjang koridor dan ruang-ruang di rumah sakit dapat menebarkan mikroba ke
seluruh bagian rumah sakit.
Standar kuman bagi linen bersih memang belum ditetapkan, namun
disarankan bahwa linen bersih setelah keluar dari semua proses tidak mengandung
6x103 spora species bacillus per inchi persegi (Wetzler and Quan, 1971).

16
BAHAYA YANG DITIMBULKAN AKIBAT PEMANFAATAN SARANA DAN
PRASARANA RUMAH SAKIT

Lingkungan kerja dapat menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan. Untuk


itu, kecelakaan di lingkungan kerja harus ditekan sekecil mungkin. Kecelakaan yang
terjadi di lingkungan kerja dapat mengakibatkan cacat permanen, dan yang lebih
tragis mengakibatkan kematian.
Pengertian kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak diketahui dan
tidak diduga, mengganggu aktivitas yang telah ditentukan, dan dapat mengakibatkan
kerugian, baik korban manusia maupun materi. Pada dasarnya, tidak seorang pun
yang menginginkan kecelakaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa keselamatan
kerja bersifat universal dan merupakan naluri setiap orang. Semua kecelakaan kerja,
baik langsung maupun tidak langsung, dianggap berasal dari kegagalan manusia.
Mengingat manusia bukan mesin maka tindakan manusia tidak sepenuhnya dapat
diramalkan, sehingga dalam melakukan kegiatan kadang–kadang terjadi kesalahan.
Kesalahan dimaksudkan dapat terjadi pada saat perencanaan, pengadaan maupun
pemasangan peralatan, pemeliharaan, serta pemberian instruksi pemakaian. Begitu
pula dengan kegiatan di rumah sakit. Kecelakaan yang ditimbulkan akan berakibat
fatal apabila tidak mengetahui dan menjalankan prosedur pemakaian secara baik
dan benar, baik pada jiwa operator maupun pasien. Berbagai bahaya yang dapat
ditimbulkan dari peralatan kesehatan di rumah sakit antara lain bahaya fisika, zat
kimia, ergonomi, kebakaran, dan pengelolaan boiler atau ketel uap.

BAHAYA AKIBAT FAKTOR FISIKA

Faktor fisika di rumah sakit terdiri dari berbagai kegiatan, antara lain
kebisingan, panas, getaran, cahaya, radiasi, dan listrik.
a. Kebisingan
Bising secara umum diartikan sebagai suara yang tidak diinginkan karena
mengganggu kenyamanan. Beberapa sumber kebisingan di rumah sakit antara

17
lain ruang generator, ruang AHU (Air Handling Unit), jet pump, mesin cuci
pakaian, bengkel, mesin potong rumput, dan lain-lain.
Dampak kebisingan bersifat :
1) Auditorial atau occupational hearing loss, yaitu trauma akustik dan noice
induce hearing loss. Ini disebabkan tingkat kebisingan yang diterima
melampaui batas kemampuan fisiologis struktur alat pendengaran (140 db).
2) Nonauditorial, dampak yang diterima antara lain mengganggu komunikasi,
gangguan tidur, serta gangguan perilaku yang ditandai dengan sakit kepala,
mual, dan berdebar.
b. Pencahayaan
Cahaya merupakan sumber yang memancarkan energi. Sebagian dari energi
diubah menjadi cahaya tampak. Penyebaran cahaya dari sumber cahaya
tergantung pada konstruksi kulit pelindung yang digunakan.
Dampak dari pajanan yang berlebih antara lain mengeluh kelelahan mata
(iritasi/conjunctivitis), penglihatan rangkap, sakit kepala, ketajaman penglihatan
terganggu, serta akomodasi dan konvergensi menurun.
c. Panas
Secara umum, panas dirasakan apabila suhu melebihi suhu nyaman. Suhu
panas dibagi menjadi dua, yaitu panas kering (misalnya mesin logam panas,
gardu listrik) dan panas lembab (misalnya kamar cuci pakaian, dapur, kamar
boiler).
Efek panas terhadap kesehatan yang ringan adalah:
1) Heat syncope, yaitu pingsan karena panas.
2) Heat disorder, adalah kumpulan gejala yang berhubungan dengan kenaikan
suhu tubuh dan mengakibatkan kekurangan cairan pada tubuh, sehingga
akan terjadi: heat stress (tidak nyaman karena panas), tekanan darah turun,
dehidrasi, pusing, dan mual; heat cramps, yaitu spasma otot yang
disebabkan cairan dan elektrolit dalam tubuh yang rendah masuk ke dalam
otot akibat banyaknya cairan tubuh yang keluar melalui keringat; heat stroke,
yaitu akibat adanya kegagalan dalam tubuh mengatur pengeluaran keringat.

18
d. Getaran
Getaran atau vibrasi adalah faktor fisik yang ditimbulkan oleh subjek dengan
getaran osilasi, misalnya mesin, peralatan atau perkakas kerja yang bergetar
dan memajani pekerja melalui transmisi. Adapun besar getaran yang memajan
tubuh ditentukan oleh:
1) Sifat getaran, yaitu frekuensi, intensitas/amplitudo, dan durasi dari vibrasi.
2) Mekanika input independent, yaitu tahanan yang diberikan oleh struktur
tubuh terhadap getaran.
3) Penyakit yang ditimbulkan akibat getaran dari ringan sampai berat yaitu:
a) Sistem peredaran darah, misalnya kesemutan pada jaringan tangan
dan kadang-kadang ujung jari memucat yang disertai rasa nyeri.
b) Sistem tulang, sendi, dan otot. Gangguan ostevartikular terutama pada
tulang-tulang karpal (tulang lunair dan navicula), sendi siku.
c) Sistem syaraf, yaitu kelainan syaraf sensoris yang menimbulkan
paraestesia/kesemutan, menurunnya sensitivitas, gangguan
membedakan (deterionity), selanjutnya atrofi.

e. Bahaya listrik
Pemanfaatan aliran listrik di rumah sakit sebagai penerangan, pemanfaatan
peralatan medik dan nonmedik, yang juga secara langsung dimanfaatkan oleh
petugas rumah sakit maupun pasien, dapat menimbulkan bahaya apabila alur
penggunaannya tidak tepat dan terkontrol.
Ada 2 jenis bahaya listrik bagi manusia:
1) Bahaya makroshcok, yaitu adanya arus listrik yang dalam jumlah relatif besar
mengalir melalui jaringan tubuh manusia. Akibatnya akan terjadi terkejut,
rasa lelah, gangguan pernapasan, atau febrilasi ventrikular pada jantung
dan luka bakar.
2) Bahaya mikroshock, yaitu bahaya yang diakibatkan mengalirnya sejumlah
kecil arus listrik yang melalui jantung secara internal, yang akan
menimbulkan febrilasi ventrikular pada jantung. Karena arus yang mengalir
kecil maka hampir tidak terasakan oleh tubuh kita.

19
Pengendalian terhadap bahaya arus listrik yang disebabkan oleh peralatan
kesehatan antara lain: pemasangan grounding (pembumian) sesuai dengan
ketentuan; pengukuran jaringan/instalasi listrik; pengukuran arus bocor;
pemasangan alat pengaman; dan pemasangan tanda bahaya/indikator.
f. Bahaya Radiasi
Radiasi adalah suatu energi yang memiliki kemampuan untuk menembus suatu
objek, termasuk tubuh manusia. Menurut sifatnya, radiasi mempunyai manfaat
dan tidak mempunyai manfaat. Tingkat kemanfaatan bagi kesehatan dapat
digunakan sebagai diagnosis maupun terapi, tergantung pada jenis, laju dosis,
dan lama waktu penyinaran.
Ada 2 jenis radiasi, yaitu radiasi pengion dan radiasi nonpengion. Disebut radiasi
pengion jika radiasi tersebut mempunyai kemampuan untuk melepas elektron
dari orbitnya pada suatu atom dan membentuk suatu ion. Yang termasuk radiasi
pengion antara lain sinar X , sinar gamma , dan sinar kosmis. Radiasi
nonpengion adalah radiasi yang tanpa ada pelepasan elektron, jadi tergantung
panjang gelombang. Contoh radiasi nonpengion adalah sinar ultra violet, sinar
yang bisa dilihat (sinar laser), dan sinar dengan gelombang pendek (microwave).
Secara umum, akibat radiasi pada manusia berdasarkan dampaknya dibagi atas:
1) Efek somatik, yaitu efek yang pasti terjadi akibat penyinaran radiasi pengion.
Efek terjadi dalam suatu periode waktu, tergantung pada dosis radiasi yang
diterima.
2) Efek somatik – stokastik. Efek ini sangat sulit dideteksi apakah diakibatkan
oleh radiasi atau yang lain, karena dampak yang terkena beberapa saat.
Contohnya adalah terjadinya leukemia.
3) Efek genetik, yaitu yang disebabkan oleh radiasi pada seseorang dan
mengganggu sistem regenerasi.
Pengendalian terhadap bahaya radiasi untuk petugas dan penderita:
1) Pengendalian radiasi pada petugas dilakukan dengan melengkapi pakaian
kerja atau perlindungan dari radiasi dengan kacamata timah untuk
melindungi mata dari penyakit katarak. Baju apron digunakan untuk
melindungi organ reproduksi dan pelindung leher dari apron untuk
menghindari tiroid.

20
2) Perlindungan radiasi pada penderita dilakukan dengan pembatasan lebar
berkas dan sudut hamburan serta pemilihan tegangan tabung.

BAHAYA ZAT KIMIA

Berbagai bahan kimia di rumah sakit yang dapat menimbulkan bahaya, baik
bagi petugas maupun pasien, yang disebabkan karena faktor kurang hati-hati
petugas dalam penyimpanan, tumpahan, serta adanya kebocoran-kebocoran.
Beberapa zat kimia yang digunakan di rumah sakit yang dapat menyebabkan
bahaya antara lain :
a. Gas anestesi (halotan)
Adalah zat anestetika yang diberikan melalui inhalsi. Zat ini tidak mudah terbakar
dan tidak mudah meledak. Beberapa efek yang terjadi akibat penggunaan
halotan yang berlebih:
1) Efek kesehatan, dapat menimbulkan mual, muntah, dan menggigil yang
akhirnya dapat terjadi aritmia jantung serta depresi pernapasan.
2) Alergi, yaitu timbulnya jerawat pada perawat di bagian anestetik.
3) Efek pada ginjal, karena adanya kristal oksalat dalam urine.
4) Efek pada hati (merupakan efek samping dari penggunaan halotan).
Pengendalian tidak dianjurkan penggunaan halotan pada pembedahan, karena
meningkatkan risiko perdarahan postpartum. Dengan demikian, efek ergometri
pada uterus berkurang.
b. Nitrogen oksida
Merupakan gas yang lebih berat dari udara, tak berawan atau hampir tak
berwarna dan tak berasa. Biasanya digunakan sebagai penyokong anestetika
lain. Nitrogen oksida 50% dengan oksigen digunakan secara luas untuk
analgesia, terutama pada pembedahan.
Efek penggunaan nitrogen oksida antara lain:
1) Adanya perubahan hematologi akibat pajanan jangka panjang, seperti
anemia megaloblastik dan leukemia.
2) Neurologi parah, apabila terpajan nitrogen oksida berat dalam jangka
panjang.

21
c. Cairan anestesia (Ethyl ether)
Digunakan sebagai suatu anestetik inhalasi. Ethyl ether bersifat sangat mudah
terbakar dan membentuk peroksida yang dapat meledak dengan adanya udara
atau sinar matahari. Efek kesehatan akibat pemaparan:
1) Pemaparan yang berulang yang melampaui 400 ppm dapat menyebabkan
iritasi hidung, nafsu makan hilang, dan pusing yang diikuti rasa ngantuk.
2) Kerusakan pada ginjal, apabila menerima pemaparan yang terus-menerus
dan dalam jangka panjang.
Sebagai pengendalian, perlu memakai masker untuk menghindari kecelakaan
akibat penggunaan ethyl ether, pembagian tugas, dan perlunya penyuluhan
secara teratur.

BAHAYA ERGONOMI

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya


dengan pekerjaan mereka. Tujuan ergonomi adalah menyesuaikan pekerjaan
dengan kondisi tubuh manusia, misalnya menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan
dimensi tubuh manusia agar tercipta kondisi yang nyaman.
Beberapa gejala akibat masalah ergonomi , antara lain :
a. Tangga yang terlalu curam, akibatnya adalah terpeleset (licin), terjatuh.
b. Keluhan mata lelah akibat penerangan yang kurang/silau.
c. Penyakit sehubungan dengan alat gerak.
Contoh bahaya potensial faktor ergonomi di rumah sakit:
1) Mengangkut/menggotong pasien. Bahaya potensial yang ditimbulkan: cedera
punggung dan leher, Hernia Nucleus Pulposus (HNP), serta gangguan otot
rangka seperti pengapuran dan peradangan.
2) Memberi makan pasien. Bahaya potensial yang ditimbulkan antara lain back
pain dan kelelahan.
3) Mengangkat barang. Bahaya potensial yang ditimbulkan: cedera punggung,
back pain.
4) Pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk. Bahaya potensial yang
ditimbulkan yaitu: membengkaknya otot-otot perut dan punggung melengkung.

22
KEBAKARAN

Kebakaran terjadi apabila terdapat tiga unsur bersama-sama, yaitu zat asam,
bahan yang mudah terbakar dan panas. Bahan yang mudah terbakar di rumah sakit
misalnya:
a. Ethyl ether, dipergunakan sebagai zat anestetik inhalasi.
b. Ethylene oxida, dipergunakan sebagai fumigant dan zat untuk sterilisasi
peralatan medis dan gigi.
c. Etil alkohol, dipergunakan sebagai zat untuk sterilisasi peralatan medis.
Bahaya yang ditimbulkan akibat kebakaran adalah luka bakar derajat ringan
sampai berat, bahkan kematian.

PENGELOLAAN BOILER ATAU KETEL UAP

Pesawat uap adalah suatu sistem bertekanan tinggi sebagai hasil


pemanasan yang mengubah air menjadi uap untuk digunakan sebagai sumber
energi untuk berbagai keperluan lain, misalnya sterilisasi. Risiko bahaya dalam
pengelolaan boiler (ketel uap) dapat dijumpai sejak tahap desain/konstruksi,
pemasangan, operasi dan pelayanannya, pemeliharaan dan perawatan termasuk
pembersihan, serta pada tahap pemeriksaan ketel uap itu sendiri.
Beberapa bahaya yang ditimbulkan dalam pengelolaan ketel uap antara lain:
a. Pada tahap desain dan konstruksi. Bahaya yang ditimbulkan adalah adanya
kemungkinan cacat akibat penggunaan bahan, proses pengelasan, pemasangan
sambungan, kesalahan konstruksi pengaturan tekanan, dan suhu.
b. Tahap operasional, potensi bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan
berbagai bahan seperti sulfur, timah hitam, karbonmonoksida, serta terbentuknya
debu atau abu akan mengakibatkan penyakit paru-paru.
c. Penepisan pada dinding ketel–ketel dan pipa uap lainnya yang terjadi akibat
korosi atau erosi selama penggunaaan ketel, akan berakibat bahaya peledakan.
d. Tahap pembersihan ketel. Karena penggunaan bahan kimia sebagai salah satu
metode pembersihan ketel maka kemungkinan terjadinya alergi, keracunan, luka
bakar, dan sebagainya.

23
PENUTUP

Demikian telah diuraikan beberapa bahaya akibat pemanfaatan sarana dan


prasarana di rumah sakit. Masih terdapat bahaya-bahaya lain yang perlu
diperhatikan, yaitu bahaya akibat pemeliharaan atau perbaikan peralatan medis.
Untuk mencegah agar bahaya tersebut tidak berakibat fatal terhadap pekerja maka
selayaknya pekerja yang bekerja di sumber-sumber bahaya dilengkapi dengan
peralatan- peralatan untuk mencegahnya dan diberikan pendidikan/latihan-latihan
sehubungan dengan pekerjaannya. Selain itu, perlu disediakan petunjuk
operasional.

Dalam pelaksanaan K3 Rumah Sakit perlu memperhatikan 2 (dua) hal


penting yakni indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung
beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta
kode pelaksanaannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas
udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat), hygiene
dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai penggunaan
komputer.

Limbah menjadi berbahaya bagi kesehatan lingkungan karena oleh teknik


pelayanan kesehatan yang kurang memadai, kesalahan penanganan bahan-bahan
terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi
yang masib buruk. Pembuangan limbah yang paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam berbagai kategori dan cara pembuangan yang
berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin
menghindari risiko kontaminsai dan trauma (injury).

Meningkatkan kesehatan maupun keselamatan karyawan/pekerja dalam


melakukan pekerjaan di tempat kerjanya. Harapannya rekomendasi ini dapat
dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan K3 khususnya di rumah sakit.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bennet. NB.Silalahi, Rumondang B Silalahi, 1985. Manajemen Keselamatan &


Kesehatan Kerja, PT Pustaka Binawan Pressindo, Jakarta.
Darmanto Djojodibroto R., 1997. Kiat Mengelola Rumah Sakit, Cetakan I Hipokrates,
Jakarta.
Departement of Manpower, National Centre for Industrial Hygiene and Occupational
Health. 1990. Indonesian Journal of Industrial Hygiene, Occupational Health
and Safety, Jakarta.
Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1996. Pedoman Teknis Upaya Kesehatan
Kerja di Rumah Sakit, DepKes RI, Jakarta
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dan PPM & PLP,1995. Pedoman Sanitasi
Rumah Sakit di Indonesia, DepKes RI, Jakarta.
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkjplh-gdl-res-1996-
pelangi-518-hospital&q=Rumah diakses pada tanggal 4 Februari 2008.
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=articles&task=viewarticle&artid=115&Itemid=3 diakses pada tanggal 8
Februari 2008.
http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html?news_id=426 diakses pada tanggal 6
Februari 2008.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/112002/pus-1.htm diakses pada tanggal 6
Februari 2008.
K.Chandra Meliala, 2000. Norma Keselamatan Kerja, Pelatihan dan Pengujian Alat
Kesehatan, Pusdiklat DepKes RI, Jakarta.
Kepala Pusat Kesehatan Kerja, Kesehatan Kerja Disarana Kesehatan, 14 Juli 2003.
Pentaloka Fasilitator K3 Di Pusdiklat, Jakarta.
Komite K3, 22 Januari 1994. Seminar K3 di RS, Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan RI dan Keputusan DirJen PPM & PLP tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit , 1995, DepKes RI, Jakarta.
Permen Kes RI No. 986/menkes/per/XI/1992 Tanggal 14 November 1992, Tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. 1992.

25
26

Anda mungkin juga menyukai