Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

DEFENSE MECHANISM

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Fifi Candita
Ghifari Ihsan R
Hayatun Nufus
Nelvia Novita Sari
Rizki Ramadhan
Sonia Mutiara Fadilah
Yohana Novelia
Yuni Sartika

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya serta memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul
“Defense Mechanism”. Shalawat beriringkan salam kepada Nabi Muhammad SAW, serta
keluarga dan sahabatnya yang telah membawa umat manusia ke alam yang penuh ilmu
pengetahuan.
Terimakasih kami ucapkan kepada fasilitator yang telah membimbing dan telah
mengarahkan tujuan diskusi sehingga kami dapat mencapai tujuan pembelajaran dan
menyelesaikan makalah hasil diskusi ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
hasil diskuis ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan
masukan dari tutor ataupun dari rekan mahasiswa untuk kesempurnaan pembuatan makalah
hasil diskusi ini.

Pekanbaru, 31 Desember 2019


Penulis,

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 4
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................... 7
2.1 Defense Mechanism ............................................................................................... 7
2.1.1 Definisi Defense Mechanism ..................................................................... 7
2.1.2 Klasifikasi Defense Mechanism ................................................................. 7
2.1.3 Mekanisme Defense Mechanism ............................................................... 10
2.1.4 Menentukan Defense Mechanism .............................................................. 11
2.1.5 Cara Mengembangkan Defense Mechanisme Mature ............................... 12
2.2 Pembentukan Sikap ................................................................................................ 13
2.3 Mood dan Afek ...................................................................................................... 13
2.4 Self Esteem ............................................................................................................ 15
2.4.1 Definisi Self Esteem ................................................................................... 15
2.4.2 Faktor Pembentuk Self Esteem .................................................................. 15
2.5 Gangguan Afektif ................................................................................................... 15
2.5.1 Definisi ....................................................................................................... 15
2.5.2 Faktor Risiko .............................................................................................. 16
2.5.3 Faktor Pencetus .......................................................................................... 16
2.5.4 Mekanisme ................................................................................................. 21
2.5.5 Kriteria Diagnosis ...................................................................................... 21
2.5.6 Diagnosis Banding ..................................................................................... 28
2.5.7 Penatalaksanaan ......................................................................................... 30
BAB 2 PENUTUP ............................................................................................................ 35
3.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 35
3.2. Saran ..................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 36

3
BAB 1
PENDAHULUAN
Trigger 1
SKENARIO SUB MODUL I
Anin yang Pemurung
Mawar, remaja putri usia 18 tahun dibawa ibunya ke dokter karena mengurung diri sejak 1
bulan serta tidak mau makan-minum. Keluhan lain adalah pasien tidak mau diajak berbicara.
Hal ini terjadi setelah pasien gagal masuk di PTN yang di inginkan 2 bulan yang lalu. Pasien
juga merasa mudah lelah sepanjang hari. Satu tahun yang lalu, orangtua mawar pernah
dipanggil pihak sekolah karena Mawar mengugnggah video di youtube dengan dandanan
berlebihan dan tidak sesuai umur serta berkata-kata yang kurang pantas. Pemeriksaan tanda
vital dalam batas normal. Pemeriksaan psikiatri ditemukan afek depresif dan mood sedih, isi
fikir dan arus fikir dalam batas normal. Dokter menjelaskan pencetus kondisi pasien yaitu
kegagalan defense mechanism dan low self esteem. Dokter melakukan tatalaksana awal dan
merujuk ke dokter spesialis jiwa.

Step 1: Terminologi
1. Afek : Respon emosional terhadap suatu kejadian yang bersifat
sesaat
2. Depresif : Keadaan mental dan mood yang ditandai dengan perasaan
sedih keputusasaan dan kecil hati
3. Defense mechanism : Strategi yang dilakukan seseorang untuk mengatasi emosi
negative
4. Mood : Perasaan/ suasana hati yang berlangsung lama dikarenakan
suatu masalah/suatu pencetus lainnya berasal dari persepsi
5. Isi fikir : Merujuk kepada apa yang difikirkan orang
6. Arus fikir : Arah berfikir
Keyword
 Remaja 18 tahun
 Mengurung diri sejak 1 bulan dan tidak mau makan-minum
 Gagal masuk PTN
 Tidak mau diajak bicara
 Kegagalan defense mechanism

4
 Low self esteem

Step 2: Pertanyaan
1. Apakah pasien sudah masuk gangguan jiwa? Jika iya apa kemungkinan diagnosisnya?
2. Apakah ada hubungan usia pasien dengan keluhan yang dialami pasien
3. Apa yang menyebabkan kegagalan defense mechanism?
4. Apa tatalaksana awal yang deiberikan dr pada pasien?
5. Apakah ada hubungan gagal masuk PTN dengan keluhan pasien?
6. Bagaiamna seharusnya pasien mengatasi mood yang tidak baik?
7. Apakah keluhan pada kasus bisa sembuh dengan tanpa pengobatan?
8. Apakah keluhan pasien ada sangkut paut dengan organ otak?
9. Bagaimana cara menilai arus piker dan mood sedih?
10. Bagaimana cara menilai defense mechanism?
11. Apakah kompetensi dr umum emngatasi keluhan pasien?

Step 3: Brainstorming

Step 4: Spider Web

5
Step 5: Learning Objective
1. Menejelaskan defense mechanism
a. Membedakan berbagai defense mechanism matur dan immature
b. Mekansime terjadinya defense mechanism
 Id
 Ego
 Superego
c. Mendeteksi jenis defense mechanism
d. Menjelaskan cara mengembangkan defense mechanism matur
2. Membedakan komponen afektif, pikiran dan tingkah laku dalam penilaian psikiatri
3. Membedakan afek dan mood
4. Menjelaskan definisi dan factor pembentuk self esteem
5. Menjelaskan gangguan afektif (depresi, mania, bipolar)
a. Definisi
b. Kriteria diagnosis
c. Membedakan berabgai gangguan afektif termasuk skizoafektif
d. Factor risiko, factor pencetus, mekanisme gangguan afketif
e. Prisnip tatalaksana

6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defense Mechanism
2.1.1 Definisi Defense Mechanism
Defense mechanism adalah suatu cara yang mendistorsi persepsi
individu dari realitas interna dan eksterna untuk emngurangi distress subjektif,
kecemasan dan depresi, serta juga diartikan seperti tahan banting, mengatasi
emosi dan menipu diri (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Defense Mechanism


a. Immature Defense Mechanism
Acting out Ungkapan langsung dari keinginan bawah sadar atau impuls yang
bertindak dalam menghindari pengaruh yang menyertainya
Cth: Anak kecil marah-marah ketika menginginkan sesuatu tapi tidak
mendapatkannya
Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Gangguan Kepribadian
Histrionik
Blocking Inhibisi, biasanya bersifat sementara terutama afek dan impuls
mungkin terlibat
Cth: seseorang sedang marah kepada orang lain namun kemarahannya
tersebut diredam sehingga tampat tidak marah
Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Depresi
Hipokondriasis Celaan terhadap orang lain timbul dari rasa kehilangan, kesepian,
impuls agresif yang tidak dapat diterima diubah menjadi celaan
terhadap diri sendiri berupa keluhan nyeri, rasa sakit dan sebagainya.

Cth : Seorang melakukan pembelaan dengan mengalihkan pada


keluhan-keluhan fisik.
Kaitan dengan Gangguan Jiwa : Gangguan Somatoform
introyeksi Mengambil alih suatu ciri kepribadian yang ditemukan pada orang
lain.
Cth : Seorang wanita yang fans terhadap artis korea maka wanita
tersebut akan mengikuti gaya dari artis korea tersebut dengan
berpenampilan mirip seperti fansnya.
Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Kepribadian Ganda
Passive Agresive Agresi kepada orang lain diekspresikan secara langsung dan tidak
efektif melalui pasivitas, masokisme, dan berbalik menentang diri
sendiri.

Cth: Seorang pria yang terlihat bahagia tetapi sebenarnya ia sedang


marah dan iri hati.
Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Gangguan Afektif Bipolar
Regression Kembali ketahap perkembangan atau fungsi sebelumnya untuk
menghindari kecemasan/permusuhan yang terlibat dalam tahap
selanjutnya

7
Cth: Seorang paruh baya yang tidak merasa dengan dirinya yang
semakin tua, kembali ke fase ptalic sehingga dia akan akan merubah
dirinya menajdi seperti muda dengan menggunakan make up yang
berlebihan atau penampilan seperti orang muda

Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Kepribadian Ganda

Projection Mengkaitkan perasaan sendiri yang tidak diakui kepada orang lain,
termasuk prasangka buruk.
Cth : Seseorang yang suka menyalahkan orang lain tanpa mengetahui
penyebabnya.

Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Ansietas

Shizoid Fantasy Kecenderungan mengguanakan khayalan/fantasi dan menikmati music


akuistik untuk tujuan pemecahan masalah dan kepuasan.

Cth: seorang anak yang tidak pandai lalu menghayal dirinya menjadi
bintang pelajar.

Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Gangguan Waham

Somatisasi Konversi defensive psikis menurun hingga menimbulkan gejala pada


tubuh, lebih cenderung bereaksi dengan gejala somatic dari pada
psikis

Cth : Sama seperti hipokondriasis namun pada somatisasi keluhan


lebih menyeluruh.
Kaitan dengan Gangguan Jiwa: Gangguan Somatisasi
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)
b. Mature Defense Mechanism
MaturDefence

Altruisme Mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan orang lain tetapi tanpa
merugikan diri sendiri.
Cth : seseorang menginfakkan sebagian hartanya ke tempat daerah yang
terkena bencana dari hasil gajinya

Antisipasi Perencanaan untuk kekhawatiran di masa mendatang


Cth : Membuat perencanaan akan sesuatu di masa depan

Aksetisme Mampu mengendalikan diri bila mendapat musibah atau kegembiraan


Cth : seseorang yang terkena musibah namun tetap sabra menghadapinya
atau seseorang yang sedang bahagia namun tidak berlebihan dalam
senangnya

Humor Ekspresi perasaan terbuka terhadap orang lain dengan baik menyakiti
perasaan orang lain.

Cth : seseorang yang di buli oleh temannya namun ia tidak balik


membuli temannya melainkan membalas dengan senyuman

8
Sublimasi Mengganti dorongan intrinsic yang tidak baik dengan kegiatan kegiatan
lain yang bermanfaat.
Cth : kebiasaan bermain game diubah menjadi kebiasaan belajar

Supresi Melupakan kekecewaan atau kegagalan yang dihadapi dengan penuh


kesadaran.
Cth : salah seorang teman ani menyinggung dan membangkit kan amarah
dandorong anagresinya. Namun, ani memilih untuk mengungkapkan
perasaannya secara asertif diwaktu yang lebih tepat.

(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)


c. Neurotic Defense Mechanism
Controlling Usaha yang berlebih untuk mengelola atau mengatur peristiwa atau
tanda dilingkungan untuk meminimalisir kecemasan dan
menyelesaikan masalah internal
Dispalcement Termasuk yang bertujuan, pergantian tidak sadar dari satu objek ke
objek yang lain dalam ketertarikan menyelesaikan konflik. Meskipun
objek berubah, insting alami pada impuls dan tujuan tidak berubah
Dissociation Modifikasi karakter atau sensasi yang bertempo tapi drastis untuk
mencegah distress emosional yang termasuk kondisi fugue dan reaksi
konversi histerical
Externalization Istilah yang umum, korelasi dengan internalisasi, merujuk pada
kecenderungan untuk persepsi dunia luar dan objek luar termasuk
insting, konflik, mood, attitude, dan cara berpikir.
Inhibition Determinasi secara tidak sadar limitasi atau penolakan fungsi ego,
tunggal atau kombinasi, untuk mencegah kecemasan yang timbul dari
konflik dengan impuls insting, superego atau dorongan lingkungan
atau figure.
Intellectualization Mengontrol afek dan impuls dengan jalan memikirkannya bahkan
melakukannya. Hal ini merupakan akses sistemik berpikir, mencabut
afek, dan melawan kecemasan yang disebabkan oleh impuls yang tidak
diterima
isolation Pemisahan intrapsikis afek dari konten menghasilkan represi ide lain
atau afek atau pemindahan afek ke konten yang berbeda atau substitusi
Rasionalization Pemisahan intrapsikis afek dari konten menghasilkan represi ide lain
atau afek atau pemindahan afek ke konten yang berbeda atau substitusi
Reaction Pengaturan terhadap sesuatu yang tidak dapatditerima dengan
formation mengekspresikan dalam bentuk ekspresi negate, dimana terjadi konflik
insting yang dapat menjadi sifat yang permanen
repression Terdiri dari pengusiran atau pemotongan dari kesadaran atas ide atau
perasaan. dapat ber operasi baik dengan tidak sadar terhadap apa yg di
alami pada tingkat sadar, atau dengan mengekang ide dan perasaan.
melupakan depresi dengan cara unik karena di sertaindengan perilaku
yg sangat simbolos yg menunjukan telah terjadi diskriminasi antara
represi dan pertahanan.
sexualization Penganugerahan suatu objek atau fungsi dengan signifikasi seksual yg
sebelum nya tidak dimiliki, atau memiliki tingkat yg lebih rendah
untuk mengatasi kecemasan terkait terhadap sesuatu yg terlarang.
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)

d. Narcisstic-Psychotic Defense Mechanism

9
Projection Mempersepsikan dan bereaksi terhadap impuls batin yang tidak dapat
diterima dan turunannya seolah-olah mereka berada di luar diri. Pada
tingkat psikotik, ini mengambil bentuk khayalan yang terang-terangan
tentang realitas eksternal, biasanya penganiayaan, termasuk persepsi
perasaan seseorang sendiri dan perasaan orang lain dengan tindakan
selanjutnya pada persepsi (delusi paranoid psikotik). Impuls dapat
berasal dari id atau superego (tuduh halusinasi).
Denial Penyangkalan psikotik terhadap realitas eksternal, tidak seperti represi,
lebih memengaruhi persepsi realitas eksternal daripada persepsi realitas
internal. Melihat, tetapi menolak untuk mengakui apa yang dilihat
seseorang, atau mendengar dan meniadakan apa yang sebenarnya
didengar adalah contoh penolakan dan mencontohkan hubungan dekat
penolakan dengan pengalaman. Namun, tidak semua penyangkalan
adalah psikotik. Seperti proyeksi, penolakan dapat berfungsi untuk
tujuan yang lebih neurotik atau bahkan adaptif. Penyangkalan
menghindari menyadari beberapa aspek realitas yang menyakitkan.
Pada tingkat psikotik, realitas yang ditolak dapat digantikan oleh fantasi
atau khayalan.
Distorsi Terlalu mengubah pengalaman realitas eksternal agar sesuai dengan
kebutuhan batin, termasuk megalomanik yang tidak realistis
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)

2.1.3 Mekanisme Defense Mechanism


1. ID
Id adalah sumber dorongan diri. Sebagai dorongan dari alam tidak sadar
tetapi juga sering diterjemahkan sebagai insting. Objek dari id telah didapat
sejak lahir, bergerak bersamaan dengan proses fisik primer dan secara
mutlak ditentukan berdasarakan derajat kepuasan. Id ini terdiri dari bagian
tidak teratur dari struktur kepribadian yang berisi dorongan dasar. Id
bertindak sesuai dengan" prinsip kesenangan ", berusaha untuk menghindari
rasa sakit atau tidak menyenangkan. Pikiran anak yang baru lahir dianggap
sebagai benar-benar "dikendarai oleh Id´, dalam arti bahwa ia adalah massa
dorongan nalnnuriah dan impuls, dan kebutuhan kepuasan segera.
Pandangan ini menyamakan anak yang baru lahir dengan individu dikuasai
Id seperti sering bercanda. Id bertanggung jawab untuk dorongan dasar kita
seperti makanan, air, seks (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).
2. Ego
Ego terdiri dari bagian terorganisasi dari struktur kepribadian yang
meliputi fungsi pertahanan, persepsi, intelektual-kognitif, dan eksekutif.
Tugasnya adalah untuk menemukan keseimbangan antara dorongan
primitive dan realitas. Hal ini membantu kita untuk mengatur pikiran kita
dan memahami mereka dan dunia di sekitar kita. Dalam teori Freud, ego

10
perantara antara id, super-ego dan dunia luar. Pengembangan Ego dikenal
sebagai pengembangan beberapa proses, fungsi kognitif, pertahanan, dan
keterampilan interpersonal atau masa remaja awal ketika proses ego muncul
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015).
3. Super Ego
Super ego terdiri dari bagian terorganisasi dari struktur kepribadian yang
mencakup individu ego cita-cita , tujuan spiritual, dan agen psikis
umumnya di sebut hati nurani yang mengkritik dan melarang dorongan
dirinya, fantasi, perasaan,dan tindakan (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

2.1.4 Mendeteksi Defense Mechanism

Aspek
Tahap Associated Bentuk terkait Posisitf dan
pembentukan
psikososial Virture psikopatologi negatif
identitas

Percaya vs. Berharap -psikosis Saling Perspektif


tidak percaya -ketergantungan pengakuan vs. temoral vs.
(baru lahir- 17 -depresi isolasi autis kebingungan
bln)
Mandiri vs. Akan -paranoia Menjadi diri Kepastian diri
malu (18 bln- -gangguan pikiran sendiri vs. vs kesadaran
2thn -terpaksa meragukan diri diri
-impulsif sendiri
Tindakan awal Tujuan -gangguan konversi Antisipasi vs. Pengalaman
vs. kesalahan -fobia hambatan vs. fiksasi
(3thn-4thn) -gangguan
psikosomatik
-inhibisi
Ketekunan vs. Kemampuan -kelemahan Identifikasi Masa belajar
keadaan yang -kreatif terhambat tugas vs. rasa vs. tidak
rendah(5thn- sia-sia mampu belajar
12thn)
Kepribadian vs. Kesetiaan -tingkah laku nakal Kepribadiaan
kekeliruan(13th -gangguan terkait vs. peran
n- 19thn) gender kekeliruan
-gangguan psikotik
Hubungan intim Kasih sayang -gangguan Polarisasi
vs. pikirian(skizoid) seksual vs.
pengasingan(20t -pembedaan biseksual
hn- 39thn)
Generativitas Kepedulian -paruh baya Tanggung
vs. -prematur jawab vs.
stagnansi(40thn- tidak
59thn) bertanggung
jawab

11
Keutuhan vs. Bijaksana -putus asa Komitmen
hilang -mengasingkan diri ideology vs.
harapan(>59thn) kebingungan
nilai
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)

Tahap Intelektual
Umur Waktu Kognitif
0-1,5 thn Sensorimotor Ada 6 tahap :
1.bergerak ketika lahir dan reflex sensoris
2.reaksi circular primer
3.reaksi circular sekunder
4.melakukan pendekatan untuk mencapai tujuan
5.reaksi sirkular tersier
6.wawasan dan sasaran
2-7 thn Masa persiapan Meniru, bermain symbol, gambaran mental, dan bahasa
7-11 thn Pekerjaan kuantitas berat, volume, panjang dan waktu berdasarkan
konkrit reversibilitas
11-akhir masa Formal Sistem kombinasi
remaja
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)

Masa Sensorimotor
Umur Sifat
0-2 bln Bergerak waktu lahir dan reflek sensoris seperti sucking, grasping,
melihat untuk berinteraksi
2-5 bln Reaksi sirkular primer : aktivitas keseimbangan tubuh dan mampu
melihat rangsangan dari luar
5-9 bln Reaksi sirkular sekunder : mendapatkan ransangan baru dari luar dan
mulai meniru
9 bln – 1 thn Menunjukkan tanda-tanda objektif seperti bermain, meniru perilaku
dalam cerita
1 thn – 1 thn 8 Reaksi sirkular tersier : mencari pelajaran baru untuk ditiru
bulan
1 thn 8 bulan – 2 Simbolis : menggunakan symbol untuk menunjukan suatu peristiwa dan
thn objek
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015)

2.1.5 Cara Mengembangkan Defense Mechanism Mature


Defense mechanism mature dapat dikembangkan dengan cara
mengembangkan ego strength (kekuatan ego). Kekuatan ego terdiri atas ego
resilience dan ego control. Ego resilience mencerminkan kemampuan untuk
menanggapi perubahan konteks. Individu dengan ego resiience dapat cepat
beradaptasi dan mampu merencanakan pekerjaan untuk tujuan yang jauh.
Individu non-resilience memiliki sedikit kemampuan adaptasi, gelisah dengan

12
hal yang baru, cemas sebelum bersaing, dan mengalami kesulitan pemulihan
dari trauma. Ego resilience kurang pada bayi dan anak-anak dan dapat
berkembang seiring bertambahnya usia. Ego control adalah kemampuan untuk
mengendalikan ego. Individu yang tidak dapat mengendalikan ego, kemampuan
adaptasinya dengan perubahan lingkungan kurang berhasil.
Ego resilience dan ego control berkontribusi pada kekuatan ego, dan
merupakan indikasi pengembangan defense matur, keduanya mendukung
kemampuan untuk beradaptasi dan merespons secara efektif terhadap dunia
yang terus berubah dan diri yang berubah. Selain itu, penelitian longitudinal
telah menunjukkan bahwa ego resilience dan ego control berubah seiring
bertambahnya usia. Anak usia 23 tahun dievaluasi sebagai lebih terkontrol dan
lebih resilience dibandingkan dengan anak yang berusia 3 tahun (Cramer, 2012).

2.2 Pembentukan Sikap


Sikap terdiri atas tiga komponen yaitu:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan streotipe yang dimiliki
individu mengenai sesuatu. Persepsi dan kepercayaan seseorang mengenai objek
sikap berwujud pandangan (opini) dan sering kali merupakan streotipe atau sesuatu
yang telah terpolakan dalam pikirannya. Komponen kognitif dari sikap ini tidak
selalu akurat. Kadang-kadang kepercayaan justru timbul tanpa adanya informasi
yang tepat mengenai suatu objek.
b. Komponen Afektif
Komponen afektif melibatkan perasaan atau emosi. Reaksi emosional kita terhadap
suatu objek akan membentuk sikap positif atau negatif terhadap objek tersebut.
Reaksi emosional ini banyak ditentukan oleh kepercayaan terhadap suatu objek,
yakni kepercayaan suatu objek baik atau tidak baik, bermanfaat atau tidak
bermanfaat.
c. Komponen Konatif
Komponen konatif atau kecenderungan bertindak (berperilaku) dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap. Perilaku seseorang dalam situasi tertentu
dan dalam situasi menghadapi stimulus tertentu, banyak ditentukan oleh
kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Kecenderungan

13
berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini
membentuk sikap individual (Hawkins, Del. I, Mothersbaugh, 2010).

2.3 Mood dan Afek


2.3.1 Mood
1. Definisi
Emosi yang telah menetap dan telah meresap yang mewarnai persepsi
orang tersebut terhadap dunia dan teramati oleh orang lain. Bagaimana pasien
mengatakan apa yang dirasakan nya(kedalaman, intensitas, durasi, dan fluktuasi
mood, depresif, putus asa, iritabel, euporik, hampa, bersalah, terpesona, rendah
diri, merasa sia-sia, anhedonik, aleksitimik) (Amir, 2014)

2. Klasifikasi
a. Mood distrofik : mood yang tidak menyenangkan
b. Mood eutimik: kisaran mood yang normal
c. Mood ekspansif: ekspresi perasaan seseorang tanpa di tahan, seringkali
disertai perasaan bahwa dirinya amat berharga penting
d. Mood iritabel: keadaan ketika seseorang mudah terganggu dan terprovokasi
untuk marah
e. Mood labil: mood mengalun antara euporia dan depresi
f. Elevasi: mood lebih ceria dari biasanya
g. Euporia: perasaan gembira yang disertai dengan kebesaran
h. Ekstasi: rasa nikmat yang intens
i. Depresi: rasa sedih yang psikopatologis
j. Anhedonia : hilangnya minat atau menarik diri dari aktivitas biasa dan
menyenangkan
k. Duka cita(berkabung): kesedihan yang sesuai dengan kehilangan
l. Aleksitimia: Kesulitan mendeskripsikan emosi/ mood nya
m. Ide bunuh diri: tindakan mengakhiri hidupnya
n. Hipomania: abnormalitas mood yang ditandai dengan kualitatif maniak
namun kurang intens
o. Elasi: Perasaan gembira atau euporia
p. Mania: keadaan mood yang ditandai dengan agitasi,elasi dan hiperaktivitas
q. Melankolia: keadaan depresi berat
r. La belle indifference: sikap kalem yang tidak tepat (Amir, 2014)

14
2.3.2 Afek
1. Definisi
Ekspresi emosi tersirat dari ekspresi wajah pasien yang teramati
,termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif. Bagaimana pemeriksa menilai
afek pasien (luas, terbatas, menumpul atau datar, dangkal, jumlah dan rentang
ekspresi, kesulitan memulai, mempertahankan atau mengakhiri suatu respon
emosional (Amir, 2014).

2. Klasifikasi
a. Afek sesuai: kondisi nada, emosi selaras dengan iden dan pikiran
b. Afek tidak sesuai: Ketidakharmonisan antara nada perasaan emosional
dengan ide, pikiran atau gaya bicara yang menyertai
c. Afek tumpul: gangguan afek yang bermanifestasi sebagai sangat
berkurangnya intensitas tonus perasaan yang diungkapkan
d. Afek menyempit: berkurangnya intensitas nada perasaan yang tidak begitu
parah
e. Afek datar: tidak ada tanda ekspresi afektif (suara menoton, wajah tidak
bergerak)
f. Afek labil: perubahan nada perasaan emosional yang cepat dan mendadak
,tidak disebabkan oleh stimulus eksterna (Amir, 2014).

2.4 Self Esteem


2.4.1 Definisi
Diartikan sebagai sikap, komponen evaluatif diri dan penilaian yang
afektif terdiri dari perasaan berharga dan penerimaan yang dikembangkan
individu atas konsekuensi akan kesadaran kompetensi dan umpan balik dari luar
diri (Guidon,2010).
2.4.2 Faktor Pembentuk Self Esteem
a. Latar belakang individu: ras, gender dan status sosial
b. Orangtua yang membesarkan anaknya dengan penuh perhatian dan
tanggapan akan membentuk self esteem yang tinggi
c. Teman: siswa yang mendapatkan penerimaan dan dukungan dari teman
memiliki self esteem yang tinggi (Guidon,2010)

2.5 Gangguan Afektif


2.5.1 Definisi Gangguan Afektif

15
Gangguan afektif adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek,
biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau
kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan afek ini biasanya
disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan
kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan tertentu, atau
mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut (Sadock BJ, Sadock
VA, 2015).

2.5.2 Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko dalam terjadi gangguan afektif antara lain
a. Genetik : faktor genetik faktor umum penyebab gangguan bipolar.
Seseorang yang lahir dari orang tua yang salah satunya merupakan
pengidap gangguan bipolar memiliki risiko mengidap penyakit yang sama
sebesar 15 % hingga 30%. Bila kedua orangtuanya mengidap gangguan
bipolar, maka berpeluang mengidap gangguan bipolar sebesar 50% -
75%. Kembar identik dari seorang pengidap gangguan bipolar memiliki
risiko tertinggi kemungkinan berkembangnya penyakit ini daripada yang
bukan kembar identik. Penelitian mengenai pengaruh faktor genetis pada
gangguan bipolar pernah dilakukan dengan melibatkan keluarga dan anak
kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10% - 15% keluarga
dari pasien yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu
episode gangguan suasana hati.
b. Seks : prevalensi gangguan depresif berat dua kali lebih besar pada
perempuan daripada laki laki. Alasan perbedaan telah di hipotesiskan antara
lain perbedaan hormonal, pengaruh kelahiran anak, stressor psikososial
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta model perilaku
ketergantungan yang dipelajari. Berbeda dengan gangguan depresif berat,
gangguan bipolar I memiliki prevalensi yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan. Episode manik sering terjadi pada laki-laki sedangkan episode
depresif sering terjadi pada perempuan
c. Usia : gangguan bipolar I ( kanak-kanak 5-6 tahun sampai 50 tahun atau
bahkan lebih) dengan usia rerata 30 tahun. Gangguan depresi berat ( sekitar
40 tahun dengan 50% pasien memiliki awitan antara usia 20 dan 50 tahun.
Gangguan depresif berat dapat juga dimulai pada masa kanak-kanak atau

16
usia tua. Gangguan depresif mayor mungkin meningkat di antara orang
berusia dibawah 20 tahun. Hal ini mungkin berkaitan dengan penggunaan
alkohol
d. Status perkawinan : gangguan depresif besat ( sering terjadi pada seseorang
tanpa hubungan antarpersonal yang dekat atau pada orang yang mengalami
perceraian atau perpisahan. Gangguan bipolar I sering terjadi pada orang
lajang dan orang yang bercerai dari pada yang menikah
e. Faktor sosioekonomi dan kebudayaan : gangguan bipolar I ditemukan pada
kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi, depresi lebih lazim pada daerah
pedesaan. Gangguan bipolar I lebih lazim pada orang yang tidak lulus
akademi (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

2.5.3 Faktor Pencetus


A. Faktor Biologis
Terjadinya gangguan depresi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor
ialah faktor biologik, genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan.
Beberapa studi faktor biologik melaporkan adanya kelainan metabolit amin
biogenik, misalnya 5 hydroxy indol acetic acid (5-HIAA), homovanilic acid
(HVA) 2 dan 5-hydroxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) dalam darah,
urine dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Dari laporan data
tersebut sangat konsisten dengan hipotesis, bahwa gangguan mood berkaitan
dengan disregulasi heterogen amin biogenik. Di antara amin biogenik
tersebut norepinefrin dan serotonin merupakan neurotransmiter yang paling
terlibat pada patofisiologi gangguan mood. Tapi ada juga hipotesis yang
mengatakan bahwa dopamin terlibat pada gangguan tersebut. Selain amin
biogenik, terdapat teori yang mengatakan keterlibatan regulasi endokrin dan
faktor-faktor neurokimiawi lainnya misalnya asetilkolin, gama amino butyric
acid (GABA), melatonin, glisin, histamin, tiroid, hormon adrenal dan
neuropeptid
 Dopamine
Meskipun kebanyakan teori terjadinya depresi melibatkan serotonin
dan norepinefrin, namun dopamin juga diduga mempunyai peran pada
gangguan ini. Data menunjukkan, bahwa dopamin menurun pada depresi
sedangkan pada mania meningkat. Obat-obat yang menurunkan kadar

17
dopamin, misalnya reserpin dan penyakit dengan penurunan dopamin,
misalnya Parkinson, berkaitan dengan gejala depresi. Sebaliknya obat-obat
yang meningkatkan kadar dopamin, misalnya tirosin, amfetamin
mengurangi gejala depresi. Teori saat ini mengenai dopamin dan depresi
mengatakan bahwa lintasan dopamin mesolimbik mengalami disfungsi, dan
reseptor dopamin tipe D1 mengalami hipoaktif pada depresi. Penurunan
aktivitas lintasan 4mesolimbik dan mesokorteks pada depresi menggangu
fungsi kognitif, motorik dan hedonia
 Serotonin
Dengan makin maraknya SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor)
untuk mengobati depresi, serotonin menjadi satu neurotransmiter penting
berkaitan dengan gangguan ini. Selain SSRI dan serotonergik antidepresan
efektif, data lain menunjukkan, bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi
depresi. Kekurangan serotonin dapat mempresipitasi depresi dan pasien
dengan impulsivitas bunuh diri memiliki kadar metabolit serotonin rendah.
Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada area
yang dinamakan rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi
neuron ke bagian lain otak dan di luar otak. Proyeksi ke korteks frontalis
diduga penting dalam pengaturan mood. Proyeksi ke basal ganglia berperan
pada gerakan seperti obsesi dan kompulsi. Proyeksi ke daerah limbik terlibat
pada keadaan cemas dan panik. Proyeksi ke hipotalamus mengatur selera
serta perilaku makan. Neuron serotonergik di pusat tidur batang otak
mengatur tidur terutama tidur stadium 3 dan 4 (slow wave sleep). Proyeksi
serotonergik ke bawah ke medula spinalis diduga bertanggung jawab
terhadap refleks spinalis, bagian dari reseptor seksual seperti orgasme dan
ejakulasi. Terdapat zona “pacuan” di batang otak yang dapat memediasi
muntah. Juga terdapat reseptor perifer di sistem gastrointestinal yang
mengatur fungsi gastrointestinal misalnya gerakan usus. Defisiensi
serotonin mengakibatkan satu sindrom yang meliputi mood depresi,
anxietas, panik, fobia, obsesi-kompulsi dan bulimia. Terdapat bukti, bahwa
neurotransmisi serotonin sebagian dipengaruhi atau dikontrol faktor
genetik. Tonus serotonin berfluktuasi. Dalam keadaan stres akut terjadi
peningkatan serotonin sementara, dalam keadaan stres kronik menyebabkan

18
penurunan aktivitas serotonin dan penyimpanan serotonin. sehingga
mempunyai efek kompensasi yang bermakna.
 Norepinefrin
Diduga, bahwa sistem noradrenergik terlibat pada gangguan depresi.
Hal ini berdasarkan studi ilmu dasar yang mengkaitkan adanya down
regulation reseptor β adrenergik dengan respon klinik terhadap
antidepresan. Neuron noradrenergik mempunyai badan sel (cell body)
sebagian besar di batang otak yang disebut locus ceruleus. Fungsi utama
locus ceruleus adalah menentukan apakah perhatian bisa terfokus pada
lingkungan eksternal dan memantau lingkungan internal tubuh.
Norepinefrin dan locus ceruleus diduga memberi input penting pada kontrol
sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi , mood, emosi, gerakan dan
tekanan darah. Malfungsi locus ceruleus diduga mendasari gangguan mood
dan kognisi seperti depresi, cemas, gangguan perhatian dan pemrosesan
informasi. Sindroma defisiensi norepinefrin secara teoritis ditandai dengan
hendaya perhatian, gangguan konsentrasi, gangguan working memory,
gangguan pemrosesan informasi, retardasi psikomotor, kelelahan, apatis
dan penurunan libido. Gejala-gejala tersebut sering menyertai depresi
seperti juga menyertai gangguan perhatian, kognisi, skizofrenia dan
sebagainya. Bukti lain menunjukkan, bahwa pada depresi terjadi aktivasi
terhadap reseptor presinaptik β2 yang menyebabkan menurunnya pelepasan
norepinefrin. Peran norepinefrin ini didukung dengan efektifnya, paling
tidak untuk beberapa gejala, obat yang bekerja pada sistem norepinefrin
misalnya venlafaxine (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

B. Faktor Neurokimia Lainnya


Walaupun belum merupakan suatu kesimpulan, neurotransmiter asam
amino (terutama gamma-amino butyric acid – GABA) dan peptida neuroaktif
(terutama vasopressin dan opiat endogen) dikatakan berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem
second messenger seperti adenylate cyclase, phosphotidylinositol dan
kalsium dapat terlibat secara kausal. Asam amino glutamat dan glisin, yang
merupakan neurotransmiter eksitatori utama dalam susunan saraf pusat
terikat pada sisi yang berkaitan dengan N-methyl–D– aspartate (NMDA),

19
dalam keadaan berlebihan mempunyai efek toksik. Hipokampus memiliki
banyak (konsentrasi tinggi) reseptor NMDA, sehingga dalam keadaan
dimana orang mengalami stres kronik akan terjadi efek neurokognitif, karena
dimediasi oleh hiperkortisolemia. Terdapat bukti juga, bahwa obat yang
bekerja antagonis terhadap NMDA reseptor memiliki efek anti depresan
(Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

C. Regulasi Neuroendokrin
Salah satu organ penting dalam otak, yaitu hipotalamus merupakan
pusat regulasi aksis neuroendokrin. Ia memperoleh input neuronal yang
melibatkan neurotransmiter amin biogenik. Berbagai gangguan
neuroendokrin telah dilaporkan pada pasien-pasien gangguan mood , dan
gangguan regulasi aksis neuroendokrin dapat diakibatkan oleh fungsi
abnormal neuron-neuron yang mengandung amin biogenik. Aksis
neuroendokrin utama yang terlibat di sini adalah aksis hormon adrenal, tiroid
dan hormon pertumbuhan. Aksis adrenal Peran kortisol. Seperti sudah kita
ketahui, teori lama mengatakan bahwa terdapat hubungan antara hipersekresi
kortisol dengan depresi. Sekitar 50 % penderita depresi memiliki peningkatan
kadar kortisol. Neuron dalam nukleus paraventrikuler (PVN) hipotalamus
melepaskan corticotropin – releasing hormon (CRH); hormon ini merangsang
pelepasan adrenocorticotrophic hormon (ACTH) dari hipofisis anterior.
ACTH dilepas bersama dengan β – endorphin dan β– lipotropin, dua peptida
yang disintesis dari prekursor protein yang sama dengan sintesisnya ACTH.
ACTH merangsang pelepasan kortisol korteks adrenal. Mekanisme balik
kortisol bekerja dengan cara paling tidak melalui 2 mekanisme. Mekanisme
balik cepat : sensitif terhadap peningkatan kadar kortisol, bekerja melalui
reseptor kortisol hipokampus dan menurunkan pelepasan ACTH. Mekanisme
lambat : sensitif terhadap kadar stabil kortisol, mekanismenya diduga lewat
reseptor hipofisis dan adrenal. Aksis tiroid Gangguan tiroid ditemukan pada
sekitar 5 – 10 % pasien depresi. Implikasi klinis dari kaitan ini adalah
pentingnya penentuan status tiroid pada pasien depresi. Sekitar sepertiga
pasien gangguan depresi berat memperlihatkan pelepasan lambat (tumpul)
tirotropin (TSH) terhadap infus protirelin (suatu thyrotropin releasing
hormone). Tapi abnormalitas ini terdapat juga pada gangguan psikiatrik lain,

20
sehingga kemanfaatan diagnostiknya terbatas. Hormon pertumbuhan
Beberapa studi menunjukkan perbedaan statistik antara pasien depresi dengan
lainnya dalam hal pelepasan hormon pertumbuhan. Somatostatin
menghambat GABA, ACTH dan TSH. Kadar somatostatin lebih rendah pada
cairan serebrospinal orang depresi dibandingkan dengan orang skizofrenia
atau orang normal, dan kadarnya meningkat pada orang dengan mania.
Pelepasan prolaktin dari hipofisis dirangsang oleh serotonin dan dihambat
oleh dopamin. Pada depresi tidak ditemukan abnormalitas bermakna sekresi
prolactin (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

2.5.4 Mekanisme
Gangguan bipolar memiliki beberapa faktor, yaitu genetik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, abnormalitas pada sirkuit saraf, dan faktor
lingkungan.Keempat hal tersebut menyebabkan penurunan penghambat pada
sirkuit emosi yang dapat menyebabkan munculnya gangguan bipolar yang
ditandai dengan gangguan pada keseimbangan emosi yang menyebabkan
perubahan suasana hati.Ada beberapa perubahan suasana hati
yaitu adalah periode manik, depresi, dan bipolar.
Periode manic terjadi minimum 1 pekan atau membutuhkan rawat
inap. Manik yaitu suasana hati yang meningkat, mudah tersinggung,
meningkatnya perilaku yang berlebihan, penurunan kebutuhan tidur,
kemudahan terdistraksi(mudah teralihkan), pikiran yang berlomba, ucapan yang
terdorong, peningkatan euphoria(bersenang-senang), peningkatan sifat muluk,
mudah tersinggung, dan peningkatan pengambilan risiko.
Periode depresi terjadi minimum 2 pekan.Periode depresi yaitu seperti
suasana hati yang tertekan peningkatan penarikan diri, meningkatnya perasaan
bersalah, rasa cemas, ketiadaan harapan, penghambatan psikomotor, pikiran dan
prilaku ingin bunuh diri, penurunan rasa bahagia, penurunan konsentrasi, lelah,
dan nafsu makan berkurang sehingga terjadi penurunan berat badan. Periode
bipolar, terdiri dari gangguan bipolar I dan gangguan bipolar II (Sadock BJ,
Sadock VA, 2015)

2.5.5 Kriteria Diagnosis


1. Depresi
Kriteria Diagnosis Menurut DSM V

21
A. Lima (atau lebih) dari gejala berikut yang telah ada setiap hari selama periode 2
minggu yang sama dan menggambarkan perubahan dari fungsi sebelumnya;
setidaknya salah satu gejala adalah perasaan depresi atau kehilangan minat atau
kesenangan.
1. Perasaan depresi sepanjang hari, hamper setiap hari, yang ditunjukkan oleh
baik laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, atau putus asa) atau
pengamatan dari orang lain (misalnya terlihat menangis).
2. Berkurang secara nyata ketertarikan akan semua hal, atau hampir semua
aktivitas sepanjang hari.
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet (misalnya perubahan
lebih dari 5% berat badan selama sebulan), atau penurunan atua peningkatan
selera makan hampir setiap hari.
4. Insomnia atau hyeprinsomnia hampir setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retradasi mental hampir setiap hari
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan yang berlebihan dan tidak selayaknya
(yang mungkin delusi) hampir setiap hari
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi hampir setiap hari
9. Terus berpikir tentang kematian (tidak hanya takut mati), berulang keinginan
untuk bunuh diri tanpa rencana tertentu atau usaha bunuh diri atau rencana
tertentu untuk bunuh diri.
B. Gejala menyebabkan tekanan klinis secara signifikan atau kerusakan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi dari aspek penting lainnya.
C. Episode tidak melibatkan efek psikologi yang disebabkan oleh substansi/zat
(Earle, 2014).

Kriteria Diagnosis Menurut PPDGJ III


A. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat
a. Afek depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
B. Gejala lainnya
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

22
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang (Maslim, 2013)

Klasifikasi Depresi Menurut PPDGJ III


a. Episode depresif ringan
i. Sekurang kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
ii. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: a sampai g
iii. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
iv. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
v. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasanya
dilakukannya
b. Episode depresif sedang
i. Sekurang kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan
ii. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
iii. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 mingu
iv. Mengahadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.
c. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
i. Semua 3 gejala utama depresi harus ada
ii. Ditambah sekurang-kurangnya 4 gejala dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
iii. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam gal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan
iv. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih

23
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu
v. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan social,
pekerjaan, atau urusan rumah tangga, kecuali dalam taraf yang sangat
terbatas.
d. Episode depresif berat dengan gejala psikotik
i. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria diatas
ii. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif (Maslim, 2013).

2. Hipomania
Kriteria Diagnosis Hipomania Menurut DSM V
1. Periode yang tidak normal dan terus menerus meningkat, expansive, atau
mudah tersinggung, berlangsung setidaknya selama 4 hari berturut-turut dan
selama seharian, serta terjadi hampir setiap hari.
2. Selama periode gangguan mood, serta peningkatan energi dan aktivitas, tiga
(atau lebih) gejala berikut telah ada, menggambarkan perubahan nyata dari
perilaku biasanya, dan telah hadir untuk tingkat yang signifikan:
a. Meningkat harga diri atas kebesarannya
b. Menurunnya kebutuhan untuk tidur (misalnya merasa cukup istirahat
setelah 3 jam tidur)
c. Lebih banyak bicara dari biasanya, atau ada tekanan untuk terus
berbicara
d. Pikiran yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.
e. Distractibility (yaitu terlalu mudah tertarik pada hal yang tidak penting
atau ada rangsangan dari luar yang tidak relevan)
f. Peningkatan dalam berbagai macam kegiatan (misalnya aktivitas social,
aktivitas di tempat kerja atau sekolah, atau aktivitas seksual) atau agitasi
psikomotorik
g. Keterlibatan berlebihan dalam kegiatan menyenangkan yang memiliki
potensi tinggi untuk mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan
(misalnya berfoya-foya, ketidakbijaksanaan dalam seksual, atau tidak
bisa menjalankan investasi bisnis dengan benar)
3. Episode dikaitkan dengan perubahan yang jelas pada fungsi yang tidak
dikarakterisasi oleh individu tanpa gejala

24
4. Gangguan suasana hati dan perubahan fungsi yang diamati oleh orang lain
5. Episode yang tidak cukup parah ditandai dengan penurunan dalam hubungan
social atau fungsi pekerjaan atau mengharuskan rawat inap. Jika ada gejala
psikotik, episode ini sesuai definisi termasuk episode mania,
6. Episode tidak melibatkan efek psikologi yang disebabkan oleh substansi/zat
(Earle, 2014).

3. Mania
Kriteria Diagnosis Mania Menurut DSM V
1. Periode yang tidak normal dan terus-menerus meningkat, expansive, dan
mudah tersinggung. Berlangsung setidaknya 1 minggu, selama seharian, dan
terjadi hampir setiap hari (atau beberapa durasi memerlukan perawatan di
rumah sakit)
2. Selama periode gangguan mood, tiga (atau lebih) gejala berikut berada pada
tingkat signifikan dan mewakili perubahan yang nyata dari perilaku biasa:
a. Meningkat harga diri atau kebesarannya
b. Menurunnya kebutuhan untuk tidur (misalnya merasa cukup istirahat
setelah 3 jam tidur)
c. Lebih banyak bicara dari biasanya, atau ada tekanan untuk terus
berbicara.
d. Pikiran yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.
e. Distractibility (yaitu terlalu mudah tertarik pada hal yang tidak penting
atau ada rangsangan dari luar yang tidak relevan)
f. Peningkatan dalam berbagai macam kegiatan (misalnya aktivitas social,
aktivitas di tempat kerja atau sekolah, atau aktivitas seksual)
g. Keterlibatan berlebihan dalam kegiatan menyenangkan yang memiliki
potensi tinggi untuk mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan
(misalnya berfoya-foya, ketidakbijaksanaan dalam seksual, atau tidak
bisa menjalankan investasi bisnis dengan benar)
3. Gangguan mood dapat terjadi hingga cukup parah yang menyebabkan
penurunan fungsi kerja, kegiatan social atau hubungan dengan orang lain;
atau memerlukan rawat inap untuk mencegah kerugian atas diri sendiri dan
orang lain; atau memiliki gejala-gejala psikotik

25
4. Gejala yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari substansi/zat
(misalnya penyalahgunaan obat, atau pengobatan lainnya) atau kondisi medis
lainnya (Earle, 2014).

Kriteria Diagnosis Mania Menurt PPDGJ III


1. Mania Tanpa Gejala Psikotik
a. Episode harus berlangusng sekurang-kurangnya 1 minggu dan cukup
berat sampai mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan dan
aktivitas social yang biasa dilakukan
b. Perubahan afek harus disertai dengan energi yang bertambah sehingga
terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara,
kebutuhan tidur yang berkurang, ide-ide perihal kebesaran “grandiose
ideas” dan terlalu optimistik
2. Mania Dengan Gejala Psikotik
a. Gambaran Klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat
b. Harga diri membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang
menjadi waham kebesaran (delusion of grandeur), iritabilitas dan
kecurigaan menjadi waham kejar (delusion of presecution). Waham dan
halusinasi “sesuai” dengan keadaan afek tersebut (mood-congruent)
(Maslim, 2013).

4. Bipolar
Kriteria Diagnosis Menurut DSM V
1. Bipolar I
a. Kriteria telah dipenuhi setidaknya satu episode mania
b. Terjadinya mania dan episode depresi mayor tidak dapat
dijelaskan oleh gangguan schizoafektif, skizofernia, gangguan
skizofreniformis, gangguan delusi, atau spektrum skizofernia
spesifik atau tidak spesifik lainnya dan gangguan psikotik lainnya
2. Bipolar II
a. Kriteria telah dipenuhi setidaknya satu episode hipomania
b. Tidak pernah ada episode manik
c. Episode hipomanik dan episode depresi mayor tidak dapat
dijelaskan oleh gangguan shizoafektif, schizophrenia,

26
skizophreniform disorder, gangguan delusi, atau spektrum
skizofernia spesifik atau tidak spesifik lainnya dan gangguan
psikotoik lainnya.
d. Gejala depresi diperkirakan tidak dapat disebabkan oleh interaksi
tang tidak normal antara dua belas periode depresi dan hipomania
menyebabkan tekanan klinis yang signifikan dalam bidang social,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (Earle, 2014).

Kriteria Diagnosis Gangguan Afektif Bipolar Menurut PPDGJ III


1. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik
1. Episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk hipomania, dan
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif, atau campuran) di masa lampau
2. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik tanpa Gejala Psikotik
1. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania
tanpa gejala psikotik, dan
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif, atau campuran) di masa lampau.
3. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan Gejala
Psikotik
1. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania
dengan gejala psikotik, dan
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif, atau campuran) di masa lampau
4. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan Atau Sedang
1. Episode yang sekrang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif ringan ataupun sedang, dan
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomani,
manik, atau campuran di masa lampau.
5. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat tanpa Gejala
Psikotik
1. Episode yang sekrang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif berat tanpa gejala psikotik, dan

27
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau
6. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala
Psikotik
1. Episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
berat dengan gejala psikotik, dan
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afeketif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau.
7. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran
1. Episode sekarang menunjukkan gejala-gejala manik, hipomanik,
dan depresif yang tercampur atau bergantian dengan cepat, dan
2. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau
8. Gangguan Afektif Bipolar, Kini dalam Remisi

Sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama


beberapa bulan terakhir ini, tapi pernah mengalami sekurang-
kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau campuran di
masa lampau dan ditambah sekurang-kurangnya satu episode afektif
lain (hipomanik, manik, depresif, atau campuran) (Maslim, 2013).

2.5.6 Diagnosis Banding


a. Skizoafektif
Suatu gangguan jiwa yang gejala skizofernia dan gejala afektif terjadi
bersamaan dan sama-sama menonjol
Pedoman Diagnostik:
Diagnosis ganggguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitive adanya skizofernia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada
saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain,
dalam satu episode penyakit yang sama dan sebagai konsekuensinya, episode
penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofernia maupun episode manik atau
depresif.
1. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik

28
 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang
tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar
episode skizoafektif tipe manik
 Afek harus meningkat secara menonjol atau ada pengingkatan afek
yang tak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau
kegelisahan yang memuncak
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih
baik lagi dua, gejala skizofernia yang kjas.
2. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
 Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif
tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar episode
didominasi oleh skizoafektif tipe depresif
 Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dia gejala khas,
baik depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam
uraian untuk episode depresif
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan
sebaiknya ada dua gejala khas skizofernia.
3. Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
Gangguan dengan gejala-gejala skizofernia berada secara bersama-sama
dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (Maslim, 2013).
b. Siklotimia
Pedoman Diagnostik
 Ciri esensial ialah ketidakstabilan menetap dari afek, meliputi banyak
periode depresi ringan dan hipomania ringa, diantaranya tidak ada yang
cukup parah atau cukup lama untuk memenuhi kriteria gangguan afektif
bipolar atau gangguan depresif berulang
 Setiap episode alunan afektif (mood swings) tidak memenuhi kriteria
untuk kategori mana pun ang disebut dalam epsidoe manik atau episode
depresif (Maslim, 2013)
c. Distimia
Pedoman Diagnostik

29
 Ciri esensial ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang
tidak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi kriteria
gnagguan depresif berulang ringan atau sedang
 Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung
sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang -kadang untuk jangka
waktu tidak terbatas.
 Jika onset pada usia lebih lanjut, gangguan ini seringkali merupakan
kelanjutan suatu episode depresif tersendiri dan berhubungan dengan
masa berkabung atau stress lain yang tampak jelas (Maslim, 2013)

2.5.7 Penatalaksanaan
Terapi dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan yaitu:
1. Keamanan pasien harus terjamin
2. Evaluasi diagnostik lengkap pada pasien harus dilakukan
3. Rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala pada saat itu tetapi
kesejahteraan pasien pada masa mendatang juga harus dimulai.

Ketentuan rawat inap pasien:


1. Kebutuhan prosedur diagnostic
2. Risiko bunuh diri atau membunuh
3. Kemampuan pasien yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan dan
tempat tinggal
4. Riwayat gejala yang berkembang cepat.

Psikoterapi
Sebagian besar studi menunjukkan dan meyakini bahwa kombinasi
psikoterapi dan farmakoterapi adalah terapi yang paling efektif, setidaknya pada
pasien dengan episode depresif berat yang ringan. Tiga jenis psikoterapi jangka
pendek yaitu terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku. Terapi ini
telah dipelajari untuk menetukan efektifitasnya dalam terapi gangguan depresif
berat. Psikoterapi berorientasi psikoanalitik telah lama digunakan untuk gangguan
depresif dan banyak klinisi menggunakan untuk gangguan depresif dan banyak
klini mengguanakan teeknik sebagai metode utama. Hal yang membedakan ketiga
metode psikoterapi jangka pendek dengan berorientasi psikoanalitik adalah peran

30
aktif dan langsung terapis, tujuan yang langsung dikenali dan titik akhir terapi
jangka pendek.
Intervensi psikososial, misalnya psikoedukasi, cognitive behavior
therapy (CBT) dan interpersonal and social rhythm theraphy (IPSRT)
menunjukkan manfaat yang signifikan baik pada episode depresi akut maupun
terapi rumatan jangka panjang. Intervensi psikososial dapat mengurangi angka
kekambuhan, fluktuasi mood, kebutuhan medikasi dan hospitalisasi (Sadock BJ,
Sadock VA, 2015).
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif yang awalnya dikembangkan oleh Aaron Beck,
memfokuskan pada distorsi kognitif diperkirakan ada pada gangguan depresi
berat. Distorsi tersebut mencangkup perhatian selektif terhadap aspek negatif
keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak realistik mengenai konsekuensi.
Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi
negatif, mengembangkan cara berfikir alternative, fleksibel, dan positif, serta
melatih respon kognitif yang baru. Sejumlah studi menunjukkan bahwa terapi
kognitif secara efektif dalam penatalaksanaan gangguan depresif berat (Sadock
BJ, Sadock VA, 2015).
b. Terapi interpersonal
Terapi ini didasarkan atas dua asumsi yaitu yang pertama masalah
interpersonal saat ini memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi
sejak awal. Kedua, masalah interpersonal pada saat ini cenderung terlibat
didalam mencetuskan atau melanjutkan gejala depresif saat ini. Program terapi
interpersonal biasanya terdiri atas 12 sampai 16 sesi dan ditandai dengan
pendekatan terapieutik yang aktif. Gangguan seperti defense dan konflik
internal yang tidak diselesaikan, perilaku khas seperti tidak asertif,
keterampilan social terganggu, dan pikiran terdistorsi dapat diselesaikan tetapi
hanya dalam konteks pengertiannya terhadap satu atau pengaruhnya terhadap
hubungan interpersonal (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).
c. Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku
maladaptif mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan
mungkin terjadi penolakan pada masyarakat. Dengan memusatkan perhatian

31
pada perilaku maladaptif didalam terapi, pasien belajar berfungsi didalam
lingkungan sehingga mereka memperoleh dorongan positif. Terapi perilaku
adalah terapi yang efektif untuk gangguan depresif berat (Sadock BJ, Sadock
VA, 2015).
d. Terapi yang berorientasi psikoanalitik
Pendekatan psikoanalitik pada gangguan mood didasarkan pada teori
psikoanalitik mengenai depresi dan mania. Tujuan terapi ini adalah
memberikan pengaruh pada perubahan struktur atau karakter kepribadian
seseorang, bukan hanya untuk meredakan gejala. Pada terapi ini pasien sering
mengalami periode ansietas yang semakin berat serta penderitaan selama
perjalanan terapi yang dapat berlanjut hingga beberapa tahun (Sadock BJ,
Sadock VA, 2015).
e. Terapi keluarga
Umumnya tidak dipandang sebagai terapi primer penatalaksanaan
gangguan depresif berat tetapi bukti yang semakin banyak menunjukkan
bahwa membantu pasien gangguan mood untuk mengurangi kemungkinan
kambuh. Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan
atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood bertambah atau bertahan oleh
situasi keluarga. Pasien dengan gangguan mood memiliki angka perceraian
yang tinggi dan sekitar 50% pasangan melaporkan bahwa mereka tidak akan
menikah atau punya anak jika mereka tahu bahwa pasien akan mengalami
gangguan mood. (Sadock BJ, Sadock VA, 2015).

Farmakoterapi
Gangguan bipolar I
Litium, divalproat dan olanzapin adalah satu-satunya terapi yan disetujiu
oleh FDA untu fase manic gangguan bipolar tetapi karbamazepin juga
merupakan terapi yang berhasil baik. Litium carbonat merupakan obat pilihan
tama untuk meredakan sindrom maniak akut atau profilaksis terhadap serangan
sindrom mania yang kambuhan pada gangguan afektif bipolar. Efek anti mania
dari lithium disebabkan kemampuannya mengurangi dopamine reseptore
supersensitivity dengan meninggakatkan cholinergic muscarinik activity dan
menghambat CAMP

32
Terapi pada mania akut gangguan bipolar:
Litium 250-500 mg/h
Divalroat 3 x 250 mg/h
Lini I Litium, divalproat, olanzapine, risperidone,
quetiapine,aripiprazole, atau
Litium, atau divalproat + risperidone
Litium,atau divalproat + quetiapine
Litium atau divalproat + olanzapine
Litium atau divalproat + aripiprazol
Lini II Karbamazepin
Terapi kejang listrik (TKL)
Litium + divalproat
Paliperidon
Lini III Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat
haloperidol, klozapin, litium + karbamazepin,
(Maslim, 2014)
Rekomendasi terapi depresi akut ganggaun bipolar I
Lini I Litium, lamotrigine, quetiapine, quetiapine XR,
Litium atau divalproat + SSRI,
Olanzapine + SSRI
Litium + divalproat
Lini II Quetiapine + SSRI, divalproat, litium atau divalproat +
lamotrigine
Lini III Karbamazepin, olanzapine, TKL
litium+karbamazepin,
litium atau valproate +venlafaksin,
litium+MAOI
litium / divalproat / karbamazepin + SSRI + lamotrigen,
penambahan topiramit
(Maslim, 2014)
Rekomendasi terapi depresi akut gangguan bipolar II
Lini I Quetiapine
Lini II Divalproat,iamotrigin, divalproat, litium atau divalproat +
antidepresan,

33
Litium+divalproat,
Antipsikotika atipik+antidepresan
Lini III Antidepresan monoterapi (terutama untuk pasien yang jarang
mengalami hipomania)
(Maslim, 2014)
Obat anti depresan:
 Obat Trisiklik : telah digunakan selama 40 tahun untuk ganggaun depresi
berat. Memberikan efek terapi yang bermakna dalam waktu 3-4 minggu.
Semua antidepresan dapat bersifat toksik pada dosis yang berlebihan dan
menunjukkan efek samping.
 Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI), misalnya fluoxetine,
paroxetine (paxil), dan setralin (Zoloft).
 Golongan lain misalnya bupropion, venlafaxine, nefazodone (serzone) dan
mirtazapine (remeron) (Maslim, 2014).

Dosis Obat-obatan yang digunakan dalam terapi gangguan bipolar

a. Litium: 300 mg 2x sehari


b. Divalproex : 250-500 mg 2x sehari
c. Olanzapine : 2,5-5 mg 2x sehari
d. Aripiprazole: 10-15 mg/hari
e. Risperidone 0,5-1 mg 2x sehari
f. Quetiapine: 50 mg 2 x sehari
g. Ziprasidone 40-60 mg 2x sehari
h. Karbamazepine 200 mg 2 x sehari

34
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Defens Mechanism adalah suatu cara yang mendistorsi persepsi individu dari
realitas interna dan eksterna
b. Mekanisme defence mechanism terdiri dari Id, Ego dan Super Ego
c. Defense mechanism mature dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan ego
strength (kekuatan ego). Kekuatan ego terdiri atas ego resilience dan ego control.
d. Gangguan bipolar memiliki beberapa faktor, yaitu genetik, ketidakseimbangan
neurotransmitter, abnormalitas pada sirkuit saraf, dan faktor lingkungan.

3.2. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan dengan makalah ini mengenai ruang
lingkup abortus. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangan dan kelemahan, karena terbatasnya pengetahuan atau referensi yang kami
dapat mengenai pembahasan pada makalah ini. Kami sebagai penulis berharap para
pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

35
DAFTAR ISI

Amir, N. (2014) ‘Buku Ajar Psikiatri’, Buku Ajar Psikiatri. doi: 10.1590/S0080-
623420150000400009.
Cramer, P. (2012) ‘Psychological Maturity and Change in Adult Defense Mechanisms’,
Journal of Research in Personality. Elsevier.
Earle, W. J. (2014) ‘DSM-5’, Philosophical Forum. doi: 10.1111/phil.12034.
Hawkins, Del. I, Mothersbaugh, D. L. (2010) Consumer Behavior: Building Marketing
Stategy. 11 edition. New York: McGraw-Hill Irwin.
Maslim, R. (2013) ‘DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA RUJUKAN RINGKAS dari PPDGJ -
III dan DSM - 5’, in DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA RUJUKAN RINGKAS dari
PPDGJ - III dan DSM - 5.
Maslim, R. (2014) Panduan Praktis, Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 4th editio. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya.
Sadock BJ, Sadock VA, R. P. (2015) Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical
Psychiatry. 11th Editi. Philadeplphia.

36

Anda mungkin juga menyukai