Anda di halaman 1dari 12

STATUS MEDIS

HOLISTIK KOMPREHENSIF

NON-COMMUNICABLE DISEASE:

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh :
Chusnia Wardani
201910401011092

Pembimbing :
Dr. dr. Febri Endra Budi Setyawan, M.Kes., FISPH., FISCM

Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
2021
1
I. Definisi

Sebagai organ paling luar yang kontak dengan lingkungan, kulit ditempatkan

pada posisi yang berbahaya dari paparan dan serangan bahan kimia eksogen dan

agen fisik.1 Penyakit kulit akibat kerja merupakan salah satu penyakit akibat kerja

(occupational disease) yang banyak terjadi pada masyarakat, dan merupakan

penyakit akibat kerja kedua terbanyak di Eropa setelah cidera muskuloskeletal.

Penyakit kulit akibat kerja (dermatosis akibat kerja/DAK) merupakan semua

bentuk kelainan kulit dengan pajanan pekerjaan sebagai penyebab utama atau

sebagai faktor kontributor.2

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan

klinis berupa eflorensasi polimorfik (eritama, edema, papul, vesikel, skuama,

likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak timbul bersamaan,

bahakan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan

menjadi kronis.3 Sinonim dari dermatitis sendiri ialah eksim. Ada yang

membedakan antara dermatitis dan eksim tetapi pada umumnya menganggap

sama.4

Dermatitis kontak adalah dermatitis atau keradangan yang disebabkan

terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan atau alergen, dan

dalam hal ini paparan berasal dari lingkungan pekerjaan.5 Secara epidemiologi,

90-95% DAK adalah dermatitis kontak akibat kerja. 2 Dermatitis kontak dapat

berupa dermatitis kontak alergik (DKA), dermatitis kontak iritan (DKI) maupun

dermatitis foto kontak alergi (DFKA). Dermatitis kontak akibat kerja dapat terjadi

pada semua jenis pekerjaan termasuk pekerja rumah sakit, pekerja bangunan,

pekerja pabrik dan industri, pekerja salon, petani, pekerja kebun yang

2
berhubungan dengan tanaman, pupuk, pestisida, juga dapat terjadi pada

pekerjapekerja lain.6

Dermatitis kontak iritan atau DKI merupakan peradangan pada kulit akibat

efek sitotosik langsung dari bahan kimia, fisik, atau agen biologis pada sel-sel

epidermis tanpa adanya produksi dari antibodi spesifik.7 Dermatitis tangan iritan

kerja (OIHD) menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan, gangguan

kerja, dan ketidaknyamanan pada populasi yang bekerja. 8 Hampir 80% dari kasus

dermatitis merupakan DKI.9

II. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan dapat dialami oleh semua orang dari berbgai

golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah orang yang mengalami dermatitis

kontak iritan diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan dengan

pekerjaan atau DKI akibat kerja.10 Penyakit dermatitis, telah menjadi salah satu

dari sepuluh besar penyakit akibat kerja.11 Berdasarkan penelitian yang dilakukan

WHO pada tahun 1999 dalam Dinkes Surabaya (2014) tentang penyakit yang

dialami pekerja saat bekerja memperlihatkan bahwa penyakit kulit (dermatitis)

akibat kerja menempati posisi urutan keempat yaitu dengan persentase sekitar

10% yang didapat dari 5 (lima) benua.12

Insiden dari penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara adalah sama,

yaitu 50-70 kasus per 100.000 pekerja pertahun. Health and Safety Executive/HSE

dalam Budiyanto (2010) menyatakan bahwa antara tahun 2001 sampai 2002

terdapat sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan

oleh pekerjaan atau sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja. Di Amerika

Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh

dermatitis kontak.13

3
Prevalensi nasional dermatitis adalah 6,8% (berdasarkan keluhan

responden) Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi dermatitis cukup tinggi,

yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung,

DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan

Gorontalo.14,15 Banyak penelitian di Indonesia yang telah dilakukan terkait dengan

dermatitis kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo

dari 80 responden pada industri otomotif terdapat sebanyak 48,8% pekerja

mengalami dermatitis kontak. Pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa

pekerja yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 74% dari 54 responden.11

III. Diagnosis:

III.1 Diagnosis Kerja: Dermatitis kontak iritan et regio manus due to other

chemical products (L24.5)

III.2 Diagnosis Banding: Dermatitis kontak alergi et regio manus due to

other chemical products (L23.5) 

IV. Faktor risiko

Dermatitis kontak pada tangan terutama disebabkan oleh faktor pekerjaan. Sekitar

80% dermatitis kontak okupasional (DKO) mengenai tangan. 16 DKO adalah semua

bentuk kelainan kulit dengan pajanan pekerjaan sebagai penyebab utama atau merupakan

faktor yang berperan. Kondisi kulit yang abnormal disebabkan oleh berbagai bahan yang

berhubungan dengan lingkungan pekerjaan.17

IV.1 Proses produksi


Kurangnya kesadaran dan ketersediaan APD dalam proses pengeleman

sepatu Vans, meningkatkan resiko pekerja terkena Dermatitis Kontak Iritan. Hal

ini disebabkan oleh karena kandungan bahan iritan yang terkandung di dalam lem

yaitu toluena atau benzena. Menurut informsi kimia yang didapat dari situs resmi
4
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(SIKer Nas BPOM), toluena merupakan bahan berbahaya dimana dari segi

kesehatan memiliki tingkat keparahan tinggi apabila terhirup, tertelan atau

terkena kulit secara langsung. Berdasarkan informasi tersebut, pekerja dengan

tingkat paparan toluena yang tinggi, seperti pada unit pengecatan, maka

penggunaan APD berupa sarung tangan, apron, kacamata, dan masker gas

sangatlah penting. Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh paparan kronis

terhadap bahan iritan (contohnya tempat kerja yang basah, detergen, bahan

kimia).18 Beberapa faktor terkait dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja

adalah adanya paparan bahan kimia iritan, lama masa kerja, serta penggunaan alat

pelindung diri (APD) yang tidak maksimal.19

IV.2 Lingkungan Kerja

Pada proses pengeleman, diperlukan ruangan dengan ventilasi yang baik

agar sirkulasi udara bisa terjalin dengan baik, karena jika sirkulasi udara kurang,

paparan zat toluena yang ada di udara juga semakin tinggi. Dengan tingginya

jumlah zat toluena yang ada pada lingkungan kerja tersebut, membuat tingginya

resiko terjadinya Dermatitis Kontak Iritan pada pekerja tersebut semakin besar.

Selain itu lingkungan kerja juga senantiasa harus selalu menyediakan sarung

tangan guna meminimalisir pekerja jika sedang lupa untuk menggunakannya.

IV.3 Pekerja

Rendahnya kesadaran dan juga longgarnya peraturan perusahaan tentang

penggunaan APD membuat para pekerja semakin mengabaikan resiko untuk

terjadinya Dermatitis Kontak Iritan akibat zat toluena. Selain itu faktor individu

seperti sensitifitas kulit, adanya eksim, riwayat dermatitis sebelumnya, elastisitas

kulit, dan lain-lain mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak iritan pada

5
pekerja.20 Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan

biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan

disregulasi/ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik

meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,

mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma.21

V. Rencana Penatalaksanaan

Dermatitis kontak iritan (ICD) dapat terjadi pada paparan awal dan merupakan

hasil dari kelembaban yang berlebihan atau iritasi pada permukaan kulit. Bentuk

dermatitis kontak ini sering berwarna merah dan bersisik dengan batas yang tidak jelas.

Jika kelembaban terkait, hidrasi keratin mengarah ke permukaan maserasi putih, terutama

jika dressing oklusif atau keseimbangan kelembaban diterapkan secara lokal. 23

Manifestasi kulit dari dermatitis kontak tergantung pada bahan kimia, durasi dan sifat

kontak, dan kerentanan individu yang terpapar. Kesadaran akan bahan kimia yang muncul

sangat penting untuk keberhasilan diagnosis dermatosis kontak alergi dan iritan, yang

merupakan kondisi umum yang memberikan beban emosi, sosial, ekonomi, dan pekerjaan

yang signifikan.24

Gambar 1. Dermatitis Kontak Iritan pada Tangan

V.1 Promotif

6
a. Pekerja pabrik harus diberikan penyuluhan mengenai kesehatan dan keselamatan

kerja (K3) termasuk penggunaan APD terutama penggunaan masker gas,

kacamata, sepatu, apron, terutama sarung tangan panjang yang tahan dengan zat

toluena. Penyuluhan mengenai bahaya zat-zat kimia yang terdapat lingkungan

kerja juga perlu diberikan, jadi pekerja mengerti dan bisa melakukan manajemen

pencegahan resiko bahaya paparan zat-zat tersebut secara mandiri.

b. Perusahaan juga hendaknya memberlakukan sistem reward bagi para pekerja yang

tertib menggunakan APD, dan memberlakukan punisment bag para pekerja yang

tidak tertib menggunakan APD.

c. Memasang poster mengenai pentingnya pemakaian APD di setiap ruangan proses

produksi.

V.2 Preventif11

a. Menggunakan APD lengkap, terutama sarung tangan panjang saat bekerja karena

menggunakan APD dapat terhindar dari cipratan bahan kimia dan menghindari

kontak langsung dengan dengan bahan kimia

b. Menghindari kontak dengan bahan yang dapat mengiritasi

c. Menjaga self hygine

V.3 Kuratif

Terapi medikamentosa dibedakan menjadi topikal dan sistemik, obat-obatan

yang biasa digunakan berupa golongan kortikosteroid, antihistamin dan antibiotik.

Pelembab yang digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan krim penghalang

dapat menghasilkan efek perlindungan yang penting secara klinis, baik dalam jangka

panjang atau jangka pendek, untuk pencegahan utama OIHD. Krim penghalang saja

mungkin memiliki sedikit efek perlindungan, tetapi ini tampaknya tidak penting

secara klinis.8 Penggunaan pelembab telah direkomendasikan oleh Masyarakat

7
Dermatitis Kontak Eropa dalam pedoman terbaru mereka untuk pencegahan dan

terapi dermatitis tangan akibat kerja.25

a. Sistemik

- Antihistamin : Loratadin dosis dewasa 1 tablet/hari, cetirizine 10 mg 1 kali

sehari

- Jika kasus akut dengan intensitas gejala sedang-berat serta pada DKA yang

sulit disembuhkan, gunakan kortikosteroid: Prednisone 5-10mg/dosis 2-3

kali/24 jam kemudian diturunkan secara berkala sebanyak 5 mg setiap harinya.


27

b. Topikal

- Bila lesi kulit kering: Kortikosteroid (hidrokortison 2,5% dan flucinolol

asetonide 0,025%) krim atau salep jika efloresensi likenifikasi dan

hiperkeratosis.

- Bila lesi kulit eksudatif: Kompres larutan garam faali (NaCl 0,9%). 27

c. Terapi Non-farmakologis:

Menghindari bahan yang menjadi sumber penyebab. 26

V.4 Rehabilitatif

a. Minum obat secara teratur

b. Kompres/gunakan krim secara teratur karena menurut Djuanda (2018), dermatitis

kontak dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut: gatal kronis, kulit

bersisik.27

c. Kontrol ke dokter secara teratur karena apabila gatal terjadi kronis dan anda

berulang kali menggaruk, dapat menyebabkan ruam menjadi basah dan

mengeluarkan cairan. Hal ini dapat memicu bakteri atau jamur untuk tumbuh dan

dapat menyebabkan infeksi. 28

8
VI.Referensi

1. Ale I, Maibach H. Diagnostic Approach in Allergic and Irritant Contact Dermatitis


[Internet]. Medscape [Internet]. 2020 [diakses 2 Januari 2021]. Tersedia dari: https://w
ww.medscape.com/viewarticle/719914_

2. Balgis,Verdy, Satiti Retno, Niken Indrastuti, Hardyanto Soebono. 2015. Dermatitis


Kontak Akibat Kerja Pada Pekerja Kebun Anggrek. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK Universitas Gadjah Mada. RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

3. Sularsito S, W.S R. Dermatitis Kontak. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi VIII
cetakan I. 2015. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

4. Dana I, Praharsini I. Profil Dermatitis Kontak Alergi Di Puskesmas II Denpasar Timur


Periode Januari 2013 Sampai Desember 2013. E-Jurnal Medika [Internet]. 2016 [diunduh
2 Januari 2021];5(11):1-3. Tersedia dari:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/24702/15942

5. Dinar Witasari, Hari Sukanto. 2014. Dermatitis KontakAkibat Kerja: Penelitian


Retrospektif (Occupational Contact Dermatitis: Retrospective Study). Surabaya. BIKKK
- Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin - Periodical of Dermatology and
Venereology.

6. Frosch PJ, Kugler K. Occupational contact dermatitis. Dalam: Johansen J, Frosch P,


Lepoittevin J, penyunting. Contact Dermatitis. Edisi ke-5. London, New York: Springer;
2011.h. 831-41.

7. Wijaya, Darmada, dan Rusyati. 2016. Edukasi dan Penatalaksanaan Dermatitis Kontak
Iritan
Kronis Di RSUP Sanglah Denpasar Bali Tahun 2014/2015. Denpasar. E-Jurnal Medika,
Vol. 5 No.8, ISSN: 2303-1395.

8. Bauer A, Rönsch H, Elsner P, et al. 2018. Interventions for preventing occupational

9
irritant hand dermatitis. Cochrane Database Syst Rev. 2018; 4(4): CD004414.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6494486/

9. Afifa D. Dermatitis Kontak Iritan Akibat Paparan Bawang Putih (Allium sativum). Jurnal
Agromedicine [Internet]. 2019 [diunduh 2 Januari 2021];6(2):379-382. Tersedia dari:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/2416/pdf

10. Sularsito S, W.S R. Dermatitis Kontak. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi VIII
cetakan I. 2015. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

11. Putri, Sartika Aulia., Nirmala, Fifi., dan Akifah. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Gejala Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor Di Wilayah Kota Kendari
Tahun 2016. JIMKESMAS Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat [Internet].
2017 [diunduh 2 Januari 2021];2(6):1-8. Tersedia dari:
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/article/viewFile/2856/2132

12. Fielrantika S, Dhera A. Hubungan Karakteristik Pekerja, Kelengkapan Dan Higienitas


Apd Dengan Kejadian Dermatitis Kontak (Studi Kasus Di Rumah Kompos Jambangan
Surabaya). The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health [Internet]. 2017
[diunduh 2 Januari 2021];6(1):16-26. Tersedia dari: https://e-
journal.unair.ac.id/index.php/IJOSH/article/view/3207

13. Alifariki, La Ode., Kusnan, Adius., dan Saida. Determinan Kejadian Dermatitis Kontak
Pada Pekerja Bengkel di Kota Kendari. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah. 2019
[diunduh 2 Januari 2021]: 4(2) http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM

14. Laila F., Suhigarto. Keluhan Dermatosis Pada Pekerja Pengupas Singkong. HIGEIA:
Journal Of Public Health Research And Development [Internet]. 2017 [diunduh 2 Januari
2021];1(1):65-72. Tersedia dari:
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/13996/7649

15. Departemen Kesehatan Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. 2010. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.

16. Honari G, Taylor JS, Sood A. 2012. Occupational skin disease and skin diseases due to
biologic warfare. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
Wolff K, Penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw Hill Companies; 2012. h. 2611-21.

17. Ariwibowo, Cekti C, Sylviningrum, Indrastuti, Danarti R. 2013. Dermatitis Kontak

10
Okupasional pada Tangan Perawat Bangsal Rumah Sakit: Kasus Seri. FK Universitas
Gadjah Mada. Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 42s – 49s.

18. Burge, S., Matin, R., Wallis D. Oxford Handbook of Medical Dermatology. 2016: pp.22.
United Kingdom: Oxford University Press.

19. Saftarina F, Sibero H, Aditya M, Dinanti B. Prevalensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja
dan Faktor yang Mempengaruhinya pada Pekerja Cleaning Service di Rumah Sakit
Umum Abdul Moeloe. Prosiding Seminar Presentasi Artikel Ilmiah Dies Natalis FK
Unila ke 13 [Internet]. 2015 [diunduh 2 Januari 2021];:19-25. Tersedia dari:
http://fk.unila.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/4.pdf

20. Brasch J, Becker D, Aberer W, Bircher A, Kränke B, Jung K et al. Guideline contact
dermatitis. Allergo Journal International [Internet]. 2014 [diunduh 2 Januari
2021];23(4):126-138. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4484750/pdf/40629_2014_Article_13.pd
f

21. Dinar V. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja
pada Karyawan Salon. Jurnal Agromed Unila [Internet]. 2015 [diunduh 2 Januari
2021];2(2):156-160. Tersedia dari:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/1206

22. Lurati A. Occupational Risk Assessment and Irritant Contact Dermatitis. Workplace
Health & Safety [Internet]. 2015 [diunduh 2 Januari 2021];63(2):81-87. Tersedia dari:
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/2165079914565351

23. Alavi A, Sibbald RG, Ladizinski B, et al. 2016. Wound-Related Allergic/Irritant Contact
Dermatitis. Adv Skin Wound Care;29(6):278-286. doi:10.1097/01.ASW.0000482834 .
94375.1e

24. Milam EC, Cohen DE. 2019. Contact Dermatitis: Emerging Trends. Dermatol Clin;
37(1):21-28. doi:10.1016/j.det.2018.07.005

25. Jakasa I, Thyssen JP, Kezic S. 2018. The role of skin barrier in occupational contact
dermatitis. Exp Dermatol. 2018;27(8):909-914. doi:10.1111/exd.13704

26. Universitas Airlangga. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 2. 2016: pp.106.
Surabaya: SMF Penyakit Kulit dan Kelamin Universitas Airlangga.

11
27. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2018. Jakarta: Fakultas. Kedokteran
Universitas Indonesia.

28. Ansela Y, Wuni C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Upaya Pencegahan


Dermatitis Kontak Iritan Pada Pekerja Cucian Motor. Journal of Healthcare Technology
and Medicine [Internet]. 2020 [diunduh 2 Januari 2021];6(1):459-467. Tersedia dari:
http://jurnal.uui.ac.id/index.php/JHTM/article/viewFile/713/326

12

Anda mungkin juga menyukai