س أ َل ُو ن َ َك
ْ َ ع ت َز ل ُوا أ َذ ًى ه ُ َو ق ُ ْل ۖ ا لْ َم ح يض عَن َو ي ْ ف ي الن سَ ا َء ف َ ا
ْ َ ت َطَ ه ْر َن ف َ إ ذ َا ۖ ي
ط ُه ْر َن َح ت ى ت َقْ َر ب ُو ه ُ ن َو َل ۖ ا لْ َم ح يض
ث م ْن ف َ أ ْت ُو ه ُ ن
ُ َْو ي ُ ح ب الت و اب ي َن ي ُ ح ب ّللا َ إ ن ۚ ّللا ُ أ َ َم َر كُ مُ َح ي
ا لْ ُم ت َطَ ه ر ي َن
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, Katakanlah: Haid itu adalah
suatu kotoran. Oleh sebab itu,hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan
di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka,sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
mensucikan diri”. (Q.S. Al-Baqarah: 222)
b. Selama masa nifas dan haid, perempuan dilarang melakukan shalat. Hadits yang
menggambarkan hal tersebut adalah ketika Nabi Muhammad SAW mengatakan
kepada Fatimah binti Abis Hubaisy: “Apabila haid setelah datang, tinggalkanlah
shalat, dan apabila telah selesai, maka mandilah dan shalatlah” (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Daud, at_Tirmidzi dan Nasa’i).
Didalam buku berjudul “alfiqih al-Islami wa Adillatuh” (Fikih Islam dan
Dalil-dalilnya), seorang ahli fikih dan ushul fikih dari Suriah, Wahbah az-Zuhaili,
mengatakan bahwa ada tujuh hal yang diharamkan bagi perempuan nifas yang
berlaku pula bagi perempuan haid dan junub). Ketujuh hal tersebut adalah, 1)
melakukan shalat, 2) melakukukan sujud tilawah, 3) menyentuh mushaf (al-
qur’an), 4) memasuki masjid, 5) melakukan thawaf, 6) melakukan rikaf, 7)
membaca Al-qur’an.
Menurut Madzahab Maliki, perempuan yang nifas dan haid (apabila darah
sudah tidak keluar lagi dan belum mandi) diperbolehkan membaca al-Qur’an. Hal
ini berlaku pula bagi perempuan yang sedang dalam keadaan junub. Menurut
Madzhab Hanafi dan Syafi’i, terdapat delapan hal yang diharamkan bagi
perempuan sedang nifas dan haid, yaitu tujuh larangan yang dikemukakan
Wahbah az-Zuhaili diatas, dan ditambah dengan haram berpuasa. Sedangkan,
Madzhab Maliki menambah larangan-larangan tersebut dengan haram berpuasa,
haram ditalak, haram bersenggama di faraj dan selain faraj sebelum berhenti
keluarnya darah, dan bersenggama setelah berhentinya keluar darah tetapi belum
mandi.
Adapun penjelasan dan dasar-dasar dari hal-hal yang haram dilakukan
perempuan dikala nifas dan haid adalah sebagai berikut:
1) Larangan melakukan shalat. Larangan ini didasarkan atas hadist Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Fatimah binti Abi Hubaisy di atas,
Para ulama telah sepakat bahwa selama haid dan nifas, kewajiban perempuan
melakukan shalat menjadi gugur dan tidak perlu di qadha. Hal ini didasarkan
pada Hadist yang diriwayatkan dari Aisyah binti Abu Bakar r.a. sebagai
berikut: “Karena diperintahkan meng-qadha puasa tetapi tidak diperintahkan
untuk meng-qadha shalat” (HR. Bukhari, Muslim Abu Daud, at-Tirmidzi,
Nasa’i dan Ibnu Majah)
2) Larangan melakukan puasa dengan ketentuan puasa yang ditinggalkan karena
haid dan nifas harus di qadha di hari lainnya. Laranagn ini didasarkan pada
Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. di atas.
3) Larangan melakukan thawaf. Hal ini didasarkan pada Hadits yang
disampaikan Rasulullah SAW kepada Aisyah r.a. sebagai berikut: “Apabila
engkau dalam keadaan haid, kerjakanlah hal-hal yang dikerjakan oleh orang-
orang haji lainnya, tetapi engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah
kecuali setelah suci”.
4) Larangan membaca al-Qur’an. Larangan ini didasarkan pada Hadits Nabi
Muhammad SAW, sebagai berikut: “Tidak diperbolehkan bagi perempuan
haid dan junub membaca sesuatu pun dari al-Qur’an (HR. at Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Baihaqi).
5) Larangan bersenggama. Larangan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 222 dan handits Nabi Muhammad SAW berikut: “apa yang
halal bagiku dari istriku, padahal dia dalam keadaan haid. Nabi SAW
menjawab: yang halal bagimu ialah apa yang terdapat diatas sarungnya.”
6) Larangan ditalak (dicerai). Suami dilarang menalak istrinya yang dalam
keadaan haid. Larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S. at
Thalaq ayat 1 dan hadist yang diriawayatkan oleh Jama’ah (selain Bukhari)
yang menjelaskan bahwa Ibnu Umar (Abdullah bin Khattab) pernah menalak
istrinya dalam keadaan haid. Lalu Umar bin Khattab, ayah Abdullah,
menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Kemduian Rasulullah
SAW bersabda: “suruhlah dia untuk merujuk istrinya, kemudian menalaknya
setelah istrinya bersih”.
4) Bersuci Nifas
Perempuan wajib bersuci apabila nifasnya telah berhenti, yaitu dengan mandi
junub, yang tata-caranya sama dengan mandi janabat. Cara mandi junub bagi
perempuan yang telah selesai nifas adalah seperti dalam hadit berikut: Dari Aisyah r.a:
“Adalah Rasullah SAW, bila mandi janabat dimulai dengan mencuci kedua tangannya,
kemudian menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kirinya, kemudian
membasuh kemaluannya, kemudian berwudhu (seperti wudhu ketika akan shalat).
Kemudian mengambil air dan menggosokan jari-jari tangannya ke pangkal
rambutnya, lalu air tersebut disapukan tiga kali ke atas kepalanya, lalu menyiramkan
air ke seluruh badannya kemudian mencucui kedua kakinya”. (HR. Bukhari Muslim)
Bagi perempuan yang rambutnya lebat atau diikat menjadi bebrapa bagian, maka
ikatannya tidak perlu dilepas. Ia cukup mengguyurkan air ke atas kepalanya sebanyak
tiga kali. Hal ini didasarkan pada hadist berikut: “Dari Ummu Salamah, ujarnya saya
berkata: wahai Rasullah, saya adalah seorang perempuan yang berrambut kepala lebat.
Apakah untuk mandi janabat, saya harus melepas ikatannya(menguraikannya). Dalam
riwayatnya disebutkan: mandi sesudah haid Sabdanya: Tidak, engkau cukup
menyiramkan air ke atas tiga kali siraman.” (HR. Muslim).
Secara singkat perempuan yang selesai nifas, wajib bersuci dengan urutan tata cara
sebagai berikut:
a. Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
b. Membasuh kemaluan
c. Berwudhu, namun tidak dengan membasuh kedua kaki.
d. Menuangkan air sebanyak tiga kali ke atas kepala sambal menggosok rambut
hingga terasa air kekulitnya.
e. Menyiramkan air ke seluruh badan.
f. Mencuci kedua kaki pada waktu mandi janabat, dan dianjurkan untuk
menggunakan sabun, sampo atau bahan pembersih lainnya. Setelah bersuci dari
nifas, maka hal-hal yang dilarang pada masa nifas menjadi gugur atau bebas dari
larangan tersebut.
Setelah mandi junub, ia wajib mengerjakan kewajiban pokok ibadah, yaitu shalat
dan puasa (apabila waktunya bertepatan dengan bulan Ramadhan atau
menggantinya dengan fidyah kalau ia tidak berpuasa Ramadhan). Hal serupa juga
berlaku bagi perempuan yang sedang dalam masa menyusui bayi. Ia boleh memilih
anatara puasa Ramadhan atau tidak. Jika tidak berpuasa wajib baginya untuk
membayar fidyah, yaitu memberikan makan seorang miskin setiap hari.
5) Mengisi Waktu saat Nifas
Cukup panjangnya masa nifas acapkali membuat perempuan bertanya-tanya: Apa yang
boleh saya lakukan untuk mendekatkan diri pada Allah di masa nifas? Kegiatan apa
yang dapat saya lakukan selama nifas? Keduanya barangkali merupakan pertanyaan -
pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh perempuan selama masa nifas.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hendaknya seorang perempuan mengisi waktu
selama nifas dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat, diantaranya adalah:
a. Tidak tidur berlebih-lebihan
b. Menyebut asma Allah sebanyak mungkin
c. Basahilah lidah dengan dzikrullah.
d. Dengarkanlah tilawatil al-Qur’an.
e. Bacalah buku-buku dan majalah islam untuk menambah pengetahuan dan
wawasan.
f. Jika memungkinkan, lakukanlah kunjungan (silahturrahim) kepada keluarga dan
tetangga terdekat dan muhrim.
g. Berikanlah pengarahan kepada para Muslimah yang terdekat dan belum menikah
untuk tidak banyak menolak lamaran orang-orang yang memiliki dien yang baik.
Berikanlah gambaran kepada mereka akan keutamaan peran ibu bagi keluarganya
dimata Allah dan Rasul-Nya.
h. Lakukanlah pekerjaan rumah tangga sebagaimana bisanya dengan melihat sejauh
mana kondisi kesehatan anda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
https://bintalislamdja.wordpress.com/2013/05/15/amalan-amalan-setelah-melahirkan (22-10-
2018) (12.00)
Majelis Tabligh dan Majelis Pelayanan Kesehatan Umum. 2013.Buku Pendamping Panduan
Dakwah Rumah Sakit Muhammadiyah/ ‘Aisyiyah. Yogyakarta: GRAMASURYA