Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KEBIDANAN DALAM ISLAM

AMALAN-AMALAN SETELAH MELAHIRKAN


UNTUK IBU NIFAS DAN BAYI

ALFIAH RAHMA (1810104382)


JIHAN FITRA HARA (1810104383)
AUDINA SHOLICHA (1810104384)
TRI DAMAYANTI (1810104385)
MIFTAHUL JANNAH (1810104386)
KELAS F4

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TiNJAUAN PUSTAKA

1. Amalan-amalan Setelah Melahirkan


A. Do’a selesai melahirkan dengan Selamat
Apabila telah selesai melahirkan dengan selamat, maka bersyukurlah kepada Allah
SWT dengan mengucapkan: “Alhamdulillahi rabbil’alamin”. Kemudian, bacalah
dzikir atau do’a dibawah ini:
1. Do’a untuk bayi yang baru lahir
U’iidzuka bikalimatillahit taammati min kulli syaithaanin wa haamatin wa min
klli’ainin laammatin.
Artinya: “Aku memohon perlindungan untukmu dengan kalimat-kalimat Allah
yang Maha sempurna dari segala setan dan binatang berbahaya dan dari segala
mata yang jahat” (HR. Bukhari).
2. Apabila anak yang dilahirkan cacat, hendaklah membaca:
Biqadarillahi wa maa syaa-a fa’ala
Artinya: “Karena kehendak Allah lah apa-apa yang Dia lakukan”
Sekalipun anaknya terlahir dalam keadaan cacat, tetapi sebagai orang tuan,
hendaklah seluruh kasih saying dicurahkan kapadanya. Terimalah anak tersebut
sebagai sebuah amanah Allah SWT dengan penuh Ridha dan kasih sayang.
3. Apabila Anak yang dilahirkan meninggal, bacalah do’a:
Inna lillahi wa innaa ilaihi raa-ji’uun, Allahumma ajarnii fii mushily-batli
wakhluflii khairan, minha.
Artinya: “sesungguhnya, kami, kepunyaan Allah dan kepada-Nya kami kembali,
ya allah berilah pahala kepadku terhadap musibah yang menimpaku dan berilah
kepadaku ganti yang lebih baik”. (HR. Muslim).
B. Mengazankan dan Mengiqamahkan
Dalil:
Dari Musyadda, dari Yahya, dari Sufyan, dari ‘Ashim bin ‘Ubaid, dari ‘Ubaid bin
Abi Rafi’ dari ayahnya, yaitu Abu Rafi’ radhiallahu’anhu: “Aku melihat
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam mengadzankan di telinga Hasan bin
Ali radhiallahu’anhu ketika dilahirkan oleh Fathimah radhiallahu’anha dengan
sholat.” (HR. Abu Daud)
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dengan jalur periwayatan yang
sedikit berbeda, yaitu dari Muhammad bin Basshar dari Yahya bin Said dan
Abdurrahman bin Mahdi, keduanya mendengar dari Sufyan dari ‘Ashim bin ‘Ubaid
dari ‘Ubaid bin Abi Rafi’ dari ayahnya, yaitu Abu Rafi’ radhiallahu’anhu. (sanadnya
hasan)
Agama islam telah mengajarkan tentang cara mengurus bayi sehingga
kehadirannya dapat dirawat dengan baik dan penuh kasih sayang. Ketentuan Islam
tentang merawat bayi bukan hanya ditunjukkan pada saat buah hati itu lahir didunia,
tetapi beberapa saat setelah lahir hingga ia disapih. Berikut ini adalah rangkaian
hukum-hukum yang berkaitan dengan bayi yang baru dilahirkan hingga disapih.
1) Tahnik (mengusap langit-langit mulut dengan kurma)
Mulut bagian atas disebut Al-Hanak, sedangkan membersihkan mulut bayi
disebut Tahnik. Secara luas, tahnik adalah membersihkan mulut bayi bagian atas
dari dalam dengan kurma yang dilumatkan.apabila tidak ada kurma maka dapat
diganti dengan buah-buahan lainnya yang rasanya manis. Hal ini telah
dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Tujuan membersihkan mulut bayi adalah untuk mempersiapkan mulut bayi
agar dapat menetek dan menyedot air susu ibunya. Demi memperoleh keberkahan
maksimal,sebaiknya orang yang dipilih untuk melakukan tahnik adalah mereka
yang bertakwa kepada Allah SWT. Dalam sebuah Hadits dikatakan bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah melakukan tahnik terhadap beberapa anak dari sahabat
Anshar.
“Abu Musa r.a. berkata: aku dikaruniai seorang putra kemudian aku
membawanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Beliau menamakannya Whim,
mengusap langit-langit mulut dengan kurma dan didoa’kan agar mendapatkan
keberkahan, setelah itu baru diserahkan kepadaku (HR.Bukhari Muslim).
Disahkan oleh Asma r.a bahwa ditengah mengandung Abdullah bin Zubir di
Makkah. Kemudian dia hijrah ke Madinah dan sesampainya di Quba Beliau
melahirkan Abdullah. Kemudian beliau letakkan bayi itu diharibaannya dan
dimintanya sebuah kurma. Kemudian kurma itu dilumatkan hingga halus, dan
Beliau masukkan ke dalam mulut bayi. Beliau kemudian membersihkan mulut
anak tersebut, dan mendo’akannya agar Allah berkenan memberkatinya.
Adapun manfaat melakukan tahnik adalah untuk menguatkan sayaraf-sayaraf
mulut bayi. Penguatan syaraf ini terjadi karena adanya gerakan lidah yang
bersentuhan dengan langit-langit mulut rahang bagian atas dan bawah, tepatnya
melalui jilatan ujung lidah.
2. Nifas dalam Syari’at Islam
1) Pengertian Nifas
Nifas merupakan darah yang keluar sesudah atau karena melahirkan. Dalam bahasa
Arab, bentuk tunggal dari perempuan yang melahirkan disebut nufasa dan nifas.
Sedangkan dalam bentuk jamak, perempuan yang melahirkan disebut nufus atau
nawafis.
Di kalangan para ulama, terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan darah
nifas. Menurut Madzhab Hanafi dan Syafi’i, nifas adalah darah yang keluar sesudah
melahirkan. Sedangkan darah yang keluar bersamaan dengan bayi ketika dilahirkan
atau sebelumnya, bukan merupakan darah nifas, melainkan darah penyakit dan darah
istihadah (darah penyakit yang keluar terus menerus), menurut Madzhab Hambali,
nifas adalah darah yag keluar karena bersalin. Oleh karena itu, darah keluar saat
sebelum bersalin dan sesudah bersalin adalah darah nifas.
Sedangkan, menurut Madzhab Maliki, nifas merupakan darah yang keluar dari
kelamin perempuan hanya pada saat melahirkan atau sesudahnya. Menurut Madzhab
ini, darah yang keluar sebelum bersalin bukan nifas, melahirkan darah haid. Didalam
buku “Fiqh Sunnah”, as-Syayyid Saabiq menjelaskan bahwa nifas adalah darah yang
keluar dari vagina seorang perempuan yang disebabkan oleh melahirkan anak,
walaupun berupa keguguran.
Kesimpulan ini, apabila terdapat darah yang bercampur lendir keluar dari vagina
sewaktu akan melahirkan bukanlah darah nifas, melainkan hanya salah satu gejala
bahwa persalinan akan terjadi.
Oleh karena itu, perempuan itu wajib melaksanakan shalat. Memelihara shalat
sebelum bayi lahir sangat penting dilakukan. Selain untuk mendekatkan diri kepada
Allah, shalat sebelum bayi lahir juga dapat sebagai obat penenang jiwa yang sebaik-
baiknya.
2) Masa Nifas
Setiap perempuan memiliki waktu masa nifas yang berbeda-beda. Kenyataan ini
acapkali menjadikan para ulama berbeda pendapat tentang masa nifas. Ulama Madzhab
Syafi’i berpendapat bahwa nifas umumnya berlangsung selama 40 hari dan maksimal
60. Pendapat ini sejalan dengan ulama Madzhab Maliki yang juga mengatakan bahawa
nifas paling lama berlangsung selama 60 hari.
Sedangkan, ulama Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa nifas hanya
berlangsung selama 40 hari. Apabila setelah masa itu darah tetap keluar, maka darah
itu bukan lagi darah nifas, melainkan darah istihadah (darah karena penyakit). Masa
nifas yang berlangsung selama 40 hari ini didasarkan beberapa hadits Rasulullah SAW,
dan diantaranya adalah yang diriwayatkan dari Ummu Salamah: “Bahwa perempuan
yang sedang nifas pada masa Rasulullah SAW harus duduk (tidak beribadah) selama
40 hari 40 malam (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hanbal)
3) Nifas dan Haid dalam Hukum Islam
Dalam beberapa hal, nifas disamakan dengan haid. Kesamaan antara keduanya bisa
dilihat dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “nifas itu seperti
haid” (HR ad-Darimi). Beberapa hukum haid, berlaku juga pada nifas. Diantara
hukum-hukum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban mandi bagi perempuan yang telah selesai nifas dan haid. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT.

‫س أ َل ُو ن َ َك‬
ْ َ ‫ع ت َز ل ُوا أ َذ ًى ه ُ َو ق ُ ْل ۖ ا لْ َم ح يض عَن َو ي‬ ْ ‫ف ي الن سَ ا َء ف َ ا‬
ْ َ ‫ت َطَ ه ْر َن ف َ إ ذ َا ۖ ي‬
‫ط ُه ْر َن َح ت ى ت َقْ َر ب ُو ه ُ ن َو َل ۖ ا لْ َم ح يض‬
‫ث م ْن ف َ أ ْت ُو ه ُ ن‬
ُ ْ‫َو ي ُ ح ب الت و اب ي َن ي ُ ح ب ّللا َ إ ن ۚ ّللا ُ أ َ َم َر كُ مُ َح ي‬
‫ا لْ ُم ت َطَ ه ر ي َن‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, Katakanlah: Haid itu adalah
suatu kotoran. Oleh sebab itu,hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan
di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka,sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
mensucikan diri”. (Q.S. Al-Baqarah: 222)
b. Selama masa nifas dan haid, perempuan dilarang melakukan shalat. Hadits yang
menggambarkan hal tersebut adalah ketika Nabi Muhammad SAW mengatakan
kepada Fatimah binti Abis Hubaisy: “Apabila haid setelah datang, tinggalkanlah
shalat, dan apabila telah selesai, maka mandilah dan shalatlah” (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Daud, at_Tirmidzi dan Nasa’i).
Didalam buku berjudul “alfiqih al-Islami wa Adillatuh” (Fikih Islam dan
Dalil-dalilnya), seorang ahli fikih dan ushul fikih dari Suriah, Wahbah az-Zuhaili,
mengatakan bahwa ada tujuh hal yang diharamkan bagi perempuan nifas yang
berlaku pula bagi perempuan haid dan junub). Ketujuh hal tersebut adalah, 1)
melakukan shalat, 2) melakukukan sujud tilawah, 3) menyentuh mushaf (al-
qur’an), 4) memasuki masjid, 5) melakukan thawaf, 6) melakukan rikaf, 7)
membaca Al-qur’an.
Menurut Madzahab Maliki, perempuan yang nifas dan haid (apabila darah
sudah tidak keluar lagi dan belum mandi) diperbolehkan membaca al-Qur’an. Hal
ini berlaku pula bagi perempuan yang sedang dalam keadaan junub. Menurut
Madzhab Hanafi dan Syafi’i, terdapat delapan hal yang diharamkan bagi
perempuan sedang nifas dan haid, yaitu tujuh larangan yang dikemukakan
Wahbah az-Zuhaili diatas, dan ditambah dengan haram berpuasa. Sedangkan,
Madzhab Maliki menambah larangan-larangan tersebut dengan haram berpuasa,
haram ditalak, haram bersenggama di faraj dan selain faraj sebelum berhenti
keluarnya darah, dan bersenggama setelah berhentinya keluar darah tetapi belum
mandi.
Adapun penjelasan dan dasar-dasar dari hal-hal yang haram dilakukan
perempuan dikala nifas dan haid adalah sebagai berikut:
1) Larangan melakukan shalat. Larangan ini didasarkan atas hadist Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Fatimah binti Abi Hubaisy di atas,
Para ulama telah sepakat bahwa selama haid dan nifas, kewajiban perempuan
melakukan shalat menjadi gugur dan tidak perlu di qadha. Hal ini didasarkan
pada Hadist yang diriwayatkan dari Aisyah binti Abu Bakar r.a. sebagai
berikut: “Karena diperintahkan meng-qadha puasa tetapi tidak diperintahkan
untuk meng-qadha shalat” (HR. Bukhari, Muslim Abu Daud, at-Tirmidzi,
Nasa’i dan Ibnu Majah)
2) Larangan melakukan puasa dengan ketentuan puasa yang ditinggalkan karena
haid dan nifas harus di qadha di hari lainnya. Laranagn ini didasarkan pada
Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. di atas.
3) Larangan melakukan thawaf. Hal ini didasarkan pada Hadits yang
disampaikan Rasulullah SAW kepada Aisyah r.a. sebagai berikut: “Apabila
engkau dalam keadaan haid, kerjakanlah hal-hal yang dikerjakan oleh orang-
orang haji lainnya, tetapi engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah
kecuali setelah suci”.
4) Larangan membaca al-Qur’an. Larangan ini didasarkan pada Hadits Nabi
Muhammad SAW, sebagai berikut: “Tidak diperbolehkan bagi perempuan
haid dan junub membaca sesuatu pun dari al-Qur’an (HR. at Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Baihaqi).
5) Larangan bersenggama. Larangan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 222 dan handits Nabi Muhammad SAW berikut: “apa yang
halal bagiku dari istriku, padahal dia dalam keadaan haid. Nabi SAW
menjawab: yang halal bagimu ialah apa yang terdapat diatas sarungnya.”
6) Larangan ditalak (dicerai). Suami dilarang menalak istrinya yang dalam
keadaan haid. Larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S. at
Thalaq ayat 1 dan hadist yang diriawayatkan oleh Jama’ah (selain Bukhari)
yang menjelaskan bahwa Ibnu Umar (Abdullah bin Khattab) pernah menalak
istrinya dalam keadaan haid. Lalu Umar bin Khattab, ayah Abdullah,
menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Kemduian Rasulullah
SAW bersabda: “suruhlah dia untuk merujuk istrinya, kemudian menalaknya
setelah istrinya bersih”.
4) Bersuci Nifas
Perempuan wajib bersuci apabila nifasnya telah berhenti, yaitu dengan mandi
junub, yang tata-caranya sama dengan mandi janabat. Cara mandi junub bagi
perempuan yang telah selesai nifas adalah seperti dalam hadit berikut: Dari Aisyah r.a:
“Adalah Rasullah SAW, bila mandi janabat dimulai dengan mencuci kedua tangannya,
kemudian menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kirinya, kemudian
membasuh kemaluannya, kemudian berwudhu (seperti wudhu ketika akan shalat).
Kemudian mengambil air dan menggosokan jari-jari tangannya ke pangkal
rambutnya, lalu air tersebut disapukan tiga kali ke atas kepalanya, lalu menyiramkan
air ke seluruh badannya kemudian mencucui kedua kakinya”. (HR. Bukhari Muslim)
Bagi perempuan yang rambutnya lebat atau diikat menjadi bebrapa bagian, maka
ikatannya tidak perlu dilepas. Ia cukup mengguyurkan air ke atas kepalanya sebanyak
tiga kali. Hal ini didasarkan pada hadist berikut: “Dari Ummu Salamah, ujarnya saya
berkata: wahai Rasullah, saya adalah seorang perempuan yang berrambut kepala lebat.
Apakah untuk mandi janabat, saya harus melepas ikatannya(menguraikannya). Dalam
riwayatnya disebutkan: mandi sesudah haid Sabdanya: Tidak, engkau cukup
menyiramkan air ke atas tiga kali siraman.” (HR. Muslim).
Secara singkat perempuan yang selesai nifas, wajib bersuci dengan urutan tata cara
sebagai berikut:
a. Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
b. Membasuh kemaluan
c. Berwudhu, namun tidak dengan membasuh kedua kaki.
d. Menuangkan air sebanyak tiga kali ke atas kepala sambal menggosok rambut
hingga terasa air kekulitnya.
e. Menyiramkan air ke seluruh badan.
f. Mencuci kedua kaki pada waktu mandi janabat, dan dianjurkan untuk
menggunakan sabun, sampo atau bahan pembersih lainnya. Setelah bersuci dari
nifas, maka hal-hal yang dilarang pada masa nifas menjadi gugur atau bebas dari
larangan tersebut.
Setelah mandi junub, ia wajib mengerjakan kewajiban pokok ibadah, yaitu shalat
dan puasa (apabila waktunya bertepatan dengan bulan Ramadhan atau
menggantinya dengan fidyah kalau ia tidak berpuasa Ramadhan). Hal serupa juga
berlaku bagi perempuan yang sedang dalam masa menyusui bayi. Ia boleh memilih
anatara puasa Ramadhan atau tidak. Jika tidak berpuasa wajib baginya untuk
membayar fidyah, yaitu memberikan makan seorang miskin setiap hari.
5) Mengisi Waktu saat Nifas
Cukup panjangnya masa nifas acapkali membuat perempuan bertanya-tanya: Apa yang
boleh saya lakukan untuk mendekatkan diri pada Allah di masa nifas? Kegiatan apa
yang dapat saya lakukan selama nifas? Keduanya barangkali merupakan pertanyaan -
pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh perempuan selama masa nifas.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hendaknya seorang perempuan mengisi waktu
selama nifas dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat, diantaranya adalah:
a. Tidak tidur berlebih-lebihan
b. Menyebut asma Allah sebanyak mungkin
c. Basahilah lidah dengan dzikrullah.
d. Dengarkanlah tilawatil al-Qur’an.
e. Bacalah buku-buku dan majalah islam untuk menambah pengetahuan dan
wawasan.
f. Jika memungkinkan, lakukanlah kunjungan (silahturrahim) kepada keluarga dan
tetangga terdekat dan muhrim.
g. Berikanlah pengarahan kepada para Muslimah yang terdekat dan belum menikah
untuk tidak banyak menolak lamaran orang-orang yang memiliki dien yang baik.
Berikanlah gambaran kepada mereka akan keutamaan peran ibu bagi keluarganya
dimata Allah dan Rasul-Nya.
h. Lakukanlah pekerjaan rumah tangga sebagaimana bisanya dengan melihat sejauh
mana kondisi kesehatan anda.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

https://bintalislamdja.wordpress.com/2013/05/15/amalan-amalan-setelah-melahirkan (22-10-
2018) (12.00)

Majelis Tabligh dan Majelis Pelayanan Kesehatan Umum. 2013.Buku Pendamping Panduan
Dakwah Rumah Sakit Muhammadiyah/ ‘Aisyiyah. Yogyakarta: GRAMASURYA

Anda mungkin juga menyukai