Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam
Yang dibimbing oleh Bpk. Dr. Ahmad Khalid, S.Pd. M.Pd.I
Di Susun Oleh
FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
TAHUN 2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat
serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalahnya yang berjudul “Pesantren sebagai wadah penyiaran Islam di
Indonesia ” Walaupun melalui jalan yang panjang di sertai dengan berbagai macam
kesulitan, namun syukur Alhamdulillah berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai
pihak, maka kesulitan tersebut dapat terselesaikan.
Makalah ini kami susun dengan maksud untuk memenuhi tugas makalah
“Sejarah Kebudayaan Islam” yang dibimbing oleh Bpk. Dr. Ahmad Khalid, S.Pd.
M.Pd.I
Dalam penyusunan makalah ini, Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Akhir kata kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat
kekurangan ataupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini, namun kami harapkan
mudah-mudahan makalah ini menjadi bermanfaat bagai perkembangan teknologi
khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pesantren?
2. Bagaimanakah Sejarah Pesantren pertama kali?
3. Bagaimanakah model ajaran Islam yang dikembangkan pesantren?
4. Seperti apa empat fungsi pesantren (pendidikan, dakwah, perjuangan
kemerdekaan, dan sosial budaya)
1
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, (Jakarta: LP3ES, 1985),
hal. 99
1
C. Tujuan Penulisan Makalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pesantren
2
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Pendala Media, 2006), hal. 234-235
3
Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di tengah Arus
Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 80
3
Sedangkan C.C Breg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari
istilah shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang tau buku-buku suci
agama Hindu, selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kata shastri berasal dari
kata shastra yang berarti buku-buku tentang ilmu pengetahuan.4
Dari beberapa pendapat diatas tidak dijumpai perbedaan dengan kata lain
pandangan tokoh-tokoh terhadap pondok pesantren memiliki kesamaan yang
mana persamaan ini merujuk pada pendidikan agama islam yang berciri khas
pengajian kitab kuning, pengajian syariat islam, dan ilmu agama.
Dalam penjelasan lain disebutkan Pesantren adalah tempat para santri belajar
ilmu agama islam. Kata pesantren berasal dari kata “santri” yang artinya murid
yang belajar ilmu agama islam. Disebut pesantrian atau pesantren karena seluruh
murid yang belajar atau thalabul ilmi di pesantren disebut dengan istilah santri.
Tidak dikenal dengan sebutan siswa atau murid. Sebutan santri merupakan konsep
yang sudah baku, meskipun maknanya sama dengan siswa, murid, atau anak
didik.
4
Zamakshari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta: LP3ES, 1982),
hal. 18
4
khususnya. Pada masa Walisongo inilah istilah pondok pesantren mulai dikenal di
Indonesia.5
Ada sebuah pendapat mengatakan bahwa orang yang pertama kali mendirikan
pesantren adalah Raden Rahmat atau yang dikenal sebagai Sunan Ampel. Beliau
mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya
memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah dan Kyai
Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan
pondok pesantren di sana. Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel
mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Kemudian
bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra
beliau.6
Apabila diteliti mengenai silsilah ilmu para Walisongo, akan ditemukan
bahwa kebanyakan silsilahnya sampai pada Sunan Ampel. Misalnya, Sunan
Kalijaga, beliau adalah santri dari Sunan Bonang yang merupakan putra Sunan
Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yang banyak menuntut ilmu dari Sunan
Kalijaga.7
5
Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, (Pati: Staimafa
press, 2013), hal. 10
6
Zamakshari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.hal 49.
7
Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 11
5
1) Sistem pendidikan tradisional
Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran yang
sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis para ulama
zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut dengan istilah “Kitab
kuning”. Sementara metode-metode yang digunakan dalam sistem pendidikan
tradisional terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan atau bandongan, metode
muhawaroh, metode mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim.8
a. Metode sorogan
Metode sorogan secara umum adalah metode pengajaran yang bersifat
individual, dimana santri satu persatu datang menghadap kyai dengan membawa
kitab tertentu. Kiai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang
lazim dipakai di pesantren. Seusai kiai membaca, santri mengulangi ajaran kiai
itu. Setelah ia dianggap cukup, maju santri yang lain, demikian seterusnya.9
b. Metode wetonan atau bandongan
Metode wetonan atau sering juga disebut bandongan merupakan metode
yang paling utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pondok pesantren.
Metode wetonan (bandongan) adalah metode pengajaran dengan cara seorang
guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-
buku Islam dalam bahasa Arab, sedangkan murid (santri) memperhatikan bukunya
sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-
kata atau buah pikiran yang sulit.10
c. Metode muhawaroh
Metode muhawaroh atau metode yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan conversation ini merupakan latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab
yang diwajibkan bagi semua santri selama mereka tinggal di pondok pesantren.11
8
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta:
Erlangga, tt), hal.16.
9
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, hal. 142
10
Zamakshari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.hal 28.
11
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan Manajemen Pondok Pesantren: Kasus Ponpes
Tebuireng. (Yogyakarta: Aditya Media, 2010), hal. 119
6
d. Metode mudzakaroh
Berbeda dengan metode muhawaroh, metode mudzakaroh merupakan
suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti
ibadah (ritual) dan aqidah (theologi) serta masalah agama pada umumnya.12
e. Metode majelis ta’lim
Metode majelis ta’lim adalah suatu metode penyampaian ajaran Islam
yang bersifat umum dan terbuka, yang dihadiri jama’ah yang memiliki berbagai
latar belakang pengetahuan, jenis usia dan jenis kelamin Pengajian melalui
majelis ta’lim hanya dilakukan pada waktu tertentu, tidak setiap hari sebagaimana
pengajian melalui wetonan maupun bandongan, selain itu pengajian ini tidak
hanya diikuti oleh santri mukim dan santri kalong tetapi juga masyarakat sekitar
pondok pesantren yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pengajian
setiap hari, sehingga dengan adanya pengajian ini dapat menjalin hubungan yang
akrab antara pondok pesantren dan masyarakat sekitar.13
2) Sistem pendidikan modern
Dalam perkembangan pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh pola
lama yang bersifat tradisional, melainkan dilakukan suatu inovasi dalam
pengembangan suatu sistem, yaitu sistem yang modern. Namun bukan berarti
dengan adanya sistem pendidikan pesantren yang modern lantas meniadakan
sistem pendidikan yang tradisional yang selama ini sudah mengakar kuat dalam
diri pondok pesantren. Sistem pendidikan modern merupakan penyempurna dari
sistem pendidikan tradisional yang sudah ada. Atau dengan kata lain, memadukan
antara tradisi dan modernitas untuk mewujudkan sistem pendidikan sinergik.
Dalam gerakan pembaruan tersebut, pondok pesantren kemudian mulai
12
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan Manajemen Pondok Pesantren: Kasus Ponpes
Tebuireng. Hal. 119
13
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, hal. 147
7
mengembangkan metode pengajaran dengan sistem madrasi (sistem klasikal),
sistem kursus (takhasus), dan sistem pelatihan.14
a. Sistem klasikal
Menurut Ghazali sebagaimana dikutip Maunah, sistem klasikal adalah
sistem yang penerapannya dengan mendirikan sekolah-sekolah baik kelompok
yang mengelola pengajaran agama maupun ilmu yang dimasukkan dalam kategori
umum dalam arti termasuk disiplin ilmu-ilmu kauni (“ijtihad”-hasil
perolehan/pemikiran manusia) yang berbeda dengan ajaran yang sifatnya tauqifi
(dalam arti kata langsung ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya).
b. Sistem kursus (takhasus)
Sistem kursus (takhasus) adalah sistem yang ditekankan pada
pengembangan keterampilan tangan yang menjurus kepada terbinanya
kemampuan psikomotorik seperti kursus menjahit, mengetik, komputer, dan
sablon. Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri- santri
yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari kiai
melalui pengajaran sorogan dan wetonan.
c. Sistem pelatihan
Sitem pelatihan adalah sistem yang menekankan pada kemampuan
psikomotorik dengan menumbuhkan kemampuan praktis seperti pelatihan
pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan
yang mendukung terciptanya kemandirian integrative.
14
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, hal. 147-
148
8
kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut pesantren
memilih model tersendiri yang dirasa mendukung secara penuh tujuan dan
hakekat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia mukmin sejati
yang memiliki kualitas moral dan intelektual secara seimbang.
9
c. Sebagai Perjuangan Kemerdekaan
Setelah periodesasi perkembangan pesantren yang cukup maju pada masa
Walisongo, masa-masa suram mulai terlihat ketika Belanda menjajah Indonesia.
Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan yang politik pendidikan dalam
bentuk Ordonansi Sekolah Liaratau Widle School Ordonanti yang sangat
membatasi ruang gerak pesantren. Tujuannya, pihak Belanda ingin membunuh
madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan juga bertujuan melarang
pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut mereka berpotensi memunculkan
gerakan subversi atau perlawanan di kalangan santri dan muslim pada umumnya.
Hal seperti ini akhirnya membuat pertumbuhan dan perkembangan Islam menjadi
tersendat.15
Sebagai respon penindasan Belanda tersebut, kaum santri mulai
melakukan perlawanan yakni, antar tahun 1820-1880 kaum santri memberontak di
belahan Nusantara. Akhirnya, pada akhir abad ke-19 Belanda mencabut resolusi
tersebut, sehingga mengakibatkan pendidikan pesantren sedikit lebih berkembang.
Setelah penjajahan Belanda berakhir, Indonesia dijajah kembali oleh
Jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini, pesantren berhadapan dengan
kebijakan Saikere yang dikeluarkan pemerintahan Jepang. Hal ini ditentang keras
oleh Kyai Hasyim Asy’ari sehingga ditangkap dan dipenjara selama 8 bulan.
Berawal dari sinilah terjadi demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ribuan
kaum santri menuntut pembebasan Kyai Hasyim Asy’ari dan menolak
kebijakan Seikere. Sejak itulah pihak Jepang tidak pernah mengusik dunia
pesantren.16
Pada masa awal kemerdekaan, kaum sanri kembali berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan
fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan.17
15
Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 11
16
Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 12
17
Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 13
10
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, pondok pesantren kembali diuji,
karena pemerintahan Soekarno yang dinilai sekuler itu telah melakukan
penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional.
Pada masa Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik umat Islam
dan negara, Golongan Karya (Golkar) sebagai kontestan Pemilu selalu
membutuhkan dukungan dari pesantren. Dari sinilah kemudian ada usaha timbal
balik dari pemerintahan dan pesantren. Kondisi nyata seperti itu mengakibatkan
pesantren mengalami pasang surut hingga pada era pembangunan.
d. Sebagai Lembaga Sosial
Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan
masyarakat muslim tanpa membedak-bedakan tingkat sosial ekonomi orang
tuanya. Biaya hidup di pesantren relatif lebih mudah daripada di luar pesantren,
sebab biasanya para santri mencukupikebutuhan hidup sehari-hari dengan jalan
patungan atau masak bersama, bahkan ada diantara mereka yang gratis, terutama
bagi anak-anak yang kurang mampu atau yatim piatu.
Sebagai lembaga sosial, pesantren ditandai dengan adanya kesibukan
akan kedatangan para tamu dari masyarakat, kedatangan mereka adalah untuk
bersilaturohim, berkonsultasi, minta nasihat “doa” berobat, dan minta ijazah yaitu
semacam jimat untuk menangkal gangguan. Mereka datang dengan membawa
berbagai macam masalah kehidupan seperti menjodohkan anak, kelahiran,
sekolah, mencari kerja, mengurus rumahtangga, kematian, warisan, karir, jabatan,
maupun masalah yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat dan pelayanan
kepentingan umum.Dari fungsi sosial itu pesantren nampak sebagai sumber
solusi, dan acuan dinamis masyarakat.juga sebagai lembaga inspirato (penggerak)
bagi kemajuan pembangunan masyarakat.
Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran
yang sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis para ulama
zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut dengan istilah “Kitab
kuning”. Sementara metode-metode yang digunakan dalam sistem pendidikan
11
tradisional terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan atau bandongan, metode
muhawaroh, metode mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim
12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakshari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
(Jakarta: LP3ES)
Mujib, Abdul. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Pendala Media)
Mahdi, Adnan. Dkk. 2013. Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian
Keislaman, (Pati: Staimafa press)
Nasir, Ridwan. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di
tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
14