FIQIH KONTEMPORER
OLEH :
KELOMPOK 1
Mhd.Syahril Pane 2030400007
Yusnida Octaliya Srg 2030400026
DosenPengampu :
Zilfaroni,S.Sos.I.,M.A.
MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH
ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah ini. Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer Program
Studi Manajemen Dakwah. Shalawat beserta salam marilah kita sanjung tinggikan
kepada ruh nabi kita Rasulullahi Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mana beliau
seorang pejuang Islam yang tidak pernah kenal lelah, beliau seorang pejuang Islam
yang tidak kenal putus asa, dan beliau juga yang telah membawa ummatnya dari alam
kebodohan menuju ke alam yang terang benderang, mudah-mudahan kita semua
diberikan syafa’atnya dihari kelak nantinya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih Kontemporer........................................................................2
B. Tujuan Fiqih Kontemporer..............................................................................3
C. Aspek Metodologi Fiqih Kontemporer............................................................5
D. Tokoh-tokoh Fiqih Kontemporer Tradisional ...............................................7
E. Tokoh-tokoh Fiqih Kontemporer Nasional.....................................................10
F. Fungsi Fiqih Kontemporer................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Akibat arus modrenisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-negara yang
dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi tersebut, mangakibatkan
munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat islam, baik yang
menyangkut Ideologi Politik, Sosial, Budaya dan sebagainya. Berbagai perkembangan
tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut
terjadi karena aneka prubahan tersebut banyak melahirkan simbol-simbol sosial dan
kultural yang secara eksplisit tidak memiliki simbol keagamaan yang telah mapan, atau
disebabkan kemajuan modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran
keagamaan. Untuk Itu, Penuis akan mencoba membahas tentang apa itu Fiqh
Kontemporer.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud degan Fiqh Kontemporer?
2. Apa saja tujuan Fiqh Kontemporer?
3. Bagaimana Aspek Metodologi Fiqh Kontemorer?
4. Siapa saja Tokoh-tokoh Tradisional dan nasional mengenai Fiqh Kontemporer?
5. Apa fungsi Fiqh Kontemporer?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud degan Fiqh Kontemporer;
2. Untuk mengetahui Apa saja tujuan Fiqh Kontemporer;
3. Untuk mengetahui Bagaimana Aspek Metodologi Fiqh Kontemorer;
4. Untuk mengetahui siapa saja Tokoh-tokoh Tradisional dan nasional mengenai Fiqh
Kontemporer;
5. Untuk mengetahui Apa fungsi Fiqh Kontemporer.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hal ini yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi
hukum Islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer. Fiqh
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2 (Jakarta: CV. Akademika Pressindo,
1995),hlm200
2
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani
Press),1996,hlm,150.
3
Faqih,A.R.,Riswandi,B.A.,& Mahmashani,S,Hukum Islam Dan Fatwa MUI,Yogyakarta:Graha
Ilmu,hlm211.
2
kontemporer tidak terlepas dari pengertian masa`il Fiqhiyyah. Masail fiqhiyah menurut
pengertian bahasa adalah permasalahan-permasalahan baru yang bertalian dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya.4
Dalam pengertian lain fiqih kontemporer juga merujuk kepada pengertian pada fiqih
Waqi`, yaitu hasil ijtihad yang bertolak dari kenyataan objektif kehidupan manusia dan
langsung diterapkan dalam kehidupan seharihari. Fiqh waqi` dilihat dari cara
penerapannya berawal dari pemahaman terhadap suatu peristiwa, kejadian, persoalan atau
masalah yang muncul dalam masyarakat. Setelah masalah tersebut diteliti dan dikaji
secermatnya sehingga ditemukan intinya, baru dilihat hukumnya di dalam AlQur`an atau
Sunnah Rasululllah SAW. Dengan cara seperti itu, akan ditemukan suatu pemecahan
masalah atau keputusan hukum terhadap masalah tersebut.5
Jadi dapat kami simpulkan dari beberapa pengertian di atas, bahwa fiqh kontemporer
merupakan hasil ijtihad dengan berangkat dari Nass dan berupaya menegakkan norma dan
tuntunan moral terkait dengan Norma dan moralitas tersebut kemudian dilakukan sebuah
aturan hukum yang mengikat dan berlaku sebagai jawaban atas problem yang muncul di
era modern dan bersifat antisipatif untuk menjawab problem yang akan muncul
dikemudian hari dalam perspektif fiqh atau hukum islam.
Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, timbul pertanyaan bagi kita,
mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman medren?. Masih relevankah hukum islam yang
lahir 14 abad silam diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan
menjawabnya. Hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk
ditrapkan “tidak asal bicara”, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang
harus dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer
tersebut Qardhawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad yang perlu di buka kembali.
Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan dengan
hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.
4
Fauzi,M,Reformulasi Fiqih Kontemporer dalam Perspektif Fazlur Rahman Studi
Multidisipliner,2021,hlm176
5
Firmansyah,H,Qawaid Fiqqiyah Dalam Fatwa Majlis Ulama Indonesia,2019,hlm89
3
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan datang
lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut disebabkan arus
perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya berbagai persoalan
umat manusia, baik hubungan antara sesama maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.6
1. Untuk menjaga keutuhan niai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang
menyangkut dengan aspek lahiriyah kehidupan manusia di dinia ini melalui rumusan
ideal moral maupun formal dari fiqih kontemporer dengan berdasarkan nilai- nilai
agama
6
Gani Abdullah, “Permasalahan Hukum Kontemporer dan Hubungannya dengan Fiqh Sebuah Analisis
Segi- segi Koherensinya,Jakarta: Gema Insani,1994,hlm 320
4
2. Mampu menghadapi(menjawab) tantangan zaman mengenai problematika yang di
datang di era modern.
Metode merupakan jalan yang ditempuh untuk menganalisis suatu disiplin ilmu atau
suatu permasalahan untuk mencari jalan keluarnya sehingga menciptakan suatu
kemaslahatan. Didalam ilmu fiqh bahwa metode alur pembentukan didalam menentukan
hukum adalah pertama : adalah sumber hukum islam Al-Qur’an dan Hadits, kedua : lalu
kemudian muncul ushul fiqh dalam penarikan hukum menggunakan pola pikir deduktif,
selanjutnya ketiga : menghasilkan hukum fiqh dengan materi yang beragam dalam
berbagai kitab dan referensi, setelah diteliti persamaan hukum fiqh menggunakan pola
pikir induktif kemudian dikelompokkan dengan masalah-masalah yang serupa,
dan keempat : akhirnya disumpulkan menjadi qawaid fiqhiyyah yang memudahkan ulama
dalam menentukan hukum fiqh terhadap persoalan baru, dan kelima : setelah melalui
pengujian dan dengan dukungan ushul fiqh, maka natijahnya : adalah terbentuknya hukum
fiqh baru (qanun) maupun fatwa terhadap permasalahan kontemporer.7
Adapun metode dalam fiqh kontemporer adalah ijtihad dan istinbath, tetapi dalam
metode pengkajian didalam fiqh kontemporer yang digunakan lebih banyak menggunakan
metode komparasi (perbandingan) ketimbang metode ijtihad dan istinbath. Di balik semua
itu tentu saja ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar dalam penetapan hukum.
Diantaranya :
7
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Bulan Bintang, 1989,hlm32
5
Amir syarifudin membagi 2 wilayah fiqh kontemporer yaitu:
a. Fiqh yang telah di ijtihadi oleh ulama-ulama terdahulu namun pada saat ini
memiliki nuansa perubahan misalnya sholat di atas pesawat yang belum di atur
oleh ulama terdahulu.
b. Sesuatu masalah yang baru. Yusuf al-Qardhawi, fatwa kontemporer atau fiqh
kontemporer dalam pembentukannya memiliki dua bentuk konstruksi
metodologi. Pertama dengan jalan Ijtihad intiqo’I atau bermazhab, kedua dengan
jalan Ijtihadiyah Insya’i. Ijtihad Intiqo’I ialah memilih satu pendapat dari beberapa
pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqh Islam yang penuh dengan fatwa
dan keputusan hukum. Sedangkan Ijtihad Insya’I (kreatif) ialah mengambil
konklusi hukum baru dari sesuatu persoalan baik belum perna di kemukakan oleh
ulama maupun persoalan lama yang baru dengan jalan mencarai pendapat baru
yang lebih kuat, atau dengan jalan ijtihadiyah kreatif.8
Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah,
mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syari’at Allah yang hakiki dan untuk
8
http://fazarsodik.blogspot.co.id/2016/03/makalah-problematika-fiqih-kontemporer.html
6
membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat, dan
setiap waktu.
Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada
suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan
mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan
pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain. Persoalan yang
dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab
fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya
permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau
permasalahan-permasalahan aktual lainnya.
1. Harun Nasution
9
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Bulan Bintang, 1989,hlm100
7
pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena menurut
orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah
Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam di Mekkah agar lebih
lurus pemikirannya. Kemudian Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas
Al-Azhar pada tahun 1940. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas
Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Pendidikannya diteruskan ke Universitas Al-
Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas Amerika
di Mesir. Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu
pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang
berhasil mendapatkan gelar B. A (serjana muda).Pendidikannya, kemudian
dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962. Harun Nasution menjadi
pegawai Deplu Brussels dan Kairo pada tahun 1953- 1960. Dia meraih gelar doktor
di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968.10
1) Pembaruan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada
dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat
Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan ada yang salah dalam
teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha AlAfghani, Sayid Amer Ali,
dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam
yang sejati.
10
Esposito,J.L & Voll,J.O,Tokoh-Tokoh Gerakan Islam,Jakarta Utara : PT Raja Grafindo
Persada,2013,hlm54
8
Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi
fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa
nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian,
jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat
Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta
mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan
teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu‘tazilah.
9
bertepatan dengan tanggal 9 Januari 1921 jam 15:00 WIB. Beliau diberi nama kecil
Maharadam Nasution.
K.H. Muhammad Ali Yafie salah satu ulama Indonesia penggagas pemikiran
fikih sosial. Pengembangan suatu ilmu sudah tentu memerlukan proses pengkajian
atau berbagai hal yang bersangkutan dengan ilmu itu sendiri maupun hal-hal lain
yang berhubungan dengannya. Sebelum kata ikih itu terkait dalam pengertian
terbatas yang bersifat terminologisnya, maka ia mencakup makna yang luas dari
10
Tafaqquh fi al-dien yang meliputi semua segi pemahaman akan ajaran agama.11
Fikih sosial menurut K.H. Ali Yafie dalam ajaran Islam yang dijabarkan
dalam ilmu ikih, ada ketentuan dasar bahwa semua makhluk mempunyai status
hukum muhtaram yakni dihormati eksistensinya dan terlarang membunuhnya jika ia
makhluk tak bernyawa. Dengan kata lain, semua makhluk harus dilindungi hak
eksistensinya. Dalam penyelenggaraan hidupnya itu, pemeliharaan dan perawatan
adalah: hal yang sangat penting untuk pengembangan dan pelestarian segala hasil
cipta dan pekerjaan manusia, juga terhadap segala sumber daya yang memungkinkan
ia menciptakan dan bekerja. Selain itu, manusia senantiasa ingin hidup dalam
keadaan tenteram, lalu ia menjaga segala tertib kehidupan dalam dirinya, dalam
lingkungan rumah tangganya dan lingkungan masyarakatnya.
Hal demikianlah yang diisyaratkan dalam Sunnah bahwa kalian (manusia)
adalah pemelihara (ra’in), dan pemeliharaan itu haruslah memikul tanggung jawab
(mas’ul). Martabat manusia yang menjadikan statusnya bebeda sifatnya dengan
status makhluk-makhluk yang lain yang disebut muhtaram. Bagi manusia
statusnya disebut ma’shum yang mengandung arti lebih khusus karena bukan saja
eksistensinya yang harus terlindungi, tetapi kemaslahatankemaslahatan berada dalam
suatu ‘ishmah (perlindungan hukum).
Kebaikan bagi seseorang, itulah yang dimaksud dengan kemaslahatan.
Keluarga tentunya mempunyai kemaslahatan demikian. Baik seibu, suami, dan anak-
anak masing-masing mempunyai kemaslahatan sendiri-sendiri, maupun bersama. Di
samping itu, mereka sebagai manusia tentunya juga mempunyai kemaslahatan diri
dan tidak pula terlepas dari kemaslahatan bersama atau umum dari masyarakatnya.
Program-program kependudukan yang dikaitkan dengan tujuan menciptakan
kesejahteraan umum seluruh rakyat, sudah dan akan terus dilaksanakan oleh
pemerintah dan masyarakat diharapkan keikutsertaannya.
Dan, menurut Ali Yafie, adanya ajaran fardhu kifayah, di samping fardhu
‘Ain menandai perhatian ajaran Islam yang tinggi atas masalah-masalah sosial
kemasyarakatan dari kehidupan manusia di dunia, termasuk masalah-masalah
ekonomi. Ri’ayah dan Masuliyyah yang menyangkut kehidupan bermasyarakat
merupakan inti pengertian dari apa yang disebut fardhu kifayah yang biasanya sangat
11
Esposito,J.L & Voll,J.O,Tokoh-Tokoh Gerakan Islam,Jakarta Utara : PT Raja Grafindo
Persada,2013,hlm75
11
sempit pengertiannya, harus ditingkatkan dan disempurnakan untuk mencapai suatu
pengertian yang umum dan menyeluruh sebagaimana diungkapkan oleh Imam ar-
Rai’. Dia berkata: “bahwa fardhu kifayah adalah urusan atau upaya menyeluruh
berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan hidup (kemaslahatan) baik yang bersifat
Diniyah maupun Duniawiyah yang padanya tergantung, penataan hidup manusia.
2. K.H. Sahal Mahfudh
Istilah fikih sosial pertama kali dimunculkan oleh Hasan Hanafi dalam sebuah
gerakan yang ia namakan Kiri Islam di bawah sudut pandang epistemologi relasional
tauhid. Istilah ini kemudian dikembangkan di Indonesia oleh K.H. Ali Yafie dalam
bukunya Menggagas Fikih Sosial dan oleh K.H. Sahal Mahfudh sendiri dalam
bukunya Nuansa Fikih Sosial, Formulasi ikih Sosial yang ditawarkan K.H. Sahal
Mahfudh pada dasarnya merupakan langkah dekonstruktif terhadap asumsi
formalistik ikih itu sendiri yang berkembang di tubuh NU. Dekonstruksi atas
legalisme-formalistik ikih ini merupakan langkah awal untuk menempatkan
kontekstualisasi fikih di tengah fenomena modernisme, dan menurut K.H. Sahal
upaya tersebut sebenarnya sering dilakukan NU dengan tradisi hukum universal dan
hukum moral.12
12
Satria Efendi M. Zein, Pengkajian dan Pengembangan Metodologi Hukum Fikih Islam,Jakarta: PT
Raja Grafindo,2019,hlm90
12
Kemudian coulson berkesimpulan bahwa hukum Islam itu bersifat idealistik,
artinya hukum Islam hanya merupakan pengembangan dan analisis terhadap hukum
syari’ah yang bersifat abstrak, dengan kata lain hukum Islam klasik hanya
menggunakan metode deduktif dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Tuduhan Coulson ini bersifat fragmentaris dalam melihat konstruksi hukum
Islam. Dan, Coulson tampaknya mengabaikan konteks sosial yang sering kali
mempengaruhi para ulama mujtahid dalam menentukan suatu produk hukum.
Padahal dari sinilah terjadi dialektika antara teks (syari’ah) dengan konteks sosial,
yang pada gilirannya melahirkan beberapa produk hukum berupa fatwa ulama dalam
berbagai literatur hukum Islam. Itulah sebabnya, tradisi pemikiran hukum Islam (ikih)
mengandung “tawaran” karena dalam memecahkan persoalan metodologis di tubuh
NU (Syai’iyah) ia harus melakukan loncatan keluar dari tradisi Syai’iyah itu sendiri.
Dalam hal ini, K.H. Sahal Mahfudh menganjurkan untuk mengembalikan
paradigma fikih kepada Maqashid al-Syari’ah yang bermuara kepada Maslahah al-
Ammah yang dipopulerkan oleh mazhab Maliki, khususnya al-Syatibi, mazhab Syai’i
memang merupakan aliran yang kurang memopulerkan dalil mashlahah dalam
persoalan yang tidak terdapat nash karena lebih menekankan metode qiyas, meskipun
di kalangan mazhab Syai’i sendiri dikenal kaidah penggalian hukum fikih seperti
Dar’u al mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih dan maslahah al-muhaqqaqah
muqaddamah ‘ala al-mashalih al- muthawashimah, namun maslahah yang dimaksud
hanya tersimpul dalam Illat, sehingga hukum yang ditelorkan qiyas tidak boleh
bergantung kepada maslahah yang tidak tegas rumusannya.
Oleh karena itu, K.H. Sahal Mahfudh mencoba mengadopsi teori Maqashid
al-Syari’ah dan Maslahah al-Ammah yang dikembangkan Syatibi. Dalam kaitan
tersebut K.H. Sahal Mahfudh menawarkan suatu perspektif baru dalam bermazhab,
dengan mentransformasikan konsep mazhab yang semula bermazhab i al-Aqwal
menjadi bermazhabi al-Manhaj, misalnya seorang dalam memperoleh kesimpulan
hukum yang berbeda dengan al-Syai’i, akan tetapi metode yang digunakan untuk
memperoleh kesimpulan itu adalah metode al- Syai’i, maka ulama itu pun masih
berada dalam pengakuan mazhab Syai’i. Namun demikian K.H. Sahal Mahfudh juga
menyadari keterbatasan metode yang ditawarkan al-Syai’i (Qiyas) karena qiyas
menempatkan kemutlakan wahyu (Al-Qur’an) sehingga realitas sosial harus tunduk
13
kepadanya secara menyeluruh. Paradigma epistemologi semacam ini menjadi kendala
bagi ulama NU dalam mengembangkan pemikiran ikih yang berdimensi sosial.
3. K.H. Masdar Farid Mas’udi
Sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab kuning dengan mem- balah
(mengajar) Aliyah untuk kalangan mahasiswa. Berbagai seminar ilmiah telah
diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar
negeri. Antara lain, di Manila dan Mindanau, Sidney, Belanda, dan Denmark. Pernah
mengunjungi pusat-pusat keagamaan di Amerika selama 5 tahun, tahun 1986. Sejak 4
tahun terakhir kuliah di Program S-2 Filsafat. Selain sebagai Katib Syuriah PBNU,
juga aktif di P3M sebagai ketua/direktur utama; di Komisi Ombudsman Nasional
sebagai anggota; dan di Dewan Etik ICM. Kiprah pemikiran yang paling menonjol
dari Masdar F. Mas’udi adalah kiprahnya di bidang pemikiran keagamaan yang
sering kali dianggap mengagetkan. Secara garis besar pemikiran Masdar dapat
diidentiikasi dalam sebuah kerangka paradigmatik yang disebutnya al-Islam at-
Taharruriy.
Dari sudut visi dan akar keprihatiannya, Islam Taharruri ini memiliki karakter
yang berbeda dengan gerakan yang kini banyak dibicarakan oleh orang, yakni Islam
Fundamentalil. Bahkan Islam harruri ini bisa dikatakan kritik terhadap kedua wacana
atau gerakan Islam tersebut. Bagi Masdar, Islam datang ke bumi bukanlah untuk
kepentingan Allah (Yang Mahakaya) maupun ajaran Islam itu sendiri (yang sudah
sempurna). Islam adalah rahmat Allah bagi umat manusia untuk kemuliaan martabat
manusia sendiri secara lahir batin, jasmani rohani, personal-sosial. Oleh sebab itu,
14
keislaman harus dibangun melalui empat tahap:
1. Adalah kepedulian yang mendalam terhadap problem kemanusiaan;
2. Mendeinisikan akar problem kemanusiaan itu secara kritis;
3. merumuskan kerangka perubahan (Transformasi).
4. Langka-langkah praktis amaliah pembebasan itu sendiri.
3. Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku
baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab
kuning yang semula tidak dapat mereka baca secara langsung.
13
Taufiq,A.,Huda,D & Maunah,B,Sejarah Pemikiran Dan Modernisme Islam,Jakarta:PT Raja
Grafindo,2015,hlm210
15
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dan tujuan dari mempelajari fiqh kontemporer yaitu memberi bekal kepada
mahasiswa dengan kajian-kajian hukum islam kontemporer yang membahas persoalan-
persoalan baru yang muncul pada masyarakat sebagai akibat perubahan sosial
budaya,ilmu pengetahuan,teknologi,dan isu-isu kontemporer.
B. Saran
Makalah ini tentunya tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Karena seperti
kita ketahui bersama bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Oleh kerena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca dan juga
dosen pengampu agar kami dapat memperbaikinya dan bisa nantinya membuat makalah
yang baik dan benar.
16
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
http://fazarsodik.blogspot.co.id/2016/03/makalah-problematika-fiqih-
kontemporer.html
http://diyahhalimatusadiya.blogspot.co.id/2013/05/fiqh-kontemporer.html
17