DI SUSUN OLEH
NIM : 042156156
SEMESTER : 8
DOSEN PEMBIMBING :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TERBUKA BANDUNG
BANDUNG
2023
“Analisis Penegakan Hukum Pencurian Kendaraan Bermotor di Wilayah
Hukum Polresta Bandung”.
Noval Fauzi
Mahasiswa Program Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Terbuka
Novalfazui07@gmail.com
ABSTRAK
Pencurian kendaraan bermotor merupakan tindakan melanggar hukum yang terjadi ketika
seseorang dengan sengaja mengambil kendaraan yang dimiliki oleh orang lain tanpa hak atau
izin. Tujuan dari tindakan ini biasanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau memenuhi
kepentingan pihak lain. Dalam pencurian kendaraan bermotor, pelaku melanggar hak milik
pemilik kendaraan dengan mengambilnya secara illegal. Pencurian kendaraan bermotor bisa
dilakukan dengan berbagai cara, seperti membobol kunci, memecahkan kaca atau merusak sistem
pengamanan pada kendaraan. Diketahui ada beberapa teknik tertentu yang dilakukan untuk
pencurian kendaraan bermotor seperti meretas sistem kunci elektroik pada kendaraan.
Kerugian yang signifikan bagi korban dari adanya tindakan kejahatan berupa pencurian
kendaraan bermotor diketahui dapat berupa hal keuangan, kenyamanan ataupun keamanan
pribadi. Oleh karena itu, pemerintah dan kepolisian biasanya sangat serius dalam menangani
kasus-kasus pencurian kendaraan bermotor dan mengambil tindak tegas terhadap para pelaku.
Sanksi hukum yang diberikan pada pelaku pencurian kendaraan bermotor bervariasi tergantung
pada tingkat kejahatan dan kerugian yang ditimbulkan. Pelaku tindak pidana pencurian kendaraan
bermotor dapat dikenai sanksi hukum berupa pidana penjara, denda, atau bahkan hukuman mati,
tergantung pada kebijakan hukum yang diterapkan di negara tersebut. Hukuman yang keras ini
memiliki tujuan untuk menciptakan efek jera bagi pelaku dan sebagai langkah dalam menekan
tindakan kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Hukuman yang berat diberlakukan untuk
memberikan peringatan yang kuat kepada individu yang terlibat dalam tindakan tersebut. Tujuan
utamanya adalah untuk mencegah terjadinya tindakan pencurian kendaraan bermotor dengan
mengintimidasi potensi pelaku dan menegaskan bahwa konsekuensinya sangat serius. Hal ini
juga berperan dalam upaya menyusun perlindungan bagi pemilik kendaraan dan memberikan
sinyal bahwa tindakan pencurian kendaraan bermotor tidak akan ditoleransi dalam masyarakat.
Selain itu, pihak berwajib biasanya juga berusaha untuk mengembalikan kendaraan yang dicuri
kepada pemiliknya dan menindaklanjuti para pihak terkait yang terlibat dalam tindakan tersebut.
Hukum pencurian bermotor dapat bervariasi di setiap negara tergantung pada setiap peraturan
perundang-undangan disetiap negaranya. Secara keseluruhan, pencurian kendaraan bermotor
dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan dapat berakibat pada sanksi yang berat
bagi pelakunya.
Di Indonesia, pencurian kendaraan bermotor diatur dalam Pasal 363 KUHP yang menegaskan
tentang pelanggaran hukum tersebut. Pasal ini menegaskan bahwa jika seseorang dengan sengaja
mengambil barang yang dimiliki oleh orang lain tanpa hak, dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan pribadi, maka pelaku dapat dikenai hukuman penjara dengan durasi maksimal tujuh
tahun. Hukuman ini diberlakukan sebagai bentuk tindakan tegas terhadap individu yang terlibat
dalam tindakan pencurian dan sebagai upaya untuk melindungi hak milik orang lain. Dalam
kasus ini, tujuan dari hukuman penjara adalah untuk memberikan efek pencegahan dan
memastikan bahwa pelaku menyadari konsekuensi serius dari perbuatannya. Dengan mengancam
dengan hukuman yang signifikan, diharapkan akan mendorong individu untuk tidak terlibat
dalam tindakan pencurian dan mempertimbangkan dampak negatif yang akan mereka hadapi jika
melakukan pelanggaran tersebut. Jika pencurian dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasa, atau dilakukan oleh ornagn yang bertindak sebagai anggota genk, maka ancaman
hukumannya bisa lebih berat hingga 12 tahun penjara.
Di Indonesia, selain itu, terdapat peraturan undang-undang yang mengatur secara spesifik
mengenai pencurian kendaraan beroda dua, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 282 mengatur bahwa setiap orang yang dengan
sengaja mengambil kendaraan bermotor milik orang lain tanpa izin atau hak, akan dijatuhi
hukuman pidana berupa penjara dengan durasi maksimal lima tahun atau denda hingga jumlah
tertentu, yaitu Rp. 100 juta. Ketentuan ini ditetapkan untuk mengatasi dan menghukum tindakan
pencurian kendaraan bermotor yang melanggar hukum. Tujuan dari hukuman tersebut adalah
untuk memberikan efek jera kepada pelaku serta sebagai upaya dalam mencegah dan menekan
tindak kejahatan semacam itu. Melalui penerapan hukuman pidana yang berat, diharapkan dapat
membatasi kegiatan pencurian kendaraan bermotor dan melindungi hak milik serta keamanan
masyarakat dari ancaman tersebut. Sanksi pidana tersebut dapat beragam tergantung pada tingkat
kejahatan dan kerugian yang ditimbulkan. Selain itu, apabila terdapat kekerasan atau ancaman
dalam tindak pencurian kendaraan bermotor pelaku juga dapat diancam dengan sanksi yang lebih
berat.
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah sebuah negara yang didirikan dengan dasar prinsip-prinsip hukum, yang
mengutamakan aturan hukum sebagai landasan utama dalam pemerintahan, bukan hanya
berdasarkan kekuasaan semata. Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui bahwa hukum
memiliki peran sentral dalam menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan
bagi seluruh rakyatnya. Dalam konteks ini, setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia diwajibkan untuk tunduk dan patuh terhadap norma hukum yang berlaku. Prinsip
negara hukum ini mengandung arti bahwa kehidupan bermasyarakat harus diatur oleh hukum
yang berlaku secara adil dan setara bagi semua individu tanpa pandang status atau kekuasaan.
Oleh karena itu, hukum menjadi pedoman yang mengatur perilaku dan interaksi sosial, serta
memberikan jaminan akan hak dan perlindungan yang setara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam menjalankan fungsinya, hukum di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip keadilan,
supremasi hukum, serta pengaturan yang jelas dan terbuka. Dengan demikian, negara hukum
Indonesia menegaskan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang berada di atas hukum, dan
semua orang memiliki tanggung jawab untuk mematuhi dan menghormati ketentuan hukum yang
berlaku dalam upaya menciptakan tatanan sosial yang adil dan harmonis. Kejahatan dan pelaku
kejahatan adalah konsep yang memiliki makna yang luas. Kejahatan dapat dianggap sebagai hasil
dari tindakan individu ataupun kelompok. Terdapat berbagai konsep yang telah diuraikan
mengenai suatu kejahatan secara menyeluruh, baik dalam lingkup masyarakat berkelompok
maupun individu. Kenyataannya, kejahatan hanya dapat dikurangi dan dicegah, namun sulit
untuk benar-benar dihilangkan sepenuhnya.
Sistem hukum di Indonesia masih mengikuti pola hukum Eropa Continental atau Civil
Law yang berasal dari tradisi hukum Belanda. Prinsip ini terlihat dalam berlakunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang masih dianggap sebagai landasan hukum yang berlaku. Konsep ini secara
khusus ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945, terutama dalam Pasal 1 aturan Peralihan yang menyatakan bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang masih ada dianggap tetap berlaku hingga adanya perubahan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, sistem hukum Indonesia berfokus
pada kepastian hukum dan peraturan yang telah ada, serta mengakui pentingnya perlindungan
hak-hak individu dan penyelesaian sengketa melalui proses hukum yang terstruktur. Prinsip-
prinsip hukum ini mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari kejahatan dan tindak pidana
hingga hubungan perdata antara individu dan entitas hukum.
Pengambilan tanpa izin kendaraan bermotor merupakan salah satu tindak kejahatan yang
tetap menjadi perhatian utama dan mengganggu stabilitas serta ketertiban sosial di wilayah
hukum Polresta Bandung. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat
sejumlah pasal, yaitu pasal 362 hingga 367, yang mengatur tentang tindak kejahatan pencurian.
Pasal 362 KUHP menjadi inti dari peraturan-peraturan tersebut. Pencurian kendaraan bermotor
menjadi contoh konkret dari kejahatan terhadap harta benda yang mengakibatkan kerugian, dan
perbuatan ini telah diatur secara khusus dalam berbagai pasal terkait pencurian. Di wilayah
Bandung, terutama di bawah kewenangan Polresta Bandung, kasus pencurian kendaraan roda dua
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Situasi ini menimbulkan masalah utama, yakni
kurangnya efektivitas penegakan hukum dalam menangani kejahatan pencurian kendaraan
bermotor di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum dihadapkan pada
tantangan serius dalam menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Bandung, terutama dalam
lingkup Polresta Bandung. Kesenjangan yang ada antara konsep teoritis dan kondisi empiris
menjadi alasan pokok mengapa penelitian ini memiliki signifikansi yang tinggi. Oleh karena itu,
penulis mengusulkan penelitian ini dengan judul "Analisis Penegakan Hukum Pencurian
Kendaraan Bermotor di Wilayah Hukum Polresta Bandung".
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ilmiah yang mengadopsi metode studi kepustakaan, pendekatan yang
diterapkan adalah pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Pendekatan
ini didasarkan pada aturan-aturan hukum sebagai ketentuan dan undang-undang dasar. Penelitian
ini melibatkan pengumpulan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan topik yang
sedang dibahas, termasuk buku-buku yang relevan dan sumber-sumber yang membahas hak asasi
manusia. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup jurnal-jurnal penelitian yang
relevan serta website yang terkait dengan topik penelitian ini. Dengan menggali sumber-sumber
yang beragam, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang subjek yang diteliti.
Dalam kriminologi, terdapat berbagai teori yang digunakan untuk menganalisis kejahatan,
dengan fokus pada penjelasan perbedaan antara satu teori dengan yang lainnya. Teori Klasik,
yang berakar pada prinsip psikologi hedonistik, menjelaskan bahwa tindakan manusia didasarkan
pada dorongan untuk mencapai kesenangan dan menghindari penderitaan. Namun, Teori Neo-
Klasik sebagai peremajaan dari teori tersebut, menganggap manusia sebagai makhluk rasional
yang bertanggung jawab atas tindakannya dan mampu mengendalikan perilakunya melalui rasa
takut akan konsekuensi hukum yang mungkin terjadi. Dalam teori ini, individu dianggap
memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan secara rasional dampak dari tindakan mereka
dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka buat. Teori Sosialis, dipengaruhi oleh pemikiran
Marx dan Engel, mengemukakan bahwa kejahatan disebabkan oleh ketimpangan ekonomi dalam
masyarakat. Untuk melawan kejahatan, perlu ditingkatkan aspek ekonomi dan menciptakan
kesejahteraan serta keadilan sosial. Selain itu, terdapat pula teori-tipologis atau biotipologis yang
mengemukakan adanya perbedaan antara individu jahat dan individu yang tidak jahat.
1. Pengertian Pencurian
Kata "pencurian" berasal dari akar kata "curi" yang kemudian diberi awalan "pe-" dan
akhiran "-an". "Curi" menggambarkan tindakan mengambil milik orang lain tanpa izin
atau melanggar hukum, sering kali dengan cara yang tersembunyi atau tanpa diketahui
pemiliknya. Pencurian, menurut definisi dalam Kamus Hukum, merujuk pada tindakan
mengambil milik orang lain tanpa izin atau melanggar hukum, umumnya dengan cara
yang tersembunyi atau tidak terdeteksi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "curi"
memiliki arti mengambil milik orang lain tanpa izin atau secara tidak sah, sering kali
dilakukan secara tersembunyi atau tanpa diketahui orang lain. Di sisi lain, "pencurian"
mengacu pada proses, metode, atau perbuatan tersebut. Kejahatan terhadap harta benda
mengacu pada serangan terhadap hak hukum seseorang atas kepemilikan mereka. Dalam
Bagian II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat penjelasan yang
komprehensif mengenai pencurian, mencakup unsur-unsur objektif dan subyektif yang
harus terpenuhi. Penjelasan tersebut memberikan gambaran yang mendetail tentang
bagaimana suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencurian, meliputi hal-hal
seperti jenis objek yang dicuri, niat pelaku, dan persyaratan yang harus dipenuhi agar
suatu tindakan dapat dianggap sebagai pencurian. Dengan demikian, Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana memberikan penjelasan yang lengkap dan rinci mengenai konsep
pencurian dalam kerangka hukum yang berlaku.
Unsur obyektif
Pencurian melibatkan beberapa unsur yang penting. Pertama, adanya tindakan nyata yang
dilakukan oleh pelaku. Kedua, terdapat benda atau barang yang diambil oleh pelaku.
Ketiga, terdapat keadaan atau situasi yang melingkupi objek yang dicuri. Keempat,
terdapat upaya dari pelaku untuk melakukan tindakan yang dilarang secara hukum. Dan
kelima, terdapat akibat yang memenuhi unsur-unsur konstitutif pencurian. Unsur-unsur
ini secara bersama-sama membentuk konsep dan definisi pencurian.
Unsur subyektif
Pencurian adalah perbuatan yang melibatkan kesalahan dan bertentangan dengan hukum.
Definisi pencurian menurut peraturan hukum dijelaskan dalam Pasal 362 KUHP. Pasal
yang disebutkan menetapkan bahwa pencurian terjadi ketika seseorang dengan sengaja
mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh orang lain tanpa izin atau
hak yang sah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memperoleh kepemilikan yang tidak
sah. Konsekuensi hukum atas pelanggaran ini dapat berupa hukuman penjara dengan
batas waktu maksimal 5 tahun atau denda maksimal sebesar Rp. 900.000,-. Pasal ini
bertujuan untuk memberikan sanksi yang tegas sebagai upaya dalam memberantas
kejahatan pencurian dan menjaga ketertiban serta keadilan dalam masyarakat. Definisi
tersebut mencakup unsur-unsur objektif, seperti melakukan pengambilan barang, barang
yang diambil merupakan benda, dan keberadaan barang tersebut sebagai milik orang lain,
serta unsur-unsur subjektif, yaitu adanya niat untuk secara tidak sah memiliki barang
tersebut.
Jenis-Jenis Pencurian
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat penjelasan mengenai berbagai
jenis pencurian, salah satunya adalah pencurian biasa. Pencurian biasa, sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 362, terjadi ketika seseorang dengan sengaja mengambil barang yang bukan
miliknya, baik sebagian maupun seluruhnya, dengan niat untuk memperoleh kepemilikan yang
melanggar hukum. Pelaku pencurian biasa dapat dikenai hukuman pidana, seperti penjara dengan
batas waktu maksimal lima tahun atau denda dengan batas maksimal sembilan ratus rupiah.
Penjelasan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa tindakan pencurian biasa dianggap sebagai
pelanggaran serius terhadap hukum dan dikenai sanksi pidana yang berlaku.
b. Pencurian Pemberatan
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat pasal-pasal yang mengatur
tentang berbagai bentuk pencurian dan hukuman yang dapat diberikan. Salah satunya adalah
pencurian biasa, di mana seseorang dengan sengaja mengambil barang yang bukan miliknya
dengan maksud untuk memperoleh kepemilikan yang melanggar hukum. Bagi pelaku pencurian
biasa, KUHP menetapkan sanksi pidana yang dapat diterapkan, seperti hukuman penjara dengan
durasi maksimal lima tahun atau denda dengan jumlah maksimal sembilan ratus rupiah. Tujuan
dari peraturan ini adalah untuk memberikan sanksi yang sesuai sebagai bentuk tanggung jawab
atas perbuatan pencurian, serta sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan
tersebut demi menjaga keadilan dalam masyarakat. Selain itu, ada juga pencurian dengan
pemberatan, di mana hukuman yang diberikan lebih berat jika tindakan pencurian tersebut
melibatkan unsur-unsur tertentu seperti kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dalam kasus pencurian yang tergolong ringan, apabila tindakan pencurian terjadi di luar rumah
atau halaman yang terlindungi oleh bangunan rumah, dan nilai barang yang dicuri tidak melebihi
dua puluh lima rupiah, maka pelaku dapat dijatuhi hukuman pencurian ringan. Hukuman ini
dapat berupa penjara dengan batas waktu maksimal tiga bulan atau denda dengan jumlah
maksimal dua ratus lima puluh rupiah. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan sanksi yang
sesuai dengan tingkat keparahan tindak pencurian yang terjadi, dengan memperhatikan aspek
konteks kejadian serta nilai material yang terlibat. Tujuannya adalah untuk melindungi
masyarakat dari tindak pencurian kecil yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dan
ketertiban umum.
Apabila pencurian melibatkan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka sanksi hukum
yang diberikan akan menjadi lebih berat. Contohnya, jika kekerasan atau ancaman kekerasan
terjadi sebelum, selama, atau setelah terjadinya pencurian dengan tujuan memudahkan pelaku
dalam melakukan pencurian, melarikan diri, atau mempertahankan barang yang dicuri, maka
hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan adalah penjara selama sembilan tahun. Hal ini
bertujuan untuk memberikan sanksi yang sebanding dengan tingkat kekejaman dan ancaman
yang ditunjukkan oleh pelaku dalam melakukan tindak pencurian tersebut. Dengan demikian,
diharapkan dapat memberikan efek jera serta melindungi masyarakat dari tindakan pencurian
dengan kekerasan yang dapat mengancam keselamatan dan keamanan mereka.
Dalam kasus-kasus yang lebih serius, seperti jika pencurian tersebut dilakukan di dalam rumah
pada malam hari, melibatkan dua orang atau lebih yang bekerja sama, atau mengakibatkan cedera
serius atau kematian, hukuman yang diberikan bisa mencapai pidana penjara seumur hidup atau
bahkan pidana mati.
Ada juga ketentuan khusus yang mengatur tentang pencurian di lingkungan keluarga. Jika terjadi
pencurian dan pelaku adalah suami atau istri korban yang masih menjalani kehidupan bersama
atau memiliki kekayaan yang tidak terpisah, maka tidak akan ada penuntutan pidana terhadap
pelaku. Namun, dalam situasi di mana pelaku hidup terpisah dari korban atau memiliki hubungan
kekerabatan tertentu seperti saudara kandung atau saudara tiri, penuntutan pidana hanya dapat
dilakukan jika korban mengajukan pengaduan. Dengan demikian, kasus pencurian yang
melibatkan faktor hubungan keluarga atau kekerabatan memerlukan keterlibatan aktif dari korban
dalam melaporkan tindakan pencurian kepada otoritas yang berwenang. Jadi, KUHP secara rinci
mengatur berbagai jenis pencurian dan sanksi hukumannya, tergantung pada unsur-unsur yang
terlibat dalam tindakan pencurian tersebut.
Pengertian Kriminologi
Awalnya, istilah "kriminologi" diperkenalkan oleh seorang antropolog Prancis bernama Paul
Topiward. Dia menjelaskan bahwa kata "crimen" merujuk pada kejahatan atau penjahat,
sedangkan "logos" mengacu pada ilmu pengetahuan. Kriminologi merupakan bidang
pengetahuan yang memfokuskan diri pada studi tentang kenakalan remaja dan kejahatan sebagai
fenomena sosial. Hal ini mencakup pemahaman tentang pembentukan hukum, pelanggaran
hukum, dan respons terhadap pelanggaran tersebut. Dalam perspektif lain, kriminologi dianggap
sebagai disiplin ilmu yang menyelidiki kejahatan dari berbagai sudut pandang. Etimologi kata
"kriminologi" mengandung arti dari kata "crimen" yang merujuk pada kejahatan, dan "logos"
yang berarti pengetahuan atau ilmu. Dengan demikian, kriminologi dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari kejahatan. P. Topinard, seorang antropolog Prancis, dikenal sebagai orang
yang mempopulerkan istilah ini.
Kriminologi merupakan bidang pengetahuan yang menyelidiki dan menganalisis kejahatan
sebagai fenomena sosial secara komprehensif. Menurut Sutherland, kriminologi mencakup aspek-
aspek seperti perumusan undang-undang, pelanggaran hukum, dan respons terhadap tindak
pidana. Pandangan Paul Moedigdo Moeliono menekankan bahwa kriminologi adalah ilmu yang
didukung oleh berbagai disiplin ilmu, dengan tujuan memahami kejahatan sebagai masalah yang
terkait dengan manusia. Dengan kata-kata yang berbeda, kriminologi awalnya diperkenalkan oleh
Paul Topiward, seorang antropolog Prancis. Kriminologi merupakan bidang pengetahuan yang
fokus pada studi tentang kejahatan sebagai fenomena sosial. Menurut Edwin H. Sutherland dan
Donald R. Cressey, kriminologi melibatkan pemahaman terhadap kenakalan remaja dan
kejahatan secara menyeluruh, termasuk proses pembentukan hukum, tindakan melanggar hukum,
dan respons terhadap pelanggaran tersebut. Di sisi lain, kriminologi juga dipandang sebagai ilmu
pengetahuan yang memperoleh pemahaman tentang kejahatan dari berbagai perspektif. Secara
etimologis, kata "kriminologi" berasal dari gabungan "crimen" yang berarti kejahatan, dan
"logos" yang merujuk pada pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kriminologi
dapat diartikan sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan kejahatan. Asal-usul istilah ini dapat
ditelusuri ke Paul Topinard, seorang antropolog Prancis. Sutherland berpendapat bahwa
kriminologi mencakup seluruh pengetahuan yang berkaitan dengan kejahatan sebagai fenomena
sosial, termasuk proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap
pelanggaran tersebut. Dalam pandangan Paul Moedigdo Moeliono, kriminologi dianggap sebagai
ilmu pengetahuan yang didukung oleh berbagai disiplin ilmu, yang mempelajari kejahatan
sebagai sebuah masalah yang melibatkan manusia. Dalam perspektif kriminologi, pencurian
bukanlah tindakan yang hanya dilakukan oleh individu dengan kecenderungan kriminal atau
perilaku menyimpang, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan lingkungan. Oleh karena
itu, kriminologi mengusulkan pendekatan berbasis pemahaman terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi kejahatan dan pengembangan strategi yang tepat untuk mengatasi faktor-faktor
tersebut dalam upaya mencegah dan mengurangi kasus pencurian.
Kriminologi
Kriminologi adalah bidang pengetahuan yang fokus pada penelitian tentang kejahatan sebagai
fenomena sosial. Hal ini mencakup pemahaman tentang pembuatan hukum, pelanggaran hukum,
dan respons terhadap pelanggaran hukum. E.H. Sutherland (1883-1950) mengemukakan konsep
ini. Perkembangan kriminologi sebagai disiplin ilmu dimulai pada abad ke-19, yang ditandai
dengan penggunaan statistik kriminal pertama kali di Prancis pada tahun 1826 oleh Bonger dan
Grunhut. Pada tahun 1876, buku "L'Uomo Delinqunte" oleh Cesare Lombroso diterbitkan, yang
juga menjadi tonggak penting dalam pengembangan kriminologi. Namun, studi tentang kejahatan
sudah dimulai sejak zaman kuno oleh para filosof seperti Plato dan Aristoteles. Kriminologi
adalah cabang ilmu pengetahuan hukum pidana yang fokus pada studi penyebab terjadinya
kejahatan dan upaya untuk mengatasi masalah tersebut, dengan mempertimbangkan aspek
etimologi dan terminologi (Soedjono 1983:2).
Kriminologi, berdasarkan asal katanya, menggabungkan "crimen" yang mengacu pada kejahatan,
dan "logos" yang merujuk pada ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, secara etimologis,
kriminologi dapat dijelaskan sebagai bidang pengetahuan yang memfokuskan pada studi
mendalam tentang kejahatan dan perilaku kriminal. Ini melibatkan pemahaman yang luas tentang
aspek-aspek yang terkait dengan kejahatan, seperti faktor penyebabnya, pola-pola kejahatan,
sistem hukum, dan respons masyarakat terhadap kejahatan. Kriminologi bertujuan untuk
mengungkap sifat kejahatan sebagai fenomena sosial, serta untuk mengembangkan strategi yang
efektif dalam mencegah dan mengatasi kejahatan demi keamanan dan kesejahteraan masyarakat
(Soedjono 1983:4)
(Soedjono 1983:1), kriminologi adalah suatu disiplin yang bertujuan untuk memahami
penyebab dan dampak kejahatan, mempelajari metode-metode perbaikan kejahatan, serta
mengidentifikasi cara-cara pencegahan untuk mengurangi potensi timbulnya kejahatan.
(Rusli Effendy 1983:9), mengungkapkan bahwa definisi kriminologi yang dirumuskan adalah
sebagai berikut: Kriminologi merupakan bidang ilmu yang mempelajari kejahatan itu sendiri,
dengan fokus pada pelaku kejahatan. Tujuan kriminologi adalah untuk menyelidiki penyebab-
penyebab kejahatan, baik dari perspektif bakat individu yang mungkin memiliki kecenderungan
jahat, maupun faktor-faktor lingkungan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi perilaku
kejahatan.
Pandangan beberapa pakar hukum pidana terhadap kriminologi tersebut memiliki kesamaan
dalam intinya, meskipun ada variasi bahasa yang berbeda dalam ungkapannya. Meskipun
terdapat perbedaan pendapat, hal itu tidak mengubah esensi kriminologi sebagai bidang ilmu
yang fokus pada studi tentang kejahatan, penyebab individu menjadi kriminal, serta usaha untuk
mencegah kejahatan, menangani pelaku kejahatan, dan mendukung proses rehabilitasi agar
mereka dapat kembali berperan sebagai anggota yang bermanfaat dalam masyarakat. Dalam
pengertian formal, kejahatan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum dan
dikenai sanksi oleh negara. Tujuan sanksi tersebut adalah untuk mengembalikan keseimbangan
yang terganggu akibat tindakan tersebut, karena tindakan kejahatan mengganggu ketertiban dan
kenyamanan masyarakat. Namun, penilaian terhadap suatu tindakan sebagai kejahatan dapat
bervariasi tergantung pada perspektif yang digunakan. Terkadang, ada ketidaksesuaian antara
pandangan hukum dan pandangan sosial terhadap suatu tindakan. Tindakan yang dianggap
kejahatan secara hukum mungkin tidak dianggap sebagai kejahatan dalam konteks sosial, dan
sebaliknya, tindakan yang dianggap sebagai kejahatan dalam konteks sosial mungkin tidak
dianggap sebagai kejahatan secara hukum. Hal ini menggambarkan perbedaan antara kejahatan
yuridis dan kejahatan sosiologis. Respons terhadap kejahatan harus mengakomodasi perubahan
dalam masyarakat yang dinamis, dengan mempertimbangkan faktor waktu dan tempat.
a) Faktor Moral: Moralitas berkaitan dengan akhlak, dan kualitas moral atau akhlak
seseorang menentukan perilaku individu dalam kehidupan sosial. Seseorang yang
memiliki moralitas yang baik adalah individu yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
etika dan memiliki kesadaran moral yang kuat. Mereka mengambil keputusan berdasarkan
nilai-nilai yang diakui secara luas, seperti kejujuran, empati, dan keadilan, tanpa
bergantung pada takut akan hukuman atau balasan dari entitas supranatural. Mereka
berkomitmen untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut karena mereka
meyakini bahwa melakukan kebaikan adalah penting dalam membangun hubungan yang
harmonis, menciptakan masyarakat yang lebih baik, dan mencapai kebahagiaan pribadi
yang bermakna.
b) Faktor Pendidikan: Selain faktor moral, tingkat pendidikan juga memainkan peran
penting dalam kejahatan konvensional. Pendidikan menjadi ukuran tinggi rendahnya
peradaban individu. Jika seseorang mendapatkan pendidikan yang memadai, hal ini juga
akan berdampak pada pendidikan moral mereka. Individu yang terdidik dengan baik
memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami dengan baik makna nilai-nilai yang
ada di dunia ini. Pendidikan tidak hanya diperoleh di institusi formal, tetapi juga melalui
pengajaran agama (Al-Qur'an) yang mendorong dan mewajibkan setiap individu untuk
belajar agar tidak tersesat dalam kehidupan.
c) Faktor Ekonomi dan Kebutuhan: Dalam kejahatan yang berhubungan dengan harta
benda, kesenjangan ekonomi yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin menjadi
faktor penting. Selain itu, kemewahan juga dapat mempengaruhi orang untuk melakukan
perampokan dengan harapan hidup mewah dan memboroskan harta, terutama jika mereka
tidak memiliki keterampilan selain kejahatan. Selain itu, faktor kebutuhan ekonomi juga
berperan penting. Kurangnya lapangan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah
penduduk menyebabkan beberapa pelaku kejahatan menjadi pengangguran atau hanya
bekerja sebagai pekerja musiman dengan upah yang sangat rendah.
PENUTUP
Daftar Pustaka
Kusnadi, Kusnadi (2022) Penegakan Hukum tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda-
4 (Empat) dihubungkan dengan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana : Studi kasus
Polres Bandung
Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Agus, 2015, Karakter Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dalam Tipologi Kejahatan Pencurian
Di Wilayah Sukoharjo, jurnal
P.T. Syamsuddin Rahman, (2017), Hukum Acara Pidana Dalam Integrasi Keilmuan, Cet.
Kadarudin, Penelitian di Bidang Ilmu Hukum (Sebuah Pemahaman Awal), Semarang: Formaci
Press, 2021