Anda di halaman 1dari 109

MEMBACA FENOMENA BUNUH DIRI DI KABUPATEN SIKKA DALAM

PERSPEKTIF ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat

Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat

Agama Katolik

Oleh

STEFANUS OPUNTAKE KAHA

NPM: 18.75. 6454

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

2022
HALAMAN PENERIMAAN JUDUL

1. Nama : Stefanus Opuntake Kaha


2. NPM : 18.75.6454
3. Judul : Membaca Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Sikka
dalam Perspektif Ensiklik Evangelim Vitae
4. Pembimbing:

1. Amandus Klau, S.Fil.,M.I.K :......................................


(Penanggung Jawab)
2. Antonius Jemaru, MSc :......................................

3. Dr. Antonio Camnahas :......................................

5. Tanggal diterima:

6. Mengesahkan:

Wakil Ketua I Ketua STFK Ledalero

Dr. Yosef Keladu Koten Dr. Otto Gusti Ndegong Madung

ii
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat guna
Memperoleh Gelar Sarjana Filsafatt Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat
Agama Katolik

Pada

………………………2022

Mengesahkan

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

Ketua,

Dr. Otto Gusti Ndegong Madung

DEWAN PENGUJI:

1. Amandus Klau, S.Fil.,M.I.K : .......................................

2. Antonius Jemaru, MSc. : .......................................

3. Dr. Antonio Camnahas : .......................................

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama: Stefanus Opuntake Kaha

NPM: 18.75.6454

Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri dan bukan
plagiat dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau lembaga lain. Semua karya
ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan
sumber kutipannya serta dicantumkan pada catatan kaki dan daftar pustaka.

Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan berupa


plagiasi atau penjiblakan dan sejenisnya di dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi akademis, yakni pencabutan skripsi serta gelar yang saya peroleh
dari skripsi ini.

Ledalero, 19 Mei 2022

Yang menyatakan

Stefanus Opuntake Kaha

iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas academika Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, saya yang
bertandatangan di bawah ini:

Nama: Stefanus Opuntake Kaha

NPM: 18.75.6356

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Hak Bebas Royalti Noneklusif (Non-
exclusive Royalty-Free Right) atas skripsi saya yang berjudul:

Membaca Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Sikka dalam Perspektif Ensiklik


Evangelium Vitae

beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Noneklsif
ini, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Ledalero

Pada tanggal: 19 Mei 2022

Yang menyatakan

Stefanus Opuntake Kaha

v
KATA PENGANTAR

Tindakan bunuh diri merupakan salah satu problem hidup yang cukup serius,
karena langsung berkaitan erat dengan kehidupan manusia itu sendiri. Aksi bunuh diri
yang kerap kali terjadi merupakan suatu pelanggaran terhadap nilai luhur dari hidup
itu sendiri dan martabat hidup manusia. Manusia dikuasai oleh kebebasannya
sehingga melakukan aksi bunuh diri. Manusia tidak melindungi dan mengembangkan
nilai hidupnya yang sebetulnya tidak bisa diganggu gugat.

Orang melakukan tindakan bunuh diri disebabkan oleh minimnya sikap cinta
kasih dan belaskasihan sejati. Aspek kesadaran ini tidak diupayakan oleh manusia.
Orang tidak lagi menyadari bahwa manusia sebetulnya diciptakan oleh Allah seturut
gambar dan rupa-Nya. Dengan begitu, siapa pun manusia di dunia ini yang sedang
mengalami masalah dalam hidupnya tidak diperkenankan untuk mengakhiri hidupnya
sendiri. Namun, tekad ini justru terjadi perlawanan. Manusia menyalahgunakan
fungsi akal budi dan bertindak sewenang-wenang. Selain itu juga, manusia tidak
bertindak secara bijak dalam mengambil suatu keputusan bunuh diri. Orang berpikir
bahwa dengan mengakhiri hidupnya, semua masalah hidupnya juga akan berakhir.

Kebebasan yang sewenang-wenang ini sungguh merupakan tindakan


penodaan terhadap nilai luhur kehidupan dan martabat manusia.hal ini mesti
didekonstruksi kembali dengan memeberi arahan persuasif yang serius dan terus
menerus. Tindakan bunuh diri bagi mereka yang lemah dan tak berdaya mesti
ditentang dan dibela oleh setiap manusia yang berkehendak baik.

Sebagai bentuk keprihatinan, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik


Evangelium Vitae untuk menentang setiap tindakan yang melanggar nilai hidup dan
martabat manusia. Setiap manusia mempunyai hak dan tanggung jawab moral
terhadap diri sendiri dan sesama yang menderita. Manusia dipanggil untuk bersikap
solider dengan mereka yang menderita. Kesadaran akan nilai dan martabat hidup
manusia ini sangat penting terutama bagi orang yang memilih untuk mengakhiri
hidupnya dengan cara bunuh diri.

vi
Dengan demikian, Paus Yohanes Paulus II menghimbau bagi manusia yang
merupakan gambar dan rupa Allah, yang yang memantulkan emanasi kemuliaan-Nya
patut mempertanggungjawabkan secara penuh atas hidup dan martabatnya sendiri
ataupun sesama yang lain. Manusia sebagai subyek semestinya menjadi pewarta
Kabar Baik kehidupan bagi semua orang.semua yang dipanggil untuk mewartakan
sabda Allah yang diinkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus.

Skripsi ini sendiri ditulis tidak sekali jadi. Ada banyak hal yang
mempengaruhi penulisan skripsi ini. Lebih dari pada itu, penulis sadar bahwa ada
banyak pihak yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa
campur tangan mereka, skripsi ini tidak akan terselesaikan dan semua pembahasan
yang ada hanya akan berhenti pada tataran konsep belaka. Oleh karena itu, dengan
penuh sadar, penulis hendak berterima kasih secara khusus kepada pihak-pihak
tersebut:

1. Penulis mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya atas berkat dan bimbingannya, penulis dapat meyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
2. Terima kasih berlimpah penulis sampaikan kepada Amandus Klau
S.Fil.,M.I.K yang telah membimbing penulis dalam setiap proses
penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada
Antonius Jemaru MSc dan Dr. Antonio Camnahas yang telah bersedia
menjadi penguji skripsi ini.
3. Penulis hendak berterima kasih kepada Serikat Sabda Allah (Societas
Verbi Divini, SVD) sebagai ibu serikat yang mendukung penulis dengan
menyediakan berbagai keperluan yang dibutuhkan penulis sepanjang
penelitian sampai pada penyusunan skripsi ini.
4. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh konfrater di Seminari Tinggi
St. Paulus Ledalero terkhusus segenap konfrater di unit St. Vincentius a
Paulo, Efrata – Gere: P. Antonio Camnahas, SVD dan P. Simeon Bera
Muda, SVD serta teman-teman semua yang telah membantu penulis

vii
dengan menyediakan situasi yang kondusif bagi setiap usaha penulisan
skripsi ini.
5. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada lembaga Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero yang memberikan berbagai kesempatan dan
asupan intelektual yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Penulis berterima kasih kepada Pimpinan kepolisian Nusa Tenggara
Timur Resor Sikka yang telah bersedia menerima penulis untuk
melakukan wawancara lisan sehingga penulis dapat menerima data yang
akurat yang dapat membantu penulis dalam melengkapi skripsi ini. Tanpa
adanya bantuan pimpinan reksim polres sikka, skripsi ini tidak akan
mungkin terlaksana dengan baik.
7. Terima kasih berlimpah penulis sampaikan teman-teman seangkatan
Ledalero 81 dan teman-teman seangkatan di unit St. Vincentius a Paulo,
Efrata – Gere: Valen, Benja, Mike, Defri, Antoni, Dus, Hipo, dan Ondik
yang dengan caranya masing-masing senantiasa mendukung penulis
selama penulisan skripsi ini.
8. Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman terbaik: Elchy,
Nonit, Melki dan Roman yang selalu mendukung penulis dalam setiap
usaha dan karya yang penulis lakukan berkenaan dengan penulisan skripsi
ini.
9. Akhirnya, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak, pembaca, dan
semua orang yang dengan caranya sendiri-sendiri telah mendukung
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan
skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis
selalu terbuka terbuka terhadap usul dan saran, masukan dan kritikkan yang
membangun demi perkembangan penelitian dan skripsi ini ke depannya. Terakhir,

viii
semoga segala ide dan pergumulan itelektual yang penulis sajikan dalam skripsi ini
dapat berguna bagi pembaca sekalian.

Ledalero, Mei 2022

Penulis

ix
ABSTRAK

Stefanus Opuntake Kaha, 18.75.6454. Membaca Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten


Sikka dalam Perspektif Ensiklik Evangelium Vitae. Skripsi. Program Sarjana Filsafat.
Program Studi Filsafat-Teologi. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. 2022.
Kasus bunuh diri merupakan salah satu masalah sosial yang selama beberapa
tahun terakhir terus terjadi di Kabupaten Sikka. Berdasarkan data yang dirangkum
penulis, dari tahun 2019 sampai tahun 2021, tercatat ada dua puluh empat (24) kasus
bunuh diri di Kabupaten Sikka. Dari perspektif iman kristen, fenomena ini
kontraproduktif dengan esensi manusia sebagai citra Allah. Dalam hal ini, bunuh diri
merupakan salah satu pelanggaran terhadap nilai luhur hidup dan martabat manusia.
Dalam hubungannya dengan fenomena serupa, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan
ensiklik Evangelium Vitae sebagai seruan kepada manusia untuk menghormati hidup
dan martabat luhur manusia. Menurut ensiklik ini, kehidupan manusia memiliki nilai
intrinsik yang tidak dapat dicabut sesuka hati, menurut kemanuan pribadi. Oleh sebab
itu, tulisan ini bertujuan untuk, pertama, memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang pentingnya nilai hidup sebagaimana ditegaskan oleh ensiklik Evangelium
Vitae. Kedua, menguraikan peran ensiklik Evangelium Vitae dalam mengatasi
masalah bunuh diri yang sedang terjadi di Kabupaten Sikka. Dalam hal ini, penulis
mengambil poin-poin penting dari ensikllik Evangelium Vitae untuk dapat membaca
fenomena bunuh diri yang sedang terjadi di Kabupaten Sikka.
Skripsi ini diuraikan ke dalam empat bab. Pada bab satu, penulis memaparkan
latar belakang masalah yang menjadi fokus penulisan skripsi, yaitu kasus bunuh diri
di Kabupaten Sikka dan kemudiaan hubungannya dengan ajaran iman kristen tentang
martabat manusia. Pada bab kedua, penulis membahas secara khusus teori-teori para
ahli yang membahas secara langsung tentang bunuh diri. Pada bab tiga, penulis
memaparkan dan menguraikan isi ensiklik Evangelium Vitae. Selanjutnya pada bab
empat, penulis menguraikan signifikansi ensiklik Evagelium Vitae terhadap kasus
atau fenomena bunuh diri di Kabupaten Sikka. Keseluruhan skripsi ini diakhiri
dengan bab lima yang berisikan kesimpulan, saran, dan bibliografi.

Kata kunci: Fenomena Bunuh Diri, Kabupaten Sikka, dan Ensiklik Evangelium
Vitae

x
ABSTRACT

Stefanus Opuntake Kaha, 18.75.6454. Understanding the Suicide Phenomenon in


Sikka Regency in the Perspective of the Encyclical Evangelium Vitae. Undergraduate
Thesis. Undergraduate Philosophy Program. Philosophy – Theology Studies
Program. Catholic School of Philosophy Ledalero. 2022.
Suicide is one of the social problems that has continued to occur in Sikka
Regency for the last few years. Based on the data summarized by the author, from
2019 to 2021, there were twenty-four (24) cases of suicide in Sikka Regency. From
the perspective of Christian faith, this phenomenon is counterproductive to the
essence of man as the image of God. In this case, suicide is a violation of the noble
values of life and human dignity. In connection with a similar phenomenon, Pope
John Paul II issued the encyclical Evangelium Vitae as an appeal to human beings to
respect life and human dignity. According to this encyclical, human life has an
intrinsic value that cannot be taken away at will, according to personal freedom.
Therefore, this paper aims to, firstly, provide an understanding to the public about the
importance of the value of life as emphasized by the encyclical Evangelium Vitae.
Second, it describes the role of the encyclical Evangelium Vitae in understanding the
problem of suicide that is currently happening in Sikka Regency. In this case, the
author takes important points from the encyclical Evangelium Vitae to be able to read
the phenomenon of suicide that is happening in Sikka Regency.
This thesis is divided into four chapters. In chapter one, the author describes
the background of the problem that is the focus of this thesis, namely the suicide case
in Sikka Regency and then its relationship with the teachings of the Christian faith
about human dignity. In the second chapter, the author discusses specifically the
theories of experts who directly discuss suicide. In chapter three, the author describes
and outlines the contents of the encyclical Evangelium Vitae. Furthermore, in chapter
four, the author describes the significance of the encyclical Evagelium Vitae to the
case or phenomenon of suicide in Sikka Regency. The entire thesis ends with chapter
five which contains conclusions, suggestions, and a bibliography.

Keywords: Suicide Phenomenon, Sikka Regency, and Evangelium Vitae

xi
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………… i
Halaman Penerimaan Judul.......................................................................................ii

Halaman Pengesahan.................................................................................................iii

Pernyataan Pernyataan Orisinalitas.........................................................................iv

Halaman Persetujuan Publikasi.................................................................................v

Kata Pengantar...........................................................................................................vi

Abstrak.........................................................................................................................x

Abstract.......................................................................................................................xi

Daftar Isi....................................................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................1

1.2 Pokok Persoalan....................................................................................................7

1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................8

1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................................8

1.5 Metode Penulisan...................................................................................................9

1.6 Sistematika Penulisan............................................................................................9

BAB II HAKIKAT BUNUH DIRI...........................................................................11

2.1 Pengertian Bunuh Diri........................................................................................11

2.2 Empat Tipe Bunuh Diri......................................................................................14

2.2.1 Tipe Egoistik.......................................................................................................14

2.2.2 Tipe Altruistik.....................................................................................................15

2.2.3 Tipe Anomik.......................................................................................................16

xii
2.2.4 Tipe Fatalistik.....................................................................................................16

2.3 Faktor-faktor Penyebab Bunuh Diri.................................................................17

2.3.1 Faktor Internal....................................................................................................17

2.3.2 Faktor Eksternal..................................................................................................18

2.4 Tujuan Bunuh Diri..............................................................................................19

2.4.1 Bunuh Diri sebagai Usaha Membebaskan Diri dari Masalah.............................19

2.4.2 Bunuh Diri sebagai Aksi Teror...........................................................................20

2.4.3 Bunuh Diri sebagai Usaha untuk Melindungi Organisasi..................................21

2.4.4 Bunuh Diri sebagai Aksi Protes..........................................................................22

2.5 Ajaran Gereja tentang Bunuh Diri....................................................................22

2.5.1 Ajaran Kitab Suci...............................................................................................22

2.5.2 Ajaran Moral Kristiani........................................................................................24

2.5.3 Ajaran Hukum Gereja.........................................................................................25

BAB III MENGENAL ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE PAUS YOHANES


PAULUS II DAN INTI AJARAN TENTANG NILAI HIDUP MANUSIA DI
DALAM NYA............................................................................................................30

3.1 Ensiklik Evangelium Vitae..................................................................................31

3.1.1 Sejarah Penyusunan Ensiklik Evangelium Vitae................................................32

3.1.2 Latar Belakang Penulisan Ensiklik Evangelium Vitae.......................................34

3.1.3 Tujuan dan Maksud Ensiklik Evangelium Vitae................................................36

3.2 Inti Ajaran Tentang Nilai Hidup Manusia dalam Ensiklik Evangelium Vitae Paus
Yohanes Paulus II........................................................................................................37

3.2.1 Budaya Kehiupan dan Budaya Maut..................................................................37

3.2.1.1 Budaya Kehidupan..........................................................................................37

3.2.1.2 Budaya Maut....................................................................................................39

xiii
3.2.2 Sebab sebab Suramnya Nilai Kehidupan Manusia.............................................41

3.2.2.1 Pandangan yang Keliru tentang Kebebasan Manusia......................................42

3.2.2.2 Surutnya Kesadaran Akan Allah dan Manusia................................................43

3.2.3 Dasar Nilai Hidup Manusia................................................................................45

3.2.3.1 Allah Sebagai Dasar Nilai Hidup Manusia......................................................46

3.2.4 Konsekuensi terhadap Dasar Hidup Manusia.....................................................48

3.2.4.1 Pewartaan Injil Kehidupan..............................................................................49

3.2.4.2 Tanggung Jawab terhadap Hidup Manusiawi.................................................50

3.2.4.3 Mengusahakan Transformasi Budaya.............................................................52

3.3 CATATAN KRITIS............................................................................................54

BAB IV MEMBACA FENOMENA BUNUH DIRI DI KABUPATEN SIKKA


DALAM PERSPEKTIF ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE..............................56

4.1 MEMBACA REALITAS BUNUH DIRI DI KABUPATEN SIKKA.............56

4.2 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI DI KABUPATEN


SIKKA ...................................................................................................................... 65

4.2.1 Kemiskinan.........................................................................................................65

4.2.2 Kegagalan...........................................................................................................67

4.2.3 Lemahnya Moral Iman.......................................................................................68

4.2.4 Kesehatan Mental...............................................................................................69

4.3 MOTIF BUNUH DIRI DALAM MASYARAKAT


KABUPATEN SIKKA..............................................................................................70

4.3.1 Bunuh Diri sebagai Solusi dalam Meneyelesaiakan Masalah............................70

4.3.2 Bunuh Diri sebagai Aksi Protes terhadap Situasi Politik...................................73

4.3.3 Bunuh Diri sebagai Ungkapan Ketidakpuasan terhadap Struktur


Ekonomi dan Sosial.....................................................................................................74

xiv
4.3.4 Bunuh Diri sebagai Ungkapan Ketidakpuasan
terhadap Struktur Kebudayaan....................................................................................76

4.4 BUNUH DIRI DALAM TERANG ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE


YOHANES PAULUS II............................................................................................78

4.4.1 Bunuh Diri sebagai Bentuk Pelecehan terhadap


Nilai Hidup Manusia...................................................................................................78

4.4.1.1 Manusia sebagai Pribadi yang Utuh................................................................78

4.4.1.2 Manusia sebagai Pembawa Kabar Sukacita Kehidupan..................................79

4.4.1.3 Manusia sebagai Bentuk Pancaran Diri Allah.................................................81

4.4.2 Bunuh Diri sebagai Tindakan Kejahatan yang Melawan Hidup Manusia.........82

4.4.2.1 Hidup Manusia Senantiasa Adalah Nilai.........................................................82

4.4.2.2 Hidup Manusia sebagai Sesuatu yang Baik.....................................................84

4.4.2.3 Hidup itu Sakral dan Tidak Dapat Diganggu Gugat........................................84

4.4.2.4 Hidup dan Mati Ada di Tangan Tuhan............................................................85

4.4.3 Bunuh Diri Sebagai Bentuk Pelanggaran Berat Hukum


dan Perintah Allah.......................................................................................................87

4.4.3.1 Hukum Allah “Jangan Membunuh”................................................................87

4.4.3.2 Perintah Allah “Cinta Kasih dan Berbelaskasihan Sejati”..............................88

4.5 CATATAN KRITIS............................................................................................89

xv
BAB V.........................................................................................................................92

PENUTUP..................................................................................................................92

5.1 KESIMPULAN....................................................................................................92

5.2 USUL SARAN......................................................................................................94

BIBLIOGRAFI..........................................................................................................97

xvi
xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Satu fase definitif yang akan dilalui oleh setiap manusia adalah kematian.
Kematian bukan lagi sebuah soal karena masing-masing orang memiliki tatanan
hidup yang digariskan oleh Allah. Namun ketika berbicara mengenai kematian yang
mendahului garis hidup yang diberikan Allah, dalam arti melakukan tindakan bunuh
diri, maka itu menjadi sebuah masalah yang perlu dikaji. Bunuh diri menjadi salah
satu topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Aksi bunuh diri menjadi salah satu
pilihan yang dipilih sebagian manusia untuk mengakhiri hidup.

Percobaan bunuh diri merupakan fenomena yang sering terjadi di berbagai


belahan dunia. Percobaan bunuh diri berhubungan erat dengan aspek psikologis dan
pengambilan keputusan. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan
hidup, maka seseorang memiliki dua pilihan yaitu menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan cara yang postif atau negatif, yaitu bunuh diri.1

Bunuh diri tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga oleh para
remaja. Kasus ini terjadi baik pada tingkat mondial, nasional, maupun pada tingkat
lokal. Stengel mengungkapkan bahwa bunuh diri merupakan tindakan pribadi yang
berkaitan erat dengan faktor-faktor sosial di mana seseorang tidak dapat dipahami
terlepas dari sistem sosial di mana dia hidup.2

Pada skala mondial, British Broadcasting Coorperation (BBC), sebagaimana


dilansir Kompas.com, menyebutkan bahwa angka bunuh diri yang menimpa generasi

1
Luluk Mukarromah, “Dinamika Psikologis pada Pelaku Percobaan Bunuh Diri”, Jurnal Psikologi dan
Psikologi Islam, 11:2 (Malang: Oktober 2014), hlm. 39.
2
Santoso, Meilanny Budiarti, Dessy Hasanah Siti Asiah, and Chenia Ilma Kirana. "Bunuh diri dan
depresi dalam perspektif pekerjaan sosial." Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
4.3 (2018): hlm.390-398.

1
muda di Jepang mencapai titik tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Kementerian
Pendidikan Jepang menyatakan, 250 anak dengan usia sekolah mulai Sekolah Dasar
(SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) bunuh diri antara 2016 hingga Maret
2018. Dilaporkan Reuters via CNN Selasa 7 November 2018, jumlah tersebut
merupakan angka tertinggi sejak 1986, di mana dilaporkan 268 anak bunuh diri.
Anak-anak ini memutuskan mengakhiri hidup antara lain karena masalah di
keluarganya, ketakutan akan masa depan, hingga perundungan.3

Pada skala nasional, Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa pada tahun
2012, Indonesia menduduki posisi ke-114 dunia dan ke-8 ASEAN dalam kasus bunuh
diri dengan 3,7% per 100 ribu populasi. Tahun 2010, indeks kasus bunuh diri di
Indonesia mencapai 1,8% per 100 ribu jiwa atau sekitar 5000 orang per tahun. Jumlah
tersebut meningkat pada tahun 2012. Estimasinya mencapai 4,3% per 100 ribu jiwa
atau sekitar 10 ribu orang per tahun.4

Dalam skala lokal, khususnya untuk konteks provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT), kasus bunuh diri juga kerap terjadi tiap tahun. Pada tahun 2017, ada sebanyak
11 kasus bunuh diri yang sempat terekspos media di NTT. 5 Data ini belum termasuk
kasus bunuh diri yang tidak terekspos media masa.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena bunuh diri di Indonesia semakin


mengkhawatirkan. Indonesia sebagai negara yang menganut budaya kolektivitas, juga
memiliki angka kasus bunuh diri cukup tinggi. WHO memperkirakan tahun 2022
angka bunuh diri di Indonesia dapat mencapai 2,4 persen dari 100.000 jiwa apabila
tidak mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak. 6

3
Kompas.com, “Angka Bunuh Diri Anak di Jepang Tertinggi dalam 30 Tahun Terakhir”
http://Internasional.Kompas.com, diakses pada 10 September 2021.
4
Fransiskus Nong Budi “You’ll Never Walk Alone”, dalam KANA No. 02 Tahun XII (April-Mei –
Juni 2017), hlm.6.
5
Maria Elfrida, “Silent Epidemic Bunuh Diri dan Depresi” dalam Opini Pos Kupang, Rabu, 21
Februari 2018
6
Ratih, AA Sagung Weni Kumala, dan David Hizkia Tobing. "Konsep diri pada pelaku percobaan
bunuh diri pria usia dewasa muda di Bali." Jurnal Psikologi Udayana 3.3 (2016): hlm. 430-444.

2
Maraknya kasus bunuh diri, baik pada skala mondial, nasional, maupun lokal
seperti yang tersaji dalam data di atas menjadikan fenomena bunuh diri sebagai
sebuah persoalan yang mesti segera ditangani secara serius. Keseriusan penanganan
kasus tersebut bukan hanya menyangkut mencari solusi terbaik untuk mengatasinya,
tetapi juga berkaitan dengan usaha mencari penyebab atau faktor pendorong
terjadinya kasus tersebut. Bunuh diri adalah masalah kompleks yang lahir dari aneka
motivasi dan alasan-alasan tertentu.

Kasus bunuh diri tidak hanya berorientasi pada kelompok remaja dan orang
muda tetapi terjadi pada semua kelompok usia. O’Connor dan Nock mengatakan
bahwa kasus bunuh diri mengarah pada pikiran-pkiran dan tindak laku yang terkait
dengan intensi individual untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.7

. Wenzel, Brown dan Beck melihat ketidakberdayaan sebagai suatu paham


yang sangat yakin bahwa masa depan itu sesautu yang sangat menakutkan dan
poersoalan-persoalan yang dihadapi tidak memiliki jalan keluar.8 Berbeda dengan
Westefeld Range, dkk menjelaskan ketidakberdayaan sebagai prediktor yang baik
untuk bunuh diri.9

Kasus bunuh diri ini mulai dari bunuh diri secara sembunyi-sembunyi,
sampai bunuh diri yang dilakukan secara terang-terangan sampai ditayangkan di
media sosial. Menurut WHO (World Health Organization) bunuh diri merupakan
salah satu faktor penyebab terbesar kematian di berbagai negara. Bunuh diri
merupakan masalah klasik tetapi dianggap sebagai sebuah fenomena peradaban yang
tersebar luas di negara-negara yang sudah maju di bidang industri.

7
Andari, Soetji. "Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Gunung Kidul." Sosio Konsepsia: Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 7.1 (2017): hlm. 92-108.
8
Madung, Otto Gusti. "Liberalisme versus Perfeksionisme? Sebuah Tinjauan Filsafat Politik tentang
Relasi Antara Agama dan Negara." Jurnal Ledalero 12.2 (2017): 173-190.
9
Tience Debora Valentine & Afin Vadila Helm, “Ketidakberdayaan dan Perilaku Bunuh Diri”, Buletin
Psikologi, 24:2, (Yogyakarta:Universitas Gadja Mada), hlm. 123.

3
Secara umum, tindakan bunuh diri dilihat sebagai tindakan yang paling
personal. Artinya bahwa masalah psikologis menjadi latar belakang yang memicu
terjadinya tindakan bunuh diri. Keputusan untuk melakukan tindakkan tersebut tidak
ada intevensi dari orang lain, sehingga sebagian orang menganggap bahwa tindakan
bunuh diri didasarkan pada faktor kejiwaan yang terganggu. Namun, ada juga yang
melihat bahwa gangguan kejiwaan bukan satu-satunya alasan yang memnyebabkan
terjadiya faktor bunuh diri.

Ada berbagai macam faktor seperti faktor sosial atau relasi dengan
masyarakat sekitar, ruang gerak lingkungan yang terlalu mengekang dan terikat serta
sistem pengkotakan yang terjadi dalam sekelompok masyarakat juga menjadi alasan
di balik terjadinya kasus bunuh diri. Durkheim menjelaskan perbedaan level fakta
seosial yang disebabkan oleh perbedaan kesadaran kolektif dalam suatu masyarakat
memengaruhi perbedaan angka bunuh diri dalam kelompok masyaralat tersebut. 10
Faktor psikologi dapat menjelaskan kausalitas seorang melakukan tidakan bunuh diri.
Sedangkan fakta-fakta dan realitas sosial dapat menjelaskan alasan suatu kelompok
masyarakat mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.

Lingkungan masyarakat yang berbeda memiliki kesadaran kolektif yang tentu


akan berbeda juga. Arus sosial inilah yang menghegemoni setiap keputusan individu
untuk mengambil tindakan bunuh diri. Selain itu, masalah ekonomi atau tingkat
pendapatan yang rendah membuat seseorang merasa tertekan, apalagi jika tinggal di
lingkungan yang tidak kondusif dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang.

Bunuh diri bukan sekadar tingkah laku yang nekat mengakhiri hidup yang
dipantangkan oleh seluruh agama, tetapi terdapat kunci pemahaman rahasia
kehidupan yang kompleks dalam fenomena bunuh diri, sehingga fenomena bunuh diri
di setiap daerah belum tentu sama. Hal yang membedakannya adalah faktor dan motif
yang melatarbelakangi kasus bunuh diri tersebut.

10
George Ritzer, “Teori Sosiologi”, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm 156-159.

4
Di kabupaten Sikka, bunuh diri menjadi masalah sosial yang intensitas
kejadiannya sering muncul di media soial. Strategi dan model bunuh diri yang sering
dilakukan oleh para korban di wilayah Kabupaten Sikka yaitu gantung diri
menggunakan alat-alat yang mudah ditemukan di sekitar korban seperti tali,
selendang, handuk atau sarung. Tendensi seseorang melakukan tindakan bunuh diri
tidak begitu signifikan ditunjukkan kepada lingkungan sekitarnya. Umumya
seseorang akan menutupi perasaan dan masalah yang dihadapinya sehingga tidak
kentara dan dicurigai oleh masyarakat sekitar bahkan orang-orang terdekatnya.

Masih melekatnya stigma bahwa orang yang berbicara tentang bunuh diri
dianggap sepeleh, tak jarang dianggap kurang ibadah atau tidak waras. Hal ini tentu
membuat orang itu menjadi introvet dan memilih untuk memendamkan perasaanya
sendiri. Semakin banyak masalah yang dipendam maka semakin besar orang tersebut
merasa tertekan dengan keadaan. Tidak menutup kemungkina orang yang pernah
berbicara tentang bunuh diri akan melakukan hal yang diungkapkannya itu. WHO
mengafirmasi bahwa bentuk ungkapan seperti ini secara inklusif mau menyampaikan
isi hatinya jika lawan bicaranya peka terhadap masalah yang dihadapinya.

Seseorang mengambil tindakan bunuh diri karena merasa sudah sampai pada
titik nadir dari hidupnya di mana ia tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengatasi
masalah hidupnya. Masalah yang selalu dipendam dan tidak pernah diungkapkan
tersebut menjadi bumerang untuk hidupnya. Tindakan nekat seperti bunuh diri
merupakan bentuk penolakan terhadap masalah hidup. Hal ini tentunya tidak bisa
dianggap remeh karena kasus seperti ini hampir tidak bisa dicegah dan masih tetap
dihidupi oleh sebagian masyarakat yang selalu menarik diri dari setiap masalah hidup
dan meretas tali penderitaan yang dialaminya.

Kasus bunuh diri menjadi tindakan yang tidak dibenarkan secara moral dan
agama karena tidak menjujung tinggi nilai kehidupan yang sudah diwariskan Allah
kepada manusia secara cuma-cuma. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik
Evangelium Vitae menekankan nilai hidup di mana Allah menjadi dasar hidup yang

5
memberi dan mengambil kembali anugerah kehidupan. Penegasan Paus Yohanes
Paulus II ini memcerminkan bahwa nilai hidup sebagai anugerah Allah tidak dapat
diganggu gugat oleh manusia. Perbuatan mengakhiri hidup dianggap sebagai dosa.
Menghadapi berbagai ancaman hidup yang berat menyeret manusia terlindas oleh
perasaan tak berdaya.

Pandangan Paus Yohanes Paulus II memberikan sebuah harapan dan pelopor


semangat hidup manusia. Hidup manusia memiliki tujuan pada keilahian yakni
bersatu dengan Allah dalam hidup kekal. Sangat jelaslah bahwa kacamata iman
Kristiani terhadap hidup sangatlah luhur. Disebut luhur karena pada hakikatnya hidup
manusia diciptakan sangat istimewa berdasarkan citra-Nya. Martabat hidup itu tidak
hanya berhadapan dengan awal kehidupan tetapi berkaitan dengan tujuan akhir dari
hidup manusia, yakni persekutuan dengan Pencipta-Nya.

Allah menganugerahkan kebebasan dan kehendak batin tetapi bukan


kebebasan yang bersifat mutlak. Paus Yohanes Paulus II mau memperjuangkan nilai
hidup melalui penegasannya dalam ensiklik Evangelium Vita. Moralitas yang
diperjuangkan didasarkan pada injil kehidupan. Satu-satunya cara untuk mencintai
hidup adalah dengan sikap keterbukaan terhadap setiap masalah serta bersyukur atas
hidup itu sendiri. Tindakan bunuh diri bukan pilihan yang baik karena mengakhiri
hidup berarti menganggap rendah nilai kehidupan dan menggunakan kebebasan yang
diberikan Allah untuk melakukan sesuatu yang fatal. Ketidaksadaran akan entitas
Allah sebagai dasar kehidupan membawa manusia kepada kegelapan maut yang
menyesatkan.

Berangkat dari penjelasan sebelumnya maka penulis merangkumnya dengan


judul “MEMBACA FENOMENA BUNUH DIRI DI KABUPATEN SIKKA
DALAM PERSPEKTIF ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE”

1.2. POKOK PERSOALAN

6
Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dua masalah
mendasar yang menjadi pokok persoalan dalam tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan itu
pertama, bagaiaman fenomena bunuh diri di Kabupaten Sikka, dan kedua,
bagaiamana peran ensiklik Evangelium Vitae dalam mengatasi fenomena bunuh diri
di Kabupaten Sikka. Secara terperinci pokok-pokok persoalan dalam tulisan ini
adalah sebagai berikut:

1. Apa itu bunuh diri?


2. Apa penyebab maraknya kasus bunuh diri di Kabupaten Sikka?
3. Apa tujuan bunuh diri di Kabupaten Sikka?
4. Apa motif bunuh diri di Kabupaten Sikka?
5. Apa itu ensiklik Evangelium Vitae?
6. Apa peran ensiklik Evangelium Vitae dalam mengatasi fenomena bunuh diri
di Kabupaten Sikka?

1.3. TUJUAN PENULISAN


Adapun beberapa tujuan yang mau dicapai dari penulisan skripsi dengan judul
Membaca Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Sikka dalam Perspektif Ensiklik
Evangelium Vitae yakni; Pertama, Menjelaskan pengertian dan tipe-tipe bunuh diri.
Kedua, Menjelaskan penyebab maraknya fenomena bunuh diri di Kabupaten Sikka.
Ketiga, Menjelaskan tujuan bunuh diri di Kabupaten Sikka. Keempat, Menjelaskan
motif bunuh diri di Kabupaten Sikka. Kelima, Menjelaskan pengertian, inti ajaran,
dan sejarah Evangelium Vitae. Keenam,Menjelaskan peran ensiklik Evamgelium
Vitae dalam mengatasi fenomena bunuh diri di Kabupaten Sika.

1.4. MANFAAT PENULISAN

Tulisan ini juga memiliki manfaatnya. Adapun beberapa manfaat dari tulisan
ini yaitu,

7
Pertama, bermanfaat bagi penulis sendiri. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan agar bisa mendapat gelar keserjanaa (strata satu/S1) pada Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero.

Kedua, bermanfaat bagi masyarakat. Tulisan ini dibuat dalam usaha untuk
menyadarkan masyarakat akan pentimgnya nilai hidup dalam diri manusia dan upaya
preventif aksi bunuh diri sehingga masyarakat menjadi lebih kritis dalam mengambil
keputusan dalam hidupnya.

1.5. METODE PENULISAN

Penulisan karya ilmiah ini akan diselesaikan dengan menggunakan jenis studi
dengan metode analisis data sekunder. Dalam proses penelitian data sekunder, penulis
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku yang berisi tulisan tentang bunuh diri
dan tentang ensiklik Evangelium Vitae. Selain buku-buku, penulis juga berusaha
untuk mendapatkan gagasan-gagasan dan data-data terkait kasus bunuh diri dan
ensiklik Evangelium Vitae dalam berbagai media massa, jurnal, internet, dan melalui
penelitian lapangan.

1.6. SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan ini digarap dalam kemasan judul: “Membaca Fenomena Bunuh Diri di
Kabupatem Sikka dalam Perspektif Ensiklik Evangelium Vitae.” Secara keseluruhan,
tulisan ini terdiri dari lima bab dengan rinciannya sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini dijabarkan mengenai latar
belakang penulisan, pokok persoalan, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.

8
Bab kedua berisi tentang bunuh diri yang di dalamnya memuat pengertian
bunuh diri, tipe-tipe bunuh diri, faktor-faktor penyebab bunuh diri, tujuan bunuh diri,
dan ajaran Gereja tentang bunuh diri.

Bab tiga berisikan ulasan ensiklik Evangelium Viatae dan inti ajarannya
tentang nilai kehidupan yang di dalamnya memuat pengertian, sejarah, latar belakang,
tujuan, dan inti ajaran ensiklik Evangelium Viatae.

Bab empat berisi tentang peran ensiklik Evangelium Viatae dalam mengatasi
fenomena bunuh diri di Kabupaten Sikka. Pada bagian ini, penulis mengulas tentang
data-data bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Sikka dari tahun 2019 sampai tahun
2021 dan fakta-fakta bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Sikka.

Bab lima adalah penutup. Ada dua elemen penting dalam bagian ini yaitu
kesimpulan umum, yang dibuat penulis atas keseluruhan isi tulisan ini dan beberapa
usul dan saran guna melengkapi maksud penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah
ini.

9
BAB II

HAKIKAT BUNUH DIRI

2.1. PENGERTIAN BUNUH DIRI

Bunuh diri adalah pembunuhan langsung dari diri sendiri berdasarkan otoritas
sendiri.11 Bunuh diri juga berarti orang atau subjek sendiri yang dengan tahu dan mau
memetikan dirinya tanpa ada campur tangan dari pihak lain atau otoritas dari luar.
Karena yang ditekankan di sini adalah bunuh diri berdasarkan otoritas sendiri, maka
apabila seseorang dipaksa oleh otoritas dari luar untuk membunuh dirinya sendiri, itu
bukanlah merupakan bunuh diri dalam arti yang sebenarnya. Salah satu contoh bunuh
diri yang dipaksa oleh otoritas dari luar adalah bunuh diri yang dilakukan oleh
socrates. Socrates mati bunuh diri dengan meminum racun karena dipaksa oleh
pengadilan.12

Bunuh diri adalah usaha menghilangkan nyawa sendiri secara aktif ataupun
dengan diam diri yang dapat menyebabkan kematian. 13 Bunuh diri merupakan
tindakan bebas yang dilakukan atas keputusan dan pilihan pribadi dengan berbagai

11
Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, terj. Alex
Armanjaya, Yosef M. Florisan, dan G. Kirchberger (Maumere:, Ledalero, 2003), hlm. 128.
12
Ibid.
13
B. Setiawan et. Al., Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Delta pamungkas, 2004), hlm. 556.

10
pertimbangan, walaupun tidak matang dan salah. Orang berani menghilangkan
nyawanya sendiri berarti orang sudah memikirkan konsekuensi yang akan
diterimanya. Tentunya bunuh diri bukan pilihan bebas yang bijaksana.

Di banyak negara Barat, bunuh diri menempati urutan 10 besar sebagai


penyebab kematian dan umumnya bagi remaja (15-24 tahun) bunuh diri merupakan
penyebab kematian kedua setelah kecelakaan lalu lintas.14 Yang menarik adalah
umumnya para pelaku bunuh diri memberitahukan rencana mereka kepada orang lain
dengan meninggalkan pesan singkat. Tindakan ini dapat diartikan sebagai upaya
meminta perhatian dari orang lain.

Berdasarkan data yang dilansir di WHO pada tahun 2005, Indonesia masuk
dalam kategori negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi, bahkan tingkat
indonesia nyaris mendekati negara-negara dengan tingkatan bunuh diri terbesar di
Asia layaknya Jepang dan Cina. Tercatat, sedikitnya 50.000 orang Indonesia
melakukan aksi bunuh diri setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukan bahwa
setidaknya terjadi 150 kasus bunuh diri per hari di tanah air. Perihal yang lebih
memprihatinkan lagi adalah cenderung meningkatnya angka bunuh diri pada usia
muda ( usia 16-30 tahun).15

Manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya, baik secara genetis maupun
yang dikembangkan dalam interaksi dengan sesama dan lingkungan tempat ia berada.
Ada dua potensi yang dimiliki manusia, yakni potensi baik dan potensi tidak baik.
Potensi baik dari manusia yakni potensi untuk berpikir dan bertindak, untuk
mencintai dan berinteraksi dengan orang lain. Potensi yang tidak baik adalah
kecenderungan untuk menghancurkan dirinya sendiri, mempersalahkan dirinya,
menyesali kesalahan yang berkepanjangan dan berpikir tidak rasional. Salah satu
contoh dari potensi yang tidak baik adalah bunuh diri.

14
Ibid.
15
Nugroho, Wahyu Budi. "Pemuda, bunuh diri dan resiliensi: Penguatan resiliensi sebagai pereduksi
angka bunuh diri di kalangan pemuda Indonesia." Jurnal Studi Pemuda 1:1 (2012): 31-45.

11
Secara umum, perilaku manusia mengarah pada tujuan untuk meredahkan
ketegangan, menolak kesakitan dan mencari kenikmatan. Berkaitan dengan hal ini,
para psikolog juga mempunyai pandangan sendiri mengenai bunuh diri. Mereka
mengatakan bahwa di dalam kehidupan terdapat kecenderungan bunuh diri yakni
dambaan untuk beristirahat tanpa konflik.16 Beristirahat tanpa konflik inilah yang
dimaksud dengan menolak kesakitan dan mencari kenikmatan. Bunuh diri merupakan
suatu kenikmatan bagi para pelakunya.

M.K. Yosepha, Konselor RSUD dr. TC Hillers Maumere dan staf Pengajar
Fakultas Psikologi UNIPA Maumere mengatakan bahwa bunuh diri merupakan
upaya agresif yang dilakukan seseorang untuk mengakhiri hidupnya.17 Upaya agresif
dan kecenderungan yang tidak normal ini bisa mencuat keluar ketika pribadi tersebut
merasa tidak berdaya untuk menghadapinya. Kecenderungan ini ada dalam setiap diri
manusia.

Seseorang yang sedang mengalami tekanan psikologis biasanya tidak punya


orientasi hidup yang jelas. Mereka merasa terombang ambing seperti biduk di tengah
laut yang ganas. Penulis mengilustrasikan orang yang depresi seperti fiber yang diisi
air. Jika di dalam fiber tersebut tidak disalurkan air melalui pipa atau selang ke
tempat lain maka fiber itu akan penuh dan airnya akan meluap. Permasalahan hidup
yang terus ditampung dan tidak cepat diselesaikan, maka ia akan bertambah banyak
dan kompleks. Permasalahan yang banyak dan kompleks akan sulit untuk
diselesaikan. Juga akan menyebabkan depresi dan stres. Kondisi seperti ini menjadi
dasar pilihan seseorang untuk menyelesaikan masalahnya secara tidak normal. 18
Bunuh diri adalah salah satu jalan yang dipilih untuk menyelesaikan masalah.

Dalam industri hiburan, di belakang para idola cantik dan menawan ada
terdapat orang-orang penting yang berusaha mencapai tujuan mereka. Di saat yang
sama, banyak idola wanita yang banyak mengalami stres psikologis karena berbagai
16
Karl-Heinz Peschke, Loc. Cit.
17
“Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Sikka” dalam www.inimaumere.com. Diposkan pada hari
Rabu, 03 Februari 2011, diakses pada tanggal 25 Oktober 2021.
18
Ibid.

12
tuntutan dan kekerasan yang mereka terima. Kekerasan itu sendiri adalah suatu
perilaku kekerasan di mana seseorang atau sekelompok orang menggunakan
kemauannya untuk melawan orang atau kelompok lain melalui cara nonverbal, verbal
atau fisik yang telah meninggalkan luka fisik atau psikologis. Hal inilah yang
kebanyakan menjadi penyebab para artis muda atau idola melakukan bunuh diri.
Cyberbullying, korban pelecehan seksual dan media sepanjang kariernya, serta
korban tuntutan hiburan yang penuh kekerasan.19

2.2. EMPAT TIPE BUNUH DIRI

Jika ditinjau dari tipe-tipe manusia, maka dapat diangkat empat tipe bunuh
diri yang terjadi dalam masyarakat. Empat tipe bunuh diri itu adalah tipe egoistik, tipe
altruistik, tipe anomik, dan tipe fatalistik.

2.2.1. Tipe Egoistik

Tipe egoistik merupakan pemusnahan diri karena individu yang bersangkutan


merasa terasing dari orang lain dan dari masyarakat. 20 Keterasingan atau alienasi yang
dialami oleh individu ini terjadi akibat sikap ketertutupan yang dibangun oleh
individu bersangkutan. Sikap ketertutupan yang dimaksud adalah keengganan
individu tersebut untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.

Tipe ini mewakili pribadi-pribadi yang tidak memiliki tujuan bersama dalam
kehidupan kelompok dan hanya mementingkan kepentingan pribadi.21 Pribadi yang
terlalu mementingkan kepentingan pribadinya dan tidak memperhatikan sesamanya
akan disudutkan oleh masyarakat. Pribadi yang memiliki sifat egoisme yang
berlebihan tidak akan mendapatkan simpati dari lingkungannya. Akibat disudutkan

Santi, Karunia. "Sisi Gelap Industri Hiburan dan Kekerasan Terhadap Perempuan."
19

OSF Preprints. May 27 (2021).


Dagun, Save M, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2006), hlm. 126.
20

Ishak Supatriot Dalo, “Bunuh Diri: Ekspresi Keruntuhan Modal Sosial Masyarakat”,
21

mengutip Emile Durkheim, Suicide A Study in Sociology, terj. John A. Spaulding and
George Simpson (London: Roudlege Classics and New York, 2002), hlm. 105-239.
Dalam (Arddalo.blogspot.com) diakses pada tanggal 4 November 2022.

13
dari masyarakat atau akibat tidak mendapat simpati dari masyarakat, individu
tersebut merasa tidak puas dan mengakhiri hidupnya sendiri dengan melakukan
tindakan bunuh diri.

2.2.2. Tipe Altruistik

Tipe Altruistik merupakan tindakan bunuh diri demi kepentingan orang lain. 22
Tipe Altruistik merupakan kebalikan dari tipe egoistik. Dalam tipe altruistik, proses
intergrasi antara individu yang satu dengan yang lain berjalan lancar dan melahirkan
masyarakat yang memiliki integrasi yang kuat.23 Hal ini tentu berbeda dengan tipe
egoistik yang individunya tidak mau berinteraksi dengan sesamanya sehingga
integrasinya lemah dalam masyarakat.

Dalam masyarakat tipe altruistik, kebersamaan yang dibangun sangat kuat dan
erat. Dalam hal ini tidak ada sifat egoisme pribadi yang tinggi. Yang didahulukan
atau yang dinomorsatukan adalah kepentingan kelompok. Oleh karena itu, apabila
komunitas atau kelompok menuntut atau mengharuskan pribadi yang bersangkutan
untuk mengorbankan dirinya demi kelompok, maka mereka akan melakukan apa saja
yang dikehendaki oleh kelompok termasuk bunuh diri atau bunuh diri untuk
menyelamatkan kelompoknya.

2.2.3. Tipe Anomik

Tipe anomik merupakan tindakan menghancurkan diri sendiri karena tidak


mampu menghadapi perubahan yang tiba-tiba atau tidak berhasil beradaptasi dengan
situasi sosial.24 Hal ini terjadi dalam Masyarakat yang dibanjiri dengan berbagai
perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya.

Anomik adalah suatu keadaan moral ketika individu tertentu kehilangan cita-
cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya.25 Ketika terjadi berbagai perubahan dalam

22
Save M.Dagun, Loc. Cit.
23
Ishak Supatriot Dalo, Loc.Cit.
24
Save M.Dagun, Loc. Cit
25
Ishak Supatriot Dalo. Loc.Cit.

14
kehidupan di segala bidang individu yang tidak siap menghadapi perubahan tersebut
mengalami kehilangan nilai-nilai hidup (adat, agama, norma-norma sosial) yang
dijadikan pegangan hidupnya. Berhadapan dengan perubahan zaman, nilai-nilai sosial
(adat, agama, dan sebagainya) tidak bisa menolong individu tersebut karena nilai-
nilai tersebut sudah tidak sesuai zaman lagi atau out of date. Karena tidak mempunyai
pegangan hidup lagi masyarakat menjadi terombang-ambing di tengah derasnya arus
globalisasi. Bunuh diri adalah jalan yang dipilih untuk mengakhiri masalah yang
mereka alami.

2.2.4. Tipe Fatalistik

Tipe fatalistik merupakan tipe bunuh diri yang terjadi ketika nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat meningkat dan menyebabkan individu atau kelompok
merasa tertekan.26 Norma yang mengikat dalam masyarakat membuat individu merasa
bahwa masa depannya tertutup karena merasa tidak sanggup memenuhi tuntutan nilai
dan juga karena norma-norma tersebut membatasi segala gerak dan kebebasan
mereka untuk berkreasi.

Pribadi yang termasuk dalam tipe fatalistik melakukan bunuh diri karena
merasa ruang gerak mereka dibatasi akibat aturan atau norma yang diberlakukan
dalam suatu masyarakat. Misalnya pada masa kepemimpinan Soeharto, Indonesia
menganut sistem pemerintahan otoriter. Sistem ini tentu akan membatasi ruang gerak
warga negara Indonesia. Karena dalam sistem kepemimpin ini, bagi siapapun yang
mengkritik pemerintah akan dibunuh atau disingkirkan. Hal ini dapat menyebabkan
keresahan dalam diri masyarakat Indonesia yang berujung pada bunuh diri.

2.3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI

Ada banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan


tindakan bunuh diri. Penulis mencoba mengelompok annya dalam dua bagian besar
yakni faktor internal dan faktor eksternal.

26
Ibid.

15
2.3.1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor penyebab bunuh diri yang berasal dari pribadi
seseorang. Faktor-faktor itu ada tiga: pertama,keputusasaan. Keputusasaan adalah
alasan yang paling sering untuk bunuh diri.27 Putus asa yang akut akan menyebabkan
seseorang mengalami depresi dan stres. Yang paling ekstrem dari keputusasaan
adalah seseorang mengalami gangguan jiwa. Di antara pelaku bunuh diri yang
berhasil melakukan aksi bunuh dirinya banyak yang menderita depresi psikostik
(gila).28

Orang bisa putus asa karena tidak mampu dalam menghadapi suatu masalah,
baik masalah ekonomi, kebudayaan, adat-istiadat maupun masalah intern keluarga.
Orang juga bisa putus asa karena kepribadiannya yang introver akibat keterbatasan
mental, keterbatasan fisik, pengetahuan, ekonomi, dan karena terlalu lama menderita
penyakit.

Kedua, jenis kelamin. Pria ternyata tiga kali lebih sering bunuh diri daripada
wanita.29 Hal ini mungkin terjadi karena pria lebih cepat putus asa dibandingkan
dengan wanita. Ketiga, dosa publik. Seseorang bisa melakukan bunuh diri karena
merasa malu akibat telah melakukan dosa publik seperti pemerkosaan, korupsi,
pembunuhan, perampokan, pencurian dan sebagainya.

2.3.2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor penyebab bunuh diri yang berasal dari
luar pribadi yang melakukan bunuh diri. Faktor-faktor eksternal itu ada tiga.
Pertama, tekanan dari pihak luar atau kelompok. Contohnya seorang teroris
melakukan bom bunuh diri karena ditekan oleh kelompoknya. Kedua, pengaruh
lingkungan. Orang bisa putus asa dan berujung pada bunuh diri karena isolasi sosial
atau karena stereotipe yang disematkan masyarakat atau lingkungan kepadanya.

27
Karl-Heinz Peschke, Loc. Cit.
28
B Setiawan et al., Op. Cit. P.557.
29
Ibid.

16
Orang juga bisa melakukan bunuh diri karena ditolak dari masyarakat atau karena
hubungan yang kurang harmonis dengan lingkungannya. Ketiga, kecanduan alkohol.
Orang yang kecanduan alkohol lebih sering bunuh diri.30 Orang bisa melakukan
bunuh diri karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Orang berpikir bahwa
alkohol bisa membantu mereka untuk menyelesaiakan permasalahan yang mereka
hadapi tetapi kenyataannya tidak demikian karena justru alkohol malah nelumpukan
otak mereka untuk berpikir lebih kritis dan bertanggung jawab terhadap masalah
mereka.

2.4. TUJUAN BUNUH DIRI

Memang sulit untuk mengetahui apa tujuan sebenarnya dari aksi bunuh diri
yang nekat dilakukan oleh seseorang. Hal ini dikarenakan banyak pelaku bunuh diri
yang akhirnya meninggal dan tidak bisa dimintai keterangan tentang apa motif dari
aksi bunuh diri yang mereka lakukan. Tetapi, dari pembahasan sebelumnya, penulis
dapat mengatakan bahwa secara umum ada beberapa tujuan orang melakukan bunuh
diri sesuai dengan situasi, tipe kepribadian seseorang, dan masalah yang mereka
hadapi.

Berdasarkan situasi, tipe kepribadian seseorang, dan masalah yang sedang


dihadapi, kita dapat menemukan empat tujuan bunuh diri.

2.4.1. Bunuh Diri sebagai Usaha Membebaskan Diri dari Masalah

Aksi bunuh diri yang dilakukan seseorang pasti dilatarbelakangi oleh suatu
alasan karena tidak mungkin seseorang melakukan bunuh diri karena memang ia
senang untuk melakukan hal yang tidak terpuji itu. Alasan yang paling sering muncul
di balik kasus bunuh diri yang terjadi adalah ketidaksanggupan pribadi untuk
menghadapi berbagai macam masalah dalam hidup. Seseorang merasa dirinya tidak
berguna karena tidak berdaya sama sekali dalam menghadapi persoalan dan
penderitaan hidupnya. Karena itu, putus asa adalah alasan yang paling sering untuk

30
Ibid.

17
melakukan bunuh diri.31 Bunuh diri merupakan teriakan ketidakberdayaan mereka
yang tidak bisa mengatasi berbagai persoalan hidup yang datang mendera.

Bagi orang yang mengalami depresi, stres, dan keputusasaan, kecenderungan


psikologis manusia yang selalu ingin beristirahat tanpa konflik dapat menjadi tujuan
mereka untuk melakukan aksi bunuh diri. Orang ingin merasa bebas dari semua
permasalahan, penderitaan, dan tekanan yang mereka hadapi dan alami dengan cara
yang mudah dan dalam waktu yang singkat. Dalam hal ini, bunuh diri dapat dikatakan
sebagai solusi jitu untuk mengatasi persoalan mereka. Tujuan inilah yang seringkali
dijadikan oleh masyarakat untuk melegitimasi aksi bunuh diri yang mereka lakukan.

2.4.2. Bunuh Diri sebagai Aksi Teror

Teror adalah menciptakan ketakutan, kengerian atau kekejaman. Teror oleh


seseorang atau golongan. Sedangkan, teroris adalah orang yang menggunakan
kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. 32 Dalam
beberapa tahun terakhir ini, aksi teror marak terjadi di Indonesia dengan membawa
panji ideologi tertentu.

Biasanya aksi teror dilakukan untuk melawan pemerintah atau rezim yang saat
itu sedang berkuasa. Namun, pada masa ini, terorisme dipahami sebagai crime
against humanity, yaitu bentuk kejahatan melawan kemanusiaan, karena selain
menimbulkan pelbagai perasaan manusiawi yang negatif (takut, cemas, terancam),
terorisme juga merenggut hak manusiawi yang paling dasariah, yaitu hak untuk
hidup.33 Untuk mencapai tujuan mereka, para teroris tidak pernah takut
menghancurkan nyawa sendiri dan nyawa orang lain.

Kelompok-kelompok teroris kerap kali melakukan aksi teror dengan


melakukan aksi bunuh diri untuk menakuti atau mengancam suatu pihak atau rezim
tertentu akibat suatu hal ataupun kebijakan tertentu yang diambil oleh pemerintah
31
Karl-Heinz Peschke, Loc. Cit.
32
Nasir Abas dan Zora A. Sukabdi, Jauhkan Aku dari Terorisme (Jakarta: Grafindo, 2011), hlm.9
33
Silvester Ule, “Esensi Terorisme dan Persoalan Kekerasan” Vox Membongkar Terorisme (Seri
54/10/2010), hlm. 112-127.

18
yang dianggap merugikan mereka. Cara yang mereka pakai untuk melakukan aksi
bunuh diri tersebut adalah dengan melakukan aksi bom bunuh diri, yakni
menghancurkan diri mereka sendiri dengan menggunakan bahan peledak. Bunuh diri
yang dilakukan oleh para teroris sangat berbahaya karena aksi bom bunuh diri yang
mereka lakukan selalu mengorbankan masyarakat sipil yang tidak bersalah.

2.4.3. Bunuh Diri sebagai Usaha untuk Melindungi Organisasi

Seorang mata-mata melakukan aksi bunuh diri saat ia ketahuan melakukan


kegiatan spionase. Hal ini ia lakukan untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan
organisasi dan kegiatan mereka agar tidak diketahui musuh.

Contoh lain yang kurang lebih mirip dengan hal ini adalah bunuh diri yang
dilakukan oleh Adolf Hitler, pemimpin Nazi, Jerman. Pada akhir perang dunia II,
Adolf Hitler, seorang diktator bengis dan tak berperikemanusiaan, gagal
menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia dan kalah dalam perang. Ia melakukan
aksi bunuh diri dengan menembaki kepalanya dengan menggunakan pistol. Hal ini ia
lakukan karena ia tidak mau ditangkap dan disiksa sebagai tawanan perang oleh
sekutu yang menang. Ia takut mempertanggungjawabkan semua kejahatan yang
sudah ia lakukan selama perang dunia II.

2.4.4. Bunuh Diri sebagai Aksi Protes

Bunuh diri juga dilakukan sebagai aksi protes terhadap sesuatu.

Pertama, protes terhadap keluarga dan kenalan mereka yang mungkin


mengabaikan dan tidak memperhatikan mereka. Upaya bunuh diri adalah gugatan
terhadap hati nurani para sanak kerabat atau kenalan korban; apakah mereka telah
mencurahkan perhatian dan memberikan bantuan yang diharapkan bagi pribadi yang
bermasalah.34

Kedua, protes terhadap situasi lingkungan tempat mereka hidup. Misalnya


masyarakat akar rumput yang miskin dan kaum kecil yang termarginalisasi
34
Karl-Heinz Peschke, Op. Cit. hlm.132.

19
melakukan aksi bunuh diri sebagai aksi protes terhadap situasi ketidakadilan dalam
struktur sosial, juga karena keadaan ekonomi yang memprihatinkan bagi mereka.
Bunuh diri adalah jalan yang dipilih oleh kaum-kaum tak bersuara untuk
menyuarakan kegetiran hidup mereka.

Contoh lain, beberapa warga melakukan aksi bunuh diri karena ketidakpuasan
mereka terhadap pemerintah yang terlalu mengekang dan membatasi kebebasan
masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengembangkan potensi mereka
atau mengekang kebebasan masyarakat dalam berekspresi. Bunuh diri adalah teriakan
keputusasaan akibat ketidakadilan zaman.

2.5. AJARAN GEREJA TENTANG BUNUH DIRI


2.5.1. Ajaran Kitab Suci

Kitab Suci tidak mempunyai suatu penilaian yang definitif atas bunuh diri dan
tidak pernah secara langsung berbicara tentang bunuh diri. Perikop Keluaran 20:13
tentang “jangan membunuh” dapat dijadikan dasar bagi pembahasan tentang bunuh
diri. Satu hal yang dapat menjadi dasar dari perikop di atas adalah nilai penghargaan
terhadap hidup.

Hidup manusia adalah rahmat dan anugerah, hadiah yang diberikan secara
cuma-cuma kepada manusia oleh Allah. Secara positif berarti bahwa hidup itu harus
dilindungi, dibela, dan dilestarikan.35 Hidup harus dijaga, dilindungi dengan baik,
dibela dan dilestarikan karena hidup punya asal usul ilahinya, yakni dari Allah
sendiri.

Kejadian 1:1-24 mengisahkan bahwa Allah menciptakan dunia seutuhnya dan


penciptaan itu mencapai puncaknya pada penciptaan manusia. Yang lebih dahsyat
lagi adalah Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya dan mengembusi
manusia dengan nafas kehidupan. Karena hidup manusia adalah pemberian dari
Allah, maka hidup manusia itu sangat sakral dan manusia patut bersyukur atas

35
CB. Kusmaryanto, Tolak Aborsi Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian (Yogyakarta:
Kanisius, 2005) hlm. 77.

20
anugerah ini dan menjaganya dengan baik. Hidup manusia tidak boleh dilanggar,
dihancurkan, dirusakkan ataupun dihina. Hidup manusia harus dipandang sebagai hal
yang suci.

Yang mempunyai hak atas hidup manusia adalah Allah sendiri karena Allah
yang memberikan manusia kehgidupannya. Manusia hanya sekadar pemakai dan
penjaga, juga sekaligus pengatur hidup yang diberikan Allah kepada mereka. Oleh
karena manusia hanyalah penjaga, dan pengatur maka manusia tidak berhak
mengambil hidup orang lain (membunuh) ataupun mengambil hidupnya sendiri
(bunuh diri).36

Sebagai anugerah Allah, hidup itu harus digunakan dan diorientasikan untuk
membangun umat Allah. Setiap manusia harus merasa wajib dan berhak untuk
melindungi, memelihara, mengembangkan, serta menjaganya dengan baik dan
bertanggung jawab. Oleh karena itu, segala macam pembunuhan, termasuk bunuh
diri, tidak bisa dibenarkan. Bunuh diri merupakan kejahatan karena orang yang
melakukan bunuh diri berarti menolak hidupnya sendiri.

2.5.2. Ajaran Moral Kristiani

Bunuh diri mendapat pembahasan yang cukup mendalam dalam Teologi


Kristiani. Teologi Kristiani secara tegas dan keras menolak, menentang, dan
mengecam tindakan bunuh diri. Teologi Moral Katolik umumnya menolak setiap
bentuk bunuh diri sebagai sebuah pelanggaran berat. Ada tiga (3) alasan mengapa
Teologi Moral Katolik menolak setiap bentuk bunuh diri.

Pertama, Kenyataan Bahwa Orang Tidak Memiliki Hak Atas Diri dan
Kehidupannya.37

Sudah dikatakan sebelumnya bahwa hidup manusia adalah anugerah dari Allah. Oleh
karena itu hanya Allah sendirilah yang berhak mengambilnya kembali dari manusia.
Allah memberikan manusia hidup agar manusia dapat mengolah dan
36
Ibid., hlm. 79.
37
Karl-Heinz Peschke, Op. Cit. hlm. 131.

21
memanfaatkannya untuk menjaga dan mengembangkan segala ciptaan dan karya
Allah di dunia secara bertanggungjawab.

Manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan merawat hidupnya. Selain


untuk menjaga dan merawat hidupnya, manusia juga diberi hak untuk menggunakan
dan memanfaatkan hidup yang diberikan Allah itu untuk kepentingannya tetapi harus
selaras dengan kehendak Allah. Bunuh diri merupakan tindakan yang tidak terpuji
karena tidak sesuai dengan kehendak Allah. Dengan melakukan bunuh diri manusia
telah melanggar hak dan otoritas Allah sebagai pencipta, pemilik dan pemberi hidup.

Kedua, Bunuh Diri Adalah Pelanggaran terhadap Kewajiban Seseorang untuk


Mencintai diri dan terhadap Kehidupan Persekutuan dengan Sanak Keluarganya.38
Seorang manusia hidup, bertumbuh dan berkembang dalam keluarganya dan juga
dalam masyarakat yang bisa mendukungnya. Setelah berkembang menjadi yang
diinginkan, seorang manusia mempunyai satu kewajiban untuk memberikan sesuatu
bagi masyarakat dan keluarganya sebagai balas jasa atas cinta dan perhatian dari
mereka yang telah membentuknya menjadi seorang pribadi. Bunuh diri dapat
menghalangi perwujudan kewajiban manusia ini.

Ketiga, Bunuh Diri Adalah Pelanggaran terhadap Kewajiban untuk Mencintai Diri
dan Mendambakan Kesempurnaan.39

Dalam menjalankan hidup di dunia, manusia berusaha untuk terus berkembang guna
mencapai pribadi yang dewasa dan matang. Dengan melakukan bunuh diri, secara
tidak langsung ia tidak mau mencapai kedewasaan dan kematangan. Orang yang
melakukan bunuh diri merupakan orang yang tidak mempunyai dambaan atau
orientasi untuk mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kesempurnaan yang
dimaksud adalah ke arah mana Allah memanggil dan menuntun manusia.

2.5.3. Ajaran Hukum Gereja

38
Ibid.
39
Ibid.

22
Gereja sendiri tidak mempunyai hukum yang secara definitif mengatur
tentang bunuh diri. Hukum Gereja hanya mengatur tentang penguburan saja. Hukum
Kanonik No. 1184 ayat 3 menegaskan bahwa “Pendosa-pendosa publik tidak dapat
diberi penguburan gerejani tanpa menimbulkan sandungan bagi kaum beriman”40
Hukum Gereja lama menegaskan bahwa korban bunuh diri tidak dapat diberikan
penguburan secara gerejani.41 Hal ini terjadi karena berdasarkan ajaran Kristiani,
bunuh diri merupakan sebuah dosa berat.

Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik (Codex luris


Cnonici-CIC) yang keabsahannya berlangsung dari tahun 1917 sampai
1983, orang yang mkeninggal dengan cara bunuh diri tidak
diperbolehkan untuk dikuburkan secara Katolik atau gerejani. Alasan
yang melatarbelakangi adalah karena orang-orang seperti itu dianggap
sebagai para pendosa yang tidak lagi menjadi rahasia umum.42
Karena itu, bagi pelaku bunuh diri, Gereja menolak untuk menguburkannya secara
Kristen sebagaimana mestinya dan tidak membiarkannya untuk dimakamkan di
tempat pemakaman Kristen. Lebih lanjut dikatakan:

Berhadapan dengan ketentuan hukum yang digariskan oleh Codex


Luris Canonici tahun 1917 ini, dalam Kitab Hukum Kanonik
Gereja Katolik yang baru (CIC 1983) ditetapkan sebuah kriteria baru
untuk memutuskan, apakah seorang yang mati dengan cara bunuh diri
bisa dikuburkan secara gerejani atau tidak. Kriteria yang dimaksudkan
adalah membuat sebuah penelitian yang perlu, apakah dalam hubungan
dengan situasi kehidupan pribadi dan situasi kehidupan moral dan
religius dari orang yang bersangkutan ada sesuatu yang bisa
menimbulkan amarah dan pelecehan perasaan dari anggota paroki atau
jemaatnya, sehingga sebuah penguburan Katolik atau gerejani dapat
menjadi sebuah skandal yang tak terhindarkan. Kalaupun paroki
setempat mengizinkan sebuah penguburan Katolik atau gerejani bagi
orang yang meninggal dengan cara bunuh diri, itu dilakukan atas dasar
pelayanan cinta manusiawi, cinta persaudaraan. Dalam kasus seperti
ini, para uskup dan pastor paroki sebagai penanggung jawab kehidupan
paroki dalam tahapan tertentu memiliki hak untuk memutuskan. Latar
40
Konsili Vatikan II, Dekret Tentang Orang-orang yang Harus Diberi Atau Tidak Diberi Penguburan
Gerejani De Exequiis Ecclesiasticis, dalam V. Kartosiswoyo, H. Snijders, Piet Go, dkk (penerj.),
Kitab Hukum Kanonik (Jakarta: Sekretariat MAWI dan Obor, 1983), hlm. 481.
41
Karl-Heinz Peschake, Op. Cit.,hlm. 132.
42
“Kristen Menjawab Muslim Pertanyaan dan Jawaban 6” dalammenjawabmuslim.com, diakses pada
tanggal 11 Desember 2021 pukul 09.15 wita.

23
belakang dari penetapan aturan ini adalah pemahaman Gereja tentang
bunuh diri itu sendiri. Menghabiskan nyawa sendiri secara sadar dan
bebas, juga jika dilatarbelakangi oleh sebuah motif yang argumentatif,
tidak dapat dibenarkan secara moral. Pembunuhan diri secara tahu dan
mau, di mana seseorang secara sadar mendokumentasi dan
menonjolkan otonomi pribadinya, pada hakekatnya merupakan sebuah
penolakan terhadap jawaban ya dari Allah terhadap manusia. Ia juga
merupakan sebuah negasi terhadap cinta bagi dirinya sendiri, terhadap
keinginan alamiah akan kehidupan dan terhadap kewajiban, keadilan
dan cintanya berhadapan dengan sesama dan kehidupan bersama.43
Iman Kristiani memandang pemujaan terhadap bunuh diri sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan kehidupan yang didasarkan atas iman. Iman mengajarkan
penganutnya untuk percaya, bahwa Allah sendirilah yang akan mengambil kehidupan
itu dalam segala situasi, baik karena kesalahan dan dosa pribadi maupun karena
kegagalan dalam hubungan dengan dunia hidup yang mengitarinya.

Diskusi filosofis tentang keputusan bebas dalam kasus bunuh diri masih
menjadi perdebatan. Tindakan bunuh diri memang dilakukan seseorang dengan
keputusan bebas walaupun bukan keputusan bebas yang bijaksana. Usaha-usaha
teologis untuk menjernihkan fenomen ini pada dasarnya tidak menutup kemungkinan-
kemungkinan seperti itu. Karena itu, praktik-praktik pastoral di zaman dulu tidak
mengizinkan orang yang mati dengan cara bunuh diri, dikuburkan secara Katolik atau
gerejani. Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik yang baru, larangan ini tidak
dicantumkan lagi karena tidak dapat dibuktikan, apakah seorang yang melakukan
bunuh diri sungguh-sungguh menolak dirinya dan menolak Allahnya; karena Gereja
memang pada prinsipnya mengutuk tindakan bunuh diri itu sebagai dosa, dan bukan
orangnya sebagai proses. Tambahan lagi, orang yang mati dengan cara demikian
belum tentu sungguh-sungguh pelaku bunuh diri.

Kelihatannya perihal bunuh diri ini masih mendapat berbagai macam pro dan
kontra. Selain berdasarkan penjelasan di atas, hal ini juga terjadi karena situasi yang
terjadi saat ini sudah berbeda. Menurut para dokter, lebih dari 20% dari angka bunuh

43
Ibid.

24
diri karena memiliki sebab gangguan kejiwaan (psikologis).44 Sebanyak 60% dari
pelaku bunuh diri lainnya adalah pribadi psikopatis. 45 Sangat sulit untuk mengatakan
bahwa para penderita gangguan psikologis yang melakukan aksi bunuh diri ini adalah
orang yang bersalah.

Selain itu juga, masih ada kasus lain seperti bunuh diri karena dipaksa atau
ditekan oleh otoritas tertentu dan bunuh diri untuk melindungi organisasi tertentu atau
bunuh diri karena situasi seperti perang, bencana alam, dan sebagainya. Para pelaku
yang melakukan bunuh diri dengan alasan di atas tidak bisa dikatakan sebagai orang
bersalah. Dalam hal ini mereka diberi pengecualian.

Bertolak dari argumen dan kenyataan di atas maka Hukum Kanon Baru hanya
melarang penguburan gerejani terhadap pendosa yang dikenal secara publik yang
penguburannya akan memicu kemarahan (KHK 1184).46

44
Gangguan jiwa adalah gejala gangguan mental berat di mana seseorang kehilangan kemampuan
untuk mengenali realitas atau berhubungan dengan orang lain dan mereka biasanya berperilaku dengan
cara yang tidak tepat dan aneh. Psikosis muncul sebagai gejala dari sejumlah gangguan mental,
termasuk gangguan suasana hati (mood) dan gangguan kepribadian, skizofrenia, halusinasi, delusi,
katatonia dan penyalahgunaan zat.
45
Karl-Heinz Peschke, Loc.Cit.
Psikopatis ialah orang-orang yang tidak menghiraukan moral, etik dan hukum masyarakat. Orang
tersebut tidak mengindahkan apa yang dianggap baik, bagud dan harus oleh masyarakat. Dengan
demikian dia diaanggap jahat, dan sulit dibawa ke jalan yang benar. Dia mengukur semua persoalan
adalah dari dirinya sendiri. Bila menurut pendapatnya benar, maka dunia harus mengakui bahwa hal
itu benar. Begitu pula sebaliknya, bila menurutnya salah maka dunia harus mengatakan salah. Jadi
biasanya orang ini tidak tahu malu, karena dia mempunyai standard yang berbeda dengan standard
orang lain. Emosi orang ini dangkal dan jarang menderita cemas. Hubungan antarmanusia tak pernah
mendalam dan melihat orang lain sebagai alat untuk kesuksesan dirinya.
46
Ibid.

25
BAB III

MENGENAL ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE PAUS YOHANES PAULUS


II DAN INTI AJARAN TENTANG NILAI HIDUP MANUSIA DI DALAM
NYA

Di tengah beragam ancaman terhadap keutuhan hidup manusia ini, melalui


ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II menyerukan dan menegaskan
pembelaannya terhadap martabat hidup manusia sebagai hak yang tak dapat diganggu
gugat. Hidup manusia dipandang sebagai jantung pewartaan injil yang selalu mesti
dibela sejak awal munculnya sampai saat berakhirnya. Maka dari itu, Paus
menempatkan Gereja sebagai pembela dan penyebar budaya kehidupan yang
menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan terhadap nilai luhur martabat
hidup manusia. Gereja hadir sebagai sebuah realitas kontras terhadap kultur kematian
dan menentang segala bentuk tindakan yang melawan kehidupan, tindakan yang
merendahkan dan melecehkan keluhuran martabat hidup manusia. Paus juga

26
menganjurkan adanya pelbagai gerakan yang mempromosikan hidup manusia sebagai
nilai tertinggi dan yang tak terganggu gugat.

Penulis, pada bab ini, berikhtiar mengangkat inti ajaran Paus Yohanes Paulus
II dalam ensikliknya Evangelium Vitae, secara khusus ihwal seruan afermatifnya
dalam hidup yang tak dapat diganggu – gugat dan basis tuntutan moral etis
penghormatan terhadapnya

3.1. ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE

Ensiklik pada dasarnya merupakan suatu surat pastoral penting yang


berbentuk surat edaran (encyelo, Yun.) kepada semua uskup.47 Ensiklik merupakan
surat agung dan bersifat universal karena selain kepada para uskup agung dan uskup
seluruh dunia, ensiklik juga terbuka untuk seluruh umat Allah di dunia. Biasanya teks
resmi ditulis dalam bahasa Latin kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
lain. Ensiklik berisikan ajaran iman, moral, dan tata tertib gerejani dengan wewenang
magisterium kepausan yang biasa, sehingga tidak pantas diperdebatkan secara umum
lagi walaupun belum diputuskan dengan wewenang kebal salah.48 Sejak paus Pius IX
(1846-1878), ensiklik menjadi sarana utama para paus melaksanakan jabatan
mengajar mereka terhadap Gereja seluruhnya.49
47
Adolf Heuken, “Yohanes Paulus II”, Ensiklopedia Gereja, Jilld. II (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 2004), hlm. 293.
48
Ibid.
49
Ibid.

27
Evangelium Vitae yang berarti Injil Kehidupan merupakan salah satu dari
empat belas (14) ensiklik yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik ini
diterbitkan pada tanggal 25 Maret 1995 di Roma, Italia, tepat pada Hari Raya Kabar
Sukacita.50 Ensiklik ini juga merupakan buah kerja sama episkopat semua negeri di
dunia yang memiliki maksud untuk menegaskan ulang secara saksama dan tegas
mengenai nilai hidup manusiawi yang tidak dapat diganggu gugat, sekaligus
merupakan seruan yang mendesak, ditujukan kepada setiap orang demi nama Allah
yang menghormati, melindungi, mencintai dan melayani kehidupan setiap insan
manusia.51 Makna simbolisnya dengan demikian tidak hanya perihal kabar sukacita
(Evangelium), melainkan juga berkelindan dengan ihwal kehidupan. Hal ini juga
secara gamblang disampaikan oleh paus sendiri bahwa ia memilih hari raya itu karena
maknanya mendalam untuk tema kehidupan.52

3.1.1. Sejarah Penyusunan Ensiklik Evangelium Vitae

Penyusunan ensiklik Evangelium Vitae dibuat dalam sebuah proses persiapan


selama beberapa tahun dengan melibatkan para kardinal yang dihimpun dalam
konsistori luar biasa dan para uskup yang oleh Paus diberi surat ajakan untuk
berperan serta dalam proses penyusunan itu.53 Paus mengadakan konsistori istimewa
para kardinal itu pada tanggal 4-7 April 1991 di kota Vatikan yang diikuti oleh 112
kardinal yang berasal dari setiap bagian dunia. Tema yang dibahas ialah ancaman-
ancaman terhadap kehidupan, pewartaan Kristus sebagai satu-satunya penyelamat dan
menghadapi tantangan sekte-sekte. Konsistori luar biasa ini diawali dengan sebuah
pengarahan oleh Kardinal Ratzinger selaku Prefek Kongregasi Ajaran Iman.54 Dalam
presentasi yang dibawakannya, Kardinal Ratzinger memberi gambaran dan analisis
yang sebagian besar suram dan pesimistis mengenai keadaan dewasa ini. Ia
melukiskan panorama gelap “peperangan melawan kehidupan” dalam masyarakat

50
Piet Go, Kabar Baik Kehidupan: Pengantar Memahami dan Mengamalkan Ensiklik Evangelium
Vitae (Malang: Penerbit Dioma, 1996) hlm. 1.
51
EV no. 5.
52
Piet Go, loc. Cit.
53
Ibid. hlm 2.
54
Ibid.

28
modern dan melihat akar kejahatan itu dalam pemahaman yang keliru tentang
kebebasan. Maka menurutnya, perlu dipertegas perihal pembahasan moral sosial
politik dan aneka ancaman terhadap kehidupan dalam menanggapi tantangan zaman.55

Pada pembahasan tema pertama para kardinal telah meneguhkan


kebersamaannya dengan Paus dalam suatu perjuangan membela kehidupan, seraya
berterima kasih kepadanya atas pelayanan profetis yang dilaksanakannya tanpa kenal
lelah bagi seluruh umat manusia. 56 Diskusi khusus sidang itu mengangkat ke
permukaan berbagai tema tentang serangan-serangan setiap hari terhadap hidup
manusia, terutama hidup yang lemah dan tanpa perlindungan seperti meningkatnya
jumlah besar pengguguran, upaya legalisasi eutanasia, bunuh diri, eksploitasi anak-
anak dan orang dewasa, penyalahgunaan hidup kelahiran sehubungan dengan
eksperimen dengan embrio dan praktik prokreasi artifisial, aneka bentuk kekerasan
termasuk peperangan.57

Mempertimbangkan pelbagai dimensi khusus persoalan-persoalan ini, maka


para kardinal mengimbau kepada hati nurani politisi, kaum kristiani, dan mereka yang
prihatin akan nasib umat manusia, agar menyesuaikan prakarsa legislatif dan politis
dengan kewajiban menghormati hidup manusia.58 Ihwal feminisme palsu, para
kardinal mengingatkan bahwa pria bukanlah satu-satunya model pribadi manusia,
karena Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita.59 Diskusi ini diakhiri
dengan permohonan ganda yang disepakati bersama ialah bahwa para kardinal
menghendaki Paus meneguhkan secara resmi dalam suatu dokumen ensiklik, suatu
ajaran Gereja tentang nilai hidup manusia dan sifatnya yang tak terganggu gugat.
Mereka meminta agar dengan kewibawaan pengganti Petrus, Paus menegaskan nilai
hidup manusiawi yang tak dapat diganggu gugat, dalam sorotan situasi masa kini dan
serangan-serangan yang mengancamnya dewasa ini.60 Selanjutnya, mereka
55
Ibid. hlm.3.
56
Pernyataan Akhir Konsistori Luar Biasa Para Kardinal 7 April 1991, dalam Piet Go, Kabar Baik
Kehidupan: Pengantar Memahami dan Mengamalkan Ensiklik Evangelium Vitae, Op.Cit., hlm. 111.
57
Ibid. hlm 112.
58
Ibid. hlm. 113
59
Ibid.
60
EV no. 5.

29
meneguhkan bahwa dalam menghadapi ancaman besar, semua gembala dalam
kesatuannya dengan Paus merasakan keterlibatan pribadi, bahkan melawan arus
untuk mewartakan kebenaran moral. Menghadapi permintaan ini, maka pada hari
Pentekosta tahun 1991 Paus menulis surat kepada para uskup tentang kabar baik
kehidupan yang kemudian dijadikan judul ensiklik untuk mengambil bagian dan
berperan serta dalam penyusunan dokumen itu dan menegaskan bahwa ensiklik
Evangelium Vitae ini sebagai buah kerja sama para uskup sedunia.61

3.1.2. Latar Belakang Penulisan Ensiklik Evangelium Vitae

Penerbitan ensiklik Evangelium Vitae lahir dari keprihatinan Paus dan


kolegium para kardinal serta para uskup sedunia terhadap pelbagai situasi dan
masalah hidup sosial kemasyarakatan yang dalam banyak aspek telah menempatkan
martabat luhur hidup manusia dalam posisi yang rentan dilecehkan, direndahkan, dan
dinafikan. Ancaman-ancaman yang melukai nilai luhur martabat manusia kian
menjelma dalam banyak dimensi dengan prospek-prospek baru yang dibentangkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bagi setiap kehidupan yang
lemah dan tanpa perlindungan. Di samping pelbagai malapetaka yang sejak dulu
menimpa masyarakat seperti kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit, kekerasan dan
perang, keresahan lainnya muncul juga dalam wajah-wajah ancaman baru yang
berkembang secara masif dan mencemaskan, yang oleh Paus Yohanes Paulus II
dalam ensiklik Evangelium Vitae disebut sebagai budaya kematian. Budaya kematian
adalah budaya tanding yang menentang sistem kehidupan manusia dengan
menempatkan manusia pada posisi objek ataupun alat untuk suatu tujuan di luar
dirinya sendiri. Dalam konsekuensinya yang paling tegas, budaya kematian
sesungguhnya mencoreng peradaban manusiawi dan bertentangan dengan kemuliaan
Sang Pencipta. Budaya kematian hadir sebagai iklim budaya baru dan tampil sebagai
struktur dosa yang berakar kuat dan secara aktif ditanam dalam pelbagai dimensi
kehidupan, yang melahirkan tindakan-tindakan kejahatan, ancaman-ancaman baru
melawan kehidupan.

61
Ibid. hlm. 4

30
Dokumen Konsili Vatikan II menyebut bentuk ancaman melawan kehidupan
itu ialah seperti pembunuhan dalam bentuk mana pun, penumpasan suku,
pengguguran, eutanasia, atau bunuh diri yang disengaja, apa pun yang melanggar
keutuhan pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang
ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis, apa pun yang
melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tak layak manusiawi,
pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan,
pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda, begitu pula dengan kondisi-
kondisi kerja yang memalukan, sehingga buruh diperalat semata-mata untuk menarik
keuntungan dan tidak diperlakukan sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung
jawab.62

Beberapa aspek yang merupakan faktor determinan lahirnya iklim budaya


kematian ini antara lain: pertama, kemajuan dan perkembanghan teknologi yang
tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip etis sehingga bertendensi mendegradasi
kehidupan manusia. Kemajuan ilmiah dan teknologis dengan segala prospek yang
dihadirkannya, memunculkan bentuk-bentuk baru serangan-serangan melawan
martabat manusia.63 Kedua, iklim peradaban baru yang menimbulkan pendapat umum
yang tidak hanya membenarkan kejahatan terhadap hidup, yang tidak hanya
menghukum, melainkan juga mendukungnya dengan sistem pelayanan kesehatan.
Ketiga, pencungkirbalikan tugas profesi medis. Kalangan profesi medis tertentu,
yang menurut panggilannya ditujukan untuk membela dan memelihara hidup
manusiawi, makin mudah menyediakan diri untuk menjalankan tindakan-tindakan
yang melawan pribadi. Dengan demikian, hakikat profesi medis itu sendiri
diputarbalikkan dan ditentang dan martabat mereka yang mempraktikannya
merosot.64 Pada titik ini, hal yang sangat memprihatinkan ialah kenyataan bahwa
suara hati yang semakin gelap akibat kondisi yang begitu meluas. Merasa makin

62
GS 27, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium Et Spes (Kegembiraan dan Harapan) ,penerj.
R. Hardawiryana, SJ. (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1997), hlm. 37.
63
EV no. 4.
64
Ibid.

31
sukar untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat mengenai nilai dasar hidup
manusiawi.65

3.1.3. Tujuan dan Maksud Ensiklik Evangelium Vitae

Tujuan dan maksud ensiklik Evangelium Vitae tampak secara gamblang


dalam EV 5, yaitu sebagai suatu penegasan ulang yang saksama dan tegas mengenal
nilai hidup manusiawi yang tidak dapat diganggu gugat, sekaligus suatu seruan yang
mendesak, yang ditujukan kepada setiap orang demi nama Allah: hormatilah,
lindungilah, cintailah, dan layanilah kehidupan tiap hidup manusiawi! Hanya dengan
demikian, keadilan, perkembangan, kebebasan yang sejati, damai dan kebahagiaan
dapat diperoleh.66 Ensiklik Evangelium Vitae, dengan demikian, bukan merupakan
suatu ajaran baru. Intisari ensiklik ini ialah semata-mata untuk mengukuhkan,
mempertegas, dan meneguhkan posisi dan komitmen tradisional Gereja yang menjadi
semakin aktual, bahkan mendesak dengan meningkatnya pelbagai bentuk ancaman
terhadap kehidupan manusia.67

3.2. INTI AJARAN TENTANG NILAI HIDUP MANUSIA DALAM


ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE PAUS YOHANES PAULUS II
3.2.1. Budaya Kehiupan dan Budaya Maut

Paus Yohanes Paulus II sering menggunakan istilah khas yaitu culture of live
(budaya kehidupan) dan culture of death (budaya maut). Dua budaya ini berada pada
posisi yang saling bertentangan. 68
Dalam meditasinya berkaitan dengan penerbitan
ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II mengemukakan harapan dan
kecemasan akan hidup manusia oleh penyebaran dua budaya ini. Di satu sisi, manusia
mempunyai harapan untuk memajukan hidupnya. Sebagian umat manusia masih
65
Iibid.
66
EV no. 5.
67
Piet Go, Kabar Baik Kehidupan: Pengantar Memahami dan Mengamalkan Ensiklik Evangelium
Vitae, op.cit., hlm. 5.
68
Pope John Paul II, “Holly Father Announces New Encyclical”, dalam L’Osservatore Romano, 29
Maret 1995.

32
sadar dan menghargai nilai kehidupan manusia. Di sisi lain, terdapat kecemasan yang
mendalam akibat meningkatnya berbagai usaha dan tindakan melawan kehidupan.69

3.2.1.1. Budaya Kehidupan

Budaya kehidupan adalah segala tindakan manusia untuk memajukan


hidupnya. Budaya kehidupan nyata dalam berbagai tindakan mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidup manusia, baik dalam bidang jasmani maupun rohani.70
Secara konkret, kegiatan-kegiatan manusia yang mencerminkan budaya kehidupan itu
terdapat dalam berbagai usaha pemeliharaan kehidupan lewat penemuan obat-obat
dan cara untuk menyembuhkan berbagai penyakit, usaha peningkatan kualitas hidup
ekonomi lewat berbagai kegiatan produksi dan perdagangan, usaha pelestarian alam
dan lingkungan dan berbagai usaha untuk menjalin relasi harmonis antara sesama
manusia.

Dalam kompleksitas kehidupan manusia, berbagai tindakan ini disepakati


secara luas sebagai tindakan-tindakan yang mendesak untuk dilaksanakan demi
kelangsungan hidup manusia. Terdapat berbagai produk hukum dan undang-undang,
entah itu dalam cakupan nasional, regional ataupun internasional yang melindungi
manusia dalam melakukan berbagai tindakan demi memajukan kehidupan manusia.

Dewasa ini, walaupun di berbagai belahan dunia masih berlangsung konflik


dan pertumpahan darah, eksploitasi manusia, kelaparan, penggunaan obat-obatan
terlarang, perusakan alam dan lingkungan, namun perlu juga dicatat munculnya
pandangan yang menolak perang dan berbagai tindakan kekerasan lainnya sebagai
jalan untuk menyelesaikan konflik internasional, meluasnya reaksi pandangan publik
untuk melawan kekerasan terhadap kehiddupan manusia, baik yang dilakukan oleh
orang lain maupun yang dengan sengaja mengakhiri hidupnya sendiri. Kenyataan-
kenyataan seperti ini, selain memberikan harapan, juga menampakkan bahwa budaya
hidup masih dihidupi oleh sebagian umat manusia.71
69
Ibid.
70
EV no.26-28
71
Ibid.

33
Budaya kehidupan sebagai sebuah pola tingkah laku untuk mempertahankan
dan memajukan kehidupan manusia sebagai salah satu isu yang dikemukakan oleh
Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik ini paralel dengan tipikal pribadi biofil dalam
teori psiko-analitis Erich Fromm tentang pribadi manusia. Hakikat dari orientasi
pribadi biofil adalah cinta kehidupan. Dalam konteks yang lebih luas Fromm setuju
pada pengandaian banyak pakar biologi dan filsafat yang melihat kecenderungan
untuk mempertahankan hidup sebagai kualitas yang melekat pada setiap organisme
hidup.72 Tendensi untuk mempertahankan kehidupan dan memerangi maut oleh
Fromm dilihat sebagai bentuk yang paling elementer dari orientasi biofil yang ada
dalam setiap makhluk hidup. Manusia berpribadi biofil memiliki etikanya sendiri.
Prinsip dasar etika manusia berpribadi biofil adalah segala tindakan yang menunjang
kehidupan dilihat sebagai yang baik, sedangkan segala tindakan yang menunjang
kematian dinilai buruk.73

3.2.1.2. Budaya Maut

Budaya maut dapat diartikan sebagai segala tindakan manusia yang


menghambat atau menghancurkan perkembangan hidup manusia itu sendiri. Bentuk-
bentuk yang paling umum dari budaya maut itu terdapat dalam kapitalisme, nafsu
konsumtif dan hedonisme.74 Lebih rinci lagi, tindakan-tindakan manusia yang
termasuk dalam budaya maut itu adalah segala bentuk pembunuhan, kekerasan
terhadap hak asasi manusia, penggunaan narkoba dan obat-obatan terlarang, aborsi,
eutanasia, hukuman mati, seks bebas, dan berbagai tindakan negatif lainnya.

72
Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas: Bunga Rampai Karya Erich Fromm, Agus Cremers
(peny.), (Maumere: Ledalero, 2004), hlm. 397.
73
Ibid., hlm. 398.
74
Witdarmono, H, et, al., Dari Wadwice Sampai Worldwide: Jejak Langkah Paus Yohanes Paulus II
(Jakarta: PT. Intisari Mediatama, 2005), hlm. 6-25 . 65-75.

34
Beberapa tindakan yang termasuk dalam budaya maut ini seperti aborsi,75
hukuman mati,76 eutanasia dan bunuh diri77 mendapat pendasaran hukum yang
memadai di beberapa negara. Dalam hal ini, tindakan-tindakan tersebut dilihat
sebagai tindakan yang lumrah terjadi dan tidak dilihat sebagai tindakan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia, malahan sebaliknya harus dilakukan demi hak-hak
asasi manusia itu sendiri. Legalisasi berbagai tindakan perendahan terhadap martabat
hidup manusia menunjukkan bahwa ada sebagian manusia yang menghidupi pola
tingkah laku dan budaya yang dianggap benar, walaupun secara intrinsik tidak
memiliki nilai kebenaran sama sekali. Legalisasi berbagai tindakan perendahan
terhadap martabat hidup manusia ini, oleh Paus Yohanes Paulus II, dilihat sebagai
kenyataan yang mengindikasikan adanya persekongkolan obkektif untuk melawan
kehidupan manusia.78

Deskripsi realitas pelaksanaan budaya maut dalam kehidupan konkret ini


cocok dengan deskripsi Erich Fromm tentang situasi hidup manusia-manusia
berpribadi nekrofil. Pribadi neokrofil mencintai segala hal yang tidak berkembang
dan bersifat mekanistik. Dalam diri pribadi neokrofil terdapat dorongan yang kuat
untuk mengubah yang organis menjadi anorganis. Mereka memandang hidup secara
mekanistis, seakan-akan semua yang hidup adalah benda mati. 79 Ciri utama dari
75
Ananto Pratikno, “Perjalanan Aborsi di Berbagai Negara”,
http:www.mailarchive.com/sarikata@yahoo.com/msg02824.html, diakses pada tanggal 15 maret 2022.
76
Hingga Juni 2019, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati dan lebih dari
setengah negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah
menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de
facto tidak menerapkan) hukuman mati dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan)
terhadap hukuman mati. Saudi Arabia, Iran, Amerika Serikat, Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania,
Pakistan, Singapura, Guatemala, Thailand, Somalia, Taiwan, Indonesia, Afganistan adalah negara-
negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Ensiklopedi Wikipedia Indonesia, “Hukuman
Mati”, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada tanggal 15 Maret 2022.
77
Sejak tanggal 1 April 2002 Belanda melagalkan praktik eutanasia dan bunuh diri. Belgia telah
melegalisasi praktik eutanasia dan bunuh diri pada akhir September 2002, Negara Bagian Oregon di
Amerika Serikat pada tahun 1997. Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkan izin
untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (Disabled Newborns), Ensiklopeddi
Wikipedia Indonesia “Eutanasia dan Bunuh Diri Menurut Hukum di Berbagai Negara”,
http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada tanggal 15 Maret 2022.
78
EV no.17
79
Erich Fromm, Loc.Cit., hlm. 395.

35
pribadi ini adalah mereka sangat mencintai kekuatan. Sebab dengan kekuatanlah
mereka dapat mengontrol kehidupan masyarakat dan mengarahkannya kepada
kehancuran.80

Undang-undang pelegalan aborsi, hukuman mati, eutanasia dan bunuh diri


dapat dilihat sebagai alat kontrol masyarakat menuju kehancuran hidup manusia itu
sendiri. Sayang sekali, kontrol seperti ini lahir justru lewat sebuah proses demokrasi
yang lebih mementingkan kuantitas suara ketimbang kualitas nilai yang hendak
dihidupi bersama.

3.2.2. Sebab sebab Suramnya Nilai Kehidupan Manusia

Persekongkolan objektif melawan kehidupan dalam tatanan sosial, budaya dan


politik masyarakat merupakan sketsa buram peradaban manusia. Persekongkolan
objektif melawan hidup mengarahkan manusia pada titik balik sejarah. Dahulu,
bangsa-bangsa berusaha mendeklarasikan piagam kehormatan terhadap hak-hak asasi
manusia namun pada saat ini berbagai tindakan pelanggaran terhadap hak hidup
manusia yang menjadi hak yang paling mendasar ini justru dilindungi oleh undang-
undang berdasarkan suara mayoritas dalam proses demokrasi.

Secara umum, situasi dan keadaan yang menjadi aturan kehidupan manusia
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada proses pengambilan keputusan secara
pribadi untuk melakukan tindakan perendahan terhadap martabat hidup manusia
seperti dalam kasus bunuh diri, aborsi dan eutanasia. Situasi atau keadaan yang dapat
menjadi latar belakang itu antara lain: adanya penderitaan yang mendalam, adanya
rasa kesepian, tidak adanya prospek ekonomi, rasa putus asa dan gelisah mengenai
masa depan. Dalam ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II tidak saja
melihat kenyataan-kenyataan seperti ini sebagai penyebabnya. Lewat refleksinya
yang lebih dalam Bapa Suci menemukan dua kenyataan yang menjadi penyebab

80
Ibid., hlm. 394.

36
utama suramnya nilai kehidupan manusia yakni pandangan yang keliru tentang
kebebasan manusia dan surutnya kesadaran akan Allah dan manusia.81

3.2.2.1. Pandangan yang Keliru tentang Kebebasan Manusia

Pandangan yang keliru tentang kebebasan manusia menjadi salah satu pemicu
terstrukturnya upaya melawan budaya kehidupan. Sebab, upaya melawan budaya
kehidupan dilihat sebagai ungkapan wajar dari kebebasan perorangan yang harus
diakui dan dilindungi sebagai hak-hak nyata.82 Contoh yang jelas dapat dilihat dalam
sikap kelompok pro-choice dalam kasus aborsi. Kelompok Pro-Choice melihat
tindakan aborsi sebagai pelaksanaan hak dari seorang ibu demi kepentingan tertentu,
seperti dalam usaha untuk memperoleh kesehatan fisik dan mental. 83 Upaya untuk
mempertahankan kesehatan fisik dan mental dari sang ibu, adalah sebuah upaya
pelaksanaan kebebasan sang ibu tanpa memperhatikan harkat dan martabat manusia,
yakni sang anak yang sedang dikandungnya.

Tindakan perendahan hidup manusia atas nama kebebasan pribadi menjadi


sebab munculnya mental subjektivisme ekstrem dalam kehidupan masyarakat. Pola
relasi masyarakat bermental subjektivisme ekstrem berciri individualistik dan
intoleransi. Mental subjektivisme ekstrem memutuskan relasi interpersonal dalam
kehidupan bersama. Masyarakat hanyalah masa kumpulan manusia-manusia tanpa
relasi interpersonal di dalamnya. Kompromi dibuat hanya sejauh menguntungkan
pribadi tertentu. Akibatnya kehidupan masyarakat hanya diisi dengan tindakan yang
kuat melawan yang lemah.84

81
EV no. 18.
82
EV no. 18-24
83
Erich From, Op.Cit.,hlm. 397
84
EV. Loc.Cit.

37
3.2.2.2. Surutnya Kesadaran Akan Allah dan Manusia

Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa sebab utama terjadinya perendahan


nilai hidup manusia adalah surutnya kesadaran akan Allah dan manusia. 85 Bapa suci
melihat bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari Allah. “Bila hilanglah kesadaran
akan Allah, ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan manusia”.86
Sebaliknya juga, berbagai pelanggaran sistematis hukum moril, khususnya
pelanggaran terhadap nilai hidup manusia, akan membuat manusia juga makin sulit
menyadari keberadaan Allah.87

Secara garis besar, ada dua problem klasik yang bisa dijadikan alasan
mengapa terjadi surutnya kesadaran akan Allah dari pihak manusia. Dua problem itu
adalah problem skeptisisme dan teodice.88

Problem skeptisme muncul karena kesulitan epistemologis dalam mengalami


serta memahami Allah. Kaum skeptis berasumsi bahwa pengalaman-pengalaman
indrawi manusia tidak bisa mengalami realitas Allah. Oleh karena itu, Allah menjadi
objek di luar pikiran manusia sebab Allah bukanlah sebuah fakultas riil yang dapat
diobservasi. Bagi kaum skeptis, pengetahuan atas dasar sebuah observasi ilmiah
terhadap fenomena yang tepat diindrai saja dapat diragukan. Apalagi, menerima dan
memahami Allah yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.

Problem teodice yang dimaksudkan di sini adalah sikap penolakan terhadap


Allah yang bertumpu pada persoalan penderitaan dan kejahatan yang dinilai bertolak
belakang dengan gagasan Allah sebagai wujud Maha sempurna dan Maha baik.
Seperti yang dikutip oleh Paulus Budi Kleden, Teodice (Theodicea) berasal dari
ungkapan Yunani: Theos yang berarti Allah dan Dike yang berarti keadilan atau
pembelaan dalam sebuah proses pengadilan.Teodice adalah suatu pembelajaran Allah
akan keburukan yang dialami dunia.89 Manusia menolak Allah sebab Allah
85
EV no 21.
86
Ibid.
87
Ibid.
88
Hipolitus K. Kewuel, Allah dalam Dunia Postmodern (Malang: Dioma, 2004), hlm. 28-33.
89
Paulus Budi. Membongkar Derita (Maumere, 2006), hlm. 220-221.

38
membiarkan manusia menderita. Kalau Allah ada, mengapa Ia membiarkan
penderitaan, kejahatan, dan ketidakadilan tetap ada di dunia ini? Allah diingkari
karena manusia kecewa terhadap Allah. Problem skeptisisme dan teodice secara
umum menjadi alasan terjadi surutnya kesadaran akan Allah dan manusia yang
memberikan konsekuensi tersendiri bagi hidup manusia.

Akibat dari surutnya kesadaran akan Allah dan manusia adalah munculnya
materialisme praktis yang menumbuhkan individualisme, utilitarianisme, dan
hedonisme.90 Dalam materialisme praktis, manusia hanya dilihat sebagai benda.
Manusia tidak lagi dilihat sebagai makhluk penuh misteri, tetapi disejajarkan dengan
hewan atau benda-benda mati. Alhasil, mutu hidup manusia hanya didasarkan pada
apa yang tampak secara fisik, seperti efisiensi ekonomi, konsumerisme tanpa batas,
dan keindahan fisik belaka tanpa memperhatikan hal-hal yang bersifat rohaniah dan
religius.91 Dalam kondisi seperti ini, hubungan-hubungan interpersonal antarmanusia
menjadi sangat miskin. Relasi antarmanusia tercipta hanya berdasarkan efisiensi,
fungsionalitas, dan manfaat. Setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri dan
berusaha untuk membangun kebahagiaan dengan mengumpulkan harta sebanyak-
banyaknya.92

Kenyataan ini membuat demokrasi yang selalu berdasar pada suara mayoritas
menjadi sistem yang dapat meloloskan usaha pelegalan hukuman mati, aborsi,
eutanasia, bunuh diri, dan kebijakan yang mendukung hegemoni ekonomi dan politik
dari negara-negara tertentu.93 Hendrik Ibsen seperti dikutib oleh Goenawan Mohamad
mengatakan “musuh paling berbahaya bagi kebenaran dan kebebasan adalah
mayoritas yang kompak”.94 Suara mayoritas yang tidak didasarkan pada hukum moril
90
EV no. 23.
91
Ibid.
92
Ibid.
93
Demokrasi saat ini gagal menghapus kesenjangan sosial. Di masa silam, kaum aristokrat konservatif
khawatir terhadap demokrasi sebab demokrasi akan memperbolehkan kaum miskin mengambil
kekayaan kaum yang kaya. Namun saat ini terjadi sebaliknya. Demokrasi justru menjadi sarana untuk
melegitimasi kekuasaan kaum elite dalam upaya menekan kelas bawah. Kaum yang kuat menekan
kaum yang lemah, dalam http://web.inter.nl.net/users/Paul. Treanor/democracy.html, Heru Prasetyo
(penerj.), “Kenapa Demokrasi Itu Buruk”, Wacana (edisi 18 tahun VI/2004), hlm. 52-53.
94
Goenawan Mohamad, “Musuh,” Catatan Pinggir dalam Tempo, 28 September 2003.

39
merupakan ancaman yang sangat serius bagi penghormatan terhadap martabat hidup
manusia.95

Paus Yohanes Paulus II sangat menyadari kenyataan ini dan mengangkat isu
ini menjadi fokus keprihatinan Gereja. Oleh karena itu selanjutnya dalam Ensiklik
Evangelium Vitae ini, beliau hendak menandaskan Allah sebagai dasar hidup manusia
dengan argumentasi-argumentasi teologis kristen.

3.2.3. Dasar Nilai Hidup Manusia

Pertanyaan seputar dasar hidup manusia jelas bukanlah sebuah pertanyaan


yang baru. Sebagai ens rationale, manusia selalu bertanya dan berusaha menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh berbabagi fenomena yang
terjadi di sekitarnya. Sejarah kehidupan memperlihatkan usaha manusia dari waktu ke
waktu untuk menemukan berbagai hubungan sebab akibat antara satu fenomen
dengan fenomen lainnya. Penelitian akan benda-benda fisis terjadi terus menerus dan
manusia berkat pengetahuan yang telah diperoleh dapat merekayasa dan menciptakan
berbagai sarana dan prasarana yang berguna bagi kehidupannya.

Disamping penelitian akan fenomena-fenomena fisis, dalam sejarah


kehidupannya yang panjang manusia juga berusaha mencari jawaban mengenai dasar
hidupnya. Siapakah aku ini, aku datang dari mana? Apa yang ada setelah hidup ini?
Adalah pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar yang oleh keterbatasan manusia
tidak dapat dimengerti secara penuh oleh akal budi. 96 Berkaitan dengan pertanyaan
ini, semua manusia tidak dapat sepakat dengan satu jawaban. Pembuktian-
pembuktian yang dibuat oleh manusia tertentu tidak akan mudah diterima begitu saja
oleh manusia lain.

3.2.3.1. Allah Sebagai Dasar Nilai Hidup Manusia

95
EV no. 70.
96
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik “Fides Et Ratio” R. Hardarwiyana (penerj.), 1, Seri Dokumen
Gerejawi, no. 56 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan penerangan KWI, 1999), hlm. 8.

40
Allah sebagai dasar hidup manusia adalah pernyataan yang terus dibicarakan
sepanjang sejarah hidup manusia. Tidak semua manusia dapat menerima Allah
sebagai dasar hidup. Manusia yang menerima Allah sebagai dasar hidup tidak dapat
sepakat menggambarkan Allah sejauh yang mereka kenal dalam satu wujud dan rupa.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa Allah sungguh menjadi misteri yang tidak
dapat dijangkau akal manusia.

Dalam konsep Kristen, Allah menjadi dasar hidup manusia. Konsep ini
menjadi isi iman yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Iman Kristen meyakini Allah
sebagai pencipta alam semesta beserta seluruh isinya dan meneyelenggarakan hidup
manusia di dunia. Refleksi Paus Yohanes Paulus II bertumpu pada pemahaman dasar:
Allah sebagai dasar hidup manusia. Pada bagian awal refleksinya tentang hidup
manusia, Paus Yohanes Paulus II langsung menegaskan Allah sebagai pencipta
kehidupan yang menciptakan manusia untuk kehidupan kekal. “…Ia (Allah)
menciptakan segala sesuatu yang ada…Allah menciptakan manusia untuk
kebakaan”.97 Bertolak dari isi iman yang mendasar ini, beliau kemudian menjelaskan
nilai kehidupan manusia dalam perspektif Kristen.

Persoalan eksistensi Allah dan Allah sebagai dasar hidup manusia adalah satu
persoalan yang tidak terlepas pisah dengan yang lainnya dalam konsep kristen. Oleh
karena itu, usaha untuk membuktikan eksistensi Allah juga secara langsung
merupakan sebuah pembuktian bahwa Allah sungguh menjadi dasar bagi hidup
manusia. Sebab, dalam konsep kristen, tidak mungkin manusia dapat ada tanpa Allah.
Dalam kesepakatan lain, Paus Yohanes Paulus II sudah memberikan jawaban atas
persoalan skeptisisme yang menafikan eksistensi Allah. Skeptisisme mengingkari
Allah sebagai Allah dapat dihindari dan menjadi obJek di luar pengetahuan manusia
dan karena itu tidak dapat dibuktikan secara empiris.98
97
EV no. 70.
98
Pendapat ini dapat dirujuk dalam pemikiran Feuerbach. Seperti yang dikutip oleh Simon L.
Tjahyadi, Feuerbach mengatakan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan bagi manusia adalah
pengalaman indrawi. Allah tidak dapat diindrai, Allah tidak lain adalah fantasi yang berasal pada
pengalaman indrawi. Simon L. Tjahyadi, Tuhan Para Filsus dan Ilmuan dari Descrates sampai
whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 94-97.

41
Menghadapi persoalan ini, Paus Yohanes Paulus II kemudian menegaskan
bahwa; “Pada kenyataannya, kita tahu bahwa manusia tidak hanya mengenal warna,
nada, dan bentuk, tetapi juga manusia mengenal dirinya sebagai subjek, ia mengenal
kebenaran-kebenaran di luar yang kelihatan secara indrawi atau dengan kata lain yang
transempiris.”99 Manusia memang tidak dapat mengindrai Allah, tetapi ia dapat
mengalami Allah. Pengalaman manusia terhadap alam, benda-benda lain, dan
pengalaman manusia akan Allah harus dimengerti secara analogis.

Pengalaman dalam arti harafiah adalah pertemuan langsung antara manusia


sadar dengan objek tertentu. Jika pengalaman diartikan demikian, maka secara tegas
dapat dikatakan bahwa pengalaman akan Allah tidak ada sebab Allah memang bukan
objek kategorial di dunia ini, tetapi pribadi Transenden yang menjadi horison bagi
seluruh alam semesta.100 Allah merangkum dan menopang semua sehingga segalanya
bisa berada. Sebagai horison, Allah secara tidak langsung hadir dalam segala objek
kategorial di dunia ini. Dengan demikian, manusia mengalami Allah juga secara tidak
langsung sebagai horison yang hadir secara implisit dalam semua objek kategorial
dunia.101 Secara ilmiah-filosofis, Thomas Aquinas telah berusaha membuktikan Allah
lewat objek-objek kategorial yang dialami oleh manusia dalam teori Quinque Viae102-
nya yang terkenal. Paus Yohanes Paulus II menganjurkan teori tersebut sebagai dasar
referensi bila orang mau membuktikan keberadaan Allah secara etimologis.103

3.2.4. Konsekuensi terhadap Dasar Hidup Manusia

Konsekuensi terhadap hidup manusia yang dimaksudkan di sini berhubungan


dengan tindakan yang harus dilaksanakan umat manusia pada umumnya dan orang
Kristen pada khususnya dalam menghadapi realitas sosial dunia saat ini. Realitas
sosial yang berisi pertentangan antara budaya maut dan budaya kehidupan menuntut
99
Paus Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Pintu Harapan, Yayasan Obor (penerj.), (Jakarta: Obor,
1995). Hlm. 41.
100
Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. 5.
101
Ibid.
102
Quinque Viae adalah lima jalan pembuktian eksistensi Allah yang dipakai Thomas Aquinas melalui
objek-objek kategorial duniawi yaitu: gerakan, kausalitas, kontingensia, derajat kesempurnaan dan
finalitas. Thomas Aquinas, Summa theologie I,q. 2, a.3.
103
Paus Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Harapan, Op.Cit., hlm. 38.

42
tanggung jawab etis dari pihak manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai
kebenaran kodrati.

Ensiklik Evangelium Vitae tidak hanya mengedepankan aspek-aspek dasar


pemahaman teologis dan filosofis tentang nilai hidup manusia, tetapi juga berisi
seruan-seruan untuk mengaplikasikan magisterium tersebut dalam kehidupan konkret,
khususnya dalam menghadapi perkembangan budaya maut.

3.2.4.1. Pewartaan Injil Kehidupan

Paus Yohanes Paulus II melihat hidup sebagai kenyataan yang tercipta


berdasarkan maksud khusus Allah bagi ciptaan-Nya. Allah menciptakan manusia
untuk hidup bahagia dalam persatuan cinta dengan Allah. Dosa manusia membuat
Allah berupaya untuk menyatakan kembali maksud dan rencana-Nya melalui
kedatangan Yesus. Peristiwa Yesus dalam sejarah manusia tidak lain adalah
pewartaan Allah sendiri akan nilai hidup manusia.

Peristiwa Yesus Kristus sebagai warta peneguhan pemaknaan hidup manusia


haruslah diwartakan terus menerus kepada manusia segala zaman, terlebih saat
manusia tidak lagi menaruh apresiasi pada waktu hidupnya sendiri. 104 Allah yang
mewartakan nilai hidup manusia itu disaksikan oleh Para Rasul, diwartakan kepada
umat Gereja Perdana, dan diteruskan dalam kehidupan Gereja hingga saat ini. Orang-
orang Kristen dipanggil untuk mewartakan Ínjil Kehidupan dalam kenyataan dunia
saat ini.

Nilai hidup manusia terpancar dalam kiprah manusia dalam melaksanakan


tugas sebagai citra Allah. Dalam tugas tersebut, manusia harus menciptakan relasi
satu dengan yang lainnya. Bagaimana mungkin manusia dapat mengekspresikan cinta
interpersonal seperti cinta yang dibangun Allah dan manusia tanpa ada manusia lain
yang menjadi sasaran dari cintanya. Kenyataan ini secara adekuat menampakkan
dimensi sosial dari hidup manusia. Nilai hidup manusia tidak bersifat partikular.
Setiap orang secara terpisah memiliki nilai hidup universal yang sama. Proses
104
EV no. 82.

43
penyempurnaan diri sebagai aktualitas dari nilai hidup manusia serentak pula
merupakan penyempurnaan pada tatanan sosial.

Jacques Maritain, seorang pemikir Kristen, menegaskan ide ini. Menurut


Maritain, masyarakat sosial yang paling ideal adalah masyarakat yang bersifat
personalistik. Sebuah masyarakat personalistik dibangun dari individu masing-masing
sesuai dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki manusia sebagai pribadi. 105 Dengan
mengaktualisasikan kelebihannya sebagai pribadi pada jalur yang tepat, individu-
individu juga serempak menciptakan tatanan masyarakat ideal yang bersifat
personalistik. Masyarakat personalistik inilah yang disebut Maritain sebagai
masyarakat kristiani.106

Dimensi sosial dari nilai hidup manusia serta merta membawa keniscayaan,
bahwa “Injil Kehidupan” mestinya diwartakan kepada semua manusia sebagai agen
sosial untuk proses menuju penyempurnaan sebuah tatanan sosial yang lebih
manusiawi.

3.2.4.2. Tanggung Jawab terhadap Hidup Manusiawi

Pewartaan hidup manusiawi merupakan tanggung jawab yang ditanam secara


kodrati dalam diri setiap orang.

Membela dan memupuk hidup, menghormati dan mencintainya: itulah tugas


yang oleh Allah dipercayakan kepada setiap orang, dengan memanggilnya sebagai
citra-Nya yang hidup, untuk ikut melaksanakan kedaulatan-Nya sendiri di atas
dunia…..107 Manusia, oleh Allah, diserah kan tanggung jawab atas pemeliharaan
lingkungan hidup. Lingkungan hidup disediakan oleh pencipta untuk melayani
martabat hidup manusia. Masalah ekologi yang mengancam kehidupan timbul oleh
sikap manusia yang mengingkari tanggung jawab memelihara kehidupan yang telah
tertanam secara kodrati.
105
Jacques Maritain, Christianity and Democracy & The Right of Man and Natural Law, (San
Fransisco: Iqnatius Press, 1986), hlm. 105.
106
Ibid.
107
EV no. 42.

44
Selain tanggung jawab ekologis, ensiklik ini juga secara khusus membahas
tanggung jawab prokreasi, yaitu tanggung jawab manusia sebagai agen penerus
keturunan. Tanggung jawab ini berkaitan dengan proses pemeliharaan dan pendidikan
anak.108 Manusia sebagai bapak dan ibu berkewajiban menjamin agar nilai kehidupan
dari sang anak tidak dilecehkan lewat berbagai tindakan yang diambil. Sikap dasar
dari prokreasi adalah membiarkan manusia lahir secara natural, bertumbuh dengan
cara yang seharusnya dan mati dengan caranya yang alamiah.

Bila disimak lebih jauh, tanggung jawab ekologis dan tanggung jawab
prokreasi merangkum tanggung jawab-tanggung jawab manusia lainya seperti
tanggung jawab sosial dan tanggung jawab politis. Alam menyediakan kebutuhan-
kebutuhan bagi hidup manusia. Manusia hanya dapat memenuhi segala kebutuhannya
bila ada interaksi sosial di dalamnya. Tatanan sosial akan stabil bila masyarakat dapat
memenuhi segala kebutuhan hidup. Tanggung jawab sosial terbentuk agar lalu lintas
kebutuhan itu berjalan dengan lancar sesuai porsi individu masing-masing. Politik
selalu berkaitan dengan wewenang untuk mengatur lalu lintas kebutuhan itu. Bila
wewenang dijalankan dengan baik maka masyarakat adil makmur akan tercapai.
Sebaliknya, bila wewenang itu hanya digunakan untuk mencukupi kelompok tertentu
maka akan menciptakan sebuah pergolakan sosial. Dinamika sosial dan politik tidak
terlepas dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Tanggung jawab prokreasi kelihatannya lebih bersifat personal. Tanggung


jawab ini dimulai sejak awal saat seorang anak manusia dikandung hingga saat
kematiannya yang wajar alamiah. Tiga masalah besar yang disorot oleh ensiklik ini
berkaitan dengan tanggung jawab prokreasi adalah masalah aborsi, eutanasia, dan
bunuh diri. Persoalan aborsi, eutanasia, dan bunuh diri menjadi pelik sebab ketiga
tindakan ini oleh beberapa negara dilegalkan oleh hukum, bahkan dianjurkan untuk
dilakukan demi menahan laju pertumbuhan penduduk. Tanggung jawab moral dari
tiga tindakan ini dihapus berdasarkan undang-undang yang berlaku. Lewat produk
hukum ini, manusia memutarbalikkan kenyataan sesungguhnya.

108
EV no. 43.

45
Tanggung jawab atas kehidupan adalah pelaksanaan hukum moril yang
berdasar pada arahan hati nurani sendiri. Dalam kasus eutanasia, aborsi, hukuman
mati dan bunuh diri, tanggung jawab manusia dibatasi hanya sampai pada taraf
hukum positif dan mengabaikan hukum moril.109 Dalam kehidupan bernegara, hukum
positif dapat dijadikan sebagai satu-satunya norma dsar dalam kehidupan bersama.
Walaupun hukum tersebut lahir tidak berdasarkan kebenaran, tetapi hanya menjadi
suara dari kaum mayoritas.

3.2.4.3. Mengusahakan Transformasi Budaya

Ensiklik ini menjadi sebuah seruan moral untuk mengusahakan transformasi


budaya menuju pelaksanaan budaya kehidupan. Untuk itu, ensiklik ini
mengedepankan langkah yang harus diambil.Langkah utama dan mendasar adalah
pembinaan suara hati.110 Dalam membina suara hati, unsur penting yang harus
diperhatikan ialah kaitan hakiki antara hidup dan kebebasan manusia. Menurut Paus
Yohanes Paulus II, hidup dan kebebasan manusia ada dalam satu-kesatuan. Bila yang
satunya dilanggar, maka yang lain pun dilecehkan. Tidak ada kebebasan sejati bila
kebebasan itu tidak mendukung perkembangan manusia menjadi lebih sempurna.111
Selain itu, yang tidak kalah penting dalam proses pembinaan hati adalah
dipulihkannya kaitan yang perlu antara kebebasan dan kebenaran. Kebebasan harus
selalu mengabdi kepada kebenaran. Jika kebebasan manusia tidak diabadikan pada
kebenaran maka manusia akan tunduk pada kebenaran subjektif dan menjadi budak
bagi orang-perorangan.112

Transformasi budaya menuju pemenuhan budaya kehidupan mempunyai


kendala tersendiri. Kenyataan memperlihatkan bahwa dewasa ini muncul fenomena
peningkatan manusia massa. Manusia massa adalah orang-orang yang tidak
mempunyai pendirian tetap. Mereka bersikap indiferent terhadap nilai dan sangat

109
EV. No.71.
110
EV no. 97.
111
Ibid.
112
Ibid.

46
mudah terpengaruh oleh situasi.113 Pola hidup budaya maut dengan mudah terserap
dalam tingkah laku kelompok manusia massa ini. Manusia massa merupakan
fenomena yang harus diperhatikan secara khusus demi perkembangan peradaban
manusia yang lebih baik.114

3.3. CATATAN KRITIS

Sebagai sebuah surat pastoral, ensiklik Evangelium Vitae bersifat persuasif.


Artinya, ensiklik tersebut diterbitkan dengan tujuan untuk memengaruhi pola
hidupmasyarakat saat itu. Ensiklik ini sendiri lahir dari keprihatinan Gereja terhadap
berbagai masalah serius yang berkaitan dengan nilai hidup manusia. Dengan
diterbitkannya ensiklik ini, diharapkan agar berbagai tindakan pelanggaran terhadap
nilai hidup manusia dapat diminimalisir. Namun, harus diakui bahwa fungsi persuasif
dari ensiklik ini tidak berjalan maksimal. Seperti data-data yang diungkapkan
sebelumnya, ada banyak negara yang masih melegalkan tindakan aborsi, eutanasia,
dan bunuh diri.

Ada alasan mengapa fungsi persuasif dari ensiklik ini tidak dapat berjalan
secara maksimal. Ensiklik adalah sebuah surat khas Kristen. Sebagai surat khas
Kristen ensiklik ini membahas permasalahan global dalam kaca mata Kristen.
Ensiklik ini menjelaskan nilai hidup manusia dengan basis ajaran kristen sebagai
dasar pijakan untuk mengatasi persoalan yang berkaitan dengan martabat hidup
manusia. Sebagai tulisan Kristen, ensiklik ini memang tidak ada cacat dan celanya.
Namun oleh basis kristianinya, implikasi sosial dari ensiklik ini tidak terlalu
“menggema”, sebab belum tentu ajaran kristiani mengenai nilai hidup manusia dapat
diterima oleh semua kalangan dengan mudah. Walaupun demikian, ensiklik
113
Manusia massa ini adalah orang yang bertindak tanpa sadar. Paus Yohanes Paulus II, melihat
tindakan manusia sebagai bagian yang menunjukkan isi pribadi dari setiap manusia. Tindakan yang
dimaksudkan di sini adalah “acting” tindakan yang dibuat secara sadar. Bdk. Karol Wojtyla, The
Acting Person (London: D. Reidel Publishing Company, 1969), hlm. 210-212.
114
Witdarmono, H, et, al. Loc. Cit.

47
Evangelium Vitae tetap memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi manusia
dalam kehidupan global. Tekanan pada budaya maut membuat agama memiliki peran
lagi dalam kehidupan manusia. Agama menjadi institusi yang dapat meredam
perkembangan budaya hedonis masyarakat global.115

Perspektif Kristen tentang nilai hidup manusia dalam ensiklik ini memang
membuat ensiklik ini terbatas, namun setidaknya ensiklik ini dapat membuat semua
orang menjadi sadar akan permasalahan yang terjadi dalam konteks global. Lebih
jauh daripada itu, ensiklik ini menunjukkan penyebab terdalam masalah pelanggaran
terhadap martabat hidup manusia. Penyebab terdalam adalah ketidakmampuan
manusia untuk bertindak sesuai arahan hati nurani. Kesadaran akan adanya
permasalahan yang tengah terjadi oleh ketidakmampuan melaksanakan arahan hati
nurani ini dapat mendorong manusia untuk kembali merefleksikan nilai
keberadaannya di dunia berdasarkan perspektif agama atau pun budaya yang dihidupi
masing-masing.

Dari seluruh uraian dalam bab ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia
rentan terhadap tindakan yang melanggar nilai hidupnya. Kerentanan ini terjadi
karena manusia mempunyai pandangan yang keliru tentang kebebasan dan
menghilangkan kesadaran akan Allah dan sesamanya. Allah dan sesama diabaikan
ketika manusia tidak lagi bertindak sesuai dengan arahan hati nuraninya. Kenyataan
seperti ini membuat manusia mengalami kesengsaraan dalam hidupnya. Allah adalah
entitas yang menjadi dasar dari hidup manusia. Allah memampukan manusia untuk
membuat hidupnya menjadi lebih bermakna. Dalam perspektif Kristen Allah itu
menjelma menjadi manusia Yesus Kristus. Kehidupan Yesus mengafirmasi kembali
makna hidup manusia sebagai citra Allah yang sedang berjuang menjawab panggilan
cinta Allah. Kesadaran sebagai citra Allah ini membuat manusia berjuang untuk
membangun diri dan peradabannya dalam sebuah transformasi budaya. Dalam bab
berikut akan dibahas secara khusus fenomena bunuh diri di Kabupaten Sikka dalam
terang ensiklik Evangelium Vitae.

115
Ibid., hlm. 88.

48
BAB IV

MEMBACA FENOMENA BUNUH DIRI DI KABUPATEN SIKKA DALAM


PERSPEKTIF ENSIKLIK EVANGELIUM VITAE

4.1. MEMBACA REALITAS BUNUH DIRI DI KABUPATEN SIKKA

Cerita tentang bunuh diri di Kabupaten Sikka bukan lagi tergolong cerita baru,
melainkan sudah menjadi sebuah cerita klasik. Namun, jika cerita klasik yang sering
menjadi “tamu” pada berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak ini
dibiarkan hidup terus menerus dalam masyarakat Kabupaten Sikka, maka tindakan
yang sangat tidak bermoral ini bisa menjadi sebuah budaya yang berbahaya. Aksi
bunuh diri itu berbahaya karena mengancam kelangsungan hidup masyarakat
Kabupaten Sikka ke depannya.

Dalam bab ini, penulis mencoba menguraikan dan memaparkan realitas bunuh
diri yang terjadi di Kabupaten Sikka dalam bentuk data pada awal tahun 2019 sampai
akhir tahun 2021. Data ini diperoleh dari polres Kabupaten Sikka. Data yang ada
merupakan data yang dibuat berdasarkan laporan yang masuk ke polres Sikka untuk
ditangani dan tidak termasuk kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan ke polres
Sikka atau didiamkan oleh keluarga. Inilah yang menjadi pertanyaan dasar pada bab
ini, apa saja yang menjadi motif dan faktor penyebab mengapa segelintir masyarakat
Kabupaten Sikka melakukan aksi bunuh diri?

Data yang diperoleh polres Kabupaten Sikka tentang kasus bunuh diri tiga
tahun terakhir cukup memprihatinkan. Terhitung sejak tahun 2019 sampai tahun
2021, sudah lebih dari lima belas kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Sikka.
Tiap kasus terjadi di wilayah yang berbeda dengan motif dan cara yang hampir mirip

49
untuk setiap kasus. Lebih dari lima belas kasus yang terjadi dalam rentang waktu
yang tidak terlalu lama, yakni awal tahun 2019 sampai akhir tahun 2021 merupakan
jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran sebuah kabupaten.

50
DATA KASUS BUNUH DIRI YANG TERJADI DI KABUPATEN SIKKA MENURUT KEPOLISIAN DAERAH
NUSA TENGGARA TIMUR RESOR SIKKA DARI TAHUN 2019 SAMPAI TAHUN 2021.

A. Kasus Bunuh Diri di Kabupaten Sikka Tahun 2019116

No Nama Usia Identitas Kejadian Waktu Tempat Motif Keterangan


Kejadian Kejadian

1 Martina Adel 38 Thn Perempuan, Petani, Hari Selasa, Kampung Masalah Korban gantung diri di
Gundis Katolik. 19 Februari Moko, Desa Keluarga Kamar korban, dan
Hoder, Kec. korban meninggal
Waigete. dunia.

2 Eldius 36 Thn Laki-laki, Petani, Hari Selasa Kampung Masalah Korban menusuk
Elmundus Katolik. 19 Februari Wairbleler, Keluarga dirinya dengan pisau,
Desa Hoder, korban selamat.
Kec. Waigete.

3 Yohanes 50 Thn Laki-laki, PNS, Hari Rabu, Dusun Masalah Korban gantung diri di
Yanuarius Katolik. 17 April Wairhang, Keluarga atas pohon Reo dan
Januari Desa korban meninggal
Nangatobong, dunia.

116
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka, Jalan Jendral Ahmad Yani 01 Maumere 86111, Data Kasus Bunuh Diri atau Gantung
Diri yang Dilaporkan ke pihak POLRES Sikka Tahun 2019.

51
Kec. Waigete.

4 Lani Wayoi 21 Thn Perempuan, Hari Rabu, Centrum, Masalah Korban gantung diri di
Mahasiswi, 22 Mei Kelurahan Keluarga atas pohon jambu
Protestan. Nangameting, mente, Korban
Kec. Alok meninggal dunia.
Timur

5 Konradus 54 Thn Laki-laki, Katolik. Hari Kamis, Dusun Bola - Korban ditemukan
Martinus 23 Mei Tobong,, RT meninggal di pinggir
05/RW. 02, tebing kali.
Kelurahan
Nangalimang,
Kec. Alok.

6 Maria Klara - Perempuan, Katolik. Hari Minggu, Dusun Glak, Masalah Korban gantung diri di
Gondelina 12 Mei. Desa Hale, keluarga. dalam kamar korban,
Kec. Mapitara korban meninggal

7 Hilarius Waru - Laki-laki, Katolik. Hari Selasa, 4 Perkebunan Masalah Korban meninggal
Juni. Jegu, di Ekko, Keluarga dunia.
Desa
Timutawa,

52
Kec. Talibura.

8 Marselinus Moa 32 Thn Laki-laki, Katolik. Hari selasa, Dusun - Korban ditemukan tidak
16 Juli Sinawair, Desa bernyawa lagi dalam
Hewakloang. hutan.

9 Utami Ningsih 17 Thn Perempuan, Siswi Hari Minggu, Desa Huler Putus Korban menelan racun,
SMA, Protestan. 18 Agustus Wuat, RT cinta Korban Meninggal
002/RW 001, dunia.
Dusun Hokor,
Desa Hokor,
Kec. Bola.

10 Dominika Dugo - Laki-laki, Katolik. Hari Jumat, Desa Masalah Korban meninggal
11 Oktober Kloangaur, RT Keluarga dunia.
012/ RW. 05,
Desa Heopuat,
Kec.
Hewokloang.

11 Yulius Samsedu - Laki-laki, Katolik Hari Sabtu, Kelurahan - Korban meninggal


Pati 28 November Kota baru, RT dengan meminum
26/RW 05,

53
Lorong racun.
Firdaus, Kec.
Alok Timur.

B. Kasus Bunuh Diri di Kabupaten Sikka Pada Tahun 2020117

No Nama Usia Identitas Korban Waktu Tempat Motif Keterangan


Kejadian Kejadian

1 Steri Ukude 25 Thn Perempuan, Hari Sabtu, 4 Jln Dua Toru Masalah Korban menusuk
Mahasiswi, Januari Iligetang, Kec. Keluarga dirinya dengan pisau.
Protestan. Alok Timur. Korban selamat.

2 Frans Kalitus 39 Thn Laki-laki, Petani, Hari Minggu, Dusun Pigang, Masalah Korban gantung diri di
Katolik. 26 Januari Desa Egon, Keluarga pohon, korban
Kec. Waigete meninggal dunia.

117
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka, Jalan Jendral Ahmad Yani 01 Maumere 86111, Data Kasus Bunuh Diri atau Gantung
Diri yang Dilaporkan ke pihak POLRES Sikka Tahun 2020.

54
3 Denis Keupung 40 Thn Laki-laki, PNS, Hari Rabu, Dalam Rumah Masalah Korban gantung diri di
Katolik. 12 Februari Korban di Keluarga tiang kamar rumah dan
Misir korban meninggal
Kelurahan dunia.
Madawat, Kec.
Alok

4 Maria Kartini 14 Thn. Perempuan, Pelajar Hari Jumat, Hurabegar, Masalah Korban meninggal
SMP, Katolik. 15 Oktober Desa Darat Keluarga dengan menggantung
Gunung, Kec. diri di dalam kamar
Talibura.. korban..

5 Donatus Datang - Laki-laki, Katolik. Hari Kamis, Dalam hutan - Korban ditemukan tidak
26 November Wirot Desa bernyawa lagi di Hutan.
Darat Gunung,
Kec. Talibura

6 Maria Oktaviana 14 Thn Perempuan, pelajar Hari Selasa, Dalam rumah Masalah Korban gantung diri di
SMP, Katolik. 29 Desember korban di Desa Keluarga Kamar Korban, korban
Kolisia, Kec. meninggal dunia.
Magepanda

55
C. Kasus Bunuh Diri di Kabupaten Sikka Pada Tahun 2021118

No Nama Usia Identitas Korban Waktu Kejadian Tempat Motif Keterangan


Kejadian

1 Leonardus 60 Thn Laki-laki, Katolik. Hari Sabtu, 9 juli. Kec. Kewapante Masalah Korban meninggal
Lewong Keluarga dunia.

2 Maria Selestin - Perempuan, Petani, Hari Selasa, 9 Kec. Masalah Korban meninggal
Katolik agustus Kewapante. ekonomi dunia.

3 Agustinus 52 Thn Laki-laki, Guru Hari Sabtu, 11 Desa Koting B, Masalah Korban gsntung
Silvester SD, Katolik. September. Kec. Koting. Keluarga diri di dalam kamar
korban.

4 - 32 Thn Laki-laki, Petani, Hari sabtu, 13 Likonggete, Masalah Korban meninggal


Katolik November Desa gangguan dunia gantung diri
Nangahale, Kec. jiwa. di pohon asam.
Talibura.

118
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka, Jalan Jendral Ahmad Yani 01 Maumere 86111, Data Kasus Bunuh Diri atau Gantung
Diri yang Dilaporkan ke pihak POLRES Sikka Tahun 2021.

56
5 Frenkianus 46 Thn Laki-laki, Petani, Hari Kamis, 17 Dusun Hebing, Masalah Korban gantung
Firminus Tonce. Katolik. November Desa Hebing, Keluarga. diri di pohon
Kec. Matipura. jambu, korban
meninggal dunia.

6 Petrus Boki 18 Thn Laki-laki, Pelajar Hari selasa, 24 Jln. Kartini, Masalah Korban meninggal
Ruron SMK, Katolik. Agustus Kelurahan percintaan dunia gantung diri
Wairotang, di kamar mandi
Kec. Alok kos teman.
Timur.

7. Stefanus Dei 24 Thn Laki-laki, Pelajar Hari Minggu, 05 Desa Lela, Kec. Masalah Korban gantung
SMA, Katolik. September Lela-Sikka. Keluarga diri di atas pohon
beringin belakang
rumah. Korban
meninggal dunia.

57
Data-data yang ditampilkan di atas belum termasuk warga yang kedapatan hendak
melakukan bunuh diri dan berhasil digagalkan warga.

Dari data di atas ada beberapa hal yang dapat dikatakan, yaitu:
 Total bunuh diri di Kabupaten Sikka yang sempat didata oleh
polres Sikka dalam kurun waktu tiga (3) tahun terakhir adalah dua
puluh empat (24) kasus.
 Kebanyakan yang melakukan aksi bunuh diri adalah kaum laki-
laki, yakni sebanyak delapan belas (18) orang dan wanita hanya
enam (6) orang dari jumlah total kasus dua puluh empat (24) kasus
yang ditampilkan.
 Dari data yang ditampilkan, dapat dikatakan bahwa hampir setiap
bulan selalu ada warga yang melakukan aksi bunuh diri.
 Umumnya yang melakukan aksi bunuh diri adalah masyarakat akar
rumput yang didominasi oleh para petani, yang juga adalah kepala
keluarga.
 Semua korban yang meninggal akibat kasus bunuh diri ini pada
umumnya adalah umat Katolik (22 orang) dan hanya dua (2) orang
umat protestan.
 Kecamatan yang warganya paling sering melakukan aksi bunuh
diri dalam tiga tahun terakhir adalah Kecamatan Waigete dan
Kecamatan Talibura sebanyak 4 kasus.
 Motif yang paling banyak menjadi penyebab terjadinya kasus
bunuh diri adalah masalah keluarga.
Inilah realitas yang sangat memprihatinkan sekaligus menakutkan.
Kendati demikian, realitas yang menakutkan ini justru terjadi berulang
kali dalam masyarakat Kabupaten Sikka.

58
4.2. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI DI KABUPATEN
SIKKA
Secara umum ditemukan empat (4) faktor penyebab bunuh diri di
Kabupaten Sikka:
4.2.1. Kemiskinan
Potret kemiskinan adalah potret yang paling sering dijumpai dalam hidup
masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Sikka
khususnya. Wajah kemiskinan adalah wajah mayoritas di dalam masyarakat
Kabupaten Sikka. Pada tingkat Provinsi tercatat sejak Februari 2011 sampai
Desember 2022 sebanyak 30% dari sekitar 4 juta jiwa penduduk Provinsi NTT
hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan per kapita per hari hanya
Rp-3.500 sampai Rp-5000 saja.119
Data di atas menunjukkan bahwa masih banyak penduduk NTT yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Satu minggu mereka hanya mendapat
Rp-210.000 sampai Rp-300.000 dan satu bulan mereka hanya memperoleh
pendapatan sebesar Rp-1.050.000 sampai Rp-1.500.000 saja. Jika dibandingkan
dengan jumlah kebutuhan hidup dalam sehari untuk konsumsi, kesehatan, sekolah,
urusan keluarga atau adat-istiadat dan sebagainya, jumlah pendapatan itu tidak
sebanding dengan pengeluarannya.
Lalu bagaimana dengan realitas kemiskinan di Kabupaten Sikka itu
sendiri? Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka menunjukkan bahwa
angka kemiskinan di Kabupaten Sikka masih tinggi. Terhitung sejak tahun 2011
sampai 2021, angka kemiskinan di Kabupaten Sikka sebesar 53.153 orang atau
sekitar 18% dari total jumlah penduduk.120 Bukan hal yang mustahil jika pengaruh
kemiskinan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran yang terjadi di
Kabupaten Sikka. Terhitung sejak tahun 2011, angka pengangguran di Kabupaten
Sikka sebesar 6.296 orang atau sebesar 2% dari jumlah penduduk masyarakat
Kabupaten Sikka dan meningkat lagi pada tahun 2022 menjadi 8.777 orang atau
3% dari total total penduduk Kabupaten Sikka. Hemat penulis, tidak mudah untuk

119
Yovani Su, “Kontemplasi Otensitas”, Musafir, Vol.01.Thn.XXXVI, 2008-2009, hlm. 18.
120
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, “Jumlah Penduduk Miskin Menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2011-2022”, (bps5310@bps.go.id), diakses pada tanggal 4 april 2022.

59
menurunkan 0,1% angka kemiskinan dan pengangguran dengan pendapatan
daerah yang kecil; butuh usaha yang lebih besar untuk menurunkannya.
Selain menggunakan data di atas, untuk membaca realitas kemiskinan di
Kabupaten Sikka, bisa digunakan penjelasan internalis. Penjelasan internalis
merupakan penjelasan yang menekankan karakteristik dari suatu wilayah atau
mentalitas serta budaya masyarakat sebagai penentu tingkat kemakmuran
ekonomis.121 Maksud dari penjelasan internalis adalah miskin tidaknya suatu
wilayah bisa dilihat dari keadaan manusia, keadaan alam wilayah tersebut dan
juga keadaan budayanya.
Suatu wilayah akan dikatakan miskin jika wilayah tersebut penuh dengan
keterbatasan sumber daya alam, seperti kurangnya lahan yang subur, iklim dan
cuaca yang tidak mendukung, hama, ketiadaan sumber-sumber mineral, wilayah
yang kurang strategis secara ekonomi dan sebagainya. Selain itu juga,
keterbatasan sumber daya manusia seperti tingkat pendidikan yang masih rendah,
wawasan yang sempit, tidak memiliki ketrampilan khusus, dan juga sikap mental
dan budaya yang tidak sehat seperti boros, malas, judi, pesta dan sebagainya.
Kabupaten Sikka tidak luput dari hal-hal di atas. Tak dapat dipungkiri jika
masih ada daerah di Kabupaten Sikka yang terpencil, kering, tandus, dan jauh dari
akses informasi, transportasi dan ekonomi. Selain itu, Kabupaten Sikka juga tidak
luput dari keterbatasan sumber daya manusia. Jika ditelisik lebih jauh dan
mendalam, maka akan ditemukan bahwa masih banyak masyarakat Kabupaten
Sikka yang tidak bersekolah, yang wawasannya masih sempit, yang putus
sekolah, dan yang tidak punya keterampilan khusus. Banyak masyarakat
Kabupaten Sikka yang belum sadar, yang masih berusaha menghidupi budaya
boros, pesta pora, judi, miras dan mabuk-mabukan. Saat masyarakat tidak bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya secara normal, mereka menjadi stres dan putus
asa. Ketidaksanggupan masyarakat untuk berada dalam sikon seperti inilah yang
membuat mereka memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.
4.2.2. Kegagalan
Selain kemiskinan, faktor yang juga turut mengambil bagian dalam
tindakan bunuh diri adalah kegagalan dalam hidup. Kegagalan merupakan

121
Ibid.

60
ketidakberhasilan seseorang dalam melakukan suatu hal. Kegagalan dalam hidup
dapat memengaruhi kondisi psikologis seseorang sehingga orang tersebut menjadi
pesimis. Banyak orang begitu gampang menyerah ketika pikirannya mengatakan
bahwa dia gagal dan pasti tidak bisa. 122 Orang yang sudah pernah mengalami
kegagalan sering merasa takut untuk menghadapi tugas baru atau melanjutkan
tugas yang sudah pernah gagal dilaksanakan. Orang merasa takut jika ia akan
gagal lagi.
Selain itu, satu hal yang membuat seseorang selalu berada dalam situasi
kesalahan atau kegagalan yang sama secara berulang-ulang adalah karena ia tidak
pernah mengakui kesalahan yang sama yang pernah dilakukannya. 123 Ketika orang
tidak pernah mengakui kegagalan yang dialaminya orang tidak akan pernah mau
belajar dari kegagalannya dan bukan tidak mungkin bahwa ia akan jatuh lagi ke
dalam kegagalan yang sama. Ketika mengalami kegagalan lagi orang menjadi
putus asa dan akhirnya nekat melakukan aksi bunuh diri.
Banyak sekali kegagalan yang dialami oleh masyarakat Kabupaten Sikka.
Sebagai contoh tidak lulus ujian, tidak naik kelas, atau dikeluarkan dari sekolah
akibat suatu masalah (kenakalan, hamil). Kegagalan lain ialah gagal membina
hidup perkawinan dan rumah tangga, karena perselingkuhan, kawin paksa, belis
yang terlalu mahal, dan perceraian atau broken home.
Yang lain lagi ialah kegagalan dalam kerja seperti tidak naik pangkat,
dipecat, merantau tetapi tidak membawa hasil, bangkrut dalam usaha, ataupun
gagal dalam pemilihan legislatif atau eksekutif. Kegagalan dalam urusan
kesehatan seperti sakit yang berkepanjangan dan tidak kunjung sembuh.

4.2.3. Lemahnya Moral Iman


Manusia adalah makhluk yang unik karena memiliki akal budi. Dengan
akal budinya manusia dapat melakukan dan menciptakan banyak hal untuk
kepentingannya. Tetapi, tidak dapat disangkal bahwa manusia juga punya
kelemahan yakni manusia itu rapuh. Ketidakpastian dan kerapuhan itu sering
tampak dalam kenyataan bahwa kadang-kadang manusia menginginkan sesuatu

122
Perlindungan Marpaung, Filfilling Life Merayakan Hidup yang Bukan Main (Bandung: MQ
Publishing, 2007), hlm. 217.
123
Ibid.,hlm. 249.

61
tetapi keinginan itu tidak selalu bisa terwujud. 124 Kerapuhan manusia itu turut
merembes masuk ke dalam kehidupan iman dan moral. Dalam hidup keagamaan,
manusia diajarkan untuk memiliki iman dan moral yang baik, tetapi karena
kerapuhan itu, maka tidak semua manusia bisa menghayati iman dan nilai-nilai
moral secara sempurna. Masyarakat Kabupaten Sikka juga tidak bisa terhindar
dari kerapuhan moral ini.
Lemahnya moral dan iman segelintir masyarakat Kabupaten Sikka juga
turut memengaruhi terjadinya bunuh diri. Segelintir masyarakat Kabupaten Sika
belum paham dan menghayati sepenuhnya nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Hemat penulis, membunuh diri sendiri merupakan sebuah pelanggaran moral
karena tidak menghormati hak hidupnya sendiri sekaligus melanggar hak
hidupnya sendiri. Membunuh adalah sebuah pelanggaran terhadap perintah Allah
yang ke lima yakni jangan membunuh, termasuk bunuh diri itu sendiri. Hal ini
terjadi akibat iman dan kesadaran moral yang masih lemah. Tentunya ini menjadi
tugas berat bagi para pelayan pastoral Keuskupan Maumere untuk menangani
masalah ini.

4.2.4. Kesehatan Mental


Kehidupan jasmani dan kesehatan adalah hal-hal yang dipercayakan Allah
kepada manusia. Karena itu, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara
kesehatannya.125 Tubuh yang telah diciptakan Allah dan dipercayakan kepada
manusia harus dijaga dengan baik karena diberikan Allah secara cuma-cuma.
Namun, yang perlu dijaga bukan hanya kesehatan tubuh biologis, tetapi juga
kesehatan mental atau psikis.
Gangguan mental sangat memengaruhi tubuh seseorang. Orang bisa saja
mengidap banyak penyakit akibat terganggu mentalnya. Banyak jenis penyakit
merupakan masalah kesehatan yang mempunyai sebab psikis. 126 Karena itu,
manusia tidak hanya bertanggung jawab terhadap kesehatan badannya saja, tetapi
juga kesehatan mental atau psikis.

124
Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), hlm. 58.
125
Karl Heinz Peschke, Op. Cit.,hlm. 59.
126
Ibid., 60.

62
Kemiskinan, kegagalan dalam membina hidup perkawinan, kegagalan
dalam studi atau pun kerja, juga lemahnya moral dan iman dapat menyebabkan
seseorang mengalami gangguan mental atau psikologis. Mereka yang terkena
gangguan mental ini bisa mengalami depresi, stres dan bahkan bisa menjadi gila.
Keadaan mental yang labil dan rapuh ini dapat membuat seseorang nekat
melakukan bunuh diri. Dalam penelitiannya terhadap masyarakat Kabupaten
Sikka, M.K. Yosepha mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara bunuh
diri dengan gangguan psikiatrik.127 Hubungan itu dapat dilihat melalui gejala-
gejala di atas.
Kesehatan mental atau psikis sebagian kecil masyarakat Kabupaten Sikka
masih memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya aksi bunuh diri yang
terjadi di Kabupaten Sikka. Masalah ini harus ditanggapi secara serius agar tidak
menjadi masalah yang lebih kompleks.
4.3. MOTIF BUNUH DIRI DALAM MASYARAKAT KABUPATEN
SIKKA
Dari uraian di atas, maka secara umum ditemukan empat (4) motif bunuh
diri di Kabupaten Sikka.

4.3.1. Bunuh Diri sebagai Solusi dalam Meneyelesaiakan Masalah


Bunuh diri memang mengerikan tetapi bagi segelintir masyarakat
Kabupaten Sikka, khususnya 24 orang yang melakukan aksi bunuh diri, hal ini
masih menjadi solusi dalam mengatasi aneka persoalan hidup mereka yang pelik.
Segelintir orang masih memilih bunuh diri sebagai cara terbaik menyelesaiakan
masalahnya karena bunuh diri merupakan sebuah cara yang paling mudah dan
juga murah meriah tanpa butuh banyak biaya, waktu dan tenaga untuk
melakukannya. Apa susahnya jika hanya meminum racun, menggantung diri,
melemparkan diri ke jurang, lompat dari gedung ataupun dengan memotong urat
nadi pada pergelangan tangan sendiri? Sangat mudah dan semua orang bisa
melakukannya dengan sangat baik dan benar.
Jika kembali mengacu pada pandangan Durkheim tentang empat tipe
bunuh diri, maka dapat ditemukan bahwa ada dua tipe bunuh diri yang sangat

127
Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Sikka, Loc. Cit.

63
menonjol di Kabupaten Sika, yakni tipe anomik dan fatalistik. Tipe anomik sangat
tampak pada pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa bunuh diri
merupakan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah mereka.128
Pada bab dua telah diuraikan bahwa tipe anomik merupakan suatu keadaan
moral ketika individu kehilangan cita-cita, tujuan hidup, dan norma dalam
hidupnya. Masyarakat mengalami sok karena tidak sanggup mengimbangi
perubahan zaman yang terus berkembang dengan pesat dan cepat dalam segala
lini kehidupan manusia.129 Masyarakat Kabupaten Sikka, khususnya masyarakat
akar rumput tidak siap dalam menghadapi akselerasi kehidupan sosial yang begitu
besar di Kabupaten Sikka sehingga norma-norma lama yang mereka pegang
selama ini tidak bisa membantu mereka untuk mengimbangi perubahan itu.
Akibat dari ketidaksiapan itu adalah masyarakat akar rumput menjadi
bingung dan terombang-ambing, tidak tahu arah mana yang harus mereka lalui.
Maka, dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh Romo Sipri Hormat
bahwa bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Sikka juga diakibatkan oleh
hilangnya pegangan masyarakat akan nilai-nilai kehidupan (norma adat, nilai
agama atau iman, dan norma moral) yang bisa diandalkan.130
Selain ketidaksiapan seseorang dalam mengahadapi situasi dunia yang
begitu cepat, bunuh diri juga merupakan sebuah teriakan keputusasaan. Kerap kali
usaha bunuh diri merupakan teriakan putus asa terakhir dari seseorang yang tidak
lagi menemukan jalan keluar bagi persoalan-persoalan hidupnya, atau melihat
dirinya riil atau hanya dalam imajinasinya sebagai orang yang ditinggalkan atau
mati secara sosial.131 Tekanan beban permasalahan hidup menjadi sebab yang
sangat berat bagi orang yang menghadapinya. Sebagai makhluk yang lemah,
manusia mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memikul beban
penderitaannya. Akibat dari beban penderitaan yang tidak dibagikan ini, ia
akhirnya merasa bahwa ia sendirian dan ditinggalkan oleh sesamanya. Orang yang
melakukan bunuh diri merasa dirinya teralienasi dari dunia ini, mereka merasa
sendiri sehingga merasa bahwa dirinya tidak berharga lagi.

128
Ishak Supatriot Dalo, Loc.Cit.
129
Ibid.
130
Sipri Hormat, wawancara dalam Flores Pos, Ende, 25 Februari 2012, hlm. 1.
131
Karl-Heinz Peschke, Op.Cit., hlm. 132.

64
Di tengah kompleksitas permasalahan hidup. Orang-orang yang
kehilangan pegangan hidup ini akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya
sendiri dengan bunuh diri sebagai solusi terhadap berbagai problem yang
dihadapinya. Apakah pandangan seperti ini benar? Apakah memang tidak ada
pilihan lain selain bunuh diri untuk menyelesaiakan berbagai persoalan hidup?
Pandangan bahwa bunuh diri adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan
masalah tidak dapat dibenarkan dan hal itu sangat keliru. Bunuh diri tidak akan
akan pernah menyelesaikan masalah karena bunuh diri bukanlah sebuah bentuk
penyelesaian masalah melainkan sebuah bentuk pelarian. Dengan melakukan
bunuh diri, seseorang melarikan diri dari masalah, dan hal ini justru menjadi
beban bagi keluarga yang ditinggalkan karena bunuh diri merupakan aib bagi
keluarga. Bunuh diri tidak bisa menjadi solusi karena bunuh diri justru melahirkan
masalah baru. Masalah tidak bisa diselesaiakan dengan masalah karena hanya
akan menghasilkan masalah baru yang lebih kompleks.
Tujuan bunuh diri memang untuk membebaskan seseorang dari masalah
dan penderitaan yang mereka alami. Namun, tujuan yang mulia itu tidak bisa
dicapai dengan melegalkan cara yang tidak terpuji. Tujuan itu tidak menghalalkan
segala cara; cara yang jahat tidak dibenarkan atas dasar argumen bahwa sarana itu
digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang baik.132
Lalu, bagaimana dengan pengecualian yang dibuat seperti yang dilakukan
oleh para mata-mata yang melakukan bunuh diri untuk melindungi negara atau
organisasi? Hal ini dapat dibenarkan karena situasi khusus dan asalkan cara ini
sebagai satu-satunya cara yang paling mungkin untuk mencapai hasil baik dan
asalkan sarana itu membawa pada keseimbangan neto kebaikan jangka panjang
yang lebih besar dari sarana lain.133 Mereka ini dapat dikatakan sebagai pahlawan
karena bunuh diri untuk menyelamatkan banyak orang atau demi kepentingan
banyak orang untuk jangka waktu yang lama.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bunuh diri untuk
konteks masyarakat Kabupaten Sikka tidak dapat dibenarkan kalau hanya untuk
mencari pembebasan terhadap masalah hidup. Bunuh diri bukan satu-satunya opsi
yang paling mungkin yang harus dipilih untuk menyelesaikan masalah ekonomi,
132
Henry Hazlitt, Dasar-Dasar Moralitas (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), hlm 174.
133
Ibid. hlm. 175

65
perselingkuhan, atau kegagalan dalam studi. Ada banyak solusi yang dapat
diambil dan ditawarkan dalam menyelesaikan masalah dalam konteks masyarakat
Kabupaten Sikka. Sekali lagi ditegaskan bahwa bunuh diri bukan solusi terbaik
dalam menyelesaikan masalah.

4.3.2. Bunuh Diri sebagai Aksi Protes terhadap Situasi Politik


Maraknya kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Sikka menyiratkan
sebuah pertanyaan, apakah benar bahwa bunuh diri yang terjadi itu semata-mata
karena kemiskinan, kegagalan dalam hidup perkawinan, kerja dan studi? Pasti ada
sesuatu yang mau diungkapkan oleh para pelaku bunuh diri melalui aksi bunuh
diri itu.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kebanyakan pelaku bunuh diri merupakan
masyarakat akar rumput. Jika diteliti lebih seksama dan direfleksikan secara lebih
mendalam maka dapat dikatakan bahwa bunuh diri yang dilakukan oleh
masyarakat merupakan aksi protes terhadap struktur sosial politik yang ada di
Kabupaten Sikka.
Realitas sosial, ekonomi, dan politik yang tidak stabil merupakan sebab-
sebab yang melahirkan kemiskinan.134 Kemiskinan yang ada merupakan
kemiskinan struktural, kemiskinan yang terjadi akibat jeleknya struktur sosial
politik sehingga yang miskin tetaplah miskin dan yang kaya akan semakin kaya.
Kemiskinan struktural inilah yang menghantar orang melakukan aksi bunuh diri,
dan inilah yang terjadi di Kabupaten Sikka. Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah mengapa bunuh diri yang mereka pilih untuk mengungkapkan aksi protes
mereka?
Masyarakat akar rumput memilih bunuh diri sebagai jalan untuk
melakukan aksi protes karena mereka sadar bahwa mereka tidak mempunyai
suara yang cukup untuk menyampaikan keluh kesah mereka kepada pemerintah.
Masyarakat tahu bahwa suara mereka tidak akan didengar atau bahkan seolah-
olah tak didengar oleh para penguasa. Jika mereka melakukan tindakan anarkis
untuk mengungkapkan rasa ketidakpuasan, maka mereka akan berhadapan dengan
penguasa dan aparat penggerak hukum dan satu hal yang pasti adalah bahwa
134
Alex Sila, “ Antropologi Kemiskinan dan Apolitisme Para Rohaniwan”, Vox 52/10/2009, hlm.
77-79.

66
mereka akan mendekam di penjara karena dianggap pembangkang. Penjara adalah
alat yang dipakai oleh penguasa untuk membendung orang-orang kecil yang
meminta keadilan.
Dengan melakukan bunuh diri mereka bisa menyuarakan ungkapan
ketidakpuasan mereka tanpa merugikan siapa-siapa dan tanpa harus masuk
penjara. Bunuh diri adalah suara fals dari kaum-kaum tak bersuara yang meminta
keadilan. Tetapi, pemerintah Kabupaten Sikka tidak bisa membaca tanda-tanda
ini. Hal ini terjadi karena mereka tidak pernah merefleksikan semua kasus bunuh
diri yang terjadi secara filosofis (refleksi dari segala aspek). Kurangnya refleksi
secara filosofis ini membuat mereka melihat bahwa kasus bunuh diri yang terjadi
semata-mata karena depresi ataupun stres akibat kemiskinan yang masyarakat
alami. Mereka tidak pernah bertanya diri dari mana asal kemiskinan itu? Mengapa
kemiskinan terus ada dalam masyarakat?

4.3.3. Bunuh Diri sebagai Ungkapan Ketidakpuasan terhadap Struktur Ekonomi


dan Sosial
Selain karena situasi sosial politik yang tidak bagus, situasi ekonomi dan
sosial turut memengaruhi seseorang melakukan aksi bunuh diri. Kemiskinan itu
merupakan hasil dari struktur-struktur ekonomi yang tidak adil.135 Terjadinya
proses kemiskinan adalah karena dominasi dan eksploitasi dari kaum pemilik
modal yang didukung dan dilindungi pemerintah. Struktur ekonomi yang mereka
ciptakan itulah yang menyebebkan kemiskinan di Kabupaten Sikka.
Sangat jelas perbedaan tingkat hidup antara masyarakat kalangan atas dan
masyarakat kalangan bawah di Kabupaten Sikka. Masyarakat kalangan atas
didominasi oleh para pejabat pemerintah, kaum-kaum legislatif dan para
pengusaha, juga kaum-kaum religius (para imam dan biarawan). 136 Masyarakat
kalangan bawah didominasi oleh buruh, nelayan dan petani. Antara dua
masyarakat ini ada jarak yang cukup mencolok. Untuk menjaga jarak itu,
diciptakan sebuah politik yakni “politik pagar tembok”. Masyarakat selalu
memagari rumah mereka dengan pagar tembok yang besar, dilengkapi dengan
security 24 jam. lihat saja banyak sekali rumah-rumah mewah dan tempat-tempat
135
Emanuel J. Embu, Op. Cit., hlm. 31.
136
Ibid.

67
usaha yang dipagari tembok. Semakin banyak rumah pagar bertembok semakin
banyak pula masyarakat akar rumput yang disingkirkan dari tanah mereka.
Yang terjadi di flores, umumnya dan di Kabupaten Sikka khususnya saat
ini adalah kalau petani semakin rajin maka semakin kayalah para pedagang. Jika
dalam khotbah para imam menekankan pentingnya kerja keras dan keugaharian
dalam bekerja, maka siapa yang akan untung? Kaum pedagang dan pemilik
modalah yang akan untung. Bukan para petani, nelayan, ataupun buruh. Bukan
iman ataupun perbuatan mental yang pertama-tama menyebabkan orang bunuh
diri, melainkan tata ekonomi yang berlaku. Struktur ekonomi yang berlaku tidak
menguntungkan para petani, buruh atau nelayan sebagai produsen melainkan para
pedagang, para pemilik modal dan pemerintah yang melindungi dan mendukung
para pemilik modal itu. Kemiskinan seperti ini merupakan kemiskinan
struktural.137
Masyarakat kecewa karena di tengah penderitaan mereka, pemerintah dan
pemilik modal semakin memperkaya diri mereka dengan uang milik rakyat.
Segala sesuatu yang dibuat oleh pemerintah untuk rakyat tidak murni untuk rakyat
karena selalu ada keuntungan pribadi yang mereka incar di belakangnya. Paham
pembangunan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kini telah
berubah menjadi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk penguasa-penguasa dan
pemilik modal yang rakus.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Gereja pun turut membentuk kelas
sosial ini, walaupun tidak tampak secara terang-terangan. Banyak pelayan-pelayan
pastoral yang masih suka memilih-milih dalam memberi pelayanan ataupun
bergaul. Porsi pilihan mereka selalu jatuh lebih banyak bagi masyarakat kelas atas
karena akan mendapat imbalan yang cukup. Kaum miskin yang sebenarnya
menjadi pilihan utama pelayanan para pelayan pastoral justru karena mereka tidak
bisa memberi apa-apa kepada para pelayan pastoral yang melayani mereka, selain
ucapan terima kasih. Maka tidak heran jika banyak umat yang mengeluh tentang
pelayanan imam yang tidak maksimal terhadap mereka.

137
Ibid.

68
4.3.4. Bunuh Diri sebagai Ungkapan Ketidakpuasan terhadap Struktur
Kebudayaan
Pada dasarnya kebudayaan merupakan suatu hasil karya, hasil cipta akal
budi manusia. Kebudayaan meliputi semua aspek dalam kehidupan manusia yang
merefleksikan upaya-upaya manusia untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih
baik bagi hidupnya.138 Kebudayaan merupakan hasil karya manusia. Karena itu
kebudayaan telah ada bersamaan dengan peradaban manusia tempat ia diciptakan.
Dunia saat ini tengah berubah dari modern menuju postmodern.
Masyarakat postmodern menyebut dunia ini sebagai global village. Dunia yang
maha-luas ini terasa seperti sebuah kampung. Teriakan yang diserukan pada ujung
kampung yang satu akan terdengar pada ujung yang lain.139 Hal ini melambangkan
kemajuan dunia yang sangat siginifikan dalam segala rana kehidupan. Dunia saat
ini mulai meninggalkan budaya lama yang tradisional menuju suatu dunia digital.
Dunia modern dan postmodern ditandai dengan ciri-ciri yang khas seperti
peradaban yang sudah maju dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi,
agama maupun kebudayaan. Masyarakat modern dan postmodern lebih memilih
untuk menghidupi budaya produktif yang bisa menghasilkan banyak keuntungan
ketimbang budaya konsumtif. Segala sesuatu dilakukan dengan kalkulasi untung
rugi. Hal ini sangat kontradiktif dengan kebudayaan yang dihidupi oleh
masyarakat Flores umumnya dan masyarakat Kabupaten Sikka khususnya.
Masyarakat Flores, khususnya masyarakat Kabupaten Sikka, berada dalam masa
transisi budaya antara tradisional menuju modern. Situasi ini memunculkan
banyak nilai baru yang diserap masuk ke dalam kebudayaan setempat, sehingga
membingungkan masyarakat. Masyarakat tidak punya pegangan nilai yang cukup
untuk menghadapi situasi ini sehingga kadang mereka berjalan tanpa orientasi
yang jelas.
Masyarakat Kabupaten Sikka akhirnya memilih untuk menghidupi
budaya-budaya lama yang tidak sehat seperti pesta pora, judi, belis yang tinggi,
mengonsumsi miras yang berlebihan dan sebagainya. Tak dapat dipungkiri bahwa
138
Gabriel Ediman, “Iman Budaya dan Ekologi Merefleksikan kembali Praktek Iman Kristen
dalam Hubungan dengan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Manggarai”, dalam Musafir, Iman,
Budaya dan Ekologi Vol.01XXXIX. hlm. 7.
139
Krispianus Budiman, “Pesona Budaya Lokal dalam Pusaran Arus Postmodernitas”, Ibid., hlm
45. Mengutip Paul Budi Kleden, “Memahami Postmodernisme” (ms.) (Maumere : STFK Ledalero,
2011), hlm. 8.

69
budaya di Kabupaten Sikka yang paling dominan adalah budaya konsumtif.
Budaya konsumtif lebih tinggi daripada budaya produktif.140 Banyak hal yang
dilakukan dengan mengeluarkan banyak biaya.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kabupaten Sikka
khususnya dan masyarakat Flores umumnya sangat boros. Hal ini dapat dilihat
dari kehidupan setiap hari, pesta di mana-mana dengan berbagai tema yang
dipaksakan, dengan argumentasi sekali dalam setahun. Dapat dibayangkan, uang
yang dikumpulkan selama bertahun-tahun dapat lenyap dalam satu malam.
Budaya “harga diri” menuntut orang akhirnya berani untuk berhutang.
Masyarakat belum bisa membuat skala prioritas mana kebutuhan yang penting
dan mendesak untuk saat ini dan mana keinginan yang pemenuhannya bukanlah
sebuah hal yang mutlak. Masyarakat ternyata lebih memilih keinginannya yang
harus dipenuhi terlebih dahulu daripada kebutuhan. Tak heran jika banyak orang
yang bunuh diri karena tidak sanggup membayar utang yang menumpuk.
Masyarakat kehilangan pegangan akan nilai-nilai hidup dan orientasi hidup dalam
kebudayaan.

4.4. BUNUH DIRI DALAM TERANG ENSIKLIK EVANGELIUM


VITAE YOHANES PAULUS II

Perlu diketahui bahwa ensiklik Evangelium Vitae Yohanes Paulus II


sebetulnya didasarkan pada pandangan teologis akan misteri inkarnasi Yesus. 141
Yohanes Paulus II menegaskan kembali mengenai keluhuran martabat dan nilai
hidup manusia yang mesti dilindungi. Iman akan misteri inkarnasi Yesus mesti
diwartakan kepada semua manusia. Oleh karena itu, penulis berusaha menilai
tindakan bunuh diri dengan berkaca pada ensiklik Evangelium Vitae Yohanes
Paulus II.

4.4.1. Bunuh Diri sebagai Bentuk Pelecehan terhadap Nilai Hidup Manusia
4.4.1.1. Manusia sebagai Pribadi yang Utuh

140
Ibid.
141
EV. no. 2

70
Pribadi manusia adalah pribadi yang aktual dan historis. Dalam artian
bahwa pribadi manusia tersebut merupakan pribadi yang hidup dan bertumbuh
dalam misteri penyelamatan yang hidup dalam relasi dengan Kristus. Dalam
konteks iman, manusia sebagai pribadi diciptakan oleh Allah menurut gambar dan
rupa-Nya sendiri. Gambar dan rupa Allah tersebut hanya dapat terpenuhi jika
pribadi manusia yang utuh itu turut ambil bagian dalam hidup pribadi Yesus
Kristus.142

Dalam ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus juga menekankan


aspek keutuhan pribadi manusia. Yohanes Paulus menekankan kembali ajaran
Gereja Katolik bahwa manusia sejak pertama keberadaannya (buah hasil
prokreasi) harus dilindungi dan dijaga tanpa syarat. Mengapa sejak pertama
keberadaan manusia itu harus dijaga? Dari sudut moral, sejak saat pertama
pembuahan, manusia telah dinyatakan secara holistik sebagai tubuh dan roh.
Tubuh dan roh ini telah dianggap dan diperlakukan sebagai seorang pribadi. Hak-
hak seorang pribadi yang terbentuk sejak saat pembuahan itu harus diakui dan
dilindungi. Salah satu yang paling penting adalah hak hidup setiap pribadi. Hal ini
patut menjadi sebuah penghargaan dari dalam diri setiap individu untuk
diperjuangkan sebab hidup dan kehidupan manusia di bumi ini tidak dapat
diganggu gugat.143

Namun, dalam pengaktualisasiannya, manusia sebagai pribadi yang utuh


tidak menghormati dan menghargai hidupnya. Banyak tindakan manusia yang
secara langsung menyerang pribadi manusia secara utuh. Orientasi tindakan
manusia ini terlalu mendewakan akal budi yang kemudian berujung pada
pengabaian nilai kehidupan manusia.

4.4.1.2. Manusia sebagai Pembawa Kabar Sukacita Kehidupan

Manusia sebagai pribadi yang utuh (tubuh dan roh) dari hari ke hari akan
bertumbuh dewasa. Ketika pribadi utuh itu bertumbuh dewasa, maka pribadi itu
dipanggil dengan penuh kerendahan hati untuk berani mengungkapkan imannya

142
Telesphorus Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II: Gereja dan Kehidupan (Jakarta: Obor,
2007), hlm. 129.
143
EV no. 60.

71
kepada Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Sabda Kehidupan itu sendiri. Injil
kehidupan bukan melulu sebagai sebuah refleksi atau hidup manusiawi atas berkat
janji khayalan. Akan tetapi, injil kehidupan merupakan sesuatu yang konkret dan
bersifat pribadi. Pewartaan pribadi itu adalah tampak dalam diri Yesus
sendiri.Yesus memperkenalkan diri kepada Rasul Tomas dengan kata-kata
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang
kepada Bapa kalau tidak melalui Aku (Yoh. 14:6).” Perkenalan Yesus itu juga
ditujukan kepada Marta, saudari Lazarus, “Akulah kebangkitan dan hidup;
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap
orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.
Percayakah engkau akan hal ini? (Yoh. 11:25-26)” Identitas Yesus yang
diperkenalkan kepada Rasul Tomas dan Marta saudari Lazarus tersebut
menunjukan bahwa Yesus itu Putera Allah. Sejak kekal, Yesus menerima hidup
dari Allah dan mewartakan karunia hidup itu di tengah dunia: “… Aku datang,
supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan
(Yoh. 10:10).”144

Dalam diri Yesus, Sabda Kehidupan diwartakan dan dianugerahkan.


Berkat pewartaan ini manusia memperoleh nilai dan makna hidup dari Allah.
Secara de facto, hidup kekal dari Allah merupakan tujuan hidup manusia di dunia
ini.145 Dengan begitu, manusia mesti membawa kabar sukacita kehidupan bagi
sesama agar kelak mendapat arah dan tujuan yang sama, yaitu hidup kekal. Aksi-
aksi yang dapat membahayakan kehidupan manusia hendaknya dihindari karena
hal itu dapat mengganggu dan bahkan mengingkari martabat luhur dari kehidupan
manusia itu sendiri. Aksi bunuh diri merupakan salah satu dari sekian banyak aksi
manusia yang dapat mengingkari martabat luhur dalam diri manusia. Untuk itu,
kehadiran ensiklik Evangelium Vitae diharapkan dapat menyadarkan manusia
akan nilai luhur dari hidup manusia itu sendiri, sehingga manusia dapat dengan
tanggung jawab menggunakan hidupnya untuk benar-benar mewartakan kabar
sukacita di tengah dunia.

144
EV. no. 29.
145
Ibid.

72
4.4.1.3. Manusia sebagai Bentuk Pancaran Diri Allah

Semua manusia yang ada di dunia ini adalah bentuk pancaran diri Allah.
Manusia diciptakan untuk dapat mewartakan kabar sukacita Allah di tengah dunia.
Manusia adalah makhluk yang paling luhur dari segala ciptaan yang ada di bumi
ini.146 Manusia sebetulnya merupakan pusat dari segala sesuatu yang diciptakan
Allah.

Pertanyaan lanjutannya adalah siapakah pribadi manusia sehingga ia boleh


dikatakan sebagai pusat dan pembawa Kabar Sukacita Kehidupan di dunia ini?
Teks Kitab Suci melukiskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah (citra Allah). Oleh karena citra Allah, manusia mampu mengenal dan
mengasihi pencipta-Nya. Dalam Allah, manusia ditetapkan sebagai tuan atas
segala makhluk hidup lainnya di dunia ini. Manusia mengenal dunia ini dan
menggunakannya secara bertanggung jawab sambil meluhurkan Allah.147

Meskipun semua ciptaan Allah diciptakan dari debu tanah yang sama,
tetapi manusia diciptakan secara unik, yaitu seturut gambar dan rupa-Nya. Dengan
demikian, manusia menampilkan Allah di tengah dunia. Manusia menandakan
kehadiran dan mencerminkan pancaran kemuliaan Allah itu sendiri. Dengan
perkataan lain, Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menekankan kembali
apa yang diuraikan oleh Santo Ireneus dari Lyon bahwa: “Manusia dikaruniai
martabat yang amat luhur, berdasarkan ikatan erat sekali yang menyatukannya
dengan penciptanya: pada manusia terpancarkan pantulan Allah sendiri.148

Dengan begitu, segala sesuatu di dunia ini selalu tertuju kepada manusia
sebagai pancaran diri Allah itu sendiri. Jika terjadi pelecehan terhadap pribadi
manusia, maka orang tersebut tidak sama sekali mencerminkan pancaran diri
Allah. Yang terpancar dari dalam diri seseorang itu adalah justru pelecehan
terhadap hidup dan pengingkaran akan nilai luhur dari hidup manusia itu sendiri.
Tindakan bunuh diri merupakan suatu kejahatan yang melecehkan nilai kehidupan

146
Dokumen Konsili Vatikan II , Gaudium Et Spes no. 2.
147
EV. no. 4.
148
Ibid.

73
manusia itu sendiri serta pengingkaran terhadap emanasi Allah. Selain itu juga,
tindakan itu sendiri dapat mencederai martabat manusia sebagai citra Allah.

4.4.2. Bunuh Diri sebagai Tindakan Kejahatan yang Melawan Hidup Manusia
4.4.2.1. Hidup Manusia Senantiasa Adalah Nilai

Kekurangan atau kehilangan makna hidup manusia seringkali


menimbulkan ancaman. Seperti yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama bahwa
umat Israel ditakdirkan akan punah secara habis-habisan oleh kesewenangan
Firaun. Firaun dengan kuasanya menindas umat Israel. Namun, dalam kondisi
demikian, Allah hadir mewahyukan diri kepada umat Israel sebagai Penyelamat.
Umat Israel kemudian diselamatkan oleh Allah dan tidak lagi hidup oleh
kekuasaan Firaun. Dengan demikian, hidup umat Israel merupakan sasaran cinta
kasih Allah yang lembut dan intensif. Pengalaman ancaman terhadap martabat dan
nilai hidup umat Israel dari perbudakan Mesir ini merupakan contoh pengalaman
mendasar dan pola bagi masa depan. Pengalaman ini sebetulnya merupakan
sebuah tuntutan bagi umat Israel untuk memperbaharui kepercayaan yang teguh
akan Allah. Allah tidak akan pernah melupakan umat pilihan-Nya apa pun
kondisinya.149

Hidup manusia di dunia ini tidak luput dari apa yang disebut penderitaan..
Ancaman hidup manusia di dunia ini merupakan bagian dari pengujian iman
manusia di hadapan Allah. Seperti pengalaman pergumulan Ayub dalam
menghadapi penderitaan. Mengapa Ayub yang dikatakan sebagai orang yang
kudus di hadapan-Nya justru mengalami penderitaan? Akan tetapi, yang
ditekankan di sana adalah pengakuan iman Ayub kepada Allah. Ayub percaya
bahwa apapun yang terjadi pada dirinya adalah ujian iman agar lebih intim di
hadapan Allah.150

Kisah umat Israel dan pergumulan Ayub ini juga menyentuh persoalan
tentang bunuh diri. Orang yang mengalami penderitaan dalam bentuk apa pun
yang kemudian melakukan aksi bunuh diri tentu tidak mengandalkan atau
mengidolakan Allah sebagai penyelamat.Allah sebagai penyelamat diberikan
149
EV no. 31.
150
Ibid.

74
kepada manusia dalam pribadi Yesus Kristus dalam arti tertentu telah membuka
penderitaan-Nya yang menyelamatkan bagi semua orang yang menderita. Orang
yang menderita biasa diselamatkan jika ia ikut ambil bagian dalam kesengsaraan
Kristus.151 Mereka yang turut berpartisipasi dalam penderitaan Kristus akan
memperoleh misteri Paskah dari Salib. Kelemahan dari semua penderitaan
manusia dapat dibangkitkan oleh Allah, yang tampak dalam salib Kristus. Dengan
demikian, menderita berarti terbuka pada karya kekuatan Allah yang
menyelamatkan dalam pribadi Yesus Kristus.152

Problem bunuh diri terjadi karena orang tidak mengimani apa yang
dideritanya sebagtai cobaan atau ujian iman dari Allah. Iman mereka (yang
melakukan aksi bunuh diri) kepada Allah dalam diri Yesus Kristus justru sangat
dangkal. Kedangkalan iman mereka ini ditandai oleh sikap menyerah dalam
penderitaan. Sikap menyerah ini berujung pada tindakan bunuh diri. Tipikal
individu seperti ini menunjukkan pribadi yang tidak memaknai sedikit pun atas
hidup sebagai anugerah Allah. Nilai hidup ini diisi dengan kepuasan-kepuasan
hedonistis dan materialistis (duniawi).

4.4.2.2. Hidup Manusia sebagai Sesuatu yang Baik

Setiap manusia bertugas menghormati hidup yang merupakan sesuatu


yang bernilai itu. Hidup itu sebuah nilai yang patut dijunjang tinggi oleh setiap
orang, baik untuk kehidupanya sendiri maupun untuk kehidupan orang lain.

Nilai hidup manusia itu merupakan sesuatu yang baik. Namun, yang baik
ini tentunya sangat berharga dan karenanya harus dijunjung tinggi. Hal ini
dipahami sebagai sesuatu yang naluriah dari kenyataan pengalaman hidup
manusia yang ada.153 Hidup ini secara intrinsik baik adanya. Tidak ada hidup di

151
Op.Cit.
152
Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, penerj. J. Hadiwikarta, dalam Seri Dokumen Gereja No.
29 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hlm. 44.
153
EV. no. 31

75
dunia ini yang buruk. Hal ini mesti dipegang oleh setiap manusia sebagai prinsip
dasar atas hidup.

Dengan demikian, manusia dituntut untuk menghormati hidup itu sendiri.


Manusia mesti menghormati hidup yang dikaruniakan oleh Allah. Tindakan-
tindakan manusia yang jahat justru dapat menodai nilai hidup itu sendiri. Nilai
hidup ini menjadi tidak bermakna lagi. Hal konkrit yang membuat hidup ini tidak
baik adalah aksi bunuh diri itu sendiri. Tindakan ini (bunuh diri) menghilangkan
nilai hidup. Aksi bunuh diri menjadi hal yang bisa dilakukan kapan saja, bahkan
dengan alasan yang paling sederhana sekalipun. Di sini, nilai hidup yang dari
dalamnya adalah sesuatu yanga baik, dicoreng dengan aksi bunuh diri. Bunuh diri
menodai martabat hidup manusia sebagai sesuatu yang baik.

4.4.2.3. Hidup itu Sakral dan Tidak Dapat Diganggu Gugat

Kehidupan manusia yang baik dan bernilai di dunia ini merupakan rahmat
cuma-cuma yang diberikan oleh Allah. Rahmat cuma-cuma itu tidak dapat
diganggu gugat oleh kuasa manusia manapun. Hal ini ditegaskan sekali lagi oleh
Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae-nya:

Hidup manusia itu keramat, karena sejak awal mula melibatkan


‘tindakan kreatif Allah. Dan untuk selamanya tetap berhubungan khas
dengan Sang Pencipta, satu-satunya tujuannya. Hanya Allah sendirilah
Tuhan kehidupan sejak awal hingga akhirnya. Bagaimana pun juga
tidak seorang pun dapat menuntut bagi dirinya hak untuk secara
langsung menghancurkan manusia yang tanpa dosa.154

Kutipan dari ensiklik Evangelium Vitae Yohanes Paulus II di atas secara


gamblang mau memperlihatkan kekudusan dari hidup manusia yang tidak boleh
dimusnahkan dengan alasan apa pun. Kesakralan hidup ini tidak boleh dinodai
oleh tindakan-tindakan yang bermuara pada penghancuran martabat kehidupan
manusia melalui aksi bunuh diri. Hal ini perlu ditentang karena aksi bunuh diri
merupakan salah satu tindakan pelecehan terhadap kekudusan hidup. Hidup itu
sendiri berasal dari Allah sumber segala kekudusan. Dengan demikian, manusia
mesti menghormati kesakralan hidup yang diperoleh secara cuma-cuma dari
154
Ibid.

76
Allah. Hidup manusia tidak boleh diganggu gugat. Jika hal ini tidak terjadi
demikian, maka hal tersebut dapat dipahami sebagai suatu tindakan yang secara
terang-terangan merusak atau menyerang Allah Sang Pencipta-Nya.

4.4.2.4. Hidup dan Mati Ada di Tangan Tuhan

Kesucian hidup manusia yang tidak boleh diganggu-gugat itu adalah


berasal dari Allah. Allah adalah satu-satunya Tuhan atas hidup itu sendiri. Hal ini
ditegaskan oleh Allah sendiri kepada Nabi Nuh sesudah Air Bah. “Tetapi,
mengalir darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari
segala bintang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia (Kej. 9:5).” Kutiban ayat Kitab Kejadian ini
menekankan berharganya hidup manusia. Hal ini didasarkan pada Allah dan
karya penciptaan-Nya. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan
tertumpah oleh manusia sebab Allah menciptakan manusia itu menurut gambar
dan rupa-Nya sendiri (Kej. 9:6).155 Begitu pun sebaliknya, kematian yang
dilakukan atas dasar kemauan dari dalam diri sendiri dan mengakhiri hidupnya
dengan tau dan mau tanpa adanya perasaan bersalah sedikit pun, ia telah
melecehkan gambaran dan citra Allah yang telah menciptakannya.

Kematian merupakan suatu kenyataan mutlak yang tidak bisa diingkari


manusia yang hidup di dunia ini. Manusia boleh memiliki berbagai tujuan yang
berbeda-beda selama ia masih hidup di dunia ini. Akan tetapi, manusia suatu saat
akan mengalami satu hal yang sama, yakni kematian. Kenyataan ini tidak bisa
dielakkan dan hanya akan dihadapi oleh manusia. Kematian terjadi karena ia
pernah hidup di dunia ini. Dengan demikian, hidup dan mati merupakan dua
kenyataan yang saling berkaitan erat satu sama lain.

Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang dapat mengingkari Allah
sebagai sang pencipta yang menuntut nilai keluhuran hidup manusia. Aksi bunuh
diri hanya akan menyebabkan kaburnya nilai-nilai hidup manusia. Setiap manusia
hendaknya mampu memahami kehidupannya sebagai anugerah yang diberikan

155
Ibid.

77
oleh Allah secara cuma-cuma sehingga ia tidak dengan tau dan mau mengakhiri
hidupnya.

Hidup bagi Tuhan berarti mengakui bahwa penderitaan dan pencobaan apa
pun yang dialaminya sebagai sumber kebaikan. Mati bagi Tuhan juga berarti
mengalami kematian secara wajar sebagai tindakan ketaatan tertinggi kepada
Bapa, bukan kematian yang diciptakan oleh manusia (bunuh diri). Kematian yang
disebabkan oleh aksi bunuh diri merupakan kematian tidak wajar. Kematian
seperti ini adalah kematian yang tidak dikehendaki oleh Allah. Mengalami
kematian yang dimaksud oleh Allah artinya siap dan taat menghadapi maut pada
saat yang dikehendaki dan dipilih oleh-Nya.156

4.4.3. Bunuh Diri Sebagai Bentuk Pelanggaran Berat Hukum dan Perintah Allah
4.4.3.1. Hukum Allah “Jangan Membunuh”

Tindakan yang bersifat pembunuhan mencakupi: pembunuhan secara


senagaja, pengguguran janin, bunuh diri, hukuman mati, penghentian kehidupan
karena belaskasihan atas penderita sakit berat atau yang sudah teramat tua dan
sebagainya. Fenomen-fenomen tersebut sebetulnya melanggar hukum Allah.
Hukum Allah yang dimaksud adalah “jangan membunuh”.157 Hukum ini sangat
tegas dan bersifat situasional.

Hukum Allah “jangan membunuh” mau menyatakan bahwa pilihan


tindakan-tindakan tertentu yang mau mengakhiri hidup seseorang atau hidupnya
sendiri dari segi moril tidak dapat diterima atau dibenarkan. 158 Hal itu berarti
tindakan membunuh itu sendiri secara ekstrem berlawanan dengan cinta kasih
Allah. Salah satu pembunuhan yang berlawanan dengan cinta kasih Allah adalah
bunuh diri. Bunuh diri merupakan pelanggaran berat hukum Allah, meskipun
dengan alasan dan pertimbangan apa pun. Allah sebagai suber cinta kasih dilawan
oleh manusia dengan mempraktikkan tindakan bunuh diri.

Perintah moril yang diformulasikan secara negatif sebetulnya mempunyai


fungsi positif yang sangat berfaedah. Perintah moril itu berupa sebuah larangan
156
EV. no. 67.
157
Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 40-41.
158
EV. no. 75.

78
“jangan”. Term “jangan” mrupakan bentuk larangan yang tidak boleh dilakukan
dengan tujuan dan alasan apa pun.159 Manusia dituntut agar tidak melakukan
tindakan yang menimbulkan kematian sebagai konsekuensi logis daei tindakan
itu, seperti tindakan bunuh diri.

Oleh karena itu, pelayanan cinta kasih wajib menjamin kehidupan manusia
dalam situasi apa pun. Hidup manusia harus dibela dan didukung
pengembangannya terutama bagi mereka yang lemah dan terancam bahaya. Hal
ini ditekankan agar pelayanan cinta kasih betul-betul menyelamatkan mereka dan
bukan melenyapkan dengan melakukan tindakan bunuh diri.

4.4.3.2. Perintah Allah “Cinta Kasih dan Berbelaskasihan Sejati”

Hukum Allah “jangan membunuh” bisa diatasi jika ada cinta kasih dan
belaskasiahan sejati. Ada tiga hukum yang mempunyai peranan penting dalam
tatanan kehidupan iman Gereja Katolik. Ketiga hukum tersebut adalah iman,
harapan, dan cinta kasih. Hukum terbesar dari ketiga perintah tersebut adalah
cinta cinta kasih. Cinta kasih merupakan dasar dari seluruh ajaran Gereja Katolik.
Doktrin cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan induk dari semua hukum
lainnya. Itu bukan berarti kedua hukum lainnya tidak penting. Kedua hukum lain
juga mempunyai peranan yang penting dan sama sekali tidak dikesampingkan
atau diabaikan.

Berkaitan dengan tindakan bunuh diri, cinta kasih adalah landasan utama
untuk menyikapinya. Di mana orang mesti menghadapi apa pun kondisi dirinya
atau sesamanya yang menderita dengan kasih. Cinta kasih yang setia dapat
diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya melalui belas kasih, kesetiaan dan
kebaikan. Cinta kasih yang dimaksud di sini lebih diarahkan kepada belaskasihan
terhadap hidup sendiri.160

Menanamkan sikap kepekaan etis dan belaskasihan sejati terhadap sesama


yang menderita mesti dibuktikan dengan tindakan yang nyata. Belas kasih yang
sejati bukan saja tampak pada kata-kata kasih yang bombastik. Kasih harus
159
Ibid.
160
Richard M. Gula, Etuika Pastoral: Dilengkapi Dengan Kode Etik, penerj. Wiliam Chang.
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 80-81.

79
tampak pada tindakan konkret. Rasa iba atau kasihan terhadap hidup sendiri pun
mesti di junjung tinggi oleh setiap orang. Belaskasihan sebagaimana yang
tertuang dalam Evangelium Vitae Yohanes Paulus II adalah “belaskasihan yang
sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belaskasihan itu,
bukan hanya tidak membunuh orang saja tetapi juga tidak membunuh diri sendiri
dengan alasan apa pun.161

4.5. CATATAN KRITIS

Hidup manusia memiliki nilai yang luhur. Keluhuran hidup manusia ini
akan kehilangan nilainya apabila tidak ada kesadaranan dalam diri manusia untuk
dapat mempertahankan hidupnya dan menjaganya. Manusia diciptakan oleh Allah
menurut gambar dan Rupa-Nya. Untuk itu, manusia merupakan bentuk pencitraan
Diri Allah itu sendiri. Siapa pun yang dengan tahu dan mau melecehkan hidupnya,
ia mengingkari keberadaan Allah sebagai penciptanya.

Penyebab dan motif bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Sikka


mencerminkan kaburnya nilai kehidupan yang luhur dari diri manusia. Semakin
modernnya kehidupan manusia, seharusnya pemikiran akal budi manusia semakin
cerah dan dapat berpikir lebih dewasa dalam mengambil suatu keputusan ataupun
tindakan akan hidupnya. Namun, yang diharapkan melenceng jauh dari kenyataan
yang sedang terjadi dalam kehidupan manusia masa kini. Kebanyakan bunuh diri
yang terjadi di Kabupaten Sikka ini adalah bunuh diri yang disebabkan oleh
masalah keluarga yang tidak dapat diselesaikan oleh pribadi yang bersangkutan.

Kehadiran ensiklik Evangelium Vitae Yohanes Paulus II diharapkan dapat


kembali memberikan pencerahan kepada manusia akan nilai luhur dari kehidupan
itu sendiri. Selain itu juga, ensiklik ini diharapkan dapat membuka ruang bagi
setiap manusia yang memiliki masalah dalam hidup kekeluargaannya dapat secara
dewasa menghadapinya agar tidak mengambil keputusan yang dapat merugikan
dirinya dan orang lain. Para pelayan pastoral juga dituntut untuk sedapat mungkin
memberikan pencerahan kepada umat tentang keluhuran hidup manusia yang
mesti dijaga bukan sebaliknya dilecehkan. Dengan demikian, hidup manusia akan

161
Op.Cit.

80
menemukan keluhurannya apabila manusia mampu sedapat mungkin mengimani
hidup dan matinya ada di tangan Tuhan dan tidak boleh dilecehkan oleh berbagai
alasan apa pun.

Meskipun ensiklik ini telah dikeluarkan dan banyak memberi pemahaman


dalam memperjuangkan nilai hidup dan martabat manusia, namun masih ada juga
kemungkinan-kemungkinan lain di mana orang masih melakukan tindakan bunuh
diri secara diam-diam ataupun secara terbuka. Dengan demikian, setiap orang
bertugas untuk menyerukan nilai hidup manusia yang terdapat di dalam ensiklik
Evangelium Vitae ini.

Pertama, ensiklik Evangelium Vitae dari Paus Yohanes Paulus II ini tidak
hanya diperuntukkan secara khusus kepada kalangan tertentu, tetapi berlaku
secara umum. Iti berarti ajaran yang tertuang dalam ensiklik Evangelium Vitae
berlaku bagi semua orang. Meskipun berlaku secara universal (bagi semua orang),
gagasan yang tertuang dalam ensiklik ini bertolak dari ajaran Katolik. Isinya
nampak jelas dari Kitab Suci (Alkitab), Magisterium Gereja, dan ajaran moral
sosial Katolik lainnya. Hal ini justru mendapat kritikan. Di mana, ajaran yang
berbau keKatolikan ini kadang bertentangan dengan aspek universal (orang yang
beragama lain atau mereka yang tidak beragama). Hal ini kadang menyulitkan
pihak lain yang tidak beriman (ateis) atau beriman non-Katolik tidak percaya atau
mengabaikan begitu saja gagasan yang ditawarkan Paus Yohanes Paulus II dalam
ensiklik Evangelium Vitae. Hal pokok yang menjadi pendasarannya adalah paham
iman yang berbeda.

Kedua, bagaimana dengan orang-orang beriman Katolik yang amat miskin


atau melarat, yang tidak mampu membiayai hidup? Bisa jadi, mereka melakukan
tindakan bunuh diri oleh karena keterbatasan ekonomi yang mereka miliki. Dari
data yang dilampirkan dalam Bab ini, masyarakat Kabupaten Sikka yang
melakukan aksi bunuh diri adalah masyarakat akar rumput yang mempunyai
keterbatasan ekonomi. Dengan demikian, ensiklik ini sebetulnya bersifat vokatif
yang harus diperjuangkan secara terus menerus.

81
Ketiga, jika ditelisik lebih kritis pada poin sebelumnya (poin Kedua)
sebetulnya ada titik lemah yang dapat kita temukan di sana. Bahwa pembahasan
ensiklik Evangelium Vitae tersebut tidak melihat keadaan realitas manusia secara
langsung atau pertimbangan lain yang tidak bisa dipecahkan oleh manusia atau
apa pun juga. Maksudnya adalah bahwa bagaimana pandangan Yohanes Paulus II
dalam ensiklik Evangelium Vitae berhadapan dengan orang atau individu yang
sama sekali melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan untuk dapat keluar dari
masalah hidup?

Meskipun demikian, kiranya apresiasi dan beberapa catatan kritis di atas


memampukan manusia untuk melakukan yang terbaik dan menghindari kejahatan
terhadap nilai hidupnya sendiri. Kritikan ini bukan sebagai penolakan terhadap
gagasan Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae. Akan tetapi, catatan
kritis tersebut sebetulnya sebagai bentuk pendalaman yang konstruktif untuk
diperjuangkan secara bersama-sama oleh manusia meskipun ada titik lemahnya.
Lebih dari itu, catatan kritis ini berguna sebagai motivasi agar manusia bisa
menentang tindakan bunuh diri. Dengan demikian, apa yang dikritisi kiranya
mengubah paradigma manusia dalam menghadapi persoalan hidup dewasa ini.

BAB V

PENUTUP

82
5.1. KESIMPULAN

Bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara tahu
dan mau untuk menghilangkan nyawanya sendiri atau usaha untuk mematikan diri
sendiri. Tindakan bunuh diri ini sering terjadi karena orang merasa tertekan
dengan situasi lingkungan sekitar, dikucilkan dari masyarakat, atau tidak mampu
menghadapi persoalan-persoalan dalam hidupnya. Secara umum faktor penyebab
seorang bisa bunuh diri adalah faktor internal dan faktor eksternal. Fator internal
meliputi rasa putus asa dan ketakberdayaan dalam menghadapi masalah. Hal ini
mendorong orang mengambil jalan pintas untuk bunuh diri. Keadaan ini muncul
dari orang-orang yang memiliki pribadi yang tertutup dan tidak menemukan ruang
untuk mengutarakan pergolakan batinnya. Selain itu, rasa malu karena telah
melakukan kesalahan terhadap orang banyak dan mengalami keterbatasan mental
cenderung membuat seseorang merasa depresi dan bunuh diri menjadi langkahnya
untuk menyelesaikan masalah. Faktor eksternal muncul ketika seorang mengalami
tekanan dari pihak luar, penolakan dari kelompok masyarakat tertentu dan
kecanduan alkohol.

Fenomena bunuh diri sudah banyak terjadi di wilayah Kabupaten Sikka


dan tentunya menjadi sebuah keprihatinan yang harus ditanggapi dengan serius.
Sebagian besar masyarakat yang melakukan aksi bunuh diri karena masalah
keluarga. Banyak keluarga yang mengalami tekanan ekonomii dalam rumah
tangganya atau tuntutan adat istiadat dan lingkungan tempat tinggalnya. Mereka
merasa terisolasi dan tidak menemukan ruang untuk mengutarakan pergolakan
batinnya. Hal ini tentunya menjadi refleksi yang mendalam untuk masyarakat
luas, bahwa kehidupan yang berakhir dengan bunuh diri bukanlah opsi yang tepat
dalam menyelesaikan masalah. Orang justru terjebak dalam hidup itu sendiri
bahwa tidak semua orang mampu menerima dan menemukan nilai hidupnya. Ada
empat tipe bunuh diri yakni tipe egoistik, tipe altruistik, tipe anomik, tipe
fatalistik. Tipe yang kerap dijadikan motif terjadinya kasus bunuh diri di
Kabupaten Sikka adalah tipe egoistik dan tipe anomik.

Kasus bunuh diri di kabupaten Sikka bukan lagi hal baru jika dilihat dari
jumlah kasus tiga tahun terkahir sejak tahun 2019 sampai tahun 2021. Tekanan

83
ekonomi dalam keluarga kerap kali menjadi sebuah aksi protes terhadap kinerja
struktur sosial politik yang tidak merata di Kabupaten Sikka. Pertanyaan yang
akan muncul adalah “mengapa kasus bunuh diri masih ada di Kabupaten Sikka?”.
Mungkinkah ruang aspirasi masyarakat masih dibatasi atau masyaralat yang tidak
mampu menjangkau? Kasus-kasus seperti ini tentu menjadi poin penting yang
seharusnya mampu menyalakan kesadaran masyarakat umum dan pemerintahan
agar merawat keadilan dan solidaritas yang tinggi dalam kehidupan sosial di suatu
wilayah. Bunuh diri juga merupakan aksi protes terhadap lingkungan masyarakat
yang terlalu mengekang serta pola hidup yang tidk etis seperti perjudian, mabuk-
mabukan, kekerasan, atau perilaku yang hanya bersifat konsumtif.

Gereja mempunyai pandangan tentang bunuh diri ditinjau dari ajaran Kitab
Suci, moral dan hukum Gereja. Kitab suci melihat hidup sebagai sebuah anugerah
yang diberikan Allah. Setiap manusia wajib menghargai dan mensyukuri
pemberian Allah. Hanya Allah sendiri yang berhak memberikan dan mengambil
kembali anugerah tersebut. Moral melihat fenomena bunuh diri sebagai tindakan
yang tidak mencintai diri sendiri dan tidak mengindahkan hak atas dirinya sendiri.
Hukum Kanon Gereja justru melihat fenomena bunuh diri sebagai dosa, maka
Gererja tidak mengizinkan orang yang meninggal karena bunuh diri dikuburkan
secara Gerejani. Gereja mempunyai alasan yang jelas tentang bunuh diri
merupakan tindakan mengakhiri nyawa sendiri secara tahu dan mau, sehingga
tidak dapat dibenarkan secara moral. Hukum Kanon Gereja tidak berbicara secara
khusus tentang bunuh diri itu sendiri, tetapi Gereja mengafirmasi penguburan
jenazah orang yang bunuh diri tidak dapat dilayani oleh Gereja. Secara implisit,
Gereja tidak membenarkan orang-orang yang memilih mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri.

Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae


mengaksentuasikan ajarannya pada nilai hidup manusia yang senatiasa harus
dijaga, dijunjung, dan dihormati. Ada dua budaya yang dianut oleh manusia,
yakni budaya hidup dan budaya maut. Cerminan budaya hidup adalah orang-
orang yang progresif menjalani hidup dan tetap menjujung tinggi nilai dan makna
hidupnya. Sedangkan, budaya maut adalah orang-otang yang memiliki tendensi

84
merusak dan tidak menghormati nilai hidup itu sendiri. Maka orang-orang yang
bunuh diri menganut budaya maut, di mana individu tersebut melihat realita gelap
dalam hidupnya sehingga ia tidak pernah menemukan nilai dari hidup itu sendiri.
Manusia sangat mudah menjatuhkan nilai hidupnya sendiri, cenderung melanggar
dan tidak mampu menjunjung nilai hidupnya sendiri. Pandangan dan mindset
manusia yang keliru tentang kebebasan dan kehilangan kesadaran akan Allah dan
sesama senantiasa menghegemoni tindak laku manusia untuk melanggar tatanan
dan nilai hidupnya. Ensiklik ini secara konsentris mau menyadarkan manusia akan
pentingnya aura positif dan agresif dalam mengolah dan menjalani hidup.
Manusia harus mampu mengolah hidupnya dari berbagai probabilitas negatif
seperti masalah-masalah dalam hidup yang menuntut manusia untuk menemukan
solusi yang tepat.

Bunuh diri menjadi potret buram kehidupan manusia yang belum


menyadari substansi dari hidup yang dijalani. Dasar hidup itu sendiri menjadi
sebuah tanda tanya besar dan manusia hidup dalam tanda tanya itu. Maka
Evangelium Vitae hadir untuk menegaskan bahwa esensi dari hidup adalah Allah.
Eksitensi Allah sebagai dasar hidup manusia dari kaca mata iman kristiani
senantiasa dialami dalam kehidupan sehari-hari. Pewartaan injil dan tanggug
jawab manusia terhadap hidupnya serta usaha transformasi budaya menjadi
konsekuensi terhasap entitas Allah sebagai esensi hidup manusia.

5.2. USUL SARAN

Di akhir tulisan ini, penulis memberikan beberapa catatan yang menjadi


usul saran agar menjadi reverensi perubahan yang bersifat preventif terhadap
kasus-kasus bunuh diri yang marak terjadi di Kabupaten Sikka. Pertama kepada
Gereja. Gereja hadir sebagai jembatan yang mempertemukan manusia dan entitas
Allah sebagai dasar kehidupan, tentu menjadi prembawa kabar gembira yang
dapat mengobarkan semangat persekutuan umat. Gereja juga menjadi garda depan
dan penggerak utama yang mesti menjadi tempat umat Allah menemukan nilai
atau makna hidupnya sehingga dapat menyelamatkan hidup manusia khususnya
meminimalisir atau menanggulangi fenomena bunuh diri di Kabupaten Sikka.

85
Oleh karena itu, Gereja diaharpkan untuk respek terhadap situsi zaman
yang dinamis dan dapat membuka diri terhadap keluhan-keluhan. Gereja tentu
harus menjadi ruang yang luas untuk menampung aspirasi masyarakat, sehingga
dari sikap keterbukaan itu Gereja dapat keluar sebagai langkah solutif untuk
membawakan tanda keselamatan bagi umat. Gereja harus bisa menuntun umatnya
untuk menanggalkan budaya maut yang dapat menghancurkan kehidupan secara
tidak langsung.

Kedua, kepada Pemerintah. Pemerintah ada karena masyarakat. Maka


ketimpangan soasil dan keadilan yang tidak merata mestinya menjadi sebuah
pertanyaan yang mesti dijawab oleh pemeritah. Pemerintah harus mempunyai
kesadaran bahwa masyarakat membutuhkan respons yang intensif karena dalam
kehidupan bermasyarakat ada kelompok yang memiliki otoritas dan ada kelompok
yang berada di bawah tekanan otoritas kelompok lain. Pemerintah harus bisa
mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat perjuangan-perjuangan mengatasi
kemiskinan dan berbagai masalah sosial yang dialami masyarakat.

Pemerintah diharapkan mampu membuat keputusan yang tidak hanya


menguntungkan diri sendiri dan golongan elite politik lainnya tetapi dapat
menguntungkan semua pihak demi mewujudkan keadilan yang merata bagi semua
masyarakat. Berbagai macam pembangunan dan kebijakan pemerintah mesti
progresif mendukung kelangsungan hidup masyarakat luas. Selain itu sikap
terbuka terhadap aspirasi masyarakat harus dibangun secara kokoh agar
masyarakat dapat merdeka seutuhnya.

Ketiga, kepada setiap keluarga. Keluarga dipahami sebagai seminarium


utama dalam kehidupan. Keluarga tentu harus menjadi persemaian cinta kasih dan
persauadaraan yang kuat. Maka, setiap keluarga diharapkan dapat menciptakan
kedamaian dan rasa nyaman agar tidak ada pobabilitas buruk seperti KDRT yang
marak terjadi pada keluarga-keluarga masa kini. Terciptanya suasana yang
nyaman dalam keluarga tentu secara inklusif mencegah terjadinya kasus-kasus
seperti bunuh diri dan kekerasan yang dapat membawa korban dalam kehidupan
berkeluarga. Sebisa mungkin tidak ada pihak yang merasa tertekan dan depresi
karena masalah yang diciptakan dari keluarga tersebut. Oleh karena itu hal yang

86
mau ditekankan di sini adalah sikap keterbukaan dan sikap saling menghormati
agar suasana harmonis dalam keluarga tetap terjaga. Keluarga harus mampu
menjadi rumah yang kondusif dan nyaman untuk masing-masing individu bukan
malah sebaliknya menjadi batu sandungan dalam kehidupan keluarga itu sendiri.

Keempat, kepada setiap lembaga sekolah. Sekolah menjadi tempat


persemaian benih cinta kasih setelah keluarga. Oleh karena itu, setiap lembaga
sekolah diharapkan dapat memberikan mata pelajaran khusus tentang moral hidup
manusia yang di dalamnya mengajarkan tentang nilai-nilai yang patut dijaga
dalam kelangsungan hidup manusia. Guru-guru diharapkan mampu megenali
semua siswanya dari berbagai latar belakang dan sebisa mungkin pihak sekolah
dapat memantau cara pergaulan siswa-siswi di sekolah tersebut sehingga tidak
tercipta kelompok-kelompok yang saling membuli dan memojokkan satu sama
lain. Sekolah diharpkan menjadi tempat yang menyenangkan dan dapat
membentuk karakter siswa. Artinya bukan hanya tempat menambah ilmu
pengetahuan tetapi juga tempat pembentukan karakter dan pengajaran moral
sebagai bekal siswa untuk selalu menjunjung tinggi nilai hidunya.

Kelima, kepada masyarakat. Segala usaha untuk menjujung tinggi nilai


kehidupan yang dilakukan oleh berbagai pihak baik dari sekolah ataupun
pemerintah memiliki determinasi pada diri masing-masing individu. Baik Gereja,
pemerintah ataupun lembaga pendidikan berjuang untuk membawa masyarakat
atau umat agar tidak terjerumus ke dalam jurang yang dapat menghancurkan
hidup mereka. Oleh karena itu masyarakat harus berpartisipasi aktif mendukung
perjuangan Gereja, pemerintah, dan sekolah untuk menanggulangi kasus bunuh
diri di Kabupaten Sikka.

BIBLIOGRAFI

I KAMUS

87
Dagun, Save M.. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-5, Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006.

II DOKUMEN GEREJA

Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium Et Spes; Kegembiraan dan Harapan, R.


Hardawiryana, SJ. (penerj.), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1997.
John Paul II, “Holly Father Announces New Encyclical”, dalam L’Osservatore
Romano, 29 Maret 1995.
Konsili Vatikan II, Dekret Tentang Orang-orang yang Harus Diberi Atau Tidak
Diberi Penguburan Gerejani De Exequiis Ecclesiasticis, dalam V.
Kartosiswoyo, H. Snijders, Piet Go, dkk (penerj.). Kitab Hukum Kanonik,
Jakarta: Sekretariat MAWI dan Obor, 1983.
Yohanes Paulus II, Ensiklik “Fides Et Ratio” R. Hardarwiyana (penerj.), 1, Seri
Dokumen Gerejawi, no. 56 Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
penerangan KWI, 1999.
Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, (penerj.) J. Hadiwikarta, dalam Seri
Dokumen Gereja No. 29, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1993.
III BUKU – BUKU

Abas, Nasir , dan Zora A. Sukabdi, Jauhkan Aku dari Terorisme, Jakarta:
Grafindo, 2011.
Budi, Paulus. Membongkar Derita, Maumere, 2006.
Budiman, Krispianus. “Pesona Budaya Lokal dalam Pusaran Arus
Postmodernitas”, dalam Paul Budi Kleden, “Memahami Postmodernisme”
(ms.), Maumere : STFK Ledalero, 2011.
Cahyadi, Telesphorus Krispurwana. Yohanes Paulus II: Gereja dan Kehidupan
Jakarta: Obor, 2007.
Fromm, Erich, Masyarakat Bebas Agresivitas: Bunga Rampai Karya Erich
Fromm, Agus Cremers (peny.), Maumere: Ledalero, 2004.

88
Go, Piet, Kabar Baik Kehidupan: Pengantar Memahami dan Mengamalkan
Ensiklik Evangelium Vitae Malang: Penerbit Dioma, 1996.
------------------- Kabar Baik Kehidupan: Pengantar Memahami dan
Mengamalkan Ensiklik Evangelium Vitae, 1999.
-------------------Kabar Baik Kehidupan: Pengantar Memahami dan Mengamalkan
Ensiklik Evangelium Vitae, 2001.
Gula, Richard M. Etuika Pastoral: Dilengkapi Dengan Kode Etik, penerj. Wiliam
Chang. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
H, Witdarmono, et, al., Dari Wadwice Sampai Worldwide: Jejak Langkah Paus
Yohanes Paulus II, Jakarta: PT. Intisari Mediatama, 2005.
Hazlitt, Henry. Dasar-Dasar Moralitas, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003.
Kewuel, Hipolitus K. Allah dalam Dunia Postmodern, Malang: Dioma, 2004.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere:
Penerbit Ledalero, 2012.
Kusmaryanto, CB. Tolak Aborsi Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian,
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Maritain, Jacques Maritain, Christianity and Democracy & The Right of Man and
Natural Law, San Fransisco: Iqnatius Press, 1986.
Marpaung, Perlindungan. Filfilling Life, Merayakan Hidup yang Bukan Main
Bandung: MQ Publishing, 2007.
Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral dalam Hidup
Pribadi, terj. Alex Armanjaya, Yosef M. Florisan, dan G. Kirchberger
Maumere:, Ledalero, 2003.
Raho, Bernard. Agama dalam Perspektif Sosiologi, Jakarta: Obor, 2013.
Ritzer, George. “Teori Sosiologi” Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Tjahyadi, Simon L. Tuhan Para Filsus dan Ilmuan dari Descrates sampai
whitehead Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Valentine, Tience Debora & Helm, Afin Vadila. “Ketidakberdayaan dan Perilaku
Bunuh Diri”, Buletin Psikologi, (ms.) Yogyakarta:Universitas Gadja
Mada 2008.
Yohanes Paulus II. Melintasi Ambang Pintu Harapan, Yayasan Obor (penerj.),
Jakarta: Obor, 1995.

89
V ARTIKEL DAN JURNAL

.
Andari, Soetji. "Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Gunung Kidul." Sosio
Konsepsia: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
7.1 2017.

Budi, Fransiskus Nong. “You’ll Never Walk Alone”, dalam KANA No. 02 Tahun
XII April-Mei –Juni 2017.
Ediman, Gabriel. “Iman Budaya dan Ekologi ;Merefleksikan kembali Praktek
Iman Kristen dalam Hubungan dengan Kebudayaan dan Lingkungan Alam
Manggarai”, dalam Musafir, Iman, Budaya dan Ekologi Vol.01XXXIX.
Elfrida, Maria. “Silent Epidemic Bunuh Diri dan Depresi” dalam Opini Pos
Kupang, Rabu, 21 Februari 2018.
Hormat, Sipri. wawancara dalam Flores Pos, Ende, 25 Februari 2012.
Luluk Mukarromah, “Dinamika Psikologis pada Pelaku Percobaan Bunuh Diri”,
Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam, 11:2 , Malang: Oktober 2014.
Madung, Otto Gusti. "Liberalisme versus Perfeksionisme? Sebuah Tinjauan
Filsafat Politik tentang Relasi Antara Agama dan Negara." Jurnal
Ledalero 12.2 2017.

Mohamad, Goenawan. “Musuh,” Catatan Pinggir dalam Tempo, 28 September


2003.
Nugroho, Wahyu Budi. "Pemuda, bunuh diri dan resiliensi: Penguatan resiliensi
sebagai pereduksi angka bunuh diri di kalangan pemuda Indonesia."
Jurnal Studi Pemuda 1:1 (2012): 31-45.
Ratih, AA Sagung Weni Kumala, dan David Hizkia Tobing. "Konsep diri pada
pelaku percobaan bunuh diri pria usia dewasa muda di Bali." Jurnal
Psikologi Udayana 3.3, 2016.
Santi, Karunia. "Sisi Gelap Industri Hiburan dan Kekerasan Terhadap
Perempuan." OSF Preprints. May 27 (2021).

90
Santoso, Meilanny Budiarti, Dessy Hasanah Siti Asiah, and Chenia Ilma Kirana.
"Bunuh diri dan depresi dalam perspektif pekerjaan sosial." Prosiding
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 4.3 (2018).

Sila, Alex. “Antropologi Kemiskinan dan Apolitisme Para Rohaniwan”, Vox


52/10/2009.
Su, Yovani “Kontemplasi Otensitas”, Musafir, Vol.01.Thn.XXXVI, 2008-2009.
Tience Debora Valentine & Afin Vadila Helm, “Ketidakberdayaan dan Perilaku
Bunuh Diri”, Buletin Psikologi, 24:2, (Yogyakarta:Universitas Gadja
Mada)
Ule, Silvester “Esensi Terorisme dan Persoalan Kekerasan” Vox Membongkar
Terorisme Seri 54/10/2010.
V MAJALAH

Budi, Fransiskus Nong. “You’ll Never Walk Alone”, dalam KANA No. 02 Tahun
XII April-Mei –Juni 2017.
Ediman, Gabriel. “Iman Budaya dan Ekologi ;Merefleksikan kembali Praktek
Iman Kristen dalam Hubungan dengan Kebudayaan dan Lingkungan Alam
Manggarai”, dalam Musafir, Iman, Budaya dan Ekologi Vol.01XXXIX.
Elfrida, Maria. “Silent Epidemic Bunuh Diri dan Depresi” dalam Opini Pos
Kupang, Rabu, 21 Februari 2018.
Hormat, Sipri. wawancara dalam Flores Pos, Ende, 25 Februari 2012.
Mohamad, Goenawan. “Musuh,” Catatan Pinggir dalam Tempo, 28 September
2003.
Sila, Alex. “Antropologi Kemiskinan dan Apolitisme Para Rohaniwan”, Vox
52/10/2009.
Su, Yovani “Kontemplasi Otensitas”, Musafir, Vol.01.Thn.XXXVI, 2008-2009.
Ule, Silvester “Esensi Terorisme dan Persoalan Kekerasan” Vox Membongkar
Terorisme Seri 54/10/2010.

VII ENSIKLOPEDI

91
Heuken, Adolf. “Yohanes Paulus II”, Ensiklopedia Gereja, Jilld. II, Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004.
Setiawan , B. et. Al., Ensiklopedi Nasional Indonesia Jakarta: PT. Delta
pamungkas, 2004.
VIII INTERNET

[t.p.], http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada tanggal 15 Maret 2022.


[t.p.], http://web.inter.nl.net/users/Paul. Treanor/democracy.html, Heru Prasetyo
(penerj.), “Kenapa Demokrasi Itu Buruk”, Wacana, edisi 18 tahun
VI/2004.
[t.p], http://Internasional.Kompas.com, diakses pada 10 September 2021.

[t.p], http://www.mailarchive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg02824.html,
diakses pada tanggal 15 Maret 2022.
“Fenomena Bunuh Diri di Kabupaten Sikka” dalam www.inimaumere.com.
diakses pada tanggal 25 Oktober 2021.
“Kristen Menjawab Muslim Pertanyaan dan Jawaban 6”
dalammenjawabmuslim.com, diakses pada tanggal 11 Desember 2021.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, “Jumlah Penduduk Miskin
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011-2022”, (bps5310@bps.go.id),
diakses pada tanggal 4 april 2022.
Dalo, Ishak Supatriot, “Bunuh Diri: Ekspresi Keruntuhan Modal Sosial
Masyarakat”, mengutip Emile Durkheim, Suicide A Study in Sociology,
terj. John A. Spaulding and George Simpson (London: Roudlege Classics
and New York, 2002), dalam (Arddalo.blogspot.com) diakses pada
tanggal 4 November 2022.

92

Anda mungkin juga menyukai