Anda di halaman 1dari 105

RELEVANSI PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR

DEWANTATARA BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero


untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik

Oleh

PASKALIS GABRIEL DJARO

NPM: 16.75.5949

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

2020
LEMBAR PENERIMAAN JUDUL

1. Nama : Paskalis Gabriel Djaro

2. NPM : 16.75.5949

3. Judul : Relevansi Pendidikan Holistik Ki Hadjar Dewantara bagi


Pendidikan di Indonesia

4. Pembimbing :

1. Antonius Jemaru, M.Sc : ………………………

(Penanggung Jawab)

2. Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd : ………………………

3. Antonius Marius Tangi, Drs., Lic : ………………………

5. Tanggal Diterima : 28 Agustus 2019

6. Mengesahkan 7. Mengetahui

Wakil Ketua I Ketua STFK Ledalero

Dr. Yosef Keladu Dr. Otto Gusti Nd. Madung

ii
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian
dari Syarat-syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik

Pada
1 Juni 2020

Mengesahkan
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
Ketua

Dr. Otto Gusti Ndegong Madung

DEWAN PENGUJI:

1. Antonius Jemaru, M.Sc : ………………………….

2. Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd : ………………………….

3. Antonius Marius Tangi, Drs., Lic : ………………………….

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Paskalis Gabriel Djaro

NPM : 16.75.5949

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri,
dan bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau lembaga lain.
Semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi
ini telah disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan pada catatan kaki
dan daftar pustaka.

Jika dikemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan,


berupa plagiasi atau penjiblakan dan sejenisnya di karya ilmiah ini, saya
bersedia menerima sanksi akademis yakni pencabutan skripsi atau gelar yang
saya peroleh dari skripsi ini.

Ledalero, 26 Mei 2020

Yang menyatakan

Paskalis Gabriel Djaro

iv
KATA PENGANTAR

Pendidikan memampukan manusia untuk melatih ketangkasan berpikir


yang logis dan kritis, serta membentuk pola tingkah laku yang baik. Proses
pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan daya kreasi dan imajinasi
pelajar. Hemat penulis, salah satu pendidikan yang patut dan perlu untuk
ditumbuhkembangkan adalah pendidikan holistik. Hakikat pendidikan holistik
adalah proses pembentukan manusia muda menjadi insan yang berkembang secara
baik yang meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui proses
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan dilaksanakan dalam suasana
keterbukaan, kebebasan dan menyenangkan. Dengan itu, tujuan dasariahnya
tercapai yaitu membentuk pribadi utuh yang memiliki kecerdesan intelektual,
emosional, spiritual, sosial, moral dan memiliki daya juang yang tinggi.

Pendidikan pada era globalisasi dihadapkan pada sejumlah peristiwa


kekinian dan kompleksitas perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika
pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar aktivitas pengajaran yang
memberikan aksentuasi pada optimalisasi pengembangan kemampuan intelektual
pelajar, taruhannya adalah pengabaian pengembangan kemampuan emosionalitas,
spiritualitas, sosialitas dan moralitas. Kalau pola pendidikan holistik ini mau
diterapkan, sebaiknya kita berguru pada Ki Hadjar Dewantara. Sebagai pemikir
dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok pejuang
kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan
pendidikan untuk manusia di Indonesia. Prinsip dasar dalam pendidikan adalah
kebebasan. Kebebasan yang dimaksud yaitu bebas dari segala hambatan cinta,
kebahagiaan, keadilan, dan perdamaian tumbuh dalam diri mereka sendiri (dalam
hati setiap orang). Dengan judul skripsi Relevansi Pendidikan Holistik Ki
Hadjar Dewantara bagi Pendidikan di Indonesia. Penulis memaparkan konsep
pendidikan model Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara meninggalkan
suatu prinsip bagi pendidikan nasional Indonesia. Pendidikan tidak hanya
mementingkan aspek intelektualitas, tetapi juga menekankan keseimbangan dalam
aspek spiritualitas, sosialitas dan moralitas bagi pendidikan dewasa ini. Titik nadi

v
pendidikan menghasilkan manusia beradab, karena itu diperlukan keseimbangan
seperti ini.

Pada tempat pertama, penulis bersyukur kepada Tuhan karena atas berkat
dan tuntunan-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Pada lembaran ini, penulis
menyatakan rasa terima kasih berlimpah kepada pelbagai pihak yang telah
mendukung proses pengerjaan skripsi ini hingga tuntas. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada P. Antonius Jemaru, M.Sc., yang dengan penuh kesetiaan,
perhatian dan kesabaran membimbing penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
Penulis menyadari selama proses pengerjaan terdapat begitu banyak kekurangan
dan kekeliruan. Segala sumbangan pikiran dan tenaga dari Pater sangat
memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih
yang sama penulis sampaikan kepada Ibu Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd
meski dengan sekian banyak kesibukan bersedia menjadi penguji dan meluangkan
waktu serta membantu penulis dalam memperbaiki dan menyelesaikan karya ini.

Penulis berterima kasih juga kepada lembaga Pendidikan Calon Imam


Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret dan Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero yang telah menyediakan segala macam sarana dan prasarana
yang mendukung penyelesaian tulisan ini. Terima kasih pula kepada Bapak dan
Mama yang selalu menjadi bayangan semu dalam memberikan kekuatan
menyelesaikan tulisan ini, ucapan pada titik yang sama, saya limpahkan kepada
Novia Erika Isabela Maulandi yang menyisihkan sembangan dan motivasi untuk
menyelesaikan tulisan ini, rasa yang sama saya ucapkan kepada teman Alfonsus
Soter, S. Fil dan Theo Kelore, S. Fil yang menyumbang sebagaian besar tenaga
dan pikiran-pikiran brilian untuk tulisan ini, juga kepada para Frater Tingkat IV
dan teman-teman angkatan serta semua teman dan sahabat yang dengan caranya
masing-masing memberikan kekuatan dan pikiran dalam menyelesaikan tulisan
ini.

Seluruh uraian tulisan ini memang jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca merupakan
masukan yang amat berharga bagi penulis demi menyempurnakan tulisan ini.

vi
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada
pembaca sekalian. Terima kasih dan selamat membaca.

Maumere, 26 Mei 2020

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. iv


LEMBAR PENERIMAAN JUDUL .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................... 7
1.3 TUJUAN PENULISAN ..................................................................................... 8
1.4 METODE PENULISAN ................................................................................... 8
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN ......................................................................... 8

BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA


2.1 BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA .................................................... 10
2.1.1 Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar Dewantara ........................................................ 10
2.1.2 Masa Sekolah ..................................................................................................... 12
2.1.3 Dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara ............ 13
2.2 KARYA-KARYA KI HADJAR DEWANTARA .......................................... 14
2.2.1 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Pertama: tentang pendidikan ................... 14
2.2.2 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Kedua Tentang Kebudayaan .................... 16
2.2.3 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan
Kemasyarakatan................................................................................................ 16
2.2.4 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan
Perjuangan Hidup Penulis.................................................................................. 17
2.2.5 Karya-karya lain: ............................................................................................... 17
2.2.5.1 Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara .................................................. 17
2.2.5.2 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang Pertama ................... 19

viii
2.2.5.3 Budi Utomo ..................................................................................................... 20
2.2.5.4 Pendiri Indische Partij (Partai Politik pertama yang beraliran
nasionalis Indonesia).................................................................................... 20
2.3 AJARAN- AJARAN KI HADJAR DEWANTARA ..................................... 21
2.3.1 Konsep tentang Kepemimpinan ......................................................................... 22
2.3.1.1 Demokrasi dan Kepemimpinan ....................................................................... 22
2.3.1.2 Trilogi Kepemimpinan .................................................................................... 22
2.3.2 Konsep tentang Kebudayaan ............................................................................. 22
2.3.3 Konsep tentang Politik ....................................................................................... 23
2.4 PENGHARGAAN YANG DIPEROLEH KI HADJAR DEWANTARA ... 24
2.4.1 Bapak Pendidikan Nasional dan Pergerakan Nasional ...................................... 24
2.4.2 Doctor Honoris Causa........................................................................................ 24
2.5 CATATAN KRITIS......................................................................................... 26

BAB III KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA


3.1 POTRET PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN PEMERINTAHAN
KOLONIAL ........................................................................................................ 29
3.1.1 Pendidikan pada Masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda ...................... 29
3.1.2 Sistem Persekolahan pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda .................... 34
3.1.3 Pendidikan Pada Zaman Jepang ........................................................................ 36
3.2 KESADARAN PROGRESIF KI HADJAR DEWANTARA ....................... 38
3.2.1 Politik Kemajuan dan Kesetaraan ...................................................................... 39
3.2.2 Perlawanan Terhadap Kolonialisme .................................................................. 40
3.2.2.1 Seorang Jurnalis .............................................................................................. 41
3.2.2.2 Tokoh Indische Partij ...................................................................................... 42
3.2.2.3 Pendiri Indonesische Persbureau..................................................................... 45
3.2.3 Kiprah Perguruan Taman Siswa ........................................................................ 47
3.3 KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA ........ 49
3.3.1 Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ............................................................ 50
3.3.2 Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ............................................................... 53
3.3.3 Metode Pendidikan ............................................................................................ 55
3.3.4 Asas-Asas Pendidikan ....................................................................................... 56
3.3.4.1 Asas Kodrat Alam ........................................................................................... 57

ix
3.3.4.2 Asas Kemerdekaan .......................................................................................... 57
3.3.4.3 Asas Kebudayaan ............................................................................................ 57
3.3.4.4 Asas Kebangsaan ............................................................................................ 58
3.3.4.5 Asas kemanusiaan ........................................................................................... 59
3.4 CATATAN KRITIS......................................................................................... 59

BAB IV RELEVANSI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA


UNTUK MENYIKAPI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
DI INDONESIA SAAT INI
4.1 POTRET SINGKAT PENDIDIKAN DI INDONESIA................................ 62
4.1.1 Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan ............................................................... 63
4.1.2 Pendidikan Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) ..................................... 65
4.1.3 Pendidikan Masa Orde Baru .............................................................................. 66
4.1.4 Pendidikan Masa Reformasi .............................................................................. 69
4.2 PROBLEMATIKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA .... 71
4.2.1 Merajalelanya Krisis Moral Yang Melanda Masyarakat ................................... 71
4.2.2 Dehumanisasi Pendidikan .................................................................................. 72
4.2.3 Pendidikan Hampa Kesadaran ........................................................................... 73
4.2.4 Pendidikan Krisis Identitas ................................................................................ 74
4.3 PENTINGNYA PENDIDIKAN DEWANTARA DALAM UPAYA
MENANGANI PENDIDIKAN DI INDONESIA .......................................... 75
4.3.1 Siswa Harus Memiliki Jiwa yang Merdeka ....................................................... 75
4.3.2 Siswa Sebagai Subjek Belajar ........................................................................... 77
4.3.3 Cara Mengatasi Dehumanisasi Pendidikan dan Pendidikan Krisis Identitas .... 78
4.3.4 Guru Sebagai Teladan........................................................................................ 82
4.4 CATATAN KRITIS......................................................................................... 82

BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN ................................................................................................ 84
5.2 SARAN.............................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 89

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pembicaraan seputar pendidikan adalah sebuah kebutuhan yang urgen.


Sampai sekarang pendidikan masih diakui perannya sebagai sarana pendukung
perubahan cara pandang, pola pikir, sikap dan perilaku seseorang. Pendidikan
adalah sarana yang paling ampuh untuk menciptakan kepribadian yang
berkembang. Pendidikan mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang
utuh, yang kemudian pula akan membentuk suatu masyarakat yang utuh dan juga
positif.1 Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana yang membuat
seseorang dengan tahu dan mau bertindak sebagai manusia (hominisasi), tetapi
lebih pada taraf pemanusiaan manusia (humanisasi). Jelas bahwa, pendidikan
sebagai sarana humanisasi berperan untuk menumbuhkembangkan mental yang
baik dalam diri setiap pelajar. Jika demikian, tidak terlalu berlebihan kalau
dikatakan bahwa pendidikan adalah basis revolusi mental.

Di tengah diskursus tentang pentingnya pendidikan sebagai basis revolusi


mental muncul sebuah ekstrim baru. Pendidikan yang diakui kemampuannya
dalam menentukan dinamika dan progresivitas kehidupan menampakkan gejala
destruktif dalam realitas. Banyak orang mulai menaruh pesimis terhadap
pendidikan sebagai sarana humanisasi. Pramoedya Ananta Toer secara terang
benderang meluapkan rasa pesimisnya terhadap pendidikan dengan mengatakan
“Jangan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih

1
Nazili Shaleh Ahmed, Pendidikan dan Masyarakat (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), hlm. 54.

1
bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya. Apalagi kalau guru itu sudah
bandit pada dasarnya”.2

Pernyataan Pramoedya Ananta Toer patut dibenarkan tatkala


dikonfrontasikan dengan mentalitas pelajar zaman sekarang yang disinyalir
sebagai produk dari pendidikan yang telah kehilangan orientasi. Sebut saja, virus
mental instan, balapan liar, tawuran antarpelajar, penggunaan narkoba dan obat-
obat terlarang, praktik seks bebas, vandalisme dan sederetan litani kejahatan
lainnya yang justru dilakonkan oleh kaum terpelajar. Berhadapan dengan realitas
mental zaman sekarang, kita bisa berasumsi bahwa ternyata ada yang salah
dengan praktik pendidikan kita selama ini. Rupanya praktik pendidikan kita hanya
mampu menghasilkan lulusan yang kaya pengetahuan, tetapi miskin dalam
kepemilikan mental yang baik. Hal ini senada dengan tesis yang disampaikan oleh
seorang filosof Inggris Bertrand Rusell. Rusell sebagaimana diuraikan oleh Ignas
Kleden, mengatakan bahwa “daya intelegensi manusia sudah berkembang sangat
jauh ketimbang bakat-bakat moral mereka.”3 Dalam hal intelektual atau
intelegensi, pelajar sudah menjadi dewasa dan bahkan sangat dewasa, tetapi dalam
hal moral dan kepemilikan mental baik masih kekanak-kanakan. Ini disebabkan
karena praktik pendidikan yang lebih memfokuskan diri pada pengembangan
kemampuan intelektual pelajar. Pendidikan direduksi maknanya hanya sebatas
aktivitas transfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Praksis
pendidikan di Indonesia sudah melorot menjadi indoktrinasi dan sosialisasi
kognitif semata.

Pendidikan pada era globalisasi dihadapkan pada sejumlah peristiwa


kekinian dan kompleksitas perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Kompleksitas kepentingan yang tidak beraturan memunculkan gejala disorientasi
nilai, disharmonisasi sosial, disorder sistem, dan disfungsi peran dan profesi. 4
Contohnya pendidikan melalui berbagai institusi dan media belum mencapai hasil
yang diharapkan dan belum berkolerasi dengan perilaku sosial. Akibatnya terjadi

2
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002), hlm. 23.
3
Ignas Kleden, “Status Ilmiah Filsafat dan Tantangan Kontemporer”, dalam Paul Budi Kleden dan
Otto Gusti Madung (eds.), Menukik Lebih Dalam, Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 5.
4
Mulaysana, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 3.

2
tindakan negatif, penyimpangan dan kejahatan masih mewarnai kehidupan
bangsa.5 Dunia pendidikan selama ini memfokuskan diri pada IQ (dan EQ), ini
barangkali karena ada anggapan bahwa untuk hidup dibutuhkan kecerdasan agar
dapat meraih modal materiil dan modal sosial.6

Ketika pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar aktivitas


pengajaran yang memberikan aksentuasi pada optimalisasi pengembangan
kemampuan intelektual pelajar, taruhannya adalah pengabaian pengembangan
kemampuan emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas. Hal ini tentunya
sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, perintis
Pendidikan Nasional Indonesia yang melihat pendidikan sebagai sarana
“memerdekakan dimensi lahiriah dan batiniah”. Konsepsi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara mengisyaratkan adanya metode pendidikan yang mengintegrasikan
pengembangan potensi-potensi pelajar secara seimbang dalam aspek
intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas. Keberhasilan
pengintegrasian potensi-potensi pelajar secara seimbang niscaya akan
menghasilkan pelajar dengan kepemilikan mentalitas yang baik. Lantas,
pertanyaan fundamental yang muncul adalah pola pendidikan apakah yang perlu
diterapkan dalam rangka menumbuhkembangkan mentalitas baik dalam diri
pelajar?

Ada banyak metode pendidikan yang tepat untuk dipraktikkan. Metode


pendidikan yang dipraktikkan seharusnya bertujuan menghilangkan atau paling
kurang meminimalisir sedapat mungkin mentalitas buruk pelajar yang dapat
membahayakan diri sendiri dan sesama. Dengan demikian, keberhasilan sebuah
metode pendidikan tidak hanya diukur dari kualitas intelektual pelajar tetapi lebih
dari itu bagaimana metode pendidikan tersebut membantu pelajar untuk
menampilkan hal-hal yang konstruktif dalam kebersamaan dengan yang lain.

Tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU Pendidikan Nasional No. 2


tahun 1989 berbunyi: “mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya: manusia

5
Jejen Musfah (ed), Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif (Jakarta: Kencana, 2012),
hlm. 120.
6
Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 14.

3
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan (pasal 4).”7 Jika ditelusuri tujuan pendidikan nasional, maka kita akan
menemukan sebuah cita-cita pengintegrasian secara seimbang potensi-potensi
pelajar yang meliputi intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, kreativitas,
mentalitas, sosialitas, dedikasi dan moralitas. Hemat penulis, untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional, maka penerapan sistem pendidikan holistik di setiap
sekolah sedini mungkin menjadi sebuah kebutuhan mendesak.

Hakikat pendidikan holistik adalah proses pembentukan manusia muda


menjadi insan yang berkembang secara baik, yang meliputi olah rasio, olah rasa,
olah jiwa dan olah raga melalui proses pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik dan dilaksanakan dalam suasana keterbukaan, kebebasan dan
8
menyenangkan. Tujuan pendidikan holistik adalah membentuk pribadi utuh yang
memiliki kecerdesan intelektual, emosional, spiritual, sosial, moral dan memiliki
daya juang yang tinggi. Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka dituntut
adanya proses pembelajaran yang mengembangkan otak kiri (analisis) dan otak
kanan (imajinasi) pelajar. Pendidikan memampukan manusia untuk melatih
ketangkasan berpikir yang logis dan kritis, serta membentuk pola tingkah laku
yang baik. Melalui pendidikan manusia diarahkan untuk membangun paradigma
berpikir yang tidak jauh dari realitas sosial, tetapi mampu bersentuhan secara
konkret dan riil dengan sesuatu yang sedang terjadi dalam persoalan sosial
kemasyarakatan.9 Di samping itu, proses pendidikan harus diarahkan pada upaya
pengembangan daya kreasi dan imajinasi pelajar. Untuk itu, dibutuhkan waktu
untuk memberi porsi pada apresiasi seni, baik seni rupa, seni gambar, seni musik
dan sastra. Dengan memberi porsi pada apresiasi seni, pelajar dapat
mengembangkan bakat seni dengan baik pada tempatnya, bukan dengan aksi
vandalisme.

7
A. Supratiknya, “Sistem Pendidikan Indonesia Saat ini dalam Psikologis” dalam majalah Ilmiah
Widya Dharma, No. 2 Th. X, ISSN: 0853-0920, April 2000.
8
Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 14.
9
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (Yogyakarta: AR. RUZZ MEDIA, 2009), hlm.
16.

4
Pendidikan holistik menuntut adanya metode pembelajaran yang
menghargai martabat pelajar sehingga mereka mampu menghargai martabat
sesamanya dan memperhatikan aspirasi dan persoalan-persoalan mendasar pelajar.
Dengan demikian, mereka merasa diperhatikan, disayangi dan berkomitmen untuk
berjuang mengatasi persoalan dengan menempuh jalur-jalur yang baik, bukan
dengan tawuran antarpelajar atau mencari kenikmatan, semisal seks. Pendidikan
yang holistik menuntut adanya metode pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik dan menempatkan para pendidik sebagai motivator dan suri teladan bagi
pelajar dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Meminjam semboyan pendidikan
Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarsa Sung Tuladha (pendidik selalu berada di depan
untuk memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (pendidik selalu berada di
tengah-tengah pelajar dan terus-menerus memberi motivasi) dan Tut Wuri
Handayani (pendidik selalu mendukung pelajar untuk berkarya ke arah yang benar
dalam hidup bermasyarakat).10

Harapan akan lahirnya suatu model pendidikan holistik masih jauh dari kata
merdeka meskipun saat ini negara kita sudah bebas dari bangsa penjajah.
Pendidikan ala penjajah masih saja diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan
tertentu, di mana ada pemisahan antara kelompok yang mampu (berduit) dan
kelompok yang kurang mampu (miskin).11 Pemisahan seperti ini secara tidak
langsung mematikan semangat setiap orang yang ingin belajar namun karena
lemah secara ekonomis akhirnya harus mengurungkan niat untuk belajar.
Pendidikan yang dulu diterapkan pada masa kolonial yang hanya menjadi alat
politik guna memperdaya golongan bumiputra12 kini juga masih diterapkan oleh
pemerintahan Indonesia untuk menindas kelompok-kelompok atau golongan-
golongan tertentu. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia memberikan
dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan antara lain banyaknya angka
pengangguran, kemiskinan, kelaparan, dan berbagai dampak negatif lainnya.

Pendidikan holistik memberikan ruang yang bebas kepada setiap orang


untuk menimba pengetahuan. Dengan memperolah pendidikan dan pengajaran

10
Bartolomeus Samho, op.cit., hlm. 78.
11
Ibid., hlm 65.
12
Ibid., hlm. 63.

5
yang baik, setiap orang mempunyai budi pekerti yang baik. Pendidikan dan
pengajaran merupakan daya-upaya yang dapat memerdekakan manusia baik dalam
aspek lahiriah maupun batiniah.13 Pendidikan dan pengajaran melahirkan manusia
yang berbudi pekerti yang dapat membuat setiap manusia merasa merdeka dengan
hidup sehingga dapat menguasai dan memerintah diri sendiri secara baik, kata Ki
Hadjar Dewantara14 dalam visi pendidikannya untuk bangsa Indonesia kala itu.
Melalui pendidikan itulah manusia berusaha mengembangkan potensi dalam
dirinya melalui proses pembelajaran, serta cara lain yang diakui dan dikenal oleh
masyarakat demi sebuah pembangunan yang lebih baik.15

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap model pendidikan holistik secara


tidak langsung menodai begitu banyak generasi muda. Pendidikan yang pada
hakekatnya dapat mengarahkan setiap orang untuk menggapai tujuan hidup,
menjadikan orang mati dalam ketakberdayaannya pada sistem yang ada. Sistem
mematikan segala tujuan hidup dari generasi-generasi muda karena sistem
(pemerintah) menjadikan kelompok-kelompok minoritas sebagai tumbal demi
kesejahteraan segelintir kaum elitis. Ki Hadjar Dewantara membahasakan sistem
pendidikan seperti ini destruktif karena mematikan kesadaran golongan tertentu
akan identitas dirinya. Mereka disetir untuk melupakan dirinya dan juga
nasionalisme melemah atau dibunuh secara tersistematisasikan.16 Mematikan
semangat generasi muda untuk mendapatkan pendidikan merupakan bentuk
penindasan yang paling keji karena membatasi ruang gerak setiap orang juga
merampas kebebasannya untuk menggapai tujuan dan cita-citanya. Membatasi
pendidikan terhadap kelompok-kelompok tertentu juga secara tidak langsung
mematikan cita-cita dan tujuan bangsa yang termuat dalam sila kelima dari
pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan holistik adalah suatu filsafat pendidikan yang bersumber dari


pemikiran bahwa pada dasarnya setiap individu atau setiap orang dapat
menemukan identitas dirinya, tujuan hidupnya dan makna hidupnya melalui

13
Ibid., hlm. 74.
14
Ibid., hlm. 76.
15
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hlm. 7.
16
Bartolomeus Samho, op.cit., hlm. 67.

6
hubungan yang dijalin dengan masyarakat dan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya
serta lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Pendidikan holistik dilakukan
dengan tujuan untuk membantu di dalam mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh setiap orang, di mana hal tersebut dilakukan dalam suasana yang
lebih menyenangkan, demokratis, serta humanis.17 Adanya pendidikan holistik
setiap pribadi dilatih untuk mandiri, di mana orang tersebut mendapatkan
kebebasan, mampu mengambil keputusan yang tepat dan baik bagi dirinya serta
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pendidikan holistik Ki
Hadjar Dewantara sebagaimana diuraikan oleh Soeratman, lebih menekankan pada
kecerdasan budi pekerti yang dapat mengantar setiap orang untuk merdeka secara
batiniah. Kemerdekaan secara batiniah dapat mengantar setiap pribadi untuk
berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya
sendiri (menguasai diri).18

Keprihatinan terhadap pendidikan di era modern yang hanya


memperhatikan aspek intelektualitas semata membawa sebuah kecemasan yang
mendalam terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu
penulis mengangkat judul RELEVANSI PENDIDIKAN HOLISTIK KI
HADJAR DEWANTARA BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA guna
membawa kita semua untuk kembali pada sebuah konsep pendidikan yang tidak
hanya memperhatikan aspek intelektualitas semata, melainkan segala bentuk aspek
kehidupan seperti aspek sosialitas, spiritualitas, dan solidaritas. Pendidikan bukan
lagi digunakan untuk menjatuhkan kaum-kaum minoritas melainkan dapat
memberi keharmonisan dalam menggapai suatu tujuan dan cita-cita bersama mulai
dari diri sendiri, untuk orang lain, dan juga untuk bangsa dan Negara.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pendidikan merupakan salah satu masalah terbesar yang dialami bangsa


Indonesia saat ini. Pendidikan yang pada hakekatnya dapat memberikan
pengetahuan dan wawasan bagi setiap pribadi justru dijadikan untuk menindas

17
Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2010), hlm. 2.
18
Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985), hlm. 24-25.

7
kelompok-kelompok atau etnis-etnis tertentu. Sehingga pada kesempatan ini
penulis ingin mengangkat beberapa permasalahan dasar berkaitan dengan
pendidikan: Pertama, bagaimana konsep pendidikan holistik dengan berguru pada
Ki Hadjar Dewantara? Kedua, bagaimana tantangan dan relevansi konsep
pendidikan holistik menurut Ki Hadjar Dewantara bagi dunia pendidikan
Indonesia masa kini?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Bertolak dari latar belakang penulisan di atas, maka tujuan penulisan


skripsi ini yaitu: pertama, menjelaskan sejauh mana relevansi pendidikan holistik
Ki Hadjar Dewantara bagi pendidikan di Indonesia. Terkait dengan tujuan tersebut
hendak juga dijelaskan konsep pendidikan holistik Ki Hadjar Dewantara. Kedua,
tulisan ini diajukan sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Strata 1 pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

1.4 METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini adalah


dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan membaca buku-
buku, majalah-majalah sebagai sumber penulisan skripsi.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan ini terdiri dari lima pokok pembahasan yang dikategorikan dalam
beberapa bab. Bab 1 merupakan pendahuluan. Dalam bab ini penulis
menampilkan arah dari keseluruhan pembahasan yang mencakup latar belakang
penulisan pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.

Dalam Bab II, penulis membahas Biografi dan pemikiran dari Ki Hadjar
Dewantara. Dalam bab ini penulis mengemukakan beberapa pokok bahasan yakni,
biografi Ki Hadjar Dewantara, karya-karya Ki Hadjar Dewantara, ajaran-ajaran Ki
Hadjar Dewantara, dan penghargaan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara. Pada
bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan Bab II.

8
Pada Bab III, penulis mengemukakan konsep pendidikan holistik Ki
Hadjar Dewantara. Dalam bagian ini penulis mengemukakan beberapa pokok
bahasan yakni, potret pendidikan dan pengajaran pemerintah kolonial, kesadaran
progresif Ki Hadjar Dewantara, dan konsep pendidikan holistik Ki Hadjar
Dewantara. Pada bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan
Bab III.

Pada Bab IV, penulis menemukakan tantangan dan relevansi dari


pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Dalam bagian ini penulis mengemukakan
tantangan dari konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan relevansi konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan dewasa ini. Pada bagian ini
penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan Bab IV.

Akhirnya pada Bab V yang merupakan bab penutup, penulis membuat


kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bagian akhir dari uraian seluruh tulisan.
Di sini juga disertakan dengan penegasan kembali tema tulisan, kesan tulisan
sehubungan dengan penulisan karya ini dan himbauan penulis terhadap pembaca.

9
BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA

Pendidikan merupakan faktor penting dalam memajukan suatu bangsa. Hal


ini karena peran pendidikan sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena
itu, Ki Hadjar Dewantara menyadari perlunya suatu bentuk perjuangan ke arah
kemerdekaan dengan pendidikan sebagai media utamanya, di samping media lain
seperti melalui organisasi politik.

Kemajuan dunia pendidikan di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan


dari peran tokoh atau pejuang pendidikan sebagai aktor utama. Salah satu tokoh
yang memiliki sumbangsih besar untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, yaitu
Ki Hadjar Dewantara. Ia adalah aktivis pergerakkan kemerdekaan Indonesia dan
pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia. Dalam bab ini akan dibahas secara
mendalam tentang biografi dan karya-karya dari Ki Hadjar Dewantara.

2.1 BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA

2.1.1 Masa Kanak-Kanak Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889,


bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1309 H. Lahirnya Ki Hadjar Dewantara
pada bulan Ramadhan membawa serta harapan bahwa di kemudian hari dia
membawa hikmat pendidikan dan peningkatan iman bagi banyak orang. Ki Hadjar
Dewantara adalah putra kelima dari Soeryaningrat Putra dari Paku Alam III. Pada
waktu dilahirkan dia diberi nama Soewardi Soeryaningrat karena ia masih

10
keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian
nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.19

Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan


ibundanya bernama Raden Ayu Sandiyah yang merupakan buyut dari Nyai Ageng
Serang, seorang keturunan dari Sunan Kalijaga. Kelahiran Soewardi Suryaningrat
membahagiakan K. P. A. Suryaningrat yang mengharapkan anak laki-laki, akan
tetapi berat badannya kurang dari 3 kg, badannya kurus, perutnya buncit, dan
suaranya lembut, sehingga ayahnya memberikan julukan Jemblung (buncit)
kepadanya. Kyai Soleman sahabat dari ayah Suwardi Suryaningrat yang
merupakan seorang Santri memberi nama tambahan Trunogati kepada putra
K.P.A. Suryaningrat, karena menurutnya kelak Suwardi Suryaningrat akan
menelan dan mencerna ilmu yang banyak dan sesudah memasuki masa dewasa ia
akan menjadi seorang pemuda yang penting (Truno= pemuda; Wigati= penting,
berarti).20

Selain Ki Hadjar Dewantara merupakan keturunan bangsawan, dia juga


merupakan keturunan ulama karena masih mempunyai silsilah keturunan dengan
Sunan Kalijaga. Sebagai seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar
Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio kultural dan religius
yang tinggi serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara di
lingkungan keluarga sudah mengarah ke penghayatan nilai-nilai kultural dan
religius. Pendidikan dari keluarga yang tersalur melalui pendidikan adat dan sopan
santun, kesenian dan pendidikan keagamaan turut mengukir jiwa kepribadiannya.
Pada masa itu pendidikan sangatlah langkah, hanya orang-orang dari kalangan
Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah yang dapat mengenyam jenjang
pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Ki Hadjar Dewantara
(Soewardi Soerjaningrat) kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada
tahun 1896, akan tetapi dia kurang senang karena teman sepermainannya tidak
dapat bersekolah bersama karena hanya seorang anak dari rakyat biasa. Hal ini

19
Ibid., hlm. 8-9.
20
Suparto Rahardjo, Biograf Singkat Ki. Hajar Dewantara, 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi, 2009),
hlm. 9.

11
yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di
dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik
maupun dengan pendidikan. Ia juga menentang kolonialisme dan feodalisme yang
menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan, kemerdekaan dan
tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata.21

2.1.2 Masa Sekolah

Berasal dari keluarga bangsawan, Suwardi Suryaningrat mendapat


kesempatan belajar di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar
Belanda. Ia menjalankan pendidikan dasar selama 7 tahun di kampung Bintaran
Yogyakarta, yang tidak jauh dari rumahnya. Suwardi Suryaningrat kemudian
melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool (Sekolah Guru) setelah menamatkan
pendidikan dasarnya pada tahun 1904. Kedatangan Dr. Wahidin Sudiro Husodo di
Puro Pakualaman, membuat pendidikan Suwardi yang mulanya di Kweekschool
(Sekolah Guru) Yogyakarta berpindah ke STOVIA (School Fit Opleiding Van
Indische Arisen) Sekolah Dokter Jawa di Jakarta dan mendapatkan beasiswa.
Suwardi Suryaningrat kemudian menjadi mahasiswa STOVIA dari tahun 1905-
1910. Namun karena sakit selama 4 bulan, Suwardi tidak naik kelas dan
beasiswanya dicabut. Ada banyak isu yang mengatakan alasan sakit bukanlah
semata-mata alasan pencabutan beasiswa, tetapi ada alasan politis di balik itu.
Pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah Suwardi Suryaningrat
mendeklarasikan sebuah sajak dalam suatu pertemuan. Sajak itu menggambarkan
keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima Perang yang
digubah oleh Multatuli dalam bahasa Belanda, dibawakan oleh Suwardi
Suryaningrat. Setelah pembacaan sajak itu, Suwardi Suryaningrat dipanggil
Direktur STOVIA dan dimarahi habis-habisan. Ia dituduh telah membangkitkan
semangat pemberontakan terhadap Pemerintahan Belanda. Masalah ini
sesudahnya berdampak pada pendidikan Suwardi Suryaningrat yang membuatnya
gagal menjadi seorang dokter. Suwardi Suryaningrat lalu menekuni bidang

21
Bambang Soekawati Dewantara, Mereka yang Selalu Hidup Ki Hadjar Dewantara dan Nyi
Hadjar Dewantara (Jakarta: Roda Pengetahuan, 1981), hlm. 15-16.

12
politik, jurnalistik, dan pendidikan. Dari Direktur STOVIA, Suwardi Suryaningrat
mendapat Surat Keterangan Istimewa atas kepandaiannya berbahasa Belanda.22

Suwardi Suryaningrat melakukan pernikahan atau lebih tepatnya “Nikah


Gantung” dengan R. A. Sutartinah pada tanggal 4 November 1907. Keduanya
merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 pernikahan
diresmikan secara adat di Puri Suryaningrat Yogyakarta. Setelah beberapa hari
menikah, Suwardi Suryaningrat diberangkatkan ke tempat pengasingan di
Belanda.23

2.1.3 Dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hadjar


Dewantara

Suwardi Suryaningrat sendiri mungkin tidak pernah memikirkan secara


mendetail nama baru sebagai ganti namanya yang asli. Ada beberapa alasan yang
dapat membuktikan pergantian nama tersebut: pertama, sebagai seorang
intelektual yang ternama, Dewantara belum pernah menulis secara lengkap
mengenai pergantian nama tersebut. Kedua, nama Ki Ajar (Ki Hadjar) itu sendiri
secara spontan diberikan oleh Raden Mas Sutatmo Suryokusumo, sepupunya,
dalam suatu diskusi Selasa Kliwon.24

Sejarah telah mencatat bahwa dalam dunia pendidikan di Indonesia, Ki


Hadjar Dewantara adalah gelar yang dipakai dan dikenang sebagai salah seorang
tokoh dalam dunia pendidikan nasional, dan bukannya Raden Mas Suwardi
Suryaningrat. Ki Hadjar Dewantara melepas atribut elite priyayi birokrasi
sekaligus mendekonstruksi berbagai kekuasaan yang hanya berpusat di istana
menuju ke pusat-pusat yang menyediakan makna bagi pluralisme budaya. Secara
etimologis, Ki Ajar (Ki Hadjar) mengacu pada pengertian ahli mendidik,
sedangkan Dewantara mengacu pada fungsi-fungsi mediator para Dewa.25 Ki
Hadjar Dewantara pada dasarnya juga memediasi trilogi bangsawan, ulama, dan

22
Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-Kawan
Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan (Jakarta: Gunung Aguna, 1980), hlm. 12.
23
Ibid.
24
B ambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara: Ayahku (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1989), hlm. 19-33.
25
K. Tsuchiya, Democracy and Leadership: the Rise of the Taman Siswa. Movement in Indonesia
(Honolulu: University of Hawai Press, 1987), hlm. 64.

13
masyarakat pada umumnya. Secara mitologis pergeseran nama tersebut menandai
perubahan dari satrio pinandito (ksatria yang berjiwa pendeta) ke pandito sinatrio
(pendeta atau guru yang bersedia mengangkat senjata untuk membela nusa dan
bangsa).26

Pergantian nama bukanlah suatu masalah yang besar, melainkan bersifat


subjektif dan menyangkut masalah-masalah pribadi Ki Hadjar Dewantara. Tetapi
dalam kaitannya dengan perkembangan kebudayaan Indonesia, pergantian nama
memiliki implikasi yang sangat penting sebagai tokoh. Apabila ingin menyatukan
diri dengan masyarakat, maka sikap pertama yang dilakukan adalah menyamakan,
menyetarakan diri dengan situasi sosial masyarakat. Sebagai langkah awal dalam
usaha untuk memajukan masyarakatnya, salah satu cara yang ditempuh oleh
Suwardi Suryaningrat adalah mengganti namanya. 27

2.2 KARYA-KARYA KI HADJAR DEWANTARA

Ki Hadjar Dewantara merupakan figur yang selalu menjadi kebanggaan


bangsa Indonesia terutama di dunia pendidikan. Ia dikenal sebagai tokoh yang
mempunyai jiwa pejuang yang tidak kenal kata menyerah dan sebagai pemimpin
yang dapat menuntun anak buahnya. Sebagai seorang yang kritis terhadap dunia
pendidikan, Ki Hadjar Dewantara telah menghasilkan berbagai gagasan yang
meliputi masalah politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang
pejuang pendidik sejati dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia.

Sebagai seorang pendidik, budayawan dan seorang nasionalis, Ki Hadjar


Dewantara mempunyai beberapa karya di masa hidupnya. Karya-karya itu
memberikan banyak sumbangsih terhadap perkembangan pendidikan di
Indonesia.

2.2.1 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Pertama: tentang pendidikan

Sebagai bapak pendidikan, bagian terbesar perjuangan Ki Hadjar


Dewantara terletak pada bidang pendidikan. Banyak tulisannya berbicara

26
M. Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1968), hlm. 19.
27
Ibid., hlm 25.

14
mengenai pendidikan, sehingga hari lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai
Hari Pendidikan Nasional berdasarkan surat keputusan Presiden No. 316 tanggal
16 Desember 1959. Penetapan hari lahir Ki Hadjar Dewantara sebagai Hari
Pendidikan Nasional merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan atas
jasanya di bidang pendidikan nasional.28

Karya pertama Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan bertemakan


pendidikan. Dalam buku ini dibicarakan gagasan dan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara dalam bidang pendidikan, di antaranya tentang hal ihwal pendidikan
nasional. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa
untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai melalui
jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan
untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya.
Untuk merealisasikan tujuannya, Ki Hadjar Dewantara mendirikan perguruan
Taman Siswa. Cita-cita perguruan tersebut adalah “saka” (Saka adalah singkatan
dari Paguyuban Selasa Kliwon di Yogyakarta, di bawah pimpinan Ki Ageng
Sutatmo Suryokusumo).29 Paguyuban ini merupakan cikal bakal perguruan taman
siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Untuk mewujudkan konsep atau gagasannya tentang pendidikan yang


dicita-citakan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan metode “Among” yaitu “tut
wuri handayani”. “Among” berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita,
dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya,
berkembang menurut kemampuannya. Sedangkan “tut wuri handayani” berarti
pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kebebasan dan keleluasaan bergerak
bagi orang yang dipimpinnya. Tetapi dia juga adalah “handayani” mempengaruhi
dengan daya kekuatannya dengan pengaruh dan wibawanya. Metode among
merupakan metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua
dasar, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan.30

28
I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), hlm. 87.
29
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan (Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011), hlm.
480.
30
I. Djumhur dan H. Danasuparta, op. cit., hlm. 89.

15
Metode among menempatkan anak didik sebagai subjek dan sebagai objek
sekaligus. Proses pendidikan dengan metode among mengandung pengertian
bahwa seorang pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih
terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan
anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya.
Pamong atau guru tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan
bersikap Ing Ngarsa Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri
Handayani.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa remaja yang berumur 14-16


tahun berada dalam periode atau masa di mana mereka mencari hakikat jati diri,
mulai melatih diri terhadap segala tingkah laku yang sukar atau berat dengan niat
yang disengaja seperti perilaku sosial, mulai melatih dirinya lebih mandiri
terutama dari orang tua, serta mencari kenyamanan dan rasa damai dalam
batinnya.31

2.2.2 Ki Hadjar Dewantara, Buku Bagian Kedua Tentang Kebudayaan

Dalam karyanya ini, Ki Hadjar Dewantara menulis mengenai kebudayaan


dan kesenian yang di antaranya: Asosiasi antara Barat dan Timur, pembangunan
kebudayaan nasional, pembangunan kebudayaan di zaman merdeka, kebudayaan
nasional. Kebudayaan merupakan sifat pribadi bangsa, kesenian daerah dalam
Persatuan Indonesia, Islam dan kebudayaan, ajaran Pancasila dan lain-lain.

2.2.3 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan


Kemasyarakatan

Buku ini khusus memuat tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun


1913-1922 yang menggegerkan dunia imperialis Belanda, juga tulisan-tulisan
mengenai wanita dan perjuangannya. Gagasan-gagasan yang dihasilkannya
bertujuan untuk membebaskan kaum pribumi dari para penjajah.32

31
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 488.
32
Djoko Marihandono, Perjuangan Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Museum Kebangkitan
Nasional, 2017), hlm. 37.

16
2.2.4 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan
Perjuangan Hidup Penulis

Dalam buku ini, Ki Hadjar Dewantara banyak melukiskan kisah kehidupan


dan perjuangan hidupnya sebagai seorang perintis dan pahlawan kemerdekaan. Ki
Hadjar Dewantara banyak menulis tentang kisah hidupnya semasa kecil dan
berbagai pergolakan semasa hidupnya.

2.2.5 Karya-karya lain:

2.2.5.1 Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,


Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara

Pada masanya, Ki hadjar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan-


tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai
seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Meskipun Ki Hadjar Dewantara kurang berhasil dalam menempuh pendidikan tapi
kegagalan tidak menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Perhatiannya
dalam bidang jurnalistik inilah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara
diberhentikan oleh Rathkamp, kemudian pindah ke Bandung membantu Douwes
Dekker dalam mengelola harian De Express. Melalui De Express inilah Suwardi
Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mengasah ketajaman penanya yang
mengalirkan pemikiran yang progresif dan mencerminkan kekentalan semangat
kebangsaannya. Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Suwardi
Suryaningrat dan puncaknya adalah sirkuler yang menggemparkan pemerintah
Belanda yaitu “Als Ik Eens Nederlander Was!” (Andaikan aku seorang Belanda!).
Tulisan ini pula yang mengantar Suwardi Suryaningrat ke pintu penjara
pemerintahan kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto
Mangunkusumo dan Douwes Dekker diasingkan ke negeri Belanda.33 Tulisan
tersebut sebagai reaksi terhadap rencana pemerintahan Belanda untuk
mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan Perancis

33
Gunawan, Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun Taman Siswa
(Yoyakarta: MLPTS, 1992), hlm. 303.

17
yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya
secara paksa dari rakyat Indonesia.34

Dengan tersebarnya tulisan tersebut, pemerintah Belanda menjadi


marah.Kemudian Belanda memanggil panitia De Express untuk diperiksa. Dalam
suasana seperti itu Cipto Mangunkusumo menulis dalam harian De Express 26
Juli 1913 untuk menyerang Belanda, yang berjudul “Kracht of Vress” (Kekuatan
atau Ketakutan). Selanjutnya Suwardi kembali menulis dalam harian De Express
tanggal 28 Juli 1913 yang berjudul “Een Vorr Allen, Maar Ook Allen Voor Een”
(satu buat semua, tetapi juga semua buat satu).35

Pada tanggal 30 Juli Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo


ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia
Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan
tahanan sementara dalam sel yang terpisah dengan seorang pengawal di depan
pintu. Douwes Dekker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya
terhadap kedua temannya melalui harian De Express, 5 Agustus 1913 yang
berjudul “Onze Heiden: Tjipto Mangoenkoesoemo En R. M. Soewardi
Soeryaningrat” (Dia Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan R. M.
Soewardi Soeryaningrat). Douwes Dekker menulis ini sebagai bentuk pujian atas
keberanian dan kepahlawan mereka berdua.

Berdasarkan putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913


Nomor: 2, ketiga orang tersebut diintenir, Ki Hadjar Dewantara ke Bangka, Cipto
Mangunkusumo ke Banda, dan Douwes Dekker ke Timur Kupang. Namun
ketiganya menolak dan mengajukan diekstenir ke Belanda meski dengan biaya
perjalanan sendiri. Dalam perjalanan menuju pengasingan, Ki Hadjar Dewantara
menulis pesan untuk saudara dan kawan seperjuangan yang ditinggalkan dengan
judul “Vriheidsherdenking end Vriheidsberoowing” (peringatan kemerdekaan dan

34
Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 48.
35
M.Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: MLPTS, 1963),
hlm. 299.

18
perampasan kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow”
tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala.36

2.2.5.2 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang Pertama

Ki Hadjar Dewantara kembali ke tanah air di tahun 1918. Setelah Zaman


kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Menjelang kemerdekaan RI yakni
pada pendudukan Jepang (1942-1945) Ki Hadjar Dewantara duduk sebagai
anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar
Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat Serangkai tersebut
mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan untuk memusatkan
tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI, akhirnya paa tanggal 17 Agustus 1945
kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta.
Pada hari minggu Pon tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan
Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Moh. Hatta sebagai wakil
presiden. Disamping itu juga mengangkat menteri-menterinya dan Ki Hadjar
Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 37

Pada tahun 1946, Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia


Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia, ketua pembantu
pembentukan undang-undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di
Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara menjadi Dosen Akademi
Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia dan menjadi Anggota
Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat. 38

Pada tahun 1948, Ki Hadjar Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40


tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, pada kesempatan itu Ki Hadjar
Dewantara bersama partai-partai mencetuskan pernyataan untuk menghadapi
Belanda. Pada peringatan 20 tahun Ikrar Pemuda (28 Oktober 1948), Ki Hadjar
Dewantara ditunjuk sebagai ketua pelaksana Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan

36
Ibid., hlm. 21.
37
Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 111.
38
Ibid., hlm. 113.

19
kedaulatan di Negeri Belanda pada Desember 1949, Ki Hadjar Dewantara
menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah sebagai DPR RI.
Pada tahun 1950, Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan DPR
RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada
Taman Siswa sampai akhir hayatnya. 39

2.2.5.3 Budi Utomo

Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Budi


Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara.40

2.2.5.4 Pendiri Indische Partij (Partai Politik pertama yang beraliran


nasionalis Indonesia)

Ketika berada di Belanda, Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo,


dan Douwes Dekker, langsung aktif dalam kegiatan politik. Di Denhaag, Ki
Hadjar Dewantara mendirikan “Indonesische Persbureau” (IPB), yang merupakan
badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan Nasional Indonesia.

Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif dalam


berjuang untuk kebebasan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Ki Hadjar
Dewantara diangkat sebagai pengurus besar NIP (National Indische Partij) di
Semarang. Ki Hadjar Dewantara juga menjadi redaktur “De Bewenging”, majalah
partainya yang berbahasa Belanda, dan Persatuan Hindia dalam bahasa Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara juga menjabat sebagai pimpinan harian De Express yang
diterbitkan kembali pada masa itu. Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya
yang mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hadjar Dewantara
dua kali masuk penjara.41

Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker dan Dr. Cipto


Mangunkusumo, mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran

39
Ibid., hlm. 114.
40
Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 168.
41
M. Tauhid, op. cit., hlm. 22-23.

20
nasionalis Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi
pemerintahan kolonial Belanda melalui Gubernur Idenburg berusaha menghalang
kehadiran partai ini dengan cara menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret
1913. Pemerintahan Belanda takut organisasi ini dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang mereka.
Dewantara juga melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis
dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut. Atas kritikan-kritikannya itu, Dewantara dibuang ke negeri Belanda.
Kesempatan ini digunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Jabatan-
jabatan lain yang diduduki oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu pada tahun 1913, KI
Hadjar Dewantara bersama Cipto Mangunkusumo mendirikan Komite Bumi
Putera untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari
penjajahan Perancis yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913
secara besar-besaran di Indonesia. Kemudian tahun 1918 Ki Hadjar Dewantara
mendirikan Kantor Berita Indonesische Persbureau di Nederland. Selanjutnya
pada tahun 1944 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Naimo Bun
Kyiok Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan). Pada tanggal 8 Maret
1955 dia ditetapkan pemerintah sebagai perintis Kemerdekaan Nasional
Indonesia. Sedangkan pada tanggal 17 Agustus 1960, Ki Hadjar Dewantara
dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha
putera tingkat I. Atau pada tanggal 20 Mei 1961 Ki Hadjar Dewantara menerima
tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan.42

2.3 AJARAN- AJARAN KI HADJAR DEWANTARA

Mesti diakui bahwa ada begitu banyak ajaran Ki hadjar Dewantara, di


antaranya bisa disebutkan ada yang bersifat konsepsional, petunjuk operasional
praktis, dan fatwa atau nasehat.

42
Irna dan H.N. Hadi Soewito, Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan (Jakarta: Balai
Pustaka, 1985), hlm. 132.

21
2.3.1 Konsep tentang Kepemimpinan

2.3.1.1 Demokrasi dan Kepemimpinan

Demokrasi dan kepemimpinan merupakan wujud demokrasi yang


dilandasi oleh jiwa kekeluargaan, dan sejiwa dan selaras dengan Demokrasi
Pancasila. Demokrasi sangat memperhatikan unsur kemerdekaan yang mengenal
batas, yaitu tertib damainya kehidupan bersama, dan juga menolak kekuasaan
mutlak (otoriter). Setiap permasalahan diselesaikan dengan cara musyawarah
untuk mendapatkan kesepakatan bersama.43

2.3.1.2 Trilogi Kepemimpinan

Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani
merupakan trilogi Ki Hadjar Dewantara di kalangan pendidikan. Trilogi ini
merupakan perangkat pendidikan dalam melaksanakan tugas pendidikan yang
berjiwa kekeluargaan. Namun dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan
telah menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, sebagai sarana mengatur
tata kehidupan bersama, baik di kalangan Pemerintah, TNI/Polri, maupun
masyarakat sipil.44

2.3.2 Konsep tentang Kebudayaan

Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan merupakan buah dari


keadaban manusia. Dalam kebudayaan terkandung sikap keluhuran dan
keindahan, etis dan estetis yang umumnya ada dalam kehidupan manusia.
Kebudayaan itu timbul dari hasil perjuangan manusia, yakni perjuangan terhadap
segala kekuatan alam yang mengelilinginya dan juga segala pengaruh zaman.
Manusia selalu berusaha untuk melawan segala kekuatan alam dan pengaruh
zaman yang membatasi usahanya untuk mencapai kebahagiaan hidup, baik lahir
maupun batin.45 Perlawanan yang dilakukan secara terus-menerus akan
menghasilkan satu-kesatuan kebudayaan yang membawa kesejahteraan bagi
semua masyarakat dalam suatu bangsa.

43
Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 171.
44
Ibid., hlm. 171-172.
45
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 65.

22
Ki Hadjar Dewantara juga mengemukakan bahwa semboyan Bhineka
Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) merupakan landasan atau cerminan
dari kebudayaan Indonesia. Beragam pulau dengan segala jenis keanekaragaman
suku, ras, dan agama dipersatukan dalam satu-kesatuan negara Republik
Indonesia. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang terbuka terhadap
kebudayaan lain, yang menerima segala bentuk masukan yang bernilai, baik yang
lama maupun yang baru, juga yang berasal dari luar bangsa. Akan tetapi
kebudayaan yang diterima itu harus sesuai dengan kekhasan serta kepribadian
bangsa Indonesia, dengan pedoman dasarnya adalah Pancasila. Hal ini bertujuan
untuk memperkaya dan mengembangkan kebudayaan bangsa ini ke arah yang
lebih baik.46

2.3.3 Konsep tentang Politik

Ki Hadjar Dewantara mempunyai peran yang sangat besar dalam bidang


politik. Hal ini terlihat dengan jelas dalam upaya-upaya yang dilakukannya dalam
perjuangan melawan penjajah kolonial Belanda. Dewantara berjuang melawan
segala bentuk penindasan dan penjajahan yang menyengsarakan masyarakat
dengan suatu tujuan menuju kemerdekaan dan kebebasan.

Upaya Ki Hadjar Dewantara dalam membebaskan bangsa ini dimulai


ketika dia aktif di seksi propaganda Budi Utomo. Dewantara bertugas untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia saat itu akan
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Perkenalannya dengan Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo, membuat
mereka mendirikan Indische Partij, partai politik yang beraliran Nasionalisme
Indonesia yang bertujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka. 47 Mereka kemudian
berusaha untuk mendaftarkan organisasi tersebut agar memperoleh status badan
hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi pemerintahan Belanda
menolaknya dengan alasan bahwa organisasi ini dapat membangkitkan rasa

46
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian II: Kebudayaan (Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011), hlm.
93-97.
47
Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1982),
hlm. 70-71.

23
nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintahan
kolonial Belanda.

Melalui berbagai perjuangannya, Dewantara kemuadian diangkat sebagai


perintis Perjuangan Kemerdekaan, sebagai Perwira Tinggi, sebagai Mahaputra
Tingkat I, sebagai Pahlawan Nasional, dan juga sebagai Bapak Pendidikan
Nasional pertama bagi seluruh bangsa Indonesia.48

2.4 PENGHARGAAN YANG DIPEROLEH KI HADJAR


DEWANTARA

2.4.1 Bapak Pendidikan Nasional dan Pergerakan Nasional

Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh


dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang diperingati pada
tanggal kelahirannya 2 Mei, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959.49

2.4.2 Doctor Honoris Causa

Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa


dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, ia meninggal dunia pada tanggal
28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak
penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara.50

Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar


Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-
risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar Dewantara

48
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. XIII.
49
Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 179.
50
Ibid.

24
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. 51

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai


penggagas dan pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Tiga
semboyannya yang terkenal: Ing Ngara Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu
menjadi teladan (contoh yang baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu
membangun semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu mendorong
orang-orang dan pihak-pihak yang dipimpinnya. Pendidikan Taman Siswa yang
dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara didasarkan atas prinsip atau slogan di atas,
karena seorang guru atau pun orang tua harus menjadi teladan, lalu ketika di
tengah-tengah anak harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip
tutwuri dandayani, akan memberikan anak kondisi yang efisien dan efektif untuk
bertumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya. Ketiga semboyan ini juga
menjadi pilar penopang dalam suksesnya seorang guru dalam menuntaskan
pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan keteladanan (budi pekerti) sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Perkembangan yang tidak
hanya dilihat dari jasmaninya, karena perkembangan jasmani tanpa diimbangi
dengan keteladanan (budi pekerti) dapat berdampak buruk terhadap
perkembangan manusia, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia yang
sombong dan serakah.52

Secara mendalam Ki Hadjar Dewantara tidak hanya sepakat dengan sistem


pendidikan yang diwariskan oleh kolonial Belanda, orientasi pendidikan yang
diwariskan tersebut hanya pada segi kognitif (penalaran) tanpa melihat segi yang
lain, yaitu pendidikan keteladanan (budi pekerti/akhlak). Produk sistem
pendidikan tersebut melahirkan manusia yang sombong, manusia yang tidak
mempunyai perangai yang baik. Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa
pembentukan moral yang baik merupakan tugas dari pendidikan teladan (akhlak).

51
Ibid.
52
Ibid., hlm. 180-181.

25
Dengan keteladanan dari seorang pendidik, anak didik diharapkan mampu
menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa. 53

Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan. Hal yang
utama adalah bagaimana peserta didik memiliki budi pekerti yang mulia yang
merupakan tujuan utama dalam pendidikan. Pendidikan tidak hanya fokus pada
satu aspek semata, melainkan pada seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian
peserta didik akan menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan
kecerdasannya untuk mengintimidasi orang lain.

2.5 CATATAN KRITIS

Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia


tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat
dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan
ketertiban yang bersifat paksaan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode
pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak
memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa
timur. Bangsa yang hidup dalam nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa,
hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan
dalam tutur kata dan tindakan. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan
yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni: Ing Ngara Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang mempunyai arti ketika berada
di depan harus mampu menjadi teladan (contoh yang baik), ketika berada di
tengah-tengah harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di
belakang harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak yang
dipimpinnya.

Kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan tidaklah


berlebihan kalau Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai pejuang kemanusiaan di
Indonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk
manusia di Indonesia dengan perjuangan yang begitu besar. Perlawanan terhadap
pemerintahah kolonial merupakan bukti bahwa Ki Hadjar Dewantara sangat

53
Ibid.

26
memperhatikan sistem pendidikan di Indonesia. Semuanya itu dilakukannya demi
mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun kesadaran manusia di
Indonesia akan hak-haknya. Pada pembahasan selanjutnya kita akan sama-sama
melihat perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan di Indonesia
termasuk juga konsep dan idealisme pendidikan yang diterapkannya.

27
BAB III

KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA

Masyarakat abad ini tentunya tidak terlepas dari sebuah perubahan. Arus
perkembangan akibat globalisasi tidak dapat terbendung lagi. Dampak dari
globalisasi tidak hanya dirasakan oleh beberapa kalangan, melainkan di seluruh
lapisan masyarakat. Perkembangan akibat adanya globalisasi tidak hanya
menyentuh satu aspek kehidupan, melainkan juga seluruh aspek kehidupan. Mulai
dari aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi hingga pendidikan.

Perubahan di setiap lini kehidupan inilah yang mendorong setiap pribadi


manusia untuk mampu mengikuti serta bisa menjadi bagian dari perubahan
tersebut. Hal ini juga terjadi dalam potret pendidikan di Indionesia. Kemajuan ini
tidak terlepas dari suatu perjuangan yang panjang. Mulai dari masa penjajahan
sampai pada saat ini. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan adanya landasan
yang mampu memberikan ciri khas sesuai dengan falsafah kehidupan bangsa.

Ki Hadjar Dewantara adalah sosok pemikir dan penggiat pendidikan.


Pemikiran-pemikiran dan perhatiannya terhadap dunia pendidikan menjadikannya
tokoh peletak dasar pendidikan Bangsa Indonesia. Konsep pendidikan holistik
yang ingin diuraikan penulis menurut pemikiran Ki Hadjar Dewantara yaitu
pendidikan yang tidak hanya memperhatikan aspek intelektualitas semata,
melainkan segala aspek kehidupan. Seperti kebebasan berpendapat, kesetaraan
dalam memperoleh pendidikan dan berbudi pekerti. Pada kesempatan ini penulis
sekali lagi menegaskan bahwa konsep pendidikan holistik yang dimaksud yaitu
konsep pendidikan yang dapat memerdekakan seseorang secara utuh.

28
3.1 POTRET PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN PEMERINTAHAN
KOLONIAL

3.1.1 Pendidikan pada Masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua)


periode dasar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan
pada masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang
merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia
dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.54

Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum
“inlanders”55 ditangani oleh Gereja Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi
VOC. Mereka inilah yang membiayai kegiatan pendidikan di Indonesia, bukan
dari pemerintahan Belanda. Pendidikan, termasuk pendirian sekolah-sekolah baru
yang dikembangkan oleh VOC pun pada awalnya berbasis agama. Kegiatan
pendidikan yang dilakukan lebih terpusat pada daerah yang struktur politiknya
lemah, misalnya di Ambon dan Banda.56

Pada tahun 1607 sekolah pertama didirikan di Batavia. Itu pun hanya
sekolah berbasis agama Kristen yang pencapaiannya terbatas pada kemampuan
memahami Bible, kitab suci agama Kristen. Oleh karena itu, jika ada pendidikan
lanjutan, pendidikan tersebut hanya untuk mendidik guru dan pastor.57

Pada abad ke-19 atau tepatnya setelah VOC bubar pada tahun 1799,
pendidikan di Indonesia ditangani langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dibubarkannya VOC di Indonesia mendorong berubahnya sistem pemerintahan
dari Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem Pemerintahan Tidak Langsung ke
Sistem Pemerintahan Langsung). Hal ini berdampak pada perubahan di mana
kebijakan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.58

54
Afifuddin, Sejarah Pendidikan (Bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29.
55
Inlanders yaitu penduduk tanah jajahan yang ditangani oleh Nederlands Zendelingen
Genootschap atau NZG
56
Dedi Supriadi (Ed), Guru di Indonesia:Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak Zaman
Kolonial hingga Era Refomasi (Jakarta: Depdikbud, 2003), hlm. 6-7.
57
Ibid., hlm. 7.
58
Ibid., hlm. 8.

29
Pada tahun 1808, Raja Lodewijk memerintahkan Deandels, seorang
Gubernur Belanda untuk mengarahkan bupati-bupati di Jawa agar mengorganisir
sekolah-sekolah demi anak-anak pribumi. Tujuannya yaitu menerapkan kurikulum
yang mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak dapat bertumbuh
menjadi anak Jawa yang baik. Deandels kemudian mendirikan sekolah Bidan di
Jakarta dan sekolah Ronggeng di Cirebon. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil,
bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan
kerja paksa (rodi).59

Pada tahun 1842, menteri jajahan memberikan perintah agar Gubernur


Jenderal berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi
negerinya. Setiap Gubernur Jenderal berjanji bahwa ia akan memajukan
kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap usahanya. Prinsip yang masih
dipertahankan adalah Hindia Belanda sebagai negeri yang direbut harus memberi
keuntungan kepada negeri Belanda sebagai tujuan pendidikan itu.60

Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817
yang segera diakui oleh pembukaan sekolah lain di kota Jawa. Prinsip yang
dijadikan pegangan tercantum di tahun 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka
di tiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda. Pada tahun 1820, Gubernur
Jenderal Van der Capellen (1819-1823) menginstruksikan kepada regen-regen
untuk menyediakan sekolah bagi penduduk pribumi. Hal ini bertujuan untuk
mengajarkan anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang
baik. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah-sekolah tersebut hanya
sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Anjuran Gubernur Jenderal itu
tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif. 61

Pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan


karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa
berbahasa Belanda. Restrukturisasi itu terlihat misalnya dengan memberlakukan
sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan
59
Budiardjo Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.
56.
60
Jalaludin, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai, 1990), hlm. 30.
61
Afifuddin, op. cit., hlm. 105.

30
priyayi dengan pelajaran Bahasa Belanda. Sedangkan sekolah kelas dua (ongko
loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran Bahasa
Belanda.62 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peraturan pendidikan lebih
dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut,
diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah
ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang
merupakan kaum elite.63 Menurut Ary Gunawan sebagaimana diuraikan oleh
Rifa’i, dalam prinsip kebijakan pendidikan kolonial, pemerintah kolonial berusaha
untuk tidak memihak salah satu agama tertentu. Hal ini dibuat agar pendidikan
menghasilkan para lulusan yang siap bekerja, terutama demi kepentingan kaum
penjajah. Selain itu sistem persekolahan juga disusun berdasarkan stratifikasi
sosial yang ada dalam masyarakat. Pendidikan bagi kaum kolonial pertama-tama
diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
Terakhir bagi kaum kolonial dasar pendidikan untuk masyarakat Indonesia waktu
itu adalah dasar pendidikan Barat yang berorientasi pada pengetahuan dan
kebudayaan Barat.64

Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada anak-anak


bangsawan bumiputra serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial. Hal ini
bertujuan agar dengan pendidikan seperti itu kelak akan dihasilkan kader
pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan merupakan
kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Mereka akan
menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk
memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. 65

Pada masa ini sekolah-sekolah diperbanyak. Namun demikian, masih ada


perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputra dengan anak-anak Belanda, yaitu
diturunkannya uang sekolah hanya untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia
diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu dengan dalih yang dibuat-

62
Rusdi Kantrapawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1999), hlm. 86.
63
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Cetakan ke-3 (Jakarta: Serambi, 2007),
hlm. 21.
64
Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 59.
65
Ibid., hlm. 63.

31
buat. Akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-
sekolah Belanda.66

Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganggu oleh adanya


usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak yang
memeluk agama Nasrani. Alasannya adalah adanya kesulitan finansial yang
dihadapi orang Belanda sebagai akibat dari perang Diponegoro (1825-1830) yang
mahal dan menelan banyak korban serta peperangan antara Belanda dan Belgia
(1830-1839).67 Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja Belanda meninggalkan
prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van der Bosch,
bekas Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika Selatan, untuk
memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi kolonial. Ia membawa
ide penggunaan kerja paksa (rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh
usaha maksimal. Usaha tersebut kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau
tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang
diperlukan di pasaran Eropa.68

Van den Bosch mengerti bahwa untuk memperbaiki pembangunan


ekonomi bagi Belanda dibutuhkan banyak tenaga ahli. Setelah tahun 1848
dikeluarkan peraturan yang menunjukkan pemerintah lambat laun menerima
tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia. Hal ini
timbul dari hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal
yang lebih menguntungkan terhadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya
penyalahgunaan sistem tanam paksa merupakan faktor dalam perubahan segala
pandangan yang ada. Peraturan pemerintah tahun 1854 menginstruksi Gubernur
Jenderal untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak
pribumi. Peraturan tahun1863 mewajibkan Gubernur Jenderal untuk
mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera
pada umumnya menikmati pendidikan.69

66
Ibid., hlm. 65.
67
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 30.
68
Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 112.
69
SL der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940 (Jakarta: Depdikbud, 1977), hlm. 97.

32
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putra. Hal ini
disebabkan oleh hasil sekolah-sekolah bumi putra yang kurang memuaskan
pemerintahan kolonial. Hal ini disebabkan oleh isi rencana pelaksanaannya terlalu
padat. Di samping itu di kalangan pemerintah sendiri mulai timbul perhatian pada
rakyat jelata. Mereka sadar bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan
hanya lapisan atas. Juga adanya keyakinan bahwa masyarakat Indonesia
mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan, yaitu lapisan atas dan
lapisan bawah.70

Namun dalam perjalanan sejarahnya ditunjukkan bagaimana Belanda


menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi
pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada tahun 1882,
Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran
agama di pesantren-pesantren. Pada tahun 1925, Belanda mengeluarkan peraturan
bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada tahun
1925 juga, terbit Goeroe-Ordonnantie71 yang menetapkan bahwa para kiai yang
akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda.
Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan
yang diselenggarakan oleh para pengikut agama Islam. 72

Pada tahun terakhir di masa pemerintahan Belanda di Indonesia, baru


dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai
pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Ide-ide Deandels pada masa
sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi
penduduk jajahan tidak dilanjutkan lagi. Hal tersebut sangat jelas karena dalam
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan sangatlah sedikit yang membahas masalah
pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum
tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang

70
Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hlm.
212.
71
Persyaratan guru Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pengajaran agama dapat diberikan
harus izin tertulis dari pihak penguasa dan harus ada daftar muridnya.
72
Muhammad Rifa’I, op. cit., hlm. 56.

33
Belanda.73 Bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan
Gubernur Jenderal Van der Capellen.

Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang


tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga
buruh kasar kaum modal Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan
dididik untuk tenaga-tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan
lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga.74

Pada tahun 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu


pendidikan dan pengajaran yang makin diarahkan kepada kepentingan penduduk
bumiputra. Secara tidak langsung pengaruh Politik Etis terutama di bidang
pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan
pergerakan Indonesia.75 Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan
bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh
pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat Indonesia.

3.1.2 Sistem Persekolahan pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Pada umumnya sistem pendidikan, khususnya sistem persekolahan


didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau kelas sosial yang
ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, yaitu: Pendidikan
Rendah (Lager Onderwijs) pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan
sekolah dasar menggunakan sistem pokok, yakni sekolah rendah dengan bahasa
pengantar Bahasa Belanda. Sekolah-sekolah itu adalah sekolah rendah Eropa,
sekolah Cina Belanda, dan sekolah Bumi Putera Belanda HIS.

Sekolah rendah Eropa adalah sekolah rendah untuk anak-anak keturunan


Eropa atau anak-anak keturunan Timur asing atau Bumi Putera dari tokoh-tokoh
terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun dan didirikan pada tahun 1818.
Sedangkan Sekolah Cina Belanda atau HCS (Hollands Chinese School) adalah
73
Muhammad Said dan Junimar Affan, Mendidik dari Zaman Ke Zaman (Bandung: Jemmars,
1987), hlm. 87.
74
Prof. Dr. S. Nasution, op. cit., hlm. 130.
75
Ibid., hlm. 135.

34
suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan timur asing, khususnya
keturunan Cina. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1908 dan lama
sekolahnya tujuh tahun. Di samping itu sekolah Bumi Putra Belanda HIS
(Hollands Inlandse School) merupakan sekolah rendah untuk golongan penduduk
Indonesia asli. Lamanya sekolah ini tujuh tahun dan pertama kali didirikan pada
tahun 1914.76

Di samping sistem sekolah dengan bahasa pengantar dengan bahasa


Belanda, ada juga sistem sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah.
Sekolah-sekolah itu adalah Sekolah Bumi Putra kelas II, Sekolah Rakyat, Sekolah
Lanjutan, dan Sekolah Peralihan.

Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede Klasee) merupakan sekolah yang


disediakan untuk golongan bumi putra. Lamanya pendidikan yang ditempuh yaitu
tujuh tahun. Sekolah ini pertama didirikan pada tahun 1892. Sedangkan sekolah
Rakyat (Volksschool) disediakan bagi anak-anak bumi putra. Lamanya pendidikan
yang ditempuh yaitu tiga tahun. Pertama kali didirikan pada tahun 1907.
Sementara itu sekolah Lanjutan (Vorvolgschool) merupakan lanjutan dari sekolah
Rakyat dan lamanya pendidikan yang ditempuh yaitu dua tahun. Sekolah ini juga
diperuntukkan bagi anak-anak bumi putra dan didirikan pada tahun 1914.
Sedangkan sekolah Peralihan (Schakelschool) merupakan sekolah peralihan dari
sekolah desa (tiga tahun) ke sekolah dasar dengan Bahasa pengantar Bahasa
Belanda. Lama pendidikannya lima tahun dan diperuntukkan bagi anak-anak bumi
putra.77

Di samping sekolah dasar di atas masih terdapat sekolah khusus untuk


untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922
dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar
khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula
didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1876, tetapi kemudian diintegrasi ke
ELS atau HIS.78 Sekolah pendidikan Lanjutan atau pendidikan menengah khusus

76
Afifuddin, op. cit., hlm. 99-101.
77
Najamuddin, Perjalanan Pendidikan di Tanah Air (Bandung: Rineka Cipta, 2005), hlm 11.
78
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), hlm. 29.

35
yang dimaksud adalah MULO (Meer Uit gebreid Lager School), AMS (Algemene
Middelbare School), dan HBS (Hoobere Burger School). MULO adalah sekolah
lanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar Bahasa Belanda. Pendidikan
yang ditempuh tiga sampai empat tahun dan didirikan pada tahun 1914.
Sementara AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum
kelanjutan dari MULO. Golongan Berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi
golongan bumi putra dan Timur asing. Pendidikan yang ditempuh selama tiga
tahun dan didirikan pada tahun 1915. Sedangkan HBS (Hoobere Burger School)
atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengah kelanjutan dari ELS
yang disediakan untuk golongan Eropa. Sekolah ini didirikan pada tahun 1860.79

Pendidikan kejuruan sebagai pelaksanaan politik etika pemerintahan


Belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah
kejuruan yang ada adalah sekolah pertukangan, sekolah teknik, pendidikan
dagang, dan pendidikan pertanian.80

Selain itu karena terdesak oleh tenaga ahli Pendidikan tinggi (Hooger
Onderwijs) akhirnya mendirikan sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge
School), sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge School), dan pendidikan
Tinggi Kedokteran.81

3.1.3 Pendidikan Pada Zaman Jepang

Pendidikan masa Jepang didorong dengan semangat untuk


mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana untuk
membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, daratan China, kepulauan
Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah
kepemimpinan Jepang. Jepang mulai melakukan ekspansi ke berbagai negara
sekitarnya termasuk Indonesia dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran
bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”. Dengan konteks

79
Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1995),
hlm. 56.
80
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm.
110.
81
Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Mandar
Maju, 1990), hlm. 78.

36
sejarah dunia yang menuntut dukungan militer yang kuat, pendidikan Jepang di
Indonesia pun diterapkan berdasarkan kepentingan ini. Pendidikan di masa
pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan
militer Jepang dalam peperangan pasifik. 82 Pada Februari 1942, Jepang
menyerang Sumatra, Jawa, dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret
1942. Sejak itulah Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan
yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Kebijakan-kebijakan itu adalah menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan sebagai ganti bahasa Belanda.
Terdapat juga integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem
pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.83

Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan The Triple Movement yang tidak
menyertakan wakil tokoh pribumi. Jepang kemudian merekrut Ki Hadjar
Dewantara sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang
mengambil tenaga pribumi dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem
pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize.
Karena itulah, di Indonesia mereka mencoba format pendidikan yang
mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Patut dicatat pada menjelang akhir
masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem
Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang)
untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi
Indonesia Raya. Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki
keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi
pokok dalam latihan tersebut antara lain indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu,
Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran Jepang, bahasa, sejarah dan adat-istiadat
Jepang, ilmu bumi dengan perspektif geopolitis, olahraga dan nyanyian Jepang. 84

Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan setiap murid


sekolah untuk melakukan rutin beberapa aktivitas seperti menyanyikan lagu

82
Afifuddin, op. cit., hlm. 54.
83
Ibid., hlm. 55.
84
H. A. R. Tilaar, Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995 (Jakarta:
Gramedia Widiasarana, 1995), hlm. 188.

37
kebangsaan Jepang setiap pagi; mengibarkan bendera Jepang dan menghormati
kaisar Jepang setiap pagi; setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa,
bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; melakukan senam Jepang setiap pagi;
melakukan latihan-latihan fisik dan militer; menjadikan Bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan85

Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya


sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan
bahasa-bahasa Eropa lainnya. Sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti
dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang sekolah
swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah
swasta harus mengajukkan izin untuk dapat beroperasi. Kebijakan ini
menyebabkan kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari
aspek kelembagaan dan operasionalisasi.

Semua perguruan tinggi masa pemerintahan Jepang ditutup walaupun


kemudian ada beberapa yang dibuka seperti perguruan tinggi kedokteran di
Jakarta tahun 1943, perguruan tinggi teknik di Bandung, perguruan tinggi
pamongpraja di Jakarta, dan perguruan tinggi kedokteran hewan di Bogor.
Perguruan-perguruan tinggi ini berada di bawah pengawasan Jepang. Baru pada
tanggal 8 Juli 1945 berdirilah sekolah tinggi Islam di Jakarta.86

3.2 KESADARAN PROGRESIF KI HADJAR DEWANTARA

Kebangkitan kesadaran dan emansipasi masyarakat terhadap


ketidakseimbangan yang dibuat oleh pihak penjajah menjadi awal yang baik untuk
melawan sistem yang sudah ada. Perjuangan politik merupakan ranah pilihan
untuk mengubah tatanan yang tidak adil tersebut. Dalam tahapan perjuangan dan
pergerakan itu, identitas dan tujuan baru dicapai yaitu, kebangsaan, kebebasan dan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, pencapaian itu tidak hanya diperoleh
melalui perjuangan politik. Sumbangsih yang signifikan dan relevan juga
diberikan oleh perjuangan di bidang pendidikan.

85
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2000), hlm. 54.
86
Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: CV Alfabeta, 2004), hlm.
18.

38
3.2.1 Politik Kemajuan dan Kesetaraan

Salah satu bagian penting politik kolonial yang dipertahankan di koloni


adalah politik diskriminasi yang membedakan kedudukan dan peran antara
penjajah dan terjajah. Diskriminasi itu dipertahankan untuk mendukung
kedudukan dan peran sosial-politik kolonial yang menghegemoni semua bidang
kehidupan kolonial.87 Pemerintahan kolonial yang diidentifikasi sebagai penguasa
otomatis mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada kaum jajahan,
baik secara material maupun spiritual. Konsep inilah yang mendukung perasaan
superioritas sebagai penjajah, pemerintah kolonial berhak mengatur inferoritas
kaum jajahan.

Ki Hadjar Dewantara mengembangkan pemikiran politiknya untuk


mendapatkan sesuatu yang dipertahankan oleh pemerintahan kolonial. Pemikiran
politik Ki Hadjar Dewantara bukan hanya dalam bidang politik melulu tetapi juga
sosial dan kultural.

Diskriminasi terjadi karena adanya perbedaan fisik dan kultur. Kaum


penjajah menganggap diri sebagai ras Arya yang memiliki peradaban tinggi di
Eropa. Hal ini berdampak pada diskriminasi terhadap kaum yang memiliki ras
lebih rendah seperti bangsa Indonesia. Keinginan untuk memusnahkan dan
menghancurkan ras yang lebih rendah begitu tinggi bagi para penjajah.
Kolonialisme sering berkedok mengadabkan bangsa lain meski sebenarnya berisi
pemerasan, pembedaan, dan penguasaan. Bangsa Barat bersiteguh mengadakan
perlawanannya ke dunia Timur merupakan mission sacree atau tugas suci untuk
mengadapkan bangsa-bangsa Timur termasuk Indonesia.88 Namun, dalam
prakteknya pemerintah kolonial dengan aparat kolonialnya berperilaku
menyimpang dari cita-cita awal untuk mengadapkan bangsa Timur. Praktek-
praktek diskriminasi, kekerasan, penekanan, kecurangan, korupsi dan sejenisnya
sangat tidak mengenakkan perasaan kaum terjajah. Ketidakpuasan menyelimuti

87
Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan: kenang-
kenangan Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Endang, 1952), hlm. 108.
88
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, 1908-1945 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm.
104.

39
semua perasaan etnik-etnik di koloni yang menginginkan kehidupan setara antara
penjajah dan kaum terjajah baik sosial maupun politik.89

Dari latar belakang kehidupan sosial-politik inilah, Ki Hadjar Dewantara


mempunya pikiran yang jauh ke depan yaitu bagaimana caranya orang-orang
Indonesia yang terpinggirkan mendapat kesempatan untuk memperoleh kesetaraan
secara sosial-politik dalam masyarakat kolonial. Memang secara tidak langsung di
lingkungan Pakualaman sudah terbentuk cultuur-milieu berupa kultur yang maju
yang didukung oleh para elite Pakualaman.90

Sebagai contohnya adalah para misionaris Katolik yang membangun


persekolahan di Flores. Mereka berusaha untuk membangun sekolah bukan karena
misi Gereja sejak awalnya melainkan demi kepentingan tertentu. Kepentingan itu
kemudian dirumuskan dalam ungkapan: membebaskan masyarakat dari
keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan.91 Warta pembebasan ini
mengandung semangat untuk membebaskan seluruh masyarakat Indonesia dari
keterbelakangan dan kebodohan. Mencari kesetaraan dalam masyarakat kolonial
yang mempunyai unsur demokrasi dalam politik dan mendorong kesejahteraan
bagi masyarakat kecil pada umumnya merupakan upaya yang ingin dicapai oleh
Ki Hadjar Dewantara. Salah satu cara untuk bisa menghancurkan struktur
masyarakat kolonial yang rigid yaitu dengan perjuangan di bidang pendidikan.
Demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia, pendidikan harus
ditingkatkan untuk melawan sistem kaum penjajah.

3.2.2 Perlawanan Terhadap Kolonialisme

Kepincangan dalam masyarakat kolonial adalah kuatnya diskriminasi


sosial dan politik. Usaha mempertahankan diskriminasi ini dimaksudkan agar
terjaga kewibawaan kolonial dan membuat distansi dengan masyarakat pribumi
tetap terjaga. Dengan kata lain, diskriminasi melanggengkan penjajahan. Sistem
kolonialisme yang menjauhkan antara penjajah dan terjajah tetap terpelihara

89
Ibid., hlm. 107.
90
Takashi Shiraishi, The Age In Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (London: Comell
University Press, 1990), hlm. 38.
91
Eduard Jebarus, Sejarah Persekolahan di Flores (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 166.

40
sehingga mobilitas vertikal kaum pribumi tetap terkontrol. Komunikasi sosial-
politik antara penjajah dan terjajah sangat renggang dan bahkan terjadi jurang
yang dalam sehingga melanggengkan sistem pemerintahan tidak langsung, artinya
masyarakat pribumi tetap diperintah penguasa tradisional, sehingga penguasa
kolonial cukup menghubungi penguasa bumiputra dalam menjalankan
pemerintahan kolonial.92

Dengan melintasi berbagai rintangan dan tantangan, sesuai dengan


jamannya, sesuai pula dengan taktik dan perhitungannya, Ki Hadjar Dewantara
menggunakan seluruh masa hidupnya untuk perjuangan, dengan menanggung
segala akibat dan konsekuensinya. Perjuangan politik yang dilakukan oleh Ki
Hadjar Dewantara untuk melawan pemerintahan kolonial diuraikan dalam bagian-
bagian berikut:

3.2.2.1 Seorang Jurnalis

Ki Hadjar Dewantara mengawali kiprahnya sebagai seorang jurnalis muda


yang ulet dan ia memulai karir perjuangannya di bidang jurnalistik.
Kemampuannya sebagai jurnalis ia gunakan sebagai sarana untuk memberikan
pendidikan politik kepada rakyat dan mencurahkan rasa hati serta cita-cita
perjuangannya.

Mula-mula di Yogyakarta, dia sebagai pembantu harian Sedyo Tomo dan


surat kabar bahasa Belanda Midden Java di Semarang, kemudian sebagai
koresponden De Expres di Bandung yang terbit mulai 1 Maret 1912 di bawah
pimpinan Douwes Dekker. Selain De Expres di Bandung, Ki Hadjar Dewantara
menjadi pembantu utusan Hindia di Surabaya di bawah pimpinan Tjokroaminoto
dan membantu Tjahaya Timur di Malang di bawah pimpinan Djojosudiro,
kemudian ia turut mengasuh majalah Het Tijdschrift yang terbit di Bandung di
bawah pimpinan Douwes Dekker. Kedua surat kabar De Express dan Het
Tijdschrift menjadi pelopor lahirnya partai politik Indische Party. Tulisannya
yang pertama dalam harian De Express berjudul: ”Kemerdekaan Indonesia,”

92
Prof. Dr. Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 14-15.

41
mengemukakan cita-cita menuju Indonesia merdeka.93 Jurnalistik baginya
merupakan media bagi alat dan lapangan perjuangannya, tempat mencurahkan
rasa hati dan semangatnya untuk kemerdekaan tanah airnya. Artikel yang dimuat
dalam De Express telah membawa pengaruh luas dalam kehidupan masyarakat,
terutama orang-orang yang bisa baca dan tulis, dan membaca artikel tersebut akan
menambah wawasannya tentang perjuangan kemerdekaan bangsanya. Jurnalis
bagi Ki Hadjar Dewantara dmaksudkan untuk mendidik kaum pribumi lainnya
supaya mengetahui realitas bangsanya yang sedang dijajah. Dengan demikian
akan melahirkan suatu kesadaran untuk membela tanah air.

3.2.2.2 Tokoh Indische Partij

Politik etis telah melahirkan kaum cerdik pandai. Wawasan mereka telah
terbuka berkat pendidikan model Barat. Kesadaran akan nasionalisme telah lahir.
Pengalaman masa lampau, bahwa perjuangan dengan mengangkat senjata yang
bergantung pada satu pemimpin dan tidak memiliki organisasi yang teratur
dengan mudah dilibas oleh para penjajah. Untuk itu mereka sekarang telah
mempunyai konsep bahwa perjuangan harus dirubah dari cara tradisional dengan
cara yang modern. Hanya dengan organisasi yang modern dan mengedepankan
akal sehat kemerdekaan Indonesia bisa tercipta.

Pada tanggal 6 September 1912 Ki Hadjar Dewantara bersama dengan dr.


Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij. Dalam
memperjuangkan cita-citan mereka, ketiga pemimpin tersebut mempunyai
semboyan: Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Cita-cita mereka adalah
menciptakan Indonesia merdeka dan berdaulat.94 Ketiganya mempunyai
pemikiran dan pandangan yang hampir sama dan dapat saling memahami satu
sama lain. Kapabilitas mereka juga tidak dapat diragukan lagi. Mereka sama-
sama anti terhadap penjajah yang menindas rakyat tanpa peri kemanusiaan.

Tujuan Indische Partij ialah untuk membangkitkan patriotisme semua


Indiers terhadap tanah air, yang memberi lapangan hidup kepada mereka, agar

93
Mochammad Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1963), hlm. 29.
94
Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 38.

42
mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan
untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat
yang merdeka. Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju
kemerdekaan Indonesia. Indonesia sebagai “National Home” semua orang
berketurunan bumiputra, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya, yang mengaku
Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Semangat ini pulalah yang
menyatakan Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia.
Cita-cita Indische Partij akan berakar dalam dan membantu mempertajam fokus
akan identitas nasional baru dari Hindia Timur.95

Dalam politiknya, Indische Partij tidak mau berkompromi dengan pihak


pemerintahan kolonial. Ki Hadjar Dewantara sebagai master mind dari Indische
Partij dengan berapi-api mengobarkan nasionalisme. Dengan menggunakan rasa
supra-lokalisme yang baru tumbuh, Ki Hadjar Dewantara melakukan lompatan
atau gebrakan pertama dalam perjuangan politik yaitu dengan cara melakukan
penyusunan sebuah konsep masyarakat kepulauan Hindia Timur sebagai satu
kesatuan secara politis dan bukan dari segi kedudukan geografis. Langkah Ki
Hadjar Dewantara ini didukung oleh teman seperjuangannya yaitu Cipto
Mangunkusumo dengan menulis sebuah artikel: “Saya merasakan tugas suci
untuk bekerjasama memulihkan tanah air dan bangsa kita yang terpuruk, dan
kalau mungkin, mendirikan kerajaan Hindia yang merdeka dari kerajaan lain,
versi baru kerajaan Majapahit, tentu saja tanpa menyerahkan kekuasaan Negara
kepada satu orang atau satu keluarga.”96 Ki Hadjar Dewantara benar-benar
membangkitkan patriotisme dalam Indische Partij terhadap semua orang Hindia
Timur, tentang tanah air yang memberi mereka makan, dan mereka harus
bekerjasama atas dasar kesetaraan politis untuk mrmbuat tanah air Hindia Timur
berkembang dan bersiap memerdekakan demi rakyat semuanya. Aktivitas Ki
Hadjar Dewantara dalam Indische Partij itu didasarkan atas nama rakyat Hindia
Timur. Ia menyerukan kesetaraan atas semua ras, bersatu dalam sebuah negara
yang utuh tidak terbagi-bagi. Keberaniannya menentang kesewenang-wenangan

95
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Natususanto,Sejarah Indonesia Nasional V
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 188.
96
R. E. Elson,The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan(Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2009), hlm. 22.

43
pemerintahan kolonial dalam wadah Indische Partij, telah membuat gusar pihak
penguasa.

Pemerintahan kolonial merasa khawatir terhadap aktivitas Indische Partij


karena bersifat politik dan mengancam eksistensi pemerintahannya. Pihak
pemerintah tidak memberikan pengakuan legal atas organisasi tersebut karena
dapat membahayakan ketertiban umum. Tidak lama kemudian organisasi Indische
Partij dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Kemudiaan Ki Hadjar Dewantara
bersama dengan tokoh Indische Partij lainnya ditangkap dan diperiksa di kota
Bandung. Dengan ditangkapnya tokoh-tokoh tersebut, maka berakibat pada
ditangguhkannya penerbitan Expres Melayu, edisi bahasa Melayu dari harian
oposisi De Expres yang seyogyanya akan terbit dengan asuhan Ki Hadjar
Dewantara dan Cipto Mangunkusumo sebagaimana telah diumumkan sebelumnya
dan menyebabkan kalangan pemerintahan kolonial menentang dengan kerasnya. 97

Pembelaan Ki Hadjar Dewantara mengenai tuduhan memberontak


terhadap pemerintahan kolonial yaitu bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak bermotif
memberontak karena yakin bahwa suatu pemberontakan pada saat itu akan
mengakibatkan kemunduran bagi rakyat untuk berpuluh-puluh tahun dan tidak
mungkin saat itu menunjuk orang-orang yang kelak akan memegang kemudi
pemerintahan dan mampu mengurus nasib berjuta-juta manusia. Pemberontakan
yang demikian harus matang dan menggunakan persiapan berpuluh-puluh tahun.
Selain itu pemberontakan tidak akan menggunakan gerakan secara terbuka
sebaliknya orang akan mempersiapkan secara diam-diam dan rahasia sementara
gerakan Ki Hadjar Dewantara dilakukan secara terbuka dan mengemukakan
pemikiran mereka secara terbuka dan terang-terangan.98

Menurut Ki Hadjar Dewantara, maksud dari gerakan tersebut hanya untuk


memperdengarkan suara mereka sehingga orang-orang, lebih-lebih yang duduk
dalam Dewan Perwakilan Rakyat akan membicarakan gerakan mereka. Maksud
pendirian gerakan Komite Bumi Putra, untuk turut serta merayakan pesta-pesta
kemerdekaan itu sehingga pada penduduk pribumi tertinggal kesan dan kenang-

97
Ibid., hlm. 27.
98
H. A. H. Harahap & B. S. Dewantara, op. cit., hlm. 25.

44
kenangan yang baik akan perayaan peringatan itu dan berharap disediakan suatu
Badan Perwakilan rakyat. Jadi kemerdekaan yang dimaksudkan ialah
kemerdekaan untuk turut menjalankan pemerintahan melalui suatu Dewan
Perwakilan Rakyat yang di dalamnya kaum pribumi juga memperoleh kursi secara
adil. Namun nyatanya semua anggota itu diangkat oleh pemerintah. Dengan
demikian rakyat tidak diwakili di dalamnya sehingga tidak ada manfaat dan
keuntungan bagi rakyat, dan Ki Hadjar Dewantara merasa wajib mengajukan
protes terhadap rencana itu. Selain itu agar rakyat menjadi melek dan terbuka
hatinya, agar mereka menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, mengangkat
dirinya sejajar dengan golongan-golongan penduduk lainnya.99

Selama mendalami bidang pengajaran dan pendidikan, Ki Hadjar


Dewantara mempelajari gagasan-gagasan pendidikan dari beberapa tokoh
pendidikan dunia. Dari Rabindranath Tagore,dia mendapat gagasan pendidikan
yang mengutamakan pendidikan pengembangan kepribadian anak. Dari
Montessori, dia mendapatkan gagasan pendidikan yang mengutamakan pelatihan
panca indra untuk mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak. Sedangkan dari
Kerschenteiner, dia mendapatkan konsep tentang sekolah frobel yang menekankan
pengembangan angan-angan anak dengan cara mengajari anak berpikir melalui
permainan.100

Semua pengetahuan tentang pengajaran dan pendidikan tersebut, ia


internalisasikan dalam jiwa pemikirannya. Kelak suatu saat akan ia terapkan
dalam pendidikan kaum pribumi.

3.2.2.3 Pendiri Indonesische Persbureau

Keberadaan Ki Hadjar Dewantara di negeri Belanda telah memberi


nuansa baru bagi pergerakan Indische Vereeniging. Pada bulan November 1913,
Ki Hadjar Dewantara mendirikan agen yang dikenal sebagain Indonesische
Persbureau (Biro Pers Indonesia) di Den Haag. Biro ini untuk mengumpulkan dan
menyebarluaskan berita mengenai gerakan politik di Hindia. Hindia Poetra,
99
Ibid., hlm. 91.
100
Suparno Raharjo, Ki Hadjar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi,
2009), hlm. 48.

45
dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai pemimpin redaksinya, mengusung
semboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia!”. Jurnal tersebut dimaksudkan untuk
tidak hanya menjadi jurnal bagi orang-orang Indonesia yang sedang belajar di
Belanda, tetapi juga untuk orang-orang penting di dunia pribumi Hindia, dan
bertujuan mendorong perkembangan harmonis bangsa Hindia. 101

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara sungguh kuat dan berwawasan jauh ke


depan, dan itu tidak hanya di antara saudara sebangsanya. Seperti pemikiran
rekan-rekannya yang sejalan, pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengandung dua
pokok penting dan amat berpengaruh. Pertama, bahwa negara Indonesia yang
merdeka secara politis dari Belanda merupakan perkembangan yang tak
terelakkan, yang pada saat itu hanya disadari oleh Indonesisch Verbond Van
Studeerenden yang membaca tanda-tanda zaman. Kedua, Indonesia yang akan
muncul bakal didasarkan pada pertimbangan nasionalis-humanis, bukan etnis atau
agama.102

Pada tanggal 17 Agustus 1917, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Graaf


Van Limburg Stirum, mencabut hukuman yang telah dikenakan kepada Ki Hadjar
Dewantara sejak tanggal 18 Agustus 1913. Setelah meninggalkan negeri Belanda,
Ki Hadjar Dewantara menerbitkan sebuah karangan yang diberi judul “Kembali
ke Medan Perjuangan.” Dalam karangannya itu Ki Hadjar Dewantara menegaskan
bahwa ia bersama istrinya akan segera kembali ke tanah air untuk melanjutkan
perjuangan dan bukan sekedar menikmati kemenangan atas kemerdekaan dirinya,
sebab apa yang dicita-citakan belum tercapai yakni kemerdekaan bangsa.103

Kebebasan setelah menjalani masa hukumannya tidak membuat Ki Hadjar


Dewantara larut dalam euforia kebebasan. Dengan pengalaman yang diperoleh
dari negeri Belanda, ia akan tetap berjuang demi kemerdekaan bangsanya. Kalau
sebelumnya ia bergerak dalam kancah politik, akan tetapi dengan pengetahuan
dan wawasan barunya, ia kemudian berjuang dalam kancah pendidikan dengan
mendirikan sekolah Taman Siswa. Dengan pendidikan yang diperuntukan bagi

101
R. E. Elson, op. cit., hlm. 34.
102
Ibid., hlm. 37.
103
H.A.H. Harahap & B.S. Dewantara, op. cit., hlm. 157.

46
kaum pribumi akan menghasilkan pemuda-pemudi yang bisa membaca dan
menulis. Perkembangan selanjutnya membuka kesadaran bagi kaum pribumi
tentang nasib bangsanya yang sedang dijajah. Kemudian mereka akan berjuang
untuk mengusir penjajah. 104

3.2.3 Kiprah Perguruan Taman Siswa

Perlawanan terakhir yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk


menjatuhkan Pemerintah Kolonial adalah dengan mendirikan Perguruan Taman
Siswa. Pada masa itu, putra-putri Indonesia yang disekolahkan di HIS dididik
dengan sistem pendidikan Pemerintah Kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan
dan kepentingan mereka. Konten pelajaran-pelajaran yang diberikan merupakan
upaya secara sistematis agar generasi Indonesia melupakan dan merendahkan diri
dan martabat bangsanya sendiri.

Ki Hadjar Dewantara memahami betul ke mana arah pendidikan


pemerintahan Kolonial itu. Maka ia bercita-cita meningkatkan kesadaran generasi
muda untuk menegaskan derajat dan martabat bangsanya. Ia yakin, jika generasi
Indonesia pada masa itu cerdas maka mereka akan menjadi pembangun kesadaran
bangsa untuk bangkit berjuang melawan segala bentuk penindasan dan merebut
kemerdekaan. Inti cita-citanya yakni membahagiakan diri, membahagiakan
bangsa dan membahagiakan manusia.105

Terdorong oleh cita-cita itu, Ki Hadjar Dewantara yang telah mengenal


dunia pengajaran dan pendidikan selama satu tahun di sekolah Adi Dharma,
memutuskan untuk mendirikan sebuah perguruan yang cocok untuk mendidik
generasi Indonesia. Pada tanggal 3 Juli 1922 didirikanlah sebuah perguruan di
Yogyakarta dan dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Kelahiran Perguruan
Taman Siswa jelas menjadi tandingan bagi sekolah-sekolah milik Pemerintah
Kolonial. Perguan Taman Siswa ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada para peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air
dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Kondisi ini tentu menjadi ancaman

104
Ibid., hlm. 159.
105
M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 333.

47
bagi pemerintah kolonial. Semakin banyak orang belajar dan tamat dari Perguruan
Taman Siswa, semakin banyak generasi Indonesia yang berani membangkang dan
melawan kebijakan politik pemerintah kolonial.

Perguruan Taman Siswa berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme


bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern Belanda,
Perguruan Taman Siswa tidak mengambil kepribadian Belanda. Perguruan Taman
Siswa melaksanakan proses pendidikan dengan tiga semboyan, yaitu: Ing Ngarso
Sung Tuladha, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.106 Di
kalangan para pemimpin terdapat dua pendapat atau aliran. Aliran yang pertama
menginginkan Perguruan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan
pemerintah dan aliran pemikiran yang kedua berpendapat bahwa perkembangan
Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena
perubahan itu perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Perguruan Taman Siswa
dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan
dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.107

Eksistensi Perguruan Taman Siswa mulai dirasakan Pemerintah Kolonial


sebagai ancaman bagi mereka. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932. Salah satu pasal berbunyi bahwa pemerintah kolonial mempunyai
kekuasaan penuh untuk mengurus ujud dan isi sekolah swasta. 108 Itu berarti
seluruh aktivitas sekolah swasta dan instrumen-instrumennya diatur oleh
Pemerintah Kolonial. Ki Hadjar Dewantara tentu merasa keberatan
terhadap`kebijakan ini sebab membatasi secara sepihak setiap aktivitas sekolah
swasta. Kebijakan itu bahkan dapat secara sepihak pula menghentikan seluruh
aktivitas sekolah swasta atau memutuskan keberlangsungannya.

Pada tahun 1935-1937, taman siswa dihadapkan pada masalah-masalah


baru yaitu masalah tunjangan anak dan upah pajak. Dan para guru berpendapat
bahwa tidak seharusnya membayar pajak upah dan hanya membayar pajak

106
Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 138.
107
Ibid., hlm. 142.
108
M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 96.

48
penghasilan saja, sebab Perguruan Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan
bersifat kekeluargaan yang tidak mengenal buruh dan majikan.109 Ki Hadjar
Dewantara membawa masalah undang-undang sekolah liar ke Dewan Rakyat.
Pada tanggal 10 Januari 1933, Wiranata Kusumah dan kawan-kawan
mengusulkan untuk membuat undang-undang baru, usulan tersebut diterima dan
dimufakati oleh pemerintah, maka undang-undang sekolah liar ditunda selama
satu tahun.110 Ki Hadjar Dewantara mengirimkan telegram untuk menggerakkan
seluruh tenaga bangsa dan bangkit serentak berdiri di belakang Ki Hadjar
Dewantara bersama-sama melawan undang-undang kolonial dengan gagah berani,
akhirnya ordonasi sekolah liar dibekukan, delapan bulan kemudian dicabut dan
dibatalkan.111

3.3 KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK KI HADJAR DEWANTARA

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam


pandangannya, tujuan pendidikan adalah memajukan bangsa secara keseluruhan
tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status
ekonomi, status sosial serta didasarkan nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Dasar-dasar pendidikan Barat dirasakan Ki Hadjar Dewantara tidak tepat


dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena pendidikan
Barat bersifat perintah, hukuman dan ketertiban. Karakter pendidikan semacam ini
dalam prakteknya merupakan suatu pemerkosaan atas kehidupan batin anak-anak.
Akibatnya anak-anak rusak budi pekertinya karena selalu hidup di bawah
paksaan/tekanan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak
akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki kepribadian112 yang matang dan
mandiri.

109
Darsati Soeratman, op. cit., hlm. 106-107.
110
Ibid., hlm. 102.
111
M. Tauchid, Perdjuangan dan Adjaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1963), hlm. 61.
112
Selama menjalani hukum buang di negeri Belanda, Ki hadjar Dewantara tentu banyak
mempelajari teori tentang pendidikan yang berkembang dan diterapkan pada masa itu dan juga
dewasa ini. Pada umuumnya teori-teori pendidikan menggarisbawahi pentingnya “proses menjadi”
menuju kemanusiaan yang utuh dan penuh. Pendidikan pun lantas dipahami sebagai proses
kegiatan mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan dlam arti yang seluas-
luasnya (pengetahuan, pemahaman, perasaan, spiritual, sosial, dll). Pemahaman demikian

49
Manusia yang terdidik mampu menyikapi tuntutan-tuntutan dan tantangan-
tantangan kehidupan dengan sikap bersahaja. Ia tidak lagi terperangkap dalam
kepentingan-kepentingan diri dan golongan yang temporal dan duniawi sifatnya.
Praksis kehidupannya sarat dengan permenungan atas nilai-nilai kemanusiaan
universal sekaligus disertai dengan daya upaya untuk mewujudkannya dalam
kehidupan nyata. Manusia yang merdeka batiniahnya adalah manusia pintar tapi
sekaligus benar tindakannya, maju penalaran akalnya dan sekaligus bermoral
perilakunya, beragama sekaligus beriman.

3.3.1 Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Pada hakikatnya pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dimulai dari


rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi terhadap bumi putera atau tanah air
Indonesia. Pada setiap pergerakan kebangsaan yang dilakukan Ki Hadjar
Dewantara, selalu terdapat buah pikiran tentang persamaan derajat,pendidikan
untuk rakyat jelata, kemerdekaan bagi seluruh rakyar secara lahir dan batin, berani
dan bijaksana, mawas diri dan percaya akan kemampuan sendiri.

Menurut Ki Hadjar Dewantara dasar pendidikan itu sendiri adalah


penguasaan diri sebab disinilah pendidikan memanusiawikan manusia
(humanisasi). Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan
mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang
mandiri dan dewasa. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada dua hal yang
harus dibedakan yaitu sistem pengajaran dan pendidikan yang harus bersinergi
satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup
lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik).113

menempatkan pendidikan sebagaikebutuhan dasar manusia, baik sebagai makhluk individual


maupun makhluk sosial. Pendidikan adalah rekayasa secara sadar dan terencana untuk mendidik
anak manusia agar ia mencapai kematangan atau kedewasaan secara utuh dan penuh. Ki Hadjar
Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 98.
113
Thomas Hidya, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis (Jakarta: 2004), hlm.
3.

50
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan
dengan dunianya.114 Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu upaya
pemanusiaan manusia secara manusiawi ke arah kemerdekaan lahiriah dan
batiniah.Pendidikan harus bersentuhan dengan upaya-upaya konkret berupa
pengajaran dan pendidikan. Dalam praksisnya, pengajaran dan pendidikan harus
disesuaikan dengan kondisi hidup dan kehidupan rakyat. Kondisi rakyat yang
terjajah tidak cukup menguntungkan dunia pendidikan manakala prosesnya
berorientasi pada keuntungan material. Maka yang hendak dicapai oleh Ki Hadjar
Dewantara dalam dan melalui pendidikan adalah tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya menghormati nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam kehidupan personal
maupun kehidupan sosial. Artinya, kesadaran akan pentingnya hormat pada
martabat kehidupan yang diimani sebagai hormat pada pencipta kehidupan. Di
situlah dasar daya upaya memerdekakan badaniah dan batiniah dibangun.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah pintu masuk menuju


kemerdekaan lahiriah dan batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual
maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Pendidikan menjadi wadah
membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial.
Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki
ketiga otonomi diri di atas. Kemerdekaan batiniah dan badaniah yang
dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan di mana manusia di Indonesia
mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga
Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi
diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual, sosial
sehingga eksistensinya mampu berdiri senidiri, tidak bergantung pada orang lain,
dan mengatur dirinya sendiri.115

114
Ki Hadjar Dewantara, Karya I: Pendidikan (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962), hlm.
14-15.
115
Kalau kita cermati ketiga macam kemerdekaan di atas, pendidikan tampaknya berurusan dengan
upaya membangun kesadaran pada manusia bahwa dirinya adalah subjek realitas. Artinya sebagai
pribadi mampu mengurus dirinya sendiri dan sekaligus mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri. Kesadaran demikian tentu sulit dikembangkan pada masa Ki Hadjar Dewantara sebab

51
Suparlan menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang
seutuhnya, Ki Hadjar Dewantara mengajukan konsep tri pusat pendidikan,
yaitu:pendidikan keluarga, pendidikan dalam alam perguruan dan pendidikan
dalam alam pemuda.116 Pertama, pendidikan keluarga. Ki Hadjar Dewantara
mengatakan bahwa dalam sistem Taman Siswa keluarga mendapat tempat yang
luhur dan istimewa karena keluarga merupakan lingkungan yang kecil, tetapi
keluarga merupakan tempat yang suci dan murni dalam dasar-dasar sosialnya,
oleh sebab itu keluarga merupakan satu pusat pendidikan yang mulia. Dalam
lingkungan keluarga, seseorang dapat menerima segala tradisi mengenai hidup
kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa pentingnya menjadikan keluarga


sebagai pusat pendidikan karena keluarga tidak hanya menjadi ajang untuk
melaksanakan pendidikan individual dan sosial tetapi menjadi kesempatan bagi
orang tua untuk menanamkan segala benih nurani dalam jiwa anak-anak.117
Apabila keluarga menjadi pusat pendidikan maka secara tidak langsung orang tua
berperan sebagai guru yang mendidik perilakunya dan sebagai pengajar yang
memberikan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan, serta menjadi teladan
dalam kehidupan sosial. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa hak mendidik
anak, dalam sifat, bentuk, isi, dan alirannya, pada dasarnya ada pada orang tua
bukan pada pihak lain. Pandangan Ki Hadjar Dewantara didasari oleh pandangan
bahwa dalam diri orang tua tergabung berbagai golongan baik seperti golongan
kebangsaan, kerakyatan atau keagamaan dan golongan itulah yang memiliki hak
untuk menetapkan sifat, bentu, isi, dan aliran pendidikan untuk kepentingan anak-
anak.118

Kedua, pendidikan dalam alam perguruan. Ki Hadjar Dewantara menolak


pandangan bahwa pendidikan sosial merupakan tugas sekolah. Bagi Ki Hadjar
Dewantara, selama sistem sekolah masih bertujuan untuk pencarian dan

rakyat Indonesia kala itu dijajah oleh pemerintah Belanda.Maka pendidikan adalah kata kunci
untuk ke arah kemerdekaan yang dimaksudkan. Ibid., hlm. 4.
116
Henricus Suparlan, “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi
Pendidikan Indonesia” Jurnal Filsafat, Vol 25, Nomor 1 (April 2014): 1-19.
117
Ki Hadjar Dewantara, Azaz-azaz Dasar Taman Siswa (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa,
1956), hlm. 72-73.
118
Ibid., hlm.357.

52
pemberian ilmu pengetahuan dan kecerdasan pikiran maka pengaruhnya tidak
akan terlalu nampak bagi anak-anak. Pendidikan dalam alam perguruan
berkewajiban untuk mengusahakan kecerdasan pikiran dan pemberian ilmu
pengetahuan. Apabila sekolah dan keluarga terpisah maka pendidikan yang
dihasilkan dalam ruang keluarga akan selalu sia-sia, sebab pengaruh sekolah yang
mengasah intelektual semata sangat kuat. Ki Hadjar Dewantara mencontohkan
pada waktu itu, anak-anak harus mengasah inteleknya setiap hari kurang lebih
selama 8 jam.119 Oleh sebab itu sekolah tidak dapat berpisah dengan kehidupan
keluarga. Sekolah dan keluarga dapat saling mengisi dan melengkapi agar dapat
mencapai tujuan pendidikan.

Ketiga, pendidikan dalam alam pemuda. Konsep ini muncul


dilatarbelakangi karena pergerakan pemuda pada waktu itu yang sebagian besar
meniru perilaku barat. Pada masa pergerakan kemerdekaan, pergerakan pemuda
tampak memisahkan antara anak-anak dan keluarganya. Ki Hadjar Dewantara
melihat hal itu sebagai sesuatu yang berbahaya karena pendidikan budi pekerti
yang belum baik. Oleh sebab itu Ki Hadjar Dewantara memasukkan pergerakan
pemuda sebagai pusat pendidikan. Tauchid menjelaskan bahwa pergerakan
pemuda merupakan dukungan yang besar bagi pendidikan dan memusatkannya
dalam rencana pendidikan. Orang tua hendaknya berperan sebagai penasehat yang
memberi kemerdekaan yang terbatas bagi pemuda-pemudi. Di samping itu orang
tua selalu mengawasi mereka dan bertindak ketika ada bahaya yang tidak dapat
mereka hindari.120 Konsep ini bila diterapkan pada masa kini dapat menolong
dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan moral generasi muda bangsa
Indonesia.

3.3.2 Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan dan pengajaran adalah daya-


upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah
dan batiniah manusia. Pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan.
Artinya, pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau
119
M. Tauchid, Tugas Taman Siswa dalam Pembangunan Masyarakat Baru (Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1962), hlm. 72-73.
120
Ibid., hlm. 74.

53
pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian
kepada anak-anak, yang dapat berfaedah untuk hidup anak-anak baik lahir
maupun batin.121

Dinamika pendidikan menurut pengertian umum adalah tuntutan di dalam


hidup tumbuhnya anak. Maksud pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya.

Konsep pendidikan holistik yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara yaitu


pendidikan yang bukan hanya fokus pada aspek intelektual semata melainkan
penekanan pada budi pekerti yang diperlukan. Pendidikan yang mencerdaskan
budi pekerti itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik
dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan menutupi atau mengurangi
tabiat-tabiat jahat yang tak dapat dilenyapkan sama sekali (tabiat biologis) karena
sudah bersatu dengan jiwanya. Kecerdasan budi pekerti berkat pendidikan
mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin, yang sifatnya ada tiga
macam, yakni berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat
mengatur dirinya sendiri (menguasai diri).122

Konsepsi pendidikan yang demikian yang mendasari penilaian Ki Hadjar


Dewantara bahwa dasar pendidikan Barat (pendidikan model penjajahan Belanda)
tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena
bersifat perintah, hukuman, dan ketertiban. Karakter pendidikan semacam ini,
menurut Ki Hadjar Dewantara dalam prakteknya merupakan suatu bentuk
pemerkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak budi
pekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan atau tekanan. Menurut Ki Hadjar
Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang
hingga memiliki kepribadian yang berbudi pekerti.123

121
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 485.
122
Ibid.
123
Bartolomeus Samho, op. cit., hlm. 74-77.

54
3.3.3 Metode Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara memang menempuh pendidikan di belahan dunia


bagian Barat. Namun ia tidak mau menerapkan sistem pendidikan yang bercorak
Barat karena sistem pendidikan Barat tidak sesuai dan tidak cocok untuk keadaan
masyarakat Indonesia saat itu. Dalam sistem pendidikan Barat terdapat paksaan,
hukuman, dan perintah. Pendidikan model seperti ini menurut Ki Hadjar
Dewantara akan memperkosa kehidupan batin anak-anak. Model pendidikan
seperti ini akan berdampak buruk pada perkembangan kepribadian anak-anak.
Pendidikan yang baik akan melalui tahapan-tahapan pembiasaan, penyadaran
emosi dan pendisiplinan.124

Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan


karaktek dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang
Indonesia termasuk ke dalam bangsa Timur di mana kekhasan yang nampak yaitu
kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, tertib, jujur,
sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-niai itu disemai dalam dan melalui
pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu,
pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan obyek pendidikan.
Artinya, peserta didik diberi ruang yang seluasnya untuk bereksplorasi,
berekspresi, berkreativitas, mandiri dan bertanggung jawab.
Sistem Among merupakan metode yang diberikan oleh Ki Hadjar
Dewantara. Bagi Ki Hadjar Dewantara, sistem Among merupakan metode yang
sesuai untuk pendidikan. Metode ini merupakan metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Pendidikan sistem Among
berpegang pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan
dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan menggerakkan kekuatan
lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan
dengan asas-asas seperti Ing Ngarso Sung Tuladha yang memiliki arti di depan
guru harus memberikan teladan seluruh aspek kehidupannya. Hal ini
mencerminkan bahwa menjadi seorang guru harus bisa memberikan sebuah
keteladanan dan menjadi teladan. Ada juga asas Ing Madya Mangun Karsa yang

124
Suparno Raharjo, op. cit , hlm. 74.

55
memiliki arti seseorang harus bisa membangun semangat, motivasi dan gairah
hidup untuk menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa
menjadi seorang guru harus mampu memberikan dorongan serta motivasi bagi
peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya. Atau
asas Tut Wuri Handayani yang memiliki arti seorang guru harus dapat mengikuti
dengan baik para murid yang telah menunjukkan sikap dan perilaku yang benar
(baik, jujur, cerdas).125

Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among
sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya.
Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya
mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari
sistem among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan
bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan,
serta sehat jasmani dan rohani agar menjadi masyarakat yang mandiri dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Dalam pelaksanaan sistem among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka di
dorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta,
rasa, dan karsa. 126

3.3.4 Asas-Asas Pendidikan

Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah upaya


pendewasaan seseorang dengan metode among. Kedewasaan peserta didik secara
lahir-batin merupakan modal bagi mereka untuk siap menjalani kehidupan
bermasyarakat secara bertanggung jawab. Terkait dengan upaya
mengimplementasikan metode among, Ki Hajara Dewantara mengajukan lima
asas pendidikan yang dikenal dengan pancadharma. Berikut adalah penalaran atas
kelima asas berikut:

125
Ibid., hlm. 74-75.
126
Ibid., hlm. 75.

56
3.3.4.1 Asas Kodrat Alam

Asas kodrat alam atau asas tertib damai, bagi Ki Hajar Dewantara adalah
hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya
persatuan dengan kehidupan umum. Dalam konteks itu pendidikan mesti
dilaksanakan dengan maskud pemeliharaan atas dasar perhatian yang besar
kepada kebebasan anak untuk bertumbuh lahir-batinnya sesuai dengan kodratnya.
Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa
pelaksanaan pendidikan berdasarkan akal pikiran manusia yang berkembang dan
dapat dikembangkan. Secara kodrat, akal pikiran manusia itu dapat berkembang.
Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara sengaja itulah yang dipahami
dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Jadi pendidikan adalah tindakan yang
disengaja dan direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik
yang dibawa sejak lahir secara tertib dan damai.127

3.3.4.2 Asas Kemerdekaan

Asas kemerdekaan ini mengandung arti bahwa pengajaran berarti


mendidik peserta didik menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka
pikirannya dan merdeka tenaganya. Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara asas
kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi
yang memiliki kebebasan yang bertanggung jawab sehingga menciptakan
keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada keyakinan bahwa setiap
manusia memiliki potensi sebagai andalan dasar untuk menggapai kebebasan yang
mengarah kepada “kemerdekaan”.128

3.3.4.3 Asas Kebudayaan

Asas kebudayaan ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa manusia


adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif dalam
pembentukan diri menjadi pribadi-pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks
ini pula, pendidik perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab
kebudayaan merupakan ciri khas manusia. Bagi Ki Hajar Dewantara,

127
Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan
Taman Siswa 30 Tahun (Yogyakarta: MLPTS, 1952), hlm. 56
128
Ibid., hlm. 57.

57
kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis. Kemanusiaan merupakan
suatu konsep yang dinamis, evolutif dan organis. Maka, menurut Ki Hajar
Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi
terus menerus berganti-ganti wujudnya. Salah satu penyebabnya adalah karena
bergani-gantinya alam dan zaman. Ki Hajar Dewantara melihat secara jernih
posisi kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah kebudayaan bengsa-bangsa
lain di dunia ini, yakni sebagai petunjuk arah dan pedoman untuk mencapai
keharmonisan sosial di indonesia. Dalam konteks ini pula, asas ini menekankan
memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan.129

3.3.4.4 Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hajar Dewantara yang amat


penting sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Melalui asas ini Ki Hajar
Dewantara hendak menegaskan bahwa, seseorang harus merasa satu dengan
bangsanya dan perasaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa
kemanusiaan dalam konteks ini pula, asas ini diperjuangkan Ki Hajar Dewantara
untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan
terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan, atau pun keagamaan.

Rasa kebangsaan adalah bagian rasa dari kebatinan kita manusia, yang
hidup dan dihidupkan dalam jiwa kita dengan disengaja. Wujud rasa kebangsaan
itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan
kepentingan diri sendiri. Kehormatan bangsa ialah kehormatan diri. Ideologi
kebangsaan inilah yang diterapkam Ki Hajar Dewantara secara konsekuen ketika
mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Bahkan Pancasila sebagai dasar
negara dan pandangan hidup bangsa, yang juga merupakan ideologi nasional,
pada dasarnya adalah suatu formulasi dari ideologi kebangsaan itu sendiri.
Mencermati pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang asas kebangsaan ini kita

129
Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan (Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1994), hlm. 23.

58
semakin yakin bahwa Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu adalah sosok yang
pluralis.130

3.3.4.5 Asas kemanusiaan

Asas ini pada dasarnya mengandung makna persahabatan antarbangsa.


Dalam konteks ini, Ki Hajar Dewantara menggarisbawahi pentingnya bangsa
Indonesia menjalin persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Asas kemanusiaan
ini boleh dipandang sebagai asas yang radikal sebab konsep kemanusiaan itu
merupakan akar dan sekaligus titik simpul bagi proses hidup yang manusiawi. Ki
Hajar Dewantara sebagai tokoh untuk membangun kondisi hidup bermasyarakat
yang cinta damai dan saling menghormati dalam konteks sosial yang dewasa ini
menjadi sedemikian kompleks, mengglobal, dan sarat dengan persoalan
kemanusiaan. Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara dipandang sebagai sosok
yang humanis. Ia mengabdikan hidupnya secara total dan radikal untuk
membangun kesadaran tinggi akan pentingnya tumbuh dalam rasa kemanusiaan.
Gagasan ini dapat ditemukan dalam refleksi Ki Hajar Dewantara terhadap
Pancasila yang ditulis pada tahun 1948. Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan
Pancasila sebagai keluhuran sifat hidup manusia.131

3.4 CATATAN KRITIS

Pendidikan selama masa penjajahan dapat dipetakan ke dalam tiga periode


besar, yaitu pada masa VOC, masa pemerintahan Hindia Belanda dan masa
pemerintahan Jepang. Politik pendidikan kaum penjajah erat hubungannya dengan
suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa. Dampaknya segala
bentuk keberlangsungan sistem pendidikan sangat berkaitan erat dengan segala
kebijakan dari masing-masing rezim. Secara umum sistem pendidikan khususnya
persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau
lapisan sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan,


memberikan sebuah harapan baru bagi pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar
130
Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan
Taman Siswa 30 Tahun, op. cit., hlm. 58.
131
Ibid., hlm. 59.

59
Dewantara memandang bahwa pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan dari
keadaan ataupun kondisi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dalam pemikiran
Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus beralaskan garis hidup dari bangsanya.
Hal ini bertujuan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat
negara dan rakyatnya.
Melalui konsep, asas-asas dan metode pendidikan di atas, Ki Hadjar
Dewantara yakin bahwa rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya
akan menjadi kenyataan di Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini
adalah ketika seorang anak hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi
hidup mandiri, memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai.
Artinya, lahirnya tiada diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat
berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.

Kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai


pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan
penuh. Baginya, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah dan
batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota
masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian, pendidikan menjadi wadah untuk
membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial dan otonomi sosial.
Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki
ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah
yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di
Indonesia mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai
warga Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki
otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual dan
sosial. Sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak bergantung pada
orang laindan dapat mengatur dirinya sendiri.

Pendidikan di Indonesia saat ini telah mengalami kemerosotan nilai moral.


Pendidikan yang hanya menekan pada tingkat intelektualitas, pendidikan yang
tanpa memberikan ruang kebebasan untuk berpikir kritis bagi peserta didik dan
kemerosotan dalam pembentukan karakter peserta didik. Oleh sebab itu pemikiran
pendidikan Ki Hadjar Dewantara perlu diejawantahkan. Hal itu disebabkan

60
pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sangat mempunyai relevansi terhadap
pendidikan karakter. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara harus
diejawantahkan demi menjawab problematika pendidikan dalam membentuk
manusia Indonesia yang lebih baik. Hal ini perlu diperhatikan dan direnungi baik
pemerintah maupun praksis pendidikan saat ini. Maka dalam bab selanjutnya kita
akan sama-sama melihat tantangan dan relevansi pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dalam perkembangan pendidikan saat ini.

61
BAB IV

RELEVANSI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA UNTUK


MENYIKAPI PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA
SAAT INI

Pendidikan memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa.


Sejak zaman perjuangan kemerdekaan, para pejuang serta perintis kemerdekaan
telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam
usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan dijadikan media untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa.
Salah satu tokoh yang mempunyai peran dalam pendidikan yaitu Ki Hadjar
Dewantara.

Pada Bab ini, penulis ingin menjelaskan relevansi pendidikan Ki Hadjar


Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia. Namun sebelum itu, penulis akan
memberikan gambaran singkat mengenai pendidikan dari zaman kemerdekaan
hingga saat ini. Penulis juga akan melihat problematika pendidikan Indonesia saat
ini dan mengaitkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam mengatasi
problematika tersebut. Penulis yakin bahwa konsep pendidikan yang dibangun
oleh Ki Hadjar Dewantara saat itu masih mempunyai relevansi yang besar untuk
mengatasi krisis pendidikan saat ini. Penulis tidak memaparkan secara terperinci
mengenai problematika saat ini, melainkan mengambil beberapa problematika
yang ada untuk dikaitkan dengan konsep pendidikan Ki hadjar Dewantara.

4.1 POTRET SINGKAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan selalu berubah dari zaman ke zaman.Arah dan tujuan


pendidikan pun selalu disesuaikan dengan faktor kepemimpinan. Pada kesempatan
ini penulis akan memberikan gambaran singkat mengenai potret pendidikan dari
zaman kemerdekaan hingga saat ini.

62
4.1.1 Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan

Pada masa awal kemerdekaan, penduduk Indonesia masih dalam suasana


yang diliputi oleh perang ataupun revolusi fisik. Pada tahun 1950, pemerintah
Indonesia baru mulai membenahi pendidikannya dalam situasi yang lebih tentram.
Perkembangan pendidikan pada masa awal kemerdekaan lebih berfokus pada
upaya pengembangan kebijakan nasional yang berlangsung sejak tahun 1945-
1950. Pada masa ini, pemerintah Indonesia disibukkan dengan berbagai perubahan
dalam sektor-sektor kehidupan bangsa, termasuk juga dalam sektor pendidikan.
Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan yaitu perubahan yang
menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa
yang merdeka.132 Perubahan utama yang terjadi yaitu dalam hal landasan
utamanya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar bagi
rakyat Indonesia.

Landasan utama yang dipakai untuk mengembalikan pendidikan di


Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yang
menetapkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia. Keduanya
(Pancasila dan UUD 1945) merupakan Ideologi paling kuat yang menjiwai
semangat perjuangan rakyat menuju kemerdekaan.133 Pendidikan yang
dicanangkan berupaya mengembangkan semangat bagi setiap murid yaitu dengan
mengadakan pembaharuan metode yang berlaku di sekolah-sekolah sesuai sistem.
Sebagai konsekuensi perubahan sistem, kurikulum pada semua tingkat pendidikan
mengalami perubahan. Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan
memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana
pembelajaran.134 Penekanan utama dalam sistem kurikulum rencana pelajaran
bukan pada pikiran melainkan pada watak. Hal ini sejalan dengan konsep
pembangunan karakter bangsa yang dicanangkan oleh Soekarno, yaitu
“berkepribadian di bidang kebudayaan”.135 Pemerintah juga berupaya

132
Sarino Mangunpranoto, Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 122.
133
Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer (Pemberdayaan Mutu
Pendidikan di Indonesia) (Yogyakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 52.
134
Ary Gunawan, op. cit., hlm. 48.
135
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hlm. 95.

63
mengembangkan wajib belajar paling lama 10 tahun. Hal ini terbukti dengan
perhatian secara istimewa oleh pemerintah dalam pengajaran di bidang ekonomi
dan olahraga serta penetapan kebijakan sekolah gratis bagi Sekolah Rendah.
Pemerintah juga memperhatikan aturan pembayaran dan tunjangan bagi sekolah
menengah serta perguruan tinggi agar hal tersebut tidak menjadi halangan bagi
pelajar-pelajar yang kurang mampu.136

Pendidikan pada masa awal kemerdekaan secara umum berfokus dan


bertujuan pada pencerdasan dan peningkatan kualitas serta kemampuan anak
bangsa. Pendidikan nasional berupaya untuk membentuk masyarakat yang
demokratis.137 Menyangkut hal ini, H.A.R. Tilaar berkata:

“Membangun masyarakat demokratis Indonesia tentu menghadapi tantangan.


Pertama-tama menghilangkan sisa-sisa pola kehidupan tradisional yang
feodalistik dan cenderung ke arah totalitarisme. Perubahan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat Indonesia modern meminta sikap dan tanggung
jawab dari setiap insan Indonesia yaitu kesadaran akan manfaat bersama dan
adanya suatu keinginan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang bersatu,
terlepas dari kecurigaan serta prasangka-prasangka negatif, apalagi di dalam
masyarakat yang plural.”138

Namun perkembangan pendidikan berjalan agak lamban karena


keterbatasan sumber daya (dana, tenaga dan sarana). Ditambah lagi kondisi politik
saat itu yang kurang stabil, terutama berkaitan dengan politik internasional, di
mana Belanda ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Semua elemen bangsa
turut terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari para
pemimpin bangsa, para guru, hingga para pelajar. Hal ini dikatakan secara tegas
oleh Mangunpranoto dalam buku Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia:139

“Tidak ketinggalan adanya unsur pemuda, wanita, buruh dan tani serempak
maju ke medan perang. Mahasiswa dan pelajar banyak yang
menggabungkan diri dengan wadah “TRIP” (Tentara Pelajar Indonesia).
Aksi gerakan mewujudkan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dari

136
Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 124.
137
Ibid., hlm. 149.
138
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme (Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional) (Jakarta: Grasindo: 2004), hlm. 99-100.
139
Sarino Mangunpranoto, op. cit., hlm. 125.

64
Sabang sampai Merauke yang menghasilkan buah kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia hingga kini.”

Situasi ini sangat mengganggu proses pendidikan yang sedang


berlangsung, apalagi fasilitas sekolah dijadikan sebagai tempat perlindungan
perang. Hal ini berdampak pada kurangnya sarana dan prasarana dalam proses
pembelajaran. Semangat yang semestinya dapat dimobilisasi untuk membangun
pendidikan yang lebih baik, ternyata tidak seimbang.Salah satu akibatnya adalah
secara perlahan-lahan masyarakat mulai terbiasa dan dibiasakan dengan
pendidikan yang serba salah.Asal berjalan, asal ada guru, asal ada sekolah dan
tanpa disertai komitmen terhadap mutu.

4.1.2 Pendidikan Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)

Secara kuantitatif pendidikan di Indonesia pada masa Demokrasi


Terpimpin (Orde Lama) mengalami perkembangan yang cukup baik. Soekarno
memberikan kebebasan terhadap pendidikan. Pemerintah yang berasaskan
sosialisme menjadi sebuah rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk
dan dijalankan demi pembangunan masa mendatang. Prinsip dasar konsep
sosialisme dalam pendidikan yaitu memberikan dasar bahwa pendidikan
merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kedudukan
sosial.140

Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara


tetangga.Banyak juga pelajar yang diutus ke luar negeri dengan tujuan kelak dapat
kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Pada
era ini juga penekanan terhadap pembangunan masyarakat yang sama di hadapan
hukum tanpa pembedaan suku, agama dan ras. Setiap orang diberi kesempatan
belajar yang seluas-luasnya untuk menekuni dunia pendidikan. Tidak ada
halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena
diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pendidikan di masa ini

140
Moh. Yamin, op. cit., hlm. 87.

65
merupakan sebuah surga yang mampu membuka paradigma kebebasan yang luar
biasa.141

Demi meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah memberikan kebebasan


kepada masing-masing daerah untuk mengembangkan pola pendidikan yang dapat
mendorong terwujudnya pembangunan nasional. Strategi yang diambil
pemerintah yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi, menuntut setiap guru
untuk mengajar dengan prinsip sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, dan tidak
melihat dari sisi materi semata. Hal ini bertujuan supaya para siswa dan guru
sama-sama dituntut untuk menerapkan disiplin tinggi tanpa harus meninggalkan
kualitas hasil didikan yang bermutu.142 Pendidikan sungguh dijadikan sebagai alat
untuk mengubah wajah bangsa. Pemerintah orde lama menunjukkan sebuah
keseriusan yang tinggi dalam memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Namun secara kuantitatif pendidikan bangsa Indonesia pada saat itu


mengalami kemandekan. Hal ini disebabkan adanya konflik-konflik atau
pertentangan ideologi, yang menempatkan persekolahan sebagai wahana
ideologisasi dan proses internalisasi sosialis-komunisme. Kurikulum pendidikan
tidak lepas dari campur tangan politisi, terutama pendidikan agama dan
pendidikan moral atau budi pekerti. Pendidikan moral dan pendidikan agama
sebagai ladang hegemoni akibat dampak memanasnya perang Dingin antara Blok
Barat dengan Blok Timur. Di lingkungan Departemen P & K, pertentangan politik
menjadi sedemikian memanas yang mencapai klimaks dengan pemecatan 27
pejabat senior Departemen. Pemecatan ini terjadi pada tahun 1964 oleh Menteri P
& K, Prof. Dr. Prijono.143

4.1.3 Pendidikan Masa Orde Baru

Orde baru berlangsung dari tahun 1968-1998, dan sering dikatakan sebagai
era pembangunan naional, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan pada
masa Orde Baru pada awalnya berjalan cukup menggembirakan. Hal ini
dikarenakan adanya kenaikan harga minyak bumi mulai tahun 1973 sehingga

141
Ibid., hlm. 89.
142
Ibid., hlm. 91.
143
Dedi Supriadi (Ed), op. cit., hlm. 17.

66
dapat membantu dalam proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.144 Pada tahun
1970-an dibangun puluhan ribu gedung Sekolah Dasar (SD) dan pada tahun
1980-an didirikan juga Universitas Terbuka. Pembangunan yang begitu besar
dikarenakan jumlah dana untuk pendidikan waktu itu cukup berlimpah. Pada saat
itu Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI yaitu rasio antara jumlah seluruh siswa
dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun mencapai 80%. Hanya beberapa tahun
kemudian, statistik pendidikan mencatat bahwa APK SD/MI melampaui 100%.145

Tujuan utama yang mau dicapai dalam pendidikan nasional pada masa
Orde Baru yaitu membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang telah yang telah dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945.
Pembentukan manusia Pancasila sejati ini bertujuan untuk mengubah mental
masyarakat yang penuh dengan doktrin-doktrin Manipol USDEK (Manifestasi
Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia) sejak zaman Orde Lama.146

Namun dalam perkembangannya, pembangunan dalam dunia pendidikan


masa Orde Baru mengalami sejumlah kegagalan. Pendidikan bukan bertujuan
untuk menghasilkan manusia Pancasila sejati, tetapi justru membodohi
masyarakat dengan sejuta pembangunan palsu yang hanya berusaha untuk
mengokohkan suatu kekuasaan tertentu. Pendidikan pada masa Orde Baru
dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam
pembangunan. Hasil ujian nasional mulai dari sekolah dasar hingga perguruan
tinggi dimanipulasi. Ijazah dipalsukan demi meraih kelulusan dan mendapat
popularitas tertinggi di sekolahnya. Muncullah perguruan tinggi swasta yang
kemudian mengakibatkan mutu pendidikan perguruan tinggi pendidikan menjadi
menurun. Kehidupan sekolah mengalami erosi disiplin, baik disebabkan oleh
pendidik maupun dari peserta didik sendiri.147 Tujuan utama mereka hanyalah
mengeruk keuntungan ekonomis. Pendidikan masa Orde Baru yang betujuan

144
Giroux M. Beeby, Ideology, Culture and The Process of Schooling (London: Falmer Press,
1981), hlm. 57.
145
Dedi Supriadi (Ed), loc. cit.
146
Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 176-177.
147
H.A.R Tilaar, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), hlm. 87.

67
untuk mencerdaskan dan mencerahkan itu sesungguhnya hanyalah rekayasa
belaka demi sebuah pencitraan diri.

Pengaruh lain yang lebih buruk yaitu pemerintah menggelar ideologi


penyeragaman sehingga perkembangan pendidikan pun menjadi terhambat.
Semua hal diseragamkan mulai dari cara berpakaian, kurikulum, metode
mengajar, hingga cara berpikir. Pendidikan yang berlaku waktu itu hanya
menghasilkan peserta didik yang setelah lulus harus berpartisipasi bagi kemajuan
ekonomi pembangunan bangsa yang sudah ditafsirkan pemerintah.148

Mengenai potret pendidikan yang sungguh menyedihkan ini, H.A.R Tilaar


sebagaimana dikutip oleh Rifa’I, mengemukakan 3 ciri utama yang menghambat
proses pendidikan pada masa Orde Baru, yaitu pendidikan nasional yang kaku dan
sentralis, praktik KKN membudaya dalam Sistem Pendidikan Nasional, dan
sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. 149
Pertama, sistem pendidikan nasional yang kaku dan sentralistis.Dikatakan kaku
karena sistem pendidikannya berada di bawah pengaruh satu tangan yang
berkuasa sehingga semuanya terpaku pada otoritas yang berkuasa. Sedangkan
sistem pendidikan yang sentralis maksudnya adanya birokrasi yang ketat agar
mudah disetir dari satu tangan. Kedua, praktik KKN membudaya dalam sistem
pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan yang telah
terperangkap dengan pekerjaan “asal jadi” atau ”asal bapak senang (ABS)”
sehingga tidak heran jika tujuan dan cita-cita luhur pendidikan mengalami
hambatan karena keterbatasan akan sumber dana. Ketiga, sistem pendidikan yang
tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diperbodoh
melalui nilai-nilai ujian yang sudah dimanipulasi sehingga orang tidak perlu
berjuang untuk mendapatkan hasil yang baik karena semuanya sudah diatur dari
sistem yang ada.

Tetapi begitu terjadinya peristiwa “Lengser Keprabon” angka-angka yang


prestisius tersebut serta julukan mitos-mitos tentang Indonesia sebagai The Asian
Economic Tigers menjadi sirna dengan sendirinya. Tidak satupun citra yang

148
Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 200.
149
Ibid., hlm. 253-255.

68
selama puluhan tahun ditonjolkan dan sudah terlanjur dipercaya mampu bertahan.
Meskipun berbagai publikasi badan-badan internasional seperti Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia, dan UNESCO pada kurun waktu tersebut cenderung memuji
keberhasilan perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan
penghargaan “Medali Avicena” yang diberikan UNESCO kepada presiden
Suharto pada bulan Juni 1993. Presiden Suharto dinilai telah berhasil
mewujudkan pendidikan dasar universal.150

4.1.4 Pendidikan Masa Reformasi

Pada era reformasi, semangat serba anti Orde Baru begitu menggelora.
Targetnya adalah sistem pendidikan yang meliputi semua aspek dari sistem
pendidikan nasional yang ada. Misalnya aturan PP No. 25/2000 menetapkan
bahwa sekitar 80% dari jenis-jenis urusan pendidikan yang sebelumnya ditangani
oleh pemerintah pusat dan provinsi akhirnya diserahkan kepada pemerintah
kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah yang secara resmi mulai berlaku
sejak tahun 2001. Secara nasional dari tahun 1997-2000 saja untuk seluruh
tingkatan, dari SD ke SLTP sampai SMA, rata-rata 5%.Pemerintah memang
mengupayakan sektor pendidikan ini agar tidak terbengkalai, namun tiap tahun
rata-rata 12% dalam masa krisis. Diadakan pula program nasional bernama JPS
maupun BOS untuk mereka yang tidak mampu.

Untuk era reformasi, penulis membatasi diri untuk mengelaborasi


perkembangan pendidikan di Indonesia khusus untuk kurun waktu 10 tahun
terakhir. Pendidikan di Indonesia dalam era reformasi mengalami kemajuan
karena pada era ini terjadi independensi dan otonomi sekolah. Sekolah tidak lagi
diberdayakan dan diselenggarakan dari atas (pemerintah pusat), tetapi
diberdayakan secara langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Selain itu pada
fase ini juga sudah terdapat kebebasan berpikir dan berpendapat dalam dunia
pendidikan, hal mana tidak pernah ditemukan pada fase pendidikan di era ORBA.
Sudah terdapat literasi dan referensi-referensi kritis yang diperbolehkan untuk
menjadi bahan ajaran dan bacaan bagi para guru dan siswa.

150
Parakitri T. Simbolon, Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun Nusantara
(Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), hlm. 2.

69
Terlepas dari aspek dan dampak positif di atas mesti diakui juga bahwa
pada masa ini juga terdapat kekuarangan. Hal ini tercermin dalam dunia
pendidikan nasional yang menjadi alat subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik.
Dunia pendidikan dijadikan sebagai media untuk mengindoktrinasi nilai-nilai
ekslusif demi mempertahankan status quo penguasa. Hal ini berarti pendidikan
telah dimasukkan di dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik.
Pendidikan bukan lagi membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi untuk
membangun kekuatan dari partai politik praktis tertentu untuk kepentingan
golongan atau pun kelompok sendiri.151

Pendidikan juga mengalami krisis nilai. Pendidikan hanya menghasilkan


output-output atau lulusan yang pintar secara kognitif, tetapi kering dari nilai-nilai
kemanusiaan dan sosial dalam penerapannya. Pemerataan akses pendidikan
hanya sebuah mitos dan tidak bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa. Kenyataan
yang terjadi pada anak-anak miskin tetap mengalami kesulitan untuk menikmati
pendidikan walaupun berprestasi. Teriakan mahasiswa terhadap oknum-oknum
kapitalisme pendidikan hanyalah sebatas pada kesepakatan semata. Janji politik
untuk membuka akses pendidikan secara merata tidak terealisasikan.152

Lunturnya nilai moral dalam kultur masyarakat juga merupakan dampak


pendidikan saat ini. Hal itu dapat dilihat dari bentuk-bentuk aksi negatif seperti
maraknya mentalitas korupsi dengan berbagai bentuknya, penyalah-gunaan
kekuasaan, dan lunturnya solidaritas sosial. Dampak lainnya yaitu meningkatnya
semangat primordialisme yang mendasarkan diri pada suku, etnis, maupun paham
agama dapat mengakibatkan konflik dan keutuhan bangsa semakin terancam.
Oleh karena itu, meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat,
namun angka kriminalitas juga terus meningkat. Sehingga menyulitkan
pengembangan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan nilai-nilai sosial
dan humanisme bagi setiap individu.153

151
H.A.R. Tilaar, Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), hlm. 14.
152
Moh.Yamin, op. cit., hlm. 133.
153
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: PT
Grasindo, 2007), hlm. 224.

70
4.2 PROBLEMATIKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Problematika pendidikan nasional hari ini sangatlah kompleks.


Kompleksitas ini merupakan efek dari berkembangnya kehidupan yang
mengglobal. Oleh karena itu dalam memetakan problematika perlu dilihat dari
sudut pandang seberapa penting masalah tersebut dan dalam batasan apa kita
melihat problematika dalam realitas pendidikan. Penulis akan menjelaskan
beberapa problematika dalam bidang pendidikan di Indonesia saat ini.

4.2.1 Merajalelanya Krisis Moral Yang Melanda Masyarakat

Pendidikan di zaman ini lebih terfokus pada aspek kognitif saja dan
mengabaikan aspek-aspek yang lain. Padahal kita tahu bahwa dalam pendidikan,
bukan saja aspek kognitif yang diperhatikan, tetapi konsep dasar dalam
penyusunan sistem pendidikan harus berangkat dari nilai-nilai moralitas. Hai itu
dibuktikan oleh Sujarwo dalam ulasannya tentang pemberian peringkat terhadap
anak yang beprestasi dalam bidang pengetahuan. Pemberian prestasi terhadap
siswa yang besprestas dalam aspek kognitif membuktikan bahwa hanya
pengetahuan yang menjadi perhatian utama dalam pendidikan.154 Sedangkan yang
diperlukan dalam sebuah pendidikan itu bukan hanya aspek kognitif saja
melainkan juga pembentukan karakternya. Jika konsep pendidikan dipisahkan dari
pendidikan moral, maka akan berdampak pada proses pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian karena yang dihasilkan yaitu orang-orang yang hanya
cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara moral. Dampak dari sistem
pendidikan seperti ini yaitu akan menghasilkan orang-orang atau pemimpin-
pemimpin yang korup.155

Krisis moral dapat kita jumpai juga saat ini di kalangan anak sekolah.
Salah satunya adalah fenomena tawuran antarpelajar yang sebab terjadinya sangat
beragam, mulai dari saling ejek sampai pada saling berebutan pacar. Dan kadang-
kadang tawuran yang terjadi menimbulkan korban jiwa.156 Bukan hanya

154
S. Sujarwo, Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar (Jakarta: Mediyatama Sarana
Perkasa, 1988), hlm. 108.
155
Syukurman, Sosiologi Pendidikan: Memahami Pendidikan Dari Aspek Multikulturalisme
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), hlm. 173.
156
Ibid., hlm. 172.

71
kekerasan fisik yang kita jumpai.Namun ada kekerasan yang bersifat psikis.
Kekerasan bersifat psikis maksudnya kekerasan yang berdampak pada psikis
seseorang. Misalnya, guru mempermalukan siswa di depan umum atau guru
melabeli siswa dengan label-label yang secara psikis membuat siswa merasa
tertekan dan rendah diri seperti memberi label siswa bodoh. Di kota-kota besar
sering terjadi coret-coret di tembok dengan kalimat yang tidak senonoh, tawuran
massal antar-pelajar, ada geng-geng antarsekolah, para siswa terlibat dalam seks
bebas, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, pencurian,
perampokan, bahkan terorisme. Apalagi persoalan sopan-santun telah lama hilang
dari kehidupan mereka.157

4.2.2 Dehumanisasi Pendidikan

Permasalahan Pendidikan di Indonesia saat ini adalah bahaya manifestasi


dari globalisasi. Permasalahan tersebut antara lain pendidikan yang hanya
mementingkan kepentingan pasar dan kurangnya kualitas pendidikan sehingga
tidak mampu bersaing dalam era globalisasi.158 Artinya bahaya manifestasi dari
globalisasi terhadap pendidikan adalah tergerusnya identitas nasional. Jika tidak
mampu diantisipasi dengan baik akan berbahaya bagi kebertahanan identitas
nasional.

Dehumanisasi pendidikan berarti pendidikan yang berorientasi kepada


intelektualitas atau aspek kognitif peserta didik, membuat pendidikan kehilangan
moralitas dan kreativitas. Pendidikan seperti ini menghasilkan manusia yang
terbiasa dengan menghafal. Proses dehumanisasi ini pada dasarnya bertentangan
dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang aktif dan otonom. Dehumanisasi
merupakan salah satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat
manusia dan segala hak asasinya. Akibatnya, melalui proses pendidikan, peserta
didik pun tidak tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek.

157
Ibid., hlm. 172-173.
158
Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis
Budaya (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 21-64.

72
4.2.3 Pendidikan Hampa Kesadaran

Pendidikan nasional saat ini belum mampu menciptakan kesadaran kritis


bagi siswa. Hal ini berpengaruh kepada sikap peserta didik yang pasif, apatis,
individualis, dan kehilangan separuh jiwanya. Kesadaran yang dimaksudkan
bukanlah kesadaran yang bersifat teoritis, namun elaborasi antara kesadaran
teoritis dan praktis yang mampu mengejawantahkan kesadaran kritis. Pendidikan
hampa kesadaran artinya pendidikan saat ini belum mampu menyadarkan siswa
untuk sadar akan relitas sosial yang mengancam. Potret pendidikan nasional
seperti ini hanya berfokus pada pencarian ijazah, tidak berorientasi kepada
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 159 Hal ini menyebabkan
pendidikan kehilangan kesadaran. Sedangkan jika dilihat secara sosiologis faktor
hampa kesadaran ini mempengaruhi tingkat kehidupan siswa dan masyarakat pada
umumnya. Kehampaan kesadaran akan melahirkan orang yang pasif, apatis-
individualistis, dan kehilangan separuh jiwanya.

Pendidikan hampa kesadaran juga terlihat dari proses pembentukan


pengetahuan yang berjalan satu arah. Peserta didik hanya dijadikan sebagai
pengguna informasi dan pengetahuan dari guru dan para ahli. Hal ini jelas
berbahaya karena belum adanya kesadaran dalam diri para guru dan pendidik
bahwa para siswa mampu memproduksi dan melihat pemikiran alternatif dari
pengetahuan yang mereka dapat.

Selain itu dengan adanya sertifikasi, banyak guru justru memprioritaskan


kenaikan upahnya di atas pekerjaan yang dijalankan.Terjadi pergeseran perilaku
para guru dari tendensi untuk mengawetkan metode, teknik, dan materi
pembelajarannya melalui rutinitas menuju pada tendensi untuk
mengadministrasikan segala kegiatan belajar-mengajar.Sertifikasi guru yang
awalnya berorientasi untuk peningkatan kualitas pendidikan sekaligus juga
kualitas kesejahteraan para gurunya mengalami ketimpangan. Konsekuensi
kenaikan gaji guru ternyata tidak selalu berdampak positif bagi pengembangan
kualitas proses pendidikan.

159
Ibid., hlm. 202.

73
Hal ini terlihat jelas ketika terjadi paradoks kecenderungan antara semakin
besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu
pendidikan di sisi lain. Sebagai contoh pada APBN 2018, alokasi angaran
pendidikan mencapai Rp. 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat menjadi
Rp 508 triliun. Di sisi lain ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015)
menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca,
matematika, dan sains anak-anak Indonesia terus menurun. Data lain Bank Dunia
melaporkan kualitas pendidikan Indonesia masih terendah di lingkup Asean, 55
persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf dibandingkan Vetnam
yang kurang dari 10 persen. Bahkan berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan
firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia dinilai terbuurk di dunia
dan yang terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan.160

4.2.4 Pendidikan Krisis Identitas

Seperti yang kita ketahui hantu globalisasi mengancam integritas nasional,


terlebih dari sisi kebudayaan dan pendidikan. Menurut Martono, globalisasi telah
menyebabkan perubahan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat, termasuk
mempengaruhi praktik pendidikan di berbagai negara.161 Hal ini mengakibatkan
krisis identitas nasional yang lahir dari sinergitas kearifan lokal. Pendidikan di
Indonesia sebagai akibat dari globalisasi lebih mengutamakan dan
mengedepankan budaya atau pemikiran Barat yang belum tentu kompatibel
dengan budaya bangsa dan masyarakat Indonesia yang beragam. Semangat
kompetitif dan individualis yang mengedepankan keberhasilan pribadi sebagai
yang khas Barat perlahan-lahan meresap dan masuk dalam cara berpikir, berkarya,
dan bertindak semua elemen pendidikan di Indonesia. Sebenarnya jika mampu
dikelola dengan baik, perkembangan globalisasi dan industrialisasi mampu
menempatkan kebudayaan Indonesia di tingkat internasional. Namun melihat
kondisi masyarakat saat ini, kelihatannya belum ada kesiap-sediaan dari sisi
sumber daya manusia. Penulis pesimis masyarakat Indonesia mampu bertahan

160
Hafid Abbas, “Rapor Merah Pendidikan”, Kompas, 20 Februari 2020, hlm. 6.
161
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan
Postkolonial (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014), hlm. 284.

74
dalam cengkraman globalisasi jika pendidikan belum mampu mengakomodir
kearifan lokal menjadi ujung tombak kebertahanan nasional.

4.3 PENTINGNYA PENDIDIKAN DEWANTARA DALAM UPAYA


MENANGANI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang bukan


hanya membuat orang hebat dalam aspek intelektual (kognitif), melainkan juga
mempunyai hati yang baik. Setiap orang harus bebas dengan dirinya sendir tanpa
dipengaruhi oleh pemikiran orang lain. Pada kesempatan ini penulis akan
menguraikan relevansi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam mengatasi
problematika pendidikan saat ini.

4.3.1 Siswa Harus Memiliki Jiwa yang Merdeka

Konsep merdeka yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara berarti bahwa hal


itu merupakan karunia dari Tuhan. Manusia berhak untuk mengatur dirinya
sendiri dengan mengingat syarat tertib damai dalam hidup bermasyarakat.

Menurut Priyo Dwiarso, siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti
merdeka lahir, batin serta tenaganya. 162 Jiwa merdeka ini sangat diperlukan
sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte negara lain. Sistem among
melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan
mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya.

Ki Hadjar Dewantara dalam praktik pendidikannya di Taman Siswa


membahas pendidikan sebagai sebuah proses memerdekakan. Proses
memerdekakan ini dimaknai sebagai yang eksistensial dan rensistensial.
Kebebasan yang eksistensial adalah kebebasan yang pada hakikatnya terdiri dalam
kemampuan menusia untuk menentukan dirinya sendiri, yang bersifat positif,
sedangkan kebebasan yang resistensial adalah kebebasan yang timbul dari
perlawanan terhadap suatu sistem yang ada, seperti keinginan untuk bebas dari
penjajahan. Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah alat
memerdekakan siswa, dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

162
Priyo Dwiarso, Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara (Ypgyakarta: Majelis Luhur
Persatuan, 2010), hlm. 6.

75
“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya
sejak lahir, sedangkan hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Manusia
merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir batin atau tidak tergantung
kepada orang lain, akan tetapi bersandar akan kekuatannya sendiri. Maksud
pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama
adalah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat).” 163

Berdasarkan kutipan di atas, proses memerdekakan manusia menurut Ki


Hadjar Dewantara dimaknai sebagai kebebasan yang bersifat eksistensial. Ada tiga
poin yang dapat kita ambil dari tujuan pendidikan sebagai alat memerdekakan
siswa yaitu, berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur
dirinya sendiri. Selain itu proses memerdekakan manusia oleh ki hadjar Dewantara
dimaknai sebagai kebebasan yang bersifat resistensial. Konsepsi ini
dikonstruksikan ketika Ki Hadjar Dewantara sedang dikungkung oleh
kolonialisme. Ki Hadjar Dewantara pernah mengkritik proses pendidikan yang
diselenggarakan oleh Belanda, proses pendidikan yang diselenggarakan oleh
Belanda saat itu hanya mengedepankan intelektual. Sehingga pendidikan saat itu
hanya menghasilkan pekerja murah bagi pabrik-pabrik milik Belanda. Proses
pendidikan pada saat itu tidak bertujuan untuk menyadarkan siswa terhadap
realitas sosial yang ada di sekitarnya. Kemudian Ki Hadjar Dewantara
memanifestasikan pendidikan yang memerdekakan siswa dalam Taman Siswa
dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme sebagai bentuk perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda. Kebebasan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap
sistem yang ada.

Menurut Sularto, pendidikan dan pengajaran Ki Hadjar Dewantara


dimaknai sebagai upaya sengaja dan terpadu dalam rangka memerdekakan aspek
lahiriah dan batiniah manusia. Lebih lanjut pendidikan dipusatkan pada anak
dengan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kreativitas.164
Misalnya anak diberi kebebasan dalam memilih program studi yang diminatinya.
Dari pendidikan yang seperti inilah akan lahir siswa yang mandiri dan kreatif yang

163
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa,
1977), hlm. 3.
164
Sularto, Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016),
hlm. 86.

76
mempunya jati diri yang kuat untuk dapat berjuang dan bertahan hidup di dalam
masyarakat.

4.3.2 Siswa Sebagai Subjek Belajar

Pembelajaran yang ideal menurut Ki Hadjar Dewantara adalah menjadikan


siswa sebagai subjek belajar. Siswa dijadikan subjek dalam belajar dengan tujuan
membangun kesadarn kritis siswa untuk membentuk manusia yang merdeka.Siswa
sebagai subjek belajar artinya mampu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang
lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.165 Pandangan ini membawa implikasi
terhadap tujuan pendidikan yang memberi peluang dan kesempatan kepada siswa
untuk aktif berkembang dan memperoleh keahlian. Oleh karena itu, proses
pendidikan merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri yang terus menerus
berlangsung. Dalam proses tersebut berlangsung proses psikologis (perubahan
tingkah laku yang tertuju pada tingkah laku yang terencana dan bertujuan) dalam
proses sosiologis perubahan adat istiadat, sikap, dan kebiasaan) yang tidak
terpisahkan.166

Secara praktik pendidikan, posisi siswa yang menjadi obyek dalam


pembelajaran menjadikan siswa agen pasif dalam proses pembelajaran. Guru
menjadi satu-satunya sumber kebenaran dalam proses pembelajaran di kelas.
Murid seperti gelas kosong yang akan diisi air sampai gelasnya penuh. Hal ini
memengaruhi kesadaran siswa akan pentingnya pendidikan. Siswa akan
menjadikan guru sebagai panutan yang benar, padahal dengan pemahaman seperti
ini siswa menjadi tidak kreatif dalam proses pembelajaran.

Menurut Darmiyati pendidikan haruslah mendorong siswa untuk berpikir


kritis dan kreatif dengan tujuan membangun kepekaan sosial ke dalam diri
siswa.167 Lebih lanjut Freire menambahkan pembebasan merupakan hakekat dan
tujuan dalam proses pembelajaran.168 Artinya pendidikan bukan hanya mentransfer

165
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, op. cit., hlm 4.
166
Syukurman, op. cit., hlm 79.
167
Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 125.
168
Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj.Agung
Prihantoro (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm ix.

77
ilmu pengetahuan, namun harus sampai kepada transformasi ilmu pengetahuan
dengan tujuan membangun kesadaran kritis siswa.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, proses pendidikan haruslah siswa dijadikan


sebagai subyek belajar. Artinya pendidikan haruslah mengembangkan
kemerdekaan siswa dengan tujuan siswa mendapatkan kesadaran kritis dan
kepekaan sosial. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara menambahkan:

“Perkara pendidikan tiada pula dilupakan.Dan memang usaha kita adalah


membentuk manusia yang merdeka segala-galanya; merdeka pikirannya,
merdeka batinnya, dan merdeka pula tenaganya supaya bermanfaat bagi
bangsa dan tanah air.”169

Pendidikan harusnya mengedepankan kemerdekaan berpikir peserta didik.


Pendidikan bukanlah mengajarkan siswa untuk menghafal sehingga siswa tidak
mengerti hakikat dan tujuan yang diajarkan oleh guru. Hal ini berakibat pada siswa
menjadi pragmatis. Sekolah hanya dimaknai sebagai penggapaian suatu legitimasi
yaitu ijazah. Jika pendidikan mengembalikan manusia menjadi subjek aktif yang
otonom, maka akan dilahirkan siswa yang mandiri dan kreatif.

4.3.3 Cara Mengatasi Dehumanisasi Pendidikan dan Pendidikan Krisis


Identitas

Secara makro praktik dehumanisasi pendidikan termanifestasi dalam Ujian


Nasional. Menurut Winarno Surakhmad sebagaimana dikutip oleh Mujiati,
pendidikan memang selalu diiringi dengan ujian sebagai indikator keberhasilan,
namun ujian bukan proses tersendiri dalam proses pembelajaran.170 Artinya Ujian
Nasional sebagai evaluasi final dalam proses pembelajaran formal di Indonesia.
Hal ini berdampak pada orientasi belajar siswa yang hanya berfokus pada
pencarian nilai setinggi-tingginya. Kelulusan siswa ditentukan dari aspek
intelektual semata, tanpa memperhatikan proses pembelajaran siswa selama tiga
tahun.

169
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, op. cit., hlm. 12-13.
170
Hermanik Mujiati, “Quo Vadis Kebijakan Ujian Nasional”, dalam Sobri AR (ed.), Meneropong
Realitas Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Spektrum, 2008), hlm. 175-177.

78
Secara mikro praktik dehumanisasi pendidikan termanifestasi dalam
proses pembelajaran dalam kelas. Menurut Alkhudri, proses dehumanisasi
pendidikan terjadi karena penekanan pembelajaran yang cenderung pada
pendekatan teoritis semata, bukan diajarkan bagaimana mempraktikan pemecahan
dari suatu masalah.171 Lebih jauh penulis menambahkan bahwa penekanan
menghafal dalam proses pembelajaran, ketimbang mengembangkan proses
berpikir siswa menjadikan proses pembelajaran bersifat dogmatis ketimbang kritis
sebab manusia yang terbiasa menghafal adalah manusia yang mekanis, sehingga
menjauhkan diri pada proses pengembangan diri. Proses dehumanisasi ini pada
dasarnya mencederai jati diri manusia yang bersifat aktif dan merdeka. Poin
penting dalam permasalahan dehumanisasi pendidikan adalah pendidikan yang
mengedepankan intelektualitas atau aspek kognitif pada siswa.

Sebelum problematika pendidikan ini hadir, Ki Hadjar Dewantara telah


menarasikan terlebih dahulu bahwa manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, rasa
dan karsa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua
daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu
daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan kepribadian sebagai
manusia. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara sebagaimana diuraikan oleh Raharjo,
menarasikan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Pendidikan adalah
proses bagaimana siswa Ngerti (mengetahui), Ngerasa (memahami), dan
Ngelakoni (melakukan).172 Artinya ada proses transformasi ilmu pengetahuan
terhadap siswanya. Siswa tidak hanya tahu tentang ilmu yang diberikan, namun
mampu memahami dan melakukan.

Secara konkrit Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan


haruslah bermuara kepada keterampilan hidup. Dalam proses pembelajaran yang
dinarasikannya, ia mengedepankan metode belajar sambil bekerja. Metode ini
hadir sebagai bentuk respon terhadap praktik sekolah yang diselenggarakan oleh
Belanda pada saat itu. Sekolah yang diselenggarakan oleh Belanda yang hanya

171
Ahmad Tarmiji Alkhudri, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai Transformasi
Sosio-Edukasi dan Kesadaran Humanis (Bogor: Edukati Press, 2011), hlm. 184.
172
Suparno Raharjo, op. cit., hlm. 63.

79
mementingkan inteletualitas, individualistis, dan materialistis. Sekolah tersebut
hanya mampu menjadikan siswa ketika lulus nanti sebagai buruh pabrik yang
dibayar murah.

Metode pembelajaran ini bertujuan agar siswa memiliki kemampuan.


Metode ini bertujuan untuk memberi semangat bekerja kepada siswa dan
dilakukan secara konkrit. Artinya metode pembelajaran ini bertujuan untuk
menjadikan siswa siap secara batin dan lahir untuk hidup di masyarakat nanti.
Selain itu metode ini bertujuan untuk mendekatkan anak-anak kepada alam
pekerjaan dan membiasakan anak-anak untuk mengabdikan diri kepada
masyarakat.

Problematika pendidikan berikutnya yaitu krisis identitas. Salah satu solusi


menghadapi pendidikan yang krisis akan identitas adalah mengkonstruksikan
nasionalisme melalui pendidikan. Nasionalisme muncul karena adanya
internalisasi nilai-nilai nasionalisme dalam pendidikan. Di mana pendidikan
tersebut membangkitkan kesadaran kritis untuk keluar dari kolonialisme.
Semangat nasionalisme dalam konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara di era
globalisasi ini yaitu melawan segala kebijakan yang menghilangkan identitas
bangsa dan identitas manusia.

Secara konseptual, memang Ki hadjar Dewantara tidak merumuskan


konsep nasionalisme secara sistematis. Namun konsep nasionalisme tersebut
termanifestasi dalam dasar-dasar pendidikan yang dirancangnya. Ki Hadjar
dewantara sebagai seorang tokoh pendidikan nasional tidak menolak terhadap
perubahan-perubahan. Hal ini termanifestasi dalam Taman Siswa yang beberapa
komponen pembelajarannya mengelaborasikan beberapa konsep pendidikan barat.
Namun konsepsi pendidikan barat tidak ditiru secara menyeluruh, tetapi
disesuikan dengan konteks kebudayaan di Indonesia.173

Asumsi dasar Ki Hadjar Dewantara dengan tidak menolak perubahan dan


pembaharuan adalah teori trikon yaitu kontinu, konvergen, dan konsentris.
Melalui dasar kontinu artinya kebudayaan yang kita rasakan hari ini adalah

173
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan,op. cit., hlm. 126-127.

80
produk dari kebudayaan sebelumnya yang berkembang. Pendidikan adalah usaha
kebudayaan, yaitu usaha untuk memperbaiki dan mempertinggi derajat turunan
seseorang dan bangsa dengan landasan kebudayaan yang bersifat kontinu.
Kebudayaan nasional dijadikan sebagai dasar untuk berperilaku dan
bermasyarakat supaya generasi selanjutnya tidak kehilangan identitas kebudayaan.

Dasar yang kedua adalah konsentris atau yang biasa disebut dengan dasar
nasional.Konsentris yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah
lingkaran-lingkaran besar kecil yang bersusun-susun dengan satu titik pusat,
dimana orang duduk atau berdiri pada titik tersebut.174 Artinya adalah semua
lingkaran yang bersusun-susun mempunyai satu titik pusatnya, tempat seseorang
berdiri sebagai landasannya.Kebangsaan dan kemanusiaan harus menjadi dasar
setelah alam diri dan keluarga. Hal ini dimaksudkan sebagai benteng dari
pengaruh-pengaruh budaya luar yang merusak kebertahanan kebudayaan nasional.

Dasar ketiga adalah konvergensi atau yang biasa dikenal dengan dasar
kemasyarakatan. Dasar kemasyarakatan yang dimaksudkan oleh ki Hadjar
Dewantara adalah bagaimana hubungan taman siswa dengan masyarakat yang
lebih luas.175 Artinya pendidikan taman siswa tidak menutup diri dari perubahan-
perubahan sosial secara luas. Terlebih jika dilihat dalam konteks perkembangan
pemikiran. Ki Hadjar Dewantara tidak tertutup dari perkembangan pemikiran-
pemikiran barat dan tokoh lainnya. Pemikiran yang berasal dari luar disesuaikan
oleh Ki Hadjar Dewantara dengan konteks sosial budaya yang didasari oleh dasar
kontinu dan konsentris.

Teori trikon Ki Hadjar Dewantara dapat dijadikan sebagai dasar hidup


bangsa dalam mengatur kehidupan politik, kehidupan ekonomi, dan
kemasyarakatan. Terlebih dapat dijadikan dasar sebagai hubungan berbangsa dan
bernegara secara internasional. Dalam konteks pendidikan dijadikan sebagai
proses pembudayaan. Landasannya adalah dengan berpegang teguh pada
kebudayaan nasional yang bersifat kontinu, dan dijadikan dasar secara konsentris

174
Ibid
175
Ibid., hlm. 118.

81
dengan menerima perubahan secara konvergen membuat seseorang maupun
negara mampu berkembang secara progresif.

4.3.4 Guru Sebagai Teladan

Proses pendidikan dengan mengembangkan kemerdekaan siswa juga


membutuhkan guru sebagai salah satu sumber belajar. Posisi guru sangatlah
sentral, walaupun bukan hanya menjadi subyek dalam proses pembelajaran,
melainkan siswa sendirilah. Bukan guru otoriterlah yang dapat mengembangkan
kreativitas siswa. Tetapi guru yang mengayomi siswalah yang dapat
mengembangkan kreativitas dan kemerdekaan siswa.

Sebagai proses mengembangkan kemerdekaan siswa, Ki Hadjar


Dewantara sebagaimana dikutip oleh Suratman, menggunakan pendekatan among
dengan tiga semboyannya. Tiga semboyan tersebut antara lain Ing ngarso sung
tuludo, Guru di depan selalu menjadi teladan. Ing madyo mangun karso, guru di
tengah anak didik membangun semangat. Tut wuri handayani, guru di belakang
mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya. 176

Ki Hadjar Dewantara menjadikan posisi guru sebagai sentral.H.A.R Tilaar


berpendapat bahwa sosok guru abad ke-21 adalah profesionalisme.177 Artinya
bukan guru otoriterlah yang mampu mengembangkan kesadaran kritis dan
kreativitas para siswa, melainkan guru yang mampu menjadi teladan, membangun
semangat, dan mendorong siswa supaya lebih kreatif. Seharusnya potret guru
seperti inilah yang mampu mempertahankan jati diri bangsa.

4.4 CATATAN KRITIS

Konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara masih memiliki relevansi


dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini. Relevansinya terlihat, baik dalam
tingkat wacana maupun kenyataan secara kontekstual dengan pendidikan di
Indonesia saat ini. Walaupun Ki Hadjar Dewantara hidup pada zaman pergerakan

176
Ki Suratman, Tugas Kita Sebagai Pamong Taman siswa ( Yogyakarta: Majelis Luhur Taman
Siswa, 1987), hlm. 126.
177
H.A.R Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015),
hlm. 133-136.

82
kemerdekaan sampai awal merdekanya Indonesia, wacana pendidikannya masih
bisa menjawab problematika pendidikan saat ini.

Filsafat pendidikan progresif merupakan aliran pendidikan yang mendasari


Ki Hadjar Dewantara dalam merumuskan wacana-wacana pendidikannya. Sebagai
sebuah catatan kritis, tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah alat
untuk memerdekakan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang
mendidik siswa dengan mengembalikan semangat kemerdekaan, kebangsaan, dan
kemanusiaan karena pada dasarnya manusia mempunyai kodrat sebagai individu
yang aktif dan merdeka. Selanjutnya, pendidikan bukan semata-mata diarahkan
bagi pembentukan aspek kognitif dan intelektual seseorang yang jauh dari aspek-
aspek pragmatis dalam kehidupan. Namun pendidikan juga merupakan gejala
konklusif yang lahir dari formasi masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya untuk
transformasi perilaku dan ilmu untuk perubahan sosial.

Selanjutnya, visi pendidikan masa mendatang Ki hadjar Dewantara


merupakan jawaban atas problematika pendidikan saat ini. Visi pendidikan masa
mendatang menurutnya adalah pendidikan yang mengembangkan kemerdekaan
siswa. Artinya proses pendidikan yang memposisikan siswa sebagai obyek pasif
dalam belajar menyalahi kodrat alam dari manusia yang bersifat aktif dan otonom.
Hal ini menjadikan pendidikan hampa kesadaran. Sebagai proses mengembangkan
kemerdekaan siswa, Ki Hadjar Dewantara menggunakan pendekatan among
dengan tiga semboyannya. Tiga semboyan itu adalah Ing ngarso sung tuludo,
guru di depan selalu menjadi teladan. Ing madyo mangun karso, guru di tengah
anak didik, membangun semangat. Tut wuri handayani, guru di belakang
mendorong anak didik agar kreatif sambil mengarahkannya.

83
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pendidikan memampukan manusia untuk melatih ketangkasan berpikir


yang logis, kritis, serta membentuk pola tingkah laku yang baik. Proses
pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan daya kreasi dan imajinasi
pelajar. Hemat penulis, salah satu pendidikan yang patut dan perlu untuk
ditumbuhkembangkan adalah pendidikan holistik. Hakikat pendidikan holistik
adalah proses pembentukan manusia muda menjadi insan yang berkembang secara
baik yang meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa, dan olah raga melalui proses
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan dilaksanakan dalam suasana
keterbukaan, kebebasan dan menyenangkan. Dengan begitu, pendidikan mampu
mencapai tujuan dasariahnya, yaitu membentuk pribadi utuh yang memiliki
kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, sosial, moral dan memiliki daya juang
yang tinggi.

Sebagai pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar Dewantara merupakan


sosok pejuang kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya membangun dan
menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia. Konsep, landasan,
semboyan dan metode yang ditampilkan Ki Hadjar Dewantara merupakan
kekhasan kultural Indonesia. Semua perjuangan yang dilakukan Ki Hadjar
Dewantara demi mewujudkan idealismenya, yakni membangun kesadaran
manusia di Indonesia akan hak-haknya. Untuk itu pula, Ki Hadjar Dewantara
sering berurusan dengan penegak hukum kolonial. Ia bahkan mengalami keluar
masuk penjara, suatu pengalaman yang tidak lazim baginya pada zaman itu.

Pengalaman perjuangannya, baik di bidang politik, jurnalistik dan


pendidikan, sama sekali tidak menyurutkan semangat juang Ki Hadjar Dewantara.

84
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu justru terus membangun kesadaran
eksistensial generasi Indonesia pada masanya. Perguruan Taman Siswa yang dia
dirikan merupakan buah nyata perjuangannya dalam bidang pendidikan. Model
pendidikan yang diterapkannya di Taman Siswa juga jelas berbeda dari model
pendidikan para penjajah. Baginya pendidikan merupakan upaya membangun
kesadaran eksistensial manusia.

Konsep, semboyan, metode dan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan


Ki Hadjar Dewantara sungguh universal. Ki Hadjar Dewantara mencitrakan
kondisi yang dirindukan oleh manusia pada umumnya, sebuah kondisi yang
dirindukan dan sekaligus diupayakan untuk mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia di kemudian hari. Harapan-harapan yang sudah dibangun oleh pejuang
kita terdahulu, justru berbanding terbalik dengan situasi dan kondisi saat ini.
Bahkan pendidikan di Indonesia mengalami pasang surut. Pendidikan bukan
mengarahkan setiap orang untuk merdeka terhadap dirinya sendiri, melainkan
lebih fokus pada aspek intelektualitas yang mengarahkan orang untuk patuh pada
prinsip yang sudah diturunkan dari atas.

Prinsip dasar dalam pendidikan adalah kebebasan. Kebebasan yang


dimaksud yaitu bila peserta didik mengalami suasana cinta, kebahagiaan,
keadilan, dan perdamaian. Suasana itu sendiri mesti tumbuh dalam diri mereka
sendiri (dalam hati setiap orang). Suasana yang dibutuhkan dalam pendidikan
adalah suasana kekeluargaan, kebaikan, empati, dan menghormati satu sama lain.
Pendidikan harus membantu peserta didik untuk menjadi bebas dan merdeka
secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan seharusnya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual karena hal itu akan memisahkan sifat
kemanusiaan itu sendiri. Pendidikan seharusnya memperkaya setiap individu
tetapi tetap memperhatikan perbedaan yang berlaku di masing-masing individu.
Pendidikan juga harus memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan diri sendiri
dan menjadi pendorong dalam menyampaikan pendapat.

Ketika pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar aktivitas


pengajaran yang hanya memberikan aksentuasi pada optimalisasi pengembangan
kemampuan semata, maka akan ada banyak aspek yang diterlantarkan.

85
Pengabaian pada kemampuan emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas
akan begitu nampak. Hal ini sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan
menurut Ki hadjar Dewantara, perintis Pendidikan Nasional Indonesia. Ki Hadjar
Dewantara mengisyaratkan adanya metode pendidikan yang mengintegrasikan
pengembangan potensi-potensi pelajar secara seimbang dalam aspek
intelektualitas, emosional, spiritualitas, sosialitas dan moralitas.

Perjuangan Ki Hadjar Dewantara demi menciptakan suatu konsep


pendidikan yang sangat ideal pada waktu itu cukup panjang. Ki Hadjar Dewantara
harus melawan sistem yang sudah dibangun oleh pemerintahan kolonial. Semua
ini dilakukannya demi memajukan pendidikan bangsa Indonesia saat itu dan
mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun kesadaran manusia di
Indonesia akan hak-haknya. Kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan praktisi
pendidikan, membuatnya layak disebut sebagai seorang pejuang kemanusiaan.

Ada tiga periode besar selama pendidikan masa penjajahan, yaitu pada
masa VOC, masa pemerintahan Hindia Belanda dan masa pemerintahan Jepang.
Pendidikan masa penjajahan sangat berkaitan erat dengan politik yang didominasi
oleh golongan yang berkuasa. Hal ini berdampak pada keberlangsungan sistem
pendidikan di Indonesia waktu itu, di mana sistem pendidikannya sangat
bergantung pada kebijakan masing-masing rezim. Pendidikan pada masa itu juga
pada umumnya berdasarkan lapisan sosial yang ada dan menurut golongan
kebangsaan yang berlaku waktu itu. Hal ini berdampak pada tidak semua
masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk belajar. Masyarakat miskin (kaum
proletar) hanya dijadikan sebagai pembantu pemerintahan kolonial, jika
bersekolah pun hanya sebatas menjadi pekerja pemerintah kolonial.

Atau untuk konteks pendidikan di Indonesia saat ini di mana para siswa
dididik hanya sekedar untuk menjawabi tuntutan pasar kerja. Hal ini terjadi karena
dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai mesin produksi tenaga kerja yang
kompetitif dan laku di pasar kerja. Selain itu dengan adanya sertifikasi, banyak
guru justru memprioritaskan kenaikan upahnya di atas pekerjaan yang dijalankan.
Terjadi pergeseran perilaku para guru dari tendensi untuk mengawetkan metode,

86
teknik, dan materi pembelajarannya melalui rutinitas menuju pada tendensi untuk
mengadministrasikan segala kegiatan belajar-mengajar.

Bertolak dari persoalan di atas, Ki Hadjar Dewantara mewariskan prinsip-


prinsip penting bagi pendidikan nasional Indonesia saat ini. Bagi beliau,
pendidikan tidak hanya mementingkan aspek intelektual, melainkan perlunya
keseimbangan bagi pendidikan dewasa ini. Titik nadi pendidikan ada pada
keseimbangan mengajar. Dampak penting yang dituju adalah menghasilkan
manusia yang beradab dengan keseimbangan pada semua aspek, yaitu aspek
intelektualitas, sosialitas, spritualitas dan moralitas. Pada titik ini, kehidupan
pendidikan menjadi wadah dan fundamen bagi perilaku dan nalar berpikir siswa
dan pendidik yang beradab sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Keseimbangan yang diejawantahkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan
membawa suatu cita rasa keadaban. Dengan ini, dasar pendidikan Indonesia dapat
melebarkan sayapnya pada semua aspek kehidupan.

5.2 Saran

Pendidikan mencakup semua jenjang sekolah.Pendidikan memengaruhi


semua aspek tingkah dan berpikir. Dengan demikian, dibutuhkan suatu saran
membangun untuk keberhasilan pendidikan Indonesia dan jenjang sekolah
sehingga menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Hal ini tentu berdampak pada
cita-cita bangsa Indonesia sendiri menghasilkan manusia yang beradab. Di sini,
penulis memberikan beberapa saran bagi pembaca sebagai kerangka acuan
memajukan pendidikan di Indonesia.

Pertama, bagi Lembaga Pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero.


Sebagai sebuah Lembaga Perguruan Tinggi diharapkan Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero untuk tetap dan semakin menghasilkan alumnus yang beradab
dan berdaya guna bagi Gereja dan Negara. Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero harus
lebih mengasah mahasiswa seturut pendidikan holistik di mana semua aspek-
bukan saja aspek intelek- melekat pada semua alumnus Sekolah Tinggi Filsafat
Ledalero.

87
Kedua, bagi semua pendidik (Guru dan Dosen). Sebagai pengajar atau
pendidik, sebaiknya para guru dan dosen tidak hanya mengutamakan transfer ilmu
melainkan juga mengasah, mengarahkan dan memberi teladan bagi mahasiswa. Di
sini sebenarnya yang dituntut adalah adanya kesesuaian antara kata dan perbuatan.
Pendidik harus menjadi subjek utama menanamkan pendidikan holistik agar
menghasilkan manusia yang beradab.

Ketiga, bagi siswa dan mahasiswa. Sebagai subjek pendidikan, mahasiswa


diharapkan untuk semakin mampu berpikir kritis dan bukannya sebatas
mengadopsi pengetahuan orang lain. Siswa dan Mahasiswa sebagai generasi
penerus bangsa sudah seharusnya tetap menjadi matahari yang menyinari
pendidikan Indonesia dengan menanamkan di dalam diri mereka keseimbangan
antara sikap, perilaku dan nalar.

Keempat, bagi kita semua. Pendidikan menjadi dasar menghasilkan manusia


yang beradab. Semua orang dibutuhkan menjadi pendidik pola perilaku dan
norma-norma yang baik di semua tempat dan dalam keadaan apapun. Dengan ini,
semua sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk memanusiakan manusia
beradab.

88
DAFTAR PUSTAKA

1. Ensiklopedia

Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung


Agung, 1982.

2. Buku

Afifuddin. Sejarah Pendidikan. Bandung: Prosfect, 2007.

Ahmed, Nazili Shaleh. Pendidikan dan Masyarakat. Yogyakarta: Sabda Media,


2011.

Alkhudri, Ahmad Tarmiji. Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai


Transformasi Sosio-Edukasi dan Kesadaran Humanis. Bogor: Edukati
Press, 2011.

Assegaf, Abd. Rachman. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Kurnia


Kalam, 2005.

Beeby. Giroux M. Ideology, Culture and The Process of Schooling. London:


Falmer Press, 1981.

Dewantara, Bambang Sokawati. Ki Hadjar Dewantara: Ayahku. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 1989.

Dewantara, Ki Hadjar. Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku


Peringatan Taman Siswa 30 Tahun. Yogyakarta: MLPTS, 1952

__________________. Azaz-azaz Dasar Taman Siswa. Yogyakarta: Percetakan


Taman Siswa, 1956.

__________________. Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi


Kemerdekaan: kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Endang,
1952.

89
________________. Karya Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: MLPTS, cet. IV,
2011.

________________. Karya Bagian II: Kebudayaan. Yogyakarta: MLPTS, cet.


IV, 2011.

Djumhur, I. dan H. Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu, 1976.

Dwiarso, Priyo. Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis


Luhur Persatuan, 2010.

Elson, R. E. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta:


Serambi Ilmu Semesta, 2009.

Freire, Paulo. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,


terj. Agung Prihantoro. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Gunawan, “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun
Taman Siswa. Yoyakarta: MLPTS, 1992.

Gunawan, Ary H. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina


Aksara, 1995.

Harahap, Hah. dan Bambang Sokawati Dewantara. Ki Hadjar Dewantara dan


Kawan-Kawan Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan. Jakarta: Gunung
Aguna, 1980.

Hidya, Thomas. Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis.


Jakarta: 2004.

Irna dan H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan.


Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Jalaludin. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai, 1990.

Jebarus, Eduard. Sejarah Persekolahan di Flores. Maumere: Ledalero, 2008.

90
Kantrapawira, Rusdi. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1999.

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid I. Jakarta:


Gramedia, 1987.

Kartono, Kartini. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional.


Bandung: Mandar Maju, 1990.

Kleden, Ignas. “Status Ilmiah Filsafat dan Tantangan Kontemporer”, dalam Paul
Budi Kleden dan Otto Gusti Madung (eds.), Menukik Lebih Dalam,
Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.

Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.


Jakarta: PT Grasindo, 2007.

Lintong, Marcel M. Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer (Pemberdayaan


Mutu Pendidikan di Indonesia). Yogyakarta: Cahaya Pineleng, 2011.

Mangunpranoto, Sarino. Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan


Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.

Mariam, Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama, 2010.

Marihandono, Djoko (Ed). Perjuangan Ki Hadjar Dewantara: Dari Politik Ke


Pendidikan. Jakara: Museum Kebangkitan Nasional, 2017.

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern,


Postmodern, dan Postkolonial. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014.

Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik. Jogjakarta:


Ar-Ruzz Media, 2011.

Mujiati, Hermanik. “Quo Vadis Kebijakan Ujian Nasional”, dalam Sobri AR


(ed.). Meneropong Realitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Spektrum,
2008.

91
Mulaysana. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.

Musfah, Jejen (Ed). Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta:


Kencana, 2012.

Najamuddin. Perjalanan Pendidikan di Tanah Air. Bandung: Rineka Cipta, 2005.

Nasution, S. Sejarah Pendidikan Nasional. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Natususanto. Sejarah Indonesia


Nasional V. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Rahardjo, Suparto. Biograf Singkat Ki. Hajar Dewantara, 1889-1959.


Yogyakarta: Garasi, 2009.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Cetakan ke-3. Jakarta:


Serambi, 2007.

Rifa’I, Muhammad. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga


Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Rubiyanto, Nanik dan Dany Haryanto. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah.


Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010.

Said, Muhammad dan Junimar Affan. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung:
Jemmars, 1987.

Samho, Bartolomeus. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan


Relevansi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Samsul, Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.

Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Erlangga, 2011.

Shiraishi, Takashi. The Age In Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926.


London: Comell University Press, 1990.

92
Simbolon, Parakitri T. Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun
Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas, 2000.

Soeratman, Darsiti. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, 1985.

Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional, 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1994.

Sujarwo, S. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta:


Mediyatama Sarana Perkasa, 1988.

Sularto. Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Jakarta: Kompas Media


Nusantara, 2016.

Supriadi, Dedi (Ed). Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan


Sejak Zaman Kolonial hingga Era Refomasi. Jakarta: Depdikbud, 2003.

Suratman, Ki. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1987.

Syukurman, Sosiologi Pendidikan: Memahami Pendidikan Dari Aspek


Multikulturalisme. Jakarta: Prenadamedia Group, 2020.

Tauchid, M. Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional.


Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1968.

_________. Tugas Taman Siswa dalam Pembangunan Masyarakat Baru.


Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962.

_________. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta:


Majelis Luhur Taman Siswa, 1963.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme (Tantangan-tantangan Global Masa Depan


dalam Transformasi Pendidikan Nasional). Jakarta: Grasindo: 2004.

93
__________. Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2015.

__________. Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI.


Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

__________. Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995.


Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1995.

__________. Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka


Cipta, 2006.

Tim Kreatif LKM UNJ. Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat


Terdidik Berbasis Budaya. Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Toer, Pramoedya Ananta. Anak Semua Bangsa. Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.

Tsuchiya, K. Democracy and Leadership: the Rise of the Taman Siswa. Movement
in Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press, 1987.

Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV


Alfabeta, 2004.

Wal, SL der. Pendidikan di Indonesia 1900-1940. Jakarta: Depdikbud, 1977.

Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: AR. RUZZ


MEDIA, 2009.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992.

Zuchdi, Darmiyati. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan


Yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: PT. Bumi Aksara,


2000.

Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

94
3. Jurnal dan Majalah

Suparlan, Henricus. “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan


Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia” Jurnal Filsafat, Vol 25,
Nomor 1 (April 2014): 1-19.

Supratiknya, A. “Sistem Pendidikan Indonesia Saat ini dalam Psikologis” dalam


majalah Ilmiah Widya Dharma, No. 2 Th. X, ISSN: 0853-0920, April
2000.

4. Koran

Abbas, Hafid. “Rapor Merah Pendidikan”, Kompas, 20 Februari 2020

95

Anda mungkin juga menyukai