SKRIPSI
Oleh
NPM: 16.75.5949
2020
LEMBAR PENERIMAAN JUDUL
2. NPM : 16.75.5949
4. Pembimbing :
(Penanggung Jawab)
6. Mengesahkan 7. Mengetahui
ii
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian
dari Syarat-syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik
Pada
1 Juni 2020
Mengesahkan
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
Ketua
DEWAN PENGUJI:
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
NPM : 16.75.5949
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri,
dan bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau lembaga lain.
Semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi
ini telah disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan pada catatan kaki
dan daftar pustaka.
Yang menyatakan
iv
KATA PENGANTAR
v
pendidikan menghasilkan manusia beradab, karena itu diperlukan keseimbangan
seperti ini.
Pada tempat pertama, penulis bersyukur kepada Tuhan karena atas berkat
dan tuntunan-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Pada lembaran ini, penulis
menyatakan rasa terima kasih berlimpah kepada pelbagai pihak yang telah
mendukung proses pengerjaan skripsi ini hingga tuntas. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada P. Antonius Jemaru, M.Sc., yang dengan penuh kesetiaan,
perhatian dan kesabaran membimbing penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
Penulis menyadari selama proses pengerjaan terdapat begitu banyak kekurangan
dan kekeliruan. Segala sumbangan pikiran dan tenaga dari Pater sangat
memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih
yang sama penulis sampaikan kepada Ibu Aloysia Berlindis Lasar, S.Pd., M.Pd
meski dengan sekian banyak kesibukan bersedia menjadi penguji dan meluangkan
waktu serta membantu penulis dalam memperbaiki dan menyelesaikan karya ini.
Seluruh uraian tulisan ini memang jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca merupakan
masukan yang amat berharga bagi penulis demi menyempurnakan tulisan ini.
vi
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada
pembaca sekalian. Terima kasih dan selamat membaca.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................... 7
1.3 TUJUAN PENULISAN ..................................................................................... 8
1.4 METODE PENULISAN ................................................................................... 8
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN ......................................................................... 8
viii
2.2.5.3 Budi Utomo ..................................................................................................... 20
2.2.5.4 Pendiri Indische Partij (Partai Politik pertama yang beraliran
nasionalis Indonesia).................................................................................... 20
2.3 AJARAN- AJARAN KI HADJAR DEWANTARA ..................................... 21
2.3.1 Konsep tentang Kepemimpinan ......................................................................... 22
2.3.1.1 Demokrasi dan Kepemimpinan ....................................................................... 22
2.3.1.2 Trilogi Kepemimpinan .................................................................................... 22
2.3.2 Konsep tentang Kebudayaan ............................................................................. 22
2.3.3 Konsep tentang Politik ....................................................................................... 23
2.4 PENGHARGAAN YANG DIPEROLEH KI HADJAR DEWANTARA ... 24
2.4.1 Bapak Pendidikan Nasional dan Pergerakan Nasional ...................................... 24
2.4.2 Doctor Honoris Causa........................................................................................ 24
2.5 CATATAN KRITIS......................................................................................... 26
ix
3.3.4.2 Asas Kemerdekaan .......................................................................................... 57
3.3.4.3 Asas Kebudayaan ............................................................................................ 57
3.3.4.4 Asas Kebangsaan ............................................................................................ 58
3.3.4.5 Asas kemanusiaan ........................................................................................... 59
3.4 CATATAN KRITIS......................................................................................... 59
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN ................................................................................................ 84
5.2 SARAN.............................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 89
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Nazili Shaleh Ahmed, Pendidikan dan Masyarakat (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), hlm. 54.
1
bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya. Apalagi kalau guru itu sudah
bandit pada dasarnya”.2
2
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002), hlm. 23.
3
Ignas Kleden, “Status Ilmiah Filsafat dan Tantangan Kontemporer”, dalam Paul Budi Kleden dan
Otto Gusti Madung (eds.), Menukik Lebih Dalam, Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 5.
4
Mulaysana, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 3.
2
tindakan negatif, penyimpangan dan kejahatan masih mewarnai kehidupan
bangsa.5 Dunia pendidikan selama ini memfokuskan diri pada IQ (dan EQ), ini
barangkali karena ada anggapan bahwa untuk hidup dibutuhkan kecerdasan agar
dapat meraih modal materiil dan modal sosial.6
5
Jejen Musfah (ed), Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif (Jakarta: Kencana, 2012),
hlm. 120.
6
Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 14.
3
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan (pasal 4).”7 Jika ditelusuri tujuan pendidikan nasional, maka kita akan
menemukan sebuah cita-cita pengintegrasian secara seimbang potensi-potensi
pelajar yang meliputi intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, kreativitas,
mentalitas, sosialitas, dedikasi dan moralitas. Hemat penulis, untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional, maka penerapan sistem pendidikan holistik di setiap
sekolah sedini mungkin menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
7
A. Supratiknya, “Sistem Pendidikan Indonesia Saat ini dalam Psikologis” dalam majalah Ilmiah
Widya Dharma, No. 2 Th. X, ISSN: 0853-0920, April 2000.
8
Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 14.
9
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (Yogyakarta: AR. RUZZ MEDIA, 2009), hlm.
16.
4
Pendidikan holistik menuntut adanya metode pembelajaran yang
menghargai martabat pelajar sehingga mereka mampu menghargai martabat
sesamanya dan memperhatikan aspirasi dan persoalan-persoalan mendasar pelajar.
Dengan demikian, mereka merasa diperhatikan, disayangi dan berkomitmen untuk
berjuang mengatasi persoalan dengan menempuh jalur-jalur yang baik, bukan
dengan tawuran antarpelajar atau mencari kenikmatan, semisal seks. Pendidikan
yang holistik menuntut adanya metode pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik dan menempatkan para pendidik sebagai motivator dan suri teladan bagi
pelajar dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Meminjam semboyan pendidikan
Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarsa Sung Tuladha (pendidik selalu berada di depan
untuk memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (pendidik selalu berada di
tengah-tengah pelajar dan terus-menerus memberi motivasi) dan Tut Wuri
Handayani (pendidik selalu mendukung pelajar untuk berkarya ke arah yang benar
dalam hidup bermasyarakat).10
Harapan akan lahirnya suatu model pendidikan holistik masih jauh dari kata
merdeka meskipun saat ini negara kita sudah bebas dari bangsa penjajah.
Pendidikan ala penjajah masih saja diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan
tertentu, di mana ada pemisahan antara kelompok yang mampu (berduit) dan
kelompok yang kurang mampu (miskin).11 Pemisahan seperti ini secara tidak
langsung mematikan semangat setiap orang yang ingin belajar namun karena
lemah secara ekonomis akhirnya harus mengurungkan niat untuk belajar.
Pendidikan yang dulu diterapkan pada masa kolonial yang hanya menjadi alat
politik guna memperdaya golongan bumiputra12 kini juga masih diterapkan oleh
pemerintahan Indonesia untuk menindas kelompok-kelompok atau golongan-
golongan tertentu. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia memberikan
dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan antara lain banyaknya angka
pengangguran, kemiskinan, kelaparan, dan berbagai dampak negatif lainnya.
10
Bartolomeus Samho, op.cit., hlm. 78.
11
Ibid., hlm 65.
12
Ibid., hlm. 63.
5
yang baik, setiap orang mempunyai budi pekerti yang baik. Pendidikan dan
pengajaran merupakan daya-upaya yang dapat memerdekakan manusia baik dalam
aspek lahiriah maupun batiniah.13 Pendidikan dan pengajaran melahirkan manusia
yang berbudi pekerti yang dapat membuat setiap manusia merasa merdeka dengan
hidup sehingga dapat menguasai dan memerintah diri sendiri secara baik, kata Ki
Hadjar Dewantara14 dalam visi pendidikannya untuk bangsa Indonesia kala itu.
Melalui pendidikan itulah manusia berusaha mengembangkan potensi dalam
dirinya melalui proses pembelajaran, serta cara lain yang diakui dan dikenal oleh
masyarakat demi sebuah pembangunan yang lebih baik.15
13
Ibid., hlm. 74.
14
Ibid., hlm. 76.
15
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hlm. 7.
16
Bartolomeus Samho, op.cit., hlm. 67.
6
hubungan yang dijalin dengan masyarakat dan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya
serta lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Pendidikan holistik dilakukan
dengan tujuan untuk membantu di dalam mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh setiap orang, di mana hal tersebut dilakukan dalam suasana yang
lebih menyenangkan, demokratis, serta humanis.17 Adanya pendidikan holistik
setiap pribadi dilatih untuk mandiri, di mana orang tersebut mendapatkan
kebebasan, mampu mengambil keputusan yang tepat dan baik bagi dirinya serta
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pendidikan holistik Ki
Hadjar Dewantara sebagaimana diuraikan oleh Soeratman, lebih menekankan pada
kecerdasan budi pekerti yang dapat mengantar setiap orang untuk merdeka secara
batiniah. Kemerdekaan secara batiniah dapat mengantar setiap pribadi untuk
berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya
sendiri (menguasai diri).18
17
Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2010), hlm. 2.
18
Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985), hlm. 24-25.
7
kelompok-kelompok atau etnis-etnis tertentu. Sehingga pada kesempatan ini
penulis ingin mengangkat beberapa permasalahan dasar berkaitan dengan
pendidikan: Pertama, bagaimana konsep pendidikan holistik dengan berguru pada
Ki Hadjar Dewantara? Kedua, bagaimana tantangan dan relevansi konsep
pendidikan holistik menurut Ki Hadjar Dewantara bagi dunia pendidikan
Indonesia masa kini?
Tulisan ini terdiri dari lima pokok pembahasan yang dikategorikan dalam
beberapa bab. Bab 1 merupakan pendahuluan. Dalam bab ini penulis
menampilkan arah dari keseluruhan pembahasan yang mencakup latar belakang
penulisan pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Dalam Bab II, penulis membahas Biografi dan pemikiran dari Ki Hadjar
Dewantara. Dalam bab ini penulis mengemukakan beberapa pokok bahasan yakni,
biografi Ki Hadjar Dewantara, karya-karya Ki Hadjar Dewantara, ajaran-ajaran Ki
Hadjar Dewantara, dan penghargaan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara. Pada
bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan Bab II.
8
Pada Bab III, penulis mengemukakan konsep pendidikan holistik Ki
Hadjar Dewantara. Dalam bagian ini penulis mengemukakan beberapa pokok
bahasan yakni, potret pendidikan dan pengajaran pemerintah kolonial, kesadaran
progresif Ki Hadjar Dewantara, dan konsep pendidikan holistik Ki Hadjar
Dewantara. Pada bagian ini penulis juga membuat catatan kritis dari keseluruhan
Bab III.
9
BAB II
10
keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian
nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.19
19
Ibid., hlm. 8-9.
20
Suparto Rahardjo, Biograf Singkat Ki. Hajar Dewantara, 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi, 2009),
hlm. 9.
11
yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di
dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik
maupun dengan pendidikan. Ia juga menentang kolonialisme dan feodalisme yang
menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan, kemerdekaan dan
tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata.21
21
Bambang Soekawati Dewantara, Mereka yang Selalu Hidup Ki Hadjar Dewantara dan Nyi
Hadjar Dewantara (Jakarta: Roda Pengetahuan, 1981), hlm. 15-16.
12
politik, jurnalistik, dan pendidikan. Dari Direktur STOVIA, Suwardi Suryaningrat
mendapat Surat Keterangan Istimewa atas kepandaiannya berbahasa Belanda.22
22
Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-Kawan
Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan (Jakarta: Gunung Aguna, 1980), hlm. 12.
23
Ibid.
24
B ambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara: Ayahku (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1989), hlm. 19-33.
25
K. Tsuchiya, Democracy and Leadership: the Rise of the Taman Siswa. Movement in Indonesia
(Honolulu: University of Hawai Press, 1987), hlm. 64.
13
masyarakat pada umumnya. Secara mitologis pergeseran nama tersebut menandai
perubahan dari satrio pinandito (ksatria yang berjiwa pendeta) ke pandito sinatrio
(pendeta atau guru yang bersedia mengangkat senjata untuk membela nusa dan
bangsa).26
26
M. Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional (Yogyakarta:
Majelis Luhur Taman Siswa, 1968), hlm. 19.
27
Ibid., hlm 25.
14
mengenai pendidikan, sehingga hari lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai
Hari Pendidikan Nasional berdasarkan surat keputusan Presiden No. 316 tanggal
16 Desember 1959. Penetapan hari lahir Ki Hadjar Dewantara sebagai Hari
Pendidikan Nasional merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan atas
jasanya di bidang pendidikan nasional.28
28
I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), hlm. 87.
29
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan (Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011), hlm.
480.
30
I. Djumhur dan H. Danasuparta, op. cit., hlm. 89.
15
Metode among menempatkan anak didik sebagai subjek dan sebagai objek
sekaligus. Proses pendidikan dengan metode among mengandung pengertian
bahwa seorang pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih
terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan
anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya.
Pamong atau guru tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan
bersikap Ing Ngarsa Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri
Handayani.
31
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 488.
32
Djoko Marihandono, Perjuangan Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Museum Kebangkitan
Nasional, 2017), hlm. 37.
16
2.2.4 Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan
Perjuangan Hidup Penulis
33
Gunawan, Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun Taman Siswa
(Yoyakarta: MLPTS, 1992), hlm. 303.
17
yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya
secara paksa dari rakyat Indonesia.34
34
Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 48.
35
M.Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: MLPTS, 1963),
hlm. 299.
18
perampasan kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow”
tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala.36
36
Ibid., hlm. 21.
37
Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 111.
38
Ibid., hlm. 113.
19
kedaulatan di Negeri Belanda pada Desember 1949, Ki Hadjar Dewantara
menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah sebagai DPR RI.
Pada tahun 1950, Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan DPR
RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada
Taman Siswa sampai akhir hayatnya. 39
39
Ibid., hlm. 114.
40
Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 168.
41
M. Tauhid, op. cit., hlm. 22-23.
20
nasionalis Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi
pemerintahan kolonial Belanda melalui Gubernur Idenburg berusaha menghalang
kehadiran partai ini dengan cara menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret
1913. Pemerintahan Belanda takut organisasi ini dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang mereka.
Dewantara juga melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis
dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut. Atas kritikan-kritikannya itu, Dewantara dibuang ke negeri Belanda.
Kesempatan ini digunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Jabatan-
jabatan lain yang diduduki oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu pada tahun 1913, KI
Hadjar Dewantara bersama Cipto Mangunkusumo mendirikan Komite Bumi
Putera untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari
penjajahan Perancis yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913
secara besar-besaran di Indonesia. Kemudian tahun 1918 Ki Hadjar Dewantara
mendirikan Kantor Berita Indonesische Persbureau di Nederland. Selanjutnya
pada tahun 1944 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Naimo Bun
Kyiok Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan). Pada tanggal 8 Maret
1955 dia ditetapkan pemerintah sebagai perintis Kemerdekaan Nasional
Indonesia. Sedangkan pada tanggal 17 Agustus 1960, Ki Hadjar Dewantara
dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha
putera tingkat I. Atau pada tanggal 20 Mei 1961 Ki Hadjar Dewantara menerima
tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan.42
42
Irna dan H.N. Hadi Soewito, Soewardi Soeryaningrat dalam Pengasingan (Jakarta: Balai
Pustaka, 1985), hlm. 132.
21
2.3.1 Konsep tentang Kepemimpinan
Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani
merupakan trilogi Ki Hadjar Dewantara di kalangan pendidikan. Trilogi ini
merupakan perangkat pendidikan dalam melaksanakan tugas pendidikan yang
berjiwa kekeluargaan. Namun dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan
telah menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, sebagai sarana mengatur
tata kehidupan bersama, baik di kalangan Pemerintah, TNI/Polri, maupun
masyarakat sipil.44
43
Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 171.
44
Ibid., hlm. 171-172.
45
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 65.
22
Ki Hadjar Dewantara juga mengemukakan bahwa semboyan Bhineka
Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) merupakan landasan atau cerminan
dari kebudayaan Indonesia. Beragam pulau dengan segala jenis keanekaragaman
suku, ras, dan agama dipersatukan dalam satu-kesatuan negara Republik
Indonesia. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang terbuka terhadap
kebudayaan lain, yang menerima segala bentuk masukan yang bernilai, baik yang
lama maupun yang baru, juga yang berasal dari luar bangsa. Akan tetapi
kebudayaan yang diterima itu harus sesuai dengan kekhasan serta kepribadian
bangsa Indonesia, dengan pedoman dasarnya adalah Pancasila. Hal ini bertujuan
untuk memperkaya dan mengembangkan kebudayaan bangsa ini ke arah yang
lebih baik.46
46
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian II: Kebudayaan (Yogyakarta: MLPTS, cet. IV, 2011), hlm.
93-97.
47
Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1982),
hlm. 70-71.
23
nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintahan
kolonial Belanda.
48
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. XIII.
49
Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 179.
50
Ibid.
24
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. 51
51
Ibid.
52
Ibid., hlm. 180-181.
25
Dengan keteladanan dari seorang pendidik, anak didik diharapkan mampu
menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa. 53
Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan. Hal yang
utama adalah bagaimana peserta didik memiliki budi pekerti yang mulia yang
merupakan tujuan utama dalam pendidikan. Pendidikan tidak hanya fokus pada
satu aspek semata, melainkan pada seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian
peserta didik akan menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan
kecerdasannya untuk mengintimidasi orang lain.
53
Ibid.
26
memperhatikan sistem pendidikan di Indonesia. Semuanya itu dilakukannya demi
mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun kesadaran manusia di
Indonesia akan hak-haknya. Pada pembahasan selanjutnya kita akan sama-sama
melihat perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan di Indonesia
termasuk juga konsep dan idealisme pendidikan yang diterapkannya.
27
BAB III
Masyarakat abad ini tentunya tidak terlepas dari sebuah perubahan. Arus
perkembangan akibat globalisasi tidak dapat terbendung lagi. Dampak dari
globalisasi tidak hanya dirasakan oleh beberapa kalangan, melainkan di seluruh
lapisan masyarakat. Perkembangan akibat adanya globalisasi tidak hanya
menyentuh satu aspek kehidupan, melainkan juga seluruh aspek kehidupan. Mulai
dari aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi hingga pendidikan.
28
3.1 POTRET PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN PEMERINTAHAN
KOLONIAL
Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum
“inlanders”55 ditangani oleh Gereja Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi
VOC. Mereka inilah yang membiayai kegiatan pendidikan di Indonesia, bukan
dari pemerintahan Belanda. Pendidikan, termasuk pendirian sekolah-sekolah baru
yang dikembangkan oleh VOC pun pada awalnya berbasis agama. Kegiatan
pendidikan yang dilakukan lebih terpusat pada daerah yang struktur politiknya
lemah, misalnya di Ambon dan Banda.56
Pada tahun 1607 sekolah pertama didirikan di Batavia. Itu pun hanya
sekolah berbasis agama Kristen yang pencapaiannya terbatas pada kemampuan
memahami Bible, kitab suci agama Kristen. Oleh karena itu, jika ada pendidikan
lanjutan, pendidikan tersebut hanya untuk mendidik guru dan pastor.57
Pada abad ke-19 atau tepatnya setelah VOC bubar pada tahun 1799,
pendidikan di Indonesia ditangani langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dibubarkannya VOC di Indonesia mendorong berubahnya sistem pemerintahan
dari Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem Pemerintahan Tidak Langsung ke
Sistem Pemerintahan Langsung). Hal ini berdampak pada perubahan di mana
kebijakan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.58
54
Afifuddin, Sejarah Pendidikan (Bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29.
55
Inlanders yaitu penduduk tanah jajahan yang ditangani oleh Nederlands Zendelingen
Genootschap atau NZG
56
Dedi Supriadi (Ed), Guru di Indonesia:Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak Zaman
Kolonial hingga Era Refomasi (Jakarta: Depdikbud, 2003), hlm. 6-7.
57
Ibid., hlm. 7.
58
Ibid., hlm. 8.
29
Pada tahun 1808, Raja Lodewijk memerintahkan Deandels, seorang
Gubernur Belanda untuk mengarahkan bupati-bupati di Jawa agar mengorganisir
sekolah-sekolah demi anak-anak pribumi. Tujuannya yaitu menerapkan kurikulum
yang mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak dapat bertumbuh
menjadi anak Jawa yang baik. Deandels kemudian mendirikan sekolah Bidan di
Jakarta dan sekolah Ronggeng di Cirebon. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil,
bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan
kerja paksa (rodi).59
Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817
yang segera diakui oleh pembukaan sekolah lain di kota Jawa. Prinsip yang
dijadikan pegangan tercantum di tahun 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka
di tiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda. Pada tahun 1820, Gubernur
Jenderal Van der Capellen (1819-1823) menginstruksikan kepada regen-regen
untuk menyediakan sekolah bagi penduduk pribumi. Hal ini bertujuan untuk
mengajarkan anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang
baik. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah-sekolah tersebut hanya
sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Anjuran Gubernur Jenderal itu
tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif. 61
30
priyayi dengan pelajaran Bahasa Belanda. Sedangkan sekolah kelas dua (ongko
loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran Bahasa
Belanda.62 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peraturan pendidikan lebih
dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut,
diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah
ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang
merupakan kaum elite.63 Menurut Ary Gunawan sebagaimana diuraikan oleh
Rifa’i, dalam prinsip kebijakan pendidikan kolonial, pemerintah kolonial berusaha
untuk tidak memihak salah satu agama tertentu. Hal ini dibuat agar pendidikan
menghasilkan para lulusan yang siap bekerja, terutama demi kepentingan kaum
penjajah. Selain itu sistem persekolahan juga disusun berdasarkan stratifikasi
sosial yang ada dalam masyarakat. Pendidikan bagi kaum kolonial pertama-tama
diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
Terakhir bagi kaum kolonial dasar pendidikan untuk masyarakat Indonesia waktu
itu adalah dasar pendidikan Barat yang berorientasi pada pengetahuan dan
kebudayaan Barat.64
62
Rusdi Kantrapawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1999), hlm. 86.
63
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Cetakan ke-3 (Jakarta: Serambi, 2007),
hlm. 21.
64
Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 59.
65
Ibid., hlm. 63.
31
buat. Akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-
sekolah Belanda.66
66
Ibid., hlm. 65.
67
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 30.
68
Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 112.
69
SL der Wal, Pendidikan di Indonesia 1900-1940 (Jakarta: Depdikbud, 1977), hlm. 97.
32
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putra. Hal ini
disebabkan oleh hasil sekolah-sekolah bumi putra yang kurang memuaskan
pemerintahan kolonial. Hal ini disebabkan oleh isi rencana pelaksanaannya terlalu
padat. Di samping itu di kalangan pemerintah sendiri mulai timbul perhatian pada
rakyat jelata. Mereka sadar bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan
hanya lapisan atas. Juga adanya keyakinan bahwa masyarakat Indonesia
mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan, yaitu lapisan atas dan
lapisan bawah.70
70
Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hlm.
212.
71
Persyaratan guru Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pengajaran agama dapat diberikan
harus izin tertulis dari pihak penguasa dan harus ada daftar muridnya.
72
Muhammad Rifa’I, op. cit., hlm. 56.
33
Belanda.73 Bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan
Gubernur Jenderal Van der Capellen.
34
suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan timur asing, khususnya
keturunan Cina. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1908 dan lama
sekolahnya tujuh tahun. Di samping itu sekolah Bumi Putra Belanda HIS
(Hollands Inlandse School) merupakan sekolah rendah untuk golongan penduduk
Indonesia asli. Lamanya sekolah ini tujuh tahun dan pertama kali didirikan pada
tahun 1914.76
76
Afifuddin, op. cit., hlm. 99-101.
77
Najamuddin, Perjalanan Pendidikan di Tanah Air (Bandung: Rineka Cipta, 2005), hlm 11.
78
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), hlm. 29.
35
yang dimaksud adalah MULO (Meer Uit gebreid Lager School), AMS (Algemene
Middelbare School), dan HBS (Hoobere Burger School). MULO adalah sekolah
lanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar Bahasa Belanda. Pendidikan
yang ditempuh tiga sampai empat tahun dan didirikan pada tahun 1914.
Sementara AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum
kelanjutan dari MULO. Golongan Berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi
golongan bumi putra dan Timur asing. Pendidikan yang ditempuh selama tiga
tahun dan didirikan pada tahun 1915. Sedangkan HBS (Hoobere Burger School)
atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengah kelanjutan dari ELS
yang disediakan untuk golongan Eropa. Sekolah ini didirikan pada tahun 1860.79
Selain itu karena terdesak oleh tenaga ahli Pendidikan tinggi (Hooger
Onderwijs) akhirnya mendirikan sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge
School), sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge School), dan pendidikan
Tinggi Kedokteran.81
79
Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1995),
hlm. 56.
80
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm.
110.
81
Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Mandar
Maju, 1990), hlm. 78.
36
sejarah dunia yang menuntut dukungan militer yang kuat, pendidikan Jepang di
Indonesia pun diterapkan berdasarkan kepentingan ini. Pendidikan di masa
pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan
militer Jepang dalam peperangan pasifik. 82 Pada Februari 1942, Jepang
menyerang Sumatra, Jawa, dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret
1942. Sejak itulah Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan
yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Kebijakan-kebijakan itu adalah menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan sebagai ganti bahasa Belanda.
Terdapat juga integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem
pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.83
Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan The Triple Movement yang tidak
menyertakan wakil tokoh pribumi. Jepang kemudian merekrut Ki Hadjar
Dewantara sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang
mengambil tenaga pribumi dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem
pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize.
Karena itulah, di Indonesia mereka mencoba format pendidikan yang
mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Patut dicatat pada menjelang akhir
masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem
Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang)
untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi
Indonesia Raya. Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki
keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi
pokok dalam latihan tersebut antara lain indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu,
Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran Jepang, bahasa, sejarah dan adat-istiadat
Jepang, ilmu bumi dengan perspektif geopolitis, olahraga dan nyanyian Jepang. 84
82
Afifuddin, op. cit., hlm. 54.
83
Ibid., hlm. 55.
84
H. A. R. Tilaar, Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995 (Jakarta:
Gramedia Widiasarana, 1995), hlm. 188.
37
kebangsaan Jepang setiap pagi; mengibarkan bendera Jepang dan menghormati
kaisar Jepang setiap pagi; setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa,
bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; melakukan senam Jepang setiap pagi;
melakukan latihan-latihan fisik dan militer; menjadikan Bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan85
85
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2000), hlm. 54.
86
Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: CV Alfabeta, 2004), hlm.
18.
38
3.2.1 Politik Kemajuan dan Kesetaraan
87
Ki Hadjar Dewantara, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan: kenang-
kenangan Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Endang, 1952), hlm. 108.
88
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, 1908-1945 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm.
104.
39
semua perasaan etnik-etnik di koloni yang menginginkan kehidupan setara antara
penjajah dan kaum terjajah baik sosial maupun politik.89
89
Ibid., hlm. 107.
90
Takashi Shiraishi, The Age In Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (London: Comell
University Press, 1990), hlm. 38.
91
Eduard Jebarus, Sejarah Persekolahan di Flores (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 166.
40
sehingga mobilitas vertikal kaum pribumi tetap terkontrol. Komunikasi sosial-
politik antara penjajah dan terjajah sangat renggang dan bahkan terjadi jurang
yang dalam sehingga melanggengkan sistem pemerintahan tidak langsung, artinya
masyarakat pribumi tetap diperintah penguasa tradisional, sehingga penguasa
kolonial cukup menghubungi penguasa bumiputra dalam menjalankan
pemerintahan kolonial.92
92
Prof. Dr. Djoko Marihandono (Ed), op. cit., hlm. 14-15.
41
mengemukakan cita-cita menuju Indonesia merdeka.93 Jurnalistik baginya
merupakan media bagi alat dan lapangan perjuangannya, tempat mencurahkan
rasa hati dan semangatnya untuk kemerdekaan tanah airnya. Artikel yang dimuat
dalam De Express telah membawa pengaruh luas dalam kehidupan masyarakat,
terutama orang-orang yang bisa baca dan tulis, dan membaca artikel tersebut akan
menambah wawasannya tentang perjuangan kemerdekaan bangsanya. Jurnalis
bagi Ki Hadjar Dewantara dmaksudkan untuk mendidik kaum pribumi lainnya
supaya mengetahui realitas bangsanya yang sedang dijajah. Dengan demikian
akan melahirkan suatu kesadaran untuk membela tanah air.
Politik etis telah melahirkan kaum cerdik pandai. Wawasan mereka telah
terbuka berkat pendidikan model Barat. Kesadaran akan nasionalisme telah lahir.
Pengalaman masa lampau, bahwa perjuangan dengan mengangkat senjata yang
bergantung pada satu pemimpin dan tidak memiliki organisasi yang teratur
dengan mudah dilibas oleh para penjajah. Untuk itu mereka sekarang telah
mempunyai konsep bahwa perjuangan harus dirubah dari cara tradisional dengan
cara yang modern. Hanya dengan organisasi yang modern dan mengedepankan
akal sehat kemerdekaan Indonesia bisa tercipta.
93
Mochammad Tauhid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1963), hlm. 29.
94
Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 38.
42
mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan
untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat
yang merdeka. Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju
kemerdekaan Indonesia. Indonesia sebagai “National Home” semua orang
berketurunan bumiputra, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya, yang mengaku
Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Semangat ini pulalah yang
menyatakan Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia.
Cita-cita Indische Partij akan berakar dalam dan membantu mempertajam fokus
akan identitas nasional baru dari Hindia Timur.95
95
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Natususanto,Sejarah Indonesia Nasional V
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 188.
96
R. E. Elson,The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan(Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2009), hlm. 22.
43
pemerintahan kolonial dalam wadah Indische Partij, telah membuat gusar pihak
penguasa.
97
Ibid., hlm. 27.
98
H. A. H. Harahap & B. S. Dewantara, op. cit., hlm. 25.
44
kenangan yang baik akan perayaan peringatan itu dan berharap disediakan suatu
Badan Perwakilan rakyat. Jadi kemerdekaan yang dimaksudkan ialah
kemerdekaan untuk turut menjalankan pemerintahan melalui suatu Dewan
Perwakilan Rakyat yang di dalamnya kaum pribumi juga memperoleh kursi secara
adil. Namun nyatanya semua anggota itu diangkat oleh pemerintah. Dengan
demikian rakyat tidak diwakili di dalamnya sehingga tidak ada manfaat dan
keuntungan bagi rakyat, dan Ki Hadjar Dewantara merasa wajib mengajukan
protes terhadap rencana itu. Selain itu agar rakyat menjadi melek dan terbuka
hatinya, agar mereka menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, mengangkat
dirinya sejajar dengan golongan-golongan penduduk lainnya.99
45
dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai pemimpin redaksinya, mengusung
semboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia!”. Jurnal tersebut dimaksudkan untuk
tidak hanya menjadi jurnal bagi orang-orang Indonesia yang sedang belajar di
Belanda, tetapi juga untuk orang-orang penting di dunia pribumi Hindia, dan
bertujuan mendorong perkembangan harmonis bangsa Hindia. 101
101
R. E. Elson, op. cit., hlm. 34.
102
Ibid., hlm. 37.
103
H.A.H. Harahap & B.S. Dewantara, op. cit., hlm. 157.
46
kaum pribumi akan menghasilkan pemuda-pemudi yang bisa membaca dan
menulis. Perkembangan selanjutnya membuka kesadaran bagi kaum pribumi
tentang nasib bangsanya yang sedang dijajah. Kemudian mereka akan berjuang
untuk mengusir penjajah. 104
104
Ibid., hlm. 159.
105
M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 333.
47
bagi pemerintah kolonial. Semakin banyak orang belajar dan tamat dari Perguruan
Taman Siswa, semakin banyak generasi Indonesia yang berani membangkang dan
melawan kebijakan politik pemerintah kolonial.
106
Bambang Sokawati Dewantara, op. cit., hlm. 138.
107
Ibid., hlm. 142.
108
M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 96.
48
penghasilan saja, sebab Perguruan Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan
bersifat kekeluargaan yang tidak mengenal buruh dan majikan.109 Ki Hadjar
Dewantara membawa masalah undang-undang sekolah liar ke Dewan Rakyat.
Pada tanggal 10 Januari 1933, Wiranata Kusumah dan kawan-kawan
mengusulkan untuk membuat undang-undang baru, usulan tersebut diterima dan
dimufakati oleh pemerintah, maka undang-undang sekolah liar ditunda selama
satu tahun.110 Ki Hadjar Dewantara mengirimkan telegram untuk menggerakkan
seluruh tenaga bangsa dan bangkit serentak berdiri di belakang Ki Hadjar
Dewantara bersama-sama melawan undang-undang kolonial dengan gagah berani,
akhirnya ordonasi sekolah liar dibekukan, delapan bulan kemudian dicabut dan
dibatalkan.111
109
Darsati Soeratman, op. cit., hlm. 106-107.
110
Ibid., hlm. 102.
111
M. Tauchid, Perdjuangan dan Adjaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1963), hlm. 61.
112
Selama menjalani hukum buang di negeri Belanda, Ki hadjar Dewantara tentu banyak
mempelajari teori tentang pendidikan yang berkembang dan diterapkan pada masa itu dan juga
dewasa ini. Pada umuumnya teori-teori pendidikan menggarisbawahi pentingnya “proses menjadi”
menuju kemanusiaan yang utuh dan penuh. Pendidikan pun lantas dipahami sebagai proses
kegiatan mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan dlam arti yang seluas-
luasnya (pengetahuan, pemahaman, perasaan, spiritual, sosial, dll). Pemahaman demikian
49
Manusia yang terdidik mampu menyikapi tuntutan-tuntutan dan tantangan-
tantangan kehidupan dengan sikap bersahaja. Ia tidak lagi terperangkap dalam
kepentingan-kepentingan diri dan golongan yang temporal dan duniawi sifatnya.
Praksis kehidupannya sarat dengan permenungan atas nilai-nilai kemanusiaan
universal sekaligus disertai dengan daya upaya untuk mewujudkannya dalam
kehidupan nyata. Manusia yang merdeka batiniahnya adalah manusia pintar tapi
sekaligus benar tindakannya, maju penalaran akalnya dan sekaligus bermoral
perilakunya, beragama sekaligus beriman.
50
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan
dengan dunianya.114 Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu upaya
pemanusiaan manusia secara manusiawi ke arah kemerdekaan lahiriah dan
batiniah.Pendidikan harus bersentuhan dengan upaya-upaya konkret berupa
pengajaran dan pendidikan. Dalam praksisnya, pengajaran dan pendidikan harus
disesuaikan dengan kondisi hidup dan kehidupan rakyat. Kondisi rakyat yang
terjajah tidak cukup menguntungkan dunia pendidikan manakala prosesnya
berorientasi pada keuntungan material. Maka yang hendak dicapai oleh Ki Hadjar
Dewantara dalam dan melalui pendidikan adalah tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya menghormati nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam kehidupan personal
maupun kehidupan sosial. Artinya, kesadaran akan pentingnya hormat pada
martabat kehidupan yang diimani sebagai hormat pada pencipta kehidupan. Di
situlah dasar daya upaya memerdekakan badaniah dan batiniah dibangun.
114
Ki Hadjar Dewantara, Karya I: Pendidikan (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962), hlm.
14-15.
115
Kalau kita cermati ketiga macam kemerdekaan di atas, pendidikan tampaknya berurusan dengan
upaya membangun kesadaran pada manusia bahwa dirinya adalah subjek realitas. Artinya sebagai
pribadi mampu mengurus dirinya sendiri dan sekaligus mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri. Kesadaran demikian tentu sulit dikembangkan pada masa Ki Hadjar Dewantara sebab
51
Suparlan menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang
seutuhnya, Ki Hadjar Dewantara mengajukan konsep tri pusat pendidikan,
yaitu:pendidikan keluarga, pendidikan dalam alam perguruan dan pendidikan
dalam alam pemuda.116 Pertama, pendidikan keluarga. Ki Hadjar Dewantara
mengatakan bahwa dalam sistem Taman Siswa keluarga mendapat tempat yang
luhur dan istimewa karena keluarga merupakan lingkungan yang kecil, tetapi
keluarga merupakan tempat yang suci dan murni dalam dasar-dasar sosialnya,
oleh sebab itu keluarga merupakan satu pusat pendidikan yang mulia. Dalam
lingkungan keluarga, seseorang dapat menerima segala tradisi mengenai hidup
kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
rakyat Indonesia kala itu dijajah oleh pemerintah Belanda.Maka pendidikan adalah kata kunci
untuk ke arah kemerdekaan yang dimaksudkan. Ibid., hlm. 4.
116
Henricus Suparlan, “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi
Pendidikan Indonesia” Jurnal Filsafat, Vol 25, Nomor 1 (April 2014): 1-19.
117
Ki Hadjar Dewantara, Azaz-azaz Dasar Taman Siswa (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa,
1956), hlm. 72-73.
118
Ibid., hlm.357.
52
pemberian ilmu pengetahuan dan kecerdasan pikiran maka pengaruhnya tidak
akan terlalu nampak bagi anak-anak. Pendidikan dalam alam perguruan
berkewajiban untuk mengusahakan kecerdasan pikiran dan pemberian ilmu
pengetahuan. Apabila sekolah dan keluarga terpisah maka pendidikan yang
dihasilkan dalam ruang keluarga akan selalu sia-sia, sebab pengaruh sekolah yang
mengasah intelektual semata sangat kuat. Ki Hadjar Dewantara mencontohkan
pada waktu itu, anak-anak harus mengasah inteleknya setiap hari kurang lebih
selama 8 jam.119 Oleh sebab itu sekolah tidak dapat berpisah dengan kehidupan
keluarga. Sekolah dan keluarga dapat saling mengisi dan melengkapi agar dapat
mencapai tujuan pendidikan.
53
pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian
kepada anak-anak, yang dapat berfaedah untuk hidup anak-anak baik lahir
maupun batin.121
121
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, op. cit., hlm. 485.
122
Ibid.
123
Bartolomeus Samho, op. cit., hlm. 74-77.
54
3.3.3 Metode Pendidikan
124
Suparno Raharjo, op. cit , hlm. 74.
55
memiliki arti seseorang harus bisa membangun semangat, motivasi dan gairah
hidup untuk menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa
menjadi seorang guru harus mampu memberikan dorongan serta motivasi bagi
peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya. Atau
asas Tut Wuri Handayani yang memiliki arti seorang guru harus dapat mengikuti
dengan baik para murid yang telah menunjukkan sikap dan perilaku yang benar
(baik, jujur, cerdas).125
Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among
sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya.
Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya
mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari
sistem among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan
bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan,
serta sehat jasmani dan rohani agar menjadi masyarakat yang mandiri dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Dalam pelaksanaan sistem among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka di
dorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta,
rasa, dan karsa. 126
125
Ibid., hlm. 74-75.
126
Ibid., hlm. 75.
56
3.3.4.1 Asas Kodrat Alam
Asas kodrat alam atau asas tertib damai, bagi Ki Hajar Dewantara adalah
hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya
persatuan dengan kehidupan umum. Dalam konteks itu pendidikan mesti
dilaksanakan dengan maskud pemeliharaan atas dasar perhatian yang besar
kepada kebebasan anak untuk bertumbuh lahir-batinnya sesuai dengan kodratnya.
Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa
pelaksanaan pendidikan berdasarkan akal pikiran manusia yang berkembang dan
dapat dikembangkan. Secara kodrat, akal pikiran manusia itu dapat berkembang.
Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara sengaja itulah yang dipahami
dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Jadi pendidikan adalah tindakan yang
disengaja dan direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik
yang dibawa sejak lahir secara tertib dan damai.127
127
Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-Dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan
Taman Siswa 30 Tahun (Yogyakarta: MLPTS, 1952), hlm. 56
128
Ibid., hlm. 57.
57
kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis. Kemanusiaan merupakan
suatu konsep yang dinamis, evolutif dan organis. Maka, menurut Ki Hajar
Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi
terus menerus berganti-ganti wujudnya. Salah satu penyebabnya adalah karena
bergani-gantinya alam dan zaman. Ki Hajar Dewantara melihat secara jernih
posisi kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah kebudayaan bengsa-bangsa
lain di dunia ini, yakni sebagai petunjuk arah dan pedoman untuk mencapai
keharmonisan sosial di indonesia. Dalam konteks ini pula, asas ini menekankan
memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan.129
Rasa kebangsaan adalah bagian rasa dari kebatinan kita manusia, yang
hidup dan dihidupkan dalam jiwa kita dengan disengaja. Wujud rasa kebangsaan
itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan
kepentingan diri sendiri. Kehormatan bangsa ialah kehormatan diri. Ideologi
kebangsaan inilah yang diterapkam Ki Hajar Dewantara secara konsekuen ketika
mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Bahkan Pancasila sebagai dasar
negara dan pandangan hidup bangsa, yang juga merupakan ideologi nasional,
pada dasarnya adalah suatu formulasi dari ideologi kebangsaan itu sendiri.
Mencermati pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang asas kebangsaan ini kita
129
Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan (Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1994), hlm. 23.
58
semakin yakin bahwa Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu adalah sosok yang
pluralis.130
59
Dewantara memandang bahwa pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan dari
keadaan ataupun kondisi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dalam pemikiran
Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus beralaskan garis hidup dari bangsanya.
Hal ini bertujuan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat
negara dan rakyatnya.
Melalui konsep, asas-asas dan metode pendidikan di atas, Ki Hadjar
Dewantara yakin bahwa rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya
akan menjadi kenyataan di Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini
adalah ketika seorang anak hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi
hidup mandiri, memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai.
Artinya, lahirnya tiada diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat
berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.
60
pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sangat mempunyai relevansi terhadap
pendidikan karakter. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara harus
diejawantahkan demi menjawab problematika pendidikan dalam membentuk
manusia Indonesia yang lebih baik. Hal ini perlu diperhatikan dan direnungi baik
pemerintah maupun praksis pendidikan saat ini. Maka dalam bab selanjutnya kita
akan sama-sama melihat tantangan dan relevansi pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dalam perkembangan pendidikan saat ini.
61
BAB IV
62
4.1.1 Pendidikan Masa Awal Kemerdekaan
132
Sarino Mangunpranoto, Pendidikan Sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 122.
133
Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer (Pemberdayaan Mutu
Pendidikan di Indonesia) (Yogyakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 52.
134
Ary Gunawan, op. cit., hlm. 48.
135
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hlm. 95.
63
mengembangkan wajib belajar paling lama 10 tahun. Hal ini terbukti dengan
perhatian secara istimewa oleh pemerintah dalam pengajaran di bidang ekonomi
dan olahraga serta penetapan kebijakan sekolah gratis bagi Sekolah Rendah.
Pemerintah juga memperhatikan aturan pembayaran dan tunjangan bagi sekolah
menengah serta perguruan tinggi agar hal tersebut tidak menjadi halangan bagi
pelajar-pelajar yang kurang mampu.136
“Tidak ketinggalan adanya unsur pemuda, wanita, buruh dan tani serempak
maju ke medan perang. Mahasiswa dan pelajar banyak yang
menggabungkan diri dengan wadah “TRIP” (Tentara Pelajar Indonesia).
Aksi gerakan mewujudkan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dari
136
Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 124.
137
Ibid., hlm. 149.
138
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme (Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional) (Jakarta: Grasindo: 2004), hlm. 99-100.
139
Sarino Mangunpranoto, op. cit., hlm. 125.
64
Sabang sampai Merauke yang menghasilkan buah kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia hingga kini.”
140
Moh. Yamin, op. cit., hlm. 87.
65
merupakan sebuah surga yang mampu membuka paradigma kebebasan yang luar
biasa.141
Orde baru berlangsung dari tahun 1968-1998, dan sering dikatakan sebagai
era pembangunan naional, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan pada
masa Orde Baru pada awalnya berjalan cukup menggembirakan. Hal ini
dikarenakan adanya kenaikan harga minyak bumi mulai tahun 1973 sehingga
141
Ibid., hlm. 89.
142
Ibid., hlm. 91.
143
Dedi Supriadi (Ed), op. cit., hlm. 17.
66
dapat membantu dalam proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.144 Pada tahun
1970-an dibangun puluhan ribu gedung Sekolah Dasar (SD) dan pada tahun
1980-an didirikan juga Universitas Terbuka. Pembangunan yang begitu besar
dikarenakan jumlah dana untuk pendidikan waktu itu cukup berlimpah. Pada saat
itu Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI yaitu rasio antara jumlah seluruh siswa
dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun mencapai 80%. Hanya beberapa tahun
kemudian, statistik pendidikan mencatat bahwa APK SD/MI melampaui 100%.145
Tujuan utama yang mau dicapai dalam pendidikan nasional pada masa
Orde Baru yaitu membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang telah yang telah dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945.
Pembentukan manusia Pancasila sejati ini bertujuan untuk mengubah mental
masyarakat yang penuh dengan doktrin-doktrin Manipol USDEK (Manifestasi
Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia) sejak zaman Orde Lama.146
144
Giroux M. Beeby, Ideology, Culture and The Process of Schooling (London: Falmer Press,
1981), hlm. 57.
145
Dedi Supriadi (Ed), loc. cit.
146
Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 176-177.
147
H.A.R Tilaar, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), hlm. 87.
67
untuk mencerdaskan dan mencerahkan itu sesungguhnya hanyalah rekayasa
belaka demi sebuah pencitraan diri.
148
Muhammad Rifa’i, op. cit., hlm. 200.
149
Ibid., hlm. 253-255.
68
selama puluhan tahun ditonjolkan dan sudah terlanjur dipercaya mampu bertahan.
Meskipun berbagai publikasi badan-badan internasional seperti Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia, dan UNESCO pada kurun waktu tersebut cenderung memuji
keberhasilan perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan
penghargaan “Medali Avicena” yang diberikan UNESCO kepada presiden
Suharto pada bulan Juni 1993. Presiden Suharto dinilai telah berhasil
mewujudkan pendidikan dasar universal.150
Pada era reformasi, semangat serba anti Orde Baru begitu menggelora.
Targetnya adalah sistem pendidikan yang meliputi semua aspek dari sistem
pendidikan nasional yang ada. Misalnya aturan PP No. 25/2000 menetapkan
bahwa sekitar 80% dari jenis-jenis urusan pendidikan yang sebelumnya ditangani
oleh pemerintah pusat dan provinsi akhirnya diserahkan kepada pemerintah
kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah yang secara resmi mulai berlaku
sejak tahun 2001. Secara nasional dari tahun 1997-2000 saja untuk seluruh
tingkatan, dari SD ke SLTP sampai SMA, rata-rata 5%.Pemerintah memang
mengupayakan sektor pendidikan ini agar tidak terbengkalai, namun tiap tahun
rata-rata 12% dalam masa krisis. Diadakan pula program nasional bernama JPS
maupun BOS untuk mereka yang tidak mampu.
150
Parakitri T. Simbolon, Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun Nusantara
(Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), hlm. 2.
69
Terlepas dari aspek dan dampak positif di atas mesti diakui juga bahwa
pada masa ini juga terdapat kekuarangan. Hal ini tercermin dalam dunia
pendidikan nasional yang menjadi alat subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik.
Dunia pendidikan dijadikan sebagai media untuk mengindoktrinasi nilai-nilai
ekslusif demi mempertahankan status quo penguasa. Hal ini berarti pendidikan
telah dimasukkan di dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik.
Pendidikan bukan lagi membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi untuk
membangun kekuatan dari partai politik praktis tertentu untuk kepentingan
golongan atau pun kelompok sendiri.151
151
H.A.R. Tilaar, Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), hlm. 14.
152
Moh.Yamin, op. cit., hlm. 133.
153
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: PT
Grasindo, 2007), hlm. 224.
70
4.2 PROBLEMATIKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan di zaman ini lebih terfokus pada aspek kognitif saja dan
mengabaikan aspek-aspek yang lain. Padahal kita tahu bahwa dalam pendidikan,
bukan saja aspek kognitif yang diperhatikan, tetapi konsep dasar dalam
penyusunan sistem pendidikan harus berangkat dari nilai-nilai moralitas. Hai itu
dibuktikan oleh Sujarwo dalam ulasannya tentang pemberian peringkat terhadap
anak yang beprestasi dalam bidang pengetahuan. Pemberian prestasi terhadap
siswa yang besprestas dalam aspek kognitif membuktikan bahwa hanya
pengetahuan yang menjadi perhatian utama dalam pendidikan.154 Sedangkan yang
diperlukan dalam sebuah pendidikan itu bukan hanya aspek kognitif saja
melainkan juga pembentukan karakternya. Jika konsep pendidikan dipisahkan dari
pendidikan moral, maka akan berdampak pada proses pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian karena yang dihasilkan yaitu orang-orang yang hanya
cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara moral. Dampak dari sistem
pendidikan seperti ini yaitu akan menghasilkan orang-orang atau pemimpin-
pemimpin yang korup.155
Krisis moral dapat kita jumpai juga saat ini di kalangan anak sekolah.
Salah satunya adalah fenomena tawuran antarpelajar yang sebab terjadinya sangat
beragam, mulai dari saling ejek sampai pada saling berebutan pacar. Dan kadang-
kadang tawuran yang terjadi menimbulkan korban jiwa.156 Bukan hanya
154
S. Sujarwo, Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar (Jakarta: Mediyatama Sarana
Perkasa, 1988), hlm. 108.
155
Syukurman, Sosiologi Pendidikan: Memahami Pendidikan Dari Aspek Multikulturalisme
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), hlm. 173.
156
Ibid., hlm. 172.
71
kekerasan fisik yang kita jumpai.Namun ada kekerasan yang bersifat psikis.
Kekerasan bersifat psikis maksudnya kekerasan yang berdampak pada psikis
seseorang. Misalnya, guru mempermalukan siswa di depan umum atau guru
melabeli siswa dengan label-label yang secara psikis membuat siswa merasa
tertekan dan rendah diri seperti memberi label siswa bodoh. Di kota-kota besar
sering terjadi coret-coret di tembok dengan kalimat yang tidak senonoh, tawuran
massal antar-pelajar, ada geng-geng antarsekolah, para siswa terlibat dalam seks
bebas, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, pencurian,
perampokan, bahkan terorisme. Apalagi persoalan sopan-santun telah lama hilang
dari kehidupan mereka.157
157
Ibid., hlm. 172-173.
158
Tim Kreatif LKM UNJ, Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis
Budaya (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 21-64.
72
4.2.3 Pendidikan Hampa Kesadaran
159
Ibid., hlm. 202.
73
Hal ini terlihat jelas ketika terjadi paradoks kecenderungan antara semakin
besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu
pendidikan di sisi lain. Sebagai contoh pada APBN 2018, alokasi angaran
pendidikan mencapai Rp. 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat menjadi
Rp 508 triliun. Di sisi lain ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015)
menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca,
matematika, dan sains anak-anak Indonesia terus menurun. Data lain Bank Dunia
melaporkan kualitas pendidikan Indonesia masih terendah di lingkup Asean, 55
persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf dibandingkan Vetnam
yang kurang dari 10 persen. Bahkan berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan
firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia dinilai terbuurk di dunia
dan yang terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan.160
160
Hafid Abbas, “Rapor Merah Pendidikan”, Kompas, 20 Februari 2020, hlm. 6.
161
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan
Postkolonial (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014), hlm. 284.
74
dalam cengkraman globalisasi jika pendidikan belum mampu mengakomodir
kearifan lokal menjadi ujung tombak kebertahanan nasional.
Menurut Priyo Dwiarso, siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti
merdeka lahir, batin serta tenaganya. 162 Jiwa merdeka ini sangat diperlukan
sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte negara lain. Sistem among
melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan
mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya.
162
Priyo Dwiarso, Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara (Ypgyakarta: Majelis Luhur
Persatuan, 2010), hlm. 6.
75
“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya
sejak lahir, sedangkan hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Manusia
merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir batin atau tidak tergantung
kepada orang lain, akan tetapi bersandar akan kekuatannya sendiri. Maksud
pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama
adalah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat).” 163
163
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa,
1977), hlm. 3.
164
Sularto, Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016),
hlm. 86.
76
mempunya jati diri yang kuat untuk dapat berjuang dan bertahan hidup di dalam
masyarakat.
165
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, op. cit., hlm 4.
166
Syukurman, op. cit., hlm 79.
167
Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 125.
168
Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj.Agung
Prihantoro (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm ix.
77
ilmu pengetahuan, namun harus sampai kepada transformasi ilmu pengetahuan
dengan tujuan membangun kesadaran kritis siswa.
169
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, op. cit., hlm. 12-13.
170
Hermanik Mujiati, “Quo Vadis Kebijakan Ujian Nasional”, dalam Sobri AR (ed.), Meneropong
Realitas Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Spektrum, 2008), hlm. 175-177.
78
Secara mikro praktik dehumanisasi pendidikan termanifestasi dalam
proses pembelajaran dalam kelas. Menurut Alkhudri, proses dehumanisasi
pendidikan terjadi karena penekanan pembelajaran yang cenderung pada
pendekatan teoritis semata, bukan diajarkan bagaimana mempraktikan pemecahan
dari suatu masalah.171 Lebih jauh penulis menambahkan bahwa penekanan
menghafal dalam proses pembelajaran, ketimbang mengembangkan proses
berpikir siswa menjadikan proses pembelajaran bersifat dogmatis ketimbang kritis
sebab manusia yang terbiasa menghafal adalah manusia yang mekanis, sehingga
menjauhkan diri pada proses pengembangan diri. Proses dehumanisasi ini pada
dasarnya mencederai jati diri manusia yang bersifat aktif dan merdeka. Poin
penting dalam permasalahan dehumanisasi pendidikan adalah pendidikan yang
mengedepankan intelektualitas atau aspek kognitif pada siswa.
171
Ahmad Tarmiji Alkhudri, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai Transformasi
Sosio-Edukasi dan Kesadaran Humanis (Bogor: Edukati Press, 2011), hlm. 184.
172
Suparno Raharjo, op. cit., hlm. 63.
79
mementingkan inteletualitas, individualistis, dan materialistis. Sekolah tersebut
hanya mampu menjadikan siswa ketika lulus nanti sebagai buruh pabrik yang
dibayar murah.
173
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan,op. cit., hlm. 126-127.
80
produk dari kebudayaan sebelumnya yang berkembang. Pendidikan adalah usaha
kebudayaan, yaitu usaha untuk memperbaiki dan mempertinggi derajat turunan
seseorang dan bangsa dengan landasan kebudayaan yang bersifat kontinu.
Kebudayaan nasional dijadikan sebagai dasar untuk berperilaku dan
bermasyarakat supaya generasi selanjutnya tidak kehilangan identitas kebudayaan.
Dasar yang kedua adalah konsentris atau yang biasa disebut dengan dasar
nasional.Konsentris yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah
lingkaran-lingkaran besar kecil yang bersusun-susun dengan satu titik pusat,
dimana orang duduk atau berdiri pada titik tersebut.174 Artinya adalah semua
lingkaran yang bersusun-susun mempunyai satu titik pusatnya, tempat seseorang
berdiri sebagai landasannya.Kebangsaan dan kemanusiaan harus menjadi dasar
setelah alam diri dan keluarga. Hal ini dimaksudkan sebagai benteng dari
pengaruh-pengaruh budaya luar yang merusak kebertahanan kebudayaan nasional.
Dasar ketiga adalah konvergensi atau yang biasa dikenal dengan dasar
kemasyarakatan. Dasar kemasyarakatan yang dimaksudkan oleh ki Hadjar
Dewantara adalah bagaimana hubungan taman siswa dengan masyarakat yang
lebih luas.175 Artinya pendidikan taman siswa tidak menutup diri dari perubahan-
perubahan sosial secara luas. Terlebih jika dilihat dalam konteks perkembangan
pemikiran. Ki Hadjar Dewantara tidak tertutup dari perkembangan pemikiran-
pemikiran barat dan tokoh lainnya. Pemikiran yang berasal dari luar disesuaikan
oleh Ki Hadjar Dewantara dengan konteks sosial budaya yang didasari oleh dasar
kontinu dan konsentris.
174
Ibid
175
Ibid., hlm. 118.
81
dengan menerima perubahan secara konvergen membuat seseorang maupun
negara mampu berkembang secara progresif.
176
Ki Suratman, Tugas Kita Sebagai Pamong Taman siswa ( Yogyakarta: Majelis Luhur Taman
Siswa, 1987), hlm. 126.
177
H.A.R Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015),
hlm. 133-136.
82
kemerdekaan sampai awal merdekanya Indonesia, wacana pendidikannya masih
bisa menjawab problematika pendidikan saat ini.
83
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
84
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia itu justru terus membangun kesadaran
eksistensial generasi Indonesia pada masanya. Perguruan Taman Siswa yang dia
dirikan merupakan buah nyata perjuangannya dalam bidang pendidikan. Model
pendidikan yang diterapkannya di Taman Siswa juga jelas berbeda dari model
pendidikan para penjajah. Baginya pendidikan merupakan upaya membangun
kesadaran eksistensial manusia.
85
Pengabaian pada kemampuan emosionalitas, spiritualitas, sosialitas dan moralitas
akan begitu nampak. Hal ini sangat kontradiktif dengan konsep pendidikan
menurut Ki hadjar Dewantara, perintis Pendidikan Nasional Indonesia. Ki Hadjar
Dewantara mengisyaratkan adanya metode pendidikan yang mengintegrasikan
pengembangan potensi-potensi pelajar secara seimbang dalam aspek
intelektualitas, emosional, spiritualitas, sosialitas dan moralitas.
Ada tiga periode besar selama pendidikan masa penjajahan, yaitu pada
masa VOC, masa pemerintahan Hindia Belanda dan masa pemerintahan Jepang.
Pendidikan masa penjajahan sangat berkaitan erat dengan politik yang didominasi
oleh golongan yang berkuasa. Hal ini berdampak pada keberlangsungan sistem
pendidikan di Indonesia waktu itu, di mana sistem pendidikannya sangat
bergantung pada kebijakan masing-masing rezim. Pendidikan pada masa itu juga
pada umumnya berdasarkan lapisan sosial yang ada dan menurut golongan
kebangsaan yang berlaku waktu itu. Hal ini berdampak pada tidak semua
masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk belajar. Masyarakat miskin (kaum
proletar) hanya dijadikan sebagai pembantu pemerintahan kolonial, jika
bersekolah pun hanya sebatas menjadi pekerja pemerintah kolonial.
Atau untuk konteks pendidikan di Indonesia saat ini di mana para siswa
dididik hanya sekedar untuk menjawabi tuntutan pasar kerja. Hal ini terjadi karena
dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai mesin produksi tenaga kerja yang
kompetitif dan laku di pasar kerja. Selain itu dengan adanya sertifikasi, banyak
guru justru memprioritaskan kenaikan upahnya di atas pekerjaan yang dijalankan.
Terjadi pergeseran perilaku para guru dari tendensi untuk mengawetkan metode,
86
teknik, dan materi pembelajarannya melalui rutinitas menuju pada tendensi untuk
mengadministrasikan segala kegiatan belajar-mengajar.
5.2 Saran
87
Kedua, bagi semua pendidik (Guru dan Dosen). Sebagai pengajar atau
pendidik, sebaiknya para guru dan dosen tidak hanya mengutamakan transfer ilmu
melainkan juga mengasah, mengarahkan dan memberi teladan bagi mahasiswa. Di
sini sebenarnya yang dituntut adalah adanya kesesuaian antara kata dan perbuatan.
Pendidik harus menjadi subjek utama menanamkan pendidikan holistik agar
menghasilkan manusia yang beradab.
88
DAFTAR PUSTAKA
1. Ensiklopedia
2. Buku
89
________________. Karya Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: MLPTS, cet. IV,
2011.
Gunawan, “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun
Taman Siswa. Yoyakarta: MLPTS, 1992.
90
Kantrapawira, Rusdi. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1999.
Kleden, Ignas. “Status Ilmiah Filsafat dan Tantangan Kontemporer”, dalam Paul
Budi Kleden dan Otto Gusti Madung (eds.), Menukik Lebih Dalam,
Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
91
Mulaysana. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.
Said, Muhammad dan Junimar Affan. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung:
Jemmars, 1987.
92
Simbolon, Parakitri T. Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun
Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas, 2000.
Suratman, Ki. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur Taman Siswa, 1987.
93
__________. Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2015.
Toer, Pramoedya Ananta. Anak Semua Bangsa. Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Tsuchiya, K. Democracy and Leadership: the Rise of the Taman Siswa. Movement
in Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press, 1987.
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
94
3. Jurnal dan Majalah
4. Koran
95