Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

PENDIDIKAN MENURUT DRIYARKARA


Dosen Pengampu : Drs. L. Hendrowibowo, M. Pd.
Dr. Shelly Cathrin, S. Fil., M. Phil.

Disusun oleh :
Kelompok Nicholaus/ PGSD 3F
Refiana Desi Anggraeni (17108241033)
Hanan Maulud Prihantoro (17108241062)
Puji Lestari (17108241117)
Arifah Rohmah (17108244063)
Tri Margi Asih (17108244076)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Pendidikan Menurut Driyarkara” ini dengan tepat
pada waktunya.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Filsafat Pendidikan. Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh
banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami mengakui bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
positif dan membangun dari semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan
dapat berguna bagi semua pihak.

Kulon Progo, 6 Desember 2018

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................................ i


Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................... 2
D. Manfaat .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh ...................................................................................... 3
B. Tiga Pilar Filsafat .................................................................................. 4
C. Sistem Pendidikan ................................................................................. 9
D. Konsep Sekolah ..................................................................................... 9
E. Tujuan Pendidikan ................................................................................ 9
F. Kurikulum ........................................................................................... 10
G. Metode ................................................................................................. 11
H. Pendidik .............................................................................................. 11
I. Peserta Didik ....................................................................................... 12
J. Evaluasi ............................................................................................... 13
K. Kelebihan ............................................................................................ 13
L. Kekurangan ......................................................................................... 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, lembaga pendidikan dan guru dihadapkan pada tuntutan yang
semakin berat terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi
berbagai dinamika yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan
saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja,
namun juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang
terjadi di masyarakat.
Berbagai fenomena yang terjadi seperti kekerasan pelecehan seksual,
berbagai tindak kriminal, tawuran antar pelajar, perbuatan anarkis merupakan
keprihatinan semua pihak baik pemerintah maupun kalangan pendidikan baik
keluarga, sekolah, maupun masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas
persoalan bangsa.
Menurut Jalaludin dan Idi (Ricardo F. Nanuru, 2013), pendidikan
merupakan masalah hidup dan kehidupan masyarakat. Proses pendidikan
berada dan berkembang bersama perkembangan hidup dan kehidupan
manusia, bahkan keduanyamerupakan proses yang satu. Masalah pendidikan
tidak dapat dipecahkan keseluruhannya hanya dengan mempergunakan
metode ilmiah semata, akan tetapi untuk memecahkan masalah pendidikan
seseorang harus menggunakan analisis filsafat.
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi
baik dalam diri. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah
membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan. Disinilah peran
pendidikan untuk membebaskan manusia dari ikatan-ikatan yang terdapat di
luar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan
seseorang.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tiga pilar filsafat pendidikan menurut Driyarkara?
2. Bagaimana sistem pendidikan menurut Driyarkara?
3. Bagaimana konsep sekolah menurut Driyarkara?
4. Bagaimana kurikulum menurut Driyarkara?
5. Bagaimana metode pendidikan menurut Driyarkara?
6. Bagaimana pendidik menurut Driyarkara?
7. Bagaimana peserta didik menurut Driyarkara?
8. Bagaimana evaluasi dalam pendidikan menurut Driyarkara?
9. Bagaimana kelebihan filsafat pendidikan Driyarkara?
10. Bagaimana kelemahan filsafat pendidikan Driyarkara?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui tiga pilar filsafat pendidikan menurut Driyarkara.
2. Dapat mengetahui sistem pendidikan menurut Driyarkara.
3. Dapat mengetahui konsep sekolah menurut Driyarkara.
4. Dapat mengetahui kurikulum menurut Driyarkara.
5. Dapat mengetahui metode pendidikan menurut Driyarkara.
6. Dapat mengetahui pendidik menurut Driyarkara.
7. Dapat mengetahui peserta didik menurut Driyarkara.
8. Dapat mengetahui evaluasi dalam pendidikan menurut Driyarkara.
9. Dapat mengetahui kelebihan filsafat pendidikan menurut Driyarkara.
10. Dapat mengetahui kelemahan filsafat pendidikan menurut Driyarkara.

D. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini adalah
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang filsafat pendidikan
menurut Driyarkara yang meliputi : tiga pilar filsafat, sistem pendidikan,
konsep sekolah, kurikulum, metode, pendidik, peserta didik, evaluasi,
kelebihan, dan kekurangaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI DRIYARKARA

Purba (2013:3) mengatakan nama lengkap Driyarkara ialah Nicolaus


Driyarkara Sarikat Jesuit. Dari namanya menunjukkan bahwa Driyarkara
adalah seorang Pastor atau pemuka agama Katolik dari tarekat Jesuit. Selain
itu Driyarkara juga seorang akademisi yang memiliki gelar professor dan
doktor. Driyarkara lahir di sebuah desa Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo,
pada tanggal 13 Juni 1913, Jawa Tengah. Meninggal pada tanggal 11
Februari 1967 dan dimakamkan di pemakaman para pastor Katolik di
Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah.
Driyarkara tidak pernah meninggalkan tulisan dari pemikirannya dalam
sebuah karya utuh tersistematika tentang filsafat pendidikan. Dengan kata lain
Drijarkara tidak menulis sebuah buku tentang filsafat pendidikan. Pemikiran
tentang pendidikan dapat diungkap dari tulisan-tulisan yang termuat dalam
berbagai majalah, misalnya Praba, Basis dan serangkaian ide-ide yang ditulis
dalam buku hariannya. Dengan demikian tidaklah mudah untuk dapat
memahami filsafat pendidikan Driyarkara.

3
B. TIGA PILAR FILSAFAT

Driyarkara mendeskripsi perbedaan antara eksistensialisme sebagai aliran


filsafat dengan eksistensia sebagai tujuan pendidikan. Pandangan Ki
Supriyoko mengokohkan predikat Drijarkara sebagai pemikir eksistensialis
yang tampak dalam landasan filosofis pendidikan, yaitu landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis pendidikan.
1. Epistimologi
Pengetahuan adalah penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, dimana
manusia menerima bentuk-bentuk pembaharuan yang berasal dari luar.
Driyarkara menekankan pentingnya memperhatikan dan memperhatikan
konteks budaya setempat dalam mengembangakan pendidikan dan
pengajaran agar tidak menimbulkan apa yang disebut keguncangan jiwa
atau keterasingan dalam mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru.
Selain unsur budaya, pengetahuan menurut Driyarkara juga menekankan
nilai-nilai humanisme.

2. Metafisika/ Ontologis
Landasan ontologis filsafat pendidikan Driyarkara bertitik pangkal
pada manusia sebagai person. Pertanyaan sentral terhadap apa dan siapa
manusia menjadi penting untuk dijawab. Driyarkara berpendapat bahwa
manusia sebagai makhluk jasmani-rohani, manusia sebagai makhuk
individu-sosial, manusia adalah makhluk yang menyejarah, dan manusia
sebagai makhluk bebas.
a) Manusia sebagai makhluk jasmani-rohani dan implikasinya
Manusia memiliki unsur jasmani dan rohani. Masing-masing unsur
ini merupakan entitas yang berbeda. Driyarkara berpandangan bahwa
manusia sekaligus jasmani dan rohani. Sifat jasmani dan rohani ini
tampak jelas bahwa manusia itu berbadan dan sekaligus berjiwa.
Keberadaan badannya secara empiris dapat dibuktikan, yaitu
memiliki daging, otot, darah, tulang yang secara fisik menunjukkan
sosoknya sebagai manusia. Unsur jasmani ini nantinya akan menjadi
tanah ketika meninggal. Sedang unsur rohani memang agak sulit

4
untuk diketahui secara empiris (bahkan dipersoalkan oleh aliran
materialisme). Akan tetapi jika dikaji lebih dalam unsur rohani ini
dapat dijelaskan ketika manusia menyadari bahwa dirinya berbadan.
Kesadaran diri ini menunjukkan bahwa manusia memiliki unusr
rohani. Manusia memiliki badannya, karena manusia bisa mengambil
jarak atau sikap tertentu terhadap badannya.
Contohnya adalah mata pelajaran pendidikan jasmani yang
menjadi bagian penting dalam pendidikan manusia menjadi pribadi
yang utuh. Olah raga bukan hanya penting bagi kesehatan jasmani,
tetapi dalam pendidikan jasmani atau olah raga memuat nilai-nilai
sportivitas, keadilan, kerja sama dan kesemuanya ini penting bagi
pendidikan kepribadian yang tidak boleh dilewatkan. Latihan jasmani
diperlukan untuk keutuhan pertumbuhan kita sebagai manusia. Teori
pendidikan yang mengabaikan pendidikan jasmani dan hanya
mementingkan pendidikan intelek saja akan menghasilkan pribadi
yang timpang.
Selain itu, terkait dengan unsur kejasmanian juga akan
berimplikasi dalam proses belajar mengajar dan mencari pengetahuan
pancaindera. Keterampilan ini perlu dilatih untuk bisa digunakan
dengan seksama. Potensi pancaindera perlu dilatih untuk menjadi
peka, teliti melalui pengamatan/observasi dan eksperimen.
b) Manusia sebagai makhluk individu dan sosial
Setiap pribadi merupakan seorang individu tertentu yang
merupakan kesatuan tak terbagi, unik, dan otonom dan sekaligus
manusia adalah makhluk sosial yang selalu berada bersama dengan
sesamanya. Relasi atau hubungan dengan yang lain bukan hanya
terjadi secara kebetulan, tetapi secara struktural dan hakiki terjalin
keberadaannya sebagai manusia (Sudarminta, 1994: 20). Artinya
keberadaan bersama yang lain merupakan sesuatu yang kodrati, suka
atau tidak suka manusia dalam bahasa agama keberadaannya bersama
dengan sesamanya di dunia ini sudah menjadi “kehendak-Nya”.

5
Setiap manusia sebagai individu adalah pribadi yang berdiri sendiri
yang unik yang mempunyai ciri atau identitias yang berbeda dengan
manusia lain. Berdiri sendiri maksudnya adalah tidak dapat lebur
dalam keterkaitannya dengan yang lain. Manusia sebagai pribadi
merupakan entitas yang berbeda dengan yang lain, sehingga setiap
person memiliki kediriannya yang berbeda dengan kedirian yang lain.
Ketika manusia ini berada bersama orang lain dalam sebuah
komunitas, maka secara individu tetap saja dia berbeda dengan dia
yang lain walaupun berada dalam nama sebuah kelompok manusia.
Perbedaan bentuk fisik/jasmani antara manusia satu bisa dibedakan
dengan manusia lain. Demikian juga terkait dengan rohaninya,
kepribadiannya.
Pandangan manusia sebagai makhluk individu-sosial berimplikasi
dalam pendidikan. Pendidikan harus memandang peserta didik sebagai
pelaku utama. Peserta didik ditempatkan sebagai subjek dan bukan
sekedar objek dalam seluruh proses dan kegiatan pendidikan.
Semestinya pendekatan pendidikan studentcenter bukan teacher-
centeryang digunakan dalam pendidikan. Pendekatan otoriter atau
indoktrinasi bertentangan dengan penghargaan kepada peserta didik
sebagai makhluk individual. Pendidikan dengan tangan besi yang akan
mencetak pribadi-pribadi tertentu melalui latihan-latihan dan disiplin
yang dipaksakan dari luar, boleh jadi akan berhasil membentuk
individu-individu yang secara praktis dalam melanjutkan gerak roda
mesin masyarakat yang ada, tetapi mereka menjadi robot dan bukan
menjadi manusia yang masing-masing mempunyai identitas
kemanusiaanya.
c) Manusia sebagai makhluk menyejarah dan implikasinya pada
pendidikan
Sejarah tidak dapat diartikan hanya sebagai kumpulan peristiwa
dan perbuatan masa lalu, tetapi sejarah merupakan kontinuitas dari
masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Sejarah sebagai
suatu ilmu adalah kajian yang menyelidiki peristiwa dan perbuatan

6
penting manusia di masa lalu yang mempengaruhi dan membentuk
masa sekarang serta berguna bagi perencanaan kehidupan di masa
depan (Sudarminta, 1994: 25). Setiap hal memiliki kesejarahannya
masing-masing. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang
menyejarah.
Manusia sebagai makhluk yang menyejarah punya arti berikut ini
(Sudarminta, 1994:25). Pertama, manusia adalah makhluk yang sadar,
dapat mengenali dan mengerti masa lampaunya dan dapat
memanfaatkannya demi kehidupannya di masa sekarang dan di masa
yang akan dating. Selanjutnya manusia adalah makhluk yang
berkehendak bebas. Oleh karena itu dapat merancang hidupnya yang
dilatarbelakangi masa lalunya. Manusia bisa menentukan dirinya.
Manusia tidak sekedar hidup, melainkan menghidupi hidupnya. Yang
terakhir, manusia berkembang dalam waktu hidupnya tidak statis.
Dalam hidupnya manusia berproses atau mengalami perubahan dan
perkembangan. Secara hakiki manusia memiliki kesejarahannya
masing-masing, sehingga tidak ada satu pun manusia di dunia ini
yang memiliki masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang sama
dengan manusia lain.
Implikasi manusia yang menyejarah bagi pendidikan dapat
diuraikan sebagai berikut.
− Pendidikan dikembangkan mendasarkan pada fakta-fakta masa
lalu, baik perseorang mau pun sebagai bangsa dari peserta didik.
Meski pun anak didik masih dapat diisi dan dibentuk begini dan
begitu, tetapi ingat peserta didik bukan tabula rasa sebagaimana
dinyatakan oleh John Locke. Kelenturannya untuk dibentuk dan
daya tampungnya untuk diisi, terbatas sebagaimana setiap peserta
didik memiliki kesejarahan sendiri. Unsur-unsur bawaan, baik
dari segi biologis, psikologis, kerohanian akan cukup
mempengaruhi arah perkembangan, prestasi, dan kemungkinan
perwujudan diri si peserta didik. Untuk bisa berkembang secara
sehat, peserta didik perlu dibantu untuk mengenali dan menerima

7
fakta masa lampaunya. Perencanaan dan usaha yang tidak realistis
didasarkan atas fakta tersebut hanya akan membawa frustasi terus
menerus.
− Pendidikan berkaitan dengan kebebasan eksistensial, yakni
kebebasan peserta didik untuk menentukan dirinya
sendiri.Pendidikan mesti membantu peserta didik untuk
menyadari dan mengerti arus perkembangan zamannya dan
mengambil sikap yang tepat terhadapnya. Peserta didik sebagai
subjek sejarah wajib berusaha menjadi manusia “Who makes
things happened dan tidak hanya “who asks what happened”
apalagi manusia “who only wonders what is happened”.
− Perlunya pendidikan mengacu pada dinamika perkembangan
peserta didik. Peserta didik adalah pribadi yang hidup dan
berkembang. Pendidikan dengan tawaran dan tantangan selalu
harus disesuaikan dengan fase-fase perkembangan peserta didik
(Sudarminta, 1994: 28). Pendidikan yang selalu berubah
menyesusaikan perkembangan jaman harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan peserta didik.
d) Manusia adalah makhluk bebas dan implikasinya pada pendidikan
Pandangan Driyarkara tentang manusia sebagai makhluk bebas
dikaitkan dengan pandangan eksistensi manusia. Manusia sebagai
makhluk bebas diartikan sebagai manusia adalah merdeka. Driyarkara
(via Sudiarja 2006: 60) mengatakan merdeka memiliki dua anasir,
yaitu anasir pikiran dan anasir kemauan. Merdeka baik dalam hal
berpikir dan berkehendak. Kemerdekaan mensyaratkan adanya
kebebasan berpikir dan berkehendak. Kemerdekaan berarti kebebasan
dari ikatan. Arti kebebasan ini dilihat dari luar karena hanya
mengatakan bahwa tidak ada ikatan. Pengertian kebebasan dari luar
ini kurang memadai. Pengertian kebebasan dari dalam diartikan
sebagai kekuasaan untuk menentukan diri sendiri untuk berbuat atau
tidak berbuat. Jadi subjek yang merdeka itu mempunyai kekuasaan
untuk menentukan dengan pikiran dan kemauannya menentukan

8
pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat tanpa paksaan dan tekanan
pihak luar. Kemerdekaan berarti menguasai diri sendiri, menguasai
perbuatannya. Kemerdekaan tidak sekedar merasa bebas, tetapi
diperlukan sebuah tanggung-jawab terhadap perbuatannya.

3. Aksiologi
Ada dua nilai yang paling fundamental yaitu nilai moral dan nilai
keagamaan. Kedua nilai tersebut adalah nilai kesempurnaan, maka haruss
diperjuangkan. Nilai-nilai yang lain hanya sebagai sarana dan tidak perlu
dikejar.
a) Nilai moral
Menurut Driyarkara, untuk berkembang secara manusiawi
manusia harus melakukan hukum-hukum yang melekat pada dirinya
sebagai manusia disebut sebagai hukum moral. Menurut hukum moral
ini, manusia harus melaksanakan kewajiban, harus cinta sejati kepada
sesama, harus menghormati keluhuran martabat manusia.
b) Nilai keagamaan
Menurut Driyarkara, nilai moral tidak bisa dipisahkan dari nilai
agama atau religius. Implementasinya adalah pada penerapan sila-sila
pancasila, seseorang tidak bisa melaksanakan empat sila dari sila
kedua sampi kelima tanpa sila pertama.

C. SISTEM PENDIDIKAN

Driyarkara menginginkan sistem pendidikan nasional yang adil yang


memperlakukan setiap peserta didik sebagai manusia yang bermartabat.
Keterlibatkan Drijarkara sebagai guru, dosen, dan Rektor sejak zaman
penjajahan Belanda, Jepang, masa orde lama sampai awal orde baru
merupakan bukti pergumulannya dengan praksis pendidikan, dimana sistem
pendidikan Belanda saat itu bersifat diskriminatif. Pengalaman bermakna
inilah yang dirumuskan Driyarkara dalam tulisan tentang pendidikan, yaitu
“Budi Pekerti dan Pendidikan (Juni 1954). Pendidikan karakter Driyarkara
berlandaskan pada pandangan Emmanuel Mounier yang membedakan antara
karakter bawaan, dan karakter yang dikehendaki (Subanar, 2013: 22).

9
Pendidikan karakter menjadi penting dalam sistem pendidikan yang tidak
diskriminatif. Pendidikan karakter mempunyai relevansinya dalam pandangan
Driyarkara tentang “manusia adalah kawan bagi sesame”. Manusia
merupakan homo homini socius. Esensi pendidikan adalah membawa peserta
didik ke arah hal-hal yang baik yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa
atau orang tua.

D. KONSEP SEKOLAH

Sistem pendidikan Belanda bersifat diskriminatif, sehingga Drijarkara


mengusulkan agar sejak pendidikan dasar sampai tingkat selanjutnya
diberlakukan pendidikan yang adil. Dalam implikasinya saat ini, sekolah
melalui pemerintah sudah berusaha memberikankan keadilan bagi seluruh
warga negara dengan program wajib belajar 12 tahun. Terkait sekolah
menengah kejuruan, Drijarkara menekankan pendidikan berjenjang untuk
tenaga pertukangan, keperawatan, pengairan.

E. TUJUAN PENDIDIKAN

Tujuan akhir pendidikan adalah kebebasan. Kebebasan sebagaimana


disampaikan oleh Driyarkara adalah kebebasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang tidak hanya terkait dengan perasaan
bebas, tetapi kebebasan sejati yang esesnsinya adalah perbuatan yang
didasarkan atas kehendak moral atau dalam khasanah Etika disebut dengan
kebebasan eksistensial. Kebebasan eksistensial ini merupakan tujuan umum
pendidikan. Terdapat dua tujuan umum pendidikan, yaitu menjadikan peserta
didik cerdas dan baik. Oleh karena itu pendidikan yang baik tidak hanya
terkait dengan pengalihan pengetahuan dan latihan keterampilan, tetapi yang
hakiki adalah pembentukan sikap hidup dan watak yang baik. Dua tujuan
umum pendidikan ini tidak hanya berlaku pada pendidikan formal, tetapi juga
dalam pendidikan informal dan nonformal. Oleh karena itu hal pertama yang
harus dilakukan oleh pendidikan yaitu memberikan pengertian yang benar
tentang makna kebebasan. Kebebasan bukan berati lepas dari berbagai aturan,

10
hukum, dan norma, tetapi memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan
yang terbaik bagi diri dan lingkungannya. Penentuan pilihan ini berarti
peserta didik perlu dibantu untuk berani mengambil posisi dan tidak hanya
ikut-ikutan. Peserta didik dibantu untuk mengembangkan kemandiriannya.

F. KURIKULUM

Kurikulum tidak banyak yang berisi pembimbingan tetapi lebih memberi


penekanan pada usaha memperluas dan memperdalam pengetahuan
memperoleh dan meningkatkan keterampilan, ataupun semakin mengerti dan
menghayati nilai-nilai. Sehingga, kurikulum yang diterapkan disesuaikan
dengan
Berbagai mata pelajaran disekolah bisa dikelompokkan menjadi tiga
bagian, yaitu kelompok kebudayaan, kelompok sosial, dan kelompok eksakta.
Peranan kelompok pelajaran kebudayaan adalah membantu manusia muda
membudayakan dirinya, melalui latihan berpikir kritis, interpretatif, dan
infentif; latihan menyelami alam pikiran, memasuki dunia rohani manusia;
serta latihan menemukan bentuk-bentuk ekspresi budaya yang selanjutnya
bisa dijadikan bentuk pembudayaannya sendiri. Peranan kelompok mata
pelajaran sosial adalah membantu manusia muda mampu melihat dunianya
sebagai dunia bersama dan mampu melihat dirinya sebagai bagian dari
kebersamaan dengan liyan, melalui latihan untuk mencapai pengertian yang
lebih sempurna dan lebih eksplisit tentang sosialitas serta latihan untuk
membentuk mentalitas sosial yang luas. Peranan kelompok mata pelajaran
eksakta adalah membantu manusia muda menyelami dan menguasai alam
jasmani melalui latihan berfikir seformal-formanya dan latihan berbicara
setepat-tepatnya dengan menggunakan bahasa simbol matematik tentang
berbagai objek dan gejala-peristiwa.

11
G. METODE PENDIDIKAN

Metode pembelajaran yang digunakan adalah observasi, dimana siswa


memahami pengetahuan dari objek dan peristiwa secara langsung yang ada di
masyarakat. Metode tersebut menggunakan prinsip-prinsip kemandirian,
bertanggung-jawab, eksploratif, kreatif, konstruktif. Hal ini akan
menumbuhkan pembelajaran yang dinamis dan menyenangkan.

H. PENDIDIK

Guru belajar dari peserta didik dan peserta didik belajar dari guru. Guru
adalah teman yang merangsang pemikiran kritis. Guru berperan bukan
sebagai instruktor, indoktrinator, penatar, birokrat, komandan atau pawang,
melainkan guru sebagai ibu, bapak, abang, kakak, sahabat, dan menyayangi
peserta didik. Guru mendidik dengan berprinsip ajrih-asih dalam lingkungan
sekolah yang penuh rasa kekeluargaan, kesetiakawanan, saling menolong, dan
saling memajukan diri. Sistem persaingan yang tidak sehat disingkirkan tanpa
mematikan usaha anak untuk berprestasi (Mangunwijaya, 2004 : xii). Guru
merupakan fasilitator bukan instuktor atau komandan yang hanya
memberikan perintah-perintah.
Mendidik tergolong dalam kategori aktivitas fundamental (kelompok
dasar). Istilah fundamental menunjuk pada dua arti. Pertama, sebagai
perbuatan fundamental pendidikan bertujuan mengubah, menentukan, dan
membentuk hidup manusia. Kedua, sebagai perbuatan fundamental
pendidikan berpangkal dari sikap fundamental cinta dalam arti cinta murni,
yaitu cinta yang mengarah pada kepentingan yang dicintai bukan kepentingan
yang mencintai. Arti dari perbuatan mendidik ialah: bahwa dengan
tindakannya itu pendidikan (hendak) memanusiakan manusia muda.
Isi perbuatan fundamental tersebut yaitu, mendidik adalah pemanusiaan
manusia muda dalam arti hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah
proses manusia menyadari dirinya bukan sebagai makhluk biologis semata,
melainkan sebagai seorang pribadi atau subjek, yaitu ‘mengerti diri,
menempatkan diri dalam situasinya, mengambil sikap dan menentukan

12
dirinya’. Humanisasi adalah proses manusia berdasarkan budinya
mengangkat alam menjadi alam manusiawi atau menjadi kebudayaan.
Kegiatan mendidik termuat dalam kesatuan hidup tritunggal bapak-ibu-
anak di mana terjadi tiga peristiwa penting pendidikan, yaitu:
1. Pemanusiaan anak, dengan mana anak berproses untuk akhirnya
memanusia sendiri sebagai manusia purnawan.
2. Pembudayaan anak yaitu pemasukan anak ke dalam alam budaya atau
juga masuknya alam budaya ke dalam diri anak, dengan mana anak
berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia
purnawan.
3. Pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana anak berproses untuk akhirnya bisa
melaksanakan sendiri nilai-nilai sebagai manusia purnawan.
Selain itu, mendidik yang terutama adalah hak dan kewajiban orang tua
sedangkan kewajiban negara adalah mengakui, melindungi, dan membantu
pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua tersebut, khususnya dengan
memperkembangkan pengajaran. Pengajaran memiliki dua aspek:
1. Aspek pendidikan yang bertujuan membangun anak agar menjadi
kepribadian yang sempurna dan susila, yang merupakan hak dan
kewajiban orang tua.
2. Aspek pembangunan tenaga cakap yang bertujuan membangun anak agar
menjadi tenaga yang cakap untuk kehidupannya, dan yang merupakan
hak dan kewajiban negara.
Dengan ini Driyarkara ingin menggarisbawahi bahwa pengajaran
mengandung pendidikan. Dengan memberi pengajaran, negara ikut serta
membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua melaksanakan
pendidikan.

I. PESERTA DIDIK

Peserta didik adalah subjek pendidikan. Penempatan peserta didik


sebagai subjek berarti mensyaratkan adanya komunikasi antar pendidik dan
peserta didik dan mereka dipandang sebagai pribadi yang unik yang
membutuhkan perhatian yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang

13
lain. Pola pendidikan yang berfokus pada program-oriented bukan children-
oriented yang memiliki bahaya verbalisme dan mencetak manusia-manusia
robot. Verbalisme terjadi manakala pendidikan hanya berfokus pada
penyelesaian program dan pengalihan pengetahuan dari guru ke benak peserta
didik. Peserta didik dilatih untuk menghafal pengetahuan tanpa memahami
konsep-konsep yang disampaikan. Peserta didik diminta untuk mengikuti
semua program yang sudah dirancang oleh guru dan sekolah. Akibatnya
peserta didik akan menjadi semacam robot yang melakukan perbuatan ketika
diperintah atau diprogram. Situasi ini akan menimbulkan minat, bakat, daya
kretivitas peserta didik tidak berkembang secara optimal.
Sehingga, menurut pandangan Driyarkara pendidikan tidak boleh bersifat
individualistis dengan menuruti semua kehendak dan memanjakan anak, tidak
boleh bersifat stato-sentris dengan menempatkan anak di bawah kekuasaan
negara atau masyarakat sampai memusnahkan kepribadiannya, melainkan
harus bersifat personalistis dalam arti ditujukan pada perkembangan manusia
sebagai persona.

J. EVALUASI

Evaluasi dalam pandangan Driyarkara didasarkan pada hasil observasi


yang telah dilakukan oleh peserta didik. Evaluasi ini dilakukan oleh guru
untuk mengetahui tingkat perkembangan pemahaman siswa.

K. KELEBIHAN

1. Menekankan pada proses humanisasi atau pemanusiaan manusia muda.


Hal ini didasrkan pada pandangan Driyarkara yang menyebutkan bahwa
pendidikan adalah pengangkatan manusia muda ke taraf insani
(Driyarkara, 1991:80).
2. Menekankan pada pendidikan keluarga. Sebagaimana disebutkan
Driyarkara (1991:129) bahwa pendidikan adalah hidup bersama dalam
kesatuan tri tunggal: ayah, ibu, dan anak, di mana terjadi pemanusiaan

14
anak dengan dia berproses untuk akhirnya memanusiakan sendiri sebagai
manusia purnawan.
3. Menekankan pada pendidikan nilai. Hal ini didasarkan pada anggapan
yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan pengajaran dan
pelaksanaan nilai-nilai (Driyarkara, 1991:116).

L. KEKURANGAN

Kekurangan dari pandangan Driyarkara memiliki kesamaan dengan


pandangan Ki Hajar Dewantara, yaitu sebagai berikut.
1. Keluarga sangat berperan sentral, sehingga baik-buruknya anak sangat
bergantung pada keluarga.
2. Menganggap sekolah sebagai tempat pendidikan yang kurang penting,
karena lebih menekankan pada pendidikan keluarga dan sekolah dinomor
duakan.
3. Tidak adanya kurikulum pembelajaran yang jelas, sehingga sangat sulit
untuk diterapkan dalam pendidikan.
4. Tidak bisa diaplikasikan dalam semua jenjang pendidikan. Sebab
pandangannya lebih cocok diaplikasikan pada jenjang pendidikan dasar.
5. Membutuhkan banyak pengorbanan dari orang tua, karena harus terus
menerus memberikan pendidikan kepada anaknya.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan materi di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Mendidik merupakan perbuatan fundamental yang bertujuan mengubah,
menentukan, dan membentuk hidup manusia. Perbuatan mendidik tersebut
adalah pemanusiaan manusia muda dalam arti hominisasi dan humanisasi.
2. Perwujudan yang primer dan fundamental dari pendidikan atau atau
kegiatan mendidik termuat dalam kesatuan hidup tritunggal bapak-ibu-
anak dimana terjadi tiga peristiwa penting pendidikan, yaitu pemanusiaan
anak, pembudayaan anak, dan pelaksanaan nilai-nilai.
3. Pendidikan harus bersifat personalitis dalam arti ditujukan pada
perkembangan manusia sebagai persona.
4. Mendidik yang terutama merupakan hak dan kewajiban orang tua
sedangkan kewajiban negara adalah mengakui, melindungi, dan membantu
pelaksanaannya.
5. Pengajaran harus lebih memperhatikan segi praktis dan berdiri di tengah-
tengah kehidupan masyarakat sehari-hari. Pokok pemikiran ini
mengandung beberapa gagasan. Pertama, pengajaraan sekolah harus
dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Kedua, pengajaran harus bersifat
informatif-formatif.

16
DAFTAR PUSTAKA

Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta : Yayasan


Kanisius.
Supraktiknya. 2014. Membaca Pemikiran Driyarkara tentang Pendidikan di
Zaman Sekarang. Makalah disajikan dalam Pendampingan Prajabatan Dosen-
Dosen Baru FKIP, Universitas Sanata Dharma, 10 Mei 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai