Anda di halaman 1dari 20

PARADIGMA BARU DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Strategi Pembelajaran IPA
yang dibina oleh Ibu Vita Ria Mustikasari, S.Pd., M.Pd.

Oleh:
Andri Putri Rachmawati (170351616557)
Fitri Rif’atul Izza (170351616518)
Isnani Ainun Wulan Nadifa (170351616509)
Kiki Kharismaliyansarik (170351616549)
Shindy Dwi Kusuma Astuti (170351616528)
Offering C 2017

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PRODI PENDIDIKAN IPA
Februari 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul
“Paradigma Baru dalam Pembelajaran IPA di Sekolah” ini tepat pada waktu yang
telah ditentukan. Dalam makalah ini, kami secara khusus membahas mengenai
bagaimana pemaparan Paradigma baru dalam pembelajaran IPA di sekolah.
Makalah ini kami harapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi
mahasiswa dan pembaca terkait dengan materi yang akan dibahas dalam makalah
ini.

Kami sebagai penyusun makalah menyampaikan terima kasih kepada semua


pihak yang telah membantu memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian
makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik serta saran-saran yang
bersifat membangun dari pembaca agar menjadi lebih baik lagi nantinya.

Malang, 12 Februari 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar belakang ........................................................................................................ 1

1.2 Rumusan masalah ................................................................................................... 2

1.3 Tujuan .....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

2.1 Hakikat IPA ............................................................................................................ 3

2.2 Hakikat pembelajaran ............................................................................................. 5

2.3 Landasan UNESCO ................................................................................................ 5

2.4 Paradigma lama ...................................................................................................... 9

2.5 Paradigma baru ..................................................................................................... 10

2.6 Perbedaan paradigma lama dan paradigma baru .................................................. 10

2.7 Paradigma baru IPA ............................................................................................. 12

BAB III KESIMPULAN .......................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 15

3.2 Saran ..................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16


BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pendidikan sains atau IPA di sekolah seringkali dianggap mata pelajaran


yang sulit dan rumit, sehingga bagi sebagian siswa, IPA dianggap mata pelajaran
yang abstrak dan menakutkan. Padahal IPA tidak seperti itu. IPA merupakan
pelajaran yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kesalahan cara
pandang ini dapat terjadi karena kesalahan paradigma dari sebagian pengajar IPA
yang masih menganggap IPA adalah kumpulan pengetahuan dan dalam proses
pembelajarannya guru mentransfer atau memindahkan pengetahuan itu kepada
siswanya bagaikan mengisi botol kosong dengan air.
Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum
(merupakan suatu sumber nilai) sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode
serta penerapan dalam ilmu alam, sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta
karakter ilmu alam itu sendiri. Sains merupakan suatu ilmu alam yang pokok
kajiannya meliputi ilmu biologi, fisika, matematika, geologi, astronomi, dan lain
sebagainya yang objek kajiannya menjelaskan segala bentuk fenomena di alam.
Paradigma holistic merupakan paradigma sains baru yang digunakan untuk
mengembangkan teori, ilmu, pengetahuan, praktek dan pola fikir untuk
memecahkan masalah kerusakan sumber daya dan pencemaran lingkungan yang
meluas. Adapun kedudukan dan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan yaitu
penggunaan teknologi informatika dalam pembelajaran sains yang merupakan
salah satu pemanfaatan teknologi untuk mempermudah proses pembelajaran,
sehingga belajar tidak lagi hanya tatap muka, ceramah, atau secara konvensional
lainnya. Sejak masuk zaman multimedia pembelajaran ini sudah mulai
ditinggalkan. Pengunaan layanan internet yang sangat dengan mudah untuk
diakses bisa dimanfaatkan dengan baik. Hal ini dikarenakan Ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan salah satu pilar yang harus dikokohkan jika suatu

` 1
negara ingin maju. Pada saat dunia memasuki milenium ketiga, semua bangsa
maju sepakat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
merupakan prasyarat untuk meraih kemakmuran (prosperity) dalam kancah
pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika para ilmuwan
sejagat sekarang tengah berlomba-lomba melakukan penelitian, pengembangan
dan perekayasaan untuk meningkatkan korpus pengetahuan. Hasil semua ini
diharapkan dapat dijadikan modal untuk membangun masyarakat berbasis
pengetahuan (Zuhal, 2000). Pada makalah ini akan sedikit membahas mengenai
bagaimana pemaparan Paradigma baru dalam pembelajaran IPA di sekolah.

1. 2 Rumusan Masalah

a) Apa yang dimaksud dengan hakikat IPA?

b) Apa yang dimaksud dengan hakikat pembelajaran?

c) Bagaimana landasan UNESCO yang mendasari pendidikan ?

d) Apa yang dimaksud dengan paradigma lama?

e) Apa yang dimaksud dengan paradigma baru?

f) Apa saja perbedaan paradigma lama dengan paradigma baru?

g) Bagaimana pemaparan paradigma baru dalam pembelajaran IPA di sekolah?

2.3 3 Tujuan

a) Dapat mengetahui hakikat IPA


b) Dapat mengetahui hakikat pembelajaran
c) Dapat mengetahui landasan UNESCO yang mendasari pendidikan
d) Dapat mengetahui paradigma lama
e) Dapat mengetahui paradigma baru
f) Dapat mengetahui perbedaan paradigma lama dengan paradigma baru
g) Dapat mengetahui paradigma baru dalam pembelajaran IPA di sekolah

` 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan terjemahan kata dari bahasa
Inggris natural science yaitu ilmu pengetahuan alam (IPA) , mempelajari gejala-
gejala alam yang melalui serangkaian proses yang sistematis yaitu metode ilmiah
. Sehingga Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat disebut sebagai ilmu yang
mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam. IPA merupakan ilmu yang
berhubungan dengan gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun
secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan
eksperimen (Samatowa, 2011).
Menurut Carin & Sund (1989) menyatakan bahwa sains dibangun oleh
elemen sikap, proses atau metode dan produk. Science has three major elements:
attitudes, processes or methods, and products. Attitudes are certain beliefs, value,
opinions, for example, suspending judgment until enough data has been collected
relative to the problem. Constantly endeavouring to be objective. Process or m
ethods are certain ways of investigating problem, for example, making
hypothesis, designing and carryng out experiments, evaluating data and
measuring. Products are facts, principles, laws, theories, for example, the
scientific principle:metalswhen heated expand.
IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya IPA
juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Gagne, 2010
dalam (Wisudawati dan Sund, 2014) Science should be viewed as a way of
thinking in the pursuit of understanding nature, as a way of investigating clains
about phenomena, and as a body of knowledge that has resulted from inquiry.
Menurut Chiappetta dan Koballa (2010) Hakikat IPA adalah Science as a
way of Thinking, Science as a way of investigating, Science as a body of
knowledge , Science and Its interactions with technology and Society. Maksud

` 3
dari pernyataan tersebut adalah IPA sebagai cara berpikir, cara investigasi,
sebuah bangunan ilmu pengetahuan, dan kaitannya dengan teknologi serta
masyarakat. Menurut Chiappetta dan Koballa (2010) Hakikat IPA terdiri dari
empat aspek , yaitu Hakikat IPA sebagai produk ilmiah, proses ilmiah, sikap
ilmiah dan aplikasi ilmiah.
a) Sains Sebagai Produk
Sains merupakan suatu system yang dikembangkan oleh manusia untuk
mengetahui dirinya dan lingkungannya. Sains sebagai produk akan
mencangkup konsep,hukum, dan teori yang dikembangkan sebagai rasa ingin
tahu manusia dan untuk keperluan manusia (Bundu,2006)
b) Sains Sebagai Proses
Pengkajian sains dari segi proses disebut juga keterampilan proses
Sains (Science Process Skill) atau proses sains. Proses sains adalah sejumlah
keterampilan untuk mengkaji fenomena alam dengan cara tertentu untuk
memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu selanjutnya. (Bundu,2006)
c) Sains Sebagai Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah adalah sikap yang dimiliki para ilmuwan dalam mencari
dan mengembangkan pengetahuan baru, sikap tersebut di antaranya obyektif
terhadap fakta, jujur, teliti, bertanggung jawab, dan terbuka (Bundu, 2006)
d) Sains Sebagai Aplikasi Ilmiah
IPA sebagi aplikasi merupakan penerapan produk IPA dalam teknologi
dan masyarakat secara terintegratif (Chiapetta & Koballa, 2010)

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam


(IPA) merupakan ilmu yang mempelajarai tentang alam dan gejalanya yang dipelajari
melalui metode ilmiah. Pada hakikatnya IPA dibangun atas produk ilmiah, proses
ilmiah, sikap ilmiah dan aplikasi ilmiah. Diharapkan peserta didik memperoleh
pengetahuan secara utuh dan merasakan proses pembelajaran dengan nyata, sehingga
mampu memahami fenomena alam melalui kegiatan penyelidikan atau metode ilmiah.

` 4
2.2 Hakikat Pembelajaran

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah Proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Konsep pembelajaran menurut Corey (Syaiful, 2011) adalah suatu proses


dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia
turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau
menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset
khusus dari pendidikan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru
untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri
siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan
baru yang berlaku dalam waktu yang relative lama dan karena adanya usaha.

2. 3 Landasan UNESCO

Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali
melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational,
Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik
untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni:

a) Learning to know
Learning to know adalah suatu proses pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan serta
dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang
memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah yaitu sikap ingin tahu dan
selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk selalu mencari jawaban atas
masalah yang dihadapi secara ilmiah (Kunandar, 2007).
Learning to know dilakukan dengan cara memadukan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan

` 5
untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran
(Mudyahardjo, 1998). Dan learning to know ini mengandung prinsip berikut:
1. Diarahkan untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan teknologi
dan merespon sumber informasi baru
2. Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran
3. Network society
4. Learning to learn dan life long education
(Shofan, 2007).
Dan sasaran terakhir dari penerapan pilar “ laerning to know “ adalah
lahirnya suatu generasi yang mampu mendukung perkembangan iptek, yang
menjadikan iptek sebagai kebudayaanya. Karena bagi mereka yang
menjadikan iptek sebagai kebudayaan, “ science “ adalah wujud berpikir
yang paling canggih.
b) Learning to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Learning
to do bukanlah kemampuan berbuat yang mekanis dan pertukangan tanpa
pemikiran tetapi action in thingking dan learning by doing. Dengan ini,
peserta didik akan terus belajar bagaimana memp erbaiki dan
menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori atau
konsep intelektualitasnya (Ma’arif, 2005).
Learning to do tidak hanya tertuju pada penguasaan suatu keterampilan
bekerja, tetapi juga secara lebih luas berkenaan dengan kompetisi atau
kemampuan yang berhubungan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim
(Mudyahardjo, 1998). Dan learning to do mengandung prinsip berikut:
1. Menjembatani pengetahuan dan keterampilan
2. Memadukan learning by doing dan doing by learning
3. Mengkaitkan pembelajaran dengan kompetensi
4. Mengkaitkan psikologi pembelajaran dengan sosiologi pembelajaran
(Shofan, 2007).

` 6
Sasaran akhir diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang
dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan iptek. Tujuan akhir dari
upaya pendidikan adalah penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahun.
Ini sangat relevan dalam “ technology based economy”, suatu masyarakat
yang tenaga kerjanya tidak cukup hanya menguasai keterampilan motorik
yang mekanistik., tetapi dituntut kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-
pekerjaan seperti “ controling, monitoring, maintaining, designing, dan
organizing”. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang sifatnya “ learning to
do “ ini memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menghadapi masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan
iptek yang secara teori telah dipelajari (Kunandar, 2007).
c) Learning to be
Learning to be yaitu mengembangkan kepribadian dirinya sendiri dan
mampu berbuat dengan kemandirian yang lebih besar, perkembangan dan
tanggung jawab pribadi. Dalam hubungan ini, pendidikan harus berhubungan
dengan setiap aspek dari potensi pribadi yang berupa: mengingat, menalar,
rasa estetis, kemampuan- kemampuan fisik, dan keterampilan- keterampilan
berkomunikasi (Mudyahardjo, 1998).
Di samping itu, Learning to be ini juga merupakan pelengkap dari
learning to know dan learning to do. Robinson Crussoe berpendapat bahwa
manusia itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung dengan
manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan masa jika tidak
berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun peserta
didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai
kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya
(Suwarno, 2006). Di dalam learning to be ini mengandung prinsip sebagai
berikut:
1. Berfungsi sebagai andil terhadap pembentukan niali- nilai yang dimiliki
bersama

` 7
2. Menghubungkan antara tangan dan fikiran, individu dengan masyarakat
pembelajaran kognitif dan non- kognitif serta pembelajaran formal dan
non- formal
(Shofan, 2007).
Pada learning to be ini ditekankan pada pengembangan potensi insani
secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan learning to do seseorang akan mengenal jati
diri, memahami kemampuan dan kelemahannya den gan kompetensi-
kompetensinya akan membangun pribadi yang utuh (Kunandar, 2007).
d) Learning to live together
Learning to live together merupakan kelanjutan yang tidak dapat
dielakkan dari learning to know, leaning to do dan learning to be. Learning to
live together ini menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi
educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun
bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya (Ma’arif, 2005).
Learning to live together dilakukan melalui perkembangan suatu
pemahaman tentang orang lain dan suatu penghargaan terhadap saling
ketergantungan- pelaksana proyek bersama dan belajar mengelola konflik
dalam semangat menghargai nilai- nilai kejamakan, pemahaman bersama dan
perdamaian (Mudyahardjo, 1998). Learning to live together ini mengandung
prinsip sebagai berikut:
1. Membangun sistem nilai
2. Pembentukan identitas melalui proses pemilikan konsep luas
(Shofan, 2007).
Sehingga pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk
menguasai iptek dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah,
melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda
dengan penuh toleransi, pengertian dan tanpa prasangka. Learning to live
together ini menekankan pada seseorang atau pihak yang belajar untuk
mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya, budayanya

` 8
dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis (Kunandar,
2007).
2.4 Paradigma Lama

Paradigma secara bahasa diartikan sebagai model, teori, persepsi, asumsi atau
kerangka acuan. Dalam pengertian lain, paradigma adalah sebuah teori tentang
bagaimana cara manusia (khususnya ilmuwan) melihat dunia. Pada akhirnya
paradigma dalam perspektif keilmuan didefinisikan sebagai sebuah teori,
penjelasan atau model tertentu untuk sesuatu yang berbau ilmiah (Sumarna,
2005).

Sejak dekade 1950an, dalam dunia pendidikan internasional telah ada upaya-
upaya untuk mengubah paradigma yang telah lama digunakan dalam
pembelajaran di sekolah, yang lebih menekankan pada peranan guru yang
mengajar daripada siswa yang belajar (yang dapat disebut sebagai paradigma
lama atau “tradisional”, atau paradigma “guru mengajar”), yang dianggap kurang
memuaskan, ke sesuatu paradigma pembelajaran yang dipandang lebih sesuai
dengan hakekat alamiah anak dalam belajar, dan juga lebih sesuai dengan hakekat
pengembangan attitude, kemampuan berpikir, berkreativitas, dan berkolaborasi.
Paradigma yang kedua ini menekankan pada peranan siswa yang belajar daripada
guru yang mengajar (yang dapat disebut sebagai paradigma “modern” atau
paradigma baru atau paradigma siswa belajar). Upaya-upaya tersebut tidak selalu
memberikan hasil yang memuaskan. Jika guru menerapkan pendekatan mengajar
yang sama (berdasarkan pengalaman mengajar sebelumnya) pada sistem
pembelajaran yang telah mengalami perubahan (pola pembelajaran yang sesuai
dengan kurikulum 2004 atau KTSP), maka dimungkinkan tujuan-tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan dari siswa tidak tercapai. Sebuah
paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi tidak sesuai
(kurang relevan) apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang
telah mengalami perubahan. Perubahan paradigma tersebut cenderung
menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut terjadinya revolusi ilmiah

` 9
yang melahirkan paradigma baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi
(Kuhn, 2002). Paradigma konstruktivis tentang pembelajaran merupakan
paradigma alternatif yang muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari
sistem pembelajaran yang cenderung berlaku pada abad industri ke sistem
pembelajaran yang semestinya berlaku pada abad pengetahuan sekarang ini.

2.5 Paradigma Baru


Untuk membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas maka mau
tidak mau harus merubah paradigma dan sistem pendidikan. Formalitas dan
legalitas tetap saja menjadi sesuatu yang penting, maka yang perlu dilakukan
sekarang bukanlah menghapus formalitas yang telah berjalan melainkan menata
kembali sistem pendidikan yang ada dengan paradigma baru yang lebih baik.
Dengan paradigma baru, praktek pembelajaran akan digeser menjadi
pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktivistik.
Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual. Yang
berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun
pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial dan belajar
dimulai dari pengetahuan awal dan prespektif budaya. Tugas belajar didesain
menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi (Kamdi,
2008).

Memasuki abad ke-20, terjadi perubahan atau pergeseran Paradigma holistic


(Capra, 1982) merupakan paradigma baru yang digunakan untuk
mengembangkan teori, ilmu, pengetahuan, praktek dan pola fikir untuk
memecahkan masalah kerusakan sumber daya dan pencemaran lingkungan yang
meluas. Dalam paradigma sains baru ini memiliki konsep holistick sehingga
dianggap manusia merupakan bagian dari ekosistem, bukan bagian terpisah yang
dapat memanfaatkan lingkungannya hanya demi keuntungan

2.6 Perbedaan Paradigma Lama dan Paradigma Baru


Perbedaan secara kontras antara paradigma lama pembelajaran dan
paradigma baru pembelajaran dapat dicermati pada tabel berikut.

` 10
No Paradigma Lama Paradigma Baru
Pembelajaran Pembelajaran
I Perilaku Guru Mengajar Perilaku Guru Mengajar
1. Transmiter pengetahuan Fasilitator, motivator, mediator
2. Sumber pengetahuan Panutan dan konsultan
3. Berorientasi pada Berorientasi pada pebelajar
kurikulum
4. Komunikasi interaksi Komunikasi transaksional
5. Mekanistik Lebih variatif
6. Fokus kelas Fokus masyarakat
II Perilaku Pebelajar Perilaku Pebelajar (Siswa)
(Siswa)
1. Menerima secara pasif Konstruktif dan partisipatif
2. Kompetitif (individual) Kolaboratif dan kerjasama
3. Taat prosedur Penemu dan penciptaan
4. Berbasis fakta Berbasis masalah atau proyek
5. Pengulangan dan latihan Perancangan dan penyelidikan
III Evaluasi Evaluasi dan Assessment
1. Berorientasi pada hasil Berorientasi pada proses
2. Penilaian secara normative Unjuk kerja yang konfrehensif
3. Kognitif asas rendah Kognitif tingkat tinggi (berpikir
(hafalan dan kritis dan kreatif serta divergen)
recall, konvergen)

Penerapan model mekanistik berbasis behavioris sudah berlangsung lama dan


dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya: (1) para guru pada umumnya adalah
produk dari pembelajaran yang menggunakan paradigma lama, sehingga
kompetensi mengajar yang dimiliki guru (pemahaman konsep, penguasaan aspek
psikologi kependidikan, dan pengenalan kemampuan siswa) masih berbasis
behavioristik, (2) kebanyakan guru sudah terbiasa mengajar dengan
menggunakan buku teks. Sementara buku teks biasanya menguraikan materi

` 11
pembelajaran seperti dalam pembelajaran langsung, sehingga kurang sesuai untuk
digunakan untuk pembelajaran yang bersifat konstruktif, (3) kebanyakan sekolah
kurang memberi dukungan terhadap implementasi paradigma baru, (4) para
pejabat yang berwenang dalam bidang pendidikan seringkali tidak konsisten
dalam sikap mereka terhadap paradigma yang baru (Suwarsono, 2006)

2.7 Paradigma Baru IPA


Paradigma pendidikan IPA berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Dalam IPA yang
patut dikuasai tidak hanya mengenai fakta-fakta pengetahuannya saja, melainkan
juga penguasaan keterampilan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu,
dalam pelaksanaan pendidikan IPA ditekankan agar peserta didik menguasai
keterampilan dan sikap ilmiah tersebut seakan-akan seluruh peserta didik
disiapkan untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan yang menguasai IPA. Dengan cara
ini, untuk memperoleh fakta-fakta sebagai produk IPA dilakukan dengan cara
yang sama dengan ilmuwan yang pertama kali mengemukakan fakta tersebut,
atau disebut learning science as science is done (belajar sains seperti saat sains
ditemukan).
Sejalan dengan perkembangan iptek yang pesat dan perubahan masyarakat
yang dinamis, perlu disiapkan warganegara Indonesia yang mampu bersaing
bebas dan memiliki ketangguhan dalam berpikir, bersikap dan bertindak
berdasarkan pemahaman tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains. Hal ini
perlu dilakukan apalagi jika mengingat abad ke-21 sebagai abad sains dan
teknologi yang memberikan wawasan berpikir dan proses bersistem yang
dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat (awam maupun ilmiah).
Dari sekian banyak permasalahan pendidikan saat ini, setidaknya ada tiga
permasalahan menonjol di pendidikan IPA. Pertama, pembelajaran IPA masih
terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu yang menempatkan guru
sebagai pusat dan siswa sebagai "gelas kosong" yang harus siap diisi sesuai
kemampuan guru. Permasalahan ini biasanya satu paket dengan permasalahah
kedua, yaitu masih berlangsungnya pematematikaan IPA. Dalam proses

` 12
pembelajaran, biasanya siswa duduk dengan manis, mendengarkan dan mencatat
konsep konsep abstrak yang disampaikan guru, tanpa bisa mengkritisi apa arti
konsep itu. Lalu, konsep itu yang biasanya sudah dalam bentuk persamaan
matematika, diterapkan pada kasus kasus khusus. Saat latihan, mereka mungkin
bisa mengerjakan soal-soal yang setipe dengan yang dicontohkan guru.
Namun,pada saat ada soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka pun
kesulitan dalam menyelesaikannya. Ini karena mereka bukan belajar memahami
konsep, tetapi mencatat konsep.
Konsekuensi lanjutannya adalah terjadinya proses alienasi siswa dari
lingkungannya. Siswa tidak paham untuk apa IPA itu dipelajari, karena konsep
konsep IPA yang mereka pelajari tidak bisa mereka terapkan dalam kehidupan
sehari-harinya. Dengan demikian, mempelajari IPA merupakan beban bagi
mereka dan akhirnya siswa pun merasa IPA merupakan momok yang
menakutkan dalam pembelajarannya. Banyak guru yang mematematikakan IPA
beralasan pembelajaran yang mengedepankan aspek induktif membutuhkan
waktu banyak dan terkadang muncul hal-hal yang di luar dugaan semula.
Padahal, mestilah disadari bahwa dari hal-hal yang tidak terduga itu biasanya
pemahaman kita akan alam menjadi lebih komprehensif.
Pembelajaran IPA adalah aktivitas kegiatan belajar mengajar dalam
mengembangkan kemampuan bernalar, berpikir sistematis, dan kerja ilmiah,
selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Hal ini berarti,
belajar IPA tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta,
konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural
berupa cara memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan
bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar IPA memfokuskan kegiatan
pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati,
mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan
sebagainya. Ciri utama yang membedakan pelajaran IPA dengan kebanyakan
mata pelajaran yang lain adalah sifatnya yang menuntut siswa untuk terlibat di
dalam kegiatan metode ilmiah, dan dengan demikian mengembangkan sikap

` 13
ilmiah. Esensi pembelajaran IPA adalah keterampilan proses. Jelas bahwa hal ini
menuntut perlunya pelajaran IPA didukung oleh kegiatan-kegiatan percobaan dan
pengamatan benda dan gejala alam yang dapat memperjelas konsep-konsep yang
ingin disampaikan.
Saat ini terdapat 3 hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
program dan pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu:
1. Pengembangan IPA menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup secara
luas, bukan sekedar menyerap produk ilmu pengetahuan alam.
2. Proses pembelajaran IPA adalah penyediaan kesempatan pengalaman belajar
kepada siswa untuk membangun sendiri kompetensi-kompetensi yang
mendukung tercapainya penguasaan kecakapan hidup (life skills).
3. Pembelajaran IPA dirancang agar siswa mengeksplorasi isu-isu ‘salingtemas’
di lingkungan kehidupan nyata.
Berdasarkan ketiga hal di atas implementasi pembelajaran IPA dapat
menggunakan metodologi pembelajaran yang sekarang popular yaitu
pembelajaran konstruktivis dan kontekstual. Pembelajaran kontekstual
memandang siswa belajar untuk membangun kecakapannya dalam konteks
kehidupan nyata. Sebagai metodologi, karena pembelajaran kontekstual juga
mengimplementasikan metode-metode tertentu.

` 14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum
(merupakan suatu sumber nilai) sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode
serta penerapan dalam ilmu alam, sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta
karakter ilmu alam itu sendiri. Sains merupakan suatu ilmu alam yang pokok
kajiannya meliputi ilmu biologi, fisika, matematika, geologi, astronomi, dan lain
sebagainya yang objek kajiannya menjelaskan segala bentuk fenomena di alam.

Paradigma holistic merupakan paradigma sains baru yang digunakan untuk


mengembangkan teori, ilmu, pengetahuan, praktek dan pola fikir untuk
memecahkan masalah kerusakan sumber daya dan pencemaran lingkungan yang
meluas.

3.2 Saran

Dari berkembangnya jaman di era global sekarang, diharapkan paradigma


pendidikan akan bersifat fleksibel. Hal ini dikarenakan, semakin berubahnya
suatu jaman maka paradigma pendidikan yang di butuhkan juga akan ikut
berubah.

` 15
DAFTAR PUSTAKA

Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam
Pembelajaran Sains di SD. Jakarta: Depdiknas.

Carin, A.A. dan R.B. Sund.1989. Teaching Science Through Discovery. Columbus:
Merrill Publishing Company.

Chiappetta, E ugene L. dan Thomas R. Koballa. 2010. Science Instruction in The


Middle and Secondary School Developing Fundamental Knowledge and
Skills. New York: Person.

Kamdi, Waras . 2008. Project Based Learning : Pendekatan Pembelajaran Inovatif,


Malakah Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Guru SMP dan SMA Kota
Tarukan. Malang : Universitas Negeri Malang
Kuhn, T. S. (2002). The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh: Tjun
Surjaman. Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ma’arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta: Logung
Pustaka.
Mudyahardjo, Redja. 1998. Pengantar Pendidikan. Bandung: PT Rajagrafindo
Persada.
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Samatowa, Usman. 2011. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks.
Shofan, Moh. 2007. The Realistic Education. Jogjakarta: Ircisod.
Sumarna, C. 2005. Rekonstruksi Ilmu: dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik
Rasional Teistik. Bandung : Penerbit Benang Merah.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar- Dasar Ilmu Pendidikan. Salatiga: Ar- Ruzz.
Suwarsono (2006). Hambatan dalam implementasi paradigma baru pembelajaran
matematika, dan upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Jurnal

` 16
Pendidikan Matematika “MATHEDU”, Vol. 1 No. 1, Januari 2006.
Surabaya: Program Studi Pendidikan Matematika PPs UNESA.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wisudawati, Asih Widi & Eka Sulistyowati. 2014. Metodologi Pembelajaran IPA.
Jakarta: Bumi Aksara
Zuhal. 2000. Visi Iptek Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta : Penerbit UI Press.

` 17

Anda mungkin juga menyukai