Anda di halaman 1dari 19

A.

PENDAHULUAN
Perkembangan zaman merubah perilaku dan standar kehidupan manusia.Laju
zaman ini ditandai dengan adanya kemajuan teknologi, urbanisasi, dan
industrialisasi.Kegagapan dan kegagalan dalam adaptasi menyebabkan adanya
konflik, baik internal maupun eksternal, sehingga menyebabkan adanya tingkah laku
menyimpang dari normal demi kepentingan pribadi (Koentjoro, 2004).
Sulitnya mencari lapangan pekerjaan di Indonesia, menjadi salah satu masalah
sosial bagi masyarakat menengah ke bawah.Akibatnya terjadi problematika sosial
dalam kehidupan di masyarakat karena sulitnya memenuhi kebutuhan kehidupan.
Ketika masalah pekerjaan dikelompokkan atau pun dibedakan menjadi masalah
pekerjaan perempuan dan pria, akan menyebabkan munculnya permasalahan
tersendiri. Khusus bagi pekerja perempuan, peluang dan kesempatan karir yang masih
terbatas pada setiap kesempatan kerja menunjukkan perbedaan kelas di dalam
masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan
perempuan semakin menjadikan mereka terpinggirkan dalam pola dan teknis kerja,
padahal peran serta perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga sama
pentingnya (Julianto, 2002).
Perempuan memiliki derajat yang setara dengan pria karena pandangan bahwa
perempuan adalah makhluk kelas dua mulai luntur.Bahkan sekarang ini banyak
ditemui perempuan yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga.Kondisi
demikian bagi masyarakat kelas menengah menjadi masalah sosial baru.Tak jarang,
perempuan yang dihadapkan pada kondisi ini memilih jalan pintas dengan menjual
diri atau menjadi pekerja seks komersial (PSK). Salah satu bentuk penyimpangan
norma yang dianggap sebagai masalah sosial adalah prostitusi. Pelacuran atau
prostitusi adalah salah satu patologi sosial yang merupakan keroyalan relasi seksual
dalam bentuk penyerahan diri untuk pemuasan seksual dan dari perbuatan tersebut
yang bersangkutan dengan imbalan.Di samping itu prostitusi dapat diartikan dengan
salah satu tingkah laku yang tidak susila atau gagal untuk menyesuaikan diri dengan
norma-norma susila. Oleh sebab itu pelacur yang melakukan perbuatan royal dan
tidak pantas, berhubungan seks dengan orang yang tidak terbatas, maka pada dirinya
sering mendatangkan penyakit yang dapat berjangkit dalam dirinya maupun kepada
orang lain (Poerwandari, 1998).
Pelacuran merupakan tingkah laku lepas dan bebas tanpa kendali serta cabul,
mengandung tindak pelampiasan nafsu tanpa mengenal batas kesopanan. Pelacuran
7
selalu ada pada semua negara yang berbudaya, sejak zaman purbakala sampai
sekarang. Keberadaannya selalu menjadi masalah dan patologi sosial, objek-objek
hukum, dan tradisi.Di Indonesia konsep prostitusi sudah ada semenjak masa kerajaan-
kerajaan Jawa dimana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan pelengkap
dari sistem pemerintahan feodal.Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan
sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia.Dengan kekuasaan ini berarti
mereka menguasai tanah, benda, bahkan nyawa hamba sahaya mereka.Kekuasaan ini
tercermin dari banyaknya selir yang mereka miliki. Hal ini terjadi karena rakyat
menganggap bahwa dengan melahirkan anak-anak dari raja akan meningkatkan status
yang dimiliki. Keadaan inilah yang membentuk landasan bagi perkembangan industri
seks yang ada sekarang (Hull, T. H ; 1997).
Pekerja seks komersial (PSK) adalah para pekerja yang bertugas melayani
aktivitas seksual dengan tujuan mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah
memakai jasa mereka.(Koentjoro, 2004).Prostitusi sebagai masalah sosial sementara
ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan
pasti, namun sampai sekarang pelacuran masih banyak dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara
terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (Hull, T. H; 1997).
Banyak budaya yang menyebabkan wanita akhirnya menjadi PSK.Koentjoro
(2004) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya yang dilakukan di Indramayu,
terdapat budaya yang menganggap bekerja sebagai PSK adalah baik dan justru
mendapat dorongan orangtua dan keluarga.Bahkan, keluarga menyelenggarakan
slametan agar anaknya mendapat banyak pelanggan dan dapat mengirimi uang untuk
keluarga di rumah.Selain itu, masih banyak faktor yang menyebabkan perempuan
menjadi PSK.Di antaranya penipuan dan pemaksaan dengan berkedok agen penyalur
tenaga kerja.Kasus penjualan anak perempuan oleh orangtua sendiri pun juga sering
terjadi.Terjunnya seorang perempuan ke dalam dunia prostitusi dilatarbelakangi oleh
berbagai faktor.Menurut Kartono (2003) faktor utama yang mendorong seseorang
berprofesi sebagai PSK adalah faktor keterbatasan ekonomi, sehingga seorang
perempuan menerjuni dunia prostitusi untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya.
Faktor tersebut di atas dapat diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Yahman (1999) di kompleks resosialisasi Silir Surakarta, diperoleh hasil bahwa
dari 12 pekerja seksual yang diamati dan diwawancarai ditemukan hampir 100 persen
8
pekerja seks tersebut menjadi pelacur karena faktor desakan ekonomi walaupun
pemahaman mereka terhadap nilai-nilai moral dan etika cukup baik.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Purnomo & Siregar (dalam Yahman,
1999) di kompleks pelacuran Dolly Surabaya, menemukan bahwa dari 48 orang
responden yang diwawancarai, 6 persen memilih profesi sebagai pekerja seks karena
alasan ekonomi. Dari jumlah tersebut 19 orang menyatakan pekerjaan yang
ditekuninya cepat menghasilkan uang, dan sisanya 13 orang mengaku tidak memiliki
ketrampilan kerja lain sehingga terpaksa menjadi pekerja seks. Kemudian 12,5 persen
karena alasan psikologis, seperti patah hati, balas dendam, dipaksa untuk menikah.
Sisanya 20,83 persen tidak tahu kalau dijebloskan ke dalam dunia prostitusi.
Sementara berdasar hasil pra-survei dalam penelitian yang dilakukan Istiyanto
(2007), diperoleh data tentang jumlah PSK di lokalisasi Gang Sadar Baturraden,
tercatat ada 140 PSK, dengan rincian di Gang Sadar 1 ada sembilan orang dan di
Gang Sadar dua tercatat 131 orang. Terdapat 35 orang germo dan makelar atau calo
penghubung sejumlah 45 orang.Jumlah sebanyak ini jelas menunjukkan aktivitas
pelacuran yang menjadikan perempuan sebagai obyek sekaligus korban sistem
patriarki sebagai sesuatu yang tidak mudah untuk dihilangkan.
Perempuan yang menjadi PSK tidak terbatas usia, mulai dari usia pelajar
hingga yang berusia tua. Namun, PSK yang masih berusia remaja menjadi pilihan
kebanyakan pria hidung belang karena mereka merasakan sensasi yang berbeda. Dari
hasil wawancara dengan Alfred Lehurliana, Manajer Program LSM Tegar, di
lokalisasi Sarirejo jumlah PSK remaja tidak lebih dari 20 persen dari keseluruhan
PSK yang berjumlah 270 orang (data per April 2013). Jumlah ini sangat dinamis
karena pergerakannya sangat cepat.Mereka pun tidak menampakkan diri secara
terang-terangan karena takut jika bermasalah dengan hukum.
Ditambahkan, sudah ada beberapa mucikari dan PSK di bawah umur yang
disidangkan, sehingga kejadian ini membuat PSK tersebut jera. Jika pun ada, mereka
memalsu data pribadi, termasuk surat keterangan dari orangtua. Modus ini semakin
berkembang seiring dengan perubahan status dari lokalisasi menjadi tempat wisata
karaoke, meski belum ada payung hukum resmi yang menjadi dasar perubahan
ini.Pola transaksi pun tidak dilakukan langsung, namun terjadi setelah pemandu
karaoke usai bekerja di tempat karaoke tersebut, sekitar pukul 01.00 dini hari.

9
Komplek karaoke tersebut menjadi pilihan sebagian besar masyarakat karena di
Salatiga sangat minim hiburan. Selain itu, banyaknya perempuan yang sering disebut
Pemandu Karaoke (PK). Perempuan-perempuan ini, meski bekerja sebagai pemandu
lagu di ruangan karaoke, ternyata sebagian bisa diajak untuk transaksi seksual.
Menurut sumber, salah satu pegawai di sebuah tempat karaoke di Sembir, 90 persen
wanita pemandu karaoke dapat diajak kencan untuk melakukan hubungan seks.
Dengan demikian praktik pelacuran yang ada di tempat wisata Karaoke Sarirejo
dapat disebut pelacuran terselubung. Peran pemandu karaoke menjadi semakin
penting karena mampu menyedot tamu untuk berkaraoke di tempat tersebut.
Apabila para pemandu karaoke cantik-cantik dan masih muda serta memiliki tubuh
yang indah otomatis akan banyak tamu yang datang ke tempat tersebut, ini
berarti juga akan menguntungkan bagi pemilik usaha karaoke, apalagi ditambah
dengan pelayanannya yang ramah dan baik.

Gambaran tersebut merupakan suatu contoh bagaimana perempuan sangat


rentan untuk masuk dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi, tak terkecuali remaja di
Kota Salatiga. Remaja yang sedang dalam masa peralihan,berkeinginan untuk
berkembang dan diwarnai dengan pola serta gaya hidup yang terus mengikuti
perkembangan zaman. Menurut Engel, Blackwel, dan Miniard (1994), gaya hidup
adalah pola dimana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang. Remaja
memiliki kecenderungan untuk tampil percaya diri dengan mengikuti trend dan gaya
hidup. Bertambahnya kebutuhan yang terus menerus memaksa orang untuk makin
lama makin memenuhinya. Hal ini berpotensi memunculkan masalah ketika dalam
prosesnya kondisi ekonomi tidak mendukung untuk mengikuti trend tersebut.Masa
remaja adalah usia pada saat individu berintregasi dengan masa dewasa, individu
mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa dan individu mengalami perubahan
intelektual yang menonjol.
Faktor–faktor yang menyebabkan terjadinya prostitusi, menurut Soedjono,
karena faktor ekonomi bahwa perempuan–perempuan itu lahir dan dibesarkan di
lingkungan yang miskin, faktor sosiologis seperti adanya urbanisasi dan keadilan
sosial, faktor psikologis seperti rasa ingin membalas dendam, malas bekerja dan seks
maniak.Selain faktor–faktor diatas, terdapat faktor penarik dan faktor pendorong yang
menyebabkan remaja wanita terjerumus dalam dunia prostitusi adalah adanya
10
keuntungan finansial yang lebih besar, walaupun mereka harus mengorbankan harga
dirinya.
Dari latar belakang diatas, penelitian ini ingin meneliti tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial di Salatiga.

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Pekerja Seks Komersial (PSK)
Secara definitif PSK berarti seorang perempuan yang dengan sengaja
melakukan hubungan kelamin dengan seseorang yang berlainan jenis kelamin yang
keduanya bukan pasangan suami-isteri yang sah menurut hukum, norma agama
maupun norma sosial untuk mendapatkan imbalan sesuai dengan kebutuhannya (Hull,
T. H, 1997). Koentjoro dan Sugihastuti (1999), menjelaskan istilah PSK berasal dari
dasar kata lacur, artinya adalah malang, celaka, gagal, siai, atau tidak jadi. Kata lacur
berarti pula buruk laku, jadi melacur adalah berbuat lacur atau menjual diri sebagai
PSK.
PSK juga bisa diartikan sebagai wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada
banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut
mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta dilakukan di luar pernikahan.Ditinjau
dari makna harfiahnya prostitusi berasal dari bahasa Latin prostituaere atau pro-
staure, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan,
pencabulan, dan atau pergendakan.
Sedangkan dalam Koentjoro dan Sugihastuti (1999) prostitusi dalam bahasa
Indonesia adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah
sebagai suatu transaksi perdagangan. Pelaku PSK di pihak perempuan disebut pula
Wanita Tuna Susila (WTS).Tuna susila diartikan sebagai wanita kurang beradab
karena kegampangan relasi seksual, dalam bentuk penyerahan diri pada laki-laki demi
kepuasan seksual dan demi memperoleh imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya.
Albarda (2004) mengungkapkan PSK adalah seorang yang menjual jasanya
untuk melakukan hubungan seksual demi uang.Ini menunjukkan perilaku wanita ini
sangat buruk, hina, dan menjadi musuh masyarakat.Mereka dihina, dicaci maki,
bahkan menjadi cemoohan bagi orang yang membenci perilaku tersebut.Pelacuran
dianggap negatif, dan mereka yang menjual tubuhnya dianggap sebagai sampah
masyarakat.Meski ada yang menganggap pelacuran adalah hal yang buruk, namun
dibutuhkan (evil necessity).
11
2. Jenis Pelacuran
Menurut Albarda (2004), Jenis pelacuran adalah :
a. Pergundikan, pemeliharaan istri tidak resmi: Pasangan ini hidup sebagai suami
istri, namun tidak terikat perkawinan yang sah.
b. Tante girang: Wanita yang sudah kawin namun sering melakukan perbuatan
erotik dengan pria lain secara iseng untuk bersenang-senang demi pengalaman
seks, atau secara intersensional untuk mendapatkan penghasilan.
c. Gadis panggilan: Wanita yang menyediakan diri untuk dipanggil dan
dipekerjakan sebagai pelacur melalui saluran tertentu. Pada umumnya berasal
dari kalangan ibu-ibu, pelayan toko, pegawai atau buruh, siswi sekolah, dan
mahasiswi.
d. Gadis bar: Gadis yang bekerja di bar dan sekaligus bersedia memberikan
pelayanan seks kepada pengunjung.
e. Gadis juvenile delinquent: Gadis muda jahat yang didorong oleh emosi yang
tidak matang dan keterbelakangan intelek serta pasif. Mudah menjadi pecandu
minuman keras atau narkoba sehingga mudah tergiur melakukan perbuatan
immoral seksual atau pelacuran.
f. Gadis binal: Gadis sekolah atau putus sekolah, akademi atau fakultas yang
berpendirian menyebarluaskan kebebasan seks secara ekstrim untuk
mendapatkan kepuasan seksual.
g. Taxi girls: Wanita panggilan yang ditawarkan dan dibawa ke tempat pelesiran
dengan taksi atau becak.
h. Penggali emas: Wanita cantik, ratu kecantikan, pramugari, penyanyi, artis
yang sulit diajak bermain seks namun dengan kelihaiannya dapat menggali
emas dan kekayaan dari kekasihnya.
i. Hostess (pramuria): Wanita yang menyemarakkan kehidupan malam dan night
club, dan merupakan bentuk pelacuran halus. Hostess harus melayani makan,
minum, dan memuaskan naluri seks sehingga pelanggan dapat menikmati
keriaan suasana tempat hiburan.
j. Promikuitas: Hubungan seks secara bebas dengan sembarang pria, juga
dilakukan dengan banyak laki-laki.

12
Sementara Ruth (2004), menyebutkan jenis-jenis prostitusi di antaranya:
a. Gadis panggilan: Pelacur jenis ini bekerja sendiri dan membikin janji dengan
kliennya. Biasanya, gadis panggilan berfungsi untuk mengentertainment relasi
bisnis di hotel dan apartemen.
b. Pekerja seks jalanan: Pelacur ini berisiko tinggi. Mereka menjajakan diri di
jalanan, seputar parkiran mobil, dan kadangkala di restoran dan bar.
c. Pekerja di rumah bordil: Pekerja seks model ini berkembang ketika era Koboi
di Amerika. Mereka berada di hotel dan bar dengan menggunakan nomor
sesuai ketersediaan.
d. Pelayan panti pijat: Ini adalah layanan seks yang dilakukan secara sembunyi-
sembunyi karena menggunakan pola panggilan. Mereka memulai dengan
memijat bagian leher dan punggung. Setelahnya, baru melakukan pelayanan
seks.
e. Gadis bar: Pekerja seks ini biasanya memberi pelayanan striptease atau tarian
telanjang. Disini, mereka menari di sebuah tempat yang telah disediakan untuk
menarik perhatian dan mendapat bayaran dari tarian tersebut.
f. Sex trafficking: Ini adalah bentuk variasi dari di dunia prostitusi. Namun pada
dasarnya, sex trafficking adalah bencana untuk tenaga kerja, dan mereka yang
berkecimpung di dalamnya bisa disebut sebagai budak atau korban.

3. Faktor Penyebab Perempuan Menjadi Pekerja Seks Komersial


Perempuan menjadi PSK menurut Mamahit (1999) dipengaruhi tiga faktor
yaitu interaksi sosial perempuan bersangkutan dengan PSK yang lebih dulu
bekerja, proses kognitif khususnya presepsi terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan PSK, dan keinginan untuk mencapai kebutuhan (ekonomi, sosial,
status, penghargan, dll) yang optimal melalui jalan pelacuran. Sementara
Koentjoro (2004) juga menggarisbawahi tingginya aspirasi material sebagai
faktor pendorong perilaku melacurkan diri.Faktor ekonomi menjadi
kesimpulan paling banyak disepakati.

Beberapa hal yang menyebabkan perempuan menjadi PSK menurut Koentjoro


adalah:
1. Orang setempat yang menjadi model pelacur yang sukses.
13
2. Sikap permisif dari lingkungannya.
3. Adanya peran instigator (penghasut).
4. Peran sosialisasi.
5. Ketidakefektifan pendidikan dalam meningkatkan status sosial ekonomi.

Penyebab tingginya pelacuran karena pekerjaaan yang tidak memerlukan


pengalaman dan gelar kependidikan, tidak membutuhkan batasan usia serta training
kerja, adanya peluang untuk perempuan miskin, perempuan single, dan perempuan
„penuh warna.‟ Mereka memberi pelayanan berupa penetrasi oral, anal, dan vagina
dengan penis, jari, serta benda lain. Tidak menutup kemungkinan juga memberi
pelayanan dengan botol, dildo, dan binatang.Terkadang pekerja seks disiksa dengan
rokok, sabuk, atau pohon.Selain itu, menjadi objek fotography juga.Tempat kerjanya
adalah apartemen, hotel, panti pijat, mobil, gang sempit, jalanan, tempat eksekutif,
bar, toilet umum, tempat parkir, dan kamp militer.
Banyak anak-anak dan remaja yang terjerumus menjadi pekerja seks komersial
meski mereka menyadari bahwa pekerjaan ini berbahaya. Dalam studi yang dilakukan
El-Bassei dan kawan-kawan (Dalam Ruth, 2004) terhadap 350 wanita di New York,
ditemukan bahwa mereka melakukan hubungan seks demi uang, narkoba, dan
penampilan. Objek studi ini adalah wanita miskin berusia 18 hingga 19 tahun yang
tinggal di daerah bermasalah.

Sementara Albarda (2004) mengungkapkan faktor adanya PSK adalah:


1. Kemiskinan: Penyebab utama adalah kemiskinan struktural, yang miskin
semakin miskin dan yang kaya bertambah kaya. Kebutuhan yang semakin
banyak dan peluang kerja yang semakin sempit membuat wanita rela
menjalani pekerjaan yang haram.
2. Kekerasan seksual: Diantaranya karena perkosaan oleh orangtua dan orang
dekat lainnya.
3. Penipuan: Penipuan dan pemaksaan berkedok agen penyalur tenaga kerja
4. Pornografi : Ketertarikan pada seks secara vulgar
5. Gaya hidup modern: Perempuan yang ingin tampil dengan keindahan tubuh
dan barang mewah namun terpojok kondisi keuangan. Mereka pun mengambil
jalan pintas.

14
6. Broken home: Kehidupan keluarga yang tidak harmonis dapat memaksa
remaja melakukan hal yang kurang baik di luar rumah dan dimanfaatkan orang
tidak bertanggung jawab dengan mengajaknya bekerja sebagai PSK.
7. Kenangan masa kecil yang buruk: Pelecehan yang terjadi saat kecil dapan
memicu seseorang menjadi PSK.

C. METODE
1. Data dan Sumber Data
Penelitian informan dilakukan dengan menggunakan teknik sampling purposif,
dimana peneliti cenderung memilih informan yang memenuhi kriteria tertentu, seperti
pelaku langsung baik sebagai PSK maupun pendamping dalam dunia prostitusi, dan
dianggap mengetahui kondisi pada lokasi penelitian dan dapat dipercaya untuk
menjadi sumber data yang akurat dan mengetahui permasalahan secara mendalam.
Untuk penelitian ini, 5 PSK menjadi sumber data utama dan seorang pendamping dari
LSM Tegar Salatiga.
Penelitian dimulai dengan melakukan pertemuan dengan Manajer Program
LSM Tegar, Alfred Lehurliana. Alfred adalah petugas yang melakukan pendampingan
kesehatan kepada PSK dan pemandu karaoke di Sarirejo. Dari dia, peneliti
memperoleh informasi mengenai jumlah pekerja, jumlah tempat karaoke, termasuk
perempuan-perempuan yang bisa diajak untuk melakukan transaksi seks.
Setelah melakukan wawancara dengan Alfred, peneliti mewancarai beberapa
pemandu karaoke yang melakukan pekerjaan sampingan sebagai PSK. Mereka
bersedia diwawancarai namun meminta saat ditulis menggunakan nama samaran.
Proses wawancara ini berlangsung tiga kali, 7 Februari 2014, 13 Maret 2014, dan 26
Juni 2014. Wawancara dilakukan di lokalisasi Sarirejo.

2. Tahapan Penelitian
Tahap yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini adalah tahap orientasi,
tahap eksplorasi, dan tahap member check. Tahap orientasi, dalam tahap ini yang
dilakukan peneliti adalah melakukan prasurvei ke lokasi yang akan diteliti. Juga akan
dilakukan studi dokumentasi serta kepustakaan untuk melihat dan mencatat data-data
yang diperlukan dalam penelitian.
Tahap eksplorasi merupakan tahapan pengumpulan data di lokasi penelitian,
dengan melakukan wawacara terhadap unsur terkait, dengan menggunakan pedoman
15
wawancara yang telah disediakan. Dalam tahap ini juga akan dilakukan observasi
terhadap kondisi lingkungan penelitian. Sementara tahap member check dilakukan
setelah data yang diperoleh di lapangan, baik melalui observasi, wawancara, maupun
studi dokumentasi.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan
menggunakan tiga pendekatan, yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik
pengumpulan data tersebut diuraikan seperti berikut:
a. Observasi
Dalam melakukan observasi ini, penulis melakukan pengamatan langsung
dilapangan terhadap perilaku para Pekerja Seks Komersial di lokasi Sarirejo
Salatiga yang menjadi amatan dalam penelitian ini.Dalam pengamatan ini
peneliti melihat dan mengamati, kemudian mencatat perilaku PSK remaja
perempuan dalam keterlibatan mereka dalam dunia prostitusi.
b. Wawancara
Untuk mendapatkan informasi peneliti melakukan wawancara terhadap para
pekerja seks komersial yang menjadi responden dalam penelitian ini. Setelah
melakukan wawancara peneliti mendapatkan data primer yang menjadi bahan
kajian dalam penelitian ini.

D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi dan Proses Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Geografis Salatiga yang bagus, menjadikan pemerintah kota mencanangkan
Salatiga sebagai kota wisata. Salah satu wisata yang yang terkenal di Salatiga adalah
kompleks wisata karaoke Sarirejo, yang juga terkenal dengan sebutan Sembir. Wisata
karaoke Sarirejo adalah tempat hiburan untuk berkaraoke, yang berjarak sekitar
empat kilometer dari pusat kota Salatiga. Tempat tersebut semula digunakan untuk
lokalisasi pelacuran, namun sejak 1998 ditutup dengan Keputusan Wali Kotamadya
Nomor :462.3 /328/1998 tanggal 1 Juli 1998, yaitu tentang Penghentian dan
Penghapusan Segala Bentuk Kegiatan Tuna Susila dan Usaha Rehabilitasi serta
Resosialisasi dalam Sistem Lokalisasi di Sarirejo.

16
Hasil Wawancara
Berikut hasil wawancara dengan lima PSK remaja terkait faktor-faktor penyebab
mereka bekerja di prostitusi :
A (17 tahun, nama samaran), salah satu PSK remaja yang masih berstatus pelajar,
“…Teman-teman mainku memiliki android model terbaru, tas yang mahal karena
mereka memiliki orang tua yang kaya, sedangkan saya anak dari orang tua yang
tidak mampu. Dan saya ingin membeli apa yang mereka miliki agar saya dapat
pengakuan dari teman-teman saya. Salah satu cara agar saya dapat memiliki itu
ya terpaksa menjadi wanita panggilan agar bisa mendapatkan uang dan bisa
membeli itu semua, menjadi wanita panggilan juga tidak masalah yang penting
bisa mencukupi apa yang sangat inginkan…”
Sementara B, (18 tahun) PSK asal Indramayu yang kos di Salatiga, mengatakan
“ …aku biar bisa dipandang sukses oleh tetangga-tetangga dikampung, makanya aku
ketika pulang kampung selalu membawa HP yang terbaru dan model rambut yang
baru, biar aku ama keluargaku tidak diremehkan oleh para tetangga di
kampung…”
PSK remaja lain, C yang masih berusia 19 tahun, memliki pekerjaan utama sebagai
kapster di daerah kota Salatiga. “Saya kerja jadi kapster setiap bulan
mendapatkan gaji sekitar 1,1 jt itupun sudah termasuk dengan bonus setiap
bulannya, coba bayangkan kalo dengan gaji segitu bisa cukup apa, apalagi
wanita kan banyak butuhnya. Nyambi jadi begini Pemandu Karaoke (PK) kan
enak, dibayar per jam apalagi kalo dilanjut kamar, sehari bisa bawa pulang
minimal 200 ribu. Kalau sebulan kan lumayan. Memang capek tapi hasilnya
lumayan.”

D (18) sehari-hari bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG) di salah satu mall di
Salatiga, sebagai berikut:“….kerja jadi SPG capek, berdiri terus tetapi dapat
setiap bulannya tdk sebanding dengan kerjaannya, mendingan kerja sampingan
gini, tdk capek tetapi mendapatkan duit lumayan. Seminggu kerja 2 (dua) kali aja
bisa dapat duit 2 kali lebih besar dari gaji SPG…”

Ada juga PSK remaja yang bekerja karena mencari pelarian. Seperti E yang masih
berusia 20 tahun.“Mana ada perempuan yang mau bekerja seperti ini. Tapi
mantan suami saya selingkuh dan tidak peduli lagi. Maka saya ketika dapat
17
tawaran bekerja langsung mau, meski pekerjaan ini dianggap tidak baik, yang
terpenting anak saya dapat makan, dan tabungan untuk sekolah nanti,” jelasnya.
Dia mengakui menikah muda karena setelah lulus SMA, melakukan hubungan
intim dengan pacarnya hingga hamil. Namun setelah satu tahun menikah, mereka
bercerai karena suaminya selingkuh setelah bekerja di luar kota. Dia mengakui,
pada usianya membutuhkan lelaki yang bisa “menemaninya.”

B. PEMBAHASAN
Sarwono (1998) mengungkapkan perkembangan masa remaja merupakan
masa transisi dari tahap anak menjadi remaja. Remaja memiliki karakteristik khusus
yang menjadi masa peralihan bio-psikososial, antara lain perubahan fisik yang sangat
pesat sejalan dengan perubahan sikap dan perilaku, ambivalensi terhadap nilai
pergaulan untuk mengatasi krisis identitas diri dan dominan aspek emosi yang
membuat remaja cenderung tidak realistik. Perubahan ini juga ditunjang
perkembangan teknologi yang begitu pesat.Gaya hidup glamour identik dengan
modernisasi sehingga kalangan remaja menjadi korban. Jika remaja tidak mampu
mengatasi gejolak keinginan ini, apalagi di usia labil, mereka bisa menghalalkan
segala cara, termasuk menjadi PSK.
Dari kegiatan turun lapangan yang dilakukan penulis melalui wawancara
terhadap beberapa PSK remaja di Salatiga, ada beberapa faktor yang menjadi alasan
remaja perempuan menjadi seorang pekerja seks komersial, yakni :

18
No Subjek Interaksi Pengaruh Faktor Peran Peran Peran Pengalama
penelitia dengan persepsi ekonomi dan lingkungan inisiator sosialisasi n buruk
n PSK sosial
1 A ----------- Tidak ada Ingin memiliki Pengawasan Berkenalan ------------ --------------
masalah gadget dan orangtua dengan
dengan harta lain lemah germo
pekerjaan ini
2 B Diajak Tidak ingin Ingin Pengawasan Ada teman Pergaulan Keluarga
teman yang diremehkan mengangkat orangtua yang sudah mempengaruhi memiliki
sudah derajat lemah menjadi untuk menjadi hutang
menjadi keluarga PSK PSK
PSK
3 C ----------- Kerja Mencukupi Beberapa ------------- PSK adalah --------------
sebagai PSK kebutuhan rekan pekerjaan
mudah dan sehari-hari kapster juga sampingan.
cepat nyambi
mendapat menjadi
uang PSK
4 D ----------- Tidak capek Mencukupi Beberapa Berhubung PSK adalah --------------
dan cepat kebutuhan SPG juga an pekerjaan
mendapat sehari-hari nyambi langsung sampingan
uang menjadi dengan
PSK pria hidung
belang
5 E Diajak Tidak peduli Mencari nafkah ------------- Teman ---------------- Suami
teman yang penilaian untuk yang selingkuh
sudah orang menghidupi menjadi dan tidak
menjadi terhadap keluarga PSK memberi
PSK pekerjaan ini nafkah ke
anak

Dari data-data di atas, dapat diketahui bahwa terdapat banyak faktor yang
menyebabkan seorang remaja perempuan menjadi PSK. Faktor tersebut di antaranya :
1) Adanya komunikasi dan interaksi dengan PSK yang sebelumnya sudah menjadi
PSK. Menurut objek penelitian B dan E, mereka masuk ke dunia prostitusi karena
ada rekan yang mengajaknya. Mereka mengaku sebenarnya takut dan ragu ketika
bekerja sebagai PSK, namun setelah menjalaninya merasa senang dan biasa
karena mudah mendapat uang. Para PSK ini juga menganggap bahwa pekerjaan
pelacur tidak menjadi masalah meski ada penilaian miring dari masyarakat. Objek
penelitian A, B, C, D, dan E menyatakan bekerja sebagai PSK karena tidak capek,
cepat mendapat uang, dan nyaman sehingga tidak mempedulikan penilaian orang
lain terhadap pekerjaan ini. Seperti dikatakan E, “Mana ada perempuan yang

19
mau bekerja seperti ini. Tapi mantan suami saya selingkuh dan tidak peduli lagi.
Maka ketika saya dapat tawaran bekerja langsung mau, meski pekerjaan ini
dianggap tidak baik, yang terpenting anak saya dapat makan dan tabungan untuk
sekolah nanti.”
2) PSK remaja juga rela melacur dengan alasan ekonomi dan sosial. Seluruh objek
penelitian, A, B, C, D, dan E mengatakan mereka ingin mendapat uang dan barang
dengan mudah. Seperti A, dia ingin memiliki gadget dan mempercantik
penampilan. A mengatakan, “…Teman-teman mainku memiliki android model
terbaru, tas yang mahal karena mereka memiliki orangtua yang kaya, sedangkan
saya anak dari orangtua yang tidak mampu. Dan saya ingin membeli apa yang
mereka miliki agar saya dapat pengakuan dari teman-teman saya. Salah satu cara
agar saya dapat memiliki itu ya terpaksa menjadi wanita panggilan agar bisa
mendapatkan uang dan bisa membeli itu semua, menjadi wanita panggilan juga
tidak masalah yang penting bisa mencukupi apa yang sangat inginkan…”
3) Faktor lingkungan juga menjadi faktor pendorong remaja perempuan menjadi
PSK. A, B, C, D mengatakan pilihan kerja menjadi PSK karena merasa bebas dan
tidak adanya pengawasan yang ketat dari orangtua. Rendahnya pengawasan
orangtua ini menjadikan mereka merasa bebas meski melakukan pekerjaan yang
menurut masyarakat tidak baik.
Selain itu, faktor penyebab menjadi PSK adalah terpengaruh teman sepekerjaan
yang sebelumnya sudah menjadi PSK.Apalagi, lingkungan pekerjaan sebagai
kapster salon dan pemandu karaoke memudahkan PSK ini menjalin komunikasi
dengan pelanggan. PSK menjadi pekerjaan sampingan karena „tidak siap; dengan
status sebagai PSK meski mereka mengaku tidak mempedulikan penilaian orang
lain.
4) PSK remaja ini masuk ke pekerjaan ini dengan berbagai cara. A mengatakan
berkenalan langsung dengan germo dan diberikan penjelasan mengenai bayaran
yang diperoleh. Sementara B dan E, dipengaruhi temannya yang sebelumnya
sudah menjadi PSK. Dari temannya tersebut, B dan E mendapat gambaran
mengenai pekerjaan PSK dan keuntungan yang bisa diraih dalam waktu yang
cepat. Sementara D, berhubungan langsung dengan pria hidung belang.
Menurutnya cara ini lebih aman karena dia bisa berhubungan langsung dengan
pelanggan dan tidak ada „potongan‟ dari germo.

20
5) B, C, dan D mengaku bekerja sebagai PSK karena terpengaruh teman
sepermainan. Dari pergaulan tersebut, mereka mendapat gambaran sebagai PSK
sehingga menjalani pekerjaan tersebut.
6) Faktor lain yang mempengaruhi remaja menjadi PSK adalah pengalaman masa
lalu yang buruk. B dan E menjadi PSK contohnya. B mengatakan, dia menjalani
pekerjaan ini karena keluarganya terbelit hutang. Menurut B, dia ingin membantu
keluarganya terbebas dari jeratan hutang. Jika bekerja sebagai buruh pabrik
dinilainya tidak bisa membayar hutang karena jumlahnya sangat banyak. Sehingga
dia memilih jalan pintas untuk mendapat uang banyak dengan bekerja sebagai
PSK. Dia merasa pengalaman berhutang dan tidak bisa membayar tersebut sangat
menyakiti perasaannya dan tidak ingin terjadi lagi dalam kehidupannya.
Sementara E, bekerja sebagai PSK karena suaminya selingkuh dan tidak
memberikan nafkah untuk anaknya. Menurutnya kebutuhan kehidupan sangat
banyak apalagi suaminya meninggalkan keluarganya dan memiliki hutang.
Bekerja sebagai PSK, meski di luar kota dan tidak bisa setiap hari bertemu
anaknya, E mengaku bisa menabung untuk biaya sekolah anaknya.

E. KESIMPULAN DAN SARAN


1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor remaja perempuan
menjadi Pekerja Seks Komersial di wisata karaoke dapat disimpulkan bahwa perilaku
tersebut dilakukan karena beberapa sebab, yaitu mereka melakoni pekerjaan tersebut
karena menginginkan kesuksesan dan mendapat uang dengan cara mudah, cepat, dan
enggan bekerja keras. Kurangnya pengawasan orangtua dan penilaian lingkungan
semakin mendorong remaja perempuan menjadi pekerja seks komersial.
2. SARAN
a. Harus ada persamaan persepsi antara PSK, orangtua, pemerintah, tokoh
agama, maupun lingkungan bahwa pekerjaan sebagai perempuan penjaja
tubuh adalah penyimpangan sosial. Sehingga harus dicari penyelesaian
terhadap persoalan ini tanpa menimbulkan persoalan baru, seperti membuka
lapangan pekerjaan.
b. Pemerintah harus memberi perhatian lebih terhadap fenomena remaja yang
menjadi PSK karena bisa berpengaruh terhadap pertambahan jumlah
penduduk dan rentan terhadap penyakit menular yang diakibatkan hubungan
21
seks seperti HIV/AIDS. Selain itu, pemerintah juga harus membuka lapangan
kerja yang produktif agar remaja perempuan tidak terjerumus menjadi PSK.
Para PSK yang memiliki keinginan keluar dari pekerjaannya, harus didukung
dan difasilitasi agar memiliki penghasilan yang layak.
c. Karena menyadari bahwa pekerjaan sebagai PSK tidak bisa dilakukan
selamanya, PSK harus mulai menyiapkan diri untuk masa depannya. Mereka
perlu membekali diri dengan keterampilan.
d. Peneliti yang akan meneliti tema serupa, diharapkan bisa memperkaya kaidah
akademisi dengan menggali persoalan secara lebih mendalam.

F. DAFTAR PUSTAKA

Albarda (2004). Sebab akibat bayaknya pekerja PSK. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Arikunto (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Bearman, S.K., Martinez, E., & Stice, E. (2006) The skinny on body dissatisfaction :
a longitudinal study of adolescent girls and boys. Journal Youth Adolesc.,
35 (2), 217-229.

Engel, J.F., Blackwell, R.D., & Miniard P.W. (1994). Perilaku Konsumen. Jakarta:
Binarupa Aksara.

Gunarsa, S, D. & Gunarsa, Y. S. (2000). Psikologi remaja. Jakarta : BPK Gunung


Mulia.

Hadi, S. (2000). Statistik II. Yogyakarta : Andi Offset

Hull, T. H. (1997). Pelacuran di Indonesia (Sejarah dan Perkembangannya), Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Julianto, (2002). Anak-Anak Yang Dilacurkan: Masa Depan Yang Tercampakan.


Jakarta : Pustaka Pelajar.

Kartono, K. (2003). Patologi Sosial. Edisi 11. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Koentjoro. (2004). On The Spot, Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: CV. Salam

Koentjoro & Sugihastuti (1999). Pelacur, Wanita Tuna Susila, Pekerja Seks Dan
“apalagi” : Stigmatisasi Istilah. Journal Humaniora, UGM Jogyakarta.

22
Mamahit-Endang R Sedyaningsih. (1999). Perempuan-perempuan Kramat Tunggak.
Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif Dalam Pendekatan


Psikologi.Jakarta : LPSP3 UI.

Ruth K. Westheime. (2004). Human Sexuality: A Psychosocial Perspective, 2 edition,


Sanford Lopater English

Santrock, J. W. (2003). Adolesence : Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta :


Erlangga.

Sarwono, Sarlito (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers

Sarwono,S.W.(1998). Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Smart.

Yahman. A (1999). Memahami Dinamika Psikologi Remaja. Jakarta : Erlangga.

INTERNET

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1540456

www.prostitutionresearch.com

23
Lampiran Pedoman Wawancara

Responden yang terhormat, dalam rangka memenuhi tugas akhir di Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana, maka dengan ini saya :

Nama : Indah Retno Ningrum


NIM : 802007076
Judul Skripsi :Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Remaja Perempuan Menjadi
Pekerja Seks Komersial di Wisata Karaoke

Mohon kesediaan saudara untuk menjawab pertanyaan dalam wawancara untuk


penelitian ini.Penelitian ini hanya digunakan untuk tujuan ilmiah dan pengumpulan
data penulisan skripsi. Saya bersedia untuk memenuhi permintaan saudara untuk
menyamarkan nama dengan alasan etika. Atas perhatian dan kerja samanya, saya
ucapkan terima kasih.

Pertanyaan yang disampaikan kepada objek penelitian adalah :


1. Identitas pribadi
2. Berapa lama menjadi PSK
3. Berapa penghasilan yang diperoleh
4. Alasan menjadi PSK
5. Rencana masa depan

Jawaban objek penelitian

1. A adalah seorang pelajar di sebuah SMA swasta di Salatiga. Dia saat ini
berusia 17 tahun. Dia baru sekitar satu tahun menjadi PSK dan mengaku tidak
masalah menjalani pekerjaannya. Alasan utama menjadi PSK adalah ingin
mempunyai banyak uang. A mengaku orangtuanya tidak mengetahui
pergaulannya di luar rumah. Menurut A, dia menjalani transaksi seksualnya
pada jam-jam wajar dan sangat jarang menginap. A mengaku melakoni
pekerjaan ini karena tergiur untuk mendapatkan uang dengan cara mudah dan
peluang tersebut didapatnya saat ada ajakan dari seorang mami atau germo.
Setelah mendapat uang, selain digunakan untuk merawat penampilan juga
digunakan untuk membeli gadget keluaran terbaru. A mengatakan dia tidak
tahu sampai kapan menjalani pekerjaan sebagai PSK. Namun dia berharap
suatu saat nanti bisa berhenti dan memiliki usaha sendiri setelah memiliki
modal.
2. B adalah seorang PSK remaja asal Indramayu yang sudah berada di Salatiga
sekitar dua tahun. Dia berusia 19 tahun. Sebelum di Salatiga, B mengaku
pernah bekerja di rumah makan di Jakarta. Namun karena merasa
penghasilannya pas-pasan, B menerima tawaran dari temannya untuk bekerja
sebagai PSK. Karena berasal dari keluarga miskin dan memiliki hutang, B
memilih bekerja sebagai PSK karena ingin mendapat uang secara cepat dalam
jumlah banyak. Dia memilih bekerja di luar kota karena tidak ingin ketahuan
orang-orang di kampungnya jika bekerja sebagai PSK. Selain itu juga agar
orangtuanya mengetahui yang dilakukan. B menilai Salatiga sangat nyaman
24
karena menjadi tujuan pelanggan dari luar kota. Kebanyakan pengguna
jasanya adalah mahasiswa. B berharap utang orangtuanya cepat lunas dan dia
berniat membeli sawah dan ternak untuk saudara laki-lakinya sebagai modal
bekerja.

3. C (20 tahun) memiliki pekerjaan sebagai kapster di sebuah salon di pusat kota
Salatiga. Dia mengatakan penghasilannya di salon tidak mencukupi kebutuhan
sehar-hari, apalagi dia harus menanggung biaya sekolah adiknya. Menurut C,
beberapa rekan kerjanya ada yang menyambi menjadi pemandu karaoke dan
PSK, sehingga memiliki penghasilan berlebih. Dia tidak setiap hari melayani
pelanggan, karena lebih mengutamakan pekerjaan di salon. C pun berharap
memiliki salon sendiri sehingga secara ekonomi lebih mapan. Menurutnya, di
usia 19 tahun saat ini, masa depannya masih panjang. Sehingga tidak ingin
selamanya melayani pria hidung belang. Pekerjaan sebagai PSK baru
dilakoninya sekitar delapan bulan, setelah bekerja di salon.

4. D bekerja sebagai sales promotion girls (SPG) di sebuah mall di Salatiga. Dia
berasal dari Kabupaten Semarang. D berusia 18 tahun. Dia berusaha menggaet
pria hidung belang dengan kemampuannya berkomunikasi. Saat bersekolah di
SMEA, D memilih jurusan marketing, sehingga memiliki kemampuan merayu
orang lain. Berhubungan langsung dengan pelanggan dinilainya lebih enak dan
nyaman karena penghasilannya tidak dipotong oleh germo. D menilai
penghasilannya sebagai PSK tidak mencukupi, sehingga harus mencari
pekerjaan sampingan yang bisa memenuhi kebutuhannya.

5. E berusia 20 tahun. Selepas lulus SMA, E hamil karena melakukan seks


pranikah dengan pacarnya. Setelah menikah dan punya anak, suaminya
mentelantarkannya karena berselingkuh dan tidak pulang ke rumah mereka.
Dia pun sempat menjadi korban KDRT. Karena rumah tangganya retak dan
membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup anaknya, E pun
menjadi PSK. Awalnya, dia melakukan pekerjaan ini karena diajak temannya.
E menegaskan tidak mempedulikan penilaian orang mengenai pekerjaan ini,
apalagi dia mengaku tidak memiliki keterampilan. E berharap dengan uang
tabungan hasil bekerjanya selama dua tahun, dapat segera mengurus
perceraian dengan suaminya. Dia pun mengaku sudah memikirkan masa depan
anaknya dengan membuka rekening tabungan untuk pendidikannya kelak.
Menurutnya, saat ini dia sedang menjalin hubungan yang serius dengan
seorang lelaki. Setelah dinikahi secara resmi, E mengatakan akan
meninggalkan pekerjaan sebagai PSK.

25

Anda mungkin juga menyukai