Anda di halaman 1dari 107

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama

dapat dimulai dari perubahan individual baik dalam cara berfikir maupun

bersikap. Dalam konteks dakwah, arah perubahan yang dituju adalah

pembentukan khairu ummah. Hal itu diawali dengan pembentukan khairu

bariyyah, yaitu dengan mentransformasikan iman ke dalam amal saleh,

kemudian mengembangkan amal saleh individual ke dalam amal saleh sosial

(Sulthon, 2003: 136).


Perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi modernisasi,

mempunyai dampak pada kehidupan masyarakat. Salah satu dampak nyata

modernisasi adalah peningkatan kebutuhan dan keinginan masyarakat, baik

dalam jenis maupun ke-adrengan-nya (intensitasnya). Warga masyarakat dari

berbagai kalangan tanpa terkecuali terseret arus modernisasi yang membawa

berita baru, tawaran baru, suguhan baru yang tampaknya menarik, dan

menjanjikan kesenangan, kenikmatan, keindahan, kebahagiaan, ataupun

kemewahan (Priyatno, 1999: 7).


Banyak orang terpukau dengan modernisasi, mereka menyangka

bahwa dengan modernisasi itu serta merta akan membawa kepada

kesejahteraan. Mereka lupa bahwa di balik modernisasi yang serba gemerlap

memukau itu ada gejala yang dinamakan the agony of modernization, yaitu

azab sengsara karena modernisasi. Gejala the agony of modernization yang

merupakan ketegangan psikososial itu, dapat disaksikan masyarakat, yaitu

1
2

semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan tindak

kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, judi, penyalahgunaan

obat/narkotika/minuman keras, kenakalan remaja, promiskuitas, prostitusi,

bunuh diri, gangguan jiwa dan lain sebagainya (Hawari, 1999: 3).
Perubahan-perubahan sosial tersebut telah memengaruhi nilai

kehidupan masyarakat, terutama nilai-nilai moral, etika, dan agama.

Kemakmuran materi yang diperoleh ternyata tidak selamanya membawa

kepada kesejahteraan (will being). Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

negara maju telah kehilangan aspek spiritual yang merupakan kebutuhan

dasar bagi setiap manusia (Masjid, 1987: 156).


Akibat kehilangan aspek nilai moral dan spiritual maka semakin

menjamurnya budaya seks bebas pada masyarakat. Kebebasan yang dijunjung

tinggi oleh sebagian orang menyebabkan perubahan tatanan nilai, termasuk

hubungan seksual antar individu pada masyarakat. Kerusakan lingkungan

hidup dan tata nilai kehidupan ini, tiada lain disebabkan oleh pola dan gaya

hidup manusia modern itu sendiri. Dalam agama Islam, dijelaskan pada QS.

Ar Ruum ayat 41:

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan


karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum: 41).
Merujuk kepada firman Allah SWT di atas, apa yang telah terjadi dan

ancaman sebagai kelanjutannya dari sudut agama adalah suatu peringatan,

cobaan, ujian sekaligus musibah agar manusia menyadari atas perilakunya

selama ini. Contoh nyata dari gaya hidup modern salah satunya adalah

budaya seks orang barat yang mulai merasuk di kalangan masyarakat yaitu
3

hubungan bebas (free sex), dan betapa mengejutkan mereka yang

terperangkap ke hubungan ini paling riskan adalah kelompok remaja. Kondisi

seperti ini pun didukung maraknya prostitusi yang berkembang di Indonesia.

Sebenarnya prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di

dunia tidak terkecuali Indonesia.


Prostitusi di Indonesia bermula sejak zaman kerajaan-kerajaan

Jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem

feodal. Fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang

belum terselesaikan (Kartini Kartono, 2005: 266). Sudah tidak di anggap tabu

lagi oleh sebagian besar masyarakat dan bahkan beberapa lembaga

pemerintah di Indonesia menaungi tempat-tempat prostitusi dan menjadikan

ladang uang tambahan bagi wilayah tertentu.


Salah satunya fenomena prostitusi yang dikenal hingga kancah

Internasional yaitu gang Dolly yang terletak disalah satu sisi Kota Surabaya.

Tempat ini menduduki urutan kedua sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia

Tenggara. Eksistensi gang Dolly sebagai tempat prostitusi pun ternyata di

manfaatkan aparat Pemerintah, karena memang telah ada kesepakatan-

kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah dengan pihak gang Dolly

Surabaya. Walaupun sebenarnya kesepakatan-kesepakatan itu tidak bisa

dibenarkan menurut adat maupun hukum di Indonesia. Salah satu alasan

tersebut yang membuat para tokoh agama dan masyarakat kesulitan untuk

menolak adanya tempat prostitusi di lingkungan sekitar mereka. Sehingga

mereka merasa lelah dan putus asa, yang akhirnya mereka semua hanya bisa

diam dalam permasalahan ini. Kalau sudah demikian masyarakat sudah tidak
4

mempedulikan mana yang halal dan mana yang haram (Affina Sayyidah,

Pengaruh Tempat Prostitusi di daerah Dolly Surabaya bagi Masyarakat

Sekitar, http://intraserius.blogspot.com/2010/02/pengaruh-tempat-prostitusi-

di-derah.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2013).


Dampak dari prostitusi itu sendiri bila dilihat dari jangka panjangnya

sangat merugikan bagi pelaku, pengguna jasa prostitusi dan masyarakat

sekitar, salah satu dampak paling berbahaya adalah penularan penyakit

HIV/AIDS. Menurut JH. Syahlan sebagaimana yang telah dikutip oleh Ema

Hidayanti (2012: 1) menjelaskan bahwa, HIV (Human Immunodeficiency

Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan

kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah

putih (limfosit / sel-sel T4) yang bertugas menangkal infeksi. HIV tergolong

kelompok retrovirus yaitu kelompok yang mempunyai kemampuan

mengkopi-cetak materi genitik diri di dalam materi genitik sel-sel yang

ditumpanginya yang dapat mematikan sel-sel T4.


AIDS atau Acquired Deficiency Syndrome merupakan kumpulan

gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus (HIV).

Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Sindrom Cacat Kekebalan

Tubuh Dapatan. Penyakit AIDS disebabkan karena perilaku seksual manusia

yang sudah melampaui batas, manusia tidak lagi menjaga

kehormatan/kemaluannya serta menyalahgunakannya demi memenuhi hawa

nafsu biologisnya.

Marzuqi (2003: 19), dalam “Wawasan Islam Menggapai Kehidupan

Qur’ani”, sebagaimana dikutip Nikmatun Khasanah menerangkan, dalam


5

perkembangannya, penularan atau penyebaran virus HIV/ AIDS di antaranya

melalui hubungan seksual, melalui transfusi darah, melalui jarum suntik

(pecandu narkotika), dan melalui kehamilan pada ibu yang terinfeksi virus

HIV. Namun dari empat cara penularan virus HIV/AIDS tersebut sebagian

besar didominasi oleh hubungan seksual yang dilakukan secara bebas yaitu

melalui pelacuran. Dewasa ini pelacuran sudah semakin merajalela dan

semakin marak, apalagi dengan adanya VCD porno yang banyak

ditayangkan, membuat manusia lupa akan fitrahnya sebagai hamba Allah

yang seharusnya mengabdi kepada Allah, tetapi justru sebaliknya, mereka

tergoda untuk melakukan perbuatan keji yang jelas-jelas dilarang oleh agama

yaitu berzina (Nikmatun Khasanah, 2006: 4).

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, zina adalah “Hubungan seksual

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum

diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan

seksual tersebut” (Djubaedah, 2010: 119). Larangan zina dalam agama Islam

sesuai dengan firman Allah SWT, yang tercantum dalam Q.S. Al Israk ayat 32

yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu


adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk (QS. Al
Israk: 32).

Dalam surat Al Israk ayat 32 yang telah dikemukakan di atas, isinya

adalah sebuah bentuk larangan, yaitu larangan mendekati zina. Menurut para

ahli dan kaidah ushul fiqh, serta ilmu tentang pokok-pokok hukum Islam,
6

larangan semacam ini adalah haram, sehingga bagi seseorang yang

mengerjakannya akan berdosa (Kasijan, 1982: 10).

Meskipun zina dilarang agama dan berdosa, namun di Indonesia

sebagai Negara yang mayoritas adalah muslim ternyata juga ditemukan angka

penderita HIV/AIDS cukup tinggi dan semakin meningkat, hal ini seperti

yang telah dikutip dari, Suara Merdeka.com, kasus HIV dan AIDS di Jateng

menduduki peringkat kedua tertinggi setelah Papua dengan jumlah 663. Data

dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) sampai Juni 2012 itu menunjukkan

kondisi bahwa masih terjadi ketimpangan pola relasi suami istri di dalam

keluarga (Hartatik, Kasus HIV/AIDS, Jateng Peringkat Tertinggi

Kedua,http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/12/13/13

8194/Kasus-HIV-dan-AIDS-Jateng-Peringkat-Tertinggi-Kedua,diakses pada

tanggal 21 Oktober 2013).

Dari data Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P)

Dinkes Kota Semarang, telah ditemukan bahwa hingga Agustus tahun 2013

tercatat sebanyak 324 penderita HIV dan 48 penderita AIDS, jumlah tersebut

terbilang masih tinggi, meski mengalami penurunan di banding tahun 2012.

Data lain menyebutkan temuan kasus kasus HIV/AIDS sebagian besar bukan

dari penduduk asli Semarang, yakni sekitar 50 persennya penduduk dari luar

kota Semarang. Untuk kasus HIV, tertinggi penderita ditemukan pada

kalangan pekerja seks sebesar 41 persen, kemudian disusul oleh pasangan

risiko tinggi (Risti) HIV sebesar 20 persen (Ant, Kasus HIV/AIDS di


7

Semarang Masih Tinggi, http://jateng.tribunnews.com/2013/09/17/kasus-

hivaids-di-semarang-masih-tinggi, diakses pada tanggal 23 Oktober 2013).

Fenomena AIDS banyak ditemui di kalangan Wanita Pekerja Seks

Komersial (WPS) di wilayah Kota Semarang. Temuan itu merupakan kasus

yang harus segera diantisipasi karena bisa diperkirakan akan terus meningkat.

Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan menjadi tantangan bersama

dalam mengatasinya. Hal ini di dukung oleh pendapat Direktur LSM Griya

Asa, yang menyatakan bahwa kasus WPS yang positif terkena HIV/AIDS

terjadi pada WPS kawasan Argorejo, Sunan Kuning Semarang. Jumlah kasus

WPS terinveksi HIV/AIDS dari tahun ke tahun di kota Semarang semakin

meningkat. Tahun 2012 tercatat ada 13 WPS yang positif HIV/AIDS.

Sementara di tahun 2009-2011 terjadi akumulasi jumlah penderita terinveksi

(Nur, PSK Lokalisasi Sunan Kuning Terindikasi Positif HIV/AIDS,

http://www.lensaindonesia.com/2013/04/27/psk-lokalisasi-sunan-kuning-

terindikasi-positif-hivaids.html, diakses pada tanggal 4 juli 2013).

Keprihatinan yang tinggi terhadap angka HIV/AIDS di Semarang

perlu perhatian khusus baik dari pemerintah, lembaga sosial, serta masyarakat

sekitar Kota Semarang dalam upaya penanganan HIV/AIDS. Griya Asa PKBI

Kota Semarang adalah salah satu LSM yang peduli terhadap HIV/AIDS di

kota Semarang. Disini peran Griya Asa PKBI Kota Semarang sangat penting

dalam menangani HIV/AIDS di Kota Semarang khususnya bagi wanita

pekerja seks komersial (WPS) di lingkungan Argorejo.


8

Griya Asa PKBI Kota Semarang mempunyai beberapa program yaitu

Pemeriksaaan IMS (Infeksi Menular Seksual), VCT (Voluntary Counseling

Test atau Konseling dan Program tes HIV), Konseling Keluarga Kespro

(Kesehatan Produksi & KB), dan juga penyuluhan tentang HIV/AIDS.

Sebenarnya program-program tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi WPS

saja, tetapi juga untuk masyarakat sekitar Argorejo. Salah satu program dari

Griya Asa PKBI Kota Semarang adalah penyuluhan HIV/AIDS, penyuluhan

ini tidak hanya di lakukan kepada WPS saja namun juga kepada masyarakat

yang tinggal di lingkungan Argorejo, bahkan penyuluhan juga dilakukan

kepada para tamu dari WPS, karena mengingat banyak faktor penyebab

penularan HIV/AIDS dan harus dicegah terkait sistem penularan penyakit ini.

Griya Asa PKBI Kota Semarang juga menerapkan upaya bagaimana

mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial di

lingkungan resosialisasi Argorejo dan juga bagaimana upaya yang dilakukan

bisa berjalan efektif. Semua yang diterapkan Griya Asa PKBI Kota Semarang

sebagai upaya pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses mengenai

penularan HIV/AIDS di Kota Semarang.

Upaya yang dilakukan juga dimaksudkan membantu masyarakat

terutama populasi berisiko dan anggota keluarga yang berkaitan dengan

HIV/AIDS, serta sebagai bahan motivasi terhadap mereka yang sudah terkena

HIV/AIDS agar tetap semangat dan bertahan menjalani hidup. Berdasarkan

argumen di atas, maka penelitian ini ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana

upaya yang digunakan Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam mencegah
9

penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial di resosialisasi

Argorejo Kalibanteng. Kemudian menganalisisnya dalam perspektif

Bimbingan Konseling Islam dan analisis SWOT.

Peneliti menggunakan analisis SWOT untuk mengetahui sejauh mana

keefektifan upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang. Teknik

analisis ini juga menyediakan kerangka kerja untuk mengidentifikasi secara

sistematis posisi organisasi, caranya berhubungan dengan lingkungan

eksternal dan masalah serta peluang yang dihadapi. Instrument ini

memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk

melaksanakan sebuah strategi (Rangkuti, 2008: 19).

Konseling dalam Islam adalah aktivitas pemberian bimbingan,

pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien),

dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan

potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat

menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar

secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah

Rasulullah SAW (Adz-Dzaky, 2002: 189).

Sebagaimana tujuan konseling secara umum adalah mencapai

kesehatan mental (mental health) dan keefektifan pribadi (personal

effectively). Konseling Islam dapat menjadi sarana tepat untuk

menyembuhkan penyakit kejiwaan yang salah satu sebabnya adalah telah

diabaikannya sisi spiritual dalam diri. Karena berbagai faktor, individu juga

terpaksa menghadapi masalah, dan kerap kali individu tidak mampu


10

memecahkan masalahnya sendiri, maka konseling berusaha membantu

memecahkan masalah yang dihadapinya itu.

Dengan demikian maksud menggunakan upaya dalam perspektif

bimbingan konseling Islam adalah melihat dengan kacamata bimbingan

konseling Islam, bagaimana upaya yang dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota

Semarang dalam mencegah penularan HIV/AIDS, dimana sangat

memungkinkan muncul persamaan, perbedaan atau bahkan adanya nilai Islam

dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana upaya yang diterapkan Griya Asa PKBI Kota Semarang

dalam mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial

di resosialisasi Argorejo Kalibanteng?


2. Bagaimana analisis bimbingan konseling Islam terhadap upaya

Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam mencegah penularan HIV/AIDS

bagi wanita pekerja seks komersial di resosialisasi Argorejo Kalibanteng?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak

dicapai adalah:
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana upaya yang diterapkan

Griya Asa PKBI Kota Semarang.


2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana

bimbingan konseling Islam terhadap upaya Griya Asa PKBI Kota

Semarang dalam upaya mencegah penularan HIV/AIDS, serta apa


11

yang menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam

upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang


1.3.2. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah

keilmuan di bidang bimbingan dan penyuluhan Islam di Fakultas

Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang, serta dapat

memberikan wawasan bagi mahasiswa tentang bahaya dari

HIV/AIDS dan upaya mencegah penularannya.


2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman untuk

penderita AIDS dalam mengambil sikap dan langkah-langkah

pengembangan diri, sehingga mereka dapat menghargai dan

melihat diri sendiri dan merasa berarti bagi lingkungannya dan

nantinya mampu serta kompeten dalam mengaktualisasikan

potensi yang dimilikinya sebagai makhluk beragama,

berbangsa dan bernegara.


b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penentu

kebijakan baik di kalangan pemerintah ataupun Lembaga

Sosial Masyarakat (LSM) khususnya untuk lembaga yang

bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS dalam berbagai

layanan yang komprehensif (bio- psikososio-religius).

1.4. Tinjauan Pustaka

Dari hasil kepustakaan, penelitian tentang Bimbingan Penyuluhan

telah banyak dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian yang ada relevansinya

dengan judul skripsi penulis antara lain:


12

Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Diah Ayu Nurita, (2012).

Peneliti mengangkat judul, “Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Seksi Penyuluh Agama Islam Kantor Kementrian Agama Ungaran dalam

Pembinaan Akhlaqul Karimah untuk Mencegah Semakin Luasnya penyakit

HIV/AIDS pada Masyarakat Bandungan Semarang”. Dalam skripsi ini

bimbingan yang dilakukan oleh Seksi Penais Kementerian Agama Kabupaten

Semarang pelaksanakan Bimbingan dan Penyuluhan Islam di Wilayah

tersebut, dilaksanakan dengan cara menempatkan sepuluh penyuluh honorer

dalam setiap desa yang berada di Bandungan. Selain itu seksi Penais Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Semarang juga bekerjasama dengan Dinas

Kesehatan Kabupaten Semarang, LSM-LSM, dan Instansi terkait yang

konsen dengan penanggulangan penyebaran HIV/AIDS.


Adapun bentuk-bentuk pelaksanan Bimbingan dan Penyuluhan Islam

untuk mencegah semakin luasnya penyait HIV/AIDS di Bandungan, Penais

melakukannya dengan dua bentuk kegiatan yakni, bimbingan yang diberikan

kepada masyarakat yang sudah terjangkit HIV/AIDS dan masyarakat yang

belum terjangkit HIV/AIDS. Dan untuk yang belum terjangkit HIV/AIDS

bentuk kegiatannya adalah dengan memberikan pengetahuan akan bahaya

penyakit HIV/AIDS, penguatan keagamaan dengan adanya Pengajian-

pengajian dan juga TPQ. Adapun tindak pencegahan yang dilakukan untuk

mencegah semakin luasnya penyakit HIV/AIDS, maka pemerintah beserta

masyarakat dan bekerjasama dengan LSM-LSM yang peduli akan penyebaran

HIV/AIDS, dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut: melakukan

seks hanya dengan pasangan tetap dan menggunakan kondom, pemeriksaan


13

IMS rutin & VCT, tidak berbagi jarum suntik, sosialisasi HIV & AIDS,

meningkatkan Iman dan Taqwa.


Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Nikmatun Hasanah, (2006).

Peneliti mengangkat judul “Konsep Penanggulangan AIDS Menurut Dadang

Hawari (Perspektif Bimbingan Konseling Islam)”. Dalam skripsi ini penulis

berusaha untuk menggambarkan tentang apa itu AIDS dan metode

penanggulangan AIDS menurut Dadang Hawari. Dalam skripsi di atas, hasil

yang diperoleh dari penelitian adalah konsep penanggulangan AIDS dengan

melalui pendekatan bio-psiko-sosio-spiritual ternyata dapat dijadikan sebagai

terapi fisik dan psikis.


Pendekatan bio-psiko-sosio-spiritual merupakan pendekatan yang

tidak hanya melihat penderita AIDS dari segi biologis, psikologik, sosiologik

namun yang terpenting adalah dari segi spiritual. Dari penelitian yang ada

untuk menyembuhkan penyakit tidak cukup hanya melalui terapi medis

melainkan dengan pendekatan spiritual. Pendekatan spiritual/agama yang

diterapkan pada pasien (penderita AIDS) sangat baik, karena hanya dengan

melalui pendekatan spiritual (doa dan dzikir) dapat memulihkan dan

menyembuhkan serta menumbuhkan kekuatan dan rasa optimisme dalam

menghadapi penyakit. Sedangkan dalam perspektif bimbingan dan konseling

Islam adalah gangguan-gangguan fisik dan psikis tersebut merupakan langkah

awal dalam menerapkan langkah konseling selanjutnya, sedangkan unsur

yang ada dalam penanggulangan AIDS dalam agama dapat mengarah kepada

preventif, kuratif, preservatif, dan developmental.


Ketiga, Khusnul Khotimah, (2011). Peneliti mengangkat judul

“Determinan Perilaku Pencegahan Ims Dan Hiv/Aids Pada Wanita Pekerja


14

Seks (Wps) Di Lokalisasi Gempol Porong Kabupaten Banyuwangi”. Dalam

skripsi diatas, hasil yang diperoleh dari penelitian adalah Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada umumnya karakteristik responden sebagian besar

berumur 20-35 tahun, mempunyai tingkat pendidikan yang rendah yaitu

tamat SD, lama kerja menjadi WPS lebih dari 1tahun, dan status pernikahan

sebagai janda, serta berasal dari luar daerah Kabupaten Banyuwangi.

Tingkat pengetahuan responden tentang IMS dan HIV/AIDS serta upaya

pencegahannya dengan persentase 62,5% adalah sedang, sikap terhadap

responden IMS dan HIV/AIDS serta upaya pencegahannya dengan

persentase 62,5% adalah positif dan orang penting sebagai referensi dalam

upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS dengan persentase 70% adalah

lengkap.
Sebagian besar responden menyatakan orang penting sebagai referensi

yang biasa memberikan dukungan adalah tenaga kesehatan, mami atau

mucikari, LSM, serta teman-teman sesama WPS. Perilaku pencegahan IMS

dan HIV/AIDS pada WPS di Lokalisasi Gempol Porong dengan persentase

80% adalah baik dalam pemakaian kondom. Disamping itu hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pengetahuan tentang IMS dan

HIV/AIDS terhadap perilaku pencegahan IMS dan HIV/AIDS pada WPS

dengan p value= 0,021, tidak ada pengaruh antara sikap tentang IMS dan

HIV/AIDS terhadap perilaku pencegahan IMS dan HIV/AIDS pada WPS

dengan p value= 0,255, dan tidak ada pengaruh antara faktor orang penting

sebagai referensi dalam upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS terhadap

perilaku pencegahan IMS dan HIV/AIDS pada WPS, dengan p value= 0,251.
15

Keempat, Dadang Hawari dalam bukunya “Konsep Agama (Islam)

Menanggulangi HIV/AIDS”, dalam bukunya menyebutkan bahwa bagi

seseorang yang beragama (Islam) yang menderita suatu penyakit, menurut

pandangan Islam dapat dianggap sebagai musibah, cobaan, peringatan

ataupun ujian. Oleh karenanya dalam menghadapinya membutuhkan

kesabaran dan tidak boleh berputus asa serta melakukkan mawas diri,

berusaha berobat kepada dokter dan senantiasa tidak lupa berdoa dan berzikir.

Karena benar adanya bahwasanya terapi medis saja tanpa disertai doa dan

zikir tidaklah lengkap, sedangkan doa dan zikir saja tanpa disertai terapi

medis tidaklah efektif. Terlebih untuk penyakit AIDS adalah penyakit

terminal yang akan berujung pada kematian, untuk itu selain pendekatan

medis dan psikologis, maka pendekatan keagamaan terhadap penderita AIDS

adalah sangat tepat, karena dikhawatirkan penderita AIDS akan mengalami

krisis spiritual atau gangguan kejiwaan misalnya kecemasan dan depresi.

Sudut pandang agama (Islam) pendekatannya sebagai berikut:


a. Penderita HIV/AIDS akibat perzinaan hendaklah bertaubat

(taubatan nasuha), karena Allah SWT. Dalam bertaubat mereka berjanji

tidak akan mengulanginya lagi, serta meningkatkan keimanan dan

ketakwaan kepada Allah swt, berbuat kebajikan, beramal saleh kepada

sesama. Dan dengan ketakwaaan dan amal saleh tersebut tertebuslah dosa

dan kesalahan masa lalu.


b. Bagi penderita HIV/AIDS yang beragama Islam hendaklah

perbanyak doa dan zikir untuk kesabaran dan pasrah.


Dari telaah pustaka yang penulis deskripsikan di atas ada beberapa

perbedaan mendasar yang perlu digaris bawahi. Penelitian Diah Ayu


16

Nurita, lebih menekankan bagaimana pelaksanaan bimbingan dan

penyuluhan Islam itu sendiri dapat dijadikan alat cegah semakin luasnya

penyakit HIV/AIDS. Sedangkan Nikmatun Khasanah lebih mengarah pada

bagaimana konsep Dadang Hawari dalam mencegah HIV/AIDS.


Penelitian yang ketiga yang dilakukan Khusnul Khotimah merujuk

pada upaya meningkatkan pengetahuan WPS tentang IMS dan HIV/AIDS

serta upaya pencegahannya melalui sosialisasi informasi oleh petugas

kesehatan dengan menggunakan metode dan media yang bervariatif.

Dadang Hawari dalam bukunya lebih menekankan pada penawaran konsep

yang rasional serta didukung oleh temuan ilmiah yaitu pendekatan agama

(Islam) dalam upaya menanggulangi HIV/AIDS.


Penulis mengambil rujukan dari beberapa peneliti terdahulu karena

penulis anggap cukup relevan dengan penelitian yang akan penulis teliti.

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan bahkan

secara subyek, obyek, waktu, dan. Penulis memfokuskan pada upaya yang

dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam mencegah penularan

HIV/AIDS bagi Wanita Pekerja Seks Komersial dan menganalisisnya dari

sudut pandang bimbingan konseling Islam.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Jenis Penelitian dan Pendekatan


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, disebut

penelitian kualitatif diskriptif karena penelitian ini lebih menekankan

analisisnya pada hubungan penyimpulan deduktif dan induktif, serta

pada analisa terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati

dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1998: 5). Menurut Bogdan


17

dan Taylor, mendefinisikan sebagai prosedur peneltian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,

pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik

(utuh) (Moleong, 1989: 3).


Deskriptif sendiri merupakan prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan secara sistematis dan akurat

fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu (Azwar,

1998:7). Jadi, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif,

karena data-data yang disajikan berupa pernyataan-pernyataan yang

berkaitan dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS yang

dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang dan menganalisisnya

dalam perspektif bimbingan konseling Islam.


1.5.2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber data primer adalah data tangan pertama, adalah data

yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan

alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek

sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 1998: 91). Adapun

yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah

dokumen resmi tentang upaya yang dilakukan untuk mencegah

HIV/AIDS, serta pegawai dan penyuluh Griya Asa PKBI

(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Kota Semarang di

resosialisasi Argorejo Kalibanteng.


b. Data Sekunder
18

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan segala data

tertulis yang berhubungan dengan tema yang bersangutan baik itu

dari buku, jurnal, skripsi, tesis, surat kabar, dan penelitian lain.
1.5.3. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,

digunakan pengumpulan data sebagai berikut:


a) Data lapangan (Field Research) meliputi:
a. Interview, suatu metode dengan proses tanya jawab secara

lisan terdiri dari dua orang atau lebih. Wawancara ini dilakukan

untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana

upaya yang dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang

yang telah atau sedang berlangsung, dalam upaya mencegah

penularan HIV/AIDS. Pertanyaan ini ditujukan kepada penyuluh

Griya Asa PKBI Kota Semarang dan informan yang

bersangkutan.
b. Observasi, adalah pengamatan langsung dan pencatatan

dengan sistematik fenomena yang diselidiki (Singarimbun,

1988: 136). Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan

langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan Griya Asa

PKBI Kota Semarang dalam upaya pencegahan penularan

HIV/AIDS. Hal ini dilakukan untuk mengetahui upaya

pencegahan HIV/AIDS Griya Asa PKBI Kota Semarang

kaitannya dalam mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita

pekerja seks komersial di resosialisasi Argorejo Kalibanteng.


1.5.4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah berikutnya adalah analisis data

dengan menggunakan metode analisis diskriptif. Metode ini bertujuan


19

untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik bidang-

bidang tertentu secara faktual dan cermat dengan menggambarkan ke

dalam atau status fenomena (Moloeng, 2001: 231-232).


Penelitian ini menggunakan tekhnik analisis deskriptif naratif

dengan menggunakan metode kualitatif, yang bertujuan untuk

menggambarkan bagaimana keadaan dan status dari fenomena. Artinya

analisis kualitatif ini menitik beratkan pada pemahaman data-data dari

upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam upaya

mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial di

resosialisasi Argorejo Kalibanteng.


Adapun langkah langkah peneliti gunakan dalam menganalisis

data adalah sebagai berikut:


a. Peneliti mendeskripsikan data yang telah diperoleh, baik

data yang diperoleh menyangkut dari hasil upaya yang dilakukan

Griya Asa PKBI Kota Semarang yang telah didokumenterkan

kedalam buku maupun melalui wawancara dengan para tim

penyuluh Griya Asa PKBI Kota Semarang menyangkut kegiatan

bimbingan.
b. Setelah mendeskripsikan, tahap selanjutnya adalah

menganalisis data deskriptif dengan berpijak pada kerangka teoritik

yang memiliki fungsi mencari dan menjelaskan bagaimana bentuk

upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam upaya

mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial

di resosialisasi Argorejo Kalibanteng dan menganalisisnya dalam

bimbingan konseling Islam.


20

1.6. Sistematika Penulisan

Guna memberikan gambaran yang jelas tentang isi skripsi ini, penulis

memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar.

Skripsi ini terdiri dari lima bab, adapun susunannya sebagai berikut:
Bab pertama, penulis akan menguraikan mengenai pendahuluan, latar

belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metodologi penelitian skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.


Bab kedua, berisi tentang landasan teori yang terdiri tiga sub bab. Sub

bab pertama yaitu akan membahas tentang HIV/AIDS, meliputi pengertian

HIV/AIDS, penyebarannya, faktor penyebab AIDS, bahaya AIDS, metode

penanggulangan AIDS. Sub bab kedua yaitu berisi tentang Pekerja Seks

Komersial, meliputi pengertian pekerja seks komersial, motif-motif yang

melatarbelakangi, kategori pekerja seks komersial. Sedangkan bab ketiga

menjelaskan mengenai bimbingan konseling Islam, yang meliputi pengertian

bimbingan dan konseling Islam, tujuan dan fungsi bimbingan dan konseling

Islam serta metode bimbingan konseling Islam.


Bab ketiga, akan dijabarkan data dari upaya yang dilakukan oleh

Griya Asa PKBI Kota Semarang, yang meliputi: profil Griya Asa PKBI Kota

Semarang, dan gambaran tentang program atau upaya yang dilakukan oleh

Griya Asa PKBI Kota Semarang.


Bab keempat, akan meneliti upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang

dalam upaya mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks

komersial di resosialisasi Argorejo Kalibanteng, yang merupakan analisis

yang terdiri atas:


21

1. Analisis tentang upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam

upaya mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial

di resosialisasi Argorejo Kalibanteng.


2. Analisis bimbingan konseling Islam terhadap upaya Griya Asa

PKBI Kota Semarang dalam upaya mencegah penularan HIV/AIDS bagi

wanita pekerja seks komersial di resosialisasi Argorejo Kalibanteng.


Dalam bab kelima, adalah bab terakhir yang berisi tentang

kesimpulan, saran-saran dan penutup.


22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIV/AIDS, WANITA PEKERJA

SEKS, DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

2.1. Tinjauan tentang HIV/AIDS

2.1.1. Pengertian HIV/AIDS


HIV atau Human Immunodeficiency Virus secara fisiologis

adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya.

Dalam buku “Pers Meliput AIDS”, virus HIV adalah retrovirus yang

termasuk dalam family lentivirus, yaitu virus yang dapat berkembang

biak dalam darah manusia. Pada pasien yang sudah terinfeksi HIV dan

mengalami stress yang berkepanjangan, akan mempercepat

menyebarnya AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih

(limfosit / sel-sel T4) yang bertugas menangkal infeksi. Replikasi virus

yang terus menerus mengakibatkan semakin berat kerusakan sistem

kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO)

sehingga akan berakhir dengan kematian (Bruner & Suddarth, 2002).


Secara struktural morfologinya, virus HIV sangat kecil sama

halnya dengan virus-virus lain, bentuk virus HIV terdiri atas sebuah

silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar.

Dan pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA atau ribonucleic acid.

Bedanya virus HIV dengan virus lain, HIV dapat memproduksi selnya

sendiri dalam cairan darah manusia, yaitu pada sel darah putih. Sel-sel
23

darah putih yang biasanya dapat melawan segala virus, lain halnya

dengan virus HIV, virus ini justru dapat memproduksi sel sendiri untuk

merusak sel darah putih (Harahap, 2008: 42).


HIV dapat menyebabkan sistem imun mengalami beberapa

kerusakan dan kehancuran, lambat laun sistem kekebalan tubuh

manusia menjadi lemah atau tidak memiliki kekuatan pada tubuhnya,

maka pada saat inilah berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman dan

bakteri sangat mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV.

Kemampuan HIV untuk tetap tersembunyi adalah yang

menyebabkannya virus ini tetap ada seumur hidup, bahkan dengan

pengobatan yang efektif (Gallant, 2010: 16).


AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrom disebut sebagai

sindrom yang merupakan kumpulan gejala-gejala berbagai penyakit dan

infeksi akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus (HIV).

Bruner (2002), dalam “Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal

Bedah” menjelaskan bahwasanya AIDS adalah tahap akhir dari HIV, di

mana perjalanan HIV menuju AIDS membutuhkan waktu sekitar 10

sampai 13 tahun. Sedangkan Herlianto (1995: 13), dalam bukunya

“AIDS dan Perilaku Seksual”, sebagaimana yang dikutip Nikmatun

Khasanah menjelaskan bahwa, nama AIDS sendiri pertama kali

digunakan oleh Don Amstrong, kepala bagian penyakit infeksi di New

York. Dan beberapa gejala klinis pada stadium AIDS dibagi antara lain:
1. Tanda-tanda utama (gejala mayor)
a. Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan.
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-

menerus.
24

c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.


d. TBC
2. Tanda-tanda tambahan (gejala minor)
a. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan.
b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur

Candida Albicans.
c. Pembekakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh

tubuh.
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal

di seluruh tubuh (Harahap, 2008: 47).


Penderita AIDS biasanya mengalami krisis kejiwaan pada

dirinya, dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, keputusasaan,

dan depresi. Selain itu adanya stigma yaitu reaksi sosial terhadap pasien

HIV/AIDS yang jelek juga menjadi permasalahan bagi penderita.

Stigma ini muncul karena virus ini berkaitan dengan perilaku seksual

yang terlalu di umbar.


2.1.2. Penyebaran HIV/AIDS
Penemuan atau penyebaran HIV/AIDS untuk pertama kalinya

ditemukan di sub-Sahara Afrika pada abad kedua puluh tepatnya tahun

1959. Virus ini kemudian menyebar keluar Afrika, dan mulai memasuki

Amerika Serikat antara pertengahan dan akhir tahun 70-an. Dari

beberapa negara yang telah terinfeksi virus HIV/AIDS, secara umum

diperkirakan bahwa 10% penduduk di Afrika Tengah mengidap HIV +

dalam kurun waktu hanya 5 tahun sejak mulai menyebar (Gallant, 2010:

19).
Penyebaran virus HIV/AIDS di Afrika terjadi melalui perilaku

homoseksual. Penyebaran melalui homoseksual, cukup mengejutkan

karena angka-angka mengenai penyebaran virus HIV/AIDS


25

berkembang dengan pesat (Gallant, 2010: 19). Pada tahun 1980 selain

di kalangan homoseksual virus HIV/AIDS juga ditemukan melalui

hubungan heteroseksual, baik yang disebabkan oleh perilaku biseksual

mapun karena kebiasaan berganti-ganti pasangan.


Angka-angka penyebaran virus HIV/AIDS menunjukkan cukup

tinggi dan cepat dan biseksual ke arah kelompok-kelompok

homoseksual. Dari data ini dapat diketahui bahwa penyakit AIDS lebih

banyak dikaitkan dengan perilaku seksual yang menyimpang yang

dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki nilai-nilai atau norma

dalam kehidupannya (Vrisaba, 2001: 37).


Menurut UNDP di Afrika negara terparah terserang AIDS adalah

Zambia. Di negara tersebut 16,5 persen masyarakat dalam kategori

dewasa terjangkit HIV. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa

anak-anak yang dilahirkan di Zambia pada tahun 1999 bisa berharap

hidup hingga usia rata-rata 47,6 tahun. Diprediksikan, dua belas tahun

kemudian anak-anak yang dilahirkan di negara itu hanya bisa hidup

hingga mencapai umur rata-rata 32,7 tahun.


Pada tahun 1986 penyebaran virus HIV/AIDS di Asia cukup

mengejutkan, sekalipun masih tahap awal namun perkembangannya

cukup pesat. Pada tahun 1986, Direktur Jenderal WHO, Hatta dan

Mahlin mengatakan bahwa “AIDS telah mengetok Asia”. Dari seluruh

Asia, pada bulan Februari 1991 dilaporkan sebanyak 873 kasus

penderita AIDS mencapai 30.000 terserang HIV+. Sedangkan pada

tahun yang sama di Indonesia diketemukan dari 178.737 orang,


26

ditemukan 47 orang terserang HIV, termasuk di dalamnya 21 penderita

AIDS (Harahap, 2000: 18).


Di Indonesia, permasalahan AIDS muncul pada tahun 1987 dari

seorang turis asing berkebangsaan Belanda yang meninggal di Bali

dengan tanda-tanda infeksi AIDS. Berita penyebaran virus HIV/AIDS

yang terjadi di Indonesia menyebutkan bahwa AIDS masuk di

Indonesia pada tahun 1987, sebenarnya AIDS sudah ada di Indonesia

pada tahun 1983 (Muninjaya, 1999: 6). Penelitian juga dilakukan oleh

Dokter Zubairi Djoerban pada tahun 1983 pernah mengadakan

penelitian pada 30 waria penghuni Taman Lawang Jakarta dengan cara

meneliti darah pada masing-masing waria 30 waria, ditemukan diantara

mereka ada yang sudah terinfeksi oleh virus HIV/AIDS (Saa’abah,

2001 : 20).
Berangsur–angsur penyebaran HIV/AIDS sangat cepat di dunia,

sampai akhir 1993 di Indonesia virus HIV/AIDS sudah menjangkau 12

propinsi, namun masih banyak orang Indonesia beranggapan bahwa

angka atau jumlah penderita yang terinfeksi virus HIV/AIDS belum

seberapa dibandingkan jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Tetapi

dengan memperhatikan sifat AIDS yang seperti gunung es, di mana satu

orang mengidap HIV+ berpotensi untuk menyebarkan pada 100 orang

lainnya, maka dapat diperkirakan penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

di Indonesia mencapai 17.500 orang. Sedangkan pada tahun 2000,

penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan yang cukup pesat terdapat

50.000 pengidap HIV dan 5.000 penderita AIDS. (Harahap, 2000: 32).
27

Berdasarkan hasil laporan epidemi HIV/AIDS, didapatkan

dalam tahun 2007 terdapat 27 juta infeksi baru dan 2 juta kematian

akibat HIV/AIDS. Secara estimasi diperkirakan terdapat 33 juta orang

yang hidup dengan HIV/AIDS didunia (Depkes, 2008). Kasus

HIV/AIDS di Indonesia terjadi peningkatan setiap tahun. Berdasarkan

hasil laporan data Statistik Kasus AIDS di Indonesia dalam triwulan

Oktober sampai dengan Desember 2013 dilaporkan tambahan kasus

HIV sebanyak 8.624 dan AIDS sebanyak 2845, jadi jumlah kasus

HIV/AIDS yang dilaporkan dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember

2013 adalah 34.645 (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, Laporan Terakhir

Kemenkes, diakses pada tanggal 23 April 2014).


Data dari bidang Kementerian Kesehatan, menunjukkan bahwa

dari Juli sampai dengan September 2013, tercatat sebanyak 10.203

kasus infeksi HIV, dan sebanyak 1.983 kasus baru AIDS. Dari sekian

jumlah tersebut, kalangan remaja merupakan salah satu kelompok yang

menduduki porsi cukup besar. Bahkan UNICEF menyatakan jumlah

kematian HIV/AIDS di kalangan remaja di seluruh dunia meningkat

hingga 50 persen antara tahun 2005 dan 2012 dan menunjukkan tren

mengkhawatirkan.
UNICEF juga menjelaskan, sekitar 71.000 remaja berusia antara

10 dan 19 tahun meninggal dunia karena virus HIV pada tahun 2005.

Jumlah itu meningkat menjadi 110.000 jiwa pada tahun 2012.

Dari data tersebut tampak ancaman HIV/AIDS bagi remaja sungguh

nyata. Ironisnya, sebagian besar remaja belum mengetahui secara


28

menyeluruh soal penyakit mematikan ini. Bahkan di antara mereka

menganggap, HIV sebagai penyakit yang tak berbahaya. Lebih parah

lagi, banyak sekali pemahaman salah terkait HIV/AIDS. Padahal

dengan pemahaman dan edukasi yang tepat, penularan dapat dicegah

sehingga kematian akibat HIV/AIDS dapat ditekan (kompas.com).


2.1.3. Penyebab Penyebaran HIV/AIDS
Andrian (1991: 5), dalam “AIDS dan Penyakit Kelamin

Lainnya”, sebagaimana dikutip Nikmatun Khasanah menjelaskan, awal

mula ketika HIV/AIDS menyebar di Amerika serikat, adalah dari

kelompok homoseksual di kota San Fransisco, dan orang-orang

beranggapan bahwa penularan utama terjadi karena perilaku

homoseksual, sebab pada umumnya para pelaku homoseksual banyak

yang menggunakan jarum suntik (morfin) dan sering berganti-ganti

pasangan (Nikmatun Khasanah, 2006: 40). Tetapi kini resiko itu

menjadi terbalik, kelompok hetero seksualpun menempati resiko tinggi,

dengan catatan bagi mereka yang suka melakukan promiskuitas (seks

bebas dan pelacuran). Sebagai contoh misalnya di Amerika Serikat di

sebutkan bahwa penularan virus HIV/AIDS ini 50%-75% melalui

hubungan homo seksual dan 26%-30% melalui hubungan hetero

seksual. Namun, informasi terakhir menyatakan bahwa kini 86%

penularan virus HIV/AIDS justru melalui hubungan hetero seksual,

sedangkan hubungan homo seksual sekitar 60%, sisanya melalui

tranfusi darah, penggunaan jarum suntik pada pecandu narkoba

(Hawari, 1999: 91).


29

Penelitian lain menunjukkan bahwa virus HIV bisa tertular

melalui kehamilan/kelahiran. Ini terjadi pada saat bayi berada dalam

kandungan, saat melahirkan atau ketika bayi sudah dilahirkan,

diperkirakan bahwa (30-40%) bayi yang lahir dari ibu penderita HIV

akan terinfeksi pula (perinatal). Perempuan yang terinfeksi HIV dapat

menularkan virusnya pada anak yang disusuinya (Gallant, 2010: 25).

Warta UI, sebagaimana yang dikutip Abdulchari sementara itu suatu

survai yang dilakukan di Indonesia menyebutkan bahwa sebagian besar

(95,7%) penularan dan penyebaran penyakit HIV/AIDS ini melalui

perzinaan khususnya pelacuran dan seks bebas (Warta, UI, 1995). Maka

dari itu berjangkitnya penyakit kelamin, bahkan dapat menyebabkan

mewabahnya penyakit AIDS, salah satu penyebab utamanya ialah

berawal dari hubungan seksual yang menyimpang dan sering ganti-

ganti pasangan.
2.1.4. Bahaya Penyakit HIV/AIDS
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, AIDS adalah penyakit

yang amat mengerikan, HIV/AIDS menimbulkan kepanikan di seluruh

dunia, “mass hysteria”. HIV/AIDS dalam kasus ini juga disebut

penyakit terminal, yaitu penyakit yang sudah tidak ada harapan sembuh

terutama bagi mereka yang selalu dijatuhkan vonis mati. Penderita

AIDS akan mengalami krisis afeksi pada diri, keluarga, dan orang yang

dicintainya maupun pada masyarakat (Hawari, 1999: 94).


Permasalahan yang biasa muncul pada penderita HIV/AIDS

selain masalah fisik juga adanya stigma bahwasanya penderita

HIV/AIDS dianggap tidak bermoral. Kalau sudah demikian risiko


30

bunuh diri para penderita HIV/AIDS pun cukup tinggi. Dan tidak jarang

pula para dokter dan petugas kesehatan dihadapkan kepada dilema,

konflik dalam pengambilan keputusan, risiko dalam permintaan

penderita untuk bantuannya melakukan bunuh diri agar mempercepat

kematian.
Seseorang yang mengalami AIDS pertama kali akan mengalami

gejala-gejala umum seperti influenza, namun perlu diperhatikan juga

gejala-gejala non spesifik dari penyakit AIDS yaitu yang disebut ARC

(AIDS Related Complex) yang berlangsung lebih dari 3 bulan, dengan

ciri-ciri, berat badan turun lebih dari 10%, demam lebih dari 38 derajat

celcius, berkeringat di malam hari tanpa sebab, diare kronis lebih dari 1

bulan, muncul bercak putih pada lidah, pembesaran kelenjar getah

bening, serta ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap HIV.


Dalam perawatannya atau menanganinya penderita HIV/AIDS

memerlukan perlakuan yang sama dengan penderita lainnya, hendaknya

para penderita atau pasien tidaklah diperlakukan secara diskriminatif.

Pasien hendaknya tidak dipandang sebagai individu seorang diri,

melainkan seseorang anggota dari sebuah keluarga, masyarakat, serta

lingkungan sosial.
2.1.5. Upaya Pencegahan dan Penularan HIV/AIDS
Upaya pencegahan suatu penyakit dan virus, termasuk

pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS selama ini sudah banyak

dilakukan oleh organisasi pemerintah maupun non pemerintah. Upaya

yang dilakukan antara lain dalam bentuk seminar, workshop,

penyuluhan, pelatihan, penerbitan buku, bahkan pamlet atau stiker


31

tentang bahaya HIV/AIDS dan cara-cara pencegahannya. Berbagai

upaya pencegahan bertujuan untuk:


b. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru
c. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan

oleh AIDS
d. Menurunkan stigma diskriminasi terhadap ODHA
e. Meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan mengurangi

dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu,

keluarga, dan masyarakat (Nanang Ruhyana, Penanggulangan HIV

dan AIDS, diakses, pada tanggal 7 September).


Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut Pemerintah

melalui Kementrian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Kesehatan (PERMENKES) No.21 Tahun 2013 tentang penanggulangan

HIV/AIDS. Di mana secara rinci tertuang pada bab 1 Ketentuan Umum

Pasal 1, No.1 yang menjelaskan bahwasanya Penanggulangan adalah

segala upaya yang meliputi beberapa pelayanan yaitu:


a. Promotif (fungsi pemahaman): yaitu fungsi bimbingan dan

konseling yang membantu konseli atau klien agar memiliki

pemahaman terhadap dirinya (potensinya), dan lingkungannya

(pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman

ini, klien diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara

optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara

dinamis dan konstruktif.


b. Preventif (fungsi pencegahan): yaitu membantu individu

menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.


c. Kuratif: yaitu membantu individu memecahkan masalah

yang sedang dihadapi atau dialami.


32

d. Rehabilitatif: layanan ini ditujukan untuk menurunkan

angka kesakitan, angka kematian, mengatasi penularan serta

penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta

mengurangi dampak negative yang ditimbulkannya.


Mengacu pada PERMENKES NO. 21 tahun 2013 mengenai

penanggulangan HIV/AIDS di atas, Kementerian Kesehatan

(Kemenkes) saat ini juga tengah berupaya untuk menanggulangi kasus

HIV/AIDS di Indonesia. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, SpA,

M.P.H, mengatakan bahwa, usaha yang dilakukan untuk mencegah

penularan akan dimulai dari pengendalian populasi kunci, yaitu

kelompok yang berisiko atau rentan terkena infeksi, lalu baru

melangkah pada populasi jembatan, yaitu orang-orang yang

berhubungan seksual dengan banyak pasangan, serta mencegah

penularan pada masyarakat umum dan bayi (Ina, Kemenkes Upayakan

Pengendalian HIV, diakses pada tanggal 9 November 2013).


Selain itu untuk upaya mencegah penularan HIV/AIDS,

Kementrian Kesehatan juga menerapkan beberapa strategi di antaranya:


a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam

penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional,

regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan,

fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia;


b. Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;
c. Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan

kapasitas;
33

d. Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS

yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis

bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif;


e. Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok

masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan

dan kepulauan serta bermasalah kesehatan;


f. Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
g. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber

daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV

dan AIDS;
h. Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan

pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta

menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan

bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS;

dan
i. Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang

akuntabel, transparan, berdaya guna dan berhasil guna (Imam,

Strategi dan Program, diakses pada tanggal 7 November 2013).


Dengan demikian upaya pencegahan dan penularan HIV/AIDS

adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah yang dimulai dari

pengendalian populasi kunci, kelompok yang berisiko atau rentan

terkena infeksi, lalu melangkah pada orang-orang yang berhubungan

seksual dengan banyak pasangan, dan mencegah penularan pada

masyarakat umum dan bayi, serta memberdayakan sumber daya

manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan

AIDS.
34

2.2. Pekerja Seks Komersial

2.2.1. Pengertian Wanita Pekerja Seks


Pelacur, lonte, pekerja seks komersial (PSK), wanita tuna susila

(WTS), prostitusi adalah sedikit di antara sederet panjang istilah yang

kerap terdengar ketika seseorang menunjuk pada sesosok perempuan

penjaja seks. Istilah pelacur berkata dasar “lacur” yang berarti malang,

celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Kata lacur juga memiliki arti buruk

laku (Alwi, 2001: 265). Jika kata tersebut diuraikan dapat dipahami

bahwa pelacur adalah orang yang berbuat lacur atau orang yang

menjual diri sebagai pelacur untuk mendapatkan imbalan tertentu.

Pelacur adalah seseorang yang memberikan layanan hubungan seksual

demi imbalan uang (Hasan, 1995: 97).


Dalam literatur lain menjelaskan, pekerja seks komersial (PSK)

sering juga disebut dengan wanita tuna susila (WTS) adalah seseorang

yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenis

secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan dengan tujuan

mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa dengan kriteria usia diatas

15 tahun dan menjajakan diri ditempat umum atau tempat terselubung

(Dinas Sosial, 2009: 2). Sedangkan Ashadi Siregar (1983: 11), dalam

“Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks

Pelacuran Dolly”, sebagaimana yang dikutip oleh Nailul Falah

menjelaskan bahwa, pekerja seks komersial (PSK) adalah orang yang

menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks dengan orang lain

untuk tujuan ekonomi. PSK juga bisa diartikan sebagai wanita yang
35

pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan

pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang

imbalan, serta dilakukan di luar pernikahan (Nailul Falah, 2010: 3).


Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat

ditegaskan bahwa batasan Wanita Pekerja Seks Komersial atau WPS

yang dimaksud pada penelitian ini adalah; seseorang perempuan yang

menyerahkan dirinya “tubuhnya” untuk berhubungan seksual dengan

jenis kelamin lain yang bukan suaminya (tanpa ikatan perkawinan)

dengan mengharapkan imbalan, baik berupa uang ataupun bentuk

materi lainnya.
2.2.2. Sejarah Wanita Pekerja Seks Komersial
Prostitusi atau pelacuran merupakan fenomena yang sudah

ada sejak lama di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pada masa

lalu pelacuran selalu dihubungkan dengan penyembahan dewa-dewa

dan upacara keagamaan yang menjurus pada perbuatan dosa dan

tingkah laku cabul yang tida ada bedanya dengan kegiatan pelacuran.

Pada zaman Mesir kuno, Phunisia, Assiria, Chalddea, Canaan, dan

Persia, penghormatan terhadap dewa-dewa Isis, Moloch, Baal, Astrate,

Mylitta, Bacchus, dan dewa lain-lain, disertai orgie-orgie.


Orgie (orgia) adalah pesta kurban para dewa, khususnya pada

dewa Bacchus, yang terdiri atas upacara kebaktian penuh rahasia,

disertai pesta makan rakus dan mabuk secara berlebihan. Mereka juga

menggunakan obat-obatan pembangkit dan perangsang nafsu birahi

untuk melampiaskan hasrat bersetubuh secara terbuka. Pada umumnya


36

kuil-kuillah yang menjadi pusat perbuatan cabul tersebut (Kartono,

2005: 178).
Prostitusi di Indonesiapun bermula sejak zaman kerajaan jawa

yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem feudal

(Kartono, 2005: 266). Majalah tempo sebagaimana dikutip dari Jajuli,

menjelaskan bukti bahwa pelacuran telah terjadi pada masa majapahit

adalah ditemukannya penuturan kisah-kisah perselingkungan dalam

kitab Mahabarata (Jajuli, 2010: 15).


2.2.3. Penyebab Timbulnya Pelacuran
Koentjoro (2004: 16), dalam “On The Spot Tutur Dari Sarang

Pelacur”, sebagaimana yang dikutip Jajuli, menjelaskan bahwa

Beberapa hal yang termasuk ke dalam faktor sosio-kultural yang

menyebabkan perempuan menjadi PSK:


1) Orang setempat yang sukses menjadi pelacur.
Ketika pelacur kembali ke desanya, mereka memamerkan gaya

hidup mewah dengan maksud memancing kecemburuan orang lain.

2) Sikap permisif dari lingkungannya.


Bahwa ada desa tertentu yang bangga dengan reputasi bisa

mengirimkan banyak pelacur ke kota. Banyak keluarga pelacur yang

mengetahui dan bahkan mendukung kegiatan anak atau istri mereka

karena mereka dapat menerima uang secara teratur. Para pelacur

sangat sering membagikan makanan dan materi yang dimilikinya

kepada para tetangganya. Wajar jika kemudian banyak pelacur

dikenal sebagai orang yang dermawan di desa mereka. Keadaan

tersebut berangsur-angsur menimbulkan sikap toleran terhadap

keberadaan pelacuran.
37

3) Adanya peran instigator (penghasut).


Instigator sering diartikan sebagai pihak-pihak tertentu yang

memberikan pengaruh buruk. Dalam hal ini adalah orang yang

mendorong seseorang menjadi pelacur. Diantaranya adalah orangtua,

suami, pelacur, bekas pelacur atau mucikari (mereka adalah suami

yang menjual istri atau orangtua yang menjual anak-anaknya untuk

mendapatkan barang-barang mewah).


4) Peran sosialisasi.
Beberapa daerah di Jawa, ada kewajiban yang dibebankan di pundak

anak untuk menolong, mendukung, dan mempertahankan hubungan

baik dengan orangtua ketika orangtua mereka lanjut usia.

5) Ketidakefektifan pendidikan dalam meningkatkan status

sosial ekonomi.
Jika anak perempuan dianggap sebagai ladang padi atau barang

dagangan, maka harapan orangtua semacam ini secara sadar atau

tidak, akan mempengaruhi anak perempuan mereka. Karena

pelacuran telah menjadi produk budaya, maka dapat diasumsikan

bahwa sosialisasi pelacuran telah terjadi sejak usia dini. Sebagian

besar orang memandang pendidikan sebagai alat untuk

meningkatkan status sosial ekonomi dan kualitas kehidupan. Negara

dunia ketiga biasanya tidak memiliki sistem jaminan keamanan

sosial. Ketiadaan jaminan keamanan sosial di tengah-tengah

keterbatasan lapangan pekerjaan tentu sebuah masalah besar bagi

rakyat yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tidak

memadai. Oleh karena itu orangtua rela mengeluarkan uang banyak


38

untuk menyekolahkan anaknya. Tetapi karena keterbatasan lapangan

pekerjaan, setelah lulus pendidikan belasan tahun pun banyak anak

yang tidak mendapatkan pekerjaan. Di lain pihak, perempuan muda

yang menjadi pelacur ketika lulus dari SD, dua atau tiga tahun

berikutnya dapat membangun sebuah rumah dan menikmati gaya

hidup mewah. Dalam beberapa kasus, dapat dimengerti bahwa

pilihan melacur pada komunitas tertentu dianggap sebagai pilihan

rasional (Jajuli, 2010: 21).


Jika dilihat dari sisi psikologis, berbagai faktor psikologis yang

merupakan penyebab perempuan menjadi pelacur adalah sebagai

berikut:
1. Kehidupan seksual yang abnormal, misalnya: hiper seksual

dan sadis.
2. Kepribadian yang lemah, misalnya cepat meniru.
3. Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya,

kurang dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, boleh

dan tidak boleh dan hal-hal lainnya.


4. Mudah terpengaruh (suggestible)
5. Memiliki motif kemewahan, yaitu menjadikan kemewahan

sebagai tujuan utamanya.


Masalah ekonomi memang dipandang bukan hal yang baru

sebagai salah satu faktor penyebab seorang perempuan menjadi pelacur.

Hal ini dikarenakan tidak lepas adanya hirarki dalam kehidupan

ekonomi masyarakat Indonesia. Adanya penumpukan kekayaan pada

kalangan atas dan terjadi kemiskinan pada golongan bawah

memudahkan bagi pengusaha rumah pelacuran mencari wanita-wanita

pelacur dari kelas bawah (Alam, 1984: 43).


39

2.2.4. Jenis Wanita Pekerja Seks Komersial dan cirinya


a. Jenis Wanita Pekerja Seks Komersial
Meskipun disadari bahwa sangat sulit untuk membuat

penggarisan yang tegas mengenai penggolongan pelacur, terdapat

beberapa jenis pelacur yang banyak dikenal di masyarakat. Beberapa

jenis PSK yang terdapat dalam masyarakat adalah sebagai berikut:


1) Pekerja Seks Komersial Jalanan (street prostitution)
Pelacur yang termasuk tipe ini sering disebut dengan istilah

streetwalker prostitute. Di banyak ibu kota propinsi di Indonesia,

para PSK tipe ini sering terlihat berdiri menunggu para pelanggan

di pinggir-pinggir jalan tertentu, terutama pada malam hari.


2) Pekerja Seks Komersial Panggilan (call girl prostitution)
Pelacur tipe ini sering disebut call girl. Pelacur panggilan di

Indonesia umumnya melalui perantara. Perantara ini dapat pula

berfungsi sebagai mucikari, germo ataupun “pelindung” PSK

tersebut. Salah satu ciri khas tipe ini adalah tempat untuk

mengadakan hubungan selalu berubah, biasanya di hotel-hotel

ataupun di tempat peristirahatan di pegunungan.


3) Pekerja Seks Komersial Lokalisasi (Brothel Prostitution)
Di Indonesia, tipe pelacuran yang berbentuk lokalisasi

dikenal luas oleh masyarakat. Pelacuran berbentuk lokalisasi

dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, lokalisasi

yang terpencar dan biasanya bercampur dengan perumahan

penduduk. Kedua, lokalisasi yang terpusat di suatu tempat yang

biasanya merupakan suatu kompleks. Di dalam kompleks ini juga

terdapat satu atau dua perumahan penduduk biasa. Ketiga,

lokalisasi yang terdapat di daerah khusus, yang letaknya agak


40

jauh dari perumahan penduduk dan penempatannya ditunjuk

berdasarkan surat keputusan pemerintah daerah. Diantara

lokalisasi yang terkenal di kotakota besar Indonesia adalah: Gang

Dolly di Surabaya, Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di

Bandung, Pasar Kembang (Sarkem) di Yogyakarta dan Sunan

Kuning di Semarang.
4) Pekerja Seks Komersial Terselubung (clandestine

prostitution)
Di Indonesia telah menjadi rahasia umum tempat-tempat

seperti klub malam, panti pijat, pusat kebugaran dan salon

kecantikan digunakan sebagai tempat pelacuran. Di panti pijat

biasanya terdapat suatu ruangan besar dengan lampu penerangan

yang besar pula, di mana duduk didalamnya puluhan gadis

pemijat yang sudah siap menunggu para tamu yang akan

menggunakan jasanya.
5) Pekerja Seks Komersial Amatir
Bentuk pelacuran ini bersifat rahasia, artinya hanya

diketahui oleh orang-orang tertentu saja, dan bayaran PSK tipe ini

bisa terbilang sangat tinggi, kadang-kadang hingga puluhan juta

rupiah. Disebut amatir karena disamping melacurkan diri yang

dilakukannya sebagai selingan, ia pun sebenarnya mempunyai

profesi lainnya yang dikenal oleh masyarakat. Seperti pegawai

atau karyawan suatu instansi atau perusahaan, pemilik kafe, toko

(butik) dan lain sebagainya (Alam, 1984: 53).


b. Ciri Wanita Pekerja Seks
41

Wanita pekerja seks atau PSK mempunyai beberapa ciri-ciri

khas yang melekat pada dirinya, di antaranya:


1. Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria)
2. Cantik, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah

maupun tubuhnya. Bisa merangsang atau membuat gairah seks

kaum pria.
3. Masih muda, 75% dari jumlah pelacur di kota-kota usianya

di bawah 30 tahun. Yang paling banyak usianya ialah 17-25

tahun.
4. Pakaiannya sangat menyolok, beraneka ragam, sering aneh

atau eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria.


5. Menggunakan tekhnik seksual yang mekanistis, cepat, tidak

hadir secara psikis, tanpa emosi.


6. Bersifat sangat mobil, sering berpindah dari satu tempat ke

tempat yang lain, dan biasanya sering menggunakan nama

samaran jika berpindah tempat.


7. Biasanya berasal dari strata ekonomi rendah baik yang

sudah profesional atau amatiran. Modalnya hanya kecantikan dan

kemudaannya.
8. 60-80% memiliki intelek yang normal (Kartono, 2005:

239).
Pada dasarnya yang mereka butuhkan hanya kesempurnaan

secara fisik. Hal ini mutlak dibutuhkan karena merupakan modal

dasar perempuan tersebut untuk terjun dan hidup sebagai WPS.

2.3. Bimbingan dan Konseling Islam

2.3.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam


42

Para ahli dalam mengemukakan pendapat tentang pengertian

bimbingan dan konseling Islam berbeda-beda, ini disebabkan karena

antara satu ahli dengan yang lainnya mempunyai sudut pandang

masing-masing. Istilah bimbingan dan konseling adalah terjemahan dari

bahasa Inggris “guidance” dan “counseling”. Sebelum penulis

menjelaskan pengertian bimbingan dan konseling Islam, terlebih dahulu

penulis akan menjelaskan mengenai pengertian bimbingan dan

konseling secara umum menurut para ahli.

1. Pengertian bimbingan
a. Menurut pendapat Bimo Walgito
“Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan
kepada individu atau sekumpulan individu-individu dalam
menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam
kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu-individu
itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya” (Walgito, 1995: 4).

b. Menurut Priyatno dan Erman Anti


"Bimbingan merupakan suatu proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang,
baik anak-anak, remaja, dan dewasa, agar orang yang dibimbing
dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri,
dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan
dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku"
(Priyanto dan Anti, 1999: 99).

c. Menurut W.S. Winkel


“Bimbingan berarti pemberian bantuan kepada sekelompok orang
dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana dan dalam
mengadakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan hidup”
(W.S. Winkel, 1989).
d. Menurut Hallen
“Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang terus-
menerus dari seorang pembimbing, yang dipersiapkan kepada
individu yang membutuhkannya dalam rangka mengembangkan
seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal dengan
menggunakan berbagai macam media dan teknik bimbingan
43

dalam suasana asuhan yang normatif agar tercapai kemandirian


sehingga individu dapat bermanfaat baik bagi dirinya sendiri
maupun lingkungannya” (Hallen A, 2005).

Dari beberapa pengertian bimbingan di atas dapat disimpulkan

bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan dari seorang yang

ahli kepada seseorang atau sekelompok masyarakat agar mereka

mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dalam upaya

mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam kehidupannya serta

mampu menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab

tanpa harus bergantung kepada orang lain.

Setelah mengetahui pengertian bimbingan secara umum, maka

perlu pula dijelaskan pengertian bimbingan secara Islam yang

dirumuskan oleh Musnamar. Menurutnya, bimbingan Islam adalah

proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras

dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia

dan akhirat (Musnamar, 1992: 5).

Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

ada perbedaan dalam proses pemberian bantuan terhadap individu,

namun dalam bimbingan Islam konsepnya bersumber pada al-Qur’an

dan Sunnah Rasul.

2. Pengertian Konseling
a. Menurut Bimo Walgito
Konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam

memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara, dengan


44

cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi

untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito, 1995: 5).


b. Menurut M. Hamdani Bakran adz-Dzaky
Konseling pada dasarnya adalah suatu aktivitas pemberian

nasehat dengan atau berupa anjuran-anjuran dan saran-saran

dalam bentuk pembicaraan yang komunikatif antara konselor dan

konseli atau klien, yang disebabkan karena ketidaktahuan atau

kurangnya pengetahuan sehingga ia memohon pertolongan

kepada koselor agar dapat memberikan bimbingan, metode-

metode psikologi (adz-Dzaky, 2004: 180).


c. Menurut Rogers
“Counseling is series of direct contacts with the individual which
aims to offer him assistance in changing his attitude and
behavior”. Artinya, konseling adalah serangkaian hubungan
langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantunya
dalam mengubah sikap dan tingkah laku.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa

konseling adalah proses pemberian bantuan yang diberikan seorang

konselor kepada individu (klien) dalam memecahkan masalah

kehidupannya dengan wawancara, atau dengan cara yang sesuai dengan

keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidup.

Setelah mengetahui pengertian konseling dari sudut pandang

umum, maka perlu dikemukakan juga pengertian konseling dari sudut

pandang Islam sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Samsul Munir

Amin yaitu,

“Bimbingan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan


terarah, kontinu dan sistematis kepada setiap individu agar ia
dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang
45

dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan


nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-qur’an dan hadis
Rasulullah SAW ke dalam dirinya, sehingga ia dapat hidup
selaras dan sesuai dengan tuntutan Al-qur’an dan hadis” (Munir
Amin, 2010: 23).

2.3.2. Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam


1. Tujuan Bimbingan Konseling Islam
Sesuai dengan tujuan bimbingan dan konseling Islam dapat

dirumuskan sebagai berikut:


a. Membantu individu/kelompok mencegah timbulnya

masalah dalam kehidupan keagamaan.


b. Membantu individu memecahkan masalah yang berkaitan

dengan kehidupan keagamaaanya.


c. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi

kehidupan keagamaan dirinya yang telah baik agar tetap baik dan

atau menjadi lebih baik (Faqih, 2001: 64).


Musnamar dalam bukunya “Dasar-dasar Konseptual

Bimbingan dan Konseling Islam”, sebagaimana dikutip Bakhtiyar

Zain, menerangkan bahwa Konseling Islam, dalam hal ini berusaha

membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan hanya di dunia

melainkan juga di akhirat. Karena tujuan akhir konseling Islami

adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat) (Musnamar,

1992: 33). Sedangkan menurut Drs. H.M. Arifin, M. Ed.,

sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Munir, menjelaskan bahwa

tujuan bimbingan konseling Islam dimaksudkan untuk membantu si

terbimbing supaya memiliki religious reference (sumber pegangan

keagamaan) dalam memecahkan problem (Munir, 2010: 39).


46

Sementara Adz-Dzaky, mengemukakan bahwa tujuan

bimbingan dan konseling Islam secara lebih rinci sebagai berikut:

a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan,

kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang,

jinak, dan damai (muthmainah), bersikap lapang dada (radiyah),

dan mendapatkan taufik serta hidayah Tuhannya (mardiyah).


b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, dan

kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat pada diri

sendiri, lingkungan keluarga, kerja maupun sosial dan alam

sekitarnya.
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu

sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan,

tolong menolong, dan rasa kasih sayang.


d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu

sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat

taat kepada Tuhannya, ketabahan menerima ujian-Nya (adz-

Dzaky, 2004: 220-221).


Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa tujuan

Konseling Islam adalah menciptakan hubungan antar individu

maupun kelompok yang sesuai dengan kehidupan beragama yakni

hidup selaras, serasi, seimbang dan mencapai kebahagiaan dunia

akhirat.
2. Fungsi Bimbingan Konseling Islam
Bimbingan Konseling Islam juga mempunyai beberapa fungsi

di antaranya yaitu: fungsi preventif, kuratif, preservative, dan


47

developmen. Fungsi dari bimbingan dan konseling Islam dapat

dipaparkan sebagai berikut:


a. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau

mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.


b. Fungsi kuratif atau korektif, yakni membantu individu

memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.


c. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar

situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah)

menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in

state of good).
d. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni

membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan

kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik,

sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya

masalah baginya (Faqih, 2001: 37).

Dalam hal ini selain tujuan dan fungsi Bimbingan Konseling

Islam, terdapat juga beberapa metode yang digunakan untuk

memberikan Bimbingan dan Konseling Islam kepada klien, metode-

metode tersebut antara lain:

1. Metode Langsung

a. Metode Individual, seperti: Percakapan pribadi antara

konselor dan klien, kunjungan ke rumah (Home Visit),

kunjungan dan obsevasi kerja.

b. Metode Kelompok, seperti: diskusi kelompok, karya

wisata, sosiodrama, dan psikodrama.


48

2. Metode Tidak Langsung


a. Metode Individual, seperti: melalui surat-menyurat dan

melalui telepon.
b. Metode Kelompok, seperti: melalui papan bimbingan,

melalui surat kabar atau majalah, melalui brosur, melalui radio

(media audio) dan melalui televisi.


49

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG GRIYA ASA PKBI KOTA

SEMARANG DAN UPAYA GRIYA ASA DALAM MENCEGAH

PENULARAN HIV/AIDS BAGI WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL

3.1. Gambaran Umum Griya Asa PKBI Kota Semarang

3.1.1. Sejarah berdirinya Griya Asa PKBI Kota Semarang

Secara historis Kantor Griya Asa PKBI Kota Semarang berdiri

pada tahun 2002, pada saat itu PKBI Kota Semarang mendapat

kepercayaan dari PKBI Jawa Tengah untuk melaksanakan program

ASA-FHI yang berlokasi di Jalan Argorejo X/17 Kalibanteng Kulon

Semarang Barat, tepat berada di tengah-tengah resosialisasi Argorejo.

Griya Asa PKBI Kota Semarang merupakan suatu program dari

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PKBI Kota Semarang, yang

bergerak di bidang Keluarga Berencana (KB), pencegahan Infeksi

Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Kota Semarang. Griya Asa

PKBI Kota Semarang telah mendampingi wanita yang dikategorikan

kelompok risiko tinggi (Risti) di wilayah Kota Semarang.

Adapun tujuannya adalah membantu pemerintah dalam program

KB, pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS yang setiap tahun

jumlahnya semakin meningkat. Data Penyusun Respon bulan Desember

2006 terdapat 1574 wanita yang dikategorikan kelompok risiko tinggi


50

baik di dalam lokalisasi maupun non lokalisasi. Sehubungan dengan hal

tersebut mulai tahun 2007 Griya ASA PKBI Kota Semarang

memperluas cakupan untuk menjangkau seluruh wanita kelompok

risiko tinggi dan kliennya di Kota Semarang yang terdiri dari wanita

penjaja seksual di lokalisasi (Sunan Kuning dan Gambilangu-

Semarang) panggilan, pramusada Panti Pijat, Bar Karaoke dan 53.000

Klien WPS di tingkat hot sport.

3.1.2. Visi, Misi, dan Tujuan Griya Asa PKBI Kota Semarang

Adapun visi Griya Asa PKBI Kota Semarang adalah

terwujudnya masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan

reproduksi dan seksual serta hak–hak kesehatan reproduksi dan seksual

yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Hal itu juga diwujudkan

dalam misi Griya Asa PKBI Kota Semarang, yakni:

1. Memberdayakan anak dan remaja agar mampu mengambil

keputusan dan berperilaku bertanggung jawab dalam hal serta hak–

hak kesehatan reproduksi dan seksual.


2. Mendorong partisipasi masyarakat, terutama masyarakat

miskin, marginal, dan tidak terlayani untuk memperoleh akses,

informasi, pelayanan, dan hak–hak kesehatan reproduksi dan

seksual yang berkualitas serta berkesetaraan dan berkeadilan gender.


3. Berperan aktif dalam mengurangi prevalensi infeksi

menular seksual dan menanggulangi HIV-AIDS, serta mengurangi

stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan OHIDA.


51

4. Memperjuangkan agar hak–hak reproduksi dan seksual

perempuan diakui dan dihargai terutama berkaitan dengan berbagai

alternatif penanganan kehamilan yang tidak diinginkan.


5. Mendapatkan dukungan dari pengambil kebijakan,

stakeholder, media, dan masyarakat terhadap program kesehatan

reproduksi dan seksual serta hak–hak kesehatan reproduksi dan

seksual.
6. Mempertahankan peran PKBI sebagai LSM pelopor,

profesional, kredibel, berkelanjutan, dan mandiri dalam bidang dan

juga hak–hak kesehatan reproduksi dan seksual dengan dukungan

relawan dan staf yang professional.

3.1.3. Struktur Organisasi Griya Asa PKBI Kota Semarang

Kantor Griya Asa PKBI Kota Semarang membawahi beberapa

seksi, agar tidak terjadi tumpang tindih tugas serta tercipta rasa

tanggung jawab dari seluruh pengurus perlu adanya pembagian kerja

dan koordinasi yang baik dan benar. Maka disusunlah struktur

organisasi. Adapun struktur kepengurusan Griya Asa PKBI Kota

Semarang sebagai berikut:

Struktur Organisasi Griya Asa PKBI Kota Semarang

Pembina : DR. Bambang Dharmawan


Ketua : DR. Dwi Yoga Yulianto
Direktur Pelaksana : Ardik Ferry
Manajer Program : M. Risya Islami
Sekretaris : Anang Wahyudi
Bendahara : Merry
Koord. Lapangan : Ari Istiyadi
Staff Klinik : Taufiq H., Maria Diah, M. Afifun, Lina.
Staff PMTCT : Istiqomah, Nurul ‘Aini
52

Staff Relawan : Ulfa Nur ‘Izza, Mihlatul Latifah, Wiwik,


Rosyid, Amri, Anita, Andi, Asti, Hasan,
Rafael, Rochiem, Untung, Umar.

3.2. Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang

3.2.1. Resosialisasi Argorejo


Resosialisasi Argorejo menjadi latar belakang Griya Asa PKBI

Kota Semarang berdiri. Resosialisasi yang terletak di Kelurahan

Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat sudah ada sejak tahun

1966. Lokalisasi ini menempati areal 4 hektar, resosialisasi Argorejo

lebih akrab disebut SK, SK sendiri sebenarnya adalah singkatan dari Sri

Kuncoro yaitu nama jalan di daerah Argorejo. Namun kebanyakan

masyarakat menyebutnya Sunan Kuning karena di tempat itu memang

ada petilasan Sunan Kuning.


Sunan Kuning adalah seorang tokoh penyebar agama Islam

yang namanya terkenal dengan nama SK atau Sunan Kuning.

Sunan Kuning sendiri nama aslinya adalah Soen Koen Ing yang berasal

dari etnis China. Argorejo itu sendiri berasal dari nama Argo dan

Rejo. Argo berarti gunung, dan rejo berarti ramai. Jadi Argorejo berarti

gunung yang ramai.


Dahulu daerah Argorejo merupakan daerah perbukitan yang

berupa hutan dan jauh dari pemukiman, kemudian tempat ini

menjadi ramai setelah diresmikan menjadi Lokalisasi. Lokalisasi ini

sudah ada sejak 47 tahun lamanya namun setelah Bapak Suwandi

sebagai ketua lokalisasi Argorejo mengadakan Seminar Nasional

perubahan nama dari lokalisasi menjadi resosialisasi baru terlaksana

pada tahun 2003, ini sesuai kesepakatan bahwa apabila lokalisasi hanya
53

bertujuan pada prostitusi dan materi. Resosialisasi menekankan pada

rehabilitasi dan menyiapkan pekerja seksual kembali ke masyarakat.

Berdasarkan data di resosialisasi Argorejo terdapat 6 RT, dan berikut

data perkembangan Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) yang tinggal

di resosialisasi Argorejo.

Tahun Jumlah WPS Jumlah Pengasuh


1966 120 orang 30 orang
1967 210 orang 35 orang
2003 350 orang 50 orang
2005 450 orang 65 orang
2012 600 orang 85 orang
2013 645 orang 90 orang

Jumlah para WPS terus mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun, ini belum termasuk mereka yang kos atau para WPS pendatang

yang tidak tinggal di wisma dan hanya memanfaatkan adanya

resosialisasi untuk mencari uang. Mereka berjumlah 74 orang,

sebenarnya mereka menyalahi adanya resosialisasi.


Rata-rata pengunjung pada setiap harinya sekitar 100 orang.

Menurut penuturan Slamet Suwandi selaku pengurus resosialisasi yang

bertugas di bidang Seksi Sosial, alasan para WPS ini memilih untuk

melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks dikarenakan beberapa faktor.

Diantaranya faktor ekonomi karena merasa orangtua tidak mampu

membiayai kehidupannya, adanya keretakan rumah tangga yang

mungkin disebabkan suami yang cerai dan harus membiayai hidup

sendiri serta akhirnya memilih jalan pintas.


Tidak hanya sekedar mencari uang namun di resosialisasi

Argorejo mempunyai beberapa Program untuk para WPS diantaranya


54

program kesehatan, pengamanan, dan pengentasan. Ini juga salah satu

yang membuat para WPS dari lokalisasi lain pindah ke resosialisasi

Argorejo sehingga jumlahnya terus mengalami peningkatan.


Selain program tersebut, mereka juga memiliki jadwal untuk

para pelanggan. Biasanya mereka mulai menunggu pelanggan pukul

17.00 WIB dengan duduk-duduk di depan wisma dan berdandan

serta berpakaian terbuka bagian leher, bahu, dan berbelahan dada

rendah (u can see) dan celana pendek yang memperlihatkan kaki

dan paha (hot pen). Kegiatan malampun hanya dibatasi sampai pukul

01.00 WIB. Apabila ada tamu yang berkenan bertamu melebihi waktu

yang telah ditentukan serta tamu yang ingin menginap diperbolehkan

asalkan melapor dulu kepada para pengasuh.


Mereka yang datang untuk mengadu nasib di resosialisasi

Argorejo tidak hanya dari sekitar Kota Semarang namun kebanyakan

mereka adalah pendatang dari luar Kota Semarang seperti daerah Solo,

Wonogiri, Kudus, Jepara, Kalimantan, Tegal, Bandung, Kuningan, Jawa

Barat. Usia minimal yang diperbolehkan bekerja sebagai WPS di

resosialisasi adalah 18 tahun dan usia maksimal tidak dibatasi

(Wawancara dengan Bapak Slamet Suwandi pengurus resosialisasi

Argorejo, 5 Juni 2014).


3.2.2. Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam Mencegah

Penularan HIV/AIDS bagi Wanita Pekerja Seks Komersial di

Resosialisasi Argorejo Kalibanteng


Bukan rahasia lagi jika resosialisasi Argorejo adalah tempat

yang rawan terjadinya penularan virus HIV/AIDS. Hal ini bisa dilihat
55

dari wisma-wisma dan tempat karaoke yang berjejer dan berlomba-

lomba menyuguhkan layananan “plus-plus” pada pelangganannya.

Walaupun sudah berganti nama dari lokalisasi menjadi resosialisasi

namun pada kenyataannya lokasi ini tetaplah yang paling rawan.


Perilaku seks berlebihan dan selalu berganti-ganti pasangan,

dapat membawa dampak bukan hanya bagi dirinya sendiri tapi juga

bagi anggota keluarga yang lainnya. Maka dari itu dalam rangka

menekan dan mencegah semakin meluasnya penularan virus HIV/AIDS

di Kota Semarang khususnya bagi Wanita Pekerja Seks Komersial di

resosialisasi Argorejo Kalibanteng, Griya Asa PKBI Kota Semarang

mempunyai beberapa upaya yang telah dilakukan. Upaya tersebut

tertuang dalam sebuah program kerja Griya Asa PKBI Kota Semarang.

Adapun program kerja sebagai berikut:

1. Program Grisa (Griya Asa) yang kegiatannya meliputi:


a. Penjangkauan HRM (High Risk Man) laki-laki risiko tinggi

atau yang lebih dikenal dengan laki-laki pelanggan pekerja seks.

Mereka inilah orang yang satu tahun selalu berhubungan seks.

Layanan ini menjangkau masyarakat, perusahaan, dan komunitas.

Bentuk kegiatannya berupa penyuluhan dan anjuran pemeriksaan

kepada para tamu atau para pelanggan pekerja seks.


b. Penjangkauan LSL (Lelaki suka Lelaki atau Gay).
c. Waria dan Wanita Pekerja Seks (WPS) untuk WPS yang di

lokalisasi Griya Asa menjangkau daerah resosialisasi Argorejo

dan Gambilangu (GBL) Mangkang. Dan untuk yang di luar

lokalisasi, Griya Asa menjangkau daerah (Poncol, Polder Tawang,


56

Tanggul Indah). Penjangkauan ini berisi informasi tentang

HIV/AIDS dan pencegahannya, pemberian kondom secara rutin.

Serta memberikan rujukan kepada pasien yang sudah terinfeksi

HIV/AIDS.
Adapun bentuk kegiatan ini pihak Griya Asa PKBI Kota

Semarang menjalin kerjasama dengan pihak resosialisasi Argorejo

dengan mengadakan Pembinaan yang dilaksanakan 3 kali dalam

seminggu. Yakni pada setiap hari Senin untuk gang I, II, III , Selasa

untuk para WPS yang kos, dalam arti mereka yang bekerja atau

mencari uang di resosialisasi namun tidak tinggal di wisma dan

Kamis untuk gang IV, V, VI. Pembinaan ini berlangsung di gedung

yang berlatar merah yakni di balai pertemuan milik warga Argorejo.

Berikut jadwal kegiatan para WPS:

Hari Pukul Kegiatan Keterangan

(WIB)
Senin 10.00- Pembina Gang I, II, dan

12.00 an III
Selasa 10.00- Pembina Anak Kost di

12.00 an luar

Resosialisasi
Kamis 10.00- Pembina Gang IV, V,

12.00 an dan VI
Jum’at 07.00- Senam Gang I, II, dan

09.00 pagi III


Sabtu 07.00- Senam Gang IV, V,

09.00 pagi dan VI


57

Para WPS ini diwajibkan datang dengan mengenakan pakaian

hem putih dan bawahan hitam boleh rok atau celana namun tidak

diperkenankan memakai rok mini atau rok di atas lutut. Acara

pembinaan dimulai pukul 10.00 WIB dan selesai pada pukul 12.00

WIB. Sebelum dipersilahkan duduk terlebih dahulu mereka harus

mengisi absen dan melakukan screening IMS (Infeksi Menular

Seksual). Setelah itu di wajibkan bagi mereka untuk mengumpulkan

buku hasil screening.


Baru setelah itu para WPS duduk dan mulai mendengarkan

materi yang disampaikan oleh pembicara. Jika di antara mereka

masih ada yang tidak mengumpulkan maka akan dikenai sanksi dari

pihak resosialisasi.
Materi yang disampaikan dalam pembinaan tergantung dari

petugas pengisi materi. Namun setiap kali pembinaan para petugas

tidak henti-hentinya menyampaikan tentang kondomisasi yaitu

mewajibkan para WPS untuk selalu memakai kondom dalam

melakukan hubungan seksual. Pemakaian kondom ini harus terus

berjalan hal ini dimaksudkan karena di wilayah mereka ini adalah

wilayah yang rawan tertular maupun menularkan virus HIV/AIDS.


Dan kebetulan pada bulan Juni tahun 2014 ini adalah bulan

dimana akan menjalankan ibadah puasa bagi umat muslim, begitu

juga dengan umat muslim di sekitar Argorejo. Maka dalam

pembinaan yang berlangsung pada tanggal 3 Juni 2014, juga dibahas

tentang persiapan menyambut bulan puasa.


58

Para WPS diharapkan agar menghargai datangnya bulan suci

Ramadhan dengan cara menjaga segala tingkah laku, tutur bahasa, dan

dihimbau agar tidak terlalu mengumbar kesenangan. Misalnya dengan

tidak makan di depan umum, dan jika mereka hendak melakukan

hubungan seksual mereka tidak boleh mengecewakan pelanggan, serta

tetap bersikap sopan santun. Pembicara dalam pembinaan biasanya

sudah dipersiapkan secara khusus dari tim Griya Asa dan juga beberapa

instansi yang bekerjasama.


Bagi para WPS yang belum paham terhadap materi yang

disampaikan dalam pembinaan, maka akan diberikan kesempatan untuk

bertanya. Menurut Anita selaku konselor di Griya Asa PKBI Kota

Semarang, bagi para WPS yang tetap tidak mau memakai kondom

nantinya akan seperti arisan, tinggal menunggu giliran kapan mereka

akan tertular virus mematikan itu (hasil wawancara Anita pada tanggal

26 Mei 2014).
Dan untuk kegiatan senam bagi para WPS ini dimaksudkan agar

mereka selalu tetap sehat. Untuk gang I, II, III senam diadakan pada

hari Jum’at sedangkan Sabtu diperuntukkan untuk gang IV, V, VI.

Senam di mulai pada pukul 07.00-09.00 WIB.


2. Program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)
Layanan ini dikhususkan untuk para ibu hamil yang positif

terjangkit HIV. Program layanan ini didesain untuk menurunkan risiko

penularan dari ibu HIV positif kepada bayinya.


3. Klinik
Untuk mencegah penularan HIV/AIDS di resosialisasi Argorejo

dan mendeteksi adanya HIV/AIDS secara dini, dengan jalan


59

memberdayakan untuk selalu hidup sehat. Maka Griya Asa PKBI Kota

Semarang juga menghadirkan adanya klinik yang berdiri di tengah

resosialisasi dan menjangkau mereka agar mau dan rutin untuk

memeriksakan diri. Beberapa layanan diantaranya:


a. Menyediakan layanan VCT (Voluntary Counseling Test),

Agus Priyanto (2009: 120), dalam “Komunikasi dan Konseling

Aplikasi dalam Pelayanan Kesehatan”, sebagaimana yang dikutip

Ema Hidayanti menerangkan, VCT adalah suatu pembinaan dua arah

atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan klien

dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV, memberikan

dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA,

keluarga dan lingkungannya (Ema Hidayanti, 2012: 35).


Layanan ini isinya mencakup secara menyeluruh dari awal pra

tes, paska tes, dan berkelanjutan sampai klien benar-benar mampu

beradaptasi dengan penyakit yang di deritanya. Layanan VCT ini

dilaksanakan setiap 3 bulan sekali karena pada kurun waktu inilah

mereka harus tahu apakah di dalam tubuh mereka terinfeksi virus

HIV/AIDS atau tidak. Layanan VCT wajib dilakukan oleh para WPS

di resosialisasi. Selain wajib untuk para WPS, VCT juga sebenarnya

disarankan untuk para pengunjung atau para tamu. Karena di

khawatirkan virus tidak hanya menular ke para WPS namun juga di

bawa dan ditularkan dari para tamu.


Layanan VCT tidak hanya dilakukan di kantor Griya Asa

namun juga dilakukan melalui VCT mobile atau berkeliling di suatu

daerah. Biasanya dilakukan di daerah yang memang rawan dan


60

mudah terjangkit HIV/AIDS misalnya di Gambilangu (GBL)

Mangkang ataupun Terminal Terboyo dan tanpa di pungut biaya.

Layanan VCT dirasa sangat efektif untuk para WPS karena dengan

adanya VCT mereka akan mengetahui sejauh mana mereka harus

selalu waspada dengan virus HIV/AIDS.


b. Screening IMS (Infeksi Menular Seksual) atau sering

disebut infeksi penyakit kelamin. Kegiatan ini dilaksanakan setiap

seminggu sekali. Untuk para wanita biasanya penyakit yang lebih

sering ditemui adalah keputihan. Keputihan yang di maksudkan

disini dengan ciri berbau, gatal, warnanya kuning kehijau-hijauan.

Sedangkan untuk pria penyakit yang sering di derita seperti jengger

ayam, di bagian alat kelamin kalau buang air kecil terasa sakit,

keluar nanah, kutil ataupun herpes. Layanan ini untuk mengetahui

bagaimana keseluruhan kesehatan alat reproduksi. Dan disarankan

bagi yang sudah terinfeksi segera melakukan perawatan dan

pengobatan secara rutin. Ada juga konsultasi kesehatan reproduksi

yang menindaklanjuti kegiatan.


c. Selain layanan di atas Griya Asa PKBI Kota Semarang juga

mengadakan home visit atau kunjungan ke rumah. Pembimbing

mengadakan dialog dengan klien, tetapi dilaksanakan di rumah klien.

Metode ini dilaksanakan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang

dengan cara pembimbing mendatangi dan mengamati keadaan rumah

serta lingkungan sekitar klien. Hal ini dilakukan agar pembimbing


61

dapat mengetahui segala tingkah laku klien, baik dari segi rohani

maupun sosialnya secara langsung.


d. Selain layanan diatas, untuk menambah upaya yang

dilakukan, Griya Asa PKBI Kota Semarang juga mengadakan

layanan Konseling dan KB. Untuk konseling sendiri biasanya selalu

dilakukan saat VCT berlangsung, biasanya para WPS ini melakukan

wawancara dengan konselor terkait dengan masalah HIV/AIDS.

Proses konseling ini biasanya menjembatani atau memfasilitasi

pencegahan perilaku mereka apabila ketika menghadapi hasil tes

HIV, dan ternyata hasilnya positif, mereka bisa menerima keadaan

dirinya.
Menurut Anita, mungkin ada beberapa dari mereka yang

shock dengan keadaan yang menimpanya, namun pendekatan harus

tetap dilakukan. Salah satu pendekatan tersebut adalah dengan selalu

memotivasi agar mereka mau menerima keadaan, bangkit untuk

tetap kuat dan bertahan hidup serta nantinya mereka mau dirujuk ke

Rumah Sakit yang sudah disediakan. Motivasi juga dilakukan

pembimbing atau konselor untuk mengontrol keberadaan klien serta

memberikan motivasi dalam memecahkan masalah yang dihadapi

klien melalui telepon.


e. Griya Asa PKBI Kota Semarang juga menyediakan layanan

konseling pernikahan. Layanan konseling ini ditujukan kepada

pasangan yang ingin melaksanakan pernikahan, sayangnya layanan

ini belum berjalan secara efektif. Karena sebagian masyarakat masih

menganggap layanan ini kurang penting atau tabu untuk diceritakan.


62

Namun dari Griya Asa PKBI Kota Semarang terus menggalangkan

adanya layanan konseling pernikahan. Karena sebenarnya layanan

ini memang penting, tujuannya mengajak para calon pasangan

pengantin agar lebih mengetahui bahwa menikah tidak sekedar

menikah, akan tetapi yang lebih penting apa yang sebenarnya dicari

setelah pernikahan. mengenai bagaimana jalan ke depannya,

bagaimana nantinya mengurus masa depan anak dan sebagainya.


Griya Asa PKBI Kota Semarang juga menjalin kerjasama

dengan instansi-instansi lain yang berkaitan, yaitu:


a. Dengan Dinas sosial, dinas kesehatan dengan mengadakan

penyuluhan tentang HIV/AIDS dan menjadi pembicara dalam

pembinaan.
b. KPA (Komisi Pemberantasan AIDS) kegiatannya antara

lain, menggalangkan HIV/AIDS dengan mensosialisasikan kondom.


c. Bekerja sama dengan puskesmas, baik sebagai tamu

maupun sebagai pembicara dalam seminar atau penyuluhan yang

diselenggarakan oleh puskesmas terkait. Selain itu Griya Asa juga

bekerja sama dengan beberapa Rumah Sakit di Kota Semarang

seperti Kariadi, Tugu, dan Citarum, beberapa rumah sakit tersebut

biasanya untuk tempat rujukan bagi para pasien yang sudah

terinfeksi HIV/AIDS.
d. Griya Asa PKBI Kota Semarang sadar bahwa tidak mudah

bahkan sangat sulit untuk memberantas virus HIV/AIDS ataupun

tempat-tempat prostitusi secara langsung dari akarnya. Untuk itu,

Griya Asa PKBI Kota Semarang juga memanfaatkan kerjasama

dengan Kemenag dengan cara memberikan penyuluhan bimbingan


63

mental spiritual dan mauidhoh hadsanah, untuk bekal para anak asuh

nama lain dari para WPS Argorejo.


Menurut Anita, untuk mensosialisasikan HIV/AIDS Griya Asa

juga bekerjasama dengan Organisasi Islam seperti NU. Hal ini juga di

ungkapkan oleh Risa, karena menurutnya pendekatan agama dalam

kasus HIV/AIDS sangat penting. Kegiatan yang pernah dilakukan salah

satunya mengadakan pesantren saat Ramadhan dengan memanfaatkan

masjid Al Hidayah yang berdiri di resosialisasi tersebut.


Pada hari biasa warga sering menggunakannya untuk

melaksanakan shalat Jum’at dan setiap sore menjelang buka puasa

digunakan untuk pengajian atau penyuluhan agama serta mengajari

anak-anak membaca Al-qu’an. Ini mengingat karena WPS yang

kesehariannya jauh dari kehidupan agamis. Di bulan Ramadhan perlu di

ajak kembali menghayati spritualitas agama. Apalagi kebanyakan WPS

juga beragama Islam (hasil wawancara dengan Risya manager Program

pada tanggal 26 Mei 2014).


Dengan memberikan penyuluhan keagamaan sebagai benteng

keimanan dimaksudkan agar secara tidak langsung para WPS terketuk

hatinya dan bisa menyadari segala perbuatannya. Metode tersebut

dirasa sangat efektif, karena dengan iman dan ketaqwaan yang kuat,

maka akan mencegah seseorang melakukan hal-hal yang dilarang

syariat Islam, seperti narkoba dan seks bebas yang dapat menyebabkan

tertularnya virus HIV/AIDS.


Senada dengan yang dipaparkan oleh Suwandi, bahwa

perjuangan menegakkan ajaran Islam tidak harus dengan menggunakan


64

kekerasan atau sampai terjadi pertumpahan darah. Dengan adanya

resosialisasi ini seharusnya pemerintah dan tokoh agama berterima

kasih. Jika tidak ada tempat penampungan seperti resosialisasi

Argorejo, pasti para WPS akan semakin merambah dan berkeliaran.


Menurutnya dengan menggunakan kelembutan dalam

menghadapi para WPS, akan lebih menyentuh hati mereka untuk sadar

dan kembali ke jalan Allah SWT. Buktinya banyak para WPS yang

pulang ke kampung halamannya setelah lebaran usai (hasil wawancara

dengan Slamet Suwandi Seksi Sosial di resosialisasi Argorejo pada

tanggal 5 Juni 2014).


Selain itu, untuk memberikan penyuluhan tentang bagaimana

bahaya virus HIV/AIDS dan upaya untuk mencegahnya Griya Asa

PKBI Kota Semarang juga memanfaatkan momen-momen kegiatan

yang dilaksanakan masyarakat. Di antaranya dengan cara mengirimkan

surat kerjasama ke perkumpulan PKK, rapat warga, pertemuan kader

baik itu dari kelurahan atau kecamatan misalkan perkumpulan Darma

Wanita dan lain sebagainya.


Dalam melakukan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS,

yang tak kalah pentingnya adalah peran para orang tua asuh. Orang tua

asuh bertugas agar selalu mengingatkan para anak asuhnya (WPS)

untuk selalu memakai kondom saat berhubungan seks. Bahkan para

orang tua asuh dianjurkan mengecek apakah kondom yang selalu

dibagikan kepada masing-masing anak asuhnya telah dipakai atau tidak

dengan cara melihat kondom itu basah oleh air mani atau oleh air biasa
65

(hasil wawancara dengan Slamet Suwandi Seksi Sosial di resosialisasi

Argorejo pada tanggal 5 Juni 2014).


Tim Griya Asa PKBI Kota Semarang juga sering mengadakan

diskusi kelompok antar pendamping dan konselor jika memang

ditemukan kasus baru yang belum bisa terselesaikan. Untuk para

ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), Griya Asa PKBI Kota Semarang

juga membentuk sebuah paguyuban atau komunitas yang diberi nama

KDS Dewi Plus (Kelompok Dampingan Sebaya) Dewi Plus. Dalam

komunitas ini di harapkan mereka yang sudah terinfeksi HIV/AIDS bisa

saling berbagi cerita, berbagi pengalaman tentang HIV/AIDS, berbagi

cara bagaimana mereka bertahan hidup dan lain sebagainya.


Salah satu kegiatan yang juga dilakukan Griya Asa PKBI Kota

Semarang dengan para ODHA adalah dengan memperingati hari AIDS

sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember, dan MRAN (Malam

Renungan AIDS Nasional) yang diperingati setiap tanggal 28 Mei,

biasanya pelaksanaan dalam peringatan MRAN akan ada testimony atau

drama yang mengisahkan tentang persoalan-persoalan yang mengenai

HIV/AIDS.
Menurut keterangan Ari Istiyadi selaku koordinator lapangan,

mengatakan bahwa Griya Asa PKBI Kota Semarang pernah

mengadakan kerjasama dengan beberapa media massa, stasiun radio,

dan juga menerbitkan beberapa majalah serta buletin tentang

HIV/AIDS. Namun untuk majalah atau buletin sendiri sudah hampir

dua tahun ini belum terealisasikan. Ini dikarenakan para tim Griya Asa

PKBI Kota Semarang masih sibuk dengan agenda yang lain (hasil
66

wawancara dengan Ari Istiyadi selaku koordinator lapangan, pada

tanggal 2 Juni 2014).


Dalam sebuah blog milik Griya Asa PKBI Kota Semarang

disebutkan juga kegiatan yang pernah dilaksanakan adalah diskusi

bersama wartawan seperti dari Suara Merdeka, Barometer, ANTV,

Wawasan, Sindo, TV One, Jawa Pos, dan Menaranews.com. Diskusi

tersebut membahas terkait rencana penutupan lokalisasi di Indonesia

oleh Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Aljufri. Terutama

menyangkut lima lokalisasi besar di Indonesia yaitu Argorejo

(Semarang), Dolly (Surabaya), Pasar Kembang (Yogyakarta), Saritem

(Bandung) dan Kramat Tunggak (Jakarta) dengan narasumber berasal

dari ketua resosialisasi Argorejo sekaligus ketua Resosialisasi Nasional,

Suwandi EP dan Kordinator Lapangan Griya Asa, Ari Istiyadi.


Dalam rangka mengajak seluruh elemen masyarakat peduli pada

perkembangan HIV/AIDS di Jawa Tengah. Selain diskusi tersebut

Griya Asa PKBI kota Semarang bekerjasama dengan jaringan kerja

pemberdaya masyarakat (Jakerpermas) mengunjungi kantor redaksi

Suara Merdeka. Jakerpemas adalah sebuah konsorsium yang di inisiasi

oleh tiga lembaga yaitu Griya Asa PKBI kota Semarang, Graha Mitra,

dan LPPSLH Purwokerto. Dalam kesempatan kunjungan ke Suara

Merdeka, Jakerpermas mendiskusikan terkait peningkatan kasus

HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga dan anak kepada redaktur

Suara Merdeka.
Penggunaan pamflet yang ditempel di dinding-dinding kantor

Griya Asa, maupun leaflet yang di berikan pada para pasien saat
67

pemeriksaan, maupun papan bimbingan yang tertempel juga dijadikan

upaya dalam mencegah penularan HIV/AIDS. Menurut Anita, adanya

Griya Asa PKBI Kota Semarang semua itu tidak terlepas dari apa yang

menjadi faktor pendukung dan penghambat.


Faktor pendukung diantaranya adanya relawan yang solid dan

adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait, ataupun instansi

pemerintah. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah

masyarakat yang masih menempatkan persoalan reproduksi menjadi

persoalan yang tabu. Adanya pihak-pihak yang tidak paham dan

mengerti tentang HIV/AIDS, adanya oknum yang takut atau merasa

terancam wismanya, serta susahnya mendekati kaum laki-laki karena

mereka selalu merasa sehat dan benar.


Menurut Sheila (nama samaran WPS), dia merasa senang

dengan adanya penyuluhan yang diadakan oleh Griya Asa PKBI Kota

Semarang karena bisa menambah wawasan tentang adanya virus

HIV/AIDS (hasil wawancara dengan WPS pada tanggal 5 Juni 2014).

Senada dengan penuturan Sheila, Ica juga menuturkan hal yang sama,

menurutnya apa yang telah dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota

Semarang adalah hebat.


“Griya Asa tidak pernah lelah untuk selalu mengingatkan kami
para WPS untuk selalu memakai kondom dan selalu
memeriksakan kondisi kesehatan agar virus HIV/AIDS tidak
mudah menyerang. Namun semua kembali lagi kepada diri
masing-masing” ungkapnya.

Mereka yang rela melakukan apa saja demi bisa meraup rupiah

sebanyak mungkin dari pelanggannya. Tanpa memikirkan akibat yang

akan ditimbulkannya, misalkan demi memenuhi nafsu pelanggannya


68

dan dijanjikan uang yang berkali lipat dari malam biasanya, rela tidak

memakai kondom dalam melakukan hubungan seksual. Toh akibatnya

mereka sendiri yang akan merasakan (hasil wawancara dengan WPS

pada tanggal 5 Juni 2014).


Griya Asa PKBI Kota Semarang memberikan pengaruh yang

cukup signifikan pada resosialisasi Argorejo, dilihat dari jumlah

pengidap HIV/AIDS yang lebih sedikit dibanding tempat prostitusi dan

wilayah yang lain. Berdasarkan data dari Asti selaku relawan Griya Asa

PKBI Kota Semarang yang bertugas sebagai pendamping pasien

HIV/AIDS, dalam dua tahun terakhir di resosialisasi Argorejo

Kalibanteng Semarang, hanya ditemukan 5 orang yang terinfeksi HIV.


Pada awal April tahun 2013, di resosialisasi Argorejo ditemukan

seorang WPS kelahiran Demak, 6 Juni 1992 terkena HIV. Tanggal 11

Mei 2013 ditemukan seorang WPS meninggal karena HIV setelah

dilarikan ke Rumah Sakit Tugu. Dan bulan September seorang Operator

juga meninggal karena HIV.


Selang beberapa bulan pada bulan Februari 2014, ditemukan

seorang suami mantan WPS meninggal dunia karena HIV. Kemudian

tepatnya pada bulan Maret ditemukan kembali seorang operator

kelahiran 1994 divonis tertular HIV. Dari jumlah penderita HIV/AIDS

yang ada Resosialisasi Argorejo Kalibanteng sangat berbanding jauh

dengan yang ada di luar wilayah Resosialisasi Argorejo.


Seperti halnya di Gambilangu, namun bukan wilayah pantauan

Griya Asa PKBI Kota Semarang, pada bulan Maret tahun 2013

ditemukan 3 WPS tertular HIV. Tanggal 18 September seorang WPS


69

kelahiran tahun 1980 terkena HIV, lalu bulan Oktober ditemukan

kembali seorang WPS kelahiran 1994. Selain di Gambilangu pada bulan

Mei 2014 penderita HIV juga ditemukan di beberapa tempat seperti

halnya ditemukan di panti pijat daerah Flamboyan, di Wologito

ditemukan seorang ibu rumah tangga meninggal, dan di daerah

Borobudur ditemukan kembali suami istri meninggal dunia dan seorang

ibu rumah tangga meninggal dunia karena HIV.


Dibanding virus HIV dalam penularannya penderita yang sudah

masuk pada tahap AIDS lebih sedikit bahkan untuk WPS yang ada di

Resosialisasi Argorejo dalam dua tahun ini belum ditemukan adanya

penderita yang masuk pada tahap AIDS. Ini dikarenakan mereka selalu

diwajibkan memakai kondom dan rutin mengikuti kegiatan yang

diadakan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang.


Diharapkan apabila semua elemen diatas bekerjasama untuk

melakukan tindakan pencegahan maka, penularan HIV/AIDS

khususnya bagi wanita pekerja seks komersial dapat berkurang.

Memang dibutuhkan waktu dan proses yang lama. Namun dengan

semangat dan kerja sama yang baik, maka akan terwujud kehidupan

yang bebas dari virus HIV/AIDS.


70

BAB IV UPAYA GRIYA ASA PKBI KOTA SEMARANG DALAM

MENCEGAH PENULARAN HIV/AIDS DI RESOSIALISASI ARGOREJO

KALIBANTENG SEMARANG DITINJAU DARI SEGI BIMBINGAN DAN

KONSELING ISLAM

4.1. Analisis Terhadap Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang

dalam Mencegah Penularan HIV/AIDS di Resosialisasi Argorejo

Kalibanteng Semarang

Dunia pemikiran Islam kini telah ditandai dengan berbagai tantangan

besar yang mengharuskan setiap individu mampu memecahkannya secara

tepat, lebih-lebih problem unik manusia yang semakin meninggalkan

spiritualitasnya. Karena tanpa disadari manusia dengan serta merta

menghadapi perkembangan globalisasi yang menjadi keniscayaan hidupnya,

tanpa dibarengi dengan spiritualitas nilai-nilai Qur’ani. Akibatnya kesadaran

untuk menghadirkan nilai Al Qur’an dalam hidupnya menjadi hilang, dan

individu pun akan terbawa atau terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang

oleh agama (Marzuqi, 2003: 1).

Kenyataan yang terjadi sekarang menunjukkan bahwa masyarakat

dewasa ini yang serba komplek, kegagalan seseorang dalam beradaptasi

menyebabkan munculnya tingkah laku patologis yang menyimpang dari pola-

pola umum dan norma agama. Sehingga pada akhirnya terjadilah deviasi
71

seperti dalam bentuk kebudayaan korupsi, kolusi, kriminalitas, seksualitas dan

sebagainya (Kartono, 1981: 199).

Dewasa ini deviasi yang banyak terjadi di lingkungan masyarakat

adalah deviasi seksualitas. Penyimpangan seksualitas (prostitusi) merupakan

masalah yang sulit untuk diberantas, karena penyimpangan seksual muncul

dari zaman sebelum masehi hingga kini belum bisa teratasi, karena mencakup

banyak segi terutama dari segi agama, moral, ekonomi, pergaulan, medis, dan

sebagainya.

Sebagaimana yang telah di uraikan pada bab II, bahwasanya

HIV/AIDS adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari adanya prostitusi.

Andrianto (1991: 5), dalam “AIDS dan Penyakit Kelamin Lainnya”

sebagaimana yang dikutip Nikmatun Khasanah menerangkan, dalam agama,

penyimpangan seksualitas (prostitusi) merupakan perbuatan keji yang benar-

benar dibenci Allah. Namun mereka tidak menyadarinya, sebab mereka

menganggap bahwa hubungan seks merupakan salah satu kebutuhan pokok

manusia selain makan, minum, dan tempat tinggal. Dengan memberikan

kenikmatan sesaat dengan tujuan agar manusia tidak punah dari muka bumi,

tetapi manusia menyalahgunakan hanya untuk mencari kenikmatan semata,

salah satunya adalah dengan cara berganti-ganti pasangan.

HIV atau Human Immunodeficiency Virus secara fisiologis adalah

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. HIV menyerang

salah satu jenis sel darah putih (limfosit / sel-sel T4) yang bertugas menangkal

infeksi. HIV dapat menyebabkan sistem imun mengalami beberapa kerusakan


72

dan kehancuran, lambat laun sistem kekebalan tubuh manusia menjadi lemah

atau tidak memiliki kekuatan pada tubuhnya, maka pada saat inilah berbagai

penyakit yang dibawa virus, kuman dan bakteri sangat mudah menyerang

seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Gallant, 2010: 16).

AIDS dari segi medis merupakan (Acquired Immune Deficiency

syndrom), yaitu sekumpulan gejala-gejala penyakit yang didapat dan

dikarenakan menurunnya sistem kekebalan tubuh (imunitas) seseorang.

Penyakit AIDS ini disebabkan karena virus HIV (Human Immune Deficiency

Virus). Seseorang yang terinfeksi virus ini untuk jangka waktu tertentu masih

dalam keadaan sehat, namun kemudian barulah penyakit AIDS muncul dan

pada gilirannya berakhir dengan kematian (Hawari, 2002: 2).

Berkaitan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS, pemerintah melalui

Kementrian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Kesehatan

(PERMENKES) No.21 Tahun 2013 tentang penanggulangan HIV/AIDS.

Dimana telah dijelaskan pada BAB 1 Pasal 1, No.1, yang menerangkan

bahwasanya penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan

promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan

untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan

serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta

mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Maka untuk mencegah

penularan HIV/AIDS khususnya bagi wanita pekerja seks komersial di

resosialisasi Argorejo, Griya Asa PKBI Kota Semarang mempunyai beberapa

upaya yang telah diterapkan.


73

Bentuk kegiatan tersebut di antaranya, mengadakan penyuluhan

tentang HIV/AIDS yang sasarannya adalah semua elemen masyarakat dan

khususnya untuk para WPS. Pembinaan dan pembagian kondom secara rutin

untuk para WPS yang dilakukan setiap hari Senin, Selasa, dan Kamis di balai

pertemuan warga. Senam rutin setiap hari Jum’at-Sabtu. Pengadakan klinik,

home visit, mauidzoh hasanah, pembentukan forum diskusi atau paguyuban

untuk para ODHA, serta layanan konseling.

Kegiatan tersebut dilakukan baik secara individual maupun kelompok

oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang. Semua bentuk kegiatan dan layanan

pada dasarnya memiliki tujuan yakni membantu pemerintah dalam program

KB, pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS yang pada setiap tahunnya

terus meningkat. Tujuan dasar di atas, memang menjadi perhatian khusus bagi

Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam menerapkan upaya pencegahan

penularan HIV/AIDS bagi wanita pekerja seks komersial. Sebagaimana telah

diketahui bahwa masalah HIV/AIDS bagi para WPS sudah tidak dianggap

tabu lagi dan semakin banyak pula kasus HIV/AIDS yang di muat di berbagai

media.

Dari hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan di Griya

Asa PKBI Kota Semarang, banyaknya para WPS yang terperosok kelembah

prostitusi dikarenakan beberapa faktor diantaranya faktor ekonomi, adanya

keretakan rumah tangga yang mengakibatkan perceraian, sehingga ketika

wanita harus membiayai hidupnya sendiri akhirnya jalan pintaslah yang

dipilihnya. Namun akar penyebab utamanya adalah lemahnya nilai-nilai


74

agama dalam diri. Karena nilai agama inilah pangkal utama kehidupan

manusia dimulai. Ketika agama sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya

maka manusia akan melakukan berbagai hal sekehendak hatinya tanpa

memikirkan mana yang baik dan yang buruk.

Selain itu penulis juga menjelaskan bahwasanya penyebab penularan

virus HIV/AIDS dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya melalui

hubungan heteroseksual, baik yang disebabkan oleh perilaku biseksual

maupun karena kebiasaan berganti-ganti pasangan. Penggunaan jarum suntik

pada pecandu narkoba, tranfusi darah, dan juga pada ibu penderita HIV/AIDS

dapat menularkan virusnya pada anak yang masih dalam kandungan ataupun

yang disusuinya.

Griya Asa PKBI Kota Semarang juga menerapkan metode, metode ini

di bagi menjadi dua, yakni metode langsung dan tidak langsung yang masing-

masing di dalamnya terdapat metode individual dan kelompok. Dimana

nantinya metode tersebut akan diterapkan oleh para tim Griya Asa PKBI Kota

Semarang dalam upaya pencegahan HIV/AIDS.

Adanya Griya Asa PKBI Kota Semarang semua itu tidak terlepas dari

apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat. Adapun yang menjadi

faktor pendukung diantaranya relawan yang solid dan adanya bentuk

kerjasama dengan pihak terkait ataupun instansi pemerintah. Sedangkan untuk

faktor penghambat dapat dilihat dari sebagian masyarakat yang masih

menempatkan persoalan reproduksi sebagai hal yang tabu, munculnya pihak-

pihak yang tidak paham dan adanya oknum yang merasa terancam akan
75

keberadaan wismanya. Serta masih susahnya mendekati kaum laki-laki atau

para tamu karena mereka merasa sehat. Griya Asa PKBI Kota Semarang juga

menjalin kerjasama dengan instansi-instansi lain yang berkaitan, diantaranya:

e. Dengan Dinas sosial, dinas kesehatan dengan mengadakan

penyuluhan tentang HIV/AIDS dan menjadi pembicara dalam pembinaan.


f. KPA (Komisi Pemberantasan AIDS) kegiatannya antara lain,

menggalangkan HIV/AIDS dengan mensosialisasikan kondom.


g. Bekerja sama dengan puskesmas dan Rumah Sakit di Kota

Semarang.
h. Mengadakan kerjasama dengan organisasi Islam seperti halnya

NU, dan juga Kemenag.


i. Serta tak ketinggalan untuk mensosialisasikan HIV/AIDS

pemanfaatkan momen-momen kegiatan yang ada di masyarakat seperti

perkumpulan PKK, rapat warga, pertemuan kader dan darma wanita sangat

membantu. Dan tak kalah pentingnya adalah adanya kerjasama dengan

para orang tua asuh.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa upaya yang dilakukan

Griya Asa PKBI Kota Semarang dapat berjalan dengan baik. Hal ini di

buktikan dengan banyaknya antusias dari semua elemen masyarakat yang

mendukung adanya kegiatan terutama para wanita pekerja seks komersial

dalam mengikuti semua kegiatan yang telah diselenggarakan. Upaya yang

dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang juga memberikan pengaruh yang

cukup signifikan pada resosialisasi Argorejo, dilihat dari jumlah pengidap

HIV/AIDS yang lebih sedikit dibanding tempat prostitusi dan wilayah yang

lain. Berdasarkan data dari Asti selaku relawan Griya Asa PKBI Kota
76

Semarang yang bertugas sebagai pendamping pasien HIV/AIDS, dalam dua

tahun terakhir di resosialisasi Argorejo Kalibanteng Semarang, hanya

ditemukan 5 orang yang terinfeksi HIV. Suksesnya upaya yang dikerjakan

tidak terlepas dari semua elemen yang telah bekerjasama untuk melakukan

tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS khususnya bagi wanita pekerja

seks komersial.

4.2. Analisis Terhadap Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang

dalam Mencegah Penularan HIV/AIDS di Resosialisasi Argorejo

Kalibanteng Semarang ditinjau dari Segi Bimbingan dan Konseling Islam

Manusia dilahirkan didunia dengan dibekali akal, pikiran, dan perasaan.

Dengan bekal itulah manusia disebut sebagai makluk yang paling sempurna

dan diamanati oleh sang pencipta sebagai pemimpin di bumi ini. Akan tetapi

seiring dengan kemajuan berpikir dan kesadaran manusia akan diri dan

dunianya, telah mendorong terjadinya globalisasi. Situasi global membuat

kehidupan semakin kompetitif sehingga membuka peluang bagi manusia

untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Bersamaan

dengan itu bekal akal, pikiran dan perasaan manusia diselimuti oleh berbagai

macam masalah, bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia merupakan

makhluk dengan segudang masalah (human with multiproblem).

Berbagai masalah yang dialami manusia tersebut, ada yang bisa mereka

atasi dengan sendirinya namun ada juga mereka yang memerlukan bantuan

orang lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu

bimbingan dan konseling Islam sangat dibutuhkan dalam membantu klien


77

atau seseorang untuk memahami dan menyadari eksistensinya sebagai

makhluk Allah yang sempurna. Dengan demikian manusia dalam hidupnya

akan berperilaku yang tidak keluar dari ketentuan dan petunjuk Allah, serupa

itu maka akan tercapailah kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

Kebahagiaan dunia dan akhirat akan terwujud apabila manusia

membentuk pribadinya menjadi seorang muslim yang baik. Dengan

berlandaskan Al-Quran dam As-Sunnah, Islam mengarahkan dan

membimbing manusia ke jalan yang diridhoi-Nya dengan membentuk

kepribadian yang berakhlak karimah. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:

sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Nabi

diutus oleh Allah untuk membimbing dan mengarahkan manusia kearah

kebaikan yang hakiki dan juga sebagai figure yang sangat mumpuni dalam

memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan jiwa manusia

agar manusia terhindar dari segala sifat-sifat yang negatif.

Oleh karena itu, manusia diharapkan dapat saling memberikan

bimbingan sesuai dengan kapasitasnya, sekaligus memberikan konseling agar

tetap sabar dan tawakal dalam menghadapi perjalanan kehidupan yang

sebenarnya. Bimbingan yang dimaksud dalam konteks dakwah adalah

bimbingan yang menggunakan pendekatan Islami. Dengan pendekatan Islami,

maka pelaksanaan konseling akan mengarahkan klien kearah kebenaran dan

juga dapat membimbing dan mengarahkan hati, akal dan nafsu manusia untuk

menuju kepribadian yang berkhlak karimah yang telah terkristalisasi oleh

nilai-nilai ajaran Islam.


78

Oleh sebab itu, pada dasarnya bimbingan konseling Islam merupakan

suatu upaya untuk membantu individu dalam mewujudkan dirinya sebagai

manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat

(Faqih, 2001: 35). Sesuai tujuan bimbingan dan konseling Islam dapat

dirumuskan sebagai berikut:

d. Membantu individu/kelompok mencegah timbulnya masalah dalam

kehidupan keagamaan.
e. Membantu individu memecahkan masalah yang berkaitan dengan

kehidupan keagamaaanya.
f. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi kehidupan

keagamaan dirinya yang telah baik agar tetap baik dan atau menjadi lebih

baik (Faqih, 2001: 64).

Dari beberapa tujuan bimbingan dan konseling dilihat dari aspek

pencegahan HIV/AIDS (penderita) merupakan suatu hal yang sangat penting

dan perlu dalam membantu penderita keluar dari permasalahan yang

dihadapi. Dalam hal ini khususnya bagi para WPS pemberian bantuan

layanan konseling hendaknya dilakukan oleh orang yang berkompeten

dalam melaksanakan komunikasi, baik itu komunikasi verbal maupun non

verbal.

Bimbingan dan konseling Islam yang diterapkan, memiliki beberapa

metode, metode-metode tersebut antara lain:

5. Metode Langsung,
79

c. Metode Individual, seperti: Percakapan pribadi antara konselor dan

klien, kunjungan ke rumah (Home Visit), kunjungan dan obsevasi

kerja.

d. Metode Kelompok, seperti: diskusi kelompok, karya wisata,

sosiodrama, dan psikodrama.

6. Metode Tidak Langsung

c. Metode Individual, seperti: melalui surat-menyurat dan melalui

telepon.

d. Metode Kelompok, seperti: melalui papan bimbingan, melalui

surat kabar atau majalah, melalui brosur, melalui radio (media audio)

dan melalui televisi.

Berdasakan metode bimbingan konseling Islam di atas, maka jika dikaji

lebih dalam pada dasarnya upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota

Semarang mendekati implementasi metode bimbingan konseling Islam.

Dimana secara lebih jelas metode bimbingan yang dilakukan oleh Griya Asa

PKBI Kota Semarang dapat di jelaskan sebagai berikut:

1. Metode Langsung

Metode langsung (metode komunikasi langsung) adalah metode

dimana pembimbing melakukan komunikasi langsung (bertatap muka)

dengan orang yang dibimbingnya. Metode tersebut berupa:

a. Percakapan Pribadi

Metode ini dilaksanakan dengan cara konselor atau

pembimbing melakukan dialog langsung dengan klien. Metode ini


80

merupakan salah satu bentuk metode yang dirasa sangat baik dan

efektif yang dilakukan oleh konselor, karena dengan bertatap muka

klien dapat lebih jelas memahami apa yang disampaikan oleh konselor

dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.

Dalam percakapan ini hendaknya konselor bersikap penuh simpati dan

empati.

Simpati artinya menunjukkan adanya sikap turut merasakan

apa yang sedang dirasakan oleh klien. Dan empati artinya berusaha

menempatkan diri dalam situasi diri klien dengan segala masalah-

masalah yang dihadapinya. Dengan sikap ini klien akan memberikan

kepercayaan sepenuhnya kepada konselor. Dan ini sangat membantu

keberhasilan konseling.

Dalam melaksanakan metode langsung dengan cara percakapan

pribadi ini, Griya Asa PKBI Kota Semarang menerapkannya dalam

bentuk kegiatan yakni, dengan mengadakan beberapa layanan

diantaranya layanan Konseling dan VCT (Voluntary Counseling Test).

Layanan konseling ini ditujukan kepada para WPS yang mungkin

mempunyai masalah pribadi atau sekedar ingin bercerita. Sedang VCT

adalah suatu pembinaan dua arah yang berlangsung terus menerus dan

berkelanjutan antara konselor dan klien. Ini dimaksudkan agar

mencegah penularan virus HIV/AIDS untuk para WPS. Dengan cara

memberikan informasi seputar HIV/AIDS, berbagai dukungan moral

baik untuk dirinya, keluarga, maupun lingkungannya.


81

Layanan VCT dilaksanakan setiap tiga bulan sekali karena pada

kurun waktu inilah mereka harus tahu apakah di dalam tubuh mereka

terinfeksi virus HIV/AIDS atau tidak. Selain layanan VCT, kegiatan

yang lain adalah screening IMS (Infeksi Menular Seksual), layanan

kesehatan ini dilaksanakan setiap seminggu sekali. Screening IMS

bertujuan untuk mengetahui apakah para WPS mengidap penyakit

kelamin atau tidak. Kegiatan yang berlangsung di Klinik Griya Asa

yang bangunannya masih satu atap dengan kantornya ini bekerjasama

dengan puskesmas-puskesmas terkait.

b. Kunjungan ke rumah (home visit)

Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara pembimbing

mengadakan dialog dengan klien, tetapi dilaksanakan di rumah klien.

Metode ini dilaksanakan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang dengan

cara pembimbing mendatangi dan mengamati keadaan rumah serta

lingkungan sekitar klien. Hal ini dilakukan agar pembimbing dapat

mengetahui segala prilaku klien, baik dari segi rohani maupun

sosialnya secara langsung.

c. Kunjungan dan Observasi Kerja

Kegiatan ini menjangkau masyarakat, perusahaan, dan

komunitas. Diantaranya menjangkau lokalisasi Gambilangu (GBL)-

Mangkang, Panti Pijat, Bar Karaoke.

d. Diskusi Kelompok
82

Kegiatan ini dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam

beberapa bentuk kegiatan yakni pembinaan kepada para WPS dan

masyarakat baik yang sudah terinfeksi HIV/AIDS maupun yang belum

terkena HIV/AIDS. Bentuk pertama yang dilaksanakan Griya Asa

PKBI Kota Semarang adalah mengadakan pembinaan kepada para

WPS. Kegiatan ini adalah dialog bersama dengan semua para WPS

tanpa terkecuali baik yang belum terkena ataupun yang sudah terkena

HIV/AIDS. yang biasanya dilaksanakan setiap tiga kali dalam

seminggu. Yakni hari Senin untuk WPS yang berada di gang I, II, III.

Hari Selasa untuk para WPS yang kos atau tidak tinggal di wisma, dan

untuk gang IV, V, VI, dilaksanakan pada hari Kamis.

Adapun kegiatan yang berlangsung dari pukul 10.00 – 12.00

WIB ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Pihak

Kepolisian. Bertempat di balai pertemuan milik warga Argorejo,

kegiatan tersebut diisi dengan materi tentang bahaya HIV/AIDS dan

pencegahannya serta kewajiban memakai kondom ketika melakukan

hubungan seks. Selain dialog untuk bekal para WPS, Griya Asa PKBI

Kota Semarang juga bekerja sama dengan Kemenag dalam

memberikan penyuluhan bimbingan mental spiritual dan mauidhoh

hadsanah.

Beberapa Rumah Sakit di Semarang juga di ikut sertakan

dalam kerja sama ini, diantaranya Rumah Sakit Kariadi, Rumah Sakit

Tugu, dan Rumah Sakit Citarum. Rumah Sakit ini nantinya dapat
83

digunakan sebagai rujukan bagi para WPS yang terkena HIV/AIDS.

Kegiatan kedua dilaksanakan dengan melibatkan para WPS yang

sudah terinfeksi HIV/AIDS, dalam kegiatan kedua ini Griya Asa PKBI

Kota Semarang membentuk suatu perkumpulan atau paguyuban untuk

para ODHA.

Paguyuban ini diberi nama KDS Dewi Plus (Kelompok

Dampingan Sebaya) Dewi Plus. Paguyuban ini didirikan dengan

maksud, agar para ODHA atau mereka yang sudah di vonis terkena

HIV/AIDS tidak berputus asa dan berpikiran sempit untuk mengakhiri

hidup karena keadaan yang menimpanya. Di paguyuban KDS Dewi

Plus, di harapkan mereka dapat saling berbagi cerita, berbagi

pengalaman tentang HIV/AIDS, dan saling berdiskusi tentang cara

bagaimana mereka bertahan hidup dan lain sebagainya.

Kegiatan selanjutnya dengan objek masyarakat yang belum

terjangkit HIV/AIDS, Griya Asa PKBI Kota Semarang melaksanakan

bimbingan penyuluhan dengan memanfaatkan momen-momen

kegiatan masyarakat seperti perkumpulan PKK, rapat warga serta para

Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU). Griya Asa PKBI Kota

Semarang menggunakan momen-momen pertemuan tersebut sebagai

media untuk melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap

bahaya HIV/AIDS kepada masyarakat.

2. Metode Tidak Langsung


84

Metode tidak langsung (metode komunikasi tidak langsung), adalah

metode bimbingan konseling yang dilakukan melalui media elektronik

maupun surat kabar. Hal ini dapat dilakukan secara individu maupun

kelompok, bahkan massal.

1. Metode Individual

a. Melalui surat-menyurat, hal ini dilakukan oleh Griya Asa

PKBI Kota Semarang untuk menjalin kerja sama dalam mencegah

penularan HIV/AIDS dalam hal ini Griya Asa PKBI Kota

Semarang misalnya mengirimkan surat kepada pihak kelurahan

atau kecamatan, Darma Wanita dan lain sebagainya untuk

memberikan penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS.


b. Melalui telepon, hal ini dilakukan pembimbing untuk

mengontrol keberadaan klien serta memberikan motivasi dalam

memecahkan masalah yang dihadapi klien melalui telepon.

2. Metode Kelompok/ Massal

a. Melalui papan bimbingan, hal ini diharapkan klien dapat

melaksanakan program bimbingan sesuai dengan jadwal yang telah

dipandu oleh konselor.

b. Melalui majalah dan buletin, Griya Asa PKBI Kota

Semarang juga menerbitkan beberapa majalah serta buletin tentang

HIV/AIDS. Namun sudah hampir dua tahun ini belum

terealisasikan secara maksimal karena memang para tim Griya Asa

PKBI Kota Semarang masih sibuk dengan agenda yang lain.


85

c. Melalui pamflet dan leaflet, tim Griya Asa PKBI Kota

Semarang juga memanfaatkan media ini untuk memberikan

informasi seputar HIV/AIDS kepada masyarakat khususnya kepada

para wanita pekerja seks komersial di Resosialisasi Argorejo.

Penggunaan pamflet yang ditempel di dinding-dinding kantor

Griya Asa, maupun leaflet yang di berikan pada para pasien saat

pemeriksaan dirasa juga efektif dalam salah satu upaya yang

dilakukan.

d. Melalui radio dan televisi, hal ini pernah dilakukan oleh

Griya Asa PKBI Kota Semarang, dengan adanya ajakan kerjasama

dengan pihak stasiun radio maupun televisi diharapkan agar

nantinya mengajak seluruh elemen masyarakat peduli pada

perkembangan HIV/AIDS.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan di atas,

bahwasanya penerapan metode yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota

Semarang untuk pencegahan penularan HIV/AIDS menggunakan metode

langsung dan tidak langsung. Dalam metode ini juga di rinci lagi menjadi

individual dan kelompok. Bimbingan konseling individual yaitu

bimbingan konseling yang memungkinkan klien mendapat layanan

langsung tatap muka dalam rangka pembahasan dan pengentasan

permasalahan yang sifatnya pribadi yang dideritanya. Sedangkan jika

secara kelompok yaitu suatu cara dimana masing-masing individual akan

mendapat kesempatan untuk memecahkan masalah bersama-sama.


86

Apabila ditinjau dari fungsi bimbingan konseling Islam, dimana

dalam bimbingan konseling Islam terdapat beberapa fungsi, yaitu: fungsi

preventif yaitu berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa

mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya

untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh klien. Fungsi kuratif

diartikan membantu individu memecahkan masalah yang dihadapinya.

Fungsi preservative adalah membantu individu menjaga situasi dari

kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik

(terpecahkan) dan kebaikan itu dapat bertahan lama. Dan fungsi

developmental adalah membantu klien untuk memelihara dan

meningkatkan kemampuan klien dalam menghadapi persoalan yang

dihadapi (Hendrarno, 2003: 36).

Berdasarkan fungsi bimbingan konseling Islam tersebut, pada

dasarnya jika dikaji lebih lanjut upaya pencegahan HIV/AIDS yang

dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang telah menerapkan berbagai

fungsi tersebut. Hal ini bisa diuraikan lebih lanjut sebagai berikut, fungsi

preventif yaitu dari kerangka fungsi preventif (pencegahan), memiliki arti

membantu para WPS menjaga dan mencegah timbulnya masalah dengan

cara pemberian bantuan meliputi pemberian pembinaan maupun

penyuluhan bimbingan mental spiritual dan mauidhoh hadsanah. Melalui

fungsi ini, pembimbing memberikan materi tentang cara menghindarkan

diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya (Nurikhsan,

2005: 16).
87

Fungsi preventif tersebut dapat terwujud dengan cara,

meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap ajaran dan perintahnya.

Keimanan dan ketakwaan yang kuat harus tetap ditanamkan dan dibina.

Adanya penyuluhan keagamaan dimaksudkan agar para WPS bisa

menyadari segala perbuatannya yang dapat menyebabkan tertularnya virus

HIV/AIDS. Dan dengan menggunakan kelembutan dalam menghadapi

para WPS, diharapkan akan lebih menyentuh hati mereka untuk sadar dan

kembali ke jalan Allah SWT (hasil wawancara dengan Slamet Suwandi

Seksi Sosial di resosialisasi Argorejo pada tanggal 5 Juni 2014).

Hal ini dapat diketahui ketika mengikuti pembinaan ataupun

penyuluhan keagamaan, untuk menggugah kesadaran dari para WPS, tim

Griya Asa PKBI Kota Semarang juga menggunakan metode ceramah dan

tanya jawab. Metode ceramah bagi para WPS dirasa akan lebih mudah

dalam memahami apa yang nantinya disampaikan. Karena metode ini

dirasa lebih nyaman, mereka hanya duduk sembari mendengarkan materi

yang disampaikan oleh pembicara. Sedang metode tanya jawab

dimaksudkan agar memberikan kesempatan pada para WPS yang belum

paham tentang materi yang di sampaikan oleh pembicara.

Fungsi kuratif atau memecahkan, diartikan membantu individu

memecahkan masalah yang dihadapinya (Hendrarno, 2003: 36). Dalam hal

ini Griya Asa PKBI Kota Semarang mempunyai peran penting dalam

memecahkan berbagai permasalahan yang di alami oleh para WPS. Karena

jika dilihat dari pekerjaan mereka yang melanggar peraturan agama


88

maupun norma yang ada di masyarakat, maka sangat di mungkinkan

mereka mengalami pergolakan batin yang sangat hebat. Untuk itu perlu

adanya perhatian khusus terutama dalam mencegah penularan virus

HIV/AIDS.

Melalui fungsi kuratif ini tim Griya Asa PKBI Kota Semarang

mengajak kepada para WPS untuk berbicara dan mendiskusikan tentang

masalah yang dihadapinya dan masalah yang mengintai kesehatan mereka.

Kondisi ini akan mempermudah tim Griya Asa PKBI Kota Semarang

dalam melakukan upaya memecahkan permasalahan. Para WPS akan lebih

terbuka tentang masalah pribadinya jika menggunakan pendekatan

konseling atau individu. Hal ini, dirasa lebih nyaman dan efektif bagi para

WPS dari pada mereka harus mengungkapkan permasalahannya kepada

teman-temannya. Karena belum tentu teman-temannya juga bisa menjaga

rahasianya, mengingat pekerjaan mereka yang penuh persaingan satu sama

lain.

Fungsi preservative bertujuan untuk membantu individu menjaga

situasi dan kondisi semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik

(terpecahkan) dan kebaikan itu dapat bertahan lama. Dalam hal ini, lebih

menekankan pada pemahaman para WPS mengenai keadaan dirinya baik

kelebihan maupun kekurangan, situasi dan kondisi yang dialami saat ini.

Kerap kali masalah yang dialami tidak dipahami oleh para WPS itu sendiri

atau bahkan para WPS itu tidak merasakan dan tidak menyadari akan

kesalahan serta masalah yang sedang dihadapinya.


89

Para WPS yang tidak bisa menghargai dirinya sendiri, akan

terbukti ketika para WPS rela melakukan apa saja demi bisa meraup rupiah

sebanyak mungkin dari pelanggannya. Tanpa memikirkan akibat yang

akan ditimbulkannya, misalkan demi memenuhi nafsu pelanggannya dan

dijanjikan uang yang berkali lipat dari malam biasanya, mereka rela tidak

memakai kondom dalam melakukan hubungan seksual. Padahal mereka

tahu bahwa itu bertentangan dengan hati nuraninya dan mereka juga tahu

virus HIV/AIDS terus mengintai mereka.

Oleh karena itu fungsi preservative sangat dibutuhkan dalam

membantu para WPS dalam memahami keadaaan yang dihadapinya,

memahami sumber masalah, dan para WPS akan mampu secara mandiri,

mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Dalam hal ini, Griya Asa

PKBI Kota Semarang yang bekerjasama dengan Organisasi Islam juga

memberikan bimbingan keagamaan secara sungguh-sungguh, sehingga

diharapkan akan menimbulkan rasa dekat kepada Allah SWT dan

kesadaran untuk kembali ke jalan Allah SWT. Dari sini diharapkan mereka

dapat memahami diri sendiri, baik kelebihan dan kekurangan maupun

situasi, kondisi yang sedang dialami dan mengintainya. Disinilah peran

keagamaan sangat dibutuhkan, dalam memperbaiki diri menjadi lebih baik

dan terhindar dari penularan virus HIV/AIDS.

Fungsi developmental merupakan fungsi bimbingan konseling

Islam yang terfokus pada upaya pemberian bantuan berupa pemeliharaan

dan pengembangan situasi dan kondisi bagi para WPS yang telah baik
90

dalam mengikuti peraturan yang ada atau bahkan menjadi lebih baik dan

sadar. Sehingga tidak memunculkan kembali sebab timbulnya berbagai

permasalahan. Fungsi bimbingan dan konseling Islam sebagai

pengembangan berorientasi pada upaya pengembangan fitrah manusia,

yaitu sebagai makhluk Tuhan, individu, sosial dan budaya.

Sebagai makhluk beragama, seharusnya para WPS ini harus taat

pada ajaran agama dan segera sadar untuk kembali ke jalan-Nya. Sebagai

makhluk sosial mempunyai pengertian bahwa mereka hidup di dunia ini

pastilah memerlukan bantuan orang lain. Bahkan mereka baru dikatakan

sebagai manusia bila berada dalam lingkungan dan berinteraksi dengan

orang lain. Manusia selain harus mengembangkan hubungan vertikal

dengan Tuhan, mereka juga harus membina hubungan horizontal dengan

orang lain dan alam semesta (Hallen, 2002: 18).

Sebagai makhluk berbudaya para WPS untuk dapat

mengembangkan cipta, rasa, dan karsanya dalam memanfaatkan alam

semesta dengan sebaik-baiknya. Para WPS harus bertanggung jawab atas

apa yang telah diperbuatnya. Manusia sering menjadi sombong, lupa diri,

egoistik dengan urusan dunianya. Terlebih dengan berkembangnya ilmu

pengetahuan dan teknologi. Kecenderungan ini merupakan bentuk

penyimpangan terhadap fitrah kemanusiaan dan keagamaan.

Manusia yang hidup dalam tataran kehidupan yang berorientasi

pada kemajuan teknologi umumnya juga mengarah pada berbagai

penyimpangan tersebut. Dalam kondisi penyimpangan terhadap nilai dan


91

fitrah keagamaan tersebut, upaya bimbingan konseling Islam sangat

dibutuhkan terutama dalam pengembangan fitrah kemanusiaan dan

keagamaan, sehingga dengan upaya pengembangan dan pemahaman

kembali atas fitrah manusia, para WPS mampu mencapai kebahagiaan

yang di idam-idamkan, yakni kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.

Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa upaya yang dilakukan

oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam mencegah penularan

HIV/AIDS mendekati implementasi bimbingan konseling Islam. Hal ini

dapat dilihat dari bentuk kegiatan, metode, fungsi serta tujuan yang

digunakan sudah sesuai dengan pandangan bimbingan konseling Islam.

4.3. Analisis SWOT terhadap Upaya Griya Asa PKBI Kota

Semarang dalam Mencegah Penularan HIV/AIDS bagi Wanita Pekerja

Seks Komersial di Resosialisasi Argorejo Kalibanteng

Setelah beberapa upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota

Semarang, maka peneliti akan menganalisisnya menggunakan analisis SWOT

untuk mengetahui sejauh mana keefektifan upaya yang dilakukan Griya Asa

PKBI Kota Semarang tersebut. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai

faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini

didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan

peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan (Weaknesses), dan ancaman (threats).

Ini adalah teknik menyediakan kerangka kerja untuk mengidentifikasi

secara sistematis posisi organisasi, caranya berhubungan dengan lingkungan


92

eksternal dan masalah serta peluang yang dihadapi. Instrument ini

memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk

melaksanakan sebuah strategi (Rangkuti, 2008: 19).

1. Strenghths (kekuatan)

Adapun kekuatan yang dimiliki dalam upaya yang dilakukan oleh

Griya Asa PKBI Kota Semarang antara lain:

a. Sudah adanya relawan-relawan yang solid dalam bekerja sama. Hal

ini memudahkan dalam melakukan upaya-upaya yang akan diterapkan

oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang. Selain itu, adanya konselor yang

berkompeten atau ahli dibidangnya ini membuat para WPS semakin

percaya ketika mereka ingin menceritakan tentang kehidupan atau

masalahnya.
b. Terdapat banyak sekali kegiatan atau momen-momen yang

diadakan oleh masyarakat sekitar seperti adanya rapat warga,

perkumpulan PKK, pertemuan kader dan Darma Wanita. Griya Asa

PKBI Kota Semarang dapat memanfaatkan momen-momen tersebut

untuk melakukan penyuluhan tentang HIV/AIDS kepada masyarakat.


c. Terdapat banyak pihak-pihak baik LSM, maupun dinas terkait

seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA), Kepolisian, Pemerintah, Puskesmas, Organisasi Masyarakat

Islam seperti NU yang turut peduli terhadap upaya pencegahan virus

HIV/AIDS. Dan yang tak kalah pentingnya adalah adanya peran

keikutsertaan Resosialisasi Argorejo terhadap kesehatan para wanita

pekerja seks komersial. Griya Asa PKBI Kota Semarang dapat bekerja
93

sama dengan pihak-pihak tersebut dalam melaksanakan berbagai upaya

untuk mencegah penularan HIV/AIDS bagi para WPS di Resosialisasi

Argorejo Kalibanteng.
d. Adanya keterlibatan para orang tua asuh dalam mengarahkan anak-

anak asuhnya agar selalu memakai kondom dalam berhubungan

seksual. Ini akan semakin memudahkan dalam mewujudkan upaya yang

dilakukan.

2. Weakness (kelemahan)

Dalam setiap lembaga atau organisasi apapun, tentu di dalam

kiprahnya mengalami suatu kendala. Kelemahan tersebut antara lain:

a. Masih adanya sebagian masyarakat yang masih menempatkan

persoalan reproduksi menjadi persoalan yang tabu, hal ini menjadikan

dalam pemberian materi atau penyuluhan kurang mencapai sasaran.


b. Adanya pihak-pihak yang tidak paham dan mengerti tentang

HIV/AIDS, serta adanya oknum yang takut atau merasa keberadaan

wismanya terancam.
c. Serta susahnya mendekati kaum laki-laki karena mereka selalu

merasa sehat dan benar sehingga mereka kurang minat untuk

melakukan tes HIV/AIDS

3. Opportunities (Peluang)

Adapun peluang yang dapat diambil oleh Griya Asa PKBI Kota

Semarang dalam upaya mencegah penularan HIV/AIDS bagi wanita

pekerja seks komersial di Resosialisasi Argorejo Kalibanteng adalah

sebagai berikut:
94

a. Mayoritas para wanita pekerja seks komersial yang berada di

Resosialisasi Argorejo beragama Islam. Dari sini akan lebih

mempermudah memberikan penyuluhan Islam dan pembinaan.


b. Kebanyakan para wanita pekerja seks yang tinggal di Resosialisasi

Argorejo bukanlah warga asli Semarang melainkan pendatang dari

daerah lain. Jadi masih sangat di mungkinkan warga Semarang terutama

warga Argorejo terhindar dari HIV/AIDS.


c. Semakin banyak masyarakat yang sadar akan bahaya virus

HIV/AIDS, sehingga mereka mulai menjauhi segala yang menyebabkan

tertularnya virus tersebut.


d. Para wanita pekerja seks komersial yang tinggal di Resosialisasi

Argorejo perlahan mulai mengikut peraturan yang ada, diantaranya

yaitu menerapkan pemakaian kondom ketika berhubungan seks dan

mulai ada kesadaran untuk selalu mengecek kesehatannya.

4. Treaths (ancaman)

Dari upaya yang dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang,

terdapat juga ancaman-ancaman yang mengintai, walaupun ancaman

tersebut bukanlah hal yang membahayakan, seperti:

a. Semakin tingginya penyebaran HIV/AIDS dikalangan para

wanita pekerja seks komersial di Resosialisasi Argorejo

Kalibanteng.
b. Semakin terpuruk moral para wanita pekerja seks komersial

serta masyarakat Semarang dan sekitarnya.


c. Meskipun sudah berganti nama dari lokalisasi menjadi

Resosialisasi namun pada kenyataannya lokasi ini tetaplah yang

paling rawan terjadinya penyebaran virus HIV/AIDS.


95

Dari pemaparan analisis SWOT diatas, maka dapat dilihat

bagaimana kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari upaya yang

dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang. Setelah mengetahui hal

tersebut, dapat diambil cara atau metode bagaimana mengatasi kelemahan

dengan menggunakan kekuatan yang ada, begitu juga dengan bagaimana

mengatasi ancaman dengan memaksimalkan peluang yang ada.

Dari kekuatan upaya yang dilaksanakan oleh Griya Asa PKBI Kota

Semarang, dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari

upaya yang dilaksanakan tersebut. Misalnya masih adanya sebagian

masyarakat yang masih menempatkan persoalan reproduksi menjadi

persoalan yang tabu dan kelemahan yang lainnya. Kelemahan tersebut

dapat diatasi dengan kekuatan yang ada, yakni bekerja sama dengan

berbagai pihak yang mempunyai tujuan yang sama, misalnya dengan

LSM, maupun dinas terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA), Kepolisian, Pemerintah, Puskesmas,

Organisasi Masyarakat Islam seperti NU, Resosialisasi Argorejo yang turut

peduli terhadap upaya pencegahan virus HIV/AIDS serta dengan

memanfaatkan momen-momen kegiatan masyarakat yang ada. Dengan

adanya kerjasama yang baik-baik dengan pihak-pihak tersebut kelemahan

yang ada dapat diatasi.

Begitu juga mengenai ancaman yang mengintai upaya yang

dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang, dapat diatasi dengan

memaksimalkan peluang dan juga kekuatan yang ada. Misalnya dengan


96

semakin terpuruknya moral para wanita pekerja seks komersial serta

masyarakat Semarang dan semakin tingginya penyebaran HIV/AIDS

dikalangan para wanita pekerja seks komersial.

Hal ini dapat diatasi dengan adanya peluang bahwa mayoritas para

wanita pekerja seks komersial yang berada di resosialisasi Argorejo

beragama Islam maka dari sini akan lebih mempermudah memberikan

penyuluhan Islam dan pembinaan dan para wanita pekerja seks komersial

yang tinggal di resosialisasi Argorejo kini perlahan mulai mengikuti

peraturan yang ada. Diantaranya yaitu menerapkan pemakaian kondom

ketika berhubungan seks, selalu mengikuti kegiatan baik pembinaan

maupun penyuluhan keagamaan dan mulai ada kesadaran untuk selalu

mengecek kesehatannya. Hal ini dilakukan agar nantinya para WPS

terketuk hatinya dan bisa menyadari segala perbuatannya.


97

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dan analisis data yang

sudah penulis lakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam mencegah penularan

HIV/AIDS bagi para WPS di resosialisasi Argorejo Kalibanteng dengan

mengadakan berbagai program diantaranya:


a. Program Grisa yang meliputi penjangkauan HRM (High Risk Man)

orang yang satu tahun selalu berhubungan seks, penjangkauan LSL

(Lelaki suka Lelaki), dan penjangkauan waria dan WPS yang berada di

lokalisasi, bentuk kegiatannya berupa penyuluhan tentang HIV/AIDS

kepada para tamu atau pelanggan pekerja seks, pembinaan kepada para

WPS, serta pemberian kondom secara rutin.


b. Program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)

yang dikhususkan untuk ibu hamil agar tidak terinfeksi HIV/AIDS dan

tidak menularkan virusnya kepada anaknya,


c. Program klinik yang menyiadakan layanan VCT (Voluntary

Counseling Test), Screening IMS (Infeksi Menular Seksual),

mengadakan Home visit atau kunjungan ke rumah, serta Layanan

Konseling, KB, dan konseling pernikahan.

Selain melaksanakan program di atas, Griya Asa PKBI Kota

Semarang juga mengadakan kerja sama dengan pihak-pihak terkait


98

diantaranya dengan, dinas sosial, dinas kesehatan, kepolisian, pemerintah,

KPA (Komisi Pemberantasan AIDS), puskesmas dan Rumah Sakit di Kota

Semarang, organisasi masyarakat Islam seperti halnya NU, dan juga

Kemenag, perkumpulan PKK, rapat warga, pertemuan kader dan darma

wanita. Dan tak kalah pentingnya adalah adanya kerjasama dengan para

orang tua asuh yang turut peduli terhadap upaya pencegahan virus

HIV/AIDS bagi para wanita pekerja seks komersial.

2. Analisis bimbingan konseling Islam terhadap upaya Griya Asa

PKBI Kota Semarang dalam mencegah penularan HIV/AIDS bagi WPS di

resosialisasi Argorejo Kalibanteng. Dapat dirumuskan bahwasanya upaya

yang dilakukan oleh Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam mencegah

penularan HIV/AIDS mendekati implementasi bimbingan konseling Islam.

Hal ini dapat dilihat dari bentuk kegiatan, metode, fungsi serta tujuan yang

digunakan sudah sesuai dengan pandangan bimbingan konseling Islam.

5.2. Saran

Demi keberlangsungan upaya yang dilaksanakan oleh Griya Asa PKBI

Kota Semarang dalam mencegah penularan virus HIV/AIDS bagi wanita

pekerja seks komersial di resosialisasi Argorejo Kalibanteng, penulis ingin

menyampaikan beberapa saran bagi semua pihak sebagai berikut:

1. Upaya yang dilakukan Griya Asa PKBI Kota Semarang selama ini

bisa dikatakan baik. Akan tetapi untuk meningkatkan kualitas para

konselor di Griya Asa PKBI Kota Semarang, hendaknya konselor harus


99

tetap melakukan pelatihan-pelatihan, agar lebih maksimal dalam

memberikan penyuluhan kepada para WPS dan masyarakat sekitar.

2. Hendaknya senantiasa memperhatikan para WPS yang belum

terkena maupun yang sudah terkena HIV/AIDS, diharapkan untuk selalu

memberikan motivasi serta bimbingan agar mereka tidak mudah menyerah

dalam menjalani kehidupannya.

3. Kepada pihak Griya Asa PKBI Kota Semarang, selain memberikan

pembinaan kepada para WPS diharapkan juga memberikan pembinaan

pada masyarakat sekitar terlebih pada anak-anak yang tinggal di sekitar

Argorejo. Karena anak-anak adalah asset yang sangat penting untuk masa

depan.

4. Kepada para WPS dihimbau untuk tetap mentaati dan menjalankan

semua program yang telah dirancang oleh Griya Asa PKBI Kota

Semarang. Agar nantinya para WPS tidak terkena HIV/AIDS dan sadar

akan perbuatannya selama ini.

5. Kepada masyarakat Argorejo agar meningkatkan keimanan dan

ketaqwaan kepada Allah SWT, dan menjauhi segala perbuatan yang bisa

memunculkan HIV/AIDS, akan tetapi jangan mengucilkan dan menghina

para WPS dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

5.3. Penutup

Teriring rasa syukur Alhamdulillah yang tak terhingga ke hadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan segalanya kepada penulis, akhirnya dengan

segala daya upaya dan untaian doa penulis dapat menyelesaikan penyusunan
100

skripsi ini. Penulis meyakini ada banyak kekurangan dalam penelitian ini, baik

dalam segi penulisan maupun analisisnya. Oleh karenanya, dengan segala

kerendahan hati, penulis sangat menerima kritik dan saran yang konstruktif

demi kemajuan di masa mendatang.

Selain itu ucapan terima kasih tak luput penulis sampaikan kepada

seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Atas

semua bantuan merekalah, skripsi dengan judul Upaya Griya Asa PKBI Kota

Semarang dalam Mencegah Penularan HIV/AIDS bagi Wanita Pekerja Seks

Komersial di resosialiasi Argorejo Kalibanteng dapat terselesaikan. Semoga

Allah SWT membalas semua kebaikan yang diberikan oleh mereka.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa segala kealpaan adalah milik

penulis dan segala kebenaran adalah milih Allah. Harapan penulis, semoga

skripsi ini membawa manfaat bagi kita semua,. Amin ya robbal alamin.
101

DAFTAR PUSTAKA

A, Hallen, Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

A.S., Alam, Pelacuran dan Pemerasan. Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi


Manusia Oleh Manusia, Bandung: Penerbit Alumni, 1984.

Adz-Dzaky, Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta:


Fajar Pustaka Baru.

Alwi, Hasan Alwi, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

2001.

Amin, Samsul Munir, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: Amzah, 2010.

Azwar, Saifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Brunner & Suddarth, Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.
Jakarta: EGC, 2002.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2005.

Dinas sosial, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Pemerintah Propinsi


Jawa Tengah, 2009.

Djubaedah, Neng, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan di


Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group,
2010.

Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, Yogyakarta: Pusat
Penerbitan UII Press, 2001.

Gallant, Joel, 100 Tanya Jawab mengenai HIV dan AIDS, Jakarta: PT Indeks,
2010.

Harahap, Syaiful W, Pers Meliput AIDS, Jakarta: Salemba Medika, 2008.

Hasan, Moh, Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.

Hawari, Dadang, Konsep Agama (Islam) Menanggulangi HIV/AIDS, Jakarta:


Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.
102

_________, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta:


Dana Bhakti Primayasa, 1999.

Hendrano, Eddy, dkk., Bimbingan dan Konseling, Semarang: Perc. Swadaya


Manunggal, 2003.

Hidayanti, Ema, Dimensi Spiritualdalam Praktek Konseling Bagi Penderita


HIV/AIDS di Klinik Voluntary Counseling Test (VCT) Rumah Sakit Panti
Wiloso Citarum Semarang, Semarang: Lembaga Penelitian IAIN
Walisongo Semarang, 2012.

Irawan, Danny, Penyembuhan Non Medis dan Kesehatan AIDS, Jakarta: Penerbit
Arcan, 2001.

Ismail, Solihin, Manajemen Strategik, Jakarta: Erlangga, 2012.

Jajuli, Motivasi Dan Dampak Psikologis Pekerja Seks Komersial (Studi Kasus
Terhadap PSK di Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah), Skripsi
Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2010.

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Kasijan, Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina dalam Al Qur’an,


Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982.

Khasanah, Nikmatun, Konsep Penanggulangan Aids Menurut Dadang Hawari


(Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam), Skripsi Fakultas Dakwah,
IAIN Walisongo, 2006.

Khotimah, Khusnul, Determinan Perilaku Pencegahan Ims Dan Hiv/Aids Pada


Wanita Pekerja Seks (Wps) Di Lokalisasi Gempol Porong Kabupaten
Banyuwangi, Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember,
2011.

Madjid, Nurkholis, Islam Kedokteran dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989.

Maslakhah, Prinsip-Prinsip Bimbingan Penyuluhan Agama Terhadap Kenakalan


Remaja (Pada Kasus Penyalahgunaan Narkotika Dan Obat-Obatan
Terlarang) Menurut Prof.Dr.dr.H. Dadang Hawari, Skripsi Fakultas
Dakwah, IAIN Walisongo Semarang, 1998.

Mubarok, Ahmad, Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000.


103

Muninjaya, Gde, A.A., AIDS di Indoensia Masalah dan Kebijakan


Penanggulangannya, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 1999.

Musnamar, Tohari, 1992, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling


Islam,Yogyakarta : UII Pres.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1989.

Nurita, Diah Ayu, Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Seksi Penyuluh
Agama Islam Kantor Kementrian Agama Ungaran dalam Pembinaan
Akhlaqul Karimah untuk Mencegah Semakin Luasnya penyakit HIV/AIDS
pada Masyarakat Bandungan Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah, IAIN
Walisongo, 2012.

Priyatno dan Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta,


Renika Cipta, 1999.

Rihaliza, Hubungan Konseling Vct dan Dukungan Sosial dari Kelompok


Dukungan Sebaya dengan Kejadian Depresi pada Pasien HIV/AIDS di
Lantera Minangkabau Support Tahun 2010, Skripsi Fakultas Kedokteran,
Universitas Andalas, 2010.

Sa’abah, Marzuki Umar, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas


Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Sukardi, Dewa Ketut, Proses Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Jakarta:


RinekaCipta, 1995.

Sulthon Muhammad, Menjawab Tantangan Zaman Desain Ilmu Dakwah Kajian


Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Semarang: Pustaka Pelajar,
2003.

Tim Disbintalad, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1999.

Walgito, Bimo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi Offset,


1995.

Winkel, W.S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta:


Grasindo, 1991.

_________, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah, Jakarta:


Gramedia, 1989.
104

Zain, Bakhtiyar, Pemikiran Viktor E. Frankl Tentang Logoterapi Dan


Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental (Analisis Bimbingan Konseling
Islam, IAIN Walisongo, 2005.

Affina Sayyidah, “Pengaruh tempat Prostitusi di daerah”, Lihat dalam:


http://intraserius.blogspot.com/2010/02/pengaruh-tempat-prostitusi-di-
derah.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2013.

Hartatik, “Kasus HIV dan AIDS Jateng Peringkat Tertinggi Kedua”, Lihat dalam:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/
2012/12/13/138194/Kasus-HIV-dan-AIDS-Jateng-Peringkat-Tertinggi-
Kedua, diakses pada tanggal 21 Oktober 2013.

Nur, “PSK Lokalisasi Sunan Kuning terindikasi Positif HIV/AIDS”, Lihat dalam:
HIV/AIDS,http://www.lensaindonesia.com/2013/04/27/psk-lokalisasi-
sunan-kuning-terindikasi-positif-hivaids.html, diakses pada tanggal 27
Oktober 2013.

Nanang Ruhyana, “Penanggulangan HIV/AIDS”, Lihat dalam:


http://www.slideshare.net/nanangruhyana/pmk-no-21-thn-2013-ttg-
penanggulangan-hiv-dan-aids, diakses pada tanggal 26 Oktober 2013.

Ant, “Kasus HIV/AIDS di Semarang masih Tinggi”, Lihat dalam:


http://jateng.tribunnews.com/2013/09/17/kasus-hivaids-di-semarang-
masih-tinggi, diakses pada tanggal 23 Oktober 2013.

Ina, “Strategi dan Program”, Lihat dalam:


http://www.aidsindonesia.or.id/contents/13/69/Strategi-dan-Program-
#sthash.B3FjAjd5.dpbs, diakses pada tanggal 7 November 2013.

Departemen Kesehatan RI (2008), “Statistik kasus HIV/AIDS”, Lihat dalam:


http://www.aidsindonesia.or.id, diperoleh tanggal 26 Agustus 2010.

Ris/GA, Griya Asa gandeng wartawan menolak Penutupan Resosialisasi, dalam:

http://griyaasapkbi.blogspot.com/2013/06/griya-asa-gandeng-wartawan-

menolak.html, di akses pada tanggal 1 Juni 2014.

Wawancara dengan Konselor Anita, tanggal 27 dan 31 Juni 2014.

Wawancara dengan Manager Program Risa Islami, tanggal 27 Juni 2014.

Wawancara dengan Pengurus Resosialisasi Slamet Suwandi, tanggal 5 Juni 2014.


105

Wawancara dengan Relawan Griya Asa PKBI Kota Semarang Asti, tanggal 5 Juni
2014.

Wawancara dengan WPS resosialisasi Argorejo Shela dan Ica, tanggal 5 Juni
2014.
106

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah.................................................................................. 10
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................................. 11
1.4.Tinjauan Pustaka.................................................................................... 12
1.5.Metode Penelitian.................................................................................. 17
1.6.Sistematika Penulisan............................................................................ 21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIV/AIDS, WANITA PEKERJA SEKS,
DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
2.1.Tinjauan tentang HIV/AIDS.................................................................. 23
2.2.Pekerja Seks Komersial......................................................................... 36
2.3.Bimbingan dan Konseling Islam............................................................ 45
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG GRIYA ASA PKBI KOTA
SEMARANG DAN UPAYA GRIYA ASA DALAM MENCEGAH PENULARAN
HIV/AIDS BAGI WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL
3.1.Gambaran Umum Griya Asa PKBI Kota Semarang.............................. 52
3.2.Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang................................................ 55
BAB IV UPAYA GRIYA ASA PKBI KOTA SEMARANG DALAM
MENCEGAH PENULARAN HIV/AIDS DI RESOSIALISASI ARGOREJO
KALIBANTENG SEMARANG DITINJAU DARI SEGI BIMBINGAN DAN
KONSELING ISLAM
4.1.Analisis Terhadap Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam
Mencegah Penularan HIV/AIDS di Resosialisasi Argorejo Kalibanteng
Semarang...................................................................................................... 75
4.2.Analisis Terhadap Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam
Mencegah Penularan HIV/AIDS di Resosialisasi Argorejo Kalibanteng
Semarang ditinjau dari Segi Bimbingan dan Konseling Islam.................... 81
4.3.Analisis SWOT terhadap Upaya Griya Asa PKBI Kota Semarang dalam
Mencegah Penularan HIV/AIDS bagi Wanita Pekerja Seks Komersial di
Resosialisasi Argorejo Kalibanteng............................................................. 96
107

BAB V PENUTUP........................................................................................... 102


5.1.Kesimpulan............................................................................................ 102
5.2.Saran....................................................................................................... 103
5.3.Penutup................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 106
LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

Anda mungkin juga menyukai