Anda di halaman 1dari 2

Pandangan islam terhadap HIV dan AIDS

Bagaimana sesungguhnya sikap Islam terhadap kasus HIV & AIDS dan terhadap
orang dengan HIV & AIDS ? Islam yang oleh para pemeluknya sering dinyatakan sebagai
agama yang selalu relevan untuk dapat menjawab segala problem sosial kemanusiaan tentu
sangat diharapkan bisa memberikan kontribusi positif bagi bangsa guna memecahkan
persoalan yang sangat krusial ini.
Kemajuan iptek telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersumber pada
doctrine of permissiveness yang kemudian melahirkan permissive society, hal tersebut
tercermin pada pola dan gaya hidup misalnya : perdagangan seks, pengesahan perkawinan
sesama jenis, pameran seks, pornografi, legalisasi aborsi tak bertanggung jawab, dan
seterusnya. Allah SWT berfirman:
maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, kami pun
membuka semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira,
kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam terdiam
berputus asa. (Al-Anam:44)
HIV terutama terdapat di dalam darah, air mani, dan cairan vagina. Penularannya
melalui:
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV (homo atau heteroseksual)
2. Transfusi darah yang mengadung HIV
3. Alat suntik bekas pengidap HIV : tindik, tattoo, narkoba (IDU), injeksi, dan
lain-lain
4. Dari ibu hamil kepada janinnya
Hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Arbaah:
berobatlah hai hamba Allah, karena Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali
diturunkan pula obatnya, kecuali penyakit yang satu (pikun).
Islam memberikan tuntunan dalam pengobatan HIV/AIDS yakni secara fisik,
psikis, dan social. Secara fisik melalui medis dan sejenisnya hingga yang terbaru ARV
(AntiRetroviral) secara psikis melalui kesabaran, taubat, taqarrub ilallah (dzikrullah), dan
berdoa, sedangkan secara social melalui penerimaan dan dukungan penuh masyarakat
terutama keluarga.
Media utama penularan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu
pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu sendiri. Hal ini bisa
dilakukan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap
individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam
interaksi sosial (nizhom ijtimai/aturan sosial). Seperti larangan mendekati zina dan berzina
itu sendiri, larangan khalwat (beruda-duaan laki perempuan bukan mahram, seperti
pacaran), larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat,
memalingkan pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, larangan bercumbu
di depan umum, dll. Sementara itu, kepada pelaku seks bebas, segera jatuhi hukuman
setimpal agar jera dan tidak ditiru masyarakat umumnya. Misal pezina dirajam, pelaku
aborsi dipenjara, dll.
Di sisi lain, seks bebas muncul karena maraknya rangsangan-rangsangan syahwat. Untuk
itu, segala rangsangan menuju seks bebas harus dihapuskan. Negara wajib melarang
pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya.
Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus
dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku
menyimpang seperti homoseksual.
Sementara itu, kepada penderita HIV/Aids, negara harus melakukan pendataan
konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HIV/AIDS
untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi
dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena
negara wajib menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan negara wajib menggratiskan biaya
pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan,
peribadatan, dan keterampilan.Di sisi lain, negara wajib mengerahkan segenap
kemampuannya untuk membiayai penelitian guna menemukan obat HIV/Aids. Dengan
demikian, diharapkan penderita bisa disembuhkan.
Stigma negative dan diskriminasi terhadap Penderita HIV-AIDS (ODHA) tidak
dibenarkan dalam ajaran islam. Menurutnya, diskriminasi terhadap ODHA merupakan
bentuk pengingkaran terhadap ajaran islam. Islam tidak membenarkan adanya stigma dan
diskriminasi dalam kondisi apapun dan kepada siapapun. Dikatakan Junaidi Hidayat,
ODHA merupakan orang yang harus diperlakukan selayaknya masyarakat umum.
Diskriminasi terhadap ODHA dapat berarti bahwa pelaku diskriminasi adalah orang yang
tidak menghargai kekuasaan tuhan. Sekarang tinggal lagi peran aktif masyarakat, ulama,
pemuda-pemudi, orang tua, dan organisasi sosial lainya untuk bergandengan tangan
melawan penyebaran virus kutukan tersebut, membekali anak remaja dengan iman dan
ulama juga ikut menyiarkan ketika berceramah di mesjid. Dan pertemuan ini juga salah satu
jalan untuk dapat memberikan kesepahamam yangt terhadap persoalan HIV di Indonesia.
Hanyalah Allah SWT yang (punya kewenangan) membedakan derajat manusia tergantung
tingkat ketaqwaannya maka menabur kebaikan sama sekali tidak ada hubungan dengan
ODHA dengan tidak ODHA. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang muslim
yang baik, sama seperti muslim lainnya.

Anda mungkin juga menyukai