Anda di halaman 1dari 13

KASUS LARANGAN DISTRIBUSI KONDOM

SECARA BEBAS

OLEH :

PUTU AYU DINA SARASWATI

PROGRAM STUDI MEGISTER ILMU KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2018
Pemaparan Kasus :

Kontroversi Pekan Kondom Nasional dan


Seks Bebas

REPUBLIKA.CO.ID, Pembagian kondom gratis di tempat umum dan kampus yang


digagas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan sponsor perusahaan kondom
Indonesia (DKT Indonesia) menuai kontroversi dan mendapat protes publik. Program
bernama Pekan Kondom Nasional (PKN) tersebut akhirnya disetop karena penolakan
publik. Kemenkes maupun Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bahkan
saling melempar tanggung jawab bila program tersebut merupakan acara edukasi
kedua institusi tersebut.

Publik pantas menolak PKN yang berlangsung sejak tahun 2007 itu, karena tidak
efektif dan justru memicu perilaku seks bebas (free sex) di kalangan remaja dan
mahasiswa/i. Apalagi, salah satu agenda PKN adalah menghadirkan bus-bus PKN di
sejumlah kampus di Indonesia. Untung, publik bereaksi cepat sehingga program yang
akan digelar pada 1-7 Desember 2013 sebagai rangkaian peringatan Hari AIDS
Sedunia di Indonesia ini bisa disetop.

Ketua Umum PB Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Muhtadin Sabilly mengatakan


kegiatan tersebut kontraproduktif dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS. Sebab,
penyebaran virus HIV/AIDS justru berasal dari gaya hidup seks bebas.

"Kegiatan ini malah menjadi promosi untuk melakukan free sex (di kalangan remaja
dan mahasiswa/i). Bisa disebut, bawahan Presiden SBY menganggap negeri kita
sebagai lokalisasi prostitusi," jelas Muhtadin dalam siaran persnya, pekan lalu.

Faktanya, kata dia, kondom tidak menjamin 100 persen seseorang tertular virus
HIV/AIDS. Yang terpenting untuk mencegah virus mematikan itu adalah
meningkatkan iman, akhlak, moralitas, serta menjauhi gaya hidup free sex. "Pemuda
Muslimin Indonesia mengimbau masyarakat luas untuk memboikot dan menolak
dengan keras kampanye kondom gratis ini," tegas Muhtadin.

PMI mendorong pemerintah menutup lokalisasi penyebab bebasnya perilaku free sex,


terutama di kalangan remaja dan mahasiswa/i. Termasuk, menghapus laman-
laman online yang menampilkan pornografi dan pornoaksi.

Pemerintah mengakui, selain narkoba dan penyebaran virus HIV/AIDS, saat ini
perilaku seks bebas menjadi masalah utama remaja di Indonesia. Pelaksana Tugas
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Subagyo
menyatakan, hal tersebut merupakan masalah serius karena jumlah remaja sangat
banyak dari populasi penduduk. "Yakni sekitar 26,7 persen dari total penduduk,"
ujarnya.
Fakta mengkhawatirkan terdapat pada penelitian Survei Kesehatan Reproduksi
Remaja Indonesia pada tahun 2007. Perilaku seks bebas bukan sesuatu yang aneh
dalam kehidupan remaja Indonesia.

Pada tahun 2009, Kemenkes merilis perilaku seks bebas remaja dari hasil penelitian
di empat kota: Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya. Hasilnya, sebanyak
35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual
sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual
pranikah.

Dalam sebuah laman disebutkan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan


Perempuan dan Anak (PT2TP2A) Jawa Barat, mendapatkan temuan ada sekitar 7.000
remaja putri di bawah usia 18 tahun yang menjadi pelacur. Dari jumlah itu, 28 persen
di antaranya adalah siswa/i SMP dan SMA.

Blundernya aksi PKN dan maraknya kasus seks bebas di kalangan remaja dan pelajar
juga disikapi secara prihatin oleh tokoh agama dan DPR. Pimpinan Ponpes Daarul
Quran Bulak Santri KH Yusuf Mansur mempertanyakan naluri Menteri Kesehatan
(Menkes) Nafsiah Mboi terkait PKN ini.

(https://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/12/13/mxoz43-
kontroversi-pekan-kondom-nasional-dan-seks-bebas )

Pemaparan Isu Agama :

Hamil di luar nikah, aborsi dan wabah penyakit seperti HIV-AIDS,


merupakan bencana akibat zina. Semua itu berdampak pula pada bencana sosial
lainnya, semisal rusaknya keluarga, ancaman terhadap generasi penerus, lunturnya
nilai-nilai moral, timbulnya kepanikan luar biasa di masyarakat atas penyebaran
petaka itu, dan berbagai bencana lainnya.
Rasul saw. sudah memperingatkan bencana yang muncul akibat maraknya
perzinaan melalui sabdanya (artinya): Jika zina dan riba telah tersebar di suatu
negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan sendiri azab Allah. (HR. Al-
Hakim, 2221).
Karena itu berbagai seruan seks bebas (zina) pada dasarnya adalah seruan-seruan
untuk mengundang bencana datang. Jika berbagai seruan itu dibiarkan, maka sama
saja dengan membiarkan petaka dan azab datang menimpa negeri ini.

Islam hanya membenarkan hubungan seks dengan suami/isteri yang sah.


Inilah perilaku seks yang aman. Perilaku seks yang aman adalah menjauhi seks bebas.
Safe sex is no free sex. Mungkinkah akan berjangkit penyakit kelamin, kehamilan di
luar nikah dan aborsi akibat hamil di luar nikah, bila zina tidak dibiarkan? Pastinya
tidak.

Seandainya masyarakat hidup dalam tatanan sosial yang benar; pria dan
wanita tidak bercampur dan tidak bergaul bebas, saling menghormati, free-sex
dianggap sebagai penyakit sosial, niscaya masyarakat akan hidup tenang. Berbagai
penyakit menular seksual juga tidak akan mewabah.

Namun bila tatanan sosial sudah rusak, dimana pria dan wanita dibiarkan
bergaul bebas tanpa batas, perzinahan dianggap perkara lumrah, maka berbagai
bencana penyakit akan melanda. Nabi saw. bersabda:

«…‫ت فِى‬ ْ PP‫ض‬ ُ ‫ ا‬PP‫ا فِي ِه ُم الطَّاعُونُ َواألَوْ َج‬P ‫ا إِالَّ فَ َش‬PPَ‫وا بِه‬PPُ‫ط َحتَّى يُ ْعلِن‬P
َ ‫ع الَّتِى لَ ْم تَ ُك ْن َم‬ ُّ Pَ‫وْ ٍم ق‬PPَ‫ةُ فِى ق‬P ‫اح َش‬
ِ َ‫ر ْالف‬PP ْ ‫لَ ْم ت‬
ِ َ‫َظه‬
‫الَفِ ِه ُم‬PPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPP‫»…أَ ْس‬

“…Tidaklah tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani terang-
terangan melakukannya, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un
dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang telah lalu…”
(HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)

Karena itu, seharusnya yang dilakukan adalah tindakan pencegahan


(preventif) atas perilaku seks bebas dan tindakan kuratif untuk memberantas yang
sudah ada. Karena seks bebas itulah akar masalah dari penyebaran berbagai penyakit
kelamin. Semua itu hanya bisa dilakukan secara sistematis melalui penerapan sistem
Islam dengan syariahnya.

Islam mewajibkan negara menanamkan keimanan dan membina ketakwaan


dan rasa takut terhadap azab Allah dalam diri masyarakat. Kepada masyarakat harus
ditanamkan kejinya perbuatan zina dan besarnya azab Allah kepada para pelakunya
(QS al-Isra’ [17]: 32). Juga harus dipahamkan, zina dan seks bebas merusak tatanan
masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga.

Preventif dilakukan secara sistematis dan multi dimensi. Faktor ekonomi


diselesaikan melalui Sitem Ekonomi Islam yang mendistribusikan kekayaan secara
adil dan merata. Sistem pendidikan berbasis akidah Islamiyah membentuk pribadi
Islami. Sistem pergaulan Islam menjauhkan faktor-faktor pemicu ke arah pergaulan
bebas. Rasa keadilan terutama bagi korban kejahatan seksual dijamin melalui Sistem
Uqubat Islam. Pintu pernikahan pun dipermudah termasuk bagi kaum muda. Pendek
kata, penerapan sistem Islam akan sanggup meminimalkan seminimal mungkin faktor
penyebab seks bebas.

Jika dengan semua itu masih juga ada yang melanggar, maka tindakan kuratif
harus diterapkan. Betul pengidap HIV/AIDS tidak bisa disamakan semuanya. Mereka
jadi korban, tertular oleh suami/isteri, anak tertular ibunya, orang tertular dari
transfusi atau sebab selain seks bebas, mereka akan diobati dan dijamin
pengobatannya oleh negara secara gratis. Sementara selain mereka maka selain
diobati, juga harus dijatuhi sanksi seusai kemaksiyatan, sanksi yang dilakukan yang
membuat jera pelaku dan menimbulkan efek gentar bagi publik sehingga tidak berani
melakukannya. Pelaku zina, jika belum menikah (ghayr muhshan) harus dijilid
seratus kali jilid. Sementara yang sudah pernah menikah (muhshan) harus dirajam
hingga mati. Pelaku homoseksual dijatuhi hukuman mati, subyek dan obyeknya, jika
melakukannya sama sama rela. Sementara pengguna narkoba dijatuhi sanksi ta’zir
yang jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi sesuai
koridor syariah.
Maka hanya sistem Islam sajalah yang bisa menyelamatkan masyarakat dari
seks bebas dan berbagai akibatnya diantaranya penyakit menular termasuk
HIV/AIDS.

Setidaknya ada beberapa cara yang harusnya dilakukan dan dikampanyekan


untuk mengikis seks bebas dan segala dampak yang ditimbulkan seperti HIV,
kehamilan di luar nikah dan aborsi:

Pertama: Pendidikan Agama yang Intensif

Jauhnya dari ajaran agama adalah pangkal dari kemaksiatan. Remaja-remaja


muslim seharusnya diarahkan untuk giat mempelajari ilmu-ilmu agama yang berasal
dari al-Qur'an dan sunnah. Dengan mengenal agama dengan baik maka keinginan
untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama dapat diredam.

Manusia adalah makhluk yang lemah terhadap syahwatnya, sebagaimana dalam


firman Allah Ta'ala (yang artinya) :

“Allah hendak memberikan keringanan bagi kalian dan manusia itu diciptakan
dalam kondisi lemah.” (QS. An-Nisa: 28).

Ayat ini merupakan pesan pungkasan setelah Allah menjelaskan tentang


beberapa aturan nikah dari ayat 19- 28 di surat An-Nisa. Oleh karena itu, para ahli
tafsir menegaskan, yang dimaksud lemah dalam ayat tersebut adalah lemah dalam
urusan syahwat, lemah dalam urusan wanita. Laki-laki begitu mudah hilang akal dan
sangat mudah tergoda dengan wanita. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2:267)

Hanya dengan keimanan yang kuat syahwat yang menggoda itu bisa
dikalahkan. Keimanan hanya dapat disuburkan dengan ilmu agama dari al-Qur'an dan
as-Sunnah yang shahih. Maka sudah sepatutnya kegiatan-kegiatan menuntut ilmu
agama yang dilakukan oleh remaja muslim didukung dengan baik.

Kedua: Pendampingan Orang Tua


Orang tua memegang peranan penting dalam mendidik anaknya. Meski
anaknya telah dimasukkan dalam sekolah namun pengawasan terhadap anak tetap
menjadi kewajiban orang tua, bukan pihak sekolah. Bagaimana pun sibuknya dalam
mencari nafkah, orang tua yang baik akan tetap meluangkan waktu untuk
memberikan perhatian kepada anaknya. Membantu mereka dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Mengarahkan mereka dalam
pergaulan yang baik dan kegiatan-kegiatan yang positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang kurang mendapat perhatian


dari kedua orang tuanya cenderung mencari perhatian yang lebih di luar rumah.
Mereka lebih percaya kepada temannya daripada kedua orang tuanya. Anak dalam
kondisi seperti ini rentan untuk salah pergaulan, apalagi jika mereka mendapatkan
teman yang buruk.

Anak adalah amanah dari Allah bagi orang tua, tidak sepatutnya ia disia-
siakan dengan bermasa bodoh terhadap pendidikan dan masa depan anak. Selama ini
kita sering mendengar tentang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Namun para
orang tua seharusnya berhati-hati, jangan sampai mereka juga termasuk orang tua
durhaka kepada anaknya, karena lalai dari amanah yang telah diberikan kepadanya.

Ketiga: Menutup tempat-tempat Maksiat

Tempat-tempat maksiat seperti lokalisasi pelacuran atau rumah bordil sudah


seharusnya ditutup oleh pemerintah. Pembiaran tempat tersebut sangat paradoks
(bertentangan) dengan program pemerintah untuk mengurangi jumlah penderita
HIV/Aids dan penyakit lain yang diakibatkan oleh seks bebas. Ibarat ingin membasmi
hama namun sumber hama malah dilokalisir, dipelihara, dijaga bahkan mengambil
keuntungan dari situ.

Kita berharap ada suara dari Menteri Kesehatan jika memang peduli dengan
penyebaran HIV/Aids untuk kampanye penutupan tempat-tempat pelacuran di
seluruh Indonesia.

Keempat: Memudahkan pernikahan


Menikah adalah salah satu cara yang efektif dalam menutup pintu zina.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk
menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan
dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)

Menikah dapat menundukkan pandangan pemuda dan mengurangi gejolak


hasratnya serta memelihara kesuciannya. Menikah juga melapangkan rezeki, Allah
Ta'ala berfirman (yang artinya):

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An-Nur: 32)

Demikian juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Ada tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan Allah. Yaitu seorang
mujahid fi sabilillah, seorang budak yang hendak menebus dirinya supaya merdeka
dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Ahmad)

Sayangnya, sekarang ini kebanyakan orang terdoktrin dengan pikiran bahwa


menikah akan menghambat karir, menikah baru bisa ketika kehidupan sudah mapan,
membuat langkah mereka surut dan takut untuk menikah. Keyakinan mereka
terhadap janji yang telah Allah Ta'ala Firmankan dan Rasulullah janjikan pun
memudar. Belum lagi kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi ledakan penduduk
sedikit banyak mempengaruhi pemuda agar tidak menikah di usia muda.

Selain itu menikah pun dipersulit dengan mahalnya biaya pernikahan


sebagaimana adat di beberapa daerah. Padahal dalam Islam, menikah hendaknya
dipermudah.
“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang
kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi
kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Jadi yang menjadi tolok ukur adalah agama dan akhlaknya, bukan berapa
besar uang pana'i-nya (uang belanja) untuk resepsi pernikahan.

Kampanye pemakaian kondom sejatinya bukanlah solusi yang tepat untuk


menghindari dampak buruk seks bebas. Bahkan justru sebaliknya, kampanye ini akan
menjadi peluang besar bagi pecandu syahwat untuk semakin bebas dalam
menyalurkan syahwatnya. Dalam semua permasalahan, Islam telah memberikan
solusi total dan menyeluruh. Kitapun harus mengakui bahwa betapa sempurnanya
aturan Allah Ta'ala dan betapa lemahnya aturan manusia yang terbatas akal
pikirannya. Wallahu Musta'an.

Anasisis Terhadap Kasus :

Perlu digaris bawahi bahwa setiap program yang bertujuan “mencegah”,


seperti Pekan Kondom Nasional, harus memegang teguh prinsip target: target
individu (siapa), target tempat (di mana), dan target metode (pemilihan cara
pencegahan yang tepat dan efektif sesuai dengan target individu/tempat).

Dalam konteks perilaku seks, target individu dalam pencegahan penularan HIV bisa
terbagi menjadi dua, yaitu individu dengan perilaku seks berisiko dan individu
dengan perilaku seks tanpa risiko. Secara garis besar, cara pencegahan penularan HIV
melalui aktivitas seks – seperti yang disarankan oleh pakar HIV dunia – terdiri dari
tiga cara: Abstinence, Be Faithful otherwise use Condom (disingkat “ABC”):
 A (Abstinence) : Tidak melakukan seks sebelum menikah.
 B (Be faithful) : Ketika sudah menikah setialah pada pasangan (tidak melakukan
seks bebas).
 C (Condom) : Jika tidak bisa menjalani A dan B – alias “tidak kuat imannya”,
seperti yang dikutip dari kata-kata Menteri Kesehatan dalam video sebelumnya –
maka gunakanlah kondom.

Merujuk kepada penjelasan lebih lanjut tentang pencegahan penularan HIV


melalui metode ABC, maka ketika ditelaah lebih lanjut bisa dikatakan bahwa ketiga
cara tersebut tersusun berdasarkan urutan prioritas. Posisi kondom terletak pada
urutan terakhir dan ditujukan hanya untuk populasi tertentu: individu dengan perilaku
seks berisiko.

Konsekuensi Pekan Kondom Nasional

 Kesalahan persepsi
Di lapangan, pada kenyataannya (terlepas dari kesalahan koordinasi atau hal
lain) pelaksanaan PKN melenceng dari target individu dan tempat: menyebarkan
kondom di area kampus atau di tempat umum; bukan di area risiko tinggi-
penularan. Ditambah lagi dengan informasi terkait PKN yang simpang siur dan
mendapat “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan pacarnya” dari
individu/oknum yang menyebarkan kondom. Hal ini menyebabkan kesalahan
dalam interpretasi PKN di kalangan generasi muda terutama remaja usia-sekolah.
Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang efektif dan
tepat dalam memproses informasi.
Mereka bisa saja berpikir, “Tidak mengapa melakukan seks asal pakai
kondom.”
Ingat! Yang salah sejak awal adalah perilaku seks berisiko; bukan memakai
atau tidak memakai kondom.
 Meningkatnya perilaku berisiko
Berdasarkan hasil evaluasi program pencegahan penularan HIV dari negara-
negara lain, disebutkan bahwa jika metode atau program untuk menurunkan risiko
penularan HIVyang disebabkan oleh perilaku seks berisiko seperti PKN dianggap
berhasil maka hal ini justru dapat dikompensasi dengan peningkatan perilaku seks
berisiko [4]. Dengan kata lain, jika program ini berhasil menekan angka
penularan HIV maka individu dengan perilaku berisiko semakin bermunculan,
semakin menjadi, dan sebagainya. Oleh karena itu, program yang
bertujuan mengubah perilaku seks berisiko harus tetap menjadi pondasiuntuk
mencegah penularan HIV; pusat dari segala permasalahan ini adalah perilaku seks
berisiko.

Apa yang bisa dilakukan?

Perkuat sosialisasi A (Abstinence) dan B (Be faithfull) sebagai cara pencegahan


penularan HIV, baik terhadap individu dengan perilaku seks berisiko maupun tidak.
Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui pendidikan dan pemahaman keagamaan sejak
usia dini, utamanya, dan pendidikan kesehatan. Di sinilah letak peran penting orang
tua atau orang terdekat untuk mengontrol, mengarahkan, atau mendukung perubahan
perilaku berisiko.

Adapun untuk individu dengan perilaku seks berisiko, selain tetap melakukan
penguatan Adan B, terdapat tambahan perlakuan khusus agar bisa mengubah
perilaku. Para ahli merekomendasikan beberapa prinsip yang bisa dilakukan agar
intervensi untuk merubah perilaku bisa efektif [4].

Yang perlu digarisbawahi terkait prinsip ini adalah bahwa (1) mengubah perilaku
itu sangat sulit sehingga membutuhkan waktu. Selanjutnya, prinsip ini mengatakan
bahwa (2) partisipasi dari pihak-pihak yang terkait mutlak diperlukan (perlu kontrol
dari sistem/lingkungan sekitar untuk mengubah perilaku). Selain itu, dalam konteks
mengubah perilaku seks berisiko, (3) hendaknya intervensi yang dipilih – sebagai
usaha untuk mengubah perilaku – bukan intervensi yang “terkesan” memfasilitasi,
dalam hal ini dengan menyebar kondom; kegiatan PKN identik dengan penyebaran
kondom. Sebagai tambahan, perlu diterapkan “efek jera”, yang tentu saja disesuaikan
dengan target perilaku yang ingin diubah. [4]
Ke depan, jika pendidikan dan pemahaman keagamaan berhasil secara tepat dan
benar, pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan
penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.

Kesimpulan :

Pencegahan kehamilan remaja dengan pembagian kondom gratis bukanlah cara


yang baik dan efektif. Pembagian kondom gratis hanya berujung melegalkan
perzinaan. Sedang perzinaan adalah suatu yang tidak dibenarkan dalam agama.

Kampanye pemakaian kondom sejatinya bukanlah solusi yang tepat untuk


menghindari dampak buruk seks bebas. Bahkan justru sebaliknya, kampanye ini akan
menjadi peluang besar bagi pecandu syahwat untuk semakin bebas dalam
menyalurkan syahwatnya. Dalam semua permasalahan, Islam telah memberikan
solusi total dan menyeluruh. Kitapun harus mengakui bahwa betapa sempurnanya
aturan Allah Ta'ala dan betapa lemahnya aturan manusia yang terbatas akal
pikirannya. Wallahu Musta'an.

Anda mungkin juga menyukai