SECARA BEBAS
OLEH :
Publik pantas menolak PKN yang berlangsung sejak tahun 2007 itu, karena tidak
efektif dan justru memicu perilaku seks bebas (free sex) di kalangan remaja dan
mahasiswa/i. Apalagi, salah satu agenda PKN adalah menghadirkan bus-bus PKN di
sejumlah kampus di Indonesia. Untung, publik bereaksi cepat sehingga program yang
akan digelar pada 1-7 Desember 2013 sebagai rangkaian peringatan Hari AIDS
Sedunia di Indonesia ini bisa disetop.
"Kegiatan ini malah menjadi promosi untuk melakukan free sex (di kalangan remaja
dan mahasiswa/i). Bisa disebut, bawahan Presiden SBY menganggap negeri kita
sebagai lokalisasi prostitusi," jelas Muhtadin dalam siaran persnya, pekan lalu.
Faktanya, kata dia, kondom tidak menjamin 100 persen seseorang tertular virus
HIV/AIDS. Yang terpenting untuk mencegah virus mematikan itu adalah
meningkatkan iman, akhlak, moralitas, serta menjauhi gaya hidup free sex. "Pemuda
Muslimin Indonesia mengimbau masyarakat luas untuk memboikot dan menolak
dengan keras kampanye kondom gratis ini," tegas Muhtadin.
Pemerintah mengakui, selain narkoba dan penyebaran virus HIV/AIDS, saat ini
perilaku seks bebas menjadi masalah utama remaja di Indonesia. Pelaksana Tugas
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Subagyo
menyatakan, hal tersebut merupakan masalah serius karena jumlah remaja sangat
banyak dari populasi penduduk. "Yakni sekitar 26,7 persen dari total penduduk,"
ujarnya.
Fakta mengkhawatirkan terdapat pada penelitian Survei Kesehatan Reproduksi
Remaja Indonesia pada tahun 2007. Perilaku seks bebas bukan sesuatu yang aneh
dalam kehidupan remaja Indonesia.
Pada tahun 2009, Kemenkes merilis perilaku seks bebas remaja dari hasil penelitian
di empat kota: Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya. Hasilnya, sebanyak
35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual
sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual
pranikah.
Blundernya aksi PKN dan maraknya kasus seks bebas di kalangan remaja dan pelajar
juga disikapi secara prihatin oleh tokoh agama dan DPR. Pimpinan Ponpes Daarul
Quran Bulak Santri KH Yusuf Mansur mempertanyakan naluri Menteri Kesehatan
(Menkes) Nafsiah Mboi terkait PKN ini.
(https://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/12/13/mxoz43-
kontroversi-pekan-kondom-nasional-dan-seks-bebas )
Seandainya masyarakat hidup dalam tatanan sosial yang benar; pria dan
wanita tidak bercampur dan tidak bergaul bebas, saling menghormati, free-sex
dianggap sebagai penyakit sosial, niscaya masyarakat akan hidup tenang. Berbagai
penyakit menular seksual juga tidak akan mewabah.
Namun bila tatanan sosial sudah rusak, dimana pria dan wanita dibiarkan
bergaul bebas tanpa batas, perzinahan dianggap perkara lumrah, maka berbagai
bencana penyakit akan melanda. Nabi saw. bersabda:
«…ت فِى ْ PPض ُ اPPا فِي ِه ُم الطَّاعُونُ َواألَوْ َجP ا إِالَّ فَ َشPPَوا بِهPPُط َحتَّى يُ ْعلِنP
َ ع الَّتِى لَ ْم تَ ُك ْن َم ُّ Pَوْ ٍم قPPَةُ فِى قP اح َش
ِ َر ْالفPP ْ لَ ْم ت
ِ ََظه
الَفِ ِه ُمPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPP»…أَ ْس
“…Tidaklah tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani terang-
terangan melakukannya, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un
dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang telah lalu…”
(HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)
Jika dengan semua itu masih juga ada yang melanggar, maka tindakan kuratif
harus diterapkan. Betul pengidap HIV/AIDS tidak bisa disamakan semuanya. Mereka
jadi korban, tertular oleh suami/isteri, anak tertular ibunya, orang tertular dari
transfusi atau sebab selain seks bebas, mereka akan diobati dan dijamin
pengobatannya oleh negara secara gratis. Sementara selain mereka maka selain
diobati, juga harus dijatuhi sanksi seusai kemaksiyatan, sanksi yang dilakukan yang
membuat jera pelaku dan menimbulkan efek gentar bagi publik sehingga tidak berani
melakukannya. Pelaku zina, jika belum menikah (ghayr muhshan) harus dijilid
seratus kali jilid. Sementara yang sudah pernah menikah (muhshan) harus dirajam
hingga mati. Pelaku homoseksual dijatuhi hukuman mati, subyek dan obyeknya, jika
melakukannya sama sama rela. Sementara pengguna narkoba dijatuhi sanksi ta’zir
yang jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi sesuai
koridor syariah.
Maka hanya sistem Islam sajalah yang bisa menyelamatkan masyarakat dari
seks bebas dan berbagai akibatnya diantaranya penyakit menular termasuk
HIV/AIDS.
“Allah hendak memberikan keringanan bagi kalian dan manusia itu diciptakan
dalam kondisi lemah.” (QS. An-Nisa: 28).
Hanya dengan keimanan yang kuat syahwat yang menggoda itu bisa
dikalahkan. Keimanan hanya dapat disuburkan dengan ilmu agama dari al-Qur'an dan
as-Sunnah yang shahih. Maka sudah sepatutnya kegiatan-kegiatan menuntut ilmu
agama yang dilakukan oleh remaja muslim didukung dengan baik.
Anak adalah amanah dari Allah bagi orang tua, tidak sepatutnya ia disia-
siakan dengan bermasa bodoh terhadap pendidikan dan masa depan anak. Selama ini
kita sering mendengar tentang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Namun para
orang tua seharusnya berhati-hati, jangan sampai mereka juga termasuk orang tua
durhaka kepada anaknya, karena lalai dari amanah yang telah diberikan kepadanya.
Kita berharap ada suara dari Menteri Kesehatan jika memang peduli dengan
penyebaran HIV/Aids untuk kampanye penutupan tempat-tempat pelacuran di
seluruh Indonesia.
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk
menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan
dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)
“Ada tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan Allah. Yaitu seorang
mujahid fi sabilillah, seorang budak yang hendak menebus dirinya supaya merdeka
dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Ahmad)
Jadi yang menjadi tolok ukur adalah agama dan akhlaknya, bukan berapa
besar uang pana'i-nya (uang belanja) untuk resepsi pernikahan.
Dalam konteks perilaku seks, target individu dalam pencegahan penularan HIV bisa
terbagi menjadi dua, yaitu individu dengan perilaku seks berisiko dan individu
dengan perilaku seks tanpa risiko. Secara garis besar, cara pencegahan penularan HIV
melalui aktivitas seks – seperti yang disarankan oleh pakar HIV dunia – terdiri dari
tiga cara: Abstinence, Be Faithful otherwise use Condom (disingkat “ABC”):
A (Abstinence) : Tidak melakukan seks sebelum menikah.
B (Be faithful) : Ketika sudah menikah setialah pada pasangan (tidak melakukan
seks bebas).
C (Condom) : Jika tidak bisa menjalani A dan B – alias “tidak kuat imannya”,
seperti yang dikutip dari kata-kata Menteri Kesehatan dalam video sebelumnya –
maka gunakanlah kondom.
Kesalahan persepsi
Di lapangan, pada kenyataannya (terlepas dari kesalahan koordinasi atau hal
lain) pelaksanaan PKN melenceng dari target individu dan tempat: menyebarkan
kondom di area kampus atau di tempat umum; bukan di area risiko tinggi-
penularan. Ditambah lagi dengan informasi terkait PKN yang simpang siur dan
mendapat “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan pacarnya” dari
individu/oknum yang menyebarkan kondom. Hal ini menyebabkan kesalahan
dalam interpretasi PKN di kalangan generasi muda terutama remaja usia-sekolah.
Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang efektif dan
tepat dalam memproses informasi.
Mereka bisa saja berpikir, “Tidak mengapa melakukan seks asal pakai
kondom.”
Ingat! Yang salah sejak awal adalah perilaku seks berisiko; bukan memakai
atau tidak memakai kondom.
Meningkatnya perilaku berisiko
Berdasarkan hasil evaluasi program pencegahan penularan HIV dari negara-
negara lain, disebutkan bahwa jika metode atau program untuk menurunkan risiko
penularan HIVyang disebabkan oleh perilaku seks berisiko seperti PKN dianggap
berhasil maka hal ini justru dapat dikompensasi dengan peningkatan perilaku seks
berisiko [4]. Dengan kata lain, jika program ini berhasil menekan angka
penularan HIV maka individu dengan perilaku berisiko semakin bermunculan,
semakin menjadi, dan sebagainya. Oleh karena itu, program yang
bertujuan mengubah perilaku seks berisiko harus tetap menjadi pondasiuntuk
mencegah penularan HIV; pusat dari segala permasalahan ini adalah perilaku seks
berisiko.
Adapun untuk individu dengan perilaku seks berisiko, selain tetap melakukan
penguatan Adan B, terdapat tambahan perlakuan khusus agar bisa mengubah
perilaku. Para ahli merekomendasikan beberapa prinsip yang bisa dilakukan agar
intervensi untuk merubah perilaku bisa efektif [4].
Yang perlu digarisbawahi terkait prinsip ini adalah bahwa (1) mengubah perilaku
itu sangat sulit sehingga membutuhkan waktu. Selanjutnya, prinsip ini mengatakan
bahwa (2) partisipasi dari pihak-pihak yang terkait mutlak diperlukan (perlu kontrol
dari sistem/lingkungan sekitar untuk mengubah perilaku). Selain itu, dalam konteks
mengubah perilaku seks berisiko, (3) hendaknya intervensi yang dipilih – sebagai
usaha untuk mengubah perilaku – bukan intervensi yang “terkesan” memfasilitasi,
dalam hal ini dengan menyebar kondom; kegiatan PKN identik dengan penyebaran
kondom. Sebagai tambahan, perlu diterapkan “efek jera”, yang tentu saja disesuaikan
dengan target perilaku yang ingin diubah. [4]
Ke depan, jika pendidikan dan pemahaman keagamaan berhasil secara tepat dan
benar, pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan
penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.
Kesimpulan :