Anda di halaman 1dari 4

Gaul Bebas Marak Negara Gagal Lindungi Generasi

Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Kasus siswi berinisial MA melahirkan di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Bireuen
menjadi pemberitaan nasional. Laman cnnindonesia.com pada 16/3/2021 menyampaikan
bahwa siswi tersebut melahirkan setelah mengikuti ujian akhir sekolah (UAS). Peristiwa ini
tentu menjadi tamparan yang sangat keras bagi masyarakat Aceh. Hal ini membuktikan negara
gagal melindungi generasi dari pergaulan bebas.

Selain narkoba dan HIV/AIDS, seks bebas telah menjadi masalah utama remaja di Indonesia.
Mengutip dari liputan6.com tertanggal 19/9/2019, menyampaikan sebuah studi terbaru bahkan
menemukan masih ada anak muda yang melakukan hubungan seks penetrasi tanpa
menggunakan kondom. Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat alat
kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen
remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi.

Dari hasil tersebut, dr. Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser
Indonesia menyebutkan bahwa 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun.
Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah. Hasil temuan dari survei
yang dilakukan secara daring ini juga menemukan bahwa dari 33 persen remaja tadi,
setengahnya tidak menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom. Temuan ini seakan
menunjukkan adanya urutan dari pengalaman seks yang diterima oleh para remaja di
Indonesia. Di mana kebanyakan dari peserta mendapatkan tanda pubertas pertama di usia 12
sampai 17 tahun, menerima pendidikan seks di usia 14 sampai 18 tahun, dan merasakan
pengalaman seks penetrasi pertama di usia 18 sampai 20 tahun.

Memang dekadensi moral telah sampai pada batas yang membahayakan nasib generasi ke
depan. Ini adalah survey yang dilakukan di Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia. Dan
Aceh adalah lanskap penerapan Islam di Indonesia. Dengan otonomi khusus dan penerapan
syariah Islamnya, seharusnya kasus siswi madrasah di Bireuen cukup menjadi alarm untuk
bersegera menyelamatkan bangsa dari ancaman pergaulan bebas.

Indonesia sejatinya telah meratifikasi program Kesehatan Reproduksi (Kespro) yang digagas
oleh International Conference Population Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo. Indonesia
merupakan salah satu negara yang diwajibkan (baca: dipaksa) menerapakan konsep itu.
Termasuk didalamnya gagasan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), elemen Kespro yang
diharapkan mencegah remaja dari seks pranikah dan berbagai masalah reproduksi.

Sejak itu hingga kini program ini terus bergulir, diimplementasikan melalui Departemen
Kesehatan, BKKBN, Departemen Pendidikan Nasional, dan berbagai instansi terkait, termasuk
LSM dalam dan luar negeri. Hasilnya? Jangankan mencegah seks pranikah, justru
menjerumuskan remaja pada pergaulan bebas. Seks bebas yang menjadi pangkal masalah
kesehatan reproduksi remaja, justru semakin lekat dengan kehidupan mereka. Buktinya, praktik
seks bebas semakin meningkat tajam di kalangan kaum muda, justru setelah adanya program
KRR ini.

Berdasarkan penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) di 12 kota besar di Indonesia pada
1992-sebelum ada program KRR-pelaku seks pranikah 10-31%. Hasil penelitian Komisi Nasional
Perlindungan Anak (KPA) di 33 provinsi pada 2008, atau setelah 14 tahun KRR diterapkan,
pelaku seks pranikah malah naik jadi 62,7%. Artinya, 26,23 juta remaja hidup bergelimang
syahwat.

Masih berdasar survei KPA 2008 itu, 25% atau sekitar 7 juta remaja yang melakukan seks
pranikah dan hamil, memilih aborsi. Angka itu meroket lebih dari 50% dibanding 2002-sebelum
ada KRR, dimana janin yang diaborsi `baru’ 3 juta kasus (Media Indonesia, 2/10/2002).

Sementara data per Juni 2019, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 349.883.
Melalui akun resmi twitter @KemenkesRI yang dikutip InfoPublik pada 2/12/2016, estimasi
jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 640.433 dengan penyebaran ke seluruh
provinsi di Indonesia. hal ini menandakan bahwa tidak ada daerah yang benar-benar bebas dari
HVI/AIDS. Penderita terbanyak terjadi pada kelompok usia 25-49 tahun (71%), diikuti usia 20-24
tahun (14,4%) dan kelompok diatas 50 tahun (9%). Belum lagi ditambah dengan kasus kanker
seviks pada remaja yang kini jadi pembunuh utama di Indonesia.

Hal ini jelas berbahaya karena berdampak buruk bagi kualitas generasi. Oleh karenanya penting
untuk mendalami bahaya KRR ala ICPD yang kini masif di terapkan ke remaja Muslim. KRR di
gagas di Barat karena remaja dianggap kurang paham soal seks dan Kespro, sehingga cenderung
melakukan seks bebas. Remaja dianggap belum terpenuhi hak-hak reproduksinya seperti hak
mendapatkan informasi dan pendidikan Kespro dan belum terwujud keadilan dan kesetaraan
gender yang menginginkan agar reproduksi tidak harus dalam bingkai keluarga.

Tak heran bila konten KRR berupa penjelasan tentang perubahan fisik dan psikis remaja; alat
kelamin (organ reproduksi) baik anatomis maupun fungsi fisiologis berikut bagaimana proses
reproduksi terjadi; kehamilan dan cara pencegahan kehamilan tak diinginkan (KTD) dan aborsi
“aman”, keberadaan LGBT harus diakui sebagai sebuah identitas seksual; seks bebas yang
“aman” dan info tentang berbagai penyakit menular seksual serta cara pencegahannya.

Soal seks “aman”, dalam KRR digagas konsep ABCD. A:abstinence, yaitu menahan diri untuk
tidak melakukan hubungan seks, B: be faithfull atau setia pada pasangan. C: condom, yaitu
gunakan kondom agar tidak terkena penyakit menular dan mencegah kehamilan. Singkatnya
konsep ini bermakna, jika remaja ingin Kespro-nya sehat, jangan melakukan aktivitas seksual.
Namun jika tak mampu menahannya, lakukan dengan pasangan setia (pastinya bukan pasangan
halal dari pernikahan, karena nikah dini dianggap buruk oleh KRR). Jika tak mampu setia
bagaimana? Gunakan kondom saja.
Faktanya, dari ABCD itu, konsep C paling gencar dipromosikan. Sejak dicanangkan 100%
kondom oleh KPAI, maka kondom semakin mudah diakses dimana saja. ATM kondom tersedia
di mall dan pusat perbelanjaan, apotik dan disediakan dilaci-laci kamar hotel.

Konsep berikutnya yang digagas KRR adalah aborsi “aman”. Jika seks berakibat KTD, remaja
berhak melakukan aborsi demi terwujudnya mental yang sehat, sebagaimana definisi sehat ala
ICPD. Untuk itu remaja difasilitasi mengakhiri hasil perzinahannya dengan aborsi “aman”.
Praktik aborsi kerap dikaburkan dengan istilah induksi kehamilan, padahal sejatinya yang
dimaksud adalah abortion provokatus criminalis, aborsi yang terkategori kriminal.

Tentu kita masih ingat bagaimana perdebatan pasca terbitnya Permenkes No. 3 Tahun 2016
tentang Pelayanan Aborsi. Terdapat 2 kategori aborsi “legal” dalam UU Kesehatan yaitu
perempuan dengan indikasi kedaruratan medis baik karena mengancam nyawa ibu/janin
maupun karena mempersulit hidup si bayi begitu lahir (masalah genetik). Terdapat klausul
tentang kebolehan aborsi bagi korban perkosaan yang disertai dengan visum dan surat
keterangan ahli. Ini menjadi dalih aktivis pro aborsi bahwa pelaku aborsi kebanyakan korban
perkosaan atau pelaku aborsi kebanyakan pasangan nikah, akibat gagal KB atau alasan lain.
Sehingga aborsi harus dilegalkan tanpa syarat karena bagian dari hak-hak reproduksi.

Upaya ini kemudian diwujudkan melalui renstra Keluarga Berencana Internasional (IPPF).
Berdasarkan catatan tahun 2005, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) telah
mendirikan 9 klinik Kespro terpadu dan 40 klinik sederhana yang tersebar di 25 provinsi di
Indonesia. Selain itu PKBI juga memiliki pelayanan sahabat remaja di beberapa provinsi lainnya.

Untuk melatih keterampilan aborsi “aman” bagi paramedis,kala itu telah diuji coba penggunaan
AVM (Aspirasi Vakum Manual) di sentra-sentra pendidikan kebidanan, puskesmas-puskesmas
dan praktik aborsi di 8 rumah sakit pendidikan di Indonesia (kesuma, 2004). Walhasil, jika aborsi
dibolehkan, remaja semakin santai melakukan seks bebas. Termasuk aktivitas seks sejenis yang
menurut konsep KRR ala ICDP sebagai identitas seksual bukan penyimpangan.

Jika dicermati, isi dan ilustrasi KRR tak berbeda dengan konten porno. Sejatinya hal ini tak layak
dipertontonkan pada remaja SMP-SMA dan seusianya yang belum menikah. Bagi remaja
normal, setelah mendapatkan penjelasan KRR dijamin akan terbentuk persepsi seksual yang
justru merangsang sexual desire. Ditambah lagi serbuan konten porno diluar KRR yang terserak
dalam berbagai film, sinetron,anime, games,vlog dan lain-lain. Semakin lemahlah pertahanan
generasi.

Sementara liberalisasi seks semakin merebak, ketika pemenuhan seksual yang halal justru
dihalang-halangi, bahkan ditutup. Misal dengan melabeli pernikahan usia muda dengan citra
negatif karena dituduh membahayakan kesehatan, melanggar hak anaklah, mengakibatkan
penderitaan, KDRT, tren perceraian, hingga menurunkan kualitas remaja dan masa depan
generasi. Lalu dipopulerkanlah istilah mematangkan usia nikah. Bahkan dalam konsep KRR
ICPD, larangan nikah dini mendapat porsi pembahasan secara khusus. Finally, remaja digiring
untuk lebih memilih seks bebas daripada nikah usia dini.
Demikianlah ulasan yang cukup panjang tentang pergaulan bebas yang hadir sebagai
konsekuensi penerapan aturan dan gaya hidup Barat sekaligus dengan solusi ala Barat pula
yaitu KRR yang sangat berbahaya. Hingga kini dekadensi moral semakin parah mengindikasikan
bahwa negara dengan sejumlah konsep tersebut telah menjerumuskan generasi semakin dalam
dan gagal dalam memberikan perlindungan.

Lebih lanjut konsep tersebut berpeluang besar dalam mengikis akidah dan menyerang syariah,
sebagaimana tema-tema perlindungan anak dan remaja yang diulas berbagai media. Padahal
satu-satunya tongkat penyelamat generasi adalah penerapan Islam sebagai way of life (jalan
hidup).

Anda mungkin juga menyukai