Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menilai kinerja 100 hari Joko Widodo-
Ma'ruf Amin di periode keduanya memimpin negara cenderung membebankan rakyat.
Menurut Natalius, Jokowi kebanyakan hanya menaikan harga-harga iuran yang seharusnya
bisa dijangkau masyarakat kecil (merahputih.com 1/02/2020).
Natalius menilai pemerintahan Jokowi kebingungan memulai konsep program prioritas kerja
periode 2019-2024. Jokowi selaku kepala negara menyampaikan implementasi sejumlah
prioritas program kerja periode 2019-2024 yang disampaikan pada 20 Oktober 2019.
Beberapa program prioritas itu seperti pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan
infrastruktur. Rencana RUU Omnibus Law untuk penyederhanaan regulasi dan menggenjot
investasi juga menuai protes.
Natalius menyebut pemerintahan Jokowi saat ini seperti memperlihatkan defisit moral di
dalam elite partai politik serta pejabat. Munculnya kasus korupsi seperti Asuransi Jiwasraya,
Asabri juga terjadi dalam 100 hari Jokowi. Pejabat BUMN sebagai bagi-bagi jatah kekuasaan.
"Penyusunan kabinet dan pejabat di BUMN menunjukkan suatu fakta bahwa Jokowi adalah
komprador. Bahkan bagian dari oligarki politik dan ekonomi," jelas eks komisioner Komnas
HAM itu.
100 hari pertama biasanya menjadi cerminan perjalanan 4 tahun kemudian. Banyak pakar
memperkirakan masa-masa yang tersisa menjadi semakin gloomy (suram) bagi Indonesia.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, MA, Ph.D menilai
demokrasi Indonesia kurang berkualitas karena pillar-pilarnya belum kokoh dan belum
berbenah diri. Para Elit politik tak berhenti bermanuver hanya untuk menyelamatkan
kepentingan diri dan kekuasaan.
Kondisi ini tentu berpengaruh pada kualitas pemerintahan. Upaya untuk membangun tata
kelola pemerintahan yang baik menjumpai banyak kendala. Rakyat terlanjur meyakini
bahwa aspirasinya tidak diakomodasi. Sensitivitas pemerintah terhadap penderitaan rakyat
hilang seiring berkurangnya atensi penguasa kepada rakyat. Kebijakan yang dibuat
cenderung elitis. Parpol yang tadinya diharapkan sebagai rumah demokrasi yang
mengedepankan kebutuhan rakyat malah menjadi rumah para elit yang kepentingan-
kepentingannya harus senantiasa dijaga dengan baik.
100 hari pertama menunjukkan pemerintahan ini gagal mewujudkan lingkungan yang
mengedepankan nilai-nilai positif yang saling menguatkan (empowering). Termasuk gagal
menjembatani kedekatan antara penguasa dengan rakyat untuk kemudian mendorong
terciptanya kluster ekonomi baru yang bermanfaat bagi kemakmuran rakyat. Demokrasi
telah menunjukkan jati dirinya tanpa malu-malu lagi.
Oligarki merupakan wajah dari masa depan Indonesia, demokrasi pluralis dalam mekanisme
kartel meniadakan idiologi. Pragmatisme akan mendominasi dan menjadikan politik sebagai
ajang kompetisi elit untuk elit. Koordinasi antar elit politik akan meminimalkan persaingan
dan mengontrol keuntungan, sehingga oposisi mutlak adalah suatu kemustahilan. Untung
rugi menjadi pembahasan wajib, dan kartel akan menjaga jaring-jaring korupsi.
Namun ada hal baru yang harus diapresiasi dari 100 hari pertama ini yaitu menguatnya
diskursus tentang Khilafah Islamiyah. Media cetak dan media elektronik ramai-ramai
membahas tema ini dari berbagai sudut pandang. Dalam laporan IDN Research Institute
yang bertajuk Indonesia Millenial Report menunjukkan bahwa 1 dari 5 millenial setuju
dengan sistem pemerintahan Khilafah (databoks.katadata.co.id). Berdasarkan hasil survey
tersebut sebanyak 19,5 % kaum milenial menyatakan bahwa Indonesia lebih ideal menjadi
negara Khilafah.