Anda di halaman 1dari 3

JKA STOP, SALAH SIAPA?

Part 1
Aisyah Karim

Ditengah wacana pemutusan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang menggemparkan seantero
nanggroe, Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (Geram) pada Senin (21/3/2022)
melakukan demontrasi menuntut kelanjutan JKA. Dialeksis.com pada 21/3/2022
menyampaikan bahwa massa meminta DPRA dan Pemerintah Aceh menyepakati soal
keberlanjutan JKA. Hal ini karena kelangsungan JKA sangat ditentukan oleh adanya
komitmen alokasi anggaran pada APBA perubahan nantinya.

Harapan itu bukan tanpa alasan, pasalnya dua pilar penguasa ini terlibat adu opini di media.
Awalnya Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA memberi kritikan pedas terhadap
Ketua Umum DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf yang meminta Ketua DPRA yang baru,
Saiful Bahri mempertahankan program JKA. Menurut MTA, pernyataan Muzakir Manaf
tersebut seakan-akan inisiatif sepihak dari Pemerintah Aceh. Padahal menurutnya,
keputusan ini adalah sikap bersama Pemerintah Aceh bersama DPRA saat proses
pembahasan APBA 2022 dengan tujuan mengevaluasi kepesertaan JKA dan JKN yang diduga
tumpang tindih (tribunnews.com pada 18/3/2022).

Menurut MTA, Muzakir cukup perintahkan saja Ketua DPRA baru yang juga merangkap
sebagai Ketua Banggar DPRA untuk mengembalikan Rp900 miliar anggaran JKA yang
dialihkan untuk program pokir. MTA berpandangan hal itu lebih strategis daripada
membangun politik standar ganda. Standar ganda dimaksud karena satu sisi anggota
Banggar didominasi anggota DPRA dari PA, termasuk Ketua Banggar. Sementara
penghentian JKA diputuskan bersama Banggar dan TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh).
Nah, lho malah Muzakir meminta Ketua DPRA mempertahankan JKA?

Tak tinggal diam Juru Bicara Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA PA), Nurzahri,
menyerang balik Jubir Pemerintah Aceh terkait pernyataannya tersebut. Menurutnya klaim
bahwa anggaran JKA dialihkan ke dana pokir DPRA adalah hal yang menyesatkan.
Pernyataan MTA akan menjadi preseden buruk karena dapat diduga telah terjadi
persengkongkolan antara Gubernur dan DPRA, untuk mengubrak-abrik Program JKA.

Menanggapi drama kolosal ini, Ketua Koalisi Masyarakat Aceh bersatu (KMAB), Fahmi
Nuzula menilai kebijakan Pemerintah Aceh menghapus JKA adalah sebuah komedi
dihadapan rakyat. Menurutnya legislatif dan eksekutif sedang bermain sinetron
(lintasgayo.co, 16/3/2022).

Pada akhirnya rakyat dipaksa berpikir keras, lha alasan yang disampaikan duo penguasa trias
politica Aceh itu tidak logis. Penguasa beralasan setelah dievaluasi ternyata JKA banyak
dimanfaatkan oleh pihak tertentu, terkesan menjadi ladang korupsi. Nah, bukannya JKA ini
diselenggarakan oleh pemerintah, jika pengelolanya curang mengapa JKA-nya yang dihapus,
akhirnya rakyat yang menjadi korban tidak dapat berobat ditengah serbuan Omicron yang
mulai mewabah. Jadi ini salah siapa? Bagaimana kita mengurai benang kusut ini?
Siapapun yang mengkaji persoalan politik, tidaklah sulit menjawab semua permasalahan ini.
Jika terjadi polemik lihatlah hal yang paling mendasar dari problematika itu yaitu pada
ideologinya. Ideologi apa yang mengelola urusan rakyat dengan pola program jaminan
kesehatan nasional (JKN) ala Jaminan Kesehatan Aceh ini?

Selama ini perlindungan kesejahteraan rakyat di nanggroe muetuwah ini diatur dengan
prinsip kufur yang disebut kapitalisme, bukan dengan syariat Islam yang agung. Kapitalisme
ini adalah ideologi yang mengharamkan campur tangan negara dalam mengurus urusan
rakyat kecuali pada beberapa bidang tertentu dengan tetap mengedepankan aspek ekonomi
yaitu mencari untung. Jadi negara offside, hanya memerankan posisi wasit atau regulator.

Kapitalisme meniscayakan sebuah bencana yang terus berulang yaitu inflasi disertai dengan
problematika ikutan seperti pengangguran dan kemiskinan. Terdapat jurang kesenjangan
sosial yang menganga diantara rakyat, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Sekali lagi jangan heran, satu persatu subsidi dihapus, termasuk subsidi kesehatan dan
keadilan sosial. Hal ini karena subsidi berupa jaminan pelayanan publik dan jaminan sosial
dianggap inefisiensi alias pemborosan.

Nah, jangan heran pula ketika pendidikan, kesehatan, dan hak-hak dasar manusia akhirnya
menjadi komoditas yang diperdagangkan dan dikomersilkan. Wajah Kapitalisme ini dalam
perjalanannya berkembang menjadi neoliberalisme (penjajahan gaya baru). Wujudnya bisa
diindera berupa kebijakan pasar global alias perdagangan bebas. Dengan itu, mereka
mencekik setiap negara anggotanya untuk taat pada arahan mereka, menjadikan setiap
arahan itu bak titah yang wajib diratifikasi di negara-negara anggota mereka termasuk
negeri ini.

Lebih lanjut, pakar ekonomi anti kapitalisme menyebutnya sebagai kejahatan pasar. Neolib
menganggap bahwa ekonomi yang dipimpin pasar (market let economic growth) yang akan
menyelesaikan urusan kesejahteraan rakyat. Makanya terkadang sebagiannya menyebut
istilah welfare state (negara kesejahteraan) untuk menipu masyarakat.

Nah siapa aktor yang memainkan peran dalam ekonomi pasar bebas ini? Tentu saja
korporatokrasi (meminjam istilah John Perkins penulis buku terkenal jejak hitam dedengkot
kapitalisme global, Amerika terhadap kemiskinan negara ketiga, Confession of an American
Hitman). Korporatokrasi sendiri adalah jejaring global korporasi yang bertujuan memetik
laba melalui cara-cara kerja yang mirip mafia namun berwajah malaikat penolong.

JKA yang selama ini bekerjasama dengan BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial) pada
dasarnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang diterapkan sejak 1 Januari 2014. JKN diawal kehadirannya dipropagandakan
sebagai jaminan kesehatan nyatanya adalah asuransi kesehatan nasional. Dua hal yang
sangat berbeda. Namun rakyat yang terpesona kadung ditawan hatinya oleh janji manis
subsidi silang dan gotong royong.

Pelaksanaan JKN adalah amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SjSN) dan UU No, 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan
kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Hak rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat.
Konsekuensinya, rakyat kehilangan haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang
seharusnya wajib dipenuhi oleh negara.

UU ini “menghilangkan” kewajiban dari negara dan memindahkannya ke pundak rakyat.


Rakyat wajib menanggung pelayanan kesehatannya sendiri dan sesama rakyat. Itulah prinsip
kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung
beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar
iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4). Seluruh
rakyat kemudian menyaksikan JKN ini tidak gratis, namun berbayar dimana pola
pembiayaannya terus meningkat hingga ketahap memalak rakyat. Mau dipakai layanannya
atau tidak sama sekali, sakit tak sakit, berobat atau tidak pokoknya wajib bayar.

Pungutan tidak hanya berlaku orang per orang, mereka yang mempekerjakan orang lain
pun wajib membayar asuransi kesehatan pekerjanya. Makin banyak pekerjanya, makin
besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa saja dimasukkan harga jual
produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali kepada rakyat pada umumnya. Lebih
menyesakkan lagi, jika telat bayar, tidak diberi layanan, bisa didenda, bahkan tidak diberi
pelayanan administratif publik. Pemberi kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan
pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah
kezaliman luar biasa. Sudah dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa dipidana.

Bisa dibayangkan akumulasi dananya? Se-Indonesia gitu loh, sebesar apa? Entahlah. Dana
Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan
BUMN (Pasl 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai
amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga,
termasuk Surat Utang Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber
dana baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana itu yang
diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin karena itulah Barat (khususnya
melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat getol bahkan mendikte agar SJSN dalam
bentuk asuransi sosial itu segera eksis dan berjalan.

Nah, sepanjang itulah riwayat kisruh JKA saat ini. Namun ini baru dari satu aspek. Bicara
bagaimana kepentingan para pemangku kekuasaan dalam menjaga keberlangsungan JKA,
tentu saja, kembali ke prinsip ideologi kapitalisme yang saat ini digunakan untuk mengatur
urusan rakyat. Sekali lagi, haram bagi penguasa memberikan subsidi bagi rakyat. JKA yang
tadinya berjalan adalah dana kompensasi dari peristiwa politik, yaitu dari dana otonomi
khusus yang semakin hari semakin mengecil, entah karena tidak amanah pengurusnya atau
karena sebab-sebab lainnya. Penguasa tidak akan memeras pemikirannya untuk melindungi
rakyatnya, inilah watak kapitalisme terselubung yang telah mengurat akar dalam politik
Aceh saat ini. Jadi salah siapa semuanya?

Anda mungkin juga menyukai