Anda di halaman 1dari 3

Banjir, Ecocide dan Extraordinary Crime

Aisyah Karim

Penghujung tahun 2021 sekaligus mengawali tahun 2022 menjadi masa-masa yang demikian
menyedihkan bagi penduduk jalur timur Aceh. Sejumlah empat kabupaten/kota di sepanjang
jalur ini mulai dari Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur dan Aceh Utara menghadapi
musibah banjir. Banjir juga merendam 3 kecamatan di Aceh Tenggara, yaitu kecamatan
Lawe Bulan, Lawe Sumur dan Bambel (sindonews.com 5/1/2022).

Pada Senin (3/1/2022) ketinggian air di Aceh Tamiang mencapai 4 meter sementara hujan tak
kunjung reda. Media Sindonews.com menayangkan video yang merekam 7 kecamatan di
kabupaten tersebut terendam banjir. Banjir ini diklaim sebagai banjir terburuk sejak banjir
bandang melanda kawasan itu pada 2006. Hampir seluruh wilayah Aceh Tamiang terkena
imbas sehingga memaksa ribuan warga mengungsi.

Kondisi yang sama menimpa warga Kota Langsa. Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Langsa mencatat 18 desa dalam Kota Langsa terdampak banjir. Desa-desa
tersebut tersebar dalam empat kecamatan. Ketinggian air mulai dari 50 hingga 170 cm.

Sementara BPDB Kabupaten Aceh Timur menyatakan sebanyak 13.715 warga dari 3.942
keluarga di kabupaten itu terdampak banjir. Sebagian besar diantara mereka terpaksa
mengungsi dan sisanya masih bertahan di rumah masing-masing. Banjir kali ini merenggut
satu nyawa penduduk karena terseret arus. Banjir bahkan menggenangi jalan nasional di
Sungai Raya dan Birem Bayeun.

Kondisi Aceh Utara lebih menyedihkan lagi, media suara.com pada 4/1/2022 menayangkan
gambar sejumlah mobil barang bukti Kepolisian mengapung terendam saat banjir melanda
kota Lhoksukon.. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara
mencatat banjir yang merendam 14 Kecamatan di daerah tersebut mengakibatkan 2.278 jiwa
terdampak dan satu orang anak meninggal dunia.

Sejatinya bencana ini sudah diingatkan oleh Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) tentang skenario terburuk dimana fenomena iklim terjadi bersamaan dengan puncak
musim hujan sejak awal Oktober silam. Sehingga sejak awal seharusnya peningkatan potensi
bencana hidrometeorologi telah diantisipasi.

Namun bukanlah bencana ini semata-mata karena faktor alam, hujan adalah rahmat Allah.
Yang menjadikan karunia Allah ini menjadi bencana tak lain adalah ulah ketamakan manusia.
Pengamat Hukum Lingkungan Hidup dan Sosial Aceh, M. Nur, mengatakan sebaran bencana
ekologis terjadi karena peluapan sungai diakibatkan tingginya debit air di musim hujan
(serambinews.com, 3/1/2022).

Namun jika ditelusuri lebih dalam tampak bahwa penyebab utama bencana tersebut adalah
alih fungsi hutan yang cukup tinggi. Untuk kawasan Aceh Utara dan Lhokseumawe
281.212,13 hektare atau 7,93 persen dari total seluruh kawasan hutan dan perairan yang ada
di Provinsi Aceh yang mencapai 3.549.813,00 hektare. Kawasan hutan ini terdiri dari Hutan
Lindung seluas 7.048,14 hektare, kawasan Hutan Produksi seluas 36.316,48 hektare, kawasan
Hutan Suaka Alam/Pelestarian Alam seluas 112,00 hektare dan Areal Penggunaan Lain
(APL) luasnya mencapai 237.735, 51 hektare.
Mantan Direktur Eksekutif Walhi itu menambahkan, terdapat dua perusahaan yang
beroperasi di wilayah Kecamatan Cot Girek dan Langkahan, Aceh Utara, dan berada di Hulu
Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureuto dan Krueng Jambo Aye, yang tentu ikut
bertanggung jawab atas perusakan hutan. PT. RPPI melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dengan area seluas 10.384
hektare berdasarkan izin gubernur dengan SK 522.51/569/2011 tanggal 17 Oktober 2011 Jo
SK 522.51/441/2012 tanggal 4 Mei 2012, ditambah izin yang diberikan kepada PT. MPT
seluas 8.015 hektare.

Keadaan ini diperparah dengan hadirnya replanting sawit dengan luas mencapai 8.682,5
hektare, sementara di tahun 2019 lalu tanaman sawit di Aceh Utara yang diremajakan
mencapai 3.080 hektare, sedangkan HGU mencapai 240.812 hektare. Sementara praktek
illegal logging juga terjadi di Aceh Utara dan Bener Meriah, Aceh Timur hingga Aceh
Tamiang. Dari sini tampak bahwa pemanfaatan hutan hanya menguntungkan para pemodal,
sementara masyarakat tetap miskin ditambah dengan bencana ekologis yang menambah
penderitaan mereka.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mendesak Pemerintah Aceh menetapkan keadaan
darurat banjir di pesisir Timur Aceh ini menjadi status bencana provinsi. Penetapan status ini
akan mendorong optmalisasi sumber daya manusia dalam penanganan bencana banjir ini,
terutama dalam hal evakuasi penduduk dan pemenuhan kebutuhan dasar korban
(merdeka.com, 3/1/2022). Namun hingga saat ini status tersebut belum ditetapkan.

Hal senada disesalkan oleh Zul (36) warga desa Lhok Dalam Kecamatan Peureulak yang
penulis sambangi. “Seharusnya ditetapkan status darurat kasihan masyarakat di pedalaman,
tidak cukup memadai dengan kunjungan pejabat dan mie instan, rumah mereka banjir, tidak
bisa mencari nafkah, tanaman mereka rusak, ternak mereka mati, anak mereka tidak bisa
sekolah bahkan listrik dan air bersih sulit,” ujarnya.

Banjir kali ini sejatinya adalah bencana tahunan, hanya saja cakupannya semakin meluas
menimbulkan kerugian yang semakin besar. Bukan hanya kerugian disisi harta namun juga
jiwa ikut melayang. Penderitaan masyarakat pesisir timur ini bisa silihat sebagai bentuk
kejahatan lingkungan atau bahkan telah mengarah pada ecocide. Ecocide atau ekosida adalah
kejahatan lingkungan yang telah terjadi secara meluas di seluruh Indonesia bukan hanya di
Aceh.

Apa yang menimpa hutan Aceh telah memenuhi unsur-unsur ekosida melalui praktek-praktek
buruk perambahan dan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh korporasi. Ecocide, bencana
eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam secara terbuka menurut kenyataan telah
mengarah pada tindakan kerusakan dan pemusnahan ekosistem dan sumber penghidupan
lingkungan hidup.

Kejahatan lingkungan hidup tergolong sebagai extraordinary crimes, sebuah kejahatan yang
terencana, sistematis, berdampak luas dan tidak dapat dipulihkan. Bencana banjir ini terkait
erat dengan musnahnya tutupan hutan di provinsi Aceh. Selain itu diperparah oleh rusaknya
lahan gambut, penambangan emas, perkebunan, pembalakan liar yang menyebabkan
rusaknya sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pada akhirnya bukan hanya manusia yang harus menanggung keserakahan para pemodal,
hewan pun tak luput dianiaya. Bukan rahasia lagi bahwa berkeliarannya hewan-hewan liar ke
pemukiman penduduk yang kerap mengisi pemberitaaan media beberapa waktu silam karena
terdampak bencana ecocide ini. Harimau, gajah, badak, kera telah terlibat konflik lahan
dengan manusia. Sebagian diantara mereka dibunuh dengan kejam karena dianggap sebagai
hama.

Disisi lain, negara yang diharapkan sebagai pengayom justru kemudian mengeluarkan
kebijakan yang anomali menambah derita dan kesedihan masyarakat. Terbitnya UU Ciptaker
yang telah diuji materiil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat tidak mampu
menghentikan kejahatan lingkungan malah menjadi payung hukum perusakan lingkungan.
Frasa bersyarat 2 tahun telah menjadi titik remang-remang yang mengisyaratkan kompromi
politik.

Tentu luka batin rakyat belum sembuh ketika beberapa waktu silam Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membuat pernyataan yang dinilai
bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap lingkungan. Pernyataan tersebut
bahkan di unggahnya di akun Twitter resminya @SitiNurbayaLHK pada Rabu (3/11/2021).
“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi
karbon atau atas nama deforestasi.” Bagaimana sosok Menteri LKH sanggup berujar
demikian? Untuk siapa sosok tersebut didudukkan? Bukankah untuk melindungi lingkungan?

Lalu bagaimana masa depan Aceh ini? Apakah menunggu luluh-lantak oleh bencana susulan,
atau bagaimana? Apakah para pemimpin cukup turun ke lokasi bencana dengan karung-
karung beras dan mie instan untuk menghibur masyarakat? Sampai kapan akan berujar bahwa
bencana disebabkan oleh curah hujan dan pasang tinggi? Sementara mereka tidak berhenti
menandatangani perpanjangan izin atau mengeluarkan izin baru untuk memuluskan bisnis
korporasi merusak lingkungan.

Padahal mereka adalah pemimpin, yang Allah bebankan amanah berat di pundaknya masing-
masing. Wahai pemimpin, setiap amanah itu akan dimintai pertanggung jawaban.
”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (TQS. Shad ayat 26).

Oleh karena itu memimpinlah dengan petunjuk Islam sebagai sebaik-baik jalan.
Wallahu`alam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai