Anda di halaman 1dari 3

KEK LIDO ROMANTISME PARIWISATA CANGGIH

Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Akhirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2021 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Lido ditandatangani Presiden. Kawasan ini dimiliki oleh PT MNC Land Tbk
melalui anak perusahaannya PT MNC Land Lido. Demikian ulasan laman idxchannel.com
pada 1/7/2021. KEK Lido memiliki luas 1.040 hektar yang terletak dalam wilayah Lido
Kecamatan Cigombong dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Dalam tahap pertama MNC akan membangun taman bertema (theme park) di atas lahan
seluas 100 hektare bernama MNC Park Lido. Taman ini akan menampilkan 6 zona bertema,
18 wahana, 15 pertunjukan dan atraksi, 18 gerai food and beverage, 21 aula gerai ritel, dan
sebagainya. Berdampingan dengan MNC Park Lido, akan dibangun pula Lido World Garden
yang akan menjadi eco-tourism dan family recreation  berstandar internasional.
Pembangunan wahana terinspirasi oleh Dubai Miracle Garden.

Selain itu, akan ada pula pembangunan vila, dan kondominium di atas lahan seluas 300 ha.
Dalam proyek ini, MNC disebut menggandeng mitra kerja dari luar negeri yakni Donald
Trump. MNC juga telah menandatangani MoU dengan PT Kereta Api Indonesia untuk
merelokasi stasiun KA Cigombong ke area MNC Lido City sebagai akses tambahan.

Harry Tanoe, dalam postingan Instagram pribadinya @hary.tanoesoedibjo mengunggah


sejumlah proyek telah dijalankan MNC Land. Pertama, lapangan Golf dan Country Club
berstandar PGA yang memiliki pemandangan langsung ke Gunung Gede dan Gunung Salak.
Lalu ada pula Lido Music and Arts Center yang digadang-gadang menjadi tempat live
music terbesar di Indonesia dengan kapasitas hingga 50 ribu pengunjung festival, serta
Movieland yang disebut akan menjadi kompleks produksi film terintegrasi pertama di
Indonesia dengan melibatkan MNC Studios International.

Bagaimana dengan pendanaannya? Pada 2017, Wakil Direktur MNC Land Herman Bunjamin
mengatakan kepada cnnindonesia.com perusahaannya telah mendapatkan
pendanaan letter of interest dari Chinese Export and Credit Insurance Corporation untuk
pembangunan theme park tersebut. Di mana, dana pembangunan itu akan berasal dari
Sinosure Insurance China, Bank of China, dan Construction of China selama 15 tahun, dengan
total nilai investasi mencapai US$500 juta (cnnindonesia.com 18/6/2021).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memprediksi


keberadaan theme park di KEK Lido mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan
nusantara dan wisatawan mancanegara hingga mencapai 63,4 juta orang sampai 2038.
Sementara inflow devisa dari wisatawan mancanegara dan penghematan outflow devisa
dari wisatawan pihaknya berharap dapat mencapai US$4,1 miliar selama 20 tahun.

Angka ini cukup fantastis jika disandingkan dengan realitas yang menimpa KEK lainnya
selama pemerintahan Jokowi. Dua tahun silam, cnnindonesia.com pada 10/10/2019
mengulas pengakuan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bahwa
dampak dari pembangunan KEK masih jauh di bawah harapan. Saat itu pembangunan 6 KEK
hanya mampu merealisasikan jumlah wisatawan sekitar 1,8 juta orang dari 4 KEK.
Sementara rata-rata peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baru sekitar 13
persen pada 2015-2018 dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten meningkat 60 persen
pada 2015-2017. Nah, itu realitas ketika pandemi belum merebak.

Tentu ditengah pandemi seperti ini dimana sektor pariwisata adalah lini yang paling babak
belur karenanya, menggelontorkan sejumlah dana untuk pembangunan infrastruktur
pariwisata dipandang cukup mubazir. Lagi pula mana sempat rakyat berpikir soal liburan
dan bersenang-senang, ke tempat bergengsi pula, di tengah ancaman pendemi yang
mematikan, ditambah dengan kemampuan finansial yang sulit bahkan untuk makan saja
susah.

Belum lagi mencermati paradigma arah pembangunan KEK yang minim sense of belonging.
Ya, Indonesia ini adalah negeri yang kaya budaya dan unik natural. Coba tanya mengapa
para turis senang ke jamrud khatulistiwa? Karena budaya dan alamnya yang masih nature.
Mereka bisa melihat kehidupan tradisional, ombak, hutan, tebing, pasir, nyiur melambai,
mendengar konser burung-burung di lembah, kapal kayu berikut tradisi lokal yang unik.
Itulah imajinasi turis tentang Indonesia.

Namun imajinasi turis yang demikian sirna oleh pembangunan infrastruktur seumpama KEK
Lido ini. Mereka membuyarkan imajinasi Paul Walker bintang film “Fast and Furious”
tentang alasannya menyebut Indonesia sebagai “rumahku yang lain” atau klise-nya disebut
“surga di bumi”, ketika disajikan visualisasi wisata ala Coachella Valley Music and Arts
California, movieland atau Golf Country Club.

Begitulah investor negeri ini menyeragamkan seleranya dengan selera turis wisman
(wisatawan mancanegara) metropolis yang menyaksikan wahana seumpama KEK Lido ini di
negaranya. Bahkan infrastruktur ala KEK LIDO ini terserak di setiap sudut negara mereka,
lebih wah, lebih elite lebih berkelas dan futuristik. Mereka butuh yang sesuatu yang tidak
dimiliki oleh negara mereka, apa itu? Nature, ethnic dan unique. Inilah selling point
Indonesia.

Miris memang jika melihat kepekaan para investor dalam melihat peluang. Mereka punya
kemampuan luar biasa dalam copy paste namun miskin kreatifitas. Tampak bahwa tidak
memahami pentingnya nilai jual (selling point) dan kekuatan spesial (uniqueness) sebuah
barang atau jasa yang tak memiliki kompetitor.

Nalar yang sama juga digunakan untuk mengembangkan wisata di pulau Banyak Aceh yang
menggandeng Murban Energy, begitu pula nasib Teluk Benoa yang mengeruk laut Bali agar
tak kalah saing dengan Dubai atau Singapura. Begitu pula nasib Mentawai Bay di Sumatera
Barat.

Dari mana hendak mewujudkan 6-7 juta pengunjung per tahun dalam 5 tahun kedepan?
Saya pesimis semua itu akan tercapai. Ini pandemi lho, hanya Allah yang tahu kapan akan
berakhir. Paling maksimal target itu akan dipenuhi oleh pelancong lokal atau pelancong Asia
katakanlah, yang seleranya seragam, dimanapun mereka datang tak peduli lokasinya yang
penting mereka harus makan di KFC, McD, nongkrong di Starbucks dan tidur di jejaring hotel
dengan paket hemat murah meriah. Yang penting tersedia koneksi wi-fi untuk update
status. Dah gitu aja.

Namun para turis yang digadang akan melipatgandakan keuntungan bukanlah pengguna
pasar yang demikian. Mereka tidak butuh hotel mewah, padang golf, restoran, sea world,
perkantoran, movieland, hutan buatan. Wisman yang berdompet tebal itu justru
memimpikan tidur di pasir putih sambil menyaksikan nelayan berlabuh, minum air kelapa
muda dibawah pohonnya dan menyusuri hutan sambil berpapasan dengan penduduk,
mendengarkan sayup-sayup lantunan bait-bait syair-syair tua yang dinyanyikan masyarakat.
Mereka datang untuk mendulang pengalaman kultural bahkan religious experiences
(pengalaman religi).

Mendisain wisata dengan konsep megah ala negara-negara maju bukan ide yang harus
ditepuk riuh karena dianggap amazing. Sebaiknya pikir seribu kali sebelum men-challenge
diri secara head to head dengan Garden Bay Singapura atau Palm Jumeirah-nya Dubai. Saya
sepakat dengan jurnalis investigasi Dandhy Laksono, bahwa upaya yang demikian adalah
bunuh diri. Ketika Lido, Bali, Labuan Bajo, Mentawai, Danau Toba, Teluk Benoa atau Pulau
Banyak sama dengan California, Dubai, Hongkong, lalu apa menariknya jauh-jauh terbang ke
Indonesia?

Alangkah mubazirnya, mengejar target investasi wisata jet set ditengah kebutuhan negeri ini
terhadap sektor primer penyelamatan jiwa rakyat. Alangkah kejamnya kapitalisme.

Anda mungkin juga menyukai