Anda di halaman 1dari 12

Sementara itu di kubu kontra, mereka beranggapan bahwa proyek reklamasi hanya menguntungkan

pengembang properti dan kaum borjuis saja, sementara para nelayan semakin sengsara dan hanya
diberi janji-janji manis, bias dilihat bahwa reklamasi sendiri diadakan untuk membangun gedung –
gedung yang tinggi untuk kegiatan bisnis atau pemukiman yang sangat mewah.

Tetapi dalam kubu kontra disini ada benarnya juga yang tersendiri, mereka memikirkan untuk
rakyat kecil seperti nelayan yang mata pencahariannya sehari – hari mencari hasil tangkapan
laut untuk mereka jual kepada pasar, kalau proyek reklamasi ini di jalankan mereka bisa
kehilangan mata pencaharian tentunya, hasil tangkapan mereka akan di lenyapkan begitu saja
dan belum juga pemerintah sebagai pembuat rencana reklamasi ini akan mengganti mata
pencaharian mereka kalau saja reklamasi ini benar – benar akan di jalankan, sehingga
kebanyakan dari mereka hanya jadi pengangguran nantinya dan akan menambah angka
pengangguran di wilayah DKI Jakarta.

Proses reklamasi di Indonesia harus mengacu pada berbagai pedoman dan undang-undang
yang mengatur reklamasi pantai, antara lain:

 Pedoman perencanaan tata ruang kawasan reklamasi pantai (Peraturan Menteri PU No.
4/PRT/M/2007) yang mencakup penjelasan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan reklamasi, yaitu aspek fisik, ekologi, sosial
ekonomi dan budaya, tata lingkungan dan hukum, aspek kelayakan,perencanaan dan metode
yang digunakan. Pedoman ini juga memberikan batasan, persyaratan dan ketentuan teknis
yang harus dipenuhi agar suatu wilayah dapat melakukan reklamasi pantai.
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi
wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut dengan memanfaatkan sumber daya
alam secara optimal.
 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang merupakan guide line
bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan menata wilayahnya dalam satu-kesatuan
matra ekosistem.
 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang mengamanatkan wilayah pesisir diatur secara komprehensif mulai dari
perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian.
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur
tentang perlindungan terhadap aset baik berupa jiwa, raga, harta sehingga ancaman bencana
yang ada di wilayah pesisir dapat diminimalisir.
Namun, untuk membangun proyek reklamasi di teluk Jakarta ini, tentu tidak
semudah yang dibayangkan, Lamudi mencatat ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya, adalah masalah lingkungan.

Banyak pengamat mengatakan, proyek reklamasi di Teluk Jakarta akan berbahaya


bagi lingkungan. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan merembesnya
sedimen beracun ke teluk selama proses kontruksi berlangsung.

Pengembangan reklamasi lahan ini juga mempengaruhi penghasilan nelayan lokal,


berdasarkan laporan rata-rata pemasukan nelayan di Jakarta telah menurun dari Rp
300.000 menjadi Rp 30.000 per hari.

Masalah lingkungan ini ternyata juga dialami oleh Singapura ketika menjalankan
reklamasi lahan. Sejak tahun 1986, 65% terumbu karang di negara itu rusak,
demikian juga dengan keberadaan hutan bakau yang mengalami penyusutan.

Pada pemilihan kepala daerah Jakarta bahwasannya menghentikan


pembangunan pulau reklamasi adalah poin ke6 dari 23 janji politik anies

Reklamasi dinyatakan tidak mengantongi analisis mengenai dampak


lingkungan (amdal) kawasan ataupun regional, tidak disertai rencana
zonasi dan kawasan strategis, ketidakjelasan lokasi pengambilan material
pasir, hingga pembangunan rumah dan ruko di atas pulau reklamasi tanpa
IMB, bahkan tanpa sertifikat tanah. Reklamasi juga dinilai Koalisi
Selamatkan Teluk Jakarta merusak ekosistem pesisir, menyengsarakan
nelayan, mengganggu objek vital nasional berupa PLTU, pipa, dan kabel
bawah laut, serta membikin bencana banjir pesisir.
1. Harga Tanah
Tahu kenapa developer ngotot banget reklamasi? Karena biayanya murah. Untuk
mereklamasi pantai jadi pulau itu hanya butuh 2-3 juta/meter. Bandingkan harga
tanah di Jakarta, bisa 10-15 juta/meter. Developer itu pintar banget, ngapain beli
tanah? Mending bikin pulau saja.

Nilai jual hasil pulau buatan di pantai utara Jakarta itu paling sial adalah 20
juta/meter. Ini angka sekarang, 10 tahun lagi, saat pulau-pulau itu siap, boleh jadi
sudah 40 juta/meter. Ada total 50.000 hektare, dari puluhan pulau buatan. Itu total
50.000 x 10.000 m2 = alias 500 juta m2. Belum lagi besok jika bangunannya
bertingkat, maka itu bisa lebih banyak lagi. Berapa nilai reklamasi ini? Kita hitung
saja paling simpel, 20 juta x 500 juta m2= 10.000 triliun rupiah.

2. Tanah Air dan Singapura


Untuk 500 juta meter persegi reklamasi, berapa tanah yang dibutuhkan? Milyaran
kubik, coy. Dari mana itu tanah didatangkan? Gunung-gunung dipotong, pasir-pasir
dikeruk, diambil dari mana saja, yang penting ada itu tanah.

Dulu, kita ngamuk minta ampun saat Singapore mereklamasi pantainya, ambil pasir
dari Riau. Sekarang? Kenapa kita tidak ngamuk. Singapore sih masuk akal dia
maksa reklamasi, lah tanahnya sedikit. Jakarta? Masih luas lahan yang bisa
dikembangkan, apalagi pembangunan belum merata di Indonesia.

3. Mengubur Harta Karun


Dengan harga tanah yang bisa 40 juta/meter, siapa yang akan membeli pulau
buatan ini? Apakah nelayan yang kismin? Apakah anak2 betawi asli macam si doel?
Apakah rakyat banyak? Tidak! Itu hanya akan dinikmati oleh segelintir orang yang
super kaya di Indonesia. Kalau situ cuma berpenghasilan 10 juta/bulan aja, berarti
cuma bisa mimpi beli properti di pulau buatan ini, apalagi yang dibawah itu.
Dengan nilai total 10.000 triliun, siapa yang paling menikmati uangnya? Apakah
UMKM? Apakah koperasi? Apakah pengusaha kecil? Bukan, melainkan raksasa
pemain properti, yang kita tahu sekali siapa mereka ini. Pemiliknya akan super tajir,
sementara buruh, pekerjanya, begitu-gitu saja nasibnya.

4. Alasan Bencana Alam


Salah satu senjata pamungkas pembela reklamasi itu adalah: besok lusa Jakarta
akan tenggelam, kita perlu benteng berupa pulau luar biar menahan air laut. Kalau
mau bangun benteng, ngapain harus pulau? Belanda saja tidak selebay itu, padahal
negara mereka di bawah permukaan laut.

Oke, terserahlah namanya juga argumen, yang mau tetap belain reklamasi silakan.
Saat pulau-pulau afabet buatan ini sudah megah begitu indah, pastikan anak-cucu
kita tidak hanya jadi tukang sapu, tukang pel kaca di hotel-hotelnya, mall, pusat
bisnis di sana. Di luar sana banyak yang bersedia pasang badan mati-matian
menggunakan logika reklamasi ini. Tapi pastikan, kalian dapat apa?

Kalian dapat berapa sih dari belain reklamasi? Heheh… jangan sampai
deh, kalian mengotot, memaki orag lain, demi membela reklamasi ini. 20
tahun lagi, saat pulau-pulau buatan itu jadi, kalian mau menginap di
hotelnya semalam saja tidak kuat bayar.

Sudah pernah ke Marina Bay Sand Singapore, yang hasil nimbun laut juga?
Semalam harga hotelnya bisa 5-6 juta rupiah. Situ berbusa belain reklamasi, 20
tahun lagi, cuman pengin numpang lewat ke pulaunya saja tidak mampu bayar!.
Nginep semalam di sana, setara gaji 2 bulan kita? Sementara yang punya, sudah
semakin super tajir, menyuap sana-sini, membantu dana kampanye ini-itu, dll, demi
melancarkan bisnisnya.

Ketika alam sebagai alasan, seharusnya tidak ada ekosistem lain yang terganggu.
Tidak boleh, motto “Untuk mendapatkan sesuatu, harus kehilangan
sesuatu.” Pertanyaan selanjutnya, berapa jumlah ikan, burung, hewan yang terusir
dari wilayah yang direklamasi?
5. Bisnis Eksklusif
Ada sebuah rumah, dengan harga 4 milyar. Berapa banyak sih orang bisa
membelinya? Berapa gaji kita sekarang? 10 juta per bulan? Tetap impossible
membeli rumah tersebut. Mari saya hitungkan. Gaji 10 juta x 12 bulan = 120
juta/tahun. Butuh berapa tahun untuk dapat 4 milyar? 33 tahun. Baru terkumpul
uangnya, itupun berarti kita tidak makan, minum, dsb… karena seluruh gaji
ditabung. Sialnya, persis di tahun ke-33, ketika uang itu telah terkumpul, rumah
tersebut sudah bernilai 10 milyar!

Hanya orang-orang kaya lah yang mampu beli rumah ini. Orang-orang yang punya
uang banyak, dan jelas, mereka memang membutuhkan tempat tinggal yang
“aman”. Kenapa komplek-komplek elit di kota kalian tertutup? Ada gerbang di
depannya, dijaga penuh oleh satpam? Silakan jawab sendiri. Tidak cukup dengan
perumahan elit, muncul ide brilian, kenapa kita tidak bikin pulau terpisah saja?
Wow, itu kan menarik sekali. Kelompok super elit akan terbentuk di sana. “Tinggal
angkat jembatannya”, siapapun tidak bisa lagi masuk dengan mudah. 3 Milyar
adalah harga paling murah rumah setapak di pulau reklamasi.

6. Butir Ke-5 Pancasila


Maka, izinkan lah kami bertanya, Bung yang selama ini berteriak soal keadilan
sosial, kenapa Bung tidak tergerak hatinya berdiri di depan sana protes keberatan?
Lautan akan diuruk dengan tanah hasil mengeruk, dibangun dengan milyaran kubik
pasir yang diambil dari milik rakyat. Banyuwangi, Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan
Lombok, milyaran kubik pasir akan diangkut kapal-kapal besar, menunggu apakah
pemerintah setempat setuju atau tidak daerahnya jadi tambang pasir.

Bung, bukankah Anda dulu marah besar saat Singapore mengangkut milyaran kubik
pasir dari Riau? 25 kapal lebih bolak-balik membawa pasir, menimbun pulau
reklamasi, yang sekarang di atasnya berdiri hotel-hotel super mewah, yang
harganya tak terjangkau kalangan proletar. Atau definisi keadilan sosial milik Bung
hanya abal-abal saja aka KW2?

Kami, tidak anti 100% reklamasi. Tidak. Dalam beberapa kasus, untuk
pembangunan bandara, pembangunan pelabuhan, demi kepentingan umum,
reklamasi itu masuk akal. Tapi untuk membangun mall, hotel, apartemen, kondotel,
komplek super elit? Wah, itu membuat jurang kesenjangan sosial semakin lebar,

Bung. Kita bahkan belum bicara soal dampak lingkungan. Omong kosong jika
reklamasi itu tidak berdampak pada ekosistem. Itu sama dengan orang yang bilang,
“merokok baik untuk kesehatan.” Sekecil apapun, reklamasi pantai membawa
dampak pada ikan, udang, dan burung.

7. Kontra
Sekarang, apakah kita bisa menahan soal reklamasi ini? Bagaimana kita akan
menahan Tuan Tanah dari bangsa sendiri? Bagaimana mungkin kita bisa mencegah
godaan uang ratusan milyar? Itu susah. Produk pulau super elit ini jelas punya
pembeli, uangnya ada, ada demand-nya, maka susah menolaknya. Dalam kasus
tertentu saya bahkan pernah berpikir, baiklah, silahkan saja reklamasi, tapi seluruh
pulaunya milik pemerintah pro rakyat. Yang mau beli di sana cuma nyewa. Itu ide
bagus juga.

Tapi hari ini, setelah saya pikir ulang, saya kembali optimis. Kita bisa menghentikan
reklamasi ini! Bisa. Sepanjang ada kemauan dari penguasa. Sekali kita punya
pemimpin yang berani, yang mau memihak pada rakyat banyak, kita bisa membuat
aturan main monumental, menghentikan total reklamasi. Ini jaman sudah berubah,
ketika sebuah isu bisa dibicarakan dengan cepat, tambahkan kasus tertangkapnya
bos developer oleh KPK. Wah, itu seharusnya membuka mata semua orang, betapa
“jeleknya” permainan pulau-pulau rekayasa ini.

8. Tanah Surga Katanya


Tanah Indonesia itu luasnya masih buaaanyak. Kita bukan Singapore, bukan Hong
Kong. Negeri ini diberkahi lahan yang luas. Suruh itu developer
mengembangkannya. Gelontorkan uang ribuan triliun itu di darat! Berhentilah
bangun pulau-pulau egois. Pulau jawa saja lebih luas dari Korea dengan
perbandingan 126.700 KM2 : 100.210 KM2.

Lebih dari 10.000 ribu pulau dimiliki Indonesia, dengan mayoritas penduduknya
tinggal di pulau Jawa. Jadi tidak ada lagi alasan sempit. Kalau mau bangun negara,
bangunlah pemerataan di pulau lain seperti Kalimantan, Sumatra dan daerah lain.
Itu akan jauh lebih baik. Minimal, jika di darat sini, kelompok super elit itu bisa
sedikit bergaul dengan rakyat banyak. Mereka tidak perlu bikin pulau sendiri.
Tenang saja, wahai kelompok super elit, dengan komunikasi yang baik, saling
menghargai, kaum proletar itu adalah tetangga yang oke punya.
Kontra reklamasi
Sedangkan pihak yang menolak reklamasi menyatakan:
1. Reklamasi mengganggu kehidupan lebih dari 18 ribu nelayan
2. Merusak ekosistem laut seperti terumbu karang, bentos dan hutan mangrove
3. Dapat memperparah banjir karena memperpanjang muara aliran sungai
4. Terjadi sedimentasi atau pendangkalan sungai sehingga berpotensi untuk
merusak ekosistem sungai, mengurangi fungsi sungai sebagai pengurai limbah,
dan memperkecil daya tampung air ketika musim hujan
5. Menjadikan muara sungai sebagai tempat penimbunan sampah raksasa
6. Dapat menyebabkan polusi bau di pesisir
7. Penggunaan tanah hasil pengerukan sungai membahayakan karena sudah
tercemar berat terutama senyawa Cd, Zn, dan Fosfor
8. Berpotensi mengganggu kehidupan nelayan

Kaum environtmental menolak reklamasi karena


 Penolakan terhadap reklamasi adalah penolakan terhadap manusia yang ingin
meletakkan alam dibawah mata kakinya
 Penolakan terhadap reklamasi adalah bentuk perlawanan terhadap tindakan
semena-mena kekuasan menggusur kehidupan social nelayan.
 Penolakan terhadap reklamasi adalah pemberontakan terhadap keangkuhan
kekuasaan yang ingin memaksakan kehendak segelintir pemilik modal

Selayaknya sebelum dilakukan reklamasi pemerintah dan pemilik modal


melakukan:
1. Memelihara lingkungan pesisir dengan cara menanam mangrove dan
memperbaiki terumbu karang
2. Sosialisasi dan pendekatan dengan cara persuasive kepada masyarakat
3. Melakukan pembersihan sampah yang menumpuk di pesisir Teluk Jakarta
4. Mengurangi kadar poluta
5. Membangun bendungan untuk menghadap banjir rob dan persediaan air
bersih
6. Normalisasi sungai
Hal berbeda diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Mereka menyatakan reklamasi tidak cocok untuk bangsa Indonesia.
Menurutnya Indonesia memiliki daerah sangat luas yang seharusnya lebih
dioptimalkan ketimbang mengambil jalan pintas dengan mereklamasi.
"Reklamasi kurang pas bagi bangsa ini, bisa dicek banyak juga lahan yang
sebenarnya bisa dimanfaatkan," kata Sekjen Kiara, Susan Herawati Romica.

Menurut Susan, Pusat Data dan Informasi Kiara 2016 mencatat lebih dari
107.000 keluarga nelayan yang telah merasakan dampak buruk 16 proyek
reklamasi yang tersebar di berbagai daerah. Selain itu, ujar dia, pertambangan
di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di Tanah
Air juga disebut telah berkontribusi menghilangkan penghidupan warga dan
menghancurkan ekologi pesisir.

Sekjen Kiara juga berpendapat agar jangan membandingkan Indonesia


dengan Singapura terkait dengan persoalan reklamasi, karena luas Singapura
relatif kecil, dan RI memiliki banyak area yang bisa dimanfaatkan dan
dikembangkan.

Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menegaskan


aktivitas reklamasi kini kerap digencarkan di sejumlah daerah merupakan
bentuk perampasan laut yang mengurangi akses nelayan tradisional terhadap
sumber daya laut. "Proyek reklamasi di 28 titik wilayah pesisir Indonesia
sebagai 'ocean grabbing' atau bentuk perampasan laut dari nelayan tradisional
oleh para pengusaha yang rakus," kata Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata.

Menurut dia, melalui dalih untuk membangun wilayah pesisir yang diklaim
telah rusak seperti di Teluk Jakarta, pengusaha "rakus" untuk mendapat
keuntungan berlipat-lipat dengan proyek yang merusak. Ia mengingatkan
bahwa terdapat kajian yang menyatakan bahwa berbagai proyek reklamasi itu
diindikasikan melanggar peraturan prosedur hukum yang ada mulai dari
perencanan zonasi, perizinan hingga pelaksanaannya menyangkut kajian
lingkungan.

Selain itu, KNTI juga menyesalkan terjadi sejumlah kasus dugaan perampasan
tanah di pulau-pulau kecil untuk usaha investasi bisnis pariwisata dan
dilakukan dengan cara kriminalisasi terhadap nelayan yang melawan aktivitas
tersebut.

Hal berbeda diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).


Mereka menyatakan reklamasi tidak cocok untuk bangsa Indonesia.
Menurutnya Indonesia memiliki daerah sangat luas yang seharusnya lebih
dioptimalkan ketimbang mengambil jalan pintas dengan mereklamasi.
"Reklamasi kurang pas bagi bangsa ini, bisa dicek banyak juga lahan yang
sebenarnya bisa dimanfaatkan," kata Sekjen Kiara, Susan Herawati Romica.

Menurut Susan, Pusat Data dan Informasi Kiara 2016 mencatat lebih dari
107.000 keluarga nelayan yang telah merasakan dampak buruk 16 proyek
reklamasi yang tersebar di berbagai daerah. Selain itu, ujar dia, pertambangan
di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di Tanah
Air juga disebut telah berkontribusi menghilangkan penghidupan warga dan
menghancurkan ekologi pesisir.

Sekjen Kiara juga berpendapat agar jangan membandingkan Indonesia


dengan Singapura terkait dengan persoalan reklamasi, karena luas Singapura
relatif kecil, dan RI memiliki banyak area yang bisa dimanfaatkan dan
dikembangkan.

Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menegaskan


aktivitas reklamasi kini kerap digencarkan di sejumlah daerah merupakan
bentuk perampasan laut yang mengurangi akses nelayan tradisional terhadap
sumber daya laut. "Proyek reklamasi di 28 titik wilayah pesisir Indonesia
sebagai 'ocean grabbing' atau bentuk perampasan laut dari nelayan tradisional
oleh para pengusaha yang rakus," kata Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata.

Menurut dia, melalui dalih untuk membangun wilayah pesisir yang diklaim
telah rusak seperti di Teluk Jakarta, pengusaha "rakus" untuk mendapat
keuntungan berlipat-lipat dengan proyek yang merusak. Ia mengingatkan
bahwa terdapat kajian yang menyatakan bahwa berbagai proyek reklamasi itu
diindikasikan melanggar peraturan prosedur hukum yang ada mulai dari
perencanan zonasi, perizinan hingga pelaksanaannya menyangkut kajian
lingkungan.

Selain itu, KNTI juga menyesalkan terjadi sejumlah kasus dugaan perampasan
tanah di pulau-pulau kecil untuk usaha investasi bisnis pariwisata dan
dilakukan dengan cara kriminalisasi terhadap nelayan yang melawan aktivitas
tersebut.

A+ A-
JAKARTA - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan kalau Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) membuat kebijakan keliru tentang reklamasi Teluk Jakarta.
Ada belasan alasan yang dikemukaan oleh KIARA, salahsatunya soal ancaman bencana ekologis.

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, sejatinya, Ahok telah melakukan kebijakan
keliru. Pasalnya, Jakarta tidak membutuhkan reklamasi, yang dibutuhkan itu merupakan perbaikan-
perbaikan ekositem yang ada di Teluk Jakarta.

"Selain itu, reklamasi Jakarta tidak memiliki orientasi yang memakmurkan rakyat, tapi konglomerat
belaka," ujarnya pada Sindonews, Rabu (20/4/2016).

Menurutnya, terdapat 17 alasan mengapa reklamasi Teluk Jakarta itu harus dihentikan permanen.
Pertama, reklamasi itu sama dengan proyek orde baru. Sebab, kebijakan reklamasi dilakukan tanpa
partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat, serta tanpa adanya perhatian pada nelayan dan
lingkungan hidup.

Kedua, pembangunan yang berlebihan hanya memperparah bencana ekologis, seperti banjir rob di
sepanjang teluk Jakarta. Ketiga, merusak lingkungan hidup yang ada di kawasan Teluk Jakarta.

Keempat, kebutuhan pasir laut yang besar untuk reklamasi merusak ekosistem laut yang diurugnya.
Kelima, proyek reklamasi dapat menghancurkan Jakarta sebagai ibu kota negara yang menjadi
kawasan strategis nasional. Keenam, reklamasi itu rekayasa lingkungan yang merusak lingkungan
dan ekosistem alamiah di Teluk Jakarta.

"Pertumbuhan karang di Pulau Seribu pun akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan
sendimen. Ditambah lagi, ada perubahan arus yang semakin meningkat akan menghantam pulau-
pulau kecil di Pulau Seribu," tuturnya. (Baca: Rizal Ramli Hentikan Sementara Proyek Reklamasi
Teluk Jakarta)

Delapan, merusak tata air wilayah pesisir. Sebab, reklamasi menambah beban sungai Jakarta di saat
musim hujan. Jika air sungai terhambat keluar, akan menyebabkan penumpukan debit air di Selatan.

Sembilan, kawasan hutan mangrove di Muara Angke yang sejatinya sebagai habitat alami yang di
dalamnya terdapat binatang akan terancam akibat tanggul laut menambah tekanan pada hutan
tersebut.

"Lalu, situs sejarah kota Jakarta sebagai kota bandar dengan pulau-pulau bersejarahnya disekitar
Teluk Jakarta akan tergerus dan hilang. Pelabuhan Sunda Kelapa misalnya, akan terancam dengan
keberadaan 17 pulau reklamasi yang direncanakan Pemprov DKI itu," terangnya.

Sebelas, reklamasi mengancam obyek vital nasional. Misalnya saja Pulau G yang merusak kabel pipa
dan kabel gas bawah laut serta PLTU Muara Karang yang menjadi suplai listrik ibukota Jakarta.

Selanjutnya, proyek reklamasi hanya diperuntukan bagi kalangan ekonomi atas saja karena harga
properti yang akan dijual itu bisa mencapai miliaran rupiah.

Tiga belas, Pemprov DKI Jakarta seharusnya melakukan restorasi, bukan reklamasi yang akan
menambah kerusakan dan pencemaran laut, baik selama proses pembangunannya maupun proses
berjalannya pulau-pulau reklasi itu.

Anda mungkin juga menyukai