Dapat Apa?
Indonesia didaulat sebagai tuan rumah World Tourism Day 2022 (Hari Pariwisata
Dunia) pada 27/9/2022 mendatang. Penunjukan tersebut berlangsung dalam
Sidang Majelis Umum ke-24 World Tourism Organization (UNWTO) pada 30
November—3 Desember 2021 di Madrid, Spanyol. Selain menunjuk Bali sebagai
tuan rumah, Desa Nglanggeran di Yogyakarta juga mendapat penghargaan
sebagai salah satu Desa Pariwisata Terbaik UNWTO bersama 43 desa lainnya
dari 32 negara.
Didikte Asing
Sebagai negara berkembang yang ingin eksis di hadapan negara besar,
Indonesia merasa bangga menjadi tuan rumah pariwisata dunia. Akan tetapi,
semestinya pemerintah tidak melihat penunjukan tersebut sebagai ajang unjuk
gigi semata. Bagaimanapun, Indonesia tetap terikat kerja sama internasional
dalam bidang pariwisata. Artinya, senantiasa ada simbiosis mutualisme dalam
setiap agenda internasional yang melibatkan Indonesia.
Sayangnya, selama hampir dua tahun pandemi, sektor pariwisata mati suri.
Pada 2020, pariwisata global menurun hingga 73% dan di semester I
2021 menurun hingga 85%. Di Indonesia, pada 2020, menurun hingga 78% dan
diperkirakan lebih pada semester I 2021. Hal ini memberi dampak pengurangan
pendapatan pada sekitar 32 juta orang yang terlibat dalam pariwisata dan lebih
dari sejuta orang kehilangan pekerjaan. (Kehati, 27/9/2021)
Untuk menggeliatkan kembali sektor pariwisata, negara-negara dunia pun
mempercepat program vaksinasi. Mereka buru-buru membuka sektor ini agar
wisatawan bisa masuk kembali dan menambah pendapatan negara. Begitu
pun Pemerintah Indonesia yang membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) di berbagai wilayah Indonesia.
Terdapat enam wilayah yang menjadi KEK Parekraf, yaitu KEK Mandalika,
Tanjung Kelayang, Likupang, Tanjung Lesung, Singhasari, dan Morotai.
Di Balik Pariwisata
Setiap peringatan Hari Pariwisata Dunia, kalangan pejabat pemerintah akan
selalu bicara capaian-capaian positif di sektor pariwisata, mulai dari
pendapatannya, serapan tenaga kerja, hingga perbaikan infrastruktur sebagai
bukti bahwa sektor ini berkontribusi positif bagi perekonomian. Ketika data
kuantitatif mampu menebar optimisme terhadap ekonomi, pada saat yang
sama nilai kualitatif menjadi hilang maknanya.
Masih tersisa pertanyaan mengenai siapakah penikmat surplus pertumbuhan
ekonomi di sektor pariwisata? Mampukah pariwisata menggusur angka
kemiskinan yang melambung? Apakah kehadiran pariwisata dapat mewujudkan
pemerataan ekonomi masyarakat?
Pertama, jebakan utang dan investasi. Sebagai tuan rumah, Indonesia tentu
akan memperkenalkan berbagai destinasi wisata yang telah atau sedang
berjalan. Saat itulah kesempatan berharga bagi Indonesia berpromosi kepada
negara-negara dunia dengan tawaran kerja sama investasi di bidang pariwisata.
Kedua, masuknya pemikiran dan budaya liberal. Pariwisata adalah cara paling
efektif untuk mewarnai kehidupan masyarakat tujuan destinasi dengan
pemikiran asing dan budaya dari luar. Kontak dan interaksi antara penduduk
lokal dan turis asing menyebabkan perubahan sosial yang memengaruhi nilai-
nilai yang dipegang masyarakat.
Kita bisa melihat pergeseran cara pandang masyarakat di kawasan wisata yang
nilai agamanya makin terkikis, tetapi ramah dengan ide dan budaya liberal. Dari
sinilah pemikiran dan budaya asing itu melebur dalam kehidupan masyarakat
yang dapat mengubah pandangan, gaya hidup, cara berpakaian, kebiasaan,
hingga toleransi terhadap perilaku wisatawan.
Kita sering terbuai dengan iming-iming manis lembaga global. Tanpa kita sadari,
sejatinya kita sedang terjajah di negeri sendiri. Kita mengejar pendapatan
“recehan”, tetapi pemasukan besar seperti tambang, migas, dan lainnya malah
terabaikan.
Selain itu, Negara Khilafah akan mengharuskan wilayah yang menjadi destinasi
wisata ramah bagi lingkungan dan kehidupan di sekitar. Sebab, Islam melarang
eksploitasi yang merusak alam dan lingkungan. Dengan penerapan Islam,
pariwisata berfungsi sebagai syiar yang memberi kebaikan dan kemaslahatan
bagi umat manusia, lingkungan, dan alam. Wallahualam. ***