Anda di halaman 1dari 10

Tsunami Aceh, Bencana yang Memberi Duka bagi Satu Dunia

Dwi Arjanto
Minggu, 26 Desember 2021 19:40 WIB

Pandangan dari
udara memperlihatkan kota Banda Aceh yang hancur akibat tsunami Aceh, 28 Januari 2005.
BNPB mencatat 166.080 orang tewas dan 6.245 lainnya hilang akibat disapu gelombang
tsunami. REUTERS/Kimimasa Mayama

TEMPO.CO, Banda Aceh -Tsunami Aceh merupakan bencana alam dahsyat yang tercatat


jelas dalam sejarah dunia.Entah itu tercatat sebagai kajian dalam badan riset, atau tercatat
sebagai duka bagi umat masyarakat sedunia.
Kejadian ini dimulai oleh gempa tektonik berkekuatan 9,1 skala Ritcher pada pukul 07.59
WIB, 26 Desember 2004.Gempa ini mengingarkan dasar laut di Sumatera bagian barat daya,
sekitar 20 sampai 25 kilometer dari pantai. Tidak lama setelah itu,
tsunami menghempas Banda Aceh.
Tercatat tinggi ombak mencapai 20 sampai 30 meter dan kecepatan rambat gelombang
tsunami mencapai 800 kilometer per jam. Tsunami Aceh memberikan dampak ke wilayah
Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara.Pada 27 Desember 2004, Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menyatakan bahwa tsunami Aceh merupakan bencana kemanusiaan terbesar
yang pernah ada.Tsunami Aceh memberikan dampak ke berbagai tempat di Asia Tenggara
dan Selatan. Wilayah yang terdampak paling parah adalah Aceh, Khaolak di Thailand, dan
sebagian dari Sri Langka dan India Tsunami Aceh menyibukkan satu dunia untuk
mengerahkan bala bantuan, serta melakukan riset lanjutan untuk memitigasi bencana tsunami.
M. IHSAN NURHIDAYAH
BMKG: Hujan es di Lombok Timur akibat awan Cumulonimbus
 Minggu, 22 November 2020 21:21 WIB

Seorang warga menunjukkan butiran hujan es yang terjadi di Desa Tete Batu, Kabupaten
Lombok Timur, NTB, pada Ahad (22/11/2020), sekitar pukul 15.20 Wita. ANTARA/HO/Rio
Mataram (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
menyatakan hujan es yang terjadi di Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat pada Ahad, sekitar pukul 15.20 Wita, akibat pembentukan awan
Cumulonimbus.

"Berdasarkan laporan warga yang kami terima, benar adanya hujan es di wilayah Montong
Gading, Kabupaten Lombok Timur, pada siang menjelang sore tadi," kata Prakirawan Stasiun
Meteorologi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (ZAM) Levi Ratnasari.

Ia mengatakan dari hasil pantauan citra radar dan satelit, terpantau bahwa liputan awan
konvektif, yakni awan Cumulonimbus terpantau di sekitar wilayah terjadinya hujan es, yakni,
terlihat suhu puncak awan Cumulonimbus terpantau sangat dingin, yakni mencapai kurang
dari 80 derajat celcius.

Perlu diketahui awan Cumulonimbus atau dikenal dengan awan Cb dapat terbentuk akibat
adanya pemanasan yang kuat di permukaan serta udara yang labil di wilayah tersebut.

Levi menambahkan pertumbuhan puncak awan Cb dapat lebih dari enam kilometer, di mana
kandungan dari awan Cb dengan suhu puncak awan yang sangat dingin tersebut kurang dari
80 derajat celcius dapat menghasilkan butiran es.

Butiran es dapat jatuh ke permukaan juga didukung oleh kondisi dari suhu di permukaan di
wilayah tersebut.

"Ketika suhu di permukaan atau daratan cukup dingin maka butiran es dari puncak awan Cb
tersebut dapat jatuh masih berupa partikel es, sehingga hujan yang di hasilkan berupa butiran
es," ujarnya.

Umumnya, kata dia, hujan es terjadi dalam waktu singkat, namun diikuti oleh terjadinya
hujan lebat yang disertai petir bahkan angin kencang.

Untuk itu, Levi mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan mengenali cuaca di
sekelilingnya jika teramati awan Cb, yakni awan berwarna hitam seperti bunga kol dan
berlapis.

"Sebaiknya masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah karena potensi cuaca ekstrem
dapat terjadi di mana saja dan kapan saja," katanya.

Salah seorang warga, Rio, mengaku kaget dengan kejadian hujan es secara tiba-tiba ketika
sedang berkumpul dengan kelompok sadar wisata di Ulem-Ulem, Desa Tete Batu, Kabupaten
Lombok Timur.

"Awalnya hujan lebat biasa. Tidak lama, tiba-tiba suara seperti benda berjatuhan di atap.
Setelah kami cek, ternyata es sebesar kira-kira biji kelengkeng yang berjatuhan," tutur Rio.*

JAKARTA – Angin puting beliung menerjang wilayah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat pada Kamis (18/3), sekitar pukul 16.45 WIB. Kejadian ini merusak beberapa rumah
warga dengan tingkat yang berbeda.

Berdasarkan data yang diperoleh BPBD Kabupaten Bogor, bencana ini terjadi di Desa
Pamegarsari, Kecamatan Parung. BPBD menginformasikan terdapat 1 unit rumah rusak
berat, 4 unit rumah rusak sedang, 10 unit rumah rusak ringan, 1 unit mushola rusak ringan
dan 1 unit posyandu rusak ringan. Fenomena angin kencang ini juga menumbangkan pohon
sehingga mengganggu akses jalan.

Melihat kejadian ini, BPBD Kabupaten Bogor melakukan upaya menuju tempat kejadian
bencana dan melakukan kaji cepat. Data BPBD mencatat sebanyak 4 KK dengan 15 orang
mengungsi ke rumah saudara terdekat dan 15 KK dengan 50 orang jiwa terdampak langsung.
Selain itu, BPBD juga melakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk membersihkan
pohon tumbang dan lingkungan sekitar.

Warga diimbau untuk selalu waspada terhadap cuaca ekstem yang masih berpotensi terjadi di
beberapa daerah Kabupaten Bogor. Angin puting beliung biasanya terjadi pada saat
pergantian musim, seperti dari musim hujan ke musim kemarau. Apabila terjadi angin puting
beliung, warga diimbau untuk berlindung di tempat yang aman, seperti di dalam bangunan
yang kokoh atau menghindar berteduh di bawah pohon atau papan reklame.

Berdasarkan informasi BMKG, wilayah Kabupaten Bogor masih berpotensi hujan ringan
hingga lebat pada siang dan sore hari. Masyarakat dapat memonitor prakiraan cuaca hingga
tingkat kecamatan melalui aplikasi Info BMKG.

Fenomena Kebakaran Hutan Kalimantan dalam Kacamata Ekologi Politik


oleh: Fitria Dewi Susanti (Junior Researcher di Sebijak Institute F.Kehutanan UGM)
dan Sadam Richwanudin (Asisten Peneliti PUKAT FH UGM)
Fenomena kebakaran hutan di salah satu desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Sumber foto: (Mardiana, 2020)
Mengutip data dari KLHK pada 2019, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah
94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan. Fakta ini seharusnya mendorong Pemerintah untuk
memiliki katup pengaman berupa hukum dan kebijakan yang memadai untuk mengantisipasi
kebakaran hutan di Indonesia sebab hutan memiliki andil besar dalam pemenuhan kebutuhan
subsisten bagi masyarakat lokal sekaligus memegang peranan penting menjaga kelestarian
ekosistem. Namun pada kenyataannya persoalan kebakaran hutan menjadi masalah yang
berulang tiap tahunnya. Kemenko Polhukam menyatakan bahwa pada awal 2021 saja terdapat
137 kejadian karhutla di 10 provinsi. Kejadian itu tersebar di berbagai wilayah di Indonesia
seperti 9 di Sumatera Utara, 29 di Riau, 52 di Kalimantan Barat, 12 di Kalimantan Tengah,
20 di Sulawesi Tenggara, dan 1 di Papua (Kompas, 2021)[1]. Dari angka tersebut hampir 40
persen kebakaran hutan dan lahan terjadi di Kalimantan, provinsi dengan salah satu luas
hutan terbesar di Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah dengan luas hutan alam sejumlah
7,1 juta hektare (ha). Berbagai pendekatan pun dilakukan untuk memahami fenomena ini,
salah satu yang dapat dilakukan adalah pendekatan masalah dengan teori ekologi politik.
Dalam konteks persoalan lingkungan, pada dasarnya konsep ekologi politik dapat
memberikan cara untuk melihat fenomena tidak hanya sebatas hal-hal terkait sektor
lingkungan yang menjadi penyebab langsung suatu persoalan, akan tetapi akar permasalahan
utama dari luar faktor-faktor ekologi yang turut andil dalam persoalan tersebut, baik dari
tekanan politik maupun ekonomi (Blaikie, 1985)[2]. Pendekatan ini menjadi penting sebab
persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi
dimana masalah itu muncul melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat
berbagai level kepentingan (Satria, 2020)[3]. Blaikie (1985) dalam Forsyth (2003)[4]
menjelaskan analisis ekologi politik dapat dilihat dari beberapa ciri antara lain sebagai
berikut: interpretasi pemahaman penyebab suatu permasalahan dari aspek multiskala, baik
tingkat lokal, regional dan global; konstelasi politik formal dan informal di  wilayah
setempat, dan distribusi akses serta penguasaan sumber daya. Dengan ciri tersebut, kacamata
analisis ekologi politik memberikan gambaran aspek-aspek sosial politik terhadap fenomena
permasalahan lingkungan, salah satunya dalam memahami fenomena kebakaran hutan.
Penggunaan teori ekologi politik dalam melihat fenomena kebakaran hutan Kalimantan
memberikan gambaran secara jelas mengenai penyebab langsung fenomena serta akar
permasalahan dari kebakaran hutan. Secara umum, penyebab langsung kebakaran hutan
Kalimantan terjadi karena pembakaran hutan secara sengaja oleh oknum perusahaan yang
memiliki izin konsesi (Yunianto,2020)[5]. Tindakan ini dilakukan karena dirasa sebagai jalan
pintas yang efektif, efisien dan tak memerlukan biaya yang lebih banyak dibandingkan
metode tanpa bakar (Putri, 2019)[6]. Pada level terbawah, hal ini diperparah dengan adanya
oknum masyarakat yang diiming-iming melakukan tindakan membakar dengan sengaja demi
uang dari oknum tertentu (Farisa, 2021[7].
Selain penyebab langsung, dari segi ekologi politik kebakaran hutan juga diakibatkan oleh
beberapa permasalahan. Pertama, problem regulasi yang mengatur permasalahan hutan.
Akses pembukaan lahan yang mudah dan tidak adanya batas maksimal kepemilikan luasan
lahan hutan oleh para pemodal yang memiliki kekuatan finansial yang besar membuat para
pemodal dengan leluasa membuka lahan demi kepentingan bisnis. Sampai kini belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur batas maksimum penguasaan hak atas tanah
oleh badan hukum meski sudah diamanatkan oleh UUPA sejak 1960 (Sumardjono, 2021)
[8]. Kedua, terdapat tuntutan pasar dunia terhadap permintaan komoditas unggulan, salah
satunya adalah sawit. Tingginya permintaan terhadap sawit membuat tindakan pembukaan
lahan hutan untuk perkebunan sawit menjadi sangat besar. Terhitung sejak 2016-2020 areal
kebun sawit di Indonesia terus meningkat hingga angka 14 ribu juta hektar (Kementan,2020)
[9]. Pembukaan kebun sawit secara besar juga merupakan masalah multidimensi tersendiri
karena melibatkan investor yang belum tentu memiliki perhatian terhadap dampak
lingkungan, pemangku kebijakan yang permisif, dan keadaan ekkonomi masyarakat yang
membutuhkan pencaharian. Disamping itu, pengawasan oleh aparat pemerintah baik di
tingkat lokal dan pusat terhadap tindakan pembukaan lahan hutan sangat lemah, hal ini
berakibat pada tidak jeranya para pelaku pembakaran hutan. Hingga hari ini penegakan
hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan juga hanya menyentuh masyarakat di bawah
tanpa menyentuh aktor kuat di balik pembakaran hutan.
Dengan pemahaman melalui kacamata ekologi politik, kita dapat memahami bahwa
persoalan kebakaran hutan diakibatkan oleh faktor penyebab secara langsung dan faktor tidak
langsung yang menjadi akar permasalahan kebakaran hutan. Kacamata ekologi politik
berkaitan erat dengan pemangku kebijakan yang dapat mengendalikan faktor ekonomi dan
politik di masyarakat melalui berbagai kewenangan yang dimilikinya. Pemahaman ini
menuntut pemangku kebijakan untuk memiliki political will untuk dapat mengurai persoalan
tersebut sehingga dapat membentuk regulasi pengaman dan sistem yang canggih (resolvable)
seperti penataan peraturan perundang-undangan di sektor industri yang berkaitan dengan
kehutanan dan regulasi kehutanan itu sendiri serta membatasi kepemilikan hutan oleh suatu
badan hukum. Hal ini penting dilakukan untuk melindungi kondisi hutan di Kalimantan saat
ini, sekaligus mencegah kebakaran hutan terulang pada masa-masa selanjutnya.
Hunian Sementara Korban Banjir dan Longsor di Sukajaya Bogor Ambruk Diterjang
Angin
Oleh Achmad Sudarno pada 06 Feb 2022, 16:48 WIB

 Perbesar
Hunian sementara korban banjir bandang dan longsor di Pasirmadang, Sukajaya, Kabupaten
Bogor, ambruk diterjang angin kencang, Minggu (6/2/2022) dini hari.
(Liputan6.com/Achmad Sudarno)
Advertisement

Liputan6.com, Jakarta Hunian sementara korban banjir bandang dan longsor di Desa


Pasirmadang, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, ambruk diterjang angin kencang,
Minggu (6/2/2022) dini hari.
Sekretaris Desa Pasirmadang, Sofyan mengatakan, pada saat kejadian, hujan tidak terlalu
deras, namun angin berhembus sangat kencang.

"Kejadiannya jam 2 dini hari. Hujan mah enggak begitu deras, cuma anginnya yang
kenceng," ujar Sofyan saat dihubungi.
Sofyan menyebutkan, ada dua bangunan yang terdampak angin kencang. Satu
bangunan hunian sementarayang dihuni 14 KK ambruk rata dengan tanah. Satu bangunan
lainnya mengalami kerusakan di bagian atap lantaran terbawa angin.
"Satu bangunan itu terdiri beberapa petak. Masing-masing bangunan diisi 14 KK," ujar
Sofyan.
 
Tak Ada Korban
Tak ada korban luka dalam kejadian tersebut. Sebab, pada saat kejadian tidak ada pengungsi
yang tinggal di hunian sementara itu. Para pengungsi memilih pindah ke huntara lain karena
kondisi bangunannya sudah miring akibat diterpa angin kencang beberapa waktu lalu.
"Masih diisi, cuma pas terjadi angin kencang Minggu kemarin membuat bangunan miring.
Makanya penghuni memilih antisipasi karena takut kejadian lagi, jadi sebagian pindah ke
Huntara yang aman," terangnya.
Diketahui, huntara tersebut adalah tempat relokasi warga Kampung Gunung Kembang dan
Kampung Anyar, yang menjadi korban banjir bandang dan tanah longsor awal 2020 lalu.
Huntara tersebut dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan selesai dibangun sekitar
dua bulan lalu. Struktur utama bangunan terdiri atas baja ringan dan beratap asbes. Sementara
dinding terbuat dari papan GRC. (Achmad Sudarno)
Abrasi Pantai Ancam Pulau Legundi
 Sabtu, 10 September 2011 20:42 WIB 

Sejumlah bangunan masyarakat dan pemerintahan desa terancam abrasi pantai di Pulau
Legundi Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung (ANTARA/Agus Setyawan)
Pesawaran (ANTARA LAMPUNG) - Warga di Pulau Legundi Kecamatan Punduhpidada,
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung meminta pemerintah kabupaten setempat dapat
mengatasi terjadinya abrasi atau penggerusan pantai karena dapat merugikan masyarakat di
daerah itu.
"Abrasi pantai ini sudah meluas sepanjang 25 meter dari bibir pantai sehingga akan semakin
merugikan masyarakat yang berada di pesisir," ujar Pj Kepala Desa Pulau Legundi, Zikri
Hasis, di Pesawaran, Sabtu.
Menurutnya, masyarakat di daerah itu hanya bisa berupaya membuat tanggul seadanya
dengan menggunakan batu karang yang ada di sekitar pantai.
"Masyarakat tidak mampu menanggulangani sepenuhnya karena nilai untuk
penanggulangannya cukup besar sehingga secara swadaya hanya itu saja," terang Hasis.
Selama ini, ia menjelaskan, secara langsung memang masyarakat belum pernah mengajukan
anggaran penanggulangan permasalahan tersebut.
Senada diungkapkan warga lainnya, Ali Rahman, mengatakan, abrasi pantai di pesisir akan
semakin meluas apabila tidak segera ditanggulangani dengan benar.

"Apalagi semakin meluasnya abrasi ini akan menimbulkan berbagai masalah yang
diantaranya akan merusak bangunan puskemas milik pemerintah di daerah tersebut," kata
Ketua BPD Pulau Legundi itu.
Ia berharap pemerintah setempat dapat memberikan solusi guna mengatasi abrasi pantai yang
semakin meluas di pesisir wilayah kepulauan di daerah itu.
"Terjadinya abrasi tersebut pihak masyarakat tidak dapat maksimal mengatasi permasalahan
tersebut karena membutuhkan dana yang cukup besar," ujarnya.
Ia melanjutkan usaha penanaman mangrove atau bakau sudah pernah dilakukan namun belum
berhasil.
"Besar harapan kami pemerintah dapat turut andil menangani permasalahan tersebut sehingga
tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan seperti bencana banjir saat pasang air laut," pinta
dia.(Ant) 
Gempa bumi M 7.0 SR di Lombok Utara, NTB
Rabu, 08 Agustus 2018 09:11:38 WIB

Gempa bumi terjadi pada hari Minggu. tanggal 5 Agustus 2018, pukul 18:45:35 WIB.
Berdasarkan informasi dari BMKG pusat gempa bumi berada pada koordinat 8,37° LS dan
116,48° BT, dengan magnitudo 7,0 pada kedalaman 15 km. Sebelumnya, pada tanggal 29 Juli
2018 dengan kekuatan M6,4 dengan kedalaman 10 km.
Gempa bumi ini menimbulkan kerusakan berat di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok
Timur dan berdasarkan informasi dari BNPB hingga saat korban meninggal dunia akibat
gempa ini mencapai 105 jiwa. Badan Geologi mengirimkan Tim Tanggap Darurat Gempa
Bumi dan Gerakan Tanah ke lokasi untuk melakukan pemetaan dampak gempa bumi
khususnya terkait kerusakan geologi. Tim Tanggap Darurat menemukan retakan tanah dan
longsor di jalan yang menghubungkan Kecamatan Pemenang, Tanjung dan Gangga,
Kabupaten Lombok Utara. Likuifaksi atau pelulukan juga ditemukan di daerah Gangga.
Retakan dan gerakan tanah juga terjadi di Kecamatan Sambelia dan Kecamatan Sembalun,
Kabupaten Lombok Timur khususnya di lereng dan sekitar jalur pendakian Gunungapi
Rinjani serta perbukitan terjal lainnya. Retakan dan gerakan tanah tersebut dipicu oleh gempa
bumi 29 Juli 2018, yang kemudian diperparah oleh guncangan gempa bumi 5 Agustus 2018.

Berdasarkan hasil survey lapangan dan analisis Tim Tanggap Darurat Badan Geologi, kedua
gempa bumi yang telah terjadi mempunyai mekanisme sama yang berasosiasi dengan
Patahan Naik Busur Belakang Flores yang terletak di utara Pulau Lombok.

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gempa bumi yang diterbitkan oleh PVMBG-Badan
Geologi, daerah Lombok Utara dan Lombok Timur termasuk KRB Gempa bumi Menengah,
dengan potensi terjadi gempa bumi dengan intensitas VII-VIII MMI (Modified Mercalli
Intensity), yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Hasil pemetaan dampak gempa bumi
menunjukan bahwa intensitas guncangan gempa bumi di Lombok Utara dan Timur sebesar
VII - VIII MMI.

Wilayah terdampak gempa bumi merupakan daerah sulit air, sehingga dibeberapa tempat
pengungsian kekurangan air. BPBD dan relawan mensuplai air dengan menggunakan mobil
tangki, dan salah satunya dari hasil pemboran Badan Geologi. Salah satu sumur bor yang
sudah selesai ada di Desa Rempek, Kec. Gangga, Kab. Lombok Utara. Tim Badan Geologi
sedang mencari lokasi lain yang memiliki potensi air untuk dilakukan pemboran untuk
digunakan sebagai sumber air untuk mensuplai tempat pengungsian.

Rekomendasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan dan analisis terkait potensi bahaya ke depan, Badan
Geologi memberikan rekomendasi sebagai berikut:

(1) Masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan mengikuti arahan serta informasi dari
pemerintah daerah dan BPBD NTB. Jangan terpancing oleh isu yang tidak bertanggung
jawab mengenai gempa bumi dan tsunami.

(2) Gempa bumi susulan biasanya mempunyai magnituda lebih kecil dari gempa bumi utama,
namun masyarakat diharapkan agar tetap waspada. Bangunan yang sudah mengalami
kerusakan sedang hingga berat, sebaiknya tidak dihuni mengingat gempa susulan masih kerap
terjadi dan dapat memperburuk kerusakan.
(3) Bagi yang berada di wilayah perbukitan dan sekitar lereng terjal disarankan untuk tetap
waspada tidak melakukan aktivitas di sekitar lokasi retakan dan lereng-lereng terjal karena
gempa-gempa susulan masih berpotensi memicu terjadinya gerakan tanah. Kewaspadaan
perlu ditingkatkan apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi di wilayah perbukitan, karena
airnya dapat mengisi retakan-retakan yang kemudian berpotensi memicu kejadian gerakan
tanah.

Rudi Suhendar
Kepala Badan Geologi

Longsor di Ponorogo, Jalan Penghubung 2 Desa Tertimbun Tanah, Puluhan Warga


Diungsikan Kompas.com - 20/11/2021, 18:55 WIB BAGIKAN: Komentar Lihat Foto Lokasi
longsor di Dukuh Tugunongko, Desa Tugurejo, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo,
Jawa Timur, Sabtu (20/11/2021).(Dok BPBD Ponorogo) Penulis Kontributor Solo, Muhlis Al
Alawi | Editor I Kadek Wira Aditya PONOROGO, KOMPAS.com - Sebanyak 28 warga
yang bermukim di Dukuh Tugunongko, Desa Tugurejo, Kecamatan Slahung, Kabupaten
Ponorogo, Jawa Timur terpaksa mengungsi setelah bencana longsor melanda wilayah
tersebut, Sabtu (20/11/2021). Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten
Ponorogo, Setyo Budiono menyatakan, puluhan orang terpaksa diungsikan lantaran
permukiman yang dihuni warga tak jauh dari lokasi tanah longsor. “Jadi sementara ada enam
keluarga yang mengungsi di rumah tetangga. Enam keluarga beranggotakan 28 orang terdiri
sembilan lansia, empat anak-anak dan 15 orang dewasa,” kata Budi yang dikonfirmasi
Kompas.com, Sabtu. Baca juga: Detik-detik 1 Keluarga Selamat Saat Rumahnya Tergerus
Arus Sungai yang Sedang Meluap di Tasikmalaya Budi mengatakan, bencana longsor terjadi
setelah hujan lebat melanda wilayah itu sejak Jumat (19/11/2021). Pagi harinya, tanah
longsor menutup ruas jalan penghubung Desa Tugurejo di Kecamatan Slahung, Kabupaten
Ponorogo dan Desa Gemaharjo di Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan. Baca juga:
Detik-detik Pria di Ponorogo Tewas Terseret Arus, Bermula Bersihkan Gorong-gorong Saat
Hujan Ia juga mengatakan, hingga saat ini belum dilaporkan adanya korban jiwa dalam
bencana tersebut. Kendati demikian, ruas jalan penghubung antar dua desa itu hanya bisa
dilalui kendaraan roda dua lantaran tertimbun tanah longsor. Budi menuturkan, BPBD
Kabupaten Ponorogo saat ini sudah mendirikan tenda pengungsi di lokasi bencana. Tak
hanya itu, pihaknya sudah menyalurkan logistik seperti beras, lauk pauk, selimut dan
makanan gizi tambahan. "BPBD sementara mengecek kondisi ada dan tidaknya tanah retak
pasca bencana longsor terjadi," ungkapnya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking
news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News
Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install
aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Kontributor Solo, Muhlis Al Alawi


Editor : I Kadek Wira Aditya
3 Warga Korban Erupsi Gunung Semeru Jalan Kaki Lumajang-Jakarta Tuntut
Keadilan
30 Jun 2022, 01:00 WIB

Seorang pria memeriksa truk yang tertimbun abu vulkanik pascaerupsi Gunung Semeru di
Lumajang, Jawa Timur, 5 Desember 2021. Tiga jenazah ditemukan di dalam truk pasir yang
terjebak erupsi Gunung Semeru. (AP Photo/Trisnadi)
Liputan6.com, Yogyakarta - Demi menuntut keadilan, tiga warga Desa Sumber Wuluh,
Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, yang merupakan korban erupsi Gunung Semeru pada
Desember 2021 silam, melakukan aksi jalan kaki dari Lumajang ke Istana Negara di Jakarta
Pusat. Ketiganya ingin bertemu Presiden Joko Widodo.
Ketiganya adalah Nur Holik (41), Masbud (36), dan Pangat (52), dengan mengenakan baju
bertuliskan 'Korban Erupsi Semeru Menuntut Keadilan', mereka singgah di kawasan Tugu
Yogyakarta, Rabu (29/6/2022), sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Jakarta. 
Nur Holik mengatakan, aksi jalan kaki Lumajang-Jakarta dilakukan demi mengadukan
aktivitas penambangan pasir di Kali Regoyo yang dinilai tidak wajar sehingga diduga
menjadi penyebab aliran banjir lahar dingin Gunung Semeru pada 2021 menerjang
permukiman di desanya.
"Ini semua berawal dari oknum penambang yang membuat tanggul melintang untuk
menghambat aliran air," ujar dia.
Menurut dia, oknum perusahaan penambang pasir melakukan penanggulan di Kali Regoyo
pada 2019 untuk menghambat dan menampung pasir yang terbawa aliran sungai.
Tanggul dibuat melintang selebar sungai dengan ketinggian hingga 4 meter, sama dengan
ketinggian tanggul pengaman banjir pada sempadan sungai yang dulu dibangun oleh
pemerintah era Presiden Soeharto pada 1970.
Selain membangun tanggul, lanjut Nur Holik, oknum perusahaan penambang yang beroperasi
di Kali Regoyo juga membangun kantor di tengah daerah aliran sungai (DAS).
Pada Februari 2021 atau jauh sebelum terjadi erupsi Gunung Semeru, menurut dia, warga
Desa Sumber Wuluh telah beberapa kali mengadu ke Pemkab Lumajang dan aparat
keamanan karena khawatir dampak penanggulan itu.
Namun demikian, menurut Holik, tidak ada tindak lanjut dari Pemkab Lumajang hingga
akhirnya pada 4 Desember 2021 Gunung Semeru mengalami erupsi dan material pasir lahar
dingin menimbun Desa Sumber Wuluh.
"Erupsi kemarin sebagai bukti kekhawatiran kami yang tidak pernah digubris sehingga
banyak sekali korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang begitu parah," ujar dia.

Anda mungkin juga menyukai