Anda di halaman 1dari 19

MODUL PEDOMAN

MENGHADAPI KECEMASAN DALAM PERKAWINAN

Oleh :
Laode Mukhlis Adiguna G99161117
Arum Dessy Rahma S G99162150
Amanda Diah Maharani G99161012
Tia Kanza Nurhaqiqi G99161097
Ade Cahyana Putra G99162144
Parada Jiwanggana G99161072
Hana Indriyah Dewi G99162140
Ayati Jauharotun Nafisah G99162137
Ruti Annisa Kusumastuti G99161087
Shanaz Qisthina G99172014

Pembimbing :
dr. Istar Yuliadi, M.Si

PROGRAM BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


UNIVESITAS SEBELAS MARET / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan bagi masyarakat merupakan salah satu tahap penting kehidupan
bahkan sebagai salah satu peristiwa hidup yang dinanti-nantikan. Pesta dan
berbagai upacara sakral serta meriah biasanya digelar sebagai wujud dari
ungkapan suka cita, rasa syukur serta doa dan harapan akan kehidupan
rumahtangga yang langgeng, rukun dan bahagia bagi pasangan yang menikah.
(Haq, 2016)
Di Indonesia, wanita yang melewati usia matang tetapi belum juga memiliki
pasangan atau menikah oleh masyarakat biasa disebut “perawan tua” begitu juga
dengan pria yang sudah dewasa tetapi tidak kunjung menikah disebut “bujang
lapuk”, yang secara tidak langsung mereka dikatakan tidak laku atau buka orang
yang tepat untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dalam masyarakat budaya Timur khususnya di Indonesia, masih memiliki
pandangan bahwa menikah adalah sebuah keharusan bagi setiap individu. Proses
mendapatkan pasangan pun dapat dilalui dengan berbagai cara, mulai dari cara
tradisional dalam bentuk perjodohan atau dengan memilih pasangan sendiri.
Bagaimanapun proses yang dilalui dalam memperoleh pasangan hidup, pada
dasarnya setiap orang tentu memimpikan kehidupan pernikahan yang langgeng,
harmonis dan bahagia.
Selain adanya beberapa tujuan dan alasan pernikahan yang diantaranya
untuk melanjutkan keturunan, ekonomi, agama dan emosi, pernikahan sebenarnya
juga diketahui banyak memberi dampak positif bagi kehidupan individu. Dampak
positif pernikahan tersebut diperkuat dengan adanya beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa orang yang menikah ternyata lebih bahagia dan sehat
dibandingkan dengan orang yang tidak menikah (Compton, 2005).
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada
dasarnya setiap individu pasti memiliki keinginan untuk memiliki pasangan hidup.
Pernikahan merupakan sebuah tahapan hidup yang penting dalam kehidupan, di
dalamnya menyimpan banyak harapan dan tujuan yang jika dijalankan dengan
baik, maka pernikahan sebenarnya banyak memberi keuntungan dan dampak
positif bagi pasangan.
Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yag bahagia dan
kekal berasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan Pasal 1 tahun
1974). Sedangkan, menurut Westermarck (2013) seorang antropolog,
mendefinisikan pernikahan sebagai kelebihan atau kekurangan hubungan antara
pria dan wanita hingga memberikan keturunan.
Setiap pasangan yang menikah tentunya memiliki gambaran ideal
pernikahan yang berbeda, ada yang gambaran ideal pernikahannya adalah
menemukan pasangan yang cantik atau ganteng serta kaya, namun ada juga yang
merasa memiliki pernikahan ideal jika ia memiliki pasangan yang baik, pengertian
dan penyayang. Berbagai masalah mungkin akan timbul terutama diawal
pernikahan. Masalah yang sering terjadi adalah adanya ketakutan bagaimana
menghadapi mertua, apalagi saat dihadapkan pada kenyataan di saat awal berumah
tangga pasangan yang baru menikah harus tinggal bersama mertua. Tinggal
dengan mertua membutuhkan penyesuaian diri yang baik.
Untuk mencapai tujuan perkawinan tidak mudah dan banyak mengalami
rintangan-rintangan oleh berbagai macam permasalahan, mulai dari masalah anak,
ekonomi, kesehatan, sampai pekerjaan sehingga tidak jarang masalah tersebut
akhirnya memisahkan pasangan tersebut (Margiyanti dan Ekayati, 2013)
Awal pernikahan biasanya merupakan masa-masa yang sulit untuk
menyesuaikan diri bagi setiap pasangan. Hal tersebut dikarenakan pengalaman
bersama belum banyak (Clinebell dan Clinebell, 2005). Ariyani dan Setiawan
(2007) mengatakan konfik antara menantu perempuan dengan mertua lebih sering
terjadi karena perempuan lebih sensitive dan bagi perempuan fase paling berharga
adalah keluarga. Penyesuaian diri kerap kali terjadi akibat keterlibatan mertua
dalam rumah tangga menantunya. Apabila penyesuaian tidak bias dilakukan maka
akan timbulah masalah dari sisi psikologis seperti depresi, kecemasan, obsesi,
frustasi maupun konflik.
Kecemasan adalah suatu keadaan tertekan atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi, kecemasan
merupakan respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi
abnormal bila datang tanpa penyebab dan bila tidak sesuai proporsinya (Nevid
dkk,2005)
Kecemasan menurut Freud adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak
menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang
terhadap bahaya yang akan datang, keadaan yang tidak menyenangkan itu sering
kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu
dirasakan (Semium, 2006).
Secara psikologis, kecemasan didefinisikan sebagai suatu keadaan cemas
atau khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid, Rathus, dan Greene,
2005; Santrock, 2009). Menurut Freud (dalam Buss, 1966), kecemasan adalah
fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang datangnya suatu bahaya
sehingga individu dapat mempersiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan
berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan
memberikan sinyal kepada kita bahwa ada bahaya, yang bila tidak diantisipasi,
bahaya itu akan meningkat dan mengancam ego. Kecemasan, pada tingkat
tertentu, dapat dianggap sebagai bagian dari respons normal dan adaptif untuk
mengatasi masalah sehari hari. Kecemasan merupakan suatu bagian normal dari
pertumbuhan dan perubahan. Kecemasan lazimnya menyertai suatu pengalaman
yang baru, yang belum pernah dicoba, dan kecemasan juga dapat terjadi dalam
proses penemuan identitas diri dan penemuan arti hidup.
Meskipun demikian, kecemasan yang berlebihan juga bersifat yang
patologis. Kecemasan yang patologis ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan,
dan rasa takut. Kecemasan menurut Atkinson, dkk (1991: 212) kecemasan sebagai
reaksi terhadap ancaman, hambatan terhadap keinginan pribadi atau adanya
perasaan tertekan. Situasi yang mengancam meliputi ancaman fisik, ancaman
terhadap harga diri, dan tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan juga
dapat menyebabkan kecemasan.
Dalam pernikahan, akan hadir perasaan cemas dikarenakan adanya
perubahan kebiasaan hidup dua individu. Dari awal mula individu tersebut
memiliki orientasi hidup untuk dirinya seorang, berubah menjadi berorientasikan
kepada kehidupan dua individu.

B. Tujuan
Umum : memberikan informasi mengenai kecemasan dalam perkawinan.
Khusus :
1. Dapat mengetahui berbagai faktor penyebab terhadap kecemasan dalam
pernikahan
2. Dapat mengetahui gejala gejala kecemasan dalam pernikahan
3. Dapat mengatasi kecemasan dalam menghadapi pernikahan

C. Manfaat
Manfaat Praktis :
Penulisan ini ditujukan untuk setiap pasangan yang belum menikah , yang
akan menikah, dan yang sudah menikah agar dapat mengenali faktor-faktor yang
dapat menyebabkan timbulnnya kecemasan dalam menghadapi pernikahan dan
setelah menjalani pernikahan sehingga dapat menghindari terjadinya gangguan-
gangguan emosional yang berdampak pada keharmonisan dalam membina
keluarga.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang
mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam
bentuk prilaku seperti rasa takberdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, phobia
tertentu. Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan,kehilangan
kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan,
perasaan terisolasi. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak
menyenangkan mengenai kekhawatiran, kegelisahan, atau ketegangan berupa
perasaan cemas, tegang, dan emosi yang dialami seseorang (Ghufron dan Rini,
2012).
Teori Freud menyebutkan bahwa kecemasan merupakan perasaan takut.
Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang
ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan akibat dorongan-dorongan dari dalam
atau luar dan dikuasai oleh susunan syaraf (Hall, 2000).
Sementara itu, cemas menurut Frank Tallis merupakan tanggapan dari
seluruh masalah yang terjadi karena kita tidak dapat mengendalikan pikiran buruk
serta cenderung semakin lama semakin bertambah (Tallis, 1991).
Delgado berpendapat bahwa kecemasan adalah ketegangan perasaan, yang
mana keadaan itu dapat disadari maupun tidak disadari. Berdasarkan uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu ketegangan
perasaan yang disadari maupun tidak disadari, ditimbulkan oleh suatu keadaan
yang tidak menyenangkan, tekanan serta ketidakmampuan seseorang
mengendalikan pikiran buruk.
Dengan demikian, kecemasan dapat disimpulkan sebagai emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran,
keprihatinan, dan rasa takut karena menganggap aka nada sesuatu yang buruk
terjadi kepadanya.

B. Aspek Kecemasan
Calhoun dan Acocell (1995) mengelompokkan aspek-aspek kecemasan menjadi
tiga, yaitu:
1. Emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan persepsi
individu terhadap pengaruh psikologis dari kecemasan. Individu merasa
prihatin, ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau orang lain,
2. Kognitif, yaitu ketakutan dan kekhawatiran yang berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir jernih sehingga mengganggu dalam memecahkan
masalah dan menguasai tuntutan lingkungan hidup,

3. Fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap sumber


ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini berkaitan dengan sistem saraf yang
mengendalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh sehingga timbul reaksi
dalam bentuk jantung berdetak lebih cepat, nafas bergerak lebih cepat, dan
tekanan darah meningkat.

C. Sumber Penyebab Kecemasan


Kecemasan dasar berasal dari takut yaitu suatu peningkatan yang berbahaya
dari perasaan tak berdaya dalam dunia penuh dengan ancaman. Kecemasan dasar
selalu dibarengi oleh permusuhan dasar, berasal dari perasaan marah, suatu
predisposisi untuk mengantisipasi bahaya dari orang lain dan untuk mencurgai
orang lain (Alwisol, 2010). Sumber-sumber kecemasan meliputi hal-hal di bawah
ini (Ghuffron dan Rini, 2012) :
a. Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri,
seperti perasaan negative bahwa ia lebih jelek dibandigkan teman-
temannya.
b. Emosionalitas (imosionality) sebagai reakdi dari pada rangsangan saraf
otonom, seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan tegang.

c. Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas (task gerated


interference) merupakan kecenderungan yang dialami yang selalu tertekan
karena pemikiran yang rasional terhadap tugas.

D. Gejala Kecemasan
Sedangkan individu yang mengalami kecemasan dapat dilihat dengan
adanya gejala sebagai berikut:
1. Gejala fisiologis, yaitu gejala yang muncul secara fisik seperti keringat
dingin, gemetar, sesak napas, insomnia, jantung berdenyut cepat, pucat,
muka memerah, sakit perut,
2. Gejala emosional, yaitu gejala yang berpengaruh pada jiwa seseorang
seperti rasa takut, tegang, khawatir, gelisah, panik, tertekan, dan cepat
marah,
3. Gejala kognitif, meliputi tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu
mengendalikan pikiran, pelupa, tidak memperhatikan lingkungan.
E. Bentuk Kecemasan
Shah membagi kecemasan dalam tiga bentuk komponen, yaitu:
1. Fisik, kecemasan fisik merupakan kecemasan yang muncul dalam bentuk
fisik di tubuh manusia, seperti pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut
mual, mulut kering, pucat, menangis, dan grogi,
2. Emosional, kecemasan dalam bentuk emosional merupakan bentuk rasa
cemas perasaan seseorang, biasanya terlihat dalam bentuk gerak – gerik
dan ekspresi wajah seperti panik, takut, gelisah, dan khawatir,
3. Mental atau kognitif, berupa gangguan perhatian dan memori,
kekhawatiran, ketidakteraturan dalam berpikir, bingung.

F. Mengatasi Kecemasan
Menurut Frank Tallis, kecemasan dapat diatasi dengan beberapa tahap,
yaitu:
1. Mengenali kecemasan, yaitu mengenali tetang penyebab dan munculnya
rasa cemas. Kecemasan timbul tanpa disadari sehingga seseorang tidak
dapat memutuskan kapan rasa cemas tersebut muncul dan sekali hal itu
muncul akan sulit dihentikan. Rasa cemas dapat dikenali ketika pikiran
negatif memenuhi benak seseorang yang dapat merubah perasaan hingga
perilaku seseorang,
2. Mengakui dan mengungkapkan perasaan cemas tersebut. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara menulis di buku harian atau sharing dengan orang
terdekat,
3. Berpikir positif. Jika rasa cemas tersebut telah dikenali karena adanya
pikiran negatif, hendaknya segera mungkin menggantikannya dengan
pikiran yang lebih realistis dan positif karena pikiran dapat mempengaruhi
perasaan.
BAB III
PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DALAM MENGATASI
KECEMASAN DALAM PERKAWINAN

Konseling merupakan sesuatu yang berbeda dengan memberi nasehat, karena


konseling memiliki tujuan yang terfokus pada kebutuhan klien. Konseling tidak
mempengaruhi, membujuk, menegur, mengancam, atau mengintimidasi, tetapi
memberikan alternatif untuk diputuskan sendiri oleh klien. Dalam konseling
hendaknya tidak dilakukan penilaian benar-salah atau baik-buruk, karena setiap klien
menginginkan masalahnya teratasi tanpa adanya tuduhan sebagai orang yang
bersalah. Uraian secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut:

A. Tujuan

Secara umum pedoman ini dapat digunakan sebagai panduan bagi terapis
untuk menurunkan kecemasan klien dalam masalah perkawinan.

B. Setting Terapi
Pada dasarnya klien memiliki potensi seperti dorongan untuk
mempertahankan dan mengembangkan dirinya sendiri seoptimal mungkin, namun
realisasi dorongan ini bisa jadi belum maksimal karena klien belum
mempergunakan kemampuannya untuk berpikir secara efektif dan efisien. Oleh
sebab itu, disini terapis berperan secara bervariasi sebagai guru, pelatih, konselor,
konsultan, psikiater, mentor yang turut berperan serta dalam membantu klien
untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, juga mengajari klien untuk
dapat melatih pengendalian masalah tingkah lakunya (Latipun, 2008). Terapi
terdiri dari 5 sesi, masing-masing dilaksanakan selama kurang lebih 45-60 menit,
dilakukan satu kali per minggu.

C. Metode Pendekatan
Carl Rogers memperkenalkan suatu pendekatan dalam konseling pada diri
klien. Selama wawancara konseling berlangsung, klien diberi kesempatan dan
kebebasan untuk mengekspresikan diri dan emosinya serta dipercayakan utnuk
memikul sebagian besar tanggung jawab bagi pemecahan masalahnya.
Pendekatan ini mulai diperkenalkan pada tahun 1951 (Meyer dan Meyer, 1975)
dalam M. A. Subandi 2003.
Dalam hal ini Rogers sangat yakin, bahwa pengalaman individual yang
sesungguhnya hanya dapat diketahui secara lengkap oleh individu itu sendiri,
bahwa seseorang akan merupakan sumber informasi yang terbaik mengenai
dirinya sendiri. Calon pengantinlah yang sangat mengetahui masalah yang
dihadapi, kekhawatiran yang muncul menjelang pernikahan, sehingga dengan
pendekatan ini diharapkan calon pengentin dapat mempersiapkan pernikahannya
dalam rangka menuju kebahagiaan.
Pendekatan humanistik ini oleh Carl Rogers disebut sebagai “Person
Centered”. Artinya ia memandang manusia sebagai makhluk yang dilahirkan
dengan pembawaan dasar yang baik, memiliki kecenderungan yang bertujuan
positif, konstruktif, rasional, sosial, berkeinginan untuk maju, realistik, memiliki
kapasitas untuk menilai diri dan mampu membawa dirinya untuk bertingkah laku
sehat dan seimbang, cenderung berusaha untuk mengaktualisasikan diri,
memperoleh sesuatu dan mempertahankannya. Setiap manusia memiliki harga
dan martabat dirinya, sehingga dengan didukung oleh pembawaan dasarnya maka
setiap manusia akan siap dan mampu untuk mengatasi masalahnya (Patterson,
1986).

D. Teknik Wawancara
Teknik wawancara yang digunakan adalah :
1. Empati adalah kemampuan terapis untuk merasakan apa yang dirasakan
klien. “Saya dapat merasakan apa yang anda cemaskan saat ini. Hal ini
memang tidak mudah.”
2. Attending adalah perilaku menghampiri pasien, menjaga kontak mata
dengan klien, bahasa badan dan bahasa lisan. Attending yang baik dapat
untuk meningkatkan harga diri klien, menciptakan suasana yang nyaman,
dan mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
3. Pertanyaan terbuka (open question). Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang
baik dimulai dengan “apakah, bagaimana, adakah, bolehkah, dapatkah”.
4. Pertanyaan tertutup (closed questions). Tujuannya adalah untuk
mengumpulkan informasi yaitu memperjelas sesuatu dan menghentikan
pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
5. Eksplorasi adalah kemampuan terapis untuk menggali perasaan,
pengalaman, dan pikiran klien.
6. Refleksi adalah keterampilan terapis untuk merefleksikan kembali kepada
klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman klien sebagai hasil
pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbal.
7. Paraphrasing adalah menyatakan kembali pesan utama klien secara
seksama dengan kalimat yang mudah dan sederhana.
8. Minimal encouragement yaitu suatu dorongan langsung yang singkat
terhadap apa yang telah dikatakan klien, misal “oh...,terus... lalu...dan....”

E. Tahap Terapi
Tahap-tahap melakukan konseling elektik dengan setting individu, yaitu :
1. Tahap Eksplorasi Masalah
Pada tahap ini konselor menciptakan hubungan sebaik mungkin
dengan klien, membina hubungan saling percaya, menggali kepercayaan
klien lebih dalam mendengar apa yang menjadi perhatian klien, menggali
pengalaman klien dan merespon isi, perasaan dan arti dari apa yang
dibicarakan klien.
Klien mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi. Selama
tahap ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil
menunjukkan pemahaman dan pengertian serta memantulkan perasaan dan
pikiran yang diungkap oleh klien. Konselor banyak menggunakan teknik-
teknik verbal yang mengandung pengarahan minimal.
Konselor berusaha untuk menentukan apa yang diharapkan klien dari
dirinya. Harapan ini merupakan kebutuhan klien pada saat sekarang dan
berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling.
Kebutuhan klien dapat bermacam-macam, antara lain:
a) Informasi tentang sesuatu dan dia akan puas setelah mendapat
informasi yang relevan. Tanggapan konselor berupa penjelasan tentang
hal yang ditanyakan kalau dia langsung mengetahuinya, atau berupa
penunjukan sumber-sumber informasi yang relevan.
b) Dukungan moral dalam menghadapi suatu situasi kehidupan yang sulit
baginya. Klien ingin mencurahkan isi hatinya dan mengurangi beban
batinnya dengan mengutarakan semua kepada seseorang yang dapat
mendengar dengan tenang dan bersikap empati. Tanggapan konselor
dapat berupa pemberian semangat dan keberanian sertapengangkatan
hati.
c) Konfirmasi atau suatu pilihan yang telah dibuatnya. Konselor dapat
mempersilakan klien untuk menjelaskan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan apa ditentukan pilihan itu.
d) Bantuan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, yang memang
belum ditemukan cara penyelesaiannya. Kebutuhan ini menjadi nyata
dari ungkapan-ungkapan klien selama tahap penjelasan masalah.
2. Pernikahan: Mengenal Tujuan dan Diri Sendiri
Pemateri memberikan pengetahuan kepada peserta mengenai
pentingnya memulai pernikahan dengan tujuan dan harapan yang realistis
serta perlunya mengenali diri sebelum hendak menyatukannya dengan
orang lain dalam wadah pernikahan. Pemateri juga menekankan pentingnya
mengenal keluarga pasangan dalam rangka mengenai karakter pasangan.
Sesi ini banyak melibatkan peserta untuk berefleksi, mengerjakan aktivitas
dan berdiskusi dengan pasangan.
Di awal sesi, pemateri menanyakan mengenai alasan peserta untuk
menikah. Peserta yang telah merefleksikan tujuan pernikahan secara positif
akan menjawab seperti 'hendak membangun keluarga sakinah'. Namun
apabila peserta kurang realistik akan menjawab seperti 'karena saya sangat
mencintainya' atau 'saya berharap ia dapat mengubah saya menjadi pribadi
yang lebih baik'. Setelah aktivitas tersebut, pemateri menyampaikan materi
terkait dengan harapan pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan situasi
pernikahan yang real terjadi. Materi ini disampaikan sebagai pengetahuan
bagi peserta bahwa terdapat banyak tantangan dalam pernikahan yang
membutuhkan kerjasama bersama pasangan. Pernikahan tidak hanya
membutuhkan cinta namun juga komitmen dan keinginan untuk
beradaptasi bersama.
Setelah menyampaikan tentang makna pernikahan, pemateri
menyampaikan mengenai pentingnya mengenal diri sebagai upaya untuk
memudahkan adaptasi di dalam pernikahan. Sesi ini diawali dengan
aktivitas mengenal diri yang dilakukan secara individual. Peserta diminta
untuk memilih karakter-karakter dirinya pada satu lembar kertas yang
didalamnya telah terdaftar beberapa karakter manusia. Setelah menandai,
peserta diminta untuk memilih 3 karakter yang paling menonjol dan
menuliskannya pada secarik kertas. Pemateri juga meminta peserta untuk
menuliskan dua tambahan karakter yang bukan karakter dirinya. Dari lima
karakter yang telah tertulis pada 5 carik kertas, pasangan peserta diminta
untuk memilih tiga karakter mana yang merupakan karakter dari
pasangannya. Aktivitas ini dilakukan secara bergantian. Melalui aktivitas
ini, peserta diharapkan lebih sadar mengenai dirinya sendiri dan mampu
mengevaluasi sejauh mana mereka mengenal satu sama lain sebagai
pasangan. Sesi ditutup dengan materi kiat memahami pasangan.
3. Komunikasi dan konflik
Sesi ini diawali dengan role play secara berpasangan. Pemateri
memberikan tiga tugas kepada setiap pasangan dimana pasangan diminta
untuk mengerjakan tugas tersebut secara bersama-sama. Pemateri hanya
memberitahukan tugas tersebut kepada salah satu pihak, kemudian ia
diminta untuk mengkomunikasikan dan mengerjakan tugas tersebut
bersama pasangan. Melalui role play ini, pemateri dapat membantu peserta
untuk mengevaluasi pola komunikasi mereka selama ini. Setelah sesi role
play ini, pemateri memberikan materi mengenai komunikasi dan resolusi
konflik kepada peserta.
4. Mengenal peran dalam rumah tangga
Sesi dimulai dengan pengisian kuesioner oleh para peserta. Mereka
tampak mampu diajak bekerjasama mengisi kuesioner pembagian peran.
Kuesioner ini berisi mengenai pernyataan-pernyataan mengenai pembagian
peran dalam rumah tangga, seperti “Pengasuhan anak bukan hanya
tanggung jawab istri, tetapi juga menjadi tugas suami” atau “Suami dan
istri memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dalam
karir.” Peserta secara individual diminta menilai setuju/tidaknya terhadap
pernyataan-pernyataan tersebut. Dari hasil pengerjaan secara individual,
peserta kemudian diminta mendiskusikan hasilnya kepada pasangan. Para
pasangan yang memiliki kesamaan persepsi mengenai pembagian peran
dianggap sudah cukup memiliki visi yang sama dalam keluarga.
Sebaliknya, apabila belum dan ditemukan banyak perbedaan, maka mereka
perlu mendiskusikannya lebih dalam lagi di kehidupan sehari-hari.
Setelah mengenali pembagian peran dalam rumah tangga yang ingin
mereka jalani, dilanjutkan dengan penyampaian materi mengenai jenis-
jenis peran. Sebelum membahas materi mengenai tips perencanaan
keuangan, para peserta juga diminta untuk menyusun tujuan keuangan
jangka pendek, menengah, dan panjang. Dengan demikian, peserta lebih
memahami pentingnya tujuan dalam pengaturan keuangan.
5. Menguatkan sumber daya untuk menggapai sakinah, mawadah, warahmah
Pertemuan terakhir mengintegrasikan pengetahuan peserta mengenai
materi sebelumnya. Untuk itu, pemateri mengajak peserta membuat peta
sumber daya (resource map) beserta visi pernikahan. Hal ini bertujuan agar
para peserta lebih memahami dan dapat memprediksi berbagai sumber
daya yang mereka miliki untuk mempertahankan pernikahan. Di akhir
materi, peserta diminta untuk mengisi lembar evaluasi mengenai
kebermanfaatan seluruh materi.

F. Outcome
Terapis dapat membantu klien dengan metode yang paling sesuai dengan
masalah yang dihadapi, sehingga klien mampu memaksimalkan intelektualnya
sebagai sumber daya untuk menemukan pemecahan masalah dengan penyesuaian
yang positif dan bermanfaat bagi dirinya.
BAB IV
PENUTUP

Perkawinan merupakan sebuah tahapan hidup yang penting dalam


kehidupan, di dalamnya menyimpan banyak harapan dan tujuan yang jika
dijalankan dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, perkawinan bukan
merupakan hal mudah. Banyak rintangan-rintangan yang disebabkan berbagai
macam permasalahan sehingga tidak jarang masalah tersebut akhirnya
menyebabkan perpisahan dalam pernikahan (perceraian).
Kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai
dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut karena
menganggap ada sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Dalam pernikahan, akan
hadir perasaan cemas dikarenakan adanya perubahan kebiasaan hidup dua
individu. Dari awal mula individu tersebut memiliki orientasi hidup untuk dirinya
sendiri, berubah menjadi berorientasikan kepada kehidupan dua individu.
Konseling digunakan sebagai salah satu cara untuk menghadapi kecemasan
dalam perkawinan. Berbeda dengan nasehat, konseling memiliki tujuan yang
terfokus pada kebutuhan klien. Konseling tidak mempengaruhi, membujuk,
menegur, mengancam, atau mengintimidasi, tetapi memberikan alternatif untuk
diputuskan sendiri oleh klien. Dalam konseling sebaiknya tidak dilakukan
penilaian benar-salah atau baik-buruk, karena setiap klien menginginkan
masalahnya teratasi tanpa adanya tuduhan sebagai orang yang bersalah, sehingga
klien mampu memaksimalkan intelektualnya sebagai sumber daya untuk
menemukan pemecahan masalah dengan penyesuaian yang positif dan bermanfaat
bagi dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press

Ariyani DR, dan Setiawan JL. (2007). Pola relasi dan konflik interpersonal antara
menantu perempuan dan ibu mertua. Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi.

Calhoun dan Acocell. (2012). “Aspek-Aspek Kecemasan” dalam Kamarudin


Hubungan Antara Efiksi Diri Akademik Dengan Kecemasan Menghadapi Ujian
Nasional Pada Siswi MTs. Padureso Kebumen, Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Sosial Humaniora.

Clinebell HJ dan Clinebell JA. (2005). Growth counseling for marriage enrichment.
Santa Barbara: Fortress.

Compton WC. (2005). Introduction to Positive Psychology. New York: Thompson


Wadsworth.

Edvard, Westermarck. (2013). Marriage and Legit. Diunduh dari


http://www.economics.uci.edu/~dbell/marriageandlegit.pdf pada tanggal
tanggal 28 Februari 2018

Ghufron MN, dan Rini RS. (2012). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.

Hall SC. (2000). Libido Kekuasaan Sigmund Freud, Terj. Tafsir. Yogyakarta:
Tarawang.

Haq, Fajrul. (2005). Hubungan Antara Religiusitas dengan Kecemasan Mengahadapi


Pernikahan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Indonesia. (1974). Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN


No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019

Nevid JS, Rathus SA, dan Greene B. (2005). Psikologi Abnormal (Terjemahan). Jilid
2, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Tallis F. (1991). Mengatasi Rasa Cemas, Terj. Meitasari Tjandrasa, Jakarta: Arcan.

Anda mungkin juga menyukai