Anda di halaman 1dari 3

Relevansi teori feminis pada kampanye politik

Terdapat sejumlah teori feminis yang bisa membantu, termasuk marketing politik, untuk
memahami bagaimana wanita diterima dalam hubungannya dengan pria dan pada lingkup
sosial yang lebih luas..
1. The Second Sex oleh Simone de Beauvior – mendebat jika warisan budaya
patriakal menciptakan penerimaan umum dalam masyarakat bahwa sikap
maskulin dibuat sebagai “norma” ( dan pria tetap menjalankan posisi utama dalam
institusi, politik, keagamaan, keilmua, hokum, pendidikan dll) dan feminin
dianggap sebagai “sisi lain” and “yang kurang”. Ada pendapat jika ingin
menganggap wanita setara harus menganggapnya seperti pria. Teori ini memberi
penjelasan tentang ketakutan para politisi bahwa jika mereka memperlakukan
wanita secara berbeda, mereka akan dianggap memperlakukan wanita sebagai
orang lain atau yang kurang sehingga denigrating, patronizing atau sebaliknya
menghina mereka.
2. Is Female to Male as Nature Is to Culture (1974) karya Sherry Ortner seorang
antropoligis. Menurut Ortner wanita telah diasosiasikan oleh pria melalui peran
domestiknya yang dianggap “tidak pandai” seperti memasak, membersihkan
sehingga wanita dianggap sebagai devaluation dalam komunitas. Sementara
budaya pria, yaitu mengorganisasi komunitas dianggap sebagai pandai dan
superioritas. Pria menguasai bidang-bidang yang berkaitan dengan kekuasaan,
otoritas dan menghasilkan uang.

Wanita di AS dan Inggris telah ikut berpartisipasi secara setara dalam hal memilih dan
emansipasi sejak tahun 1920 dan di abad 20an. Sejumlah wanita juga mulai lebih percaya
diri pada nilai-nilai dalam macam2 peran dalam masyarakat termasuk wilayah domerstik
dan bertambah dalam representasi politik yang melihat kegunaan bagi keluarga,
kehidupan dan bersedia untuk berdebat dalam retribusi dalam kesejahteraan mereka
secara langsung maupun tidak melalui skema kesejahteraan anak, usia dan keuntungan
sosial lainnya.

3. Nancy Chodoroa, sosilogis AS menulis dalam The Reproduction of Mothering,


bahwa personalitas soal gender dibentuk oleh psikodinamis pada keluarga
(Chodorow, 1978). Dia menyakini bahwa karena “setiap hubungan inisial anak
adalah terhadap ibunya, anak laki-laki menjadi pria hanya melalui kontradiksi
dengan ibunya.” Seorang bocah laki-laki yang sedang tumbuh biasanya sayang
dan dekat dengan ibunya, dia tidak tahu banyak tentang bapaknya, kecuali jika
pekerjaan bapaknya seorang olahragawan, tentara, pilot, pemadam kebakaran,
polisi – seperti peran dalam permainan bocah laki-laki ( secara kebetulan juga
pekerjaan ini memakai seragam yang menyatakan suatu status). Bocah-bocah ini
tahu sejak awal jika ibunyalah yang mengurusi keluarganya. Bocah ini seharusnya
tahu hal-hal yang bersifat maskulin, tetapi hanya sedikit yang dia tahu. Tetapi dia
tahu kalau tidak boleh menjadi feminin, dan harus tumbuh berbeda dari ibunya
dan dia harus melewati jembatan dari dunia feminin menjadi dirinya sendiri,
sebagai orang yang dihormati. Posisi ini berbeda dengan anak perempuan, dimana
dia belajar dari kedekatan hubungan dengan ibunya. Chodorow berpendapt jika
gadis dan wanita lebih mudah mendefinisikan diri mereka dalam hubungan satu
sama lain.
Relevansi teori Chodorow dalam political marketing adalah untuk mengenali
aspek karakter yang penting lainnya dimana wanita itu setara tetapi berbeda.
Penelitian sekarang menunjukkan bahwa anak-anak gadis tumbuh dalam perilaku
wanita memilih lebih menekankan pada kepedulian sosial dan lingkungan
daripada pria karena mereka terbiasa dari bayi untuk mendefinisikan dirinya tidak
hanya sebagai individual tetapi sebagai anggota keluarga dan komunitas.

Hillary Rodham Clinton menunjukkan harmonisasi ini dalam bukunya, It Takes a


Village
“anak-anak dibuai dalam keluarga yang bertanggungjawab dari bayi sampai
dewasa. Tetapi disekitar keluarga terdapat lingkungan yang lebih luas yaitu
tetangga, sekolah, gereja dll, yang mempengaruhi anak-anak secara langsung atau
melalui keluarganya ….

Fakta bahwa tema dan judul buku sebagai kebijakan universal ini diambil dari
pepatah Afrika kuno adalah kekuatan lain dalam masyarakat multicultural dan
menjadi dasar bagai pencapaian Clinton dalam popularitasnya terhadap wanita.
Program Partai Demokrat menjadikan ibu sebagai pekerja yang mendapat upah
sementara yang lain merawat anaknya,
……

4. Carol Gilligan (1982) psikolog dan filsuf Amerika argu dalam In a Different
Voice bahwa pembentukan moralitas pada pria dan wanita berbeda. Karena
wanita lebih peduli pada aktivitas merawat dan perkembangan moral anak,
mereka mendefiniskan moralitas sebagai pemahaman terhadap tanggungjawab
dan hubungan, sementara pria secara umum mengklaim bahwa moralitas
didefinisikan oleh keadilan yang menghantar mereka untuk berpikir tentang hak
dan aturan. Disini kita bisa melihat cara bagaimana wanita setara tetapi berbeda
dan rasional yang meyakinkan bagai perbedaan skala prioritas dalam politik.

Carole Pateman (1988) argue di The Sexual Contract bahwa demokrasi di negara Barat “
kewarganegaraan dibuat dalam imej pria” dan pelaksanaa hak-hak kewanitaan (hanya di
abad ke 20) sangat berbeda dari inklusi pria. Tesisnya seperti berikut :
1. “kontrak sosial” adalah pria dan “kisah kebebasan”. Jenis pengalaman kehidupan
pria adalah perunding bebas pada sejumlah kesepakatan, pekerjaan, pensiun,
rumah dan pembelian mobil. Jadi sebagai “pencari uang utama dalam keluarga”
suami mempunyai hak untuk mengatur budjet, membuat perancanaan keuangan
dan dll.
2. “kontrak seksual dan subyek pengontrolan. Kontrak terbesar seorang wanita
adalah perkawinan, yaitu “normal” kesepakatan berdasarkan nilai-nilai
keagamaan yang bisa diterima. Tidak ada klausal yang bisa dinegosiasikan dalam
perkawinan. Dalam masyarakat patriakal, meski wanita tersebut mempunyai
penghasilan sendiri, karir seorang istri akan di”habiskan” oleh kehadiran bayi dan
wanita sering mendapat penghasilan lebih rendah dari pria meskipun dia bekerja
penuh atau paruh waktu. Sehingga wanita atau ibu harus bergantung pada
pertimbangan suami, kebaikan hati, manajemen yang bagus, dan kesejahteraan
dan keamanan.

Pateman (1994) mengamati “sebagian besar teori demokratis melihat tidak ada masalah
khusus tentang wanita dan kewarganegaraan dan mengasumsikan bahwa keibuan terpisah
dengan politik. Kontradiksi dan ambiguitas posisi wanita dalam politik tetap tidak dapat
diidentifikasi. Prioritas politik secara umum pada wanita AS dan Inggris berbeda dengan
pria. Wanita mencari perlindungan politik dari vulnerability pada karir di masyarakat,
mencari pengesahan untuk membantu mereka dalam mengkombinasi antara pekerjaan
dan kehidupan keluarga, mencari jaringan pengaman pada saat mengalami kekurangan
uang, mencari keamanan dari kejahatan dan menjadi lingkungan yang stabil dan sehat,
menambah pendapatan dan lebih mudah mengendalikan masalah keuangan mereka
sendiri dan masa depan.

Fawcett Society (April 1997) mempublikasikan Watching Women: Election ’97, survei
berdasar pada pengamatan intensif terhadap jangkauan berita pada saaat kampenye di
Inggris pada April 4-10 1997. Riset ini menemukan bahwa terpaan media didominasi
politisi pria, reporter, presenter, ahli, akdemisi dan professional lain. “Pemberitaan di
telivisi tidak memenuhi kewajiban pelayanan publik terhadap wanita untuk
menginformasikan secara konsisten dalam jangkauan mereka.” Pada hal ini sekitar
sepertiga pemilih wanita tidak menentukan bagaimana sebaiknya mereka memilih.
Monitoring dilakukan terhadap media penyiaran untuk menjamin adanya kesamaan partai
tetapi gagal mencatat marginalisasi peranan dan kontribusi wanita, meskipun secara jelas
terlihat.

Ternyata dalam media sendiri juga ada anggapan bahwa wanita seorang pemikira yang
gampang bingung sehingga sedikit terdapat editor media (Mary Ann Sieghart – penulis
utama the Times). Dalam media penyiaran di Inggris, berita sering dianggap sebagai
‘perlombaan balap kuda’ atau ‘kontes gladiator’ antara partai dan pemimpin.

Anda mungkin juga menyukai