Anda di halaman 1dari 6

Emansipasi Wanita : Sebuah Pergeseran Budaya yang Positif?

Oleh : Wonaluv Wewra

Dalam kebudayaan kita, secara turun temurun wanita ditempatkan sebagai

manusia sekunder. Wanita seringkali ditempatkan pada posisi yang kurang

menguntungkan dan serba dibatasi. Wanita lebih banyak berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan yang bersifat domestik dari pada kegiatan yang bersifat publik.

Banyak sekali aturan-aturan yang menekankan bahwa wanita ‘tidak layak’ untuk

melakukan bebarapa hal.

Seiring dengan berjalannya waktu dan masa, wanita mulai menyadari

bahwa mereka layak untuk mendapatkan posisi yang sama dengan pria. Hal ini

mendorong munculnya pergerakan-pergerakan emansipasi wanita.

Emansipasi wanita pun terus berkembang, karena manfaat dari hasil proses

emansipasi tidak hanya dirasakan oleh kaum wanita saja tetapi pihak-pihak lain

juga, salah satunya kaum pria. Meningkatnya peran wanita terlihat sebagai sebuah

prestasi atau peningkatan, akan tetapi kita masih perlu mencermati dan melihat

lebih dalam.

Emansipasi wanita menyangkut adanya perubahan pola pikir dan cara

pandang yang berimbas pada perubahan tata nilai pada masyarakat. Karena hal

tersebut itulah, dapat dikatakan bahwa emansipasi wanita adalah sebuah

perubahan atau pergeseran budaya. Untuk dapat menyikapi perubahan budaya ini

secara proporsional dan tepat, kita harus melihat secara lebih menyeluruh

mengenai emansipasi wanita itu sendiri, baik tujuan utama dari emansipasi, kodrat

dan peran wanita sesungguhnya serta adakah batasan yang jelas seberapa jauh

emansipasi wanita dapat dilakukan.


Emansipasi

Emansipasi dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan

persamaan. Hal yang paling sering terdengar dari emansipasi adalah emansipasi

wanita. Emansipasi wanita itu sendiri sering dikaitkan dengan usaha para wanita

untuk memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Hak tersebut meliputi

berbagai hak, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan.

Di negara kita, emansipasi wanita telah dimulai sejak sebelum Indonesia

merdeka. Jika kita melihat lebih lampau, dalam budaya kita, wanita hanya

diperbolehkan untuk berurusan dengan urusan di dalam rumah atau urusan rumah

tangga. Wanita tidak perlu berpendidikan tinggi. Bahkan wanita pun tidak di

bebaskan untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri.

Memasuki zaman perjuangan untuk kemerdekaan, bermunculanlah

pahlawan-pahlwan wanita yang kontribusinya secara luas diakui dan dapat di

sejajarkan dengan pejuang-pejuang pria lainnya. Kita sudah tidak asing lagi

dengan nama Dewi Sartika, Cut Nyak Dien hingga RA Kartini. Wanita-wanita

inilah tonggak dari lahirnya emansipasi wanita di Indonesia.

Wanita dalam berbagai perspektif

Pandangan Hinduisme

Dalam Hinduisme wanita dipandang sebagai pemberi keberuntungan.

Dalam tradisi Hindu keberuntungan diartikan pula sebagai kekuatan yang


membawa keberuntungan dan keadilan. Wanita ideal adalah perempuan yang

menikah dan berkorban untuk menyelamatkan suaminya, atau disebut juga sati.

Wanita yang menikah membawa keberuntungan kepada suaminya, disebut

juga dengan sumangali, yang menolong suaminya mencapai dharma (kewajiban),

artha ( kesuburan dan kekayaan) dan kama ( kenikmatan seks ).

Sebenarnya wanita memiliki peran dan kedudukan yang cukup penting

karena dharma dan artha tergantung pada wanita, akan tetapi tetap berada dalam

posisi yang inferior. Upacara pernikahan dianggap sebagai pintu masuk ke surga

bagi para wanita, dimana wanita tersebut dituntut untuk setia kepada sang suami

dan bahkan harus membakar dirinya apabila suaminya meninggal dunia.

Pandangan Buddhisme

Pada awal mula munculnya ajaran Buddhisme, wanita memiliki

kedudukan yang lebih dibandingkan dengan pria, dimana Dewi Matahari

( Amaterasu ) mempunyai peranan utama sedangkan Dewa Bulan ( Tsukiyomi ),

memegang peranan sekunder.

Dalam perkembangannya, wanita diperlakukan secara diskriminatif.

Diskriminasi ini dapat dilihat dari persyaratan untuk menjadi biksu, wanita yang

ingin menjadi memiliki syarat yang lebih berat dibandingkan pria. Dalam

Manusmurti, status seorang wanita ayng belum menikah tergantung kepada

ayahnya, setelah menikah tergantung kepada suaminya, dan setelah tua

bergantung kepada anak laki-lakinya.

Pandangan Agaman Yahudi

Yahudi merupakan cikal bakal dari agama-agaman Nasrani. Dalam Agama

Yahudi wanita dipandang sebagai subyek penyebab dosa, sehingga dihukum

dengan kesakitan yang akan dialaminya pada saat melahirkan. Hal-hal yang secara
alami akan dialami oleh wanita, seperti haid, dianggap sebagai sesuatu yang kotor

dan najis.

Pandangan Agama Nasrani

Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, menegaskan bahwa wanita ada

karena pria. Dalam Agama Nasrani, wanita tidak diperbolehkan berbicara dalam

pertemuan jemaat. Wanita tidak boleh menjadi imam dan pemimpin

upacara/ibadah. Jika kita melihat hirarki pada Gereja Katholik, seluruhnya

dikuasai oleh kaum pria.

Di Asia, agama merupakan institusi sosial yang sangat menentukan seluruh

perkembangan masyarakat. Agama turut berperan serta dalam membentuk

pengetahuan masyarakat mengenaihubungan dan posisi antara pria dan wanita.

Perkembangan Peran Wanita

Jika kita membicarakan mengenai wanita, maka tidak akan terlepas dari

sebuah sistem sosial dimana wanita menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Wanita merupakan salah satu dari dua jenis kelamin, dan selalu dalam peran

sekunder. Dikotomi nature dan culture dipergunakan untuk menunjukan

stratifikasi antara pria dan wanita. Keduanya memiliki posisi yang sama, salah

satu lebih rendah dari pada yang lain.

Wanita lebih digambarkan sebagai ‘nature’ yang harus ditundukan dan

dikuasai agar menjadi lebih berbudaya. Pria dianggap lebih ‘culture’

dibandingkan dengan wanita. Hal ini menimbulkan ketimpangan hubungan antara

pria dan wanita. Wanita cenderung lebih berperan dalam sektor

domestik,sedangkan pria banyak berperan di dalam sektor publik.


Dari masa ke masa, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi

dalam peran wanita. Jika pada mulanya wanita lebih berperan di sektor domestik,

pada saat ini peran wanita sudah meluas ke sektor-sektor publik. Wanita dengan

tugas-tugas di dalam rumahnya, kini dapat juga melakukan tugas-tugas dan peran

yang dahulu didominasi oleh pria. Perubahan ini terjadi melalui proses konstruksi,

dekonstruksi dan rekonstruksi

Konstruksi, proses pertama yang terjadi, adalah terbentuknya susunan

realitas objektif yang telah disepakati secara umum. Pada saat susunan realitas

objektif resebut dipertanyakan, maka akan muncul proses dekonstruksi. Proses

dekonstruksi menghasilkan sebuah rekonstruksi. Rekonstruksi adalah proses

rekonseplualisasi/pengkonsepan kembali dan redefinisi wanita.

Telah secara umum disepakati bahwa wanita haruslah menjadi istri dan ibu

yang baik. Sebagai seorang istri yang baik, seorang wanita harus dapat

mendampingi dan mendorong suaminya. Seorang wanita harus dapat bersikap

dengan tepat agar tetap dicintai oleh sang suami.

Wanita tidak hanya dapat menjadi ibu atau memberikan keturunan, tetapi

juga mampu memberika keturunan dengan kualitas yang baik.Dalam banyak

kasus, baik atau buruknya seorang anak sepenuhnya merupakan tanggung jawab

seorang ibu. Gagal atau tidaknya seorang wanita menjalankan tugasnya sebagai

ibu dilihat dari anak-anaknya.

Karena kondisi dan tuntutan-tuntutan yang ada, peran wanita mulai meluas

ke sektor publik. Banyak wanita harus bekerja demi terpenuhinya kebutuhan

rumah tangga. Pemimpin-pemimpin wanita pun sudah banyak bermunculan.

Bukan hal yang mudah bagi para wanita tentunya. Sektor domestik dan

sektor publik mempunyai hukum yang berbeda. Wanita harus dua kali lebih

bekerja keras ketika berperan pada dua sektor tersebut. Wanita tetap harus
bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban yang dimilikinya di sektor

domestik.

Dalam waktu yang bersamaan muncul juga tanggung jawab baru dari

sektor publik yang harus dipenuhinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran wanita

dalam sektor publik menguntungkan berbagai pihak, temasuk diantaranya adalah

kaum pria. Meskipun demikian peran wanita dalam sektor publik tidak

sepenuhnya diterima oleh kaum pria.

Kecenderungan yang patut diwaspadai adalah adanya gejala maskulinisasi,

sebuah bentuk penjajahan pria terhadap wanita dimana sektor-sektor yang

dikuasai oleh kaum wanita secara bertahap di ambil alih oleh kaum pria. Salah

satu gejalanya adalah, peluang mendapatkan pekerjaan bagi kaum pria lebih kecil

dibandingkan wanita. Karena peluang untuk pria semakin terbatas, tidak tertutup

kemungkinan pria akan beralih ke sektor-sektor yang sebelumnya dikuasai oleh

wanita.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran

pandangan mengenai peran wanita. Namun perlu dicermati bersama, apakah

pergeseran budaya ini merupakan hal positif?atau hanya merupakan eksploitasi

terhadap wanita saja?

Anda mungkin juga menyukai