Anda di halaman 1dari 2

Nama : Farah Khairunnisa Setiawan 66

Npm : 1506684672
Mata Kuliah : Antropologi Jender dan Seksualitas
Tugas : Essai 1

- Kalimat banyak yang tidak efektif.


- Kalimat bahasa Indonesia digabung dengan kalimat/kata Inggris membuat tidak jelas artinya
-
Essensialisme VS Kontruksionisme

Dalam bahan bacaan pertama tulisan Harding yang berjudul ‘Investigating sex: Essentialism and
Constructionism’ terdapat dua pendekatan dalam melihat seksualitas. Yang Ppertama, pendekatan
essensialisme yang mana melihat seksualitas dilihat secara biologis, natural, yang berasal dari ‘alam’ dan
bersifat ‘alamiah’. Yang Kkedua, pendekatan konstruksionisme yang mana melihat seksualitas dibangun
sebagai secara konstruksi kultural dan histroris kontingen seperti the roles, definitions, symbol, meaning
of the worlds. Konstruksi sendiri secara teoritis memungkinkan untuk mendekonstruksi dan
merekonstruksi konsep seksualitas popular dan ilmiah. Konstruksionis social berpendapat bahwa
seksualitas tidak didasarkan pada dorongan internal, namun diperoleh dalam lingkungan historis dan
social tertentu (Gagnon dan Parker, 1995 yang dikutip dalam bacaan Harding). Beberapa perspektif
teoritis yang berbeda dalam beberapa decade terakhir menolak gagasan bahwa “the sexual is an
autonomous and rebellious realm which the social controls” Weeks berargumen bahwa “nothing is
instrinsically sexual” and “anything can be sexualized” (Jeffrey Weeks, 1989: 3 yang dikutip dalam
bacaan Harding). Selanjutnya kritik dari anti-essensialist berargumen bahwa “a recognition of the social
and historical sources of sexual definitions”. Kritik mengenai terhadap seksologi menantangsexology
challenged “Both the universalist conception of the sexual as well as the privileged status of scientific
inquiry”. Terdapat kategori kunci dalam penggunaan sexology seksologi dan pembagian aspek kelas
dalam sexual life yakni homosexuality, masculinity, dan femininity (Gagnon dan Parker, 1995 yang
dikutip dalam bacaan Harding).
Selanjutnya dalam bahan bacaan kedua tulisan Vance yang berjudul ‘Social construction theory:
Problems in the history of sexuality’ juga membahas mengenai pendekatan essensialisme dalam
mempelajari seksualitas “a belief that human behavior is ‘natural’, predetermined by genetic, biological,
or physiological mechanisms and thus not subject to change; or the notion that human behaviors which
show some similarity in form are the same, an expression of an underlying human drive or tendency”
(Vance, 1989: 160). Sedangkan pendekatan konstruksionis dalam melihat seksualitas menjelaskan
beberapa gagasan, yakni “the volatile reaction to it (among heterosexuals, too, not just lesbians and
gays); the residual essentialism in all of us, even those trying to work in a social construction frame; and
the difficulty in adopting a consistent rather than a partial constructionist approach” (Vance, 1989: 161).
Beberapa kritik berpendapat bahwa social construction theory menyiratkan sexual identity, lesbian dan
gay identity adalah bagaimanapun juga bersifat fiksional, sederhana, unimportant, ataupun tidak nyata,
karena hal tersebut sudah terkonstruksi secara social, menyatakan kepercayaan mereka bahwa secara
biologis menentukan fenomena tersebut signifikan di dalam kehidupan social manusia.
Pendekatan social construction menarik perhatian pada paradox antara variable secara historical dimana
kultur dan konstruksi masyarakat melihat realitas dan pengalaman yang tetap/ stabil. Hal ini berlakunya
system sexual terlihat natural dan native. Kritik dari konstruksionis juga berargumen bahwa “there is no
essential, undifferentiated sexual impulse, ‘sex drive’ or ‘lust’, which resides in the body due to
physiological functioning and sensation, sexual impulse is constructed by culture and history” (Vance,
1989: 163). Hal itu menjelaskan pemikiran yang sulit mengenai hubungan seksualitas ‘to the body’ dan
menawarkan pada ‘body issues’ lainnya. Contohnya pada model psikologi Masters and Johnson yang
mana menempatkan klitoris sebagai center pusat dari respons seksual perempuan dan menyangkut
orgasme. Membahas mengenai klitoris sebagai standar ‘kepuasan’ yang dialami oleh perempuan ketika
mencapai orgasme. Padahal ternyata argument tersebut dibantah oleh etnografi karya Abu Lughod yang
mana ia memiliki informan perempuan yang klitorisnya sudah disunat habis, tetapi ia mencapai
‘kepuasan’ orgasme ketika melakukan hubungan intim dengan suaminya. Jadi yang dimaksud ‘kepuasan’
dalam hal ini tergantung dari persepsi masing-masing individu yang mengalami. Dan saya setuju pada
argument di dalam tulisan Abu Lughod.

Referensi
-Harding, J. 2002. “Investigating sex: Essentialism and Constructionism”, dalam Susanne LaFont (ed.),
Constructing Sexualities: Readings in Sexuality, Gender and Culture. Pearson, hal. 6-17.
-Vance, C. 1989. ‘Social construction theory: Problems in the history of sexuality’, dalam A. K. Nierkerk
dan T. Van Der Meer (ed.) Homosexuality, Which Homosexuality? London: GMP, hlm. 13-34.

Anda mungkin juga menyukai