Kelembagaan KOPRI
Citra bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara perempuan lemah dan emosional
merupakan konstruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki dan
perempuan terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat. Konstruksi budaya di
atas seringkali disalahartikan sebagai kodrat sehingga menimbulkan rantai ketidakadilan
yang cenderung menindas baik laki-laki dan khususnya perempuan. Ketidakadilan
tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, setua peradaban manusia.
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine,
feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex”
yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin,
atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang
bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan
antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari
bahasa Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin” (John M.
Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983, hlm. 265).
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Victoria
Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I, New York: Green
Wood Press,, h.153.).
Karena istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbendaharaan
kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa
Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa Indonesia.
Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut tidak lagi ditulis
dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian dari bahasa Indonesia,
demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan kata gender menjadi
gender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk
nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim, Advance
English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press, 1991, h. 384),
atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans (Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd., 1980, h. 141. Lihat pula Munir
Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy, Beirūt: Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn, 1985, h.
383)
Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud
adalah jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih
terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa
Indonesia. Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis
dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a
Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan
dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa
mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Lihat Julia Cleves
Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development,
terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara
laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka
validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial (Lihat
Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi, Kajian
Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id.).
Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat,
tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan
perempuan dalam budaya sosial. Illich dianggap sebagai orang yang pertama
menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan segala
sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis kelamin
semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam: Studi terhadap
Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih
et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), h. 23. Ivan Illich menulis buku Gender, diterjemahkan oleh Omi
Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis
yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-
laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah Subhan, “Gender
dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin
Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi
perbedaan dalam hal peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial (Lihat
Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1,
Juli–Desember 1998, h. 99).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan
parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan
pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis
biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah
satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
1. Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: An
Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat
ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap
semua ketetapan masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki
atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society
defines as masculine or feminim is a componen of gender) (Linda L.
Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall,
1990, h. 2.)
2. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar
untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam
membedakan laki-laki dan perempuan (H. T. Wilson, Sex and Gender, Making
Cultural Sense or Civilization, Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill,
1989, h. 2.). Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang
mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai
konsep analisa yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Gender is
an anality concept whose meanings we work to elucidate, and subject matter
we proceed to study as we try to define it) (Elaine Showalter (ed), Speaking of
Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan sebagai
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan
perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang
dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan (Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender -seperti yang dikutip Nasaruddin Umar
dari Women’s Studies Encyclopedia-, adalah “konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.
Ada beberapa definisi gender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian
yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki,
perempuan dan kebudayaan.
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah Nabi yang merupakan sumber utama
ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan
manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan,
keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan
dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan
diskriminasi diantara umat manusia. Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui
mengenai kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi (ditulis al-Qur’annya dalam buku
perempuan sebagai kepala rumah tangga hal 41) bahwa Allah SWT telah menciptakan
manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan
yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan
dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antara
lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan
hanyalah dari segi biologisnya.
Islam mengajarkan umatnya untuk saling menghargai dan menghormati. Menurut Lily
Zakiyah Munir (Kompas, 20 Oktober 2005) “Ada sekitar 30 ayat Al Quran yang mengacu
pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan hak perempuan. Lebih lanjut Lily
Zakiyah Munir juga menyebutkan bahwa Al Quran juga melarang paling tidak enam
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lumrah terjadi di masyarakat Arab pada
saat itu. (Asrizal Lutfi, 2008).
Adapun dalil-dalil dalam al-Qur’an yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
Surat Ar-Rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya
berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki
dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan
menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan
perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya
hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun
yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-Nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah
ayat 71-72, surat Al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT
secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan
nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan
peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan
kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap
perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya
kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama,
dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam “Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan
Perempuan” (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
kesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan
Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan
keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni
kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan
laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195;
Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan
gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam
bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin
saja.
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan
oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam
masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-
temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan Gender tersebut. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai
dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan
melemahkan kaum perempuan.
Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula
dengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah,
Pengertian Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan
Arti Huruf ‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias
Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan
maupun Pembakuan Kitab-kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.
Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang
sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan
sudah selayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-
Nahl/16:90); keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan
dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan
sebagai maqasid al-syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang
tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran
itu harus ditinjau kembali.
C. Gender sebagai Kerangka Analisis
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih
egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam
melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama
yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh
masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi
juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan
sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam
pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki
beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah
diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan
dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena
secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial
dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya
yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal
sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut
bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa dan
disebut bersifat maskulin.
Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya,
ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu gender dapat berubah
dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan
dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang
biologis akan tetap dan tidak berubah.
Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender
tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender
dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai
nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan
melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat
ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai
ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Ketika gender membahas kesetaraan laki-kali dan perempuan, maka gerakan kaum
perempuan yang memperjuangkan kesetaraan tersebut sering disebut dengan gerakan
feminisme. Pada dasarnya, feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan
bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral.
Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman
perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi.
Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan
atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak,
kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang
berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-,
memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk
perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan
kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender. Jadi, seperti
halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk
feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis feminis.
Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa
hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu dirombak dengan
desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin
pusat (central leader) dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang
andosentrik. Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana
tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender.
D. Gerakan Perempuan dan Kapitalisme
Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak
reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus
undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi),
kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan
(maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di
jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut
pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah
disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras
kulit putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut
diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori
feminis yang menantang asumsi bahwa “perempuan” merupakan kelompok individu-
individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul
dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender
dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan
feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan
bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial,
ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu
yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.
Pertama, Fase Kolonialisme. Mereka melakukan penjajahan pada kita karena menilai
daerah kita ini menguntungkan. Pada prinsipnya, mereka mencari keuntungan sebesar-
besarnya dengan melakukan penjajah yang mempunyai resource. Indonesia masuk fase
pertama dalam kapitalisme ini. Kita tahu kondisi perempuan pada era ini. Mereka tidak
punya akses untuk pendidikan, yang punya hanya kelompok priyayi. Ini sebenarnya
perebutan antara kelompok kapitalisme dan sosialisme. Gerakan perempuan belum ada
bahkan masyarakat lainnya pun tidak ada.
Kita waktu itu belum tahun kenapa hasil bumi kita diserahka kepada Belanda? Mereka
hanya tahu hasil bumi mereka dibeli dengan harga murah. Baru kemudian muncul Budi
Utomo sebagai gen kritisisme. Mereka kebanyakan memiliki pendidikan cukup dan
menyadari kenapa hasil bumi mereka dibeli murah dibanding harga yang ada di dunia
lainnya. Generasi berikutnya ada Kartini. Setelah semakin massif dan memiliki
kesadaran nasionalisme, dan di NU ada Resolusi Jihad, Indonesia ini punya kita dan kita
adalah yang berhak mengatur negara kita. Ini sangat fundamental dan monumental
dalam memberika rasa nasionalisme hingga kemudian bisa merebut kemerdekaan
dengan Sukarno sebagai presiden pertama.
Saat itu masih ada pertarungan sosialisme dan kapitalisme, sehingga Soekarno
mengeluarkan NASAKOM sebagai penengah dua gerakan tersebut. Sejak saat
Soekarno inilah muncul kembali gerakan perempuan. Seperti muslimat NU dan Gerwani.
Namun, Gerwani dicap PKI. Padahal sebenarnya untuk melawan kapitalisme dengan
reformasi agraria yang waktu itu sangat diperhitungkan dibanding gerakan lainnya.
Karena konsolidasinya sangat massif dan sudah ada yang duduk di Belanda sebagai
perwakilan perempuan Indonesia (Ibu Sujina, yang meninggal 2008).
Kemudian ternyata ada pemutusan gerakan perempuan di era pasca-Soekarno. Dengan
lahirnya Soeharto sebagai wakil kapitalisme karena mereka merasa tidak bisa apa-apa
ketika dipegang oleh Soekarno. Dengan lahirnya skenario kudeta ‘65, dengan
memunculkan isu bahwa Soekarno adalah PKI.
Mereka (kaum kapitalis Barat) mengadu domba antara gologan abangan dan agamis,
dan banyak kiai yang memerintahkan untuk membunuh orang PKI yang padahal banyak
juga yang tidak masuk PKI. Kemudian mewacanakan Soeharto sebagai pahlawan.
Hampir semua aktifis perempuan sudah mafhum, bahwa gerakan perempuan secara
historis adalah fenomena umum dari gejala maraknya berbagai gerakan sosial baru
yang tumbuh sejak pertengahan abad lalu. Ia adalah respon dari kebuntuan gerakan Kiri
Lama yang terkurung dalam politik kelas yang berakibat pada sikap acuh tak acuh
terhadap realitas penindasan di dalam sub-sub kelas, seperti yang menimpa komunitas
kulit hitam dan kaum perempuan.
Maklum saja, bagi Kiri Lama hanya ada dua kelas, kelas kapitalis sebagai kelompok
penindas, dan kelas proletar sebagai kelompok tertindas. Dalam pandangan mereka
(berbagi dengan Liberalisme, Kiri Lama masih menganut keyakinan rasionalitas
Pencerahan yang meyakini “kemanusiaan yang sama dan universal”), kelas yang telah
disebut terakhir ini adalah satu-satunya agen universal yang menjadi motor perubahan.
Refleksi semacam ini lahir di Eropa, sementara realitas peminggiran dan diskriminasi
terhadap kaum perempuan adalah fenomena yang hampir merata di belahan dunia.
Justeru karena dalam setiap refleksi bersifat partikular, parsial dan selalu ada jarak
renggang dengan kenyataan, maka setiap basis dasar pengandaian dari sebuah refleksi
mesti ditatap dengan mata kritis dan terbuka.
Apakah universalitas manusia –yang acuh tak acuh terhadap realitas diskriminasi dan
peminggiran berdasarkan perbedaan budaya, agama, etnik, dan jenis kelamin, atau
katakanlah perbedaan konteks struktur dasar masyarakat– adalah pengandaian yang
cukup memadai sebagai basis gerakan kesetaraan kaum perempuan?
E. KELEMBAGAAN KOPRI
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini
kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan
potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi
PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan PMII
diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
1. Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan,
Pasal 20 dinyatakan, ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan
anggota perempuan minimal 1/3 keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap
kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan
anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21
ayat (1) Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah
perempuan yaitu KOPRI (Korp PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut
diatas selanjutnya diataur dalam Peraturan Organisasi (PO).
Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI
mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada
tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian
dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di
Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976. Musyawarah Nasional
pertama Korp PMII Putri diselenggarakan pada kongres IV PMII 1970.
KOPRI mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting
beda suara pada Kongres KOPRI VII atau PMII XIII di Medan pada tahun 2000. Merasa
pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di
Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu
kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres
XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai
momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah.
Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta
pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan
PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan
kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan
KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung
sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai’ maryati Shalihah. Dalam Kongres PMII ke-
16 di Batam, Maret 2008, setelah melalui sidang dan voting yang menegangkan dan
melelahkan hingga subuh, memutuskan status KOPRI Semi Otonom.
Korp PMII Putri, sebagai wadah kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia meyakini perannya sebagai khalifatullah fil ardl dan keberadaannya akan
menjadi rahmat bagi segenap alam. Karenanya keberadaan KOPRI harus bisa menjadi
sesuatu yang bisa dirasakan kemanfaatannya tidak hanya oleh kader-kader PMII baik
laki-laki maupun perempuan tetapi juga bagi seluruh Umat yang ada di bumi ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Relasi PMII dan KOPRI sebenarnya tidak berbenturan, hanya secara gerakan,
perempuan mempunyai wilayah sendiri. Hanya koordinasi yang sifatnya tidak begitu
prinsip. Yang penting selama tidak bertentang ini harus tetap didukung. KOPRI
menempatkan teori gender hanya sebagai analisa saja agar kita tidak terbelenggu
dengan budaya patriarkal sehingga perempuan bisa menentukan gerakannya sesuai
dengan kebutuhan perempuan tersebut. Wacana gender sebagai alat saja bukan
sebagai tujuan. Dan wacana gender disesuaikan dengan wacana keislaman dan
kearifan lokal.
Prosentase perempuan di setiap Mapaba PMII ada 60%. Cukup banyak namun dalam
pengkaderan kita belum mumpuni mengggarapnya. Paling banter hanya bisa survive 5
kader di setiap cabang. Karena kita akhir-akhir ini kehilangan sosok-sosok kepemipinan
perempuan di tingkat cabang, kota, dan kabupaten se-Jawa Tengah yang bisa
berkomunikasi dengan PB dan basis.
Tugas utama KOPRI PMII adalah bagaimana mensinergikan kader perempuan PMII
yang cukup banyak dengan wadah yang berbeda-beda. Yakni, sesuai dengan local
genius yang berbeda di masing-masing cabang. Juga mensinergikan antara PB dan
pengurus di bawahnya (PKC, PC, PK dan PR).
1. Strategi Pengembangan Internal
Kader yang kuliah di basis kampus agama atau orang pesantren pada awalnya memang
mengalami konflik terhadap wacana gender. Namun, kemudian mampu melakukan
pembedahan tentang gender dan disesuaikan dengan basic keilmuannya ternyata ayat-
ayat yang dipahami patriarkhi ternyata sangat memperjuangkan hak perempuan.
Strategi kaderisasi yang ditempuh KOPRI adalah: (1) Ideologisasi KOPRI; (2) Penguatan
institusi. Dalam Kongres Bogor, KOPRI sebagai laboratorium gerakan sebagai institusi
independent; (3) Mempertegas posisi; (4) Penguatan intelektual; (5) Membentuk
masyarakat berkeadilan gender, dan (6) Konsolidasi gerakan. Seperti pertemuan hari ini
merupakan salah satu bentuk konsolidasi gerakan perempuan
Bagaimana system dan format serta strategi kaderisasi yang direncanakan ke depan?
Ada tiga hal yang hendak saya sampaikan: (1) Hakikat pengkaderan; (2) Strategi
pengembangan kaderisasi, dan (3) System kaderisasi yang dibangun di level nasional.
Hakikat pengkaderan adalah kita punya alasan kenapa pengkaderan harus dijalankan di
setiap organisasi; (1) Argumentasi Idealisme, diinterpretasikan melalui nilai-nilai yang
harus selalu dikonsumsi oleh kader; (2) Argumentasi Strategis; diimplementasikan dalam
pemberdayaan kader; (3) Argumnetasi Taktis; dengan tujuan memperbanyak kader.
Dalam konteks organisasi kaderisasi harus seimbang antara kualitas dan kuantitas; (4)
Argumentasi Pragmatis; karena adanya kepentingan dan persaingan kelompok; (5)
Argumentasi Administrative; karena adanya mandat organisasi.
Terdapat 3 pilar dalam kaderisasi, yaitu: (1) Membentuk keyakinan kader; dalam konteks
iman dan idiologis; (2) Pengetahuan; diinterpratasikan melalui ilmu; dan (3) Semangat
gerakan; interpretasikan melalui skill.
Berbicara system kaderisasi KOPRI maka penting juga membuat modul.
Muncullah resources gerakan dalam konteks ini kita memasukkan system kaderisasi
KOPRI, baik formal, informal maupun nonformal.
Mengenai pelatihan gender kita juga sangat sepakat, agar lebih tertata dan lebih banyak
yang didapat oleh kader perempuan. Apa yang belum digarap oleh PMII maka mari
digarap melalui KOPRI. Misalnya, pelatihan TOF (Training of Fasilitator) tapi dengan
menggunakan perspektif KOPRI.
Kita menawarkan bentuk kaderisasi di KOPRI, kita memasukkan materi – materi dalam
modul MAPABA, PKD, PKL (studi gender dan institusi KOPRI).Di samping melalui
pengkaderan formal di tingkat PKC juga memberikan pengenalan untuk mensinkronkan
yang terjadi dicabang-cabang yang sifatnya pengayaan. Dengan PB PMII, sudah
disepakati materi KOPRI juga bisa masuk dalam kaderisasi informal.
Hasil negosiasi antara KOPRI dengan PB PMII hari ini menemukan kesepakatan
memasukkan materi KOPRI dalam kaderisasi formal PMII. Ini bagian dari publikasi
KOPRI ke anggota PMII hingga level basis: cabang, komisariat dan rayon. Persoalan
rekruitmen, persoalan legal atau tidak legal menjadi penting. Sangat sah jika kita
melakukan perekrutan tidak formal. Jika kita melakukan rekrutment tersendiri kita harus
pisah secara administrasi dari PMII atau berdiri sendiri membuat organisasi sendiri.
Dalam gender ditegaskan bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan untuk memilih
dan menetukan nasibnya sendiri. Dan wacana gender memiliki imbas yang sangat
dahsyat bagi perempuan. Sebagai contoh, kesadaran yang muncul dari pewacanaan
gender yang ditangkap mentah-mentah membawa efek pada “tersedianya” perempuan
keluar rumah dan bekerja di pabrik-pabrik. Perempuan bekerja (sebagai buruh pabrik)
dianggap sebagai keberhasilan dari pewacanaan gender.
Padahal apa yang dilakukan perempuan di luar rumah pada dasarnya sama dengan
yang mereka kerjakan didalam rumah (kerja-kerja yang khas perempuan seperti
memasang kancing baju, menjahit, dan sejenisnya). Artinya, hanya memindahkan kerja
domestik dari dalam rumah ke pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan. Dan yang
lebih parah, tingkat “penderitaan” yang diterima perempuan di luar rumah jauh lebih
kejam dari dalam rumah dalam hal tertentu. Sedangkan di satu pihak yang lain,
masyarakat masih juga menyimpan stigma buruk terhadap perempuan yang bekerja
khususnya yang kerja malam atau sudah bersuami.
Apa yang ditulis di atas bukan berarti mewajibkan kita untuk mencurigai dengan
membabi buta terhadap isu-isu seperti demokrasi dan HAM serta Gender. Tetapi kita
harus sadar bahwa isu-isu yang kita anggap sebagai nilai-nilai yang harus kita
perjuangkan itu ternyata memiliki efek yang juga merugikan tidak hanya bagi kita
sebagai warga negara tetapi juga sebagai perempuan.
KOPRI melihat bahwa gender sebagai sebuah alat analisis mampu menjelaskan dengan
lebih gamblang atas prosse-proses diskriminasi sosial dan hukum, subordinasi,
pelabelan negatif, kekerasan fisik dan nonfisik, marjinalisasi ekonomi, dan beban ganda
yang selama ini dialami perempuan. Ketidak adilan gender yang dialami perempuan
tersebut menjelma dalam pelbagai bentuk seperti kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
segenap bidang, tradisi dan tafsir agama yang misoginis serta budaya-budaya populer
yang merasuk lebih dalam dari agama ke dalam individu-individu.
Untuk itu, KOPRI akan selalu melakukan pembacaan kritis dan memiliki sensitifitas
Gender dalam mensikapi produk-produk kebijkaan pemerintah dengan memberikan
alternatif-alternatif berdasarkan tawaran gagasan yang lebih mengakar dan relevan
dengan kepentingan masyarakat khususnya perempuan. Dan pembacaan yang kritis
adalah pembacaan yang bersifat multidimensi dan berkelanjutan, karenanya KOPRI
membutuhkan dukungan moral, politik sekaligus intelekutal khususnya dari PMII sebagai
induk gerakan agar setiap pilihan gerakan yang diambil KOPRI nantinya akan saling
menguatkan dan sinergis dengan grand design yang telah dirancang PMII dalam melihat
persoalan masyarakat, negara dan dunia.