Anda di halaman 1dari 6

https://sites.google.

com/site/nimusinstitut/jawa-banten

Bahasa Jawa Banten sebagai Muatan Lokal


Oleh: Iip Muhamad Arif

A. PENDAHULUAN
Adalah sebuah kenyataan yang sangat menyedihkan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah
masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Perkembangan kehidup
terus bergulir sejak kemerdekaan, masa pembangunan hingga pascareformasi. Kurikulum terus berganti, setid
Kurikulum 1975, 1984, 1994, 2004, hingga kini Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Penulis pernah mengikuti Konggres Bahasa Jawa ke IV Tahun 2006, pada saat itu hasil rekomendasinya m
pentingnya pembelajaran Bahasa Jawa, dan mewajibkan penyelenggaraannya di sekolah tingkat da
menengah. Namun kenyataannya, jangankan diajarkan seperti teman-teman di daerah lain seperti Jaw
Yogyakarta ataupun Jawa Timur diperhatikan pun oleh pemerintah Provinsi Banten atau Pemerintah kabup
yang ada di Provinsi Banten tidak ada. Kondisi pembelajaran bahasa dan sastra Jawa saat ini di Banten m
jauh dari harapan dan belum juga mengalami kemajuan yang berarti, tetap terpinggirkan, bahkan s
terasingkan dari komunitasnya sendiri. Penulis sudah lama merasa prihatin dan berusaha agar pembelajaran
sastra Jawa itu mengemuka dalam berbagai seminar, namun belum juga ditemukan formula yang tepat seb
untuk mengatasi masalahnya.

Kalaupun ada alternatif solusinya, akhirnya berhenti pada tataran wacana, jarang terealisasi, karena berba
Misalnya: terbatasnya alokasi waktu, terbatasnya fasilitas buku-buku sastra (baik teori maupun kary
terbatasnya dana untuk penyelenggaraan pelatihan, rendahnya minat baca siswa. Tentu saja penulis be
mengatakan rendahnya kompetensi guru dalam mengajarkannya, karena hal ini muara dari dimulainya
pemerintah untuk menerapkan pembelajaran bahasa Jawa Banten itu sendiri.

Mencermati kondisi yang demikian itu, wajarlah kiranya jika pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa Banten
di mulai dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari semakin hari semakin merosot, bahkan mengalam
image, kemerosotan citra. Padahal pembelajaran tersebut penting diberikan kepada siswa dalam upaya pe
kepribadian, pengembangan rasa, cipta, dan karsa, dan keterampilan hidup (lifeskill) sebagai hasi
pembelajaran. Melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa diharapkan siswa tumbuh menjadi man
berkepribadian luhur, halus budi pekertinya, tinggi rasa kemanusiaannya, dan peka apresiasi budayany
mampu menyalurkan gagasan, imajinasi dan ekspresinya secara kreatif dan konstruktif.

Pada kenyataannya, pada kurun waktu akhir-akhir ini, bangsa Indonesia sering dikejutkan oleh terjadinya ker
tindakan anarkis di berbagai wilayah Indonesia, dalam aneka sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, sosi
agama. Seakan-akan bangsa ini telah kehilangan nilai moral dan kemanusiaan serta kemampuan pengendalia
secara individual maupun kolektif. Bangsa ini, seakan-akan tidak mampu lagi mengenali jati dirinya, seba
yang memiliki budaya tinggi, baik berupa akal pikiran maupun budi pekerti. Kenyataan itu sangat ironis bil
dengan stereotipe orang Indonesia pada umumnya, dan suku Jawa khususnya, sebagai bangsa T
berkepribadian luhur, tepo seliro, mikulnduwur mendhem jero, suka bergotong royong, santun, ramah, d
seperti yang selama ini dibanggakan sebagai pembanding kontras dengan ciri kepribadian bangsa Barat
bebas, individualis, sekuler, materialis dan kapitalis.

Sungguh mengherankan, begitu besar perubahan kepribadian bangsa ini yang kini menjadi beringas d
terprovokasi. Perubahan itu ditandai dengan banyaknya peristiwa kerusuhan, tindak kekerasan, peleceh
perseteruan yang berujung pada pertikaian, dan bahkan kematian. Turut memperparah keadaan itu adalah
peristiwa yang terjadi selalu diekspus oleh media massa, baik cetak maupun elektronik, yang dapat diakses o
lapisan masyarakat tanpa terkecuali para generasi muda calon penerus bangsa. Gambaran semacam i
makanan yang siap disantap setiap hari oleh kaum muda, sehingga membekas dan membawa dampak psiko
kuat terhadap pembentukan karakter anak bangsa pada masa depan.

Fakta menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia memiliki sifat pluralitas yang tinggi dan multidimensi. Keane
suku, ras dan agama sangat berpotensi untuk memicu terjadinya kesalahpahaman, konflik dan pertikaian. Per
adalah di negeri yang memiliki sifat pluralistis ini, bagaimana pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dapa
untuk menanamkan kearifan lokal (local genius) dalam upaya membentuk kader bangsa yang mampu berp
namun tetap berperilaku dengan karakter dan potensi lokal pada era multikulkural ini?

Pertanyaan tersebut akan dicari alternatif jawabannya melalui semiloka bahasa jawa Banten yang dilakukan
Budaya dan Pariwisata Kota Cilegon, dengan subjek seluruh stekholder masyarakat Kota Cilegon. Hasil se
diharapkan dapat memberikan masukan kepada generasi muda khususnya etnis Jawa, untuk kembali menci
daerahnya sebagai salah satu karakter dan identitasnya. Semua itu perlu dilakukan atas kesadaran akan
fungsi bahasa Jawa sebagai identitas jatidiri bangsa, dalam komunikasi antarbangsa pada era global. Gen
tentu tidak boleh meninggalkan bahasa daerahnya bila ingin tetap survive dalam percaturan dunia tanpa
identitas jatidirinya. Meskipun sebagai warga dunia tidak mungkin dapat manafikan pengaruh budaya glob
Indonesia harus tetap mampu mempertahankan nilai-nilai budaya lokal, sebagai identitas jatidiri bangsanya.

Barbara F. Grimes (Summer Institute of Linguistics, 2000) meneliti tentang kedudukan bahasa Jawa dalam
bahasa secara internasional, bahwa dari 6.809 bahasa di dunia, Indonesia menempati urutan kedua dalam
bahasa (731 bahasa di Indonesia). Urutan pertama ditempati oleh Papua Nugini (867 bahasa). Adapun, urutan
dalam hal penutur ditempati oleh bahasa Mandarin (Cina ) dengan sekitar 885.000.000 penutur, urutan kedu
oleh bahasa Spanyol dengan 332.000.000 penutur, dan ketiga ditempati oleh bahasa Inggris dengan 3
penutur. Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dengan 75.500.000 penutur, bahasa Sunda di urutan ke-
27.000.000 penutur, bahasa Melayu di urutan ke-54 dengan 17.600.000 penutur, dan BI di urutan ke-
17.050.000 penutur. Adapun bahasa Madura menempati urutan ke-69 dengan 13.694.000 penutur. Di antara
di Indonesia, yang tergolong dalam kategori B (diteliti secara memadai dan mendalam, baru sebagian ihw
sekitar 600-an bahasa) adalah bahasa Indonesia. Yang sangat mengherankan adalah bahasa Jawa yang dinyat
kategori C (diteliti kurang mendalam, baru tata bahasa dalam bentuk sketsa: sekitar 1000 bahasa) atau anta
C dan B. Hal ini membuktikan bahwa jika dilihat secara keseluruhan bahasa Jawa yang ada di dunia
menduduki peringkat yang cukup baik, namun bukan berarti akan tetap menduduki urutan ke 11 jika kita tida
melestarikannya.

B. PEMBAHASAN

A. Pembelajaran bahasa Jawa

Pembelajaran bahasa Jawa Banten (BJB) melalui pendidikan formal di Sekolah merupakan sarana pelest
Keberhasilan pembelajaran ini akan menentukan eksistensi BJB di masa depan. Sampai saat ini hasil pemb
kurang memuaskan. Sebagai contoh tujuan pembelajaran BJB kelas 1 s.d. 6 SD cenderung pada p
keterampilan berbahasa yang ideal: mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Tujuan pembela
apakah tidak sebaiknya berdasarkan fungsi BJB, dan kebutuhan siswa? Sebagai bahasa daerah, BJB berfun
(1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan
daerah. Fungsi BJB yang hakiki adalah fungsi ketiga, sehingga BJB dominan digunakan dalam wujud bahasa
kenyataan ini, tujuan pembelajaran BJB di sekolah diusulkan mengutamakan empat keterampilan berbahasa t
Dengan pengutamaan itu paling tidak ada dua keuntungan. Pertama, terbukanya peluang bagi dialek ba
Banten. sebagai salah satu aset budaya Jawa di Banten mendapat peluang untuk dibina melalui pendidikan fo
siswa di wilayah Kota Cilegon dialek BJB dibutuhkan untuk komunikasi sehari-hari. Kedua, kemudahan aka
bagi siswa yang tidak berbahasa ibu BJB. Bagi mereka, BJB merupakan bahasa asing, sehingga terlalu berat
akhirnya meliputi empat keterampilan berbahasa. Kiranya realistis jika tujuan pembelajaran BJB di SD ad
mampu berbicara, membaca dan menulis dengan BJB yang baik.

Kosa kata sebagai penunjang materi berbicara hendaknya tidak terlalu bercorak agraris dan tradisional. Per
bahwa para siswa SD telah hidup di alam modern. Melalui media televisi, ilmu pengetahuan dan tekno
merambah sampai ke pelosok desa.

Kosa kata yang mendukung mata pelajaran lain sebaiknya diberi tempat dalam pembelajaran BJB. Hal in
siswa ketika berbicra tentang matematika atau IPA tidak beralih bahasa ke bahasa Indonesia. Untuk itu sej
bahasa Indonesia berasal dari atau mirip dengan BJB yang lazim digunakan dalam matematika, IPA: (perseg
sumbu, balok, limas, lentur, pecahan, jagat raya, (bahan) bakar, cahaya, badan, pancaindra, dsb., dan kata d
asing: volum, desimal, persen, roket, lokomotif, magnet, blender, mikser, rekreasi, generator, sebaiknya
dalam latihan berbicara.

Penggunaan kata-kata itu dalam percakapan BJB untuk menanamkan rasa bangga pada diri siswa bahwa BJB
digunakan untuk meng-ungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan iptek. Mereka juga perlu disadarkan ba
melestarikan BJB diperlukan sikap akomodatif terhadap kosa kata

B. Bentuk Halus/ Bebasan

Dengan pengutamaan keterampilan berbicara, apakah tujuannya agar siswa mampu berbicara dalam B
pasaran saja ataukah dengan bentuk bebasan? Adanya bentuk bebasan dalam BJB bisa menjadi sebab k
seseorang menggunakannya, lalu beralih ke bahasa Indonesia atau bahasa lain yang dipandang lebih dem
tidak feodalistis. Pandangan yang demikian tentu merupakan hak yang bersangkutan.

Namun perlu direnungkan, dalam bahasa Jepang juga dikenal adanya tingkat tutur. Sebagai contoh, tabemas
mimasu (melihat), ikimasu (pergi), bentuk bebasannya berturut-turut adalah meshiagarimasu (dahar), goran n
(ningal), irrashaimasu (tindak); haiken shimasu (ningali). Jadi, tingkat tutur bahasa Jepang rumit juga,
tulisannya. Namun hingga kini bangsa Jepang masih mempertahankannya meskipun telah menjadi bangsa ya
Dan bahasa Jepang kini justru dipelajari berbagai bangsa, termasuk orang Jawa. Bukanlah karena meniru o
jika bentuk bebasan itu dilestarikan melalui pembelajaran BJB, melainkan karena merupakan salah satu wari
Jawa.
Mempertahankan bentuk bebasan tidak hanya penting untuk BJB, tetapi juga bahasa Indonesia. Kata seper
pisang, panjang, siang, sakit berpadanan dari segi bentuk dan makna dengan kata BJB bebasan yang bentuk
adalah suket, gedang, dawa, awan, dan lara. Berdasarkan usia bahasa Jawa Banten yang lebih tua dapat d
bahwa kata-kata itu diserap dari Bahasa Jawa. Jadi, BJB termasuk bentuk bebasannya merupakan salah s
pemperkayaan kosa kata bahasa
Bentuk bebasan digunakan untuk menghormati, mitra bicara. Secara verbal rasa hormat itu diekspresikan den
yang halus, bentuk bebasan. Bagi orang Jawa Banten, hal itu merupakan tradisi. Rasanya tidak mungkin pe
BJB disertai peniadaan bentuk bebasan. Pembelajaran BJB tidak dimaksudkan untuk mengeliminasi salah
budaya Jawa Banten.

Kehalusan budi bahasa merupakan nilai yang dijunjung tinggi orang Banten, sing disebut Wong Banten
drebeni rasa. Orang Jawa Banten tempatnya kekayaan yang berupa perasaan halus. Kata-kata pada tingkat tu
bukan sekadar paduan bentuk dan makna, tetapi juga terkandung rasa, yaitu rasa hormat pada mitra bica
bebasan dapat digunakan sebagai alat memperhalus budi pekerti siswa. Inilah pentingnya bentuk beba
pembelajaran BJB bagi siswa SD.

Kiranya sudah memadai jika pembelajaran BJB di SD dapat menghasilkan siswa yang mampu berbicara
pasaran dan bebasan dengan baik. Keberhasilan pembelajaran BJB di SD akan memberikan garansi akan
BJB paling tidak dalam beberapa dekade yang akan

c. Bahasa Jawa Banten dalam Kehidupan Bermasyarakat serta Mata Pelajaran Bahasa Jawa Ban
Situasi Multi (sub)dialek

Kita harus menyadari kedudukan bahasa Jawa Banten di tengah-tengah masyarakat sekarang ini se
Penggunaan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat (termasuk dalam kehidupan sehari-hari) pernah dituang
Instruksi Menteri Dalam Negeri no. 20, 28 Oktober 1991 (Purwo, 2000: 19) yang
Salah satu wujud kebhinekatunggalikaan itu adalah kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa Indones
diupayakan antara lain melalui pemasyarakatan dan pembudayaan bahasa Indonesia sebagai alat komuni
kehidupan sehari-hari.

Pemasyarakatan bahasa Indonesia adalah segala upaya memasyarakatkan penggunanan bahasa Indon
kehidupan sehari-hari secara baik dan benar. Instruksi ini tampak sangat berat sebelah karena pemasyar
pembudayaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari berarti sama sa
meminggirkan atau memenjarakan bahasa daerah (termasuk bahasa Jawa
Dalam hal pendidikan, ketentuan mengenai bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pengantar d
lembaga pendidikan (cf. Halim dalam Halim, Ed. 1980) pernah dipersoalkan, khsuusnya untuk anak SD
karena sejak kurikulum 1975, satu-satunya bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Hal it
dinetralkan oleh Sisdiknas tahun 1989 yang berlanjut pada Sisdiknas tahun 2003, pasal 34 ayat (2) yang m
bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila
dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.. Berdasarkan hal itulah, bahasa Ja
sepantasnya sudah dapat digunakan sebagai pengantar pendidikan, khususnya di daerah Cilegon untuk kelas 1

Selanjutnya, berdasarkan PP No 19 PP tahun 2005 tentang SNP, BAB V Standar Kompetensi Lulusan Pasal
Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis y
dengan jenjang pendidikan.

Kemampuan membaca dan menulis memang lebih bersifat tahan lama. Artinya, jika seseorang karena s
tidak menggunakan bahasa Jawa Banten dalam komunikasi lisan (dengar dan bicara), dia akan tetap dapat
keterampilannya dalam bidang baca dan tulis. Hal itu masih akan menolong untuk mengasah keterampilan
bicaranya.

Selanjutnya, kompetensi guru pengajar bahasa Jawa Banten haruslah meliputi kompetensi pedagogik, k
profesional, dan sosial (UU Guru Tahun 2005). Selain itu, materi pembelajaran bahasa (termasuk bahasa Jaw
pada dasarnya terdiri atas empat keterampilan berbahasa, yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan me

Keempat aspek keterampilan berbahasa ini diharapkan dapat ikut berperan mengubah pembelajaran yang
praktis. Sayangnya, mata pelajaran bahasa Jawa Banten bukan termasuk mata pelajaran utama yang guru
dilatih dengan pendekatan atau metode terbaru, termasuk model pengembangan kurikulum dan penilaiannya

Lepas dari itu semua, dari sisi materi, pembelajaran bahasa di daerah Banten yang multidialek atau mul
seharusnya juga memperhatikan kemulti(sub)dialekan itu.. Pengenalan terhadap multidialek atau multisubd
perlu dilakukan di samping pembelajaran dialek standar. Dalam hal ini dapat dilakukan porsi 3
dialek/subdialek dan 70% untuk bahasa baku. Akan tetapi, perlu pula diperhatikan bahwa pada saat
(sub)dialek, perlu dilakukan pula pengenalan dialek
Masalah penulisan perlu juga diperhatikan. Dalam situasi multidialek atau multisubdialek di Banten, jum
ternyata dapat berbeda. Selain itu, ada juga bunyi-bunyi tertentu yang memang merupakan bunyi m
merupakan bunyi yang lebih rendah atau lebih tinggi), misalnya: bunyi [e] dalam [tekUs} memang betu
bukan [I] atau i rendah. Oleh sebab itu, transkripsi fonemisnya tetap /tekus/, bukan /tikus/ (Kisyani-Laksono,

Pada sisi lain, pembelajaran bahasa Jawa Banten juga harus ditingkatkan. Guru dapat saja mem
kemampuannya nembang, nabuh perkusi, ngedalang, maca dongeng, cerita pengalaman. Bisa juga hal itu
dengan pemodelan dengan mengundang siswa kelas/ atau sekolah lain atau mengundang nara sum
melakukannya. Selain itu, siswa dapat juga langsung diajak untuk praktik berbicara dengan orang yang
khusus untuk hal itu, siswa dapat juga diajak menulis dengan mengamati taman/kebun di sekolah, dll. Dal
guru dapat saja menerapkan pembelajaran kontekstual: konstruktivisme, inkuiri (menemukan), bertanya,
belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik ( Nurhadi,

D. Penutup/ Re
Pembelajaran bahasa Jawa Banten perlu memperhatikan situasi dialek/subdialek yang melatarinya. Jika h
dilakukan, dikhawatirkan dialek/subdialek Jawa Banten akan terasa asing dan tercerabut dari
pembentuknya.

Kedudukan mata pelajaran bahasa Jawa Banten yang tidak termasuk dalam mata pelajaran inti membuat
enggan mengajarkan, terlebih lagi bagi guru yang berlatarbelakang bahasa Sunda atau Bahasa Indonesia
sekali tidak mengerti berbahasa Jawa Banten. Dengan diterapkannya pembelajaran Bahasa Jawa Banten ak
kegiatan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh sebab itu, pemerintah daerah (da
dinas pendidikan Kota Cilegon/ Provinsi Banten ) hendaknya memperhatikan ini dan mengalokasikan d
untuk mereka karena hanya Diknas provinsi atau kota/kabupaten yang secara langsung seharusnya ped
mereka. Pelatihan untuk guru-guru mata pelajaran lainnya pada umumnya dipersiapkan oleh pusat dan da
sebab itu, sudah selayaknya jika dianggarkan dana pelatihan untuk mereka secara khusus.

Penyusunan kurikulum muatan lokal Bahasa Jawa Bantendi Kota Cilegon juga harus segera dimulai kare
kurikulum tersebut guru memiliki pegangan dalam proses pembelajaran. Seiring dengan itu, perlu jug
penyusunan bahan ajar bahasa Jawa Banten yang merupakan bahan yang dapat digunakan dalam proses pemb
kelas.

Paling penting dari semuanya itu adalah payung hukum sebagai sebuah kepastian diterapkannya pembelaja
Jawa Banten yang dikeluarkan oleh pihak legislatif agar pihak eksekutif dalam hal ini Dinas Pendid
menjalankannya sebagai bentuk pelestarian bahasa Jawa Banten di dunia persekolahan. Jika bukan Anda tu
Lembaga Legislatif dan Eksekutif yang perduli dan memiliki good will yang harus peduli dengan ini semua
yang

DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani. dkk. 2003. Membaca Sastra. Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi. Magelang: Indonesiatera.
Djojosuroto, Kinayati 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran, Gestal, Strukrural,
Strukturalisme Genetik, Semiotik, Resepsi Sastra, Analisis Wacana. Bandung:
Nuansa.Depdiknas. 2005. PP No 19 PP tahun 2005 tentang SNP.
Grimes, Barbara F. (Summer Institute of Linguistics/SIL). 2000. Geographical L
http://www.yahoo.com
Halim, Amran (Ed.). 1980. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Balai Pustaka.
-. 1980. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Kisyani-Laksono. 2004. Pojok Kampung: Siaran Berita Berbahasa Jawa yang Naik Daun. Surabaya
__________. 2005. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektolog
Pusat Bahasa.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan
Implementasinya.Bandung: Rosda
Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
dalam KBK. Malang: UM.
Pemerintah Ri. 2003. UU Sisdiknas. 2003. Jakarta.
Pemerintah RI. 2005. UU Guru dan Dosen.

Anda mungkin juga menyukai